Anda di halaman 1dari 8

Teater Drama 6 Orang

Tema Pendidikan
Masa Depan

Judul : Tentang Masa Depan


Tema : Sosial & Persahabatan
Jumlah pemeran : 6 orang
Penokohan : Ilham : Berkpribadian baik
Muklis : Berkpribadian baik
Zahra : Berkpribadian baik
Rara : Berkepribadian buruk
Munir : Berkepribadian buruk
Intan : Suka mengingatkan

Sinopis Drama
Terdapat 6 orang bersahabat yang sudah berteman sejak sekian lama. Mereka adalah Ilham, Muklis, Zahra, Rara,
Munir, dan Intan.

Berebeda dengan keempat temannya, sikap dan kepribadian Rara dan Munir kontras dengan pemikiran Ilham,
Muklis, Zahra, dan Intan.
Pada suatu pertemuan, Rara dan Munir mendapat teguran dari para temannya lantaran sikapnya yang masih saja
seperti anak kecil.

Ilham :
Apa sih yang harus kita lakukan supaya cita-cita yang kita miliki itu nantinya benar-benar bisa terealisasi
dan tidak hanya sekedar mimpi semata?

Muklis :
Ya tentunya banyak sekali yang harus kamu lakukan, misalkan dari sekarang kamu harus mulai menata
kehidupan dan kepribadian kamu.

Zahra :
Benar apa yang dikatakan oleh Muklis. Memang banyak sekali yang harus kita persiapkan agar
kedepannya apa yang kita impikan bisa terwujud.

Rara :
Ah, kalian ini ada-ada saja kerjaannya. Mau ini mau itu, nyantai aja kenapa sih? lagian kalian ini kan
masih mudah, masih banyak waktu.

Munir :
Iya, masih muda uda pada sibuk mikirn yang jauh-jauh. Udah lah nikmatin aja masa muda kalian, ntar
juga datang sendiri mimpi kalian.

Intan :
Munir, Rara, kalian kok berpikiran seperti itu sih? justru karena kita masih muda makanya kita harus bisa
memanfaatkan waktu yang kita miliki.

Muklis :
Benar apa yang dikatakan Intan. Aku juga heran sama kalian (Rara & Munir) kerjannya sehari-hari main
melulu.

Ilham :
Munir, Rara, saat ini kalian memang masih muda dan segala sesuatu yang kalian butuhkan masih bisa
dicukupi oleh ayah/ibu kalian, tapi kedepannya kan kalian harus bisa mencukupi kebutuhan kalian
sendiri, makanya mulai sekarang kalian harus mau berpikir dan bekerja keras.

Intan :
Nah, dengerin tuh apa yang dibilaingin Ilham. Kalian tidak boleh jadi anak muda yang tanpa arah, kalian
harus mau berjuang mulai sekarang.

Rara :
Ah, masa bodoh...

Munir :
Iya, kalian ini pada jadi motivator konon.. nyantai aja kenapa sih.

Keempat teman Munir dan Rara hanya menggelengkan kepala melihat sikap Munir dan Rara yang tak
ubahnya seoarang anak kecil.

Kendati Intan menyadari bahwa sangat sulit untuk bisa mengingatkan Rara dan Munir, namun dia tetap
berusaha untuk menyadarkan kedua temannya tersebut.

Intan :
Rara, usia kamu sekarang berapa?

Munir : Memangnya kenapa kok kamu nanya usia segala?

Rara : Usiaku sudah 17 tahun, ada apa?

Intan :
Nah, kamu sendiri udah tahu kan kalau usia kamu sudah 17 tahun. Coba kamu bayangkan apa yang
akan kamu lakukan dalam 5-10 tahun kedepan?

Rara :
Aku nggak negerti maksud kamu, maksudnya apa?

Munir :
Iya, aku juga tambah bingung sama kamu, Tan. Orang ditanya usia, terus nanya apa yang akan
dilakukan dalam 5-10 tahun mendatang, ya tentu aja nggak tahu kan hidup itu ngalir aja.

Intan :
Maksud aku begini, kalau usia kamu sekarang udah 17 tahun dan dalam 10 tahun kedepan usia kamu
akan menjadi 27 tahun. Tahukan kamu bahwa kehidupan disaat usia kamu sudah 27 tahun itu akan
berubah drastis dari apa yang kamu rasakan sekarang. Makanya selagi muda kita harus bisa bersiap diri
untuk menyambut masa depan kita kelak, contoh-contohnya ya seperti apa yang disampaikan oleh Ilham,
dkk.

Rara dan Munir pun akhirnya berpikir dalam usai mendengar penjelasan Intan. Semenjak itu Munir dan
Rara menunjukkan perubahan sikap yang berarti
Teater Drama 6 Orang

Judul Drama : Harapan Di Persimpangan Jalan


Tema : Pentingnya Pendidikan
Pemeran : Bima, Surya, Ibu Guru Shinta, bapak wakil kepala sekolah Arman, Ayah
Rasty, Ibu Rasty,

Sinopsis Drama :

Suatu pagi pada jam istirahat pertama di SMA Negeri 13 Bandar Lampung. Bima
termenung di salah satu meja baca perpustakaan. Ia tak menyadari bahwa kegelisahannya
tersebut sejak tadi telah diperhatikan oleh sahabatnya Surya.

Surya : hei, kamu ini masih pagi sudah melamun saja.

Bima : ya ampun Bima, kamu mengagetkanku tahu! Kalau jantungku copot bagaimana?
Kamu mau ganti?

Surya : He he. Maaf maaf.

Bima : ada apa Sur?

Surya : Ya tidak apa-apa. Aku pikir kamu kemana tadi. Aku mencari-cari kamu loh.

Bima : Hehe. Ya aku kemana lagi kalau tidak ke mushala atau perpustakaan. Mau ke
kantin, aku tidak punya uang. He he.

Surya : justru itu, mudah sekali kalau aku mau mencarimu kawan. Oh ya, ngomong-
ngomong rencanamu setelah lulus apa? Pasti kamu mau mengambil jurusan Teknik
Mesin di Unila (Universitas Lampung) kan? Sejak dulu kamu bicara tentang mimpimu
untuk bisa berkuliah di jurusan itu.

Bima : Entahlah Sur.

Surya : Loh, kok entahlah. Ada apa ini kawan? Bukankah kamu bercita-cita untuk
menjadi insiyur mesin?

Bima : iya, memang benar. Tapi entahlah Sur.

Surya : ada apa ini kawan? Ada masalah apa sebenarnya? Ayo ceritakan padaku!
Bima : tentang mimpi-mimpiku itu Sur, rasanya aku tak bisa terus memupuknya. Orang
tuaku tidak setuju aku melanjutkan pendidikan tinggi. Mereka ingin aku bekerja di luar
negeri sebagai TKI saja.

Surya : Wah, rumit juga ya. Kamu ceritakan semua detailnya ya! Nanti kita cari solusi
bersama-sama.

Setelah menceritakan semua permasalahannya, Bima agak sedikit lega. Setidaknya ia


sedikit bisa mengurangi beban dihatinya karena telah bercerita dengan sahabatnya itu.

Surya : begini saja Bim, kita konsultasikan masalahmu ini kepada ibu Shinta. Mungkin
saja beliau punya masukan terbaik yang bisa membantu semua persoalanmu itu.

Bima : Baiklah, jam istirahat kedua setelah shalat dhuhur saja ya Sur. Waktu istirahat
pertama kita sudah mulai habis ini.

Surya : Baiklah, ayo kita masuk ke kelas!

Surya dan Bima pun akhirnya menuju kelas mereka. Setelah jam istirahat kedua selepas
shalat dhuhur, mereka berdua pergi menuju ruang ibu Shinta yang merupakan guru
Bimbingan Konseling di kelas mereka.

Surya : Assalamualaikum. (seraya mengetuk pintu ruangan)

Ibu Shinta : Waalaikumsalam. Wr. Wb. Silahkan masuk!

Surya : Terima kasih bu. Ayo Bima, kita masuk!

Bima : Iya. Selamat siang bu.

Ibu Shinta : Oh Surya, Bima, ada apa ini? Apa ada yang mau kalian diskusikan kepada
ibu?

Surya : Oh iya bu, ada sesuatu hal penting yang ingin kami diskusikan. Kami yakin akan
dapat menemukan solusi terbaik jika masalah ini kami sampaikan kepada ibu Shinta.

Ibu Shinta : Baiklah Sur, ceritakanlah masalahmu itu pada ibu! Barangkali ibu bisa
membantu.

Surya : Ini bukan tentang saya bu, tapi Bima. Nah, Bim, ceritakanlah masalahmu itu!

Bima : Baiklah.
Setelah menceritakan semua masalah Bima kepada bu Shinta. Akhirnya bu Shinta
memutuskan untuk membawa persoalan ini ke bapak Arman, wakil kepala sekolah
bidang kesiswaan.

Ibu Shinta : Nah, begitu saja ya. Kapan kita menemui pak Arman?

Bima : lebih cepat lebih baik bu.

Surya : betul bu, secepatnya saja. Kalau boleh saya usul, waktu jam istirahat masih 15
menit lagi. Saya rasa cukup untuk membicarakan hal ini kepada beliau. Saya rasa beliau
saat ini juga masih berada di ruang kerjanya.

Ibu Shinta : kalau begitu kita ke sana sekarang saja!

Akhirnya Bima, Surya, dan Bu Shinta bergegas menuju ruang bapak Wakil Kepala
Sekolah bidang Kesiswaan. Setibanya mereka di ruang bapak Arman, bu Shinta
menyampaikan perihal masalah yang dialami oleh Bima kepadanya.

Bu Shinta : Begitu pak, inti permasalahannya adalah bahwa Bima tidak diizinkan oleh
orang tuanya untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi. Karena sebab ketidakmampuan
orang tuanya dalam hal ekonomi.

Pak Arman : Begini bu Shinta, Bima, dan Surya. Sebenarnya saya ada solusi yang Insya
Allah dapat menjawab persoalan ini. Tapi sepertinya kita tidak memiliki cukup waktu
untuk membahasnya di sini. Begini saja, kita agendakan kunjungan ke rumah Bima
dalam rangka menjelaskan hal-hal penting seputar pendidikan serta solusi agar Bima
dapat tetap melanjutkan pendidikan tingginya. Bagaimana?

Ibu Shinta : Ide yang bagus pak. nah, Bima, kapan kira-kira kami bisa mengunjungi
orang tuamu?

Bima : Kalau hari minggu pagi bagaimana Pak, Bu? Insya Allah orang tua saya tidak
berjualan di pasar karena hari tersebut sedang ada festival di kompleks pasar yang tidak
memungkinkan pedangan untuk berjualan. Apa bapak Arman dan Ibu Shinta tidak
keberatan meluangkan waktu libur di hari itu?

Pak Arman : Tentu saja tidak, Bim. Bapak merasa harus memperjuangkan nasib
pendidikanmu. Karena kamu adalah salah satu siswa terbaik kami di sekolah ini.

Bu Shinta : Ibu juga tidak keberatan Bim. Surya, kamu juga ikut ya?

Surya : Baik bu, dengan senang hati.


Keesokan harinya di hari minggu pagi. Pak Arman, Bu Shinta, dan Surya pergi
berkunjung ke rumah Bima. Setibanya di rumah Bima.

Surya : Assalamualaikum. (sambil mengetuk pintu)

Bima : Waalaikumsalam. (beberapa saat setelah Surya megetuk pintu). Silahkan masuk
Bim, Pak Arman, dan Bu Shinta.

Pak Arman : terima kasih Bima.

Bu Shinta : Ayah dan Ibumu ada Bim?

Bima : Ada Bu, sebentar saya panggilkan. Silahkan duduk dulu pak, bu. Surya, kamu
bantu aku menyiapkan minum untuk pak Arman dan Bu Shinta ya!

Surya : Oke Bim.

Tak lama kemudian, ayah dan ibu Bima datang ke ruang tamu menyambut Pak Arman
dan Bu Shinta.

Ayah Bima : Wah, ada tamu spesial rupanya. Pak Arman, apa kabar? Ini ibu Shinta guru
BK di sekolah Bima ya?

Ibu Shinta : Betul pak, saya guru BK di sekolah Bima.

Ibu Bima : Maaf pak, bu. Tempatnya begini adanya.

Pak Arman : ah, tidak apa-apa bu. Terima kasih sudah diperbolehkan berkunjung.

Ibu Bima : kalau boleh tahu, angin apa yang membawa ibu dan bapak ke rumah kami ini?
Apa Bima membuat masalah di sekolah.

Pak Arman : oh, tidak bu. Sama sekali tidak. Justru Bima adalah salah satu anak yang
membanggakan yang kami miliki di sekolah.

Ayah Bima : syukurlah kalau begitu pak. lantas ada masalah apa ya pak?

Pak Arman : begini pak, langsung saja ke pokok permasalahan. Beberapa hari yang lalu
Bima menyampaikan bahwa dirinya ingin sekali melanjutkan pendidikannya di
perguruan tinggi negeri. Saya ingin mengklarifikasikan kepada bapak dan ibu selaku
orang tua dari Bima. Apakah betul bapak dan ibu tidak memperkenankan Bima untuk
berkuliah?
Karena begini bu, saya rasa sangat disayangkan bahwa anak secerdas Bima tidak bisa
melanjutkan pendidikannya hanya karena terhalang dari restu kedua orang tuanya.
Sementara Bima ingin sekali untuk belajar di perguruan tinggi negeri.

Ayah Bima : Begitu rupanya. Langsung saja saya jawab ya pak. Sebelumnya terima kasih
atas perhatian bapak dan ibu kepada anak kami. Begini pak, alasan kami tidak
memperkenankan Bima untuk berkuliah di perguruan tinggi tidak lain dan tidak bukan
adalah karena keterbatasan keuangan yang kami miliki pak. saya ini hanya penjual sayur
di pasar. Sementara istri saya ikut berdagang bersama dengan saya. Penghasilan kami
hanyalah cukup untuk makan sehari-hari dan membayar uang sekolah Bima dan adik-
adiknya. Melihat kondisi tersebut, saya merasa tidak mampu untuk membiayai Bima
untuk belajar lebih tinggi lagi. Alasan sebenarnya adalah begitu pak, bu.

Ibu Bima : betul pak. sungguh, kami tidak bermaksud menghalang-halangi cita-cita
Bima. Tapi apalah daya kami pak. kami hanyalah orang miskin yang tak dapat
menyekolahkan anak-anaknya. Maka dari itu kami bermaksud untuk mengirim Bima ke
luar negeri untuk bekerja demi adik-adiknya.

Bu Shinta : begini Pak, bu. Maaf kalau saya lancang. Memang sangat sulit sekali jika
menjalani studi tanpa adanya kemampuan finansial yang mendukung. Tapi bukan berarti
proses pembelajaran itu harus terputus begitu saja. Apalagi Bima adalah anak yang
cerdas. Sangat disayangkan jika ia tidak difasilitasi untuk belajar.

Pak Arman : betul pak, bu. Bima harus tetap melanjutkan pendidikannya di perguruan
tinggi negeri. Pendidikan itu teramat penting yang harus diperjuangkan dengan gigih.
Rasanya terlalu dini untuk menganggap persoalan ekonomi adalah faktor penghambat
utama. Saya juga melihat bahwa Bima memiliki kemauan yang begitu tinggi untuk
berkuliah. Kemauan yang keras pasti akan membuahkan jalan menuju keberhasilan. Saya
percaya akan hal itu.

Ayah Bima : saya sepakat dengan pak Arman dan Bu Shinta. Namun lagi-lagi kami tak
berkemampuan untuk membiayai Bima, khususnya ketika ia akan melanjutkan
pendidikannya di perguruan tinggi.

Ibu Bima : Betul pak, bu. Kami benar-benar kesulitan masalah keuangang. Kami tak
ingin mengeluh, namun inilah hambatan terbesar kami saat ini.

Pak Arman : Bapak, ibu. Kedatangan kami ke sini bukan hanya untuk menceramahi akan
pentingnya pendidikan, bukan itu. Kami ke sini juga membawa sebuah solusi yang cukup
baik untuk Bapak dan ibu, khususnya untuk Bima.

Ayah Bima : wah, apa itu pak?


Pak Arman : Bima tetap bisa melanjutkan pendidikannya hingga ke tingga perguruan
tinggi pak, bu, melalui program beasiswa bidik misi. Program ini ditujukan kepada calon
mahasiswa berprestasi dan tidak mampu. Beasiswa yang akan diberikan berupa uang
tunai dengan besaran yang telah ditentukan oleh pemerintah. Mengenai mekanisme
pendaftarannya, sekolah akan membantu Bima.

Ibu : Masya Allah, alhamdulillah kalau begitu. Terima kasih banyak pak Arman, Bu
Shinta.

Ayah Arman : betulkan bisa begitu pak, bu? Saya sangat bersyukur kalau memang Bima
bisa tetap melanjutkan pendidikannya. Bima, kemarilah sebentar nak!

Bima : Iya ayah. (menagis haru)

Ayah Bima : Kau tetap bisa berkuliah nak. Berterima kasihlah pada bapak, ibu gurumu
ini!

Bima : Terima kasih banyak telah banyak membantu saya Pak, Bu. (menangis haru
sambil mencium tangan Pak Arman dan Bu Shinta)

Bu Shinta dan Pak Arman : (tidak mampu berkata-kata, hanya tersenyum sambil
menahan air mata haru)

Bima : Sur, terima kasih banyak. Kamu juga sudah banyak membantu saya. (memeluk
Surya sambil menagis)

Surya : tak masalah kawan. Sudahlah, jangan dipikirkan!

Akhirnya Bima tetap bisa melanjutkan cita-citanya untuk berkuliah di perguruan tinggi
negeri dengan bantuan beasiswa yang difasilitasi oleh sekolahnya. Tak lama kemudian,
Pak Arman, Bu Shinta, dan Surya pun beranjak pergi untuk pulang ke rumah masing-
masing.

Anda mungkin juga menyukai