X.7
madrasah. Sebenarnya, anak asli orang minang dengan nama bapak Sarimin ini ingin
nasi menjadi bubur, harapan Siwan semakin berkurang setiap harinya. Tanggungan
beban biaya pembangunan selama tiga tahun di madrasah belum juga kunjung
selesai. Wali kelas Siwan semakin hari semakin semakin bosan mendengar kata
besok, besok, dan besok. Bukan keinginan Siwan untuk tidak membayar biaya
pembangunan tersebut, untuk makan sehari saja Siwan harus bekerja mengandalkan
sebuah gitar kecil dan plastik permen relaxa . Itupun uang yang didapat belum cukup
Memang benar, seharusnya Pak Sarimin mestinya bekerja untuk sang buah hati.
Tetapi, ketika Pak Sarimin sedang memilih sampah di gang perumahan warga, Pak
Dulu, Siwan mempunyai Ibu yang selalu menyiumi dan menyalami Siwan ketika
hendak pergi ke madrasah. Yah, itu dulu. Semenjak setahun terakhir ini, wajah Bu
Zubaidah, ibunya Siwan takkan pernah kembali hadir menemani Siwan. Bu Zubaidah
Kini, Siwan hanya bisa pasrah untuk menjalani hidup tanpa ditemani Ibunda tercinta.
Walau bagaimanapun, Siwan adalah anak yang rajin dalam beribadah. Ia selalu
Siwan selalu berdoa kepada Allah agar suatu hari nanti ia dapat menyembuhkan kaki
Banyak keinginan Siwan yang belum terpenuhi hingga sekarang, bersekolah adalah
salah satunya. Tepat sebulan hasil kelulusan madrasah diumumkan, cita-cita yang di
mendapat nilai tertinggi ketika hasil kelulusan, Banyak sekolah negeri membuka
peluang bagi Siwan untuk masuk tanpa melalui tes. Hal itu memang membawa kabar
berita gembira bagi Siwan. Tetapi dengan berat hati sang bapak menolak untuk
Suatu hari, Suleng temannya Siwan dating member kabar gembira pada Siwan. Baru-
baru ini ada seorang guru yang memberikan ilmu kepada anak-anak yang setingkat
dengan sekolah menengah atas khususnya bagi anak-anak jalanan yang tidak sanggup
membayar uang sekolah yang mahal. Jarak dari rumah Siwan menuju sekolah
terbuka tidak terlalu jauh, kira-kira lebih kurang 2 km. Mungkin lebih tepatnya
sekolah ini disebut sebagai kelas terbuka, karena hanya memiliki satu kelas dengan
mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia saja. Mengapa demikina dikarenakan
satu-satunya guru yang mengajar adalah Bu Kasma, tamatan pasca sarjana yang rela
meluangkan waktunya dan membagi ilmu pada anak-anak yang ingin bersekolah walau
tak tersampaikan.
“Baiklah semuanya, hari ini kita kedatangan teman baru yang akan menambah jumlah
siswa ibu tercinta menjadi delapan.” Bu Kasma menyuruh Siwan masuk dan
Pertama berjalan Siwan merasa sangat gugup. Mungkin ia merasakan akan di cela
karena tidak memakai pakaian yang bagus. Tetapi, melihat keadaan teman-teman
yang sebaya dengannya yang sama dengannya yang hamper semuanya yatim piatu,
Siwan berterimakasih kepada Allah karena disisinya masih ada sang bapak tercinta.
Suatu hari di sorenya, Bu Kasma mengajak Siwan untuk berbagi bercerita tentang
kehidupan Siwan. Di bandingkan siswa lainnya, Siwan adalah siswa yang mampu
mengetahui bahwa Pak Sarimin tak mampu lagi untuk menyekolahkan sang anak,
sang guru Bu Kasma menghibur Siwan agar semangat belajar Siwan tak lagi menurun.
“Nak, menurut ibu kamu cukup berbakat di bidang pelajaran sastra yang sulit di
pahami oleh orang banyak. Jika kau berusaha belajar, ibu akan membimbingmu untuk
meningkat. Tetapi, ia mulai berpikir, bahwa ia tidak mempunyai uang yang banyak.
“terimakasih, buk. Tapi buk, mambayia pitih skolah se ambo ndak mampu, Apo lai
“Wan, itu bukanlah sesuatu yang yang masalah. Asalkan kita di bekali otak yang
Kata-kata itu, kata-kata dengan senyuman hangat dari Bu Kasma membuat jiwa dan
Beberapa bulan kemudian, terjadi berita buruk yang menimpa sekolah Siwan.
Pemerintah akan meruntuhkan bangunan di area lapangan bola kaki. Bangunan itu
pengetahuan dari Bu Kasma. Mau bagaimana lagi, jika melakukan demo, hal itu sia-sia
belaka. Yang pertama, bangunan tua dan lapangan bola adalah milik Pemerintah kota,
Kini, semua harapan kembali lagi menjadi debu. Bagi anak-anak yang lain, itu tidak
kuat seperti sastra Indonesia. Tetapi, bagi Siwan hal itu adalah hal yang salah.
Apapun pelajaran yang diajarkan seseorang kepadanya, itu adalah ilmu yang lebih
Sekilas Siwan mulai merenungi mengenai belajar di sekolah terbuka milik Bu Kasma,
seperti apa rasanya menjadi siswa yang benar-benar siswa. Bu Kasma terlihat
kecewa melihat ulah pemerintah yang ingin meninggikan mode zaman modern dengan
mengorbankan prasaran anak-anak untuk menggapai cita-cita di masa depan.
Bagaimana Negara bisa maju jika pengetauan di telantarkan, jawaban mereka hanya
yang saat itu turut menyaksikan pendataran tanah di lapangan bola itu.
memberitahukan pada saya dan anak-anak, beginikah hal yang bisa pemerintah
lakukan untuk generasi yang akan dating tanpa ilmu dan tinggi akan gaya? Ini adalah
Indonesia, pak. Negara kita bukanlah bagian dari Negara barat yang dapat
Beberapa detik setelahnya, para pekerja, bapak-bapak, ibu-ibu, semua yang ada
Siwan terkejut. Matanya mulai memerah, mungkin saat ini, jika ia hanya sendiri
dilapangan, ia akan menangis sekuat-kuat tenaga yang ia mampu. Tapi di lapangan ini,
banyak orang yang hadir malihat proses pendataran tanah lapangan yang dulunya
penuh kenangan bagi mereka. Bu Zubaidah pernah berpesan “Waang kok gadang
bisuak jan acok bana manangih, yuang. Hiduik ko panjang lai. Ang ketek baru. Dari
pado nangih,, ancak ang gigik gulo-gulo batangkai lai.. hehehe.” Yah, Bu Zubaidah
sekilas mengatakannya sambil bercanda, tetapi disetiap kata itu mengandung makna
yang begitu mendalam bagi Siwan. Dan Akhirnya air mata tidak menetes dari pipi
sang bocah.
Beberapa hari setelahnya, Pak Wakil Gubernur terdiam dan teringat mengenai apa
“Wah, ini saya Bu, wakil walikota Z, maaf apakah ini Bu Kasma”
“Begini bu, saya turut menyesal atas kelakuan saya yang tanpa pemberitahuan
kepada ibu dan anak-anak sekalian, aktifitas mengajar belajar ibu terhenti olehnya”
“Saya yang telah menyesal berbicara lantang kepada bapak. Saya juga minta maaf
pada bapak. Mungkin itu dikarenakan saya amat saying terhadap anak-anak yang
ingin sekali bersekolah, tetapi tidak mampu membayar uang sekolah mereka.”
“Wah, jadi masalahnya seperti itu toh bu. Kalau begitu tenang saja bu. Masalah
biaya mereka bersekolah selama iga tahun ini biar saya yang membayarnya. Itu
sudah menjadi tanggung jawab saya karena kesalahan saya sendiri bu.”
Akhirnya Allah memberikan jalan bagi hambanya, yaitu Siwan dank e tujuh
temannya.
sekolah. Siwanpun lulus di SMA Negeri Bougainvail, yaitu sekolah terfaforit di kota
metropolitan ini. Ketujuh teman lainnya berda di sekolah yang berbeda dengannya.
Hati Siwan pun senang, termasuk sang bapak. Segala macam perlengkapan sekolah
dari mulai seragam di bayar oleh orang dinas pendidikan. Siwan berterimakasih
kepada Allah, dan mendoakan Bu Kasma yang telah menyebabkannya dapat kembali
menyandang tas menuju istana yang dinamakan dengan bangunan sekolah. Sudah
lama sekali ia tidak bertemu dengan guru yang ia cintai itu. Hari pertama sekolah,
Tepat pukul 8.15 Siwan diantar oleh satpam sekolah menuju kelasnya. Satu langkah
pertama, pintu masuk yang terbuat dari kayu bercat putih terbuka. Itu Bu Kasma,
Siwan melihat guru yang dikenalinya kiranya mengajar di sekolah ini dan di kelas ini.
Ia amat senang. Bu Kasma tersenyum. Dan semua murid menatap wajah lugu Siwan
dengan senyuman.
Semua siswa di dalam tercengang mendengarnya dan bertanya ingin tahu. Air mata
Siwan menetes hingga jatuh kelantai. Bu Kasma yang ia cinta tersenyum manis. Dan
-The Ends-