Anda di halaman 1dari 7

Terimakasih Untuk Bu Kasma

Oleh : Muhammad Khairul Faraby

X.7

Siwan adalah tamatan siswa madrasah tsanawiayah. Mungkin bisa dikatakan,

sertifikat terakhir yang di dapatnya hanya sampai tamatan di kelas Sembilan

madrasah. Sebenarnya, anak asli orang minang dengan nama bapak Sarimin ini ingin

sekali masuk kejenjang pendidikan hingga ia mendapat pekerjaan nantinya. Tetapi,

nasi menjadi bubur, harapan Siwan semakin berkurang setiap harinya. Tanggungan

beban biaya pembangunan selama tiga tahun di madrasah belum juga kunjung

selesai. Wali kelas Siwan semakin hari semakin semakin bosan mendengar kata

besok, besok, dan besok. Bukan keinginan Siwan untuk tidak membayar biaya

pembangunan tersebut, untuk makan sehari saja Siwan harus bekerja mengandalkan

sebuah gitar kecil dan plastik permen relaxa . Itupun uang yang didapat belum cukup

untuk makan sepiring nasi dengan sang bapak.

Memang benar, seharusnya Pak Sarimin mestinya bekerja untuk sang buah hati.

Tetapi, ketika Pak Sarimin sedang memilih sampah di gang perumahan warga, Pak

Sarimin dikejutkan dengan sepeda motor dan menabraknya hingga ia harus

mengenakan sepasang tongkat untuk beraktivitas.

Dulu, Siwan mempunyai Ibu yang selalu menyiumi dan menyalami Siwan ketika

hendak pergi ke madrasah. Yah, itu dulu. Semenjak setahun terakhir ini, wajah Bu

Zubaidah, ibunya Siwan takkan pernah kembali hadir menemani Siwan. Bu Zubaidah

meninggal karena diakibatkan oleh penyakit demam berdarah.


Bukan keinginan keluarga Siwan untuk tinggal dilingkunganyang kumuh. Tetapi, hal ini

dikarenakan pekerjaan sang bapak sebagai pemulung sampah belum berakhir.

Kini, Siwan hanya bisa pasrah untuk menjalani hidup tanpa ditemani Ibunda tercinta.

Walau bagaimanapun, Siwan adalah anak yang rajin dalam beribadah. Ia selalu

meluangkan waktunya untuk shalat berjamaah di mesjid. Setelah magribpun, Siwan

menyempatkan untuk membaca Al-Qur’an agar hari-harinya berjalan dengan lancar.

Siwan selalu berdoa kepada Allah agar suatu hari nanti ia dapat menyembuhkan kaki

bapaknya sehingga dapat berjalan normal seperti dulu.

Banyak keinginan Siwan yang belum terpenuhi hingga sekarang, bersekolah adalah

salah satunya. Tepat sebulan hasil kelulusan madrasah diumumkan, cita-cita yang di

idam-idamkan Siwan untuk menjadi sastrawan hampir menjadi debu. Dengan

mendapat nilai tertinggi ketika hasil kelulusan, Banyak sekolah negeri membuka

peluang bagi Siwan untuk masuk tanpa melalui tes. Hal itu memang membawa kabar

berita gembira bagi Siwan. Tetapi dengan berat hati sang bapak menolak untuk

menyekolahkannya dikarenakan ia tidak mempunyai cukup uang untuk membayar

uang sekolah menengah atas yang relatif mahal.

Suatu hari, Suleng temannya Siwan dating member kabar gembira pada Siwan. Baru-

baru ini ada seorang guru yang memberikan ilmu kepada anak-anak yang setingkat

dengan sekolah menengah atas khususnya bagi anak-anak jalanan yang tidak sanggup

membayar uang sekolah yang mahal. Jarak dari rumah Siwan menuju sekolah

terbuka tidak terlalu jauh, kira-kira lebih kurang 2 km. Mungkin lebih tepatnya

sekolah ini disebut sebagai kelas terbuka, karena hanya memiliki satu kelas dengan

mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia saja. Mengapa demikina dikarenakan

satu-satunya guru yang mengajar adalah Bu Kasma, tamatan pasca sarjana yang rela
meluangkan waktunya dan membagi ilmu pada anak-anak yang ingin bersekolah walau

tak tersampaikan.

Hari kamis ini, pelajaran dimulai pukul 2 siang.

“Selamat siang anak anak.” Bu Kasma menyapa murid-muridnya dengan senyuman

yang kas bibir di lengkungkan hingga terbentuk smile.

“Siang buk…” sahut ke tujuh siswanya.

“Baiklah semuanya, hari ini kita kedatangan teman baru yang akan menambah jumlah

siswa ibu tercinta menjadi delapan.” Bu Kasma menyuruh Siwan masuk dan

memperkenalkan diri pada teman yang lain.

Pertama berjalan Siwan merasa sangat gugup. Mungkin ia merasakan akan di cela

karena tidak memakai pakaian yang bagus. Tetapi, melihat keadaan teman-teman

yang sebaya dengannya yang sama dengannya yang hamper semuanya yatim piatu,

Siwan berterimakasih kepada Allah karena disisinya masih ada sang bapak tercinta.

Suatu hari di sorenya, Bu Kasma mengajak Siwan untuk berbagi bercerita tentang

kehidupan Siwan. Di bandingkan siswa lainnya, Siwan adalah siswa yang mampu

memahami pelajaran bahasa dengan sangat mudah. Dari situlah Bu Kasma

mengetahui bahwa Pak Sarimin tak mampu lagi untuk menyekolahkan sang anak,

dikarenakan pendapatannya yang semakin lama semakin menipis. Walaupun demikian,

sang guru Bu Kasma menghibur Siwan agar semangat belajar Siwan tak lagi menurun.

“Nak, menurut ibu kamu cukup berbakat di bidang pelajaran sastra yang sulit di

pahami oleh orang banyak. Jika kau berusaha belajar, ibu akan membimbingmu untuk

menggapai Universitas Indonesia.”


Pertama mendengar kata-kata tersebut semangat Siwan untuk belajar semakin

meningkat. Tetapi, ia mulai berpikir, bahwa ia tidak mempunyai uang yang banyak.

“terimakasih, buk. Tapi buk, mambayia pitih skolah se ambo ndak mampu, Apo lai

kuliah di UI.” Ucap Siwan yang menyesali hidupnya.

“Wan, itu bukanlah sesuatu yang yang masalah. Asalkan kita di bekali otak yang

cerdas ditambah dengan iman, Allah akan memberikan jalan buatmu.”

Kata-kata itu, kata-kata dengan senyuman hangat dari Bu Kasma membuat jiwa dan

pikiran Siwan bangkit untuk menggapai impian kembali.

Beberapa bulan kemudian, terjadi berita buruk yang menimpa sekolah Siwan.

Pemerintah akan meruntuhkan bangunan di area lapangan bola kaki. Bangunan itu

adalah tempat dimana Siwan dan teman-temannya untuk mendapatkan ilmu

pengetahuan dari Bu Kasma. Mau bagaimana lagi, jika melakukan demo, hal itu sia-sia

belaka. Yang pertama, bangunan tua dan lapangan bola adalah milik Pemerintah kota,

dan yang kedua bangunan tersebut dini hari sudah runtuhkan.

Kini, semua harapan kembali lagi menjadi debu. Bagi anak-anak yang lain, itu tidak

masalah, karena mereka lebih menginginkan untuk mengamen, disamping

mendapatkan uang dengan bernyanyi, mengamen tidak memerlukan penalaran yang

kuat seperti sastra Indonesia. Tetapi, bagi Siwan hal itu adalah hal yang salah.

Apapun pelajaran yang diajarkan seseorang kepadanya, itu adalah ilmu yang lebih

berharga melebihi uang orang-orang konglomerat.

Sekilas Siwan mulai merenungi mengenai belajar di sekolah terbuka milik Bu Kasma,

seperti apa rasanya menjadi siswa yang benar-benar siswa. Bu Kasma terlihat

kecewa melihat ulah pemerintah yang ingin meninggikan mode zaman modern dengan
mengorbankan prasaran anak-anak untuk menggapai cita-cita di masa depan.

Bagaimana Negara bisa maju jika pengetauan di telantarkan, jawaban mereka hanya

satu, Up too you.

Kekecewaan yang mendalam langsung disampaikan Bu Kasma kepada Wakil Gubernur

yang saat itu turut menyaksikan pendataran tanah di lapangan bola itu.

“Saya kecewa dengan aksi pemerintah membongkar bangunan disini tanpa

memberitahukan pada saya dan anak-anak, beginikah hal yang bisa pemerintah

lakukan untuk generasi yang akan dating tanpa ilmu dan tinggi akan gaya? Ini adalah

Indonesia, pak. Negara kita bukanlah bagian dari Negara barat yang dapat

melakukan ini itu dengan sesuka hati. Saya benar-benar kecewa.”

Beberapa detik setelahnya, para pekerja, bapak-bapak, ibu-ibu, semua yang ada

disekitar lapangan terdiam seribu bahasa.

Siwan terkejut. Matanya mulai memerah, mungkin saat ini, jika ia hanya sendiri

dilapangan, ia akan menangis sekuat-kuat tenaga yang ia mampu. Tapi di lapangan ini,

banyak orang yang hadir malihat proses pendataran tanah lapangan yang dulunya

penuh kenangan bagi mereka. Bu Zubaidah pernah berpesan “Waang kok gadang

bisuak jan acok bana manangih, yuang. Hiduik ko panjang lai. Ang ketek baru. Dari

pado nangih,, ancak ang gigik gulo-gulo batangkai lai.. hehehe.” Yah, Bu Zubaidah

sekilas mengatakannya sambil bercanda, tetapi disetiap kata itu mengandung makna

yang begitu mendalam bagi Siwan. Dan Akhirnya air mata tidak menetes dari pipi

sang bocah.

Beberapa hari setelahnya, Pak Wakil Gubernur terdiam dan teringat mengenai apa

yang dikatakan Bu Kasma di pinggir lapangan. Segera setelahnya ia menghubungi Bu

Kasma yang didapat dari temannya yang seangkatan dengan Bu Kasma.


(tett..tett..) Nada ponsel Bu Kasma bordering

“Hallo, assalamualaikum” ucap Pak Wakil Walikota.

“Waalaikumsalam, dengan siapa ini?” sahut Bu Kasma.

“Wah, ini saya Bu, wakil walikota Z, maaf apakah ini Bu Kasma”

“Yah, benar bapak dengan saya sendiri.”

“Begini bu, saya turut menyesal atas kelakuan saya yang tanpa pemberitahuan

kepada ibu dan anak-anak sekalian, aktifitas mengajar belajar ibu terhenti olehnya”

“Saya yang telah menyesal berbicara lantang kepada bapak. Saya juga minta maaf

pada bapak. Mungkin itu dikarenakan saya amat saying terhadap anak-anak yang

ingin sekali bersekolah, tetapi tidak mampu membayar uang sekolah mereka.”

“Wah, jadi masalahnya seperti itu toh bu. Kalau begitu tenang saja bu. Masalah

biaya mereka bersekolah selama iga tahun ini biar saya yang membayarnya. Itu

sudah menjadi tanggung jawab saya karena kesalahan saya sendiri bu.”

“terimakasih banyak atas bantuannya pak,”

“sama-sama bu… assalamualaikum bu”

“waalaikum salam pak wakil.”

Akhirnya Allah memberikan jalan bagi hambanya, yaitu Siwan dank e tujuh

temannya.

Mereka di bolehkan untuk mendaftar di berbagai sekolah negeri maksimal 2

sekolah. Siwanpun lulus di SMA Negeri Bougainvail, yaitu sekolah terfaforit di kota

metropolitan ini. Ketujuh teman lainnya berda di sekolah yang berbeda dengannya.
Hati Siwan pun senang, termasuk sang bapak. Segala macam perlengkapan sekolah

dari mulai seragam di bayar oleh orang dinas pendidikan. Siwan berterimakasih

kepada Allah, dan mendoakan Bu Kasma yang telah menyebabkannya dapat kembali

menyandang tas menuju istana yang dinamakan dengan bangunan sekolah. Sudah

lama sekali ia tidak bertemu dengan guru yang ia cintai itu. Hari pertama sekolah,

Siwan masuk dan menjadi siswa kelas X.7 di SMA Bougainvail.

Tepat pukul 8.15 Siwan diantar oleh satpam sekolah menuju kelasnya. Satu langkah

pertama, pintu masuk yang terbuat dari kayu bercat putih terbuka. Itu Bu Kasma,

Siwan melihat guru yang dikenalinya kiranya mengajar di sekolah ini dan di kelas ini.

Ia amat senang. Bu Kasma tersenyum. Dan semua murid menatap wajah lugu Siwan

dengan senyuman.

Dan Siwan pun berkata

“Terimakasih Bu Kasma atas semua seragam putih abu-abu dapat kukenakan.”

Semua siswa di dalam tercengang mendengarnya dan bertanya ingin tahu. Air mata

Siwan menetes hingga jatuh kelantai. Bu Kasma yang ia cinta tersenyum manis. Dan

saya sebagai penulis, terharu senang menulis kisah ini.

-The Ends-

Anda mungkin juga menyukai