Anda di halaman 1dari 8

Desakan Melankolis

Bisa menebak sifat asli seorang Langit? Mungkin kalian bisa mengetahuinya lewat cerita ini.
Perjuangan? Ada. Putus asa? Ada. Air mata? Ada. Namun, yang akan kalian dapatkan melalui
cerita sang Langit adalah kesuksesan merupakan perasaan terbaik yang pernah ada.

Namaku langit. Namun hidupku tak setinggi langit

Bagian 1
Selamat datang di SMA Negeri 1 Ratahan. Sekolah yang menurutku begitu menyenangkan.
Dan ini adalah kisah terakhirku berada di sekolah ini. Omong-omong, namaku Langit
Pradityo. Mamaku yang memberiku nama itu. Mamaku bernama Embun dan ia ingin
mempunyai anak bernama Langit dengan harapan anaknya itu mempunyai cita-cita setinggi
langit. Yaitu sebagai seorang dokter. Itulah aku.
Aku punya fantasi sendiri dengan sekolahku. Ada seseorang yang pernah berkata kepadaku
bahwa sekolah bukan hanya sekadar tempat menempuh pendidikan, melainkan juga tempat
untuk berimajinasi. Dan imajinasiku bermula dari sini......

Bel sekolah telah dibunyikan sekitar 5 menit yang lalu. Tetapi kebanyakan murid masih
berada di kelas mereka. Dikarenakan adanya sosialisasi untuk murid kelas 12 yang akan
segera lulus 2 bulan kedepan. Ujian sudah di depan mata, dan mulai menyebarnya formulir
promosi kampus yang ada di seluruh penjuru indonesia. Baguslah sekolah mendapat banyak
sponsor dari berbagai pihak kampus yang ada di negeri ini.
"Aku akan masuk UI lewat jalur SBM. Tapi keluargaku bisa saja menerkamku kalau aku
tidak lolos" Devan berucap sambil mendesah.
"Ngga mungkin kamu bisa lolos UI. Estimasi kamu masih serendah gravitasi di planet
Merkurius. Mending kamu nyerah aja di jalur prestasi" Teman Langit yang satu ini
mempunyai mulut yang sangat pedas. Layaknya diisi 10kg cabai. Itu adalah Vano
"Kalo aku sih, masuk kedok di UI itu terlalu muluk. Apa ngga bisa masuk universitas negeri
yang lain aja? Ngga perlu yang nomor 1 di negara sendiri kan?" Juan, si paling netral diantara
mereka, berkata dengan nada tenang dan tidak menggebu-gebu.
"Tapi kalau dari perspektifku, universitas swasta yang dipandang rendah sama mahasiswa
baru justru lebih menjaminkan proyeksi kerja yang bagus" Langit akhirnya membuka suara
"Omong-omong, pulang sekolah sebentar akan ada les umum di aula" Ucap Vano
"Oh iya, kata pak Burhan kita akan dibagi kelompok belajar" Juan menambahkan
"Hmm, menarik. Ini pasti jaminan bagus buat nilai ijazahku. Heheheh"
Dan mereka semua mulai menoyor kepala Devan.
***
Langit tidak pernah mau berkompromi dengan kelompok belajar. Ia hanya tidak suka jika
teman sekelompok yang ia dapatkan adalah orang-orang yang malas belajar, tidak mau
mendengarkan, dan semua tugas akan bergantung pada dirinya.
Tapi kali ini pak Burhan menempatkan dirinya dengan ketiga temannya dan 3 orang
perempuanke sebuah kelompok belajar.
"Energi potensial bisa menjadi energi gerak jika benda tersebut diberi gaya untuk bergerak.
Rumusnya Ep = m x g x h"
Devan sedang mencoba menghafal definisi dan rumus dari berbagai materi fisika dengan
bantuan Langit
Kelompok mereka sedang belajar di rumah Langit yang begitu sederhana. Rumahnya nyaman
dan cukup luas. Terdapat banyak boneka Pinocchio di sebuah meja. Teman-temanya yang
sering berkunjung bertanya-tanya mengapa Langit menyukai boneka tersebut dan ketika
mereka bertanya demikian, Langit hanya akan menjawab bahwa Ibunya yang memberikan
kepadanya boneka-boneka tersebut waktu ia berulang tahun sejak umur 3 tahun sampai ia
berumur 10 tahun. Soal orangtuanya, Ibunya dulu punya rumah makan di Manado, akan
tetapi rumah makan tersebut ditutup karena keuntungan yang amat sedikit. Sedangkan
Ayahnya seorang petani biasa yang bekerja di kebun dan hanya mengharapkan pendapatan
lewat panen.
Meski begitu, Langit yang merupakan anak satu-satunya mereka, memiliki harapan yang
begitu besar agar suatu saat anak mereka menjadi seorang dokter yang sukses. Seperti yang
diharapkan orang tuanya.
"UNSRAT pilihanku. Aku rasa aku sudah memenuhi penilaian diriku sendiri di sana" Mina
berucap dengan tersenyum.
"Kalau harapanku, bisa dapat proyek magang yang bagus dan kelompok belajar yang seru di
UNIMA" Kali ini Vina yang berbicara
"Harapanku, bisa menjadi perantara Tuhan yang luar biasa dan tetap menjadi pribadi yang
dipakainya untuk terus melayani" Deswita dengan senyum manisnya sedang menghayalkan
bangunan UKIT dibenaknya.
"Aku mungkin ngga akan bisa menggapai UI, tapi jurusan ekonomi ngga terlalu buruk"
kemudian Devan yang menggaruk kepalanya tidak gatal, dibalas dengan seringai sadis dari
Juan dan Vano.
"Aku suka fisika dan aku suka menggambar. Arsitek UPH menungguku" ujar Vano
"Otak memang penting, tapi fisik dan mental yang berbicara. Sekolah kedinasan jalan terbaik
untuk itu" Juan tersenyum mengingat dirinya sebentar lagi akan menyambut kampus IPDN
Mereka semua kini menghadap wajah Langit. Ia hanya diam. Sedangkan teman-temannya
tahu murid jenius itu bisa dengan gampang masuk jurusan apa saja dengan otak cemerlang
itu.
"Aku masih belum yakin"
Juan turut sedih dengan apa yang temannya tersebut alami.
"Aku rasa kamu harus cari inspirasi" Ucap Mina dengan yakin kepada Langit.
"Inspirasi? Maksudnya cari sesuatu yang bisa buat aku yakin dengan apa yang aku harapkan
untuk masa depanku?" Langit bertanya dengan hati-hati
Vina mengganguk "Jika kamu dapat inspirasi, kamu pasti ngga akan menyerah dengan
keadaan karena kamu tahu tujuanmu belajar dan berusaha untuk apa. Jangan takut untuk
terinspirasi pada sesuatu. Juga jangan terlalu fokus dengan apa yang kamu kerjakan, kamu
juga harus fokus dengan tujuannya. Bagaimana cara menemukannya? Adalah dengan
berimajinasi"
***
Keesokan harinya, Langit bangun jam 6 pagi. Dia terlambat bangun karena tidak memasang
alarm tadi malam. Ia segera mengayuh sepeda dengan cepat hingga sampai di sekolah.
Untunglah gerbang sekolah belum di tutup. Saat berlari menuju kelasnya, ia menabrak bahu
seorang gadis yang sedang membaca buku.
"Maaf, aku ngga bermaksud. Aku lagi buru-buru" Langit memberikan buku tersebut ke
pemiliknya. Namun saat ia hendak lari lagi, ia mencoba mengingat buku tersebut. Sepertinya
ia pernah membaca buku itu.
"Hujan rintih-rintih, Aan Mansyur?" Langit langsung menghadap wajah itu.
"Kamu tahu buku ini?" Tanya gadis itu
"Tahulah, itu kan buku yang lagi terkenal tahun lalu" Langit menjadi sumrigah. Gadis itu
tersenyum
"Maaf banget, tapi aku harus ke-" ucapan Langit terhenti ketika melihat tas kecil yang
ditenteng gadis yang berkulit putih pucat itu. Langit bisa melihat isi dari tas kecil tersebut.
Sketchbook? Gadis itu segera berbalik dan memasukkan buku Aan Mansyur ke dalam tas
kecilnya. Ia berjalan menuju kelas XII Ipa 3
"Nama kamu siapa?" Teriak Langit.
Gadis itu mundur 3 langkah dan kembali menghadap Langit. Setelah itu, berlari dan masuk
ke kelasnya.
"Amerika"

Bagian 2
Setelah menaruh barang-barangnya di dalam tas, Langit dan teman-temannya hendak keluar
dari ruang les namun dihadang oleh pak Burhan
Pak Burhan memanggil seseorang diluar kelas. Sehingga mereka bertujuh dibuat penasaran.
Kemudian muncullah seorang perempuan yang dijumpai langit tadi pagi.
"Ini Amerika Gustavo. Dia akan bergabung bersama kalian mulai besok. Bapak
memperkenalkan dia hari ini supaya kalian boleh lebih dekat dengannya" Pak Burhan
kemudian mengangguk kepada Amerika dan segera keluar kelas.
"Yess kita sekelompok" Vina berteriak senang karena mempunyai teman sekelas sekaligus
teman sekelompok belajar.
"Kalian sekelas?" Tanya Juan yang dibalas anggukan oleh Vina.
"Yasudah, selamat bergabug Amerika. Semoga betah" ujar Devan dengan seringai menggoda.
Anak itu segera ditarik oleh Juan dan Vano keluar kelas sedangkan Mina dan Vina dan
Deswita mengikuti mereka dari belakang. Langit menunggu Amerika keluar namun gadis itu
masih melihat papan tulis kelas yang belum dihapus oleh Langit. Di papan tulis ada berbagai
rumus kimia yang dipelajari mereka tadi.
"Konfigurasi elektron?" Pandangan Amerika beralih dari papan tulis, ke wajah Langit.
"Iya, kami baru saja mempelajari teori Dalton dan Rutherford. Besok akan dipelajari
Thomson dan kuantum"
Amerika membulatkan mulutnya. Mereka keluar dari kelas tersebut
"Jadi, Amerika ya?"
Amerika tertawa dalam keadaan yang sangat canggung itu.
“Dulu, nenekku seorang dokter yang sempat mendapat bagian untuk bekerja disana. Saat itu
masih dalam keadaan perang dunia. Dan nenekku selalu mengenang masa-masa
perjuangannya di Amerika sana, karena saat itu banyak berjatuhan korban akibat perang.
Karena itulah cucunya ini bernama Amerika, sebab nenek ingin melihat seluruh jasa yang
telah dia korbankan di diriku"
Mendengar cerita Amerika itu, membuat Langit sangat terkesan.
"Nenekmu sangat keren. Aku berharap bisa seperti itu" Langit mengadahkan wajahnya ke
langit”
***
Hari ini, Langit dan seluruh teman-temannya mengunjungi Aer konde rataha, setelah sebulan
mereka belajar bersama. Ini semua awalanya adalah ide Amerika, Mina, Deswita dan Vina
yang mengusulkan liburan 1 hari saat mereka sedang H-7 ujian.
"Kamu bilang kita cuma sehari bisa begini kan Mer?" Mina menyenggol siku Amerika
sembari tertawa. Amerika mengerakkan kepalanya yang basah.
"Aku tahu" Amerika menghadapkan wajahnya ke langit dan menghirup udara yang segar
Amerika melihat Langit yang sedang duduk di sebuah batu, memandang teman-temannya
yang sedang bergembira dalam air. "Hei. Kenapa ngga gabung? Tadi Vano cari kamu"
Langit nampak murung. Amerika naik dari air dan duduk disamping laki-laki itu.
"Semuanya baik-baik aja kan?" Tanya Amerika
"Semua baik-baik aja. Cuma kepikiran sedikit, setelah ujian ini aku akan coba masuk
kedokteran Unsrat" Wajah Langit memandang ke tanah. Seperti sedang merenungi sesuatu.
"Kamu pasti bisa. Nilaimu pasti memenuhi" Amerika tersenyum, mencoba meyakinkan
Langit bahwa ia pasti berhasil.
"Kenapa kamu begitu percaya aku pasti bisa? Lalu gimana dengan kamu sendiri? Sampai
sekarang kamu ngga pernah bilang minat jurusan yang ingin kamu masuki dimana"
Amerika tertegun mendengar itu.
“Aku tidak tahu dengan apa yang akan terjadi padaku tapi aku yakin dengan pasti semuanya
sudah Tuhan sediakan" mencoba mencari udara, Amerika memandang teman-temannya yang
sedang bermain di air.
"Kalian yang menginspirasiku. Kalian yang membuatku semangat untuk belajar. Waktu-
waktu yang telah aku lalui bersama kalian adalah waktu aku mendapat banyak percakapan
ilmiah yang menarik. Dan aku sadar itu karena kalian. Kalian yang membuat aku tidak
menyerah terhadap nilai. Tidak pernah menyerah terhadap keadaan karena kalian membuat
semuanya jadi ringan"
Ternyata benar apa yang dikatakan Aan Mansyur 'Setiap orang adalah lukisan, jika tak
membiarkan diri terperangkap bingkai'

Bagian 3
HARI PERTAMA UJIAN
"Langit kemana ya? Hari ini ngga kelihatan" Vina bertanya kepada teman-teman Langit.
Ujian mereka hari pertama sudah selesai. Semuanya berjalan dengan baik. Namun baik Vano,
Juan dan Devan sama-sama diam dengan perubahan sikap sahabat mereka. Sedangkan
Amerika membawa mereka ke mode santai.
"Mungkin dia hanya ingin fokus sejenak. Dia menghindari kita karena ingin lebih fokus
belajar" kata Amerika, menenangkan seluruh temannya. "Ya tapi kenapa? Kan kita belajar
sama dia. Bukan bermain" Ucap Mina dan diangguki oleh Vano.
"Iya. Aku juga bingung dengan sikap dia sekarang. Biasanya dia peduli dengan sahabatnya
saat kita ulangan seperti biasa. Kita berempat yang dia ajak untuk belajar bersama. Tapi saat
ini dia benar-benar lain"
"Apa ada yang salah dengan kita?" Deswita menunduk.
"Mungkin memang benar, ada yang salah dengan kita. Sampai dia menghindari kita seperti
itu" Juan akhirnya meluruskan pembicaraan mereka
"Tapi apa?" Tanya Devan
Amerika akhirnya sadar bahwa itu mungkin karena ucapannya kepada Langit di Aer Konde
waktu itu. Ini adalah salahnya
"Teman-teman, aku harus ke rumah Langit"
***
Seseorang yang membawa buku sketsa berdiri di depan rumah tua yang temboknya sudah
sangat usang.
Ini yang seharusnya sudah ia lakukan sejak ia hadir di kehidupan Langit. Ini adalah kesalahan
Amerika. Dan ia harus meminta maaf
Pintu akhirnya terbuka. Dan sesuai dugaan, Langitlah yang membuka pintu rumahnya.
Kelihatan sekali wajah Langit yang ramah saat membuka pintu. Namun semuanya berubah
saat ia melihat wajah orang yang mengetok pintu.
"Lang, kamu ngga apa-apa?" Amerika selalu bertanya.
"Kamu pikir setelah kata-kata kamu 2 hari yang lalu, aku akan baik-baik saja?" Langjt keluar
dari rumahnya dan memperlihatkan wajah kecewanya pada Amerika.
"Aku hanya bilang sejujurnya. Aku memang ngga mengerti keadaan kamu waktu kamu
bilang kamu akan ambil beasiswa kedokteran. Karena aku pikir itu ngga ada"
"IYA ITU MEMANG NGGA ADA! Ngga ada jurusan kedokteran untukku, karena aku ngga
punya uang, ngga punya harapan, ngga punya cita-cita-"
"LANGIT TENANG!"
"NGGA PUNYA INSPIRASI YANG REALISTIS SEPERTI KAMU!!!"
Amerika menutup telinganya. Ia ingin tuli untuk saat itu juga. Ia tidak ingin melihat sekaligus
mendengar kesedihan yang ditunjukkan lewat amarah seperti yang Langit tunjukkan padanya
saat ini. Menyesakkan.
"Aku bisa apa dengan harapanku Mer? Ngga ada. Aku manusia kosong. Aku ngga seperti
kamu yang santai dengan buku sketsa yang selalu kamu bawa. Aku ngga punya khayalan
belaka seperti kamu, aku ngga bisa santai dengan membaca buku Hujan rintih-rintih, kamu
punya nenek yang berjasa di bidang yang aku kagumi. Bidang yang aku ngga akan pernah
masuki. Kamu beruntung karena hidup kamu sudah sempurna. Tapi hidup aku ngga se-
sempurna itu Mer. Aku kacau didalam. Sekarang kamu lihat betapa kacau hidup aku"
Sekarang Amerika yang menangis. Tas kecil yang ia bawa ia remas. Amerika sejak awal
seharusnya tidak memperlihatkan hidupnya kepada Langit
"Aku salah. Aku minta maaf Lang. Aku bodoh sudah memperlihatkan hidupku yang ngga
bisa membawamu ke zona yang nyaman"
"Kamu terlalu banyak kata-kata Mer. Kamu juga bilang kamu sudah punya inspirasi. Kamu
bilang semuanya saat keadaanku sedang dalam posisi sebaliknya. Bodoh. Aku tidak
mempunyai inspirasi apapun"
"Lakukan semau kamu Lang! Lakukan! Anggaplah aku dan teman-teman yang lain hanyalah
patung. Kami memang tidak pernah memberi inspirasi padamu"
"Berhenti mengucapkan kata 'inspirasi' kata itu sudah mati"
Amerika mengibaskan air matanya. Sudah cukuplah semua ini.
"Ini buat kamu" Amerika melemparkan tas kecil yang selalu ia bawa ke sekolah.
Amerika beranjak, namun berbalik. Seperti waktu pertama kali mereka bertemu, Langit
mengetahui satu hal. Bahwa Amerika tidak pernah berhenti untuk menyatakan kebenaran
kepadanya. Sayangnya, kebenaran adalah hal yang menyakitkan untuk diterima
Setelah Amerika hilang dari pandangannya, laki-laki itu kemudian memungut tas yang tadi
gadis itu lemparkan.
Isinya adalah jas dokter dan buku sketsa
***
"Langit, sini nak" ibunya memanggil Langit yang baru saja masuk ke ruang tamu, membawa
segelas air. Ibunya yang sedang membuka foto album keluarga menyuruhnya untuk duduk. Ia
menaruh gelas ke atas meja
"Kamu tahu mama bangga sama kamu kan?" Tanya ibunya
Langit hanya bisa mengangguk
"Kamu tahu mama dan papa sayang sama kamu, lalu apa yang kamu ragukan dari kami?"
Pertanyaan ibunya kali ini membuat pertahanan Langit runtuh.
"Seperti yang kamu tahu, mama ngga akan meninggalkan kamu sendirian berjuang. Kamu
permata mama kan? Mama selalu bilang begitu. Kepercayaan kamu yang kurang atas kami
nak" ibunya mencium kening putranya dan segera menenggelamkan Langit ke pelukan yang
hangat.
Langit menangis dengan keras. Ibunya benar, dia terlalu menyiksa diri sendiri sampai
melupakan orang yang selalu ada untuknya. Lebih parah lagi bahwa dia membawa orang-
orang itu kedalam masalahnya sampai membuat orang tersebut tersakiti karena ulahnya.
"Maafkan Langit ma, Langit memang egois. Langit menyusahkan Mama dan Papa karena
sifat langit yang perfeksionis. Langit membuat kalian khawatir sekaligus kecewa. Langit
terima semua itu ma"
"Shhh, kamu sama sekali ngga menyusahkan kami sayang, mama ngga keberatan dengan
semua ini demi membantu anak mama meraih cita-citanya. Sudah menjadi kewajiban orang
tua untuk menyediakan semua yang diperlukan anak-anak mereka. Kamu anak kami, kamu
adalah mimpi yang harus kami perjuangkan" Akhirnya, Pinocchio yang nakal itu telah
berubah menjadi anak yang patuh

Bagian 4 – END-
‘SELAMAT! ANDA LOLOS SELEKSI SNMPTN TAHUN 2007'
6 tahun kemudian.
Langit memandang buku sketsa yang ada di meja kerjanya. Ia akan segera pulang dari rumah
sakit setelah memeriksa semua pasiennya, 6 tahun berlalu dan banyak yang berubah. Devan
telah menjadi karyawan di sebuah kantor ekonomi terbesar di bandung. Dan setiap kali
mereka berempat berjumpa, Juan akan selalu menggunakan seragam kedinasannya. Ia
sekarang bekerja di kantor walikota manado, dan sebentar lagi akan mencalonkan diri sebagai
gubernur yang baru di kota ini. Sedangkan Vano, ia telah menjadi seorang design interior
sekaligus arsitektur terkenal.
Para gadis, Mina yang sudah bekerja di Ratatotok dengan gelar S.pt, Vina yang sekarang
sudah mengajar di sekolah mereka, Deswita yang baru saja menjadi Vikaris pendeta, dan
Amerika......
Yang Langit dengar, Amerika memilih fakultas sastra di universitas indonesia. Gadis itu
sekarang telah menjadi seorang penulis buku puisi, novel, dan berbagai cerpen. Mereka
bertemu bulan lalu dan tentu saja, Langit meminta maaf karena baru mengembalikan buku
sketsa milik perempuan itu, dan juga maaf karena baru meminta maaf setelah 6 tahun berlalu.
“Aku bisa tahu dirimu Lang, kamu teratur dan sempurna. Kamu keras kepala dan ingin
semuanya berjalan sesuai ekspektasimu. Tapi sekarang, kamu tidak lagi keras kepala karena
hidupmu tidak lagi keras, melainkan ringan. Kamu tidak lagi menilai setiap sisi hidupmu
dengan hal-hal negatif melainkan positif. Dan kamu tidak lagi menganggap hidup ini sulit
karena kamu sudah menikmatinya"
"Kamu melankolis yang selalu mendesak takdir kamu sendiri"
"Melankolis?" Tanya Langit, dibalas anggukan dari Amerika
"Iya. Salah satu kepribadian dari keempat kepribadian menurut Galenus Claudius. Orang
yang melankolis adalah orang yang perfeksionis. Si perfeksionis yang ingin semuanya
berjalan sesuai pengaturan rencananya. Kamu ingin hidupmu itu sempurna, sedangkan hal
mengejar sempurna itu bisa dikatakan ilegal. Semuanya butuh proses yang berliku-liku"
Kini Langit melihat dirinya yang dulu penuh dengan perjuangan. Semua itu dia simpan dalam
kenangan manis. Kenangan itu yang membuatnya ada seperti sekarang. Menjalani tugas dan
tanggung jawabnya sebagai dokter. Sebagai seorang pribadi yang melankolis, bukanlah
masalah baginya untuk tetap mengatur hidup dengan lebih baik.
Sikap perfeksionis itu, akan Langit pakai untuk membuat perjuangan lebih besar nantinya.
Malam itu, Amerika beristirahat di kamarnya. Mengingat bahwa seminggu lagi, ia akan
kembali ke jakarta untuk mengurus ujian S2 nya di UI
Ia membuka lembaran akhir buku sketsanya yang sudah dikembalikan Langit. Disitu tertulis ;
'Melalui pengalaman yang menyakitkan namun menguntungkan ini, aku belajar bahwa saat
sang pencipta mendidik kita, hasil terpenting bukanlah apa yang kita peroleh, melainkan
menjadi orang seperti apa kita nanti'
- END -

Anda mungkin juga menyukai