Anda di halaman 1dari 6

LEGENDA BATU MENANGIS

Kalimantan yang dulu disebut juga Borneo, adalah salah satu pulau terbesar di
nusantara dengan kekayaan alamnya yang menakjubkan serta hutan yang lebat
dengan ratusan sungai yang berkelok-kelok telah memberi kehidupan bagi rakyat
Kalimantan.
Alkisah nan jauh di desa terpencil di tengah pedalaman, hiduplah seorang janda tua
dengan anaknya yang bernama Darmi. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan
mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak mewariskan harta sedikitpun. Sang ibu
terpaksa bekerja di sawah orang sebagai buruh upahan. Sementara putrinya,Darmi
adalah seorang gadis yang manja. Selain manja, ia juga adalah seorang gadis yang
malas dan pesolek, kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya.
Hingga suatu hari….
(Di kediaman Darmi dan ibunya.)
Ibu Darmi : “Darmi? Darmi anakku! Ayo bantu ibu bekerja di sawah.”
Darmi : “Hah? Bekerja di sawah? Gak salah tuh?” (melihat ke ibunya)
Ibu Darmi : “Iya, nak. Sesekali bantulah ibu.”
Darmi : “Tidak. Tidak, Bu. Aku tidak mau bekerja di sawah. Nanti bisa-bisa kulitku
kotor, dan oh jari-jariku yang lentik ini bisa rusak. Uh!” (menunjukan jarinya)
Ibu Darmi : “Darmi, apa kamu tidak kasihan pada ibu?”
Darmi : “Kasihan pada ibu? Buat apa juga kasihan, gak ada gunanya! Sudahlah, ke
sawah sendiri saja!”
Demikianlah berkali-kali Darmi tidak memedulikan ibunya yang dengan susah payah
bekerja demi mendapatkan upah yang tidak terlalu besar. Namun, setiap kali Ibu
Darmi menerima upahnya, Darmi akan segera menggunakan uang itu untuk
kesenangannya sendiri.
Ibu Darmi : “Wah… untunglah, upah kali ini bisa untuk membeli beras.” (memegang uang
dengan wajah gembira) 
Darmi : “Baru dapat bayaran ya? Coba sini berapa?” (Darmi berjalan mendekati ibunya
dan langsung merebut uang upah ibunya itu)
Darmi : “Wah! Cukup nih untuk beli baju baru yang kuincar.” (Menimang uang itu
dengan wajah gembira)
Ibu Darmi : “Tapi nak… uang itu akan ibu buat untuk membeli beras.”
Darmi : “Oh, begitu ya? Nih aku kembalikan.” (Sambil melambaikan uang yang
dipegangnya)
Darmi : “Hahaha, enak aja! Uang ini akan kupakai untuk beli baju baru, biar
penampilanku ga kumal seperti ibu.”
Ibu Darmi : “Tapi kita akan makan apa nak? Jika uang itu kamu ambil?”
Darmi : “Ah! Gak mau tau! Bodoh banget jadi orang.”
Darmi pun pergi berjalan meninggalkan ibunya dengan langkah cepat. Karena tidak
dapat mencukupi kebutuhannya, Ibu Darmi pun pergi ke rumah tetangganya yang
kaya untuk meminjam uang pada keesokan harinya.
(Di rumah Pak Seno & istrinya)
Bu Seno : “Ada urusan apa, Bu? Kok sampai ke rumah saya?” (raut wajah kebingungan)
Ibu Darmi : “Hmm…” (canggung)
Bu Seno : “Ada apa?”
Pak Seno : “Ada apa, Bu? Udah gak usah malu-malu… katakan saja.”
Ibu Darmi : “Pak Seno, bolehkah saya meminjam uang untuk membeli beras? Akhir-akhir
ini saya sedang kesulitan ekonomi.”
Pak Seno : “Lah? Bukankah hari ini Ibu sudah mendapat upah dari sawah? Apakah tidak
cukup?”
Bu Seno : “Haduh, Suamiku. Masa’ kamu gak tahu, sih? Anaknya si Darmi itu pasti selalu
minta apapun secara paksa. Benar-benar anak tak tahu diri!”
Pak Seno : “Darmi? Rasanya aku pernah mendengar nama itu,” (mengingat-ingat)
Pak Seno : “Oh! Si Darmi yang katanya cantik jelita itu kan? Pemuda-pemuda desa sering
membicarakannya. Sayang sekali. Wajahnya saja yang cantik, tapi perilakunya
seperti itu.”
Bu Seno : “Hus! Jangan keras-keras, di sampingmu itu ibunya!” (berbisik)
Pak Seno : (diam sejenak untuk memikirkan apa yang hendak diperbuatnya)
Pak Seno : “Baiklah, Bu… Ini ada sedikit uang yang bisa kami berikan.” (Pak Seno
menyerahkan uang kepada Ibu Darmi)
Ibu Darmi : “Terima kasih banyak atas kemurahan Anda, Pak! Saat tiba gajian nanti, saya
janji akan segera mengembalikannya.”
Pak Seno : “Eh, tidak usah dikembalikan. Anggap saja ini sedekah.”
Bu Seno : “Iya, anggap saja ini sedekah. Tapi jangan sampai uang ini direbut oleh
anakmu, si Darmi!” (mengingatkan ibu Darmi)
Ibu Darmi : “Ba-baiklah, Nyonya. Uang ini akan saya gunakan sebaik-baiknya. Saya pamit
pulang dulu, terima kasih atas bantuannya.”
Beberapa hari kemudian Ibu Darmi hendak ke pasar untuk membeli makanan. Ia
berencana pergi ke pasar sendirian dan membeli bahan masakan dengan uang sedekah
dari Pak Seno kemarin. Namun, Darmi rupanya sedang duduk di teras depan.
Ibu Darmi : “Nak, Ibu mau ke pasar dulu, ya.”
Darmi : “Eh! Bentar, Bu! Darmi ikut dong, sekalian mau beli bedak. Bedakku udah
habis nih! Tanpa bedak, wajahku yang mulus ini nanti jadi jelek.”
Ibu Darmi : "T-tapi nak. Nanti beli bedaknya jangan yang mahal-mahal, ya. Mungkin saja
uang ibu tidak cukup.”
Darmi : “Iya, iyaa! Gini nih kalo jadi orang miskin!" (Darmi mengibaskan rambutnya) 
Darmi : "Eh, satu lagi. Aku mau ke pasar bersama Ibu, tapi Ibu harus berjalan di
belakangku.” (jari telunjuk mengarah ke belakang)
Ibu Darmi : “Kenapa memangnya, Nak?”
Darmi : “Aku tuh malu punya ibu yang jelek, kotor, keriput lagi! Uh, menyebalkan! Ayo
cepat!”
Seketika hati ibunya tersakiti oleh perkataan Darmi. Tapi ia tetap bersabar, sambil
berharap Darmi akan segera merubah sifatnya yang buruk itu. Sewaktu perjalanan
menuju pasar, Darmi dan ibunya menemui dua pemuda desa.
Pemuda 1 : “Hai, Cantik. Mau kemana nih?”
Pemuda 2 : “Iya. Mau kemana sih, kok cantik banget?”
Darmi : (diam)
Pemuda 1 : “Hey, jangan cuek sama kita dong.”
Darmi : “Biasa, mau ke pasar.”
Pemuda 2 : “Oh ya? Ke pasar sama siapa?”
Darmi : “Kalian gak lihat apa di belakang? Tuh!” (Darmi menunjuk ibunya)
Pemuda 1 : “Oh, sama ibunya.”
Darmi : “Hah? Gila apa?! Orang kek gitu kalian bilang ibuku?”
Pemuda 2 : “Terus? Itu siapa dong?” (Kebingungan)
Darmi : “Dia itu pembantuku! Masa’ muka cantik kayak aku punya ibu yang jelek
kumal seperti dia? Mikir dong.”
Pemuda 1 : “Oo, ternyata perempuan tua itu pembantumu… hahaha. Maaf, kami sudah
salah sangka.”
Pemuda 2 : “Ya sudah. Kami pergi dulu ya, dah!”
Ibu Darmi yang mendengar percakapan itu dari belakang pun mengelus dada dan
ingin menangis, tetapi ia menahannya. Darmi dan ibunya pun segera berbelanja
kebutuhan secukupnya di pasar, lalu lekas kembali ke rumah.
Di perjalanan pulang, Darmi juga bertemu dengan temannya sewaktu sekolah.
Teman 1 : “Lho, Darmi? Wahh lama tidak bertemu! Gimana kabarmu?” (terkejut)
Darmi : “Tidak terlalu buruk, kok.”
Teman 2 : “Semakin dewasa, kamu makin cantik,deh… cocok kalau kamu tinggal di kota.
Kenapa kamu tidak tinggal di kota aja?”
Darmi : “Hmm, sebenernya sih aku pingin tinggal di kota. Tetapi ya mau gimana lagi?
Kasihan pembantuku yang ada di belakang. Kalau gak ada aku, dia mau makan
apa?” (Darmi berpura-pura baik)
Teman 1 : “Tidak hanya cantik, kamu juga dermawan! Hebat banget lho! Aku baru sadar
kalau kamu kesini sama pembantumu.”
Darmi : “Sebenarnya dia itu babu karena ia tak dapat melunasi utangnya kepadaku. Tapi
ya mau gimana lagi? Aku kasihan. Makanya sekarang ia kubayar dan kujadikan
pembantu.”
Teman 2 : “Jarang lho ada orang sepertimu, hahaha. Ya udah ya, kita masih ada urusan.
Sudah dulu ya!”
Darmi : “Iya.”
Teman-teman Darmi mulai beranjak pergi sambil membicarakan Darmi.

Teman 1 : “Eh. Kamu gak merasa ada yang aneh sama Darmi dan pembantunya itu?”
Teman 2 : “Iya. Aku merasa aneh. Alasan Darmi seperti terlalu dibuat-buat. Aku merasa
kasihan pada pembantunya.”
Teman 1 : “Hmm.. bagaimana kalau kita memastikan perkataan Darmi tadi? Kita ikuti saja
Darmi sampai ke rumahnya!”
Teman 2 : “Ide bagus!”
Akhirnya, kedua teman perempuan Darmi itupun diam-diam berjalan mengikuti
Darmi dari belakang. Mereka menyusuri jalan yang makin sempit, hingga sampailah
mereka ke sebuah gubug kecil di ujung desa. Kedua teman Darmi menatap gubug yang
hampir rubuh itu tidak percaya.
Teman 1 : “Gila! Ini rumah apa kandang ayam?”
Teman 2 : “Iya! Masa’ iya si Darmi rumahnya di sini? Ternyata dia gak selevel sama
kita!”
Darmi menatap ibunya dengan angkuh.
Darmi : “Heh, Ibu! Mulai sekarang, jangan sampai semua temanku tahukalau kamu itu
adalah ibu kandungku!”
Ibu Darmi : “Tega sekali kamu, Nak. Aku ini memang ibu kamu!”
Darmi : “Itu hanya mimpi! Sudah miskin, jelek, kotor, kumal! Huh! Pantasnya kamu itu
jadi pembantuku!”
Teman-teman Darmi yang tidak sengaja mendengar pertengkaran antara Darmi dan
ibunya itu terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa kenyataan yang sebenarnya
pembantu tadi itu adalah ibu kandung Darmi.
Teman 1 : “Gila! Gosip hangat, nih! Parah!”
Teman 2 : “Parah! Ayo kita kasih tahu orang sekampung!”
Kedua teman Darmi itu kemudian berlari menuju pasar, tempat dimana orang banyak
berkumpul. Nampak di sudut pasar dua pemuda yang sedang bercanda.
Teman 2 : “Eh! Tau gak sih? Ternyata, si Darmi itu orang miskin!”
Teman 1 : “Udah miskin, bohong lagi! Ternyata tuh, pembantunya yang kemarin itu ibu
kandungnya, lho!”
Pemuda 1 : “Hah?! Yakin, kalian? Jangan asal fitnah! Darmi itu calon istriku!”
Pemuda 2 : “Enak saja! Darmi itu calon istriku! Tapi kalau dia miskin sih, ogah!”
Teman 2 : “Benar! Tadi kiita dengar sendiri! Dia itu miskin!”
Tiba-tiba, datanglah Bu Seno yang tidak sengaja mendengar percakapan empat muda-
mudi itu tentang Darmi.
Bu Seno : “Hei. Ada apa ini ramai-ramai?”
Teman 1 : “Itu lho, Bu seno. Si Darmi yang tinggal di ujung desa itu, ternyata orang
miskin yang mengaku-ngaku orang kaya!”
Teman 2 : “Iya, Bu Seno! Ibu percaya, kan?”
Bu Seno : “Astaga, kalian ini! Tidak baik membicarakan orang seperti itu! Darmi itu kan
teman kalian sendiri.”
Teman 2 : “Teman? Ewh! Gak mau banget temenan sama orang miskin!”
Pemuda 1 : “Saya juga gak jadi suka sama darmi, deh. Gak selevel!”
Bu Seno : “Hus! Sudah. Kalian jangan gossip lagi. Cepat pulang! Hari sudah mulai
malam!”
Mereka semua pun bubar meninggalkan pasar.
Keesokan harinya, Darmi memutuskan untuk pergi ke pasar dan bermain dengan
kedua pemuda yang sempat ia temui tempo hari. Ibunya kini sedang pergi memburuh
di sawah dekat pasar. Hal ini menguntungkan Darmi, karena ketika ibunya nanti
mendapatkan gaji, Darmi bisa langsung mengambil uang itu untuk membeli baju baru.
Tanpa ia duga, di sana tengah berkumpul dua teman perempuannya, pun dua pemuda
tempo hari. Darmi merasa senang bisa berkumpul bersama teman-temannya seperti
ini.
Darmi : “Hai semuanya! Salamat hanjewu!”
Teman 1 : (hanya melirik tanpa menghentikan permainannya)
Teman 2 : “Haha. Lihat, deh. Ada orang miskin mau ikut main sama kita!”
Darmi : (terdiam tanpa tahu harus berkata apa) “Apa maksud kamu?”
Pemuda 1 : “Diam deh, anak miskin! Kamu tidak pantas bicara dengan kami.”
Darmi : “Hah? Siapa yang miskin? A-aku ini orang kaya!”
Teman 1 : “Hahaha… Gila! Orang kaya? Coba lihat yang di sana itu! Dia itu ibu
kandungmu, kan? Bukan pembantumu!”
Teman 2 : “Hahaha… iya! Dia itu ibu kamu! Buruh tani di sawah ayahku!”
Pemuda 2 : “Orang miskin kok ngaku-ngaku kaya. Dasar penipu!”
Darmi bungkam. Tubuhnya lemas. Ia memandang ke arah ibunya yang ternyata juga
tengah menatap Darmi penuh iba. Darmi menangis. Ia kemudian berlari meninggalkan
keempat temannya itu sambil terisak.
Ibu Darmi : “Darmi! Terai, Darmi!”
Darmi : “Apalagi, hah?! Kamu puas kan, udah bikin malu aku? Kenapa juga kamu kerja
di sawahnya temanku? Mereka semua jadi tahu kalau kamu itu ibuku!”
Ibu Darmi : “Tapi, Nak. Kenyataannya kan memang begitu. Aku ini ibu kandungmu!”
Darmi : “Kenyataan? Ini semua gara-gara Ibu! Aku tidak pernah minta dilahirkan oleh
orang miskin yang jelek sepertimu! Aku tidak pernah mau menerima kenyataan
ini sampai kapanpun–”
Ibu Darmi : “CUKUP, DARMI! Kamu sudah keterlaluan! Ya Tuhan, tolonglah hamba-Mu
ini. Hamba-Mu sudah tidak kuat lagi menerima cobaan ini. Kutuk sajalah
anakku, Tuhan! Kutuklah ia!!”
Tiba-tiba, awan cerah berubah menjadi kelabu dan petir menggelegar. Angin
berhembus kencang, membuat Darmi ketakutan. Ia merasakan tubuhnya sulit untuk
digerakkan. Ibu Darmi menatap anaknya sendu namun ia penuh dengan kemurkaan.
Darmi : “Apa?! A-apa yang terjadi?!”
Ibu Darmi : “Karena keangkuhan dan kecongkakanmu, Tuhan mungkin menghukummu,
Anakku.”
Darmi : “I-ibu. Maafkanlah aku, Ibu!”
Darmi pun jatuh terduduk dan berubah menjadi batu. Raut wajah cantik Darmi
terlihat sedih dan ketakutan. Penyesalan memang selalu dating terlambat. Nasi sudah
menjadi bubur, penyesalan gadis itu sudah tidak berguna. Kini, batu itu dikenal
dengan sebutan ‘Batu Menangis’.

Anda mungkin juga menyukai