Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN 1

Selamat datang di SMA Negeri 1 Ratahan. Sekolah yang menurutku begitu


menyenangkan. Dan ini adalah kisah terakhirku berada di sekolah ini. Omong-omong,
namaku Langit Pradityo. Mamaku yang memberiku nama itu. Mamaku bernama
Embun dan ia ingin mempunyai anak bernama Langit dengan harapan anaknya itu
mempunyai cita-cita setinggi langit. Yaitu sebagai seorang dokter. Itulah aku.
Keluargaku sebenarnya tidak menyukai sekolah negeri. Mereka lebih senang kalau
aku bersekolah di SMA swasta. Aku mungkin berpotensi bisa lolos ke sekolah yang
aku impikan, namun tidak dengan keuangan yang dipegang keluargaku. Menjadi
dokter bukanlah hal penting bagiku. Tapi bagi keluargaku.
Tapi aku mencoba meluruskan pola pikirku. Entah itu sekolah negeri maupun swasta,
keduanya berfungsi untuk mendidik murid-murid. Dari segi intelegensi maupun sikap.
Walau kualitas dan fasilitasnya yang berbeda.
Aku punya fantasi sendiri dengan sekolahku. Ada seseorang yang pernah berkata
kepadaku bahwa sekolah bukan hanya sekadar tempat menempuh pendidikan,
melainkan juga tempat untuk berimajinasi.
Dan imajinasiku bermula dari sini......
Bel sekolah telah dibunyikan sekitar 5 menit yang lalu. Tetapi kebanyakan murid
masih berada di kelas mereka. Dikarenakan adanya sosialisasi untuk murid kelas 12
yang akan segera lulus 2 bulan kedepan. Ujian sudah di depan mata, dan mulai
menyebarnya formulir promosi kampus yang ada di seluruh penjuru indonesia.
Baguslah sekolah mendapat banyak sponsor dari berbagai pihak kampus yang ada di
negeri ini.
"Aku akan masuk UI lewat jalur SBM. Tapi keluargaku bisa saja menerkamku kalau aku
tidak lolos" Devan berucap sambil mendesah.
"Ngga mungkin kamu bisa lolos UI. Estimasi kamu masih serendah gravitasi di planet
Merkurius. Mending kamu nyerah aja di jalur prestasi" Teman Langit yang satu ini
mempunyai mulut yang sangat pedas. Layaknya diisi 10kg cabai. Itu adalah Vano
"Kalo aku sih, masuk kedok di UI itu terlalu muluk. Apa ngga bisa masuk universitas
negeri yang lain aja? Ngga perlu yang nomor 1 di negara sendiri kan?" Juan, si paling
netral diantara mereka, berkata dengan nada tenang dan tidak menggebu-gebu.
"Tapi kalau dari perspektifku, universitas swasta yang dipandang rendah sama
mahasiswa baru justru lebih menjaminkan proyeksi kerja yang bagus" Langit akhirnya
membuka suara
"Bilang aja Binus" Devan meledeknya
"Aku ngga cuma kasih perhatianku di Binus aja, aku juga masukin Telkom sama
Muhammadiyah" ucap Langit, karena ia tidak menerima pernyataan dari Devan.
Keinginan Langit untuk segera berada di universitas Bina Nusantara sangat besar.
Semua teman-temannya pun tahu bagaimana sikap berlebihan lelaki itu ketika
mereka sering membicarakan mengenai universitas yang akan mereka masuki
nantinya.
"Bukannya aku ragu sama kamu Lang, tapi apa kamu bener-bener udah siap masuk
Binus dengan segala yang kamu punya sekarang?" Tanya Juan pada Langit.
Mendengar itu, raut wajah Langit berubah. Mengingat bahwa ayah dan ibunya
dirumah berusaha keras menyekolahkan dirinya. Namun yang tidak ia yakini adalah;
kemampuan ayah dan ibunya untuk membayar semua keperluannya untuk sekolah.
Namun apapun yang dilalui Langit, ia tetap percaya dengan apa saja yang
orangtuanya usahakan baginya.
"Omong-omong, pulang sekolah sebentar akan ada les umum di aula" Ucap Vano
"Oh iya, kata pak Burhan kita akan dibagi kelompok belajar" Juan menambahkan
"Hmm, menarik. Ini pasti jaminan bagus buat nilai ijazahku. Heheheh"
Dan mereka semua mulai menoyor kepala Devan.

*
Langit tidak pernah mau berkompromi dengan kelompok belajar. Ia hanya tidak suka
jika teman sekelompok yang ia dapatkan adalah orang-orang yang malas belajar,
tidak mau mendengarkan, dan semua tugas akan bergantung pada dirinya.
Tapi kali ini pak Burhan menempatkan dirinya dengan ketiga temannya dan 3 orang
perempuan ke sebuah kelompok belajar.
"TO terakhir kita akan dimulai minggu depan. Bapak harap, kalian semua bisa belajar
dengan baik. Karena ini adalah momen terakhir kalian di sekolah ini, maka bersikap
baiklah pada guru-guru dan kerjakan semua tugas kalian yang belum selesai.
Bagaimana kalian mau masuk perguruan tinggi yang akreditasinya baik sedangkan
tugas kalian di sekolah belum tuntas semua?" Aura yang diberikan pak Burhan
memang tidaklah main-main. Guru Fisika itu memang suka mengancam anak
didiknya untuk selalu buat tugas yang diberikannya.
Sering bahkan selalu, Devan dan teman-temannya mengeluh padanya akan sulitnya
soal fisika yang diberikan pak Burhan kepada mereka. Baik itu tentang Dimensi,
Mekanika, Gelombang bunyi, dan yang menurutnya sulit, yaitu fisika kuantum.
"Peringkat satu, berdiri"
"Ya pak" Langit berdiri menghadap seluruh teman seangkatannya yang sedang
berkumpul di aula.
"Apa saja komposisi di galaksi bima sakti?"
Pertanyaan astronomi? Oke
"Bima sakti atau yang disebut jalur susu terdiri dari gas dan debu yang mengandung
kosmis, dan juga miliaran bintang"
Pak Burhan menghadap Langit yang tidak ragu dalam menjawab
"Massa?"
"1,5 miliaran massa dari matahari" Langit mengangkat kedua alisnya
Pak Burhan menghela napas
"Silahkan duduk"
Semua orang yang berada di aula melihat Langit dengan wajah ngeri. Peringkat 1
umum mereka memang selalu menjadi sorotan seperti itu di mata guru-guru.

*
"Energi potensial bisa menjadi energi gerak jika benda tersebut diberi gaya untuk
bergerak. Rumusnya Ep = m x g x h"
Devan sedang mencoba menghafal definisi dan rumus dari berbagai materi fisika
dengan bantuan Langit

Kelompok mereka sedang belajar di rumah Langit yang begitu sederhana. Rumahnya
nyaman dan cukup luas. Terdapat banyak boneka Pinocchio di sebuah meja. Teman-
temanya yang sering berkunjung bertanya-tanya mengapa Langit menyukai boneka
tersebut padahal Langit adalah seorang lelaki yang biasanya para lelaki tidak
menyukai boneka apapun. Dan ketika mereka bertanya demikian, Langit hanya akan
menjawab bahwa Ibunya yang memberikan kepadanya boneka-boneka tersebut
waktu ia berulang tahun sejak umur 3 tahun sampai ia berumur 10 tahun. Soal
orangtuanya, Ibunya dulu punya rumah makan di Manado, akan tetapi rumah makan
tersebut ditutup karena keuntungan yang amat sedikit. Sedangkan Ayahnya seorang
petani biasa yang bekerja di kebun dan hanya mengharapkan pendapatan lewat
panen.
Meski begitu, Langit yang merupakan anak satu-satunya mereka, memiliki harapan
yang begitu besar agar suatu saat anak mereka menjadi seorang dokter yang sukses.
Seperti yang diharapkan orang tuanya.
"Sebentar lagi kita akan lulus, harapan kalian untuk masa depan kalian masing-
masing bagaimana?" Juan memandang semua orang yang ada di ruangan tamu
tersebut
"Aku ngga berharap bisa memenuhi harapanku ke Stanford atau Cambridge, tapi
UNSRAT pilihanku. Aku rasa aku sudah memenuhi penilaian diriku sendiri di sana"
Mina berucap dengan tersenyum.
"Kalau harapanku, bisa dapat proyek magang yang bagus dan kelompok belajar yang
seru di UNIMA" Kali ini Vina yang berbicara
"Harapanku, bisa menjadi perantara Tuhan yang luar biasa dan tetap menjadi pribadi
yang dipakainya untuk terus melayani" Deswita dengan senyum manisnya sedang
menghayalkan bangunan UKIT dibenaknya.
"Aku mungkin ngga akan bisa menggapai UI, tapi jurusan ekonomi ngga terlalu
buruk" kemudian Devan yang menggaruk kepalanya tidak gatal, dibalas dengan
seringai sadis dari Juan dan Vano.
"Aku suka fisika dan aku suka menggambar. Arsitek UPH menungguku" ujar Vano
"Otak memang penting, tapi fisik dan mental yang berbicara. Sekolah kedinasan jalan
terbaik untuk itu" Juan tersenyum mengingat dirinya sebentar lagi akan menyambut
kampus IPDN
Mereka semua kini menghadap wajah Langit.
Ia hanya diam. Sedangkan teman-temannya tahu murid jenius itu bisa dengan
gampang masuk jurusan apa saja dengan otak cemerlang itu.
"Aku masih perlu berpikir. Binus bukan tujuanku karena aku benci akuntansi. Dan
kedokteran Unsrat hanya akan mencekikku. Aku masih belum yakin"
Juan turut sedih dengan apa yang temannya tersebut alami.
"Lang, kamu pasti bisa. Ada banyak jalan yang bisa kamu lalui untuk merdeka. Kamu
hanya belum menemukan tujuan kamu" ujar Deswita
Jalan?
"Gimana caranya aku menemukan tujuan?" tanya Langit
"Yaampun Lang, kamu pintar tapi pura-pura bodoh atau gimana?" Vano yang jadi
heran dengan sahabatnya yang satu ini
"Aku rasa kamu harus cari inspirasi" Ucap Mina dengan yakin kepada Langit.
"Inspirasi? Maksudnya cari sesuatu yang bisa buat aku yakin dengan apa yang aku
harapkan untuk masa depanku?" Langit bertanya dengan hati-hati
Vina mengganguk "Jika kamu dapat inspirasi, kamu pasti ngga akan menyerah dengan
keadaan karena kamu tahu tujuanmu belajar dan berusaha untuk apa.
Jangan takut untuk terinspirasi pada sesuatu. Juga jangan terlalu fokus dengan apa
yang kamu kerjakan, kamu juga harus fokus dengan tujuannya. Bagaimana cara
menemukannya? Adalah dengan berimajinasi"

*
Keesokan harinya, Langit bangun jam 6 pagi. Dia terlambat bangun karena tidak
memasang alarm tadi malam. Ia segera mengayuh sepeda dengan cepat hingga
sampai di sekolah. Untunglah gerbang sekolah belum di tutup. Saat berlari menuju
kelasnya, ia menabrak bahu seorang gadis yang sedang membaca buku.
"Maaf, aku ngga bermaksud. Aku lagi buru-buru" Langit memberikan buku tersebut
ke pemiliknya. Namun saat ia hendak lari lagi, ia mencoba mengingat buku tersebut.
Sepertinya ia pernah membaca buku itu.
"Hujan rintih-rintih, Aan Mansyur?" Langit langsung menghadap wajah itu.
"Kamu tahu buku ini?" Tanya gadis itu
"Tahulah, itu kan buku yang lagi terkenal tahun lalu" Langit menjadi sumrigah.
Gadis itu tersenyum
"Buku ini berarti banget buat aku. Dan kamu dengan kurang ajarnya menjatuhkan
buku yang Ayah aku berikan" Gadis itu tiba-tiba memasang wajah muram.
"Maaf banget, tapi aku harus ke-" ucapan Langit terhenti ketika melihat tas kecil yang
ditenteng gadis yang berkulit putih pucat itu. Langit bisa melihat isi dari tas kecil
tersebut.
Sketchbook?
"Kamu suka menggambar?" Tanya Langit, kemudian
"Iya. Dan setelah ini aku mungkin bakal gambar wajah panik kamu tadi yang takut
banget terlambat masuk kelas" Gadis itu segera berbalik dan memasukkan buku Aan
Mansyur ke dalam tas kecilnya. Ia berjalan menuju kelas XII Ipa 3
"Nama kamu siapa?" Teriak Langit.
Gadis itu mundur 3 langkah dan kembali menghadap Langit. Setelah itu, berlari dan
masuk ke kelasnya.

"Amerika"
BAGIAN 2

Setelah menaruh barang-barangnya di dalam tas, Langit dan teman-temannya


hendak keluar dari ruang les namun dihadang oleh pak Burhan
"Kalian sudah mau pulang?"
"Memangnya kenapa pak?" Vano duluan bertanya
"Akan ada orang tambahan di kelompok kalian" kata pak Burhan
"Orang tambahan? Siapa lagi pak?" Kemudian Devan bertanya
Pak Burhan memanggil seseorang diluar kelas. Sehingga mereka bertujuh dibuat
penasaran. Kemudian muncullah seorang perempuan yang dijumpai langit tadi pagi.
"Ini Amerika Gustavo. Dia akan bergabung bersama kalian mulai besok. Bapak
memperkenalkan dia hari ini supaya kalian boleh lebih dekat dengannya" Pak Burhan
kemudian mengangguk kepada Amerika dan segera keluar kelas.
"Yess kita sekelompok" Vina berteriak senang karena mempunyai teman sekelas
sekaligus teman sekelompok belajar.
"Kalian sekelas?" Tanya Juan yang dibalas anggukan oleh Vina.
"Yasudah, selamat bergabug Amerika. Semoga betah" ujar Devan dengan seringai
menggoda. Anak itu segera ditarik oleh Juan dan Vano keluar kelas sedangkan Mina
dan Vina dan Deswita mengikuti mereka dari belakang
Langit menunggu Amerika keluar namun gadis itu masih melihat papan tulis kelas
yang belum dihapus oleh Langit. Di papan tulis ada berbagai rumus kimia yang
dipelajari mereka tadi.
"Konfigurasi elektron?" Pandangan Amerika beralih dari papan tulis, ke wajah Langit.
"Iya, kami baru saja mempelajari teori Dalton dan Rutherford. Besok akan dipelajari
Thomson dan kuantum"
Amerika membulatkan mulutnya.
"Kamu boleh bantu aku? Aku terlambat pelajari materi gaya antar molekul"
Langit tertawa "Gaya antar molekul punya banyak sub-bab. Aku ngga bisa"
"Tapi kamu kan peringkat 1 umum di sekolah. Ajari aku sedikit demi sedikit. nilai rata-
rata TO-ku rendah dan bisa saja aku tidak lulus"
Langit mengernyit mendengar pernyataan Amerika.
"Memang nilai rata-rata TO kamu berapa?" Tanya Langit pada Amerika
Raut wajah gadis itu berubah
"Lima puluh tujuh"
Langit menganga tidak percaya
"Serius?" Tanyanya, memastikan.
Amerika mengangguk tanda bahwa benar nilai Try out miliknya memang 57 dan itu
membuat Langit menjadi heran. Karena ia pikir, orang yang membaca novel Hujan
rintih-rintih karya Aan mansyur itu adalah orang yang pandai meskipun tidak seperti
dirinya. Akan tetapi, Amerika yang dia pikir gadis cantik yang sangat kelihatan royal
adalah anak yang berprestasi ternyata sebaliknya. Oke, Amerika mungkin kelihatan
royal, tapi untuk statement kedua agak salah di mata Langit.
"Terus aku harus bantu kamu belajar, begitu?" Langit bertanya kembali
"Iya. Boleh kan?" Amerika memasang wajah memohon kepadanya. Membuat Langit
tak tega melihat itu.
"Tapi aku ada syarat"
Gadis itu langsung penasaran.
"Kamu harus pinjamkan aku buku Hujan rintih-rintih dan kita anggap ini kesepakatan"
Langit mengulurkan tangannya
Tanpa ragu, Amerika menyambutnya
"Setuju"

*
"Jadi, Amerika ya?"
Amerika tertawa dalam keadaan yang sangat canggung itu.
"Iya. Alasan kenapa namaku Amerika adalah karena aku lahir di california" Amerika
tersenyum, seperti mengingat masa lalu.
Langit berjalan sambil menahan sepedanya. Mereka saat ini sedang berjalan keluar
dari halaman sekolah. Teman-teman mereka sudah pulang lebih dahulu. Sekolah pun
menjadi sepi, tersisa beberapa guru yang sedang melakukan tugas sisa mereka.
"Wow! California? Gimana caranya kamu bisa sampai disini?" Langit sungguh tidak
percaya
Amerika menaikkan volume tawanya
"Aku ngga lahir di California. Dulu, nenekku seorang dokter yang sempat mendapat
bagian untuk bekerja disana. Saat itu masih dalam keadaan perang dunia. Dan
nenekku selalu mengenang masa-masa perjuangannya di Amerika sana, karena saat
itu banyak berjatuhan korban akibat perang. Karena itulah cucunya ini bernama
Amerika, sebab nenek ingin melihat seluruh jasa yang telah dia korbankan di diriku"
Mendengar cerita Amerika itu, membuat Langit sangat terkesan.
"Nenekmu sangat keren. Aku berharap bisa seperti itu" Langit mengadahkan
wajahnya ke langit.
Memikirkan semua impian yang selama ini ia kubur begitu dalam, harapan dan doa
yang tak pernah habis dia ucapkan demi masa depannya yang begitu sulit untuk ia
ekspektasikan. Sedangkan disini, ada Amerika. Gadis yang begitu beruntung karena
telah memiliki gen yang sudah melepas pekerjaan sebagai dokter. Sebagai seseorang
yang ia begitu kagumi dan tak pernah berhenti untuk memikirkan pekerjaan dan jasa
itu.
"Kamu bisa. Orang sepertimu tidaklah susah untuk mendapatkan apa yang kamu
mau" ucap Amerika yang rambutnya sekarang tersapu angin sore yang berhembus.
"Kamu pikir mudah untukku? Ayolah. Yang ku kerjakan sudah terlalu berat. Apa yang
membuatmu yakin aku bisa menjadi dokter? Nothing! Ini benar-benar ngga masuk
akal. Aku akui aku memang berimpian menjadi dokter tapi ngga mudah bagiku
melewati semuanya tanpa uang dan usaha dari keluargaku. Aku juga tidak
mendapatkan dukungan yang utuh dari mereka dan juga semua teman-temanku.
Mereka ingin aku mengapai cita-citaku? Iya. Mereka memberiku dukungan lewat
usaha dan kata-kata? Ngga" Langit berhenti berjalan dan melihat gedung sekolah.
"Disini aku memang belajar, tapi dari luar saja yang terlihat bahwa aku belajar. Di
dalamnya aku mati" Ia hampir saja meneteskan air mata. Ia lelah berpura-pura. Di
saat seperti ini, ia terlihat cengeng di depan seorang perempuan. Dan perempuan itu
adalah orang yang baru ditemuinya tadi pagi. Sedangkan Amerika melihat Langit
menjadi sangat kasihan terhadap lelaki itu. Dirinya mungkin belum terlalu
mengenalnya dengan baik. Tapi bisa Amerika lihat betapa besar tekad yang dimiliki
oleh Langit.
Lelaki itu terlihat sangat terdesak dengan keadaan. Terdesak dengan fakta bahwa dia
adalah si peringkat satu yang memiliki kehidupan tingkat bawah. Terdesak dengan
udara yang terus memaksanya untuk mati sedangkan ia ingin terus hidup. Dan
terdesak dengan langit yang menyuruhnya untuk turun sedangkan ia ingin terus naik.
"Kamu ngga tahu seberapa keras dunia ini memaksa. Hidup dengan apa yang kamu
kerjakan memang berat" adalah kata-kata yang membuat Langit terpesona dengan
kacaunya langit penuh awan.
Dan Amerika hanya bisa membalasnya dengan "Apa yang kamu kerjakan sekarang
memang berat. Kalau kamu bilang apa yang kamu kerjakan itu berat, maka hidup
kamu akan jadi jauh lebih berat. Tapi kalau kamu bilang apa yang kamu kerjakan itu
ringan, maka kamu akan sadar bahwa hidup ini akan ringan jika kamu terus mencoba
untuk kuat"

*
"Mama mau kemana?" Langit menjumpai ibunya yang sedang mempersiapkan
barang kedalam sebuah tas kerja
"Mama melamar pekerjaan menjadi karyawan di Manado. Mama tidak akan berada
di rumah untuk 2 bulan ke depan. Dan papamu tidak akan berada di rumah untuk
beberapa hari kedepan. Dia akan tinggal di tondano untuk menjual bibit pala hasil
panen tahun ini kepada temannya" Ibu Langit terlihat sumrigah. Hal yang tak pernah
ia lihat di wajah ibunya.
"Apa pekerjaan mama sekarang?" Tanya Langit kepada Ibunya itu
"Pekerjaan mama adalah membahagiakan kamu"
Mata ibunya kini berkaca-kaca.
"Kamu harus kuat, kamu harus hebat. Karena kamu permata mama"
Langit memeluk ibunya. Rasa bersalahnya karena terdesak dengan berbagai perasaan
dan merasa bahwa ia bukan anak yang berbakti pada orang tua.
"Fokus saja dengan apa yang ada di depanmu sekarang"
"Doakan apa yang kamu kerjakan, dan kerjakan apa yang kamu doakan"
Langit melonggarkan pelukannya. Matanya tertuju ke meja yang dipenuhi dengan
boneka pinocchio
Seperti yang ibunya bilang dahulu, Pinocchio punya hati yang sangat keras, namun
dengan segala petualangan yang ia alami, dia menjadi patuh pada orang tuanya.
"Langit anak mama yang baik. Apapun yang Langit alami, mama percaya Langit bisa
menjadi anak yang membawa perubahan yang lebih baik"
Begitulah cara ibu Langit menyayangi permatanya

*
Perubahan. Nenek moyang beruang putih adalah beruang cokelat. Tapi karena
mutasi, rambut mereka berubah putih sehingga berpindah ke ekosistem yang cocok
dengan perubahan tersebut.
"Seperti mempelajari teori evolusi ya" Deswita tertegun dengan penjelasan Juan
mengenai iklim, ekosistem dan lingkungan
"Faktanya memang begitu, setiap manusia juga perlu beradaptasi dengan lingkungan
mereka" Juan menjelaskan kembali
"Tapi kalau mereka tidak bisa?" Tanya Deswita
"Mereka pasti bisa. Mereka bukan binatang yang ngga punya naluri" Ucap Devan,
sambil menyeruput susu kotak yang mereka semua beli bersama.
Kelompok mereka saat ini sedang belajar di perpustakaan. Semuanya menekuni buku
catatan biologi mereka. Kecuali Amerika yang duduk di pojok dan menggaris pensil ke
buku skestanya.
"Siapa bilang binatang ngga punya naluri? Manusia dan binatang itu sama-sama
spesies yang memiliki insting. Hanya saja naluri binatang berlebihan daripada
manusia sehingga mereka akan lari jika merasa terganggu atau terancam" Mina
membalas kata-kata tak masuk akal yang dikatakan Devan.
"Teori-teori sains memang bergantung terbalik daripada yang dicatat di Alkitab"
Juan tertawa mendengar Deswita berbicara demikian.
"Sains memang tidak pernah masuk akal kalau di satukan dengan kisah agama" Jelas
Juan
"Tapi pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi serta segala isinya, semuanya
menjadi tidak masuk akal dan membinggungkan" Deswita menjadi pasrah
"Menjadi atau tidak menjadi. Itulah pertanyaannya"
Langit langsung saja familiar
"William Shakespeare?" Tanya Langit, dan Amerika yang sedang sibuk dengan
Sketchbook dan pensilnya pun seketika berhenti bergerak
"Aku pikir hanya aku saja yang kenal dengan kata-kata itu. 'To be or not to be that is
the question' benar-benar ikonik. Mereka bilang, legenda akan tetap hidup walaupun
mati"
"Walaupun mati, mereka tetap pahlawan" Langit tersenyum
"Hamlet memang bagus" sketchbook milik Amerika berpindah kepada Langit.
"Ini apa?" Tanya Langit
"Itu Dafne. Dalam kisah mitologi, Daphne adalah seorang perempuan cantik yang
membenci dewa Apollo. Ceritanya bermula pada waktu Cupid, atau dewa cinta yang
digambarkan sebagai anak kecil dengan panah cinta merupakan dewa yang sering
diejek. Suatu ketika, Apollo mengejek Cupid karena panah yang Cupid gunakan hanya
untuk bermain-main saja. Sedangkan Apollo menggunakan panahnya untuk berburu
hewan dan dia menyombongkan diri sebagai dewa yang hebat. Cupid tidak terima
dengan ejekan Apollo, sehingga ia menembak panah cinta kepada Apollo dan panah
benci kepada seorang wanita yang bernama Dafne. Akibatnya, Apollo menjadi jatuh
cinta kepada Dafne, dan Dafne menjadi benci kepada Apollo. Kemanapun Dafne
pergi, Apollo selalu mengikutinya. Sampai Dafne tidak tahan dan menyuruh dewa
sungai untuk mengubah dirinya menjadi pohon salam. Meski begitu, Apollo tetap
menjaga pohon itu karena rasa sayangnya terhadap Dafne"
Amerika bercerita panjang lebar yang membuat Langit jadi terharu
"Aku baru tahu kisah mitologi ternyata semenarik itu"
Langit kemudian terkesan dengan cerita tersebut.
"Makanya jangan selalu dengan buku pelajaran. Banyak pelajaran yang bisa kamu
pelajari dari suatu seni"
Amerika. Gadis yang gila akan seni.
BAGIAN 3

Hari ini, Langit dan seluruh teman-temannya mengunjungi Aer konde ratahan. Ini
semua awalanya adalah ide Amerika, Mina, Deswita dan Vina yang mengusulkan
liburan 1 hari saat mereka sedang H-7 ujian.
Dan disinilah mereka semua. Menikmati air dingin di Aer konde ratahan. Dan mereka
menikmati liburan itu.
"Kamu bilang kita cuma sehari bisa begini kan Mer?" Mina menyenggol siku Amerika
sembari tertawa. Amerika mengerakkan kepalanya yang basah.
"Aku tahu, ini menyenangkan dan menyegarkan" Amerika menghadapkan wajahnya
ke langit dan menghirup udara yang segar
"Ekosistem disini benar-benar terjaga. Sampah juga kurang. Senang sekali bisa
menikmati H-7 ujian di tempat menyegarkan seperti ini" Ujar Vina yang mulai masuk
ke air yang dingin, bergabung dengan teman-temannya.
"Okaylahhh buk guru" Ucap Mina dan Deswita bersamaan sehingga membuat Vina
mengejar mereka dan menyemprotkan air ke wajah mereka.
Amerika melihat Langit yang sedang duduk di sebuah batu, memandang teman-
temannya yang sedang bergembira dalam air.
"Hei. Kenapa ngga gabung? Tadi Vano cari kamu"
Langit nampak murung. Amerika naik dari air dan duduk disamping laki-laki itu.
"Semuanya baik-baik aja kan?" Tanya Amerika
"Semua baik-baik aja. Cuma kepikiran sedikit, setelah ujian ini aku akan coba masuk
kedokteran Unsrat" Wajah Langit memandang ke tanah. Seperti sedang merenungi
sesuatu.
"Kamu pasti bisa. Nilaimu pasti memenuhi" Amerika tersenyum, mencoba
meyakinkan Langit bahwa ia pasti berhasil.
"Kenapa kamu begitu percaya aku pasti bisa? Lalu gimana dengan kamu sendiri?
Sampai sekarang kamu ngga pernah bilang minat jurusan yang ingin kamu masuki
dimana"
Amerika tertegun mendengar itu.
"Aku berimpian terlalu tinggi. Dulu, waktu kecil aku ingin jadi tuan puteri dan saat
sekolah dasar, impianku berubah jadi astronot. Tapi itu hanyalah khayalan belaka.
Aku tidak tahu dengan apa yang akan terjadi padaku tapi aku yakin dengan pasti
semuanya sudah Tuhan sediakan" mencoba mencari udara, Amerika memandang
teman-temannya yang sedang bermain di air.
"Kalian yang menginspirasiku. Kalian yang membuatku semangat untuk belajar.
Waktu-waktu yang telah aku lalui bersama kalian adalah waktu aku mendapat banyak
percakapan ilmiah yang menarik. Dan aku sadar itu karena kalian. Kalian yang
membuat aku tidak menyerah terhadap nilai. Tidak pernah menyerah terhadap
keadaan karena kalian membuat semuanya jadi ringan"
Ringan.
Ternyata benar apa yang dikatakan Aan Mansyur 'Setiap orang adalah lukisan, jika tak
membiarkandiri terperangkap bingkai'

*
Langit akhirnya sampai di rumahnya yang sepi seperti biasa. Ibunya berada di
Manado dan Ayahnya sedang berada di kebun. Bukan Langit namanya jika di rumah
hanya diam dan tidak berbuat apapun. Tetapi membaca, menulis, menghafal apa saja
yang ada di buku pelajarannya.
Lusa, ujian dimulai dan dirinya belum siap dengan apapun didepannya. Soal inspirasi
yang dibicarakan teman-temannya, jujur saja ia belum menemukanya. Langit terpaku
dengan kata-kata Amerika bahwa waktu-waktu mereka adalah inspirasinya. Gadis itu
memiliki banyak inspirasi karena dia memiliki pengetahuan lebih akan seni, buku
puisi dan juga mitos mitologi. Sedangkan dirinya tidak mengagumi apapun selain
teori relativitas dan teori bigbag. Semuanya hanyalah pengetahuan ilmiah yang ia
rasa tak layak dijadikan bahan inspirasi.
Langit mulai membaca materi matematika.
Banyaknya bilangan p........
6 jam kemudian.
Langit terbangun saat sudah sore. Di depannya masih ada buku catatan matematika
yang sudah ia selesaikan soal-soalnya. Ia dan teman-temannya bersepakat untuk
belajar bersama sore ini. Namun niat Langit untuk belajar sudah padam. Sekaligus, ia
tidak ingin bertemu teman-temannya karena mereka sama sekali tidak memberi
inspirasi padanya.
Mereka hanya membuat Langit repot karena selalu menjadikan Langit 'guru'bagi
mereka untuk mengajari mereka berbagai materi.
Mungkin itulah yang mengganggu pikiran Langit sekarang.

*
Hari ujian pun tiba. Amerika sudah mempersiapkan alat tulisnya di tas kecilnya,
berpamitan kepada kedua orangtuanya dan melesat pergi ke sekolah dengan berjalan
kaki.
Sesampainya di sekolah, ia menemukan Langit yang sedang berjalan menuju
kelasnya. Mengingat Langit, Amerika jadi teringat dengan kelompok belajar mereka.
Langit tidak ada 2 hari yang lalu saat mereka memutuskan untuk belajar bersama.
Dalam hal ini, Amerika jadi bingung dengan sikap lelaki itu.
"Hai" sapa Amerika yang hanya dibalas dengan lirikan singkat.
Lelaki itu masuk ke ruangan ujian tanpa menyapa Amerika.
HARI PERTAMA UJIAN
Saat menerima kertas ujian, tangan Langit gemetar. Yang ia pikirkan sekarang
hanyalah dirinys sendiri. Sebelum ia menekuni soalnya, ia sempat berhadapan
dengan Juan yang tempat duduknya berada di depan ruangan. Temannya itu
menatapnya dengan tak biasa.
Langit menyingkirkan pikiran-pikirannya mengenai teman-temannya itu. Ia harus
egois. Manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang sosial, tapi tanpa
persaingan, seperti teori Darwin mengatakan bahwa seorang individu tidak bisa
beradaptasi jika tidak bisa bersaing. Akan selalu ada yang hidup dan yang mati

*
"Langit kemana ya? Hari ini ngga kelihatan" Vina bertanya kepada teman-teman
Langit.
Ujian mereka hari pertama sudah selesai. Semuanya berjalan dengan baik. Namun
baik Vano, Juan dan Devan sama-sama diam dengan perubahan sikap sahabat
mereka. Sedangkan Amerika membawa mereka ke mode santai.
"Mungkin dia hanya ingin fokus sejenak. Dia menghindari kita karena ingin lebih
fokus belajar" kata Amerika, menenangkan seluruh temannya.
"Ya tapi kenapa? Kan kita belajar sama dia. Bukan bermain" Ucap Mina dan diangguki
oleh Vano.
"Iya. Aku juga bingung dengan sikap dia sekarang. Biasanya dia peduli dengan
sahabatnya saat kita ulangan seperti biasa. Kita berempat yang dia ajak untuk belajar
bersama. Tapi saat ini dia benar-benar lain"
Amerika makin khawatir
"Apa ada yang salah dengan kita?" Deswita menunduk.
"Mungkin memang benar, ada yang salah dengan kita. Sampai dia menghindari kita
seperti itu" Juan akhirnya meluruskan pembicaraan mereka
"Tapi apa?" Tanya Devan
Amerika akhirnya sadar bahwa itu mungkin karena ucapannya kepada Langit di
perpustakaan waktu itu.
Dan dia menyesal menceritakan semuanya kepada Langit waktu mereka ke Aer
konde. Ini adalah salahnya
"Teman-teman, aku harus ke rumah Langit"

*
Tok-tok-tok
Seseorang yang membawa buku sketsa berdiri di depan rumah tua yang temboknya
sudah sangat usang.
Ini yang seharusnya sudah ia lakukan sejak ia hadir di kehidupan Langit. Ini adalah
kesalahan Amerika. Dan ia harus meminta maaf
Pintu akhirnya terbuka. Dan sesuai dugaan, Langitlah yang membuka pintu
rumahnya. Kelihatan sekali wajah Langit yang ramah saat membuka pintu. Namun
semuanya berubah saat ia melihat wajah orang yang mengetok pintu.
"Lang, kamu ngga apa-apa?" Amerika selalu bertanya. Selalu bercerita, dan selalu
spesial.
"Kamu pikir setelah kata-kata kamu 2 hari yang lalu, aku akan baik-baik saja?" Langjt
keluar dari rumahnya dan memperlihatkan wajah kecewanya pada Amerika.
"Aku hanya bilang sejujurnya. Aku memang ngga mengerti keadaan kamu waktu
kamu bilang kamu akan ambil beasiswa kedokteran. Karena aku pikir itu ngga ada"
"IYA ITU MEMANG NGGA ADA! Ngga ada jurusan kedokteran untukku, karena aku
ngga punya uang, ngga punya harapan, ngga punya cita-cita-"
"LANGIT BERHENTI"
"NGGA PUNYA INSPIRASI YANG REALISTIS SEPERTI KAMU!!!"
Amerika menutup telinganya. Ia ingin tuli untuk saat itu juga. Ia tidak ingin melihat
sekaligus mendengar kesedihan yang ditunjukkan lewat amarah seperti yang Langit
tunjukkan padanya saat ini. Menyesakkan.
"Aku bisa apa dengan harapanku Mer? Ngga ada. Aku manusia kosong. Aku ngga
seperti kamu yang santai dengan buku sketsa yang selalu kamu bawa. Aku ngga
punya khayalan belaka seperti kamu, aku ngga bisa santai dengan membaca buku
Hujan rintih-rintih, kamu punya nenek yang berjasa di bidang yang aku kagumi.
Bidang yang aku ngga akan pernah masuki. Kamu beruntung karena hidup kamu
sudah sempurna. Tapi hidup aku ngga se-sempurna itu Mer. Aku kacau didalam.
Sekarang kamu lihat betapa kacau hidup aku"
Sekarang Amerika yang menangis. Tas kecil yang ia bawa ia remas. Amerika sejak
awal seharusnya tidak memperlihatkan hidupnya kepada Langit
"Aku salah. Aku minta maaf Lang. Aku bodoh sudah memperlihatkan hidupku yang
ngga bisa membawamu ke zona yang nyaman"
"Kamu terlalu banyak kata-kata Mer. Kamu juga bilang kamu sudah punya inspirasi.
Kamu bilang semuanya saat keadaanku sedang dalam posisi sebaliknya. Bodoh. Aku
tidak mempunyai inspirasi apapun"
Putus asa adalah jalan terbaik untuk mereka. Pertarungan membuat Langit muak.
Semua yang sudah dia lalui hanya untuk menyiksa dirinya sendiri. Tidak ada hasil
yang baik dari perjuangannya. Semuanya tidak ada, semuanya omong kosong.
"Baiklah, kalau menurut kamu yang kita semua lalui saat ini tidak berarti apapun
untuk kamu maka hiduplah dengan putus asa. Lakukan semau kamu Lang! Lakukan!
Anggaplah aku dan teman-teman yang lain hanyalah patung. Kami memang tidak
pernah memberi inspirasi padamu"
"Berhenti mengucapkan kata 'inspirasi' kata itu sudah mati"
Amerika mengibaskan air matanya. Sudah cukuplah semua ini.
"Ini buat kamu" Amerika melemparkan tas kecil yang selalu ia bawa ke sekolah.
"Buku sketsa aku didalam sana. Itu buat kamu. Dan kalau kamu bertanya-tanya
mengapa aku memberikan tas itu padamu, adalah supaya kamu tahu arti masa depan
yang sesungguhnya dan arti kesuksesan yang selama ini menghantui hidup kamu.
Ada sesuatu di dalam sana yang aku sisipkan buat kamu"
Amerika beranjak, namun berbalik. Seperti waktu pertama kali mereka bertemu,
Langit mengetahui satu hal. Bahwa Amerika tidak pernah berhenti untuk menyatakan
kebenaran kepadanya. Sayangnya, kebenaran adalah hal yang menyakitkan untuk
diterima
"Satu hal lagi, namamu Langit. Kalau kamu punya impian setinggi langit, kenapa tidak
mencoba untuk menerima diri sendiri sebagai makhluk tanah?"
Langit pernah membaca suatu kalimat
Manusia terbuat dari tanah, makan dari hasil tanah, dan akan kembali ke tanah.
Kenapa masih bersifat langit?
Mungkin ibunya terlalu muluk memberinya nama demikian.
Setelah Amerika hilang dari pandangannya, membawa seluruh mimpi dan
kekecewaannya karena telah sabar manghadapi Langit, laki-laki itu kemudian
memungut tas yang tadi gadis itu lemparkan.
Isinya adalah jas dokter.
Sesuatu yang gadis itu sisipkan.
Langit memeriksa sketchook milik Amerika. Isinya bukan lagi gambar Dafne, Cupid,
ataupun Apollo. Isinya adalah gambar wajah mereka semua.
Dimulai dari Mina, Deswita dan Vina
'Minaaa, sukses terus untuk peternakan Unsrat. Makasih sudah ajari aku banyak
tentang biologi, khususnya materi perkembang biakan makhluk hidup. Aku suka
materinya'
'Aku tahu Vina cerewet, tapi dia baik. Dia lebih banyak mengajarkan matematika
padaku. Vina memang cocok jadi Guru. Dia luar biasa. Kamu keren sekali bu guru
Vina'
'Deswita anak baik, rajin dan rendah hati. Kalau aku bisa lahir kembali atau
mengalami reinkarnasi, aku pasti berharap jadi dia. Anaknya baik sekaliii sukses terus
ya. Semoga jadi pendeta yang baik'
Kemudian Lanjut dengan para lelaki
'Ini adalah trio kwek-kweknya Langit. Hehehe. Vano, Devan dan Juan yang merupakan
teman baik Langit. Mereka berempat memang paket komplit. Vano yang kata-katanya
sarkastik, Devan yang sering ngelawak dan Juan yang pembawaannya tenang. Aku
harap di kuliah nanti, juga bisa dapat teman cowok seperti mereka. Belajar dengan
mereka sangat seru. Aku doakan semoga mereka sukses terus. Aminn'
Halaman terakhir adalah gambar wajah Langit.
'Terakhir, untuk Langit. Kamu luar biasa dari semuanya Lang, kamu adalah orang yang
aku kagumi. Kamu tahu apa yang membuat aku terisnpirasi? Itu adalah cara kamu
berusaha. Cara kamu untuk tetap terus berusaha dan tak menyerah terhadap
keadaan. Kalau kamu memang ngga bisa dapat inspirasi apapun, tetaplah berjuang
demi cita-cita kamu"
Langit membaca kertas kecil yang ada di kantong jas dokter tersebut.

"Langit, aku ngga berbohong kalau kamu benar-benar bisa mendapatkan apa yang
kamu mau dengan mudah. Kamu tidak seperti aku yang hanya tahu berimajinasi,
kamu pribadi yang luar biasa. Tetap terus berusaha, cita-citamu menunggu"

Terlambat, karena Langit sudah menyerah.


BAGIAN 4

HARI TERAKHIR UJIAN


laki-laki itu tidak baik-baik saja. Yang berbeda adalah gaya hidupnya yang sangat tidak
teratur. Ia menekuni buku sekitar 8 jam, makan tidak teratur, lingkaran hitam mulai
muncul di bawah matanya, dan menangis adalah caranya melepas stres.
Setelah ujian di hari terakhir, Langit mengambil beberapa buku mengenai anatomi di
perpustakaan. Dan itu masih belum membuat dirinya merasa lebih baik. Setiap hari,
memandang sahabat-sahabatnya sebagai orang yang tidak ia kenal, bahkan
menghindari Amerika. Gadis yang entah kenapa selalu membicarakan inspirasi.
Sedangkan Langit belum mengerti definisi terbaik dari kata 'Inspirasi'
Indonesia mengajarkan untuk harus selalu bersyukur. Kita dilimpahkan, dan
dimanjakan dengan sumber daya yang sudah tersedia ada. Cuaca? Hujan dan panas
tropis selalu mendampingi Indonesia. Menurut Langit, tidak ada orang yang tinggal di
negara lain yang bisa merasakan keberuntungan orang indonesia yang sudah
dimanjakan oleh alam. Hanya saja, rakyat indonesia tidak menggunakan
keberuntungan itu dengan baik. Sehingga indonesia penuh dengan kemiskinan dan
tidak seperti negara lain yang sudah lebih maju kedepan.
Indonesia sama seperti Langit. Punya segalanya, namun tidak tahu cara
menggunakan.
Langit punya inspirasi. Dia punya banyak. Hanya saja, cara dia meimplementasikan
inspirasinya adalah hal tersulit yang harus dia lakukan. Berbeda dengan Amerika, dia
tidak dimanjakan dengan apapun, namun dia melewati masa hidupnya dengan arus
hidup yang tenang.
Dengan demikian, Langit harus menerima fakta.
Bahwa Indonesia berada di timur, dan Amerika berada di barat.
Sungguh bagian belahan bumi yang berbeda

*
Ibu Langit mengambil cuti mulai hari ini. Dan ibunya membawakannya brosur
perguruan tinggi jurusan kedokteran.
"Langit, sini nak" ibunya memanggil Langit yang baru saja masuk ke ruang tamu,
membawa segelas air. Ibunya yang sedang membuka foto album keluarga
menyuruhnya untuk duduk. Ia menaruh gelas ke atas meja
"Kamu tahu mama bangga sama kamu kan?" Tanya ibunya
Langit hanya bisa mengangguk
"Kamu tahu mama dan papa sayang sama kamu, lalu apa yang kamu ragukan dari
kami?" Pertanyaan ibunya kali ini membuat pertahanan Langit runtuh.
"Seperti yang kamu tahu, mama ngga akan meninggalkan kamu sendirian berjuang.
Kamu permata mama kan? Mama selalu bilang begitu. Kepercayaan kamu yang
kurang atas kami nak" ibunya mencium kening putranya dan segera menenggelamkan
Langit ke pelukan yang hangat.
Langit menangis dengan keras. Ibunya benar, dia terlalu menyiksa diri sendiri sampai
melupakan orang yang selalu ada untuknya. Lebih parah lagi bahwa dia membawa
orang-orang itu kedalam masalahnya sampai membuat orang tersebut tersakiti
karena ulahnya.
"Maafkan Langit ma, Langit memang egois. Langit menyusahkan Mama dan Papa
karena sifat langit yang perfeksionis. Langit membuat kalian khawatir sekaligus
kecewa. Langit terima semua itu ma"
"Shhh, kamu sama sekali ngga menyusahkan kami sayang, mama ngga keberatan
dengan semua ini demi membantu anak mama meraih cita-citanya. Sudah menjadi
kewajiban orang tua untuk menyediakan semua yang diperlukan anak-anak mereka.
Kamu anak kami, kamu adalah mimpi yang harus kami perjuangkan"
Akhirnya, Pinocchio yang nakal itu telah berubah menjadi anak yang patuh

*
Sawah adalah tempat pelarian Amerika, setelah lelah belajar. Ujian sudah selesai, dan
ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan berikutnya.
Ia hanya ingin menikmati alam untuk sejenak. Ayahnya memang hebat, membantu
para petani untuk berbagai lahan kebun yang ada di ratahan. Disini Amerika juga
belajar cara untuk mendapatkan biji pala yang sangat berharga di mata para petani,
dan juga membantu ibu-ibu membersihkan cengkeh.
Buku sketsanya sudah tiada. Namun ia tetal merasakan kedamaian dalam kondisi
begini. Bagi Amerika, ini juga termasuk cara agar dirinya dekat dengan alam. Seperti
yang pernah di katakan Vincent Van Gogh, alam termasuk ke dalam seni.
Kini saatnya Amerika menyapa apa yang di katakan kakek Van Gogh.
Seru sekali melihat anak-anak yang bemain air di sawah, dan melihat padi-padi yang
ditiup angin sawah. Amerika tidak pernah merasa segar dan tenang seperti ini.
"Capek ya pak?" Tanya Amerika kepada seorang bapak petani yang baru saja
menyelesaikan pekerjaannya. Bapak itu duduk di pondok sawah, mengipaskan dirinya
menggunakan topi, sambil menonton Amerika dan para ibu yang sedang
membersihkan buah cengkeh dari batangnya.
"Sudah biasa dek, pekerjaan itu harus dinikmati walau melelahkan" Kata bapak
tersebut dan Amerika tersenyum
"Kamu anaknya pak Jonatan ya?"
Amerika mengangguk.
"Ayahmu itu memang benar-benar luar biasa. Jarang orang kaya seperti kalian
merasakan pekerjaan yang rendah seperti ini"
"Yah, ayah saya orangnya memang spontanitas. Apa saja yang ia rasa layak, akan
dilakukannya" Amerika membuang batang cengkeh ke dalam karung
"Nama kamu siapa?" Tanya bapak tersebut pada Amerika. Sedangkan Amerika duduk
di pinggir pondok bersama bapak itu, melihat kebun padi yang luas dan enak
dipandang.
"Amerika"
"Wah, nama negara. Kenapa bisa sampai namamu Amerika padahal kamu orang
indonesia?"
Amerika tertawa kepada bapak itu
"Nenek saya adalah dokter yang bekerja di amerika saat usianya masih dua puluhan.
Orang tua saya memberi nama Amerika untuk mengingat betapa kerennya nenek
saya dulu. Dan nenek saya memang ingin punya cucu bernama Amerika. Mau tahu
nama Bunda saya?" Amerika melihat bapak itu sedang menebak
"Siapa?"
"Nia. Nama panggilan dari California. Bunda saya bernama California karena nenek
saya bekerja di amerika bagian California"
Mereka sama-sama tertawa
"Pasti menyenangkan memiliki keturunan seorang dokter. Anak saya juga ingin
menjadi dokter"
Amerika terkejut
"Benarkah? Wahh pasti anak bapak sangat pintar" balas Amerika
"Hmm. Dia memang pintar, tapi orangnya ingin untuk selalu teratur, ingin agar
semuanya berjalan baik dimatanya. Dia keras kepala, namun dibalik sikapnya itu yang
berlebihan, dia sebenarnya hanya mencoba untuk membuat mimpinya menjadi
nyata" bapak itu menghadap ke sawah. Amerika tertegun dan kemudian tersenyum
Gadis itu akhirnya mengerti keadaan dan kondisi bapak tersebut. Sangat menderita,
namun dia merelakan energi dan usaha kerasnya demi realita yang ditunggu anaknya.
Demi temannya, Langit.
"Bapak yang sabar, anak bapak pasti akan sukses. Dan sebagai orang tua bapak
pastinya nanti akan bangga dengan apa yang sudah menjadi prioritas bapak
sekarang" Amerika menyentuh sendalnya yang ada di bawah pondok. Dia melihat
ayahnya berjalan menuju pondok, tempat dia duduk bersama dengan ayah Langit.
"Pak, saya pulang dulu. Makasih sudah berbagi cerita dengan saya. Omong-omong
nama bapak siapa?"
"Denis"
Amerika membulatkan bibirnya,
Bapak tersebut melambaikan tangan.
"Sampaikan salam untuk ayahmu, dan hati hati di jalan"
Seperti biasa, Amerika menghadap ke belakang dan mengucapkan kata terakhir
kepada bapak itu.
"Salam juga kepada anak bapak, bilang padanya untuk mengembalikan buku
sketsaku"
Kemudian gadis itu berlari seperti peri di negeri dongeng
BAGIAN 5

SELAMAT! ANDA LOLOS SELEKSI SNMPTN TAHUN 2007'

Layaknya mencari emas di tambang yang sangat gelap. Langit tak berhenti
meneteskan air matanya begitu surat pernyataan lulus itu berada di tangannya.
Sekarang, waktunya untuk menebus kesalahan yang telah dia lakukan pada sahabat-
sahabatnya.
Ibu dan Ayahnya tak berhenti mengucapkan syukur dan doa pada Tuhan, karena
putra mereka telah dipilih untuk benar-benar menjadi permata dalam keluarga
mereka.
'Embun adalah nama mamaku, di pagi hari aku ingin terus melihatnya. Karena dia
menjagaku pagi sampai malam. Dirinya telah lelah untuk bahagiaku. Kerja keras
adalah nama lain dari papaku. Setetes keringatnya adalah setiap tarikan senyuman di
bibirku. Aku ingin, jika hujan datang di tempatku berdiri, dia akan membawa
matahari demi menanti hari esok yang cerah'
Kata-kata itu ia tuliskan dalam buku sketsa milik Amerika.

*
Hari ini, hari dimana Langit menerima hasil belajar yang dia dapatkan di sekolah.
Mereka bilang, hari penamatan adalah hari dimana murid menyudahi, menerima,
dan membuka lembaran hidup ke masa pendidikan yang baru.
Bagi Langit, ini bukan akhir. Perjalanannya masih panjang. Dan semuanya dia pelajari
dalam momen bersama teman, orang tua, dan mimpi yang melekat dalam dirinya.
"Penghargaan peringkat 1 diberikan kepada Langit Pradityo. Atas kinerja belajar yang
luar biasa. Diberikan di SMA Negeri 1 Ratahan, 28 Mei 2007"
Semua orang bertepuk tangan. Raut bahagia dan terharu tergambar jelas di wajah
ibu dan ayahnya yang hadir di acara penamatan itu.
Setelah menamatkan seluruh murid, dilanjutkan dengan acara pesta.
Akhirnya ada waktu bagi Langit untuk berbicara dengan teman-temannya. Juan
menyambut dirinya dengan memberi selamat kepadanya.
"Kamu hebat Lang, kita semua percaya itu" Langit menerima ucapan selamat dari
teman-teman yang lain.
"Lang, kami sudah yakin kalau kamu akan lolos" Deswita mengulurkan tangan,
memberi selamat
"Makasih buat kalian semua, aku minta maaf atas sikapku yang menghindari kalian
selama ujian. Aku benar-benar egois hanya memikirkan diriku sendiri dan membuat
kalian khawatir"
"Sikap kamu yang begitu yang buat kami sadar bahwa kami membuat kesalahan.
Dengan sikapmu seperti itu, kami bisa belajar dengan mandiri tanpa bantuanmu.
Kami juga berterima kasih karena sudah membantu kami belajar. Dan kamu juga
harus berterima kasih atas kerja kerasmu sendiri" Vano tersenyum.
"Hiks, temanku akan jadi Dokter. Kita satu kampus, dan aku bangga"
Semua tertawa mendengar kata-kata Devan.
Semua tampak berbahagia. Namun, ada yang Langit rasa kurang.
"Dimana Amerika?" Tanya Langit
"Dia udah pulang selesai acara tadi" Ucap Mina.
"Pulang?"
"Iya. Katanya dia ngga akan ikut acara, jadinya pulang duluan" ucap Vina, kemudian.
Langit memasang wajah sedih. Perbuatannya ini memang benar, meminta maaf
kepada seluruh temannya. Tapi yang harus dia luruskan lebih jauh adalah kepada
Amerika karena gadis itu yang sudah berusaha untuknya, namun ia malah tidak
menemukan gadis itu saat ini.

*
6 Tahun kemudian
"Hmm. Sepertinya ibu mengalami penyakit Anoreksia Nervosa. Yang artinya ibu tidak
bisa makan"
"Lalu saya harus bagaimana dok?"
"Jangan terlalu terobsesi dengan diet dan tubuh langsing. Makanan sangat penting
bagi tubuh, jika ibu tidak banyak makan mulai dari sekarang, bisa saja ibu akan
kehilangan seluruh protein di tubuh. Dan zat gizi lainnya akan ikut berkurang" Jelas
Dokter tersebut kepada seorang ibu muda.
"Saya sarankan untuk sering berkunjung ke psikiater atau psikolog. Rutin mengecek
mental ibu agar terhindar dari keinginan untuk diet lagi. Saya tidak menyarankan diet
kepada ibu. Kesehatan pasien saya adalah prioritas paling penting"
Setelah ibu tersebut kelar dari ruangannya, telepon dokter tersebut berbunyi dan ia
segera mengangkatnya.
"Halo Lang, gimana kabarmu?" Tanya Devan yang menelpon di seberang sana
"Halo Dev, aku baik-baik saja. Kenapa menelepon?" Tanya Langit
"Besok kita ada reuni angkatan SMA di pantai Lumintang"
Kabar tersebut membuat Langit membulatkan mulutnya
"Kenapa baru kabari sekarang? Ini seperti keadaan mendadak"
Devan menghela nafas di seberang sana.
"Ini karena kamu terlalu sibuk dengan kerja. Sampai-sampai tidak datang bulan lalu"
"Memangnya bulan lalu ada apa?"
Devan yang mendengar itu, makin menghela nafas frustrasi
"Kita baru aja reuni bulan lalu di rumahnya Deswita. Tahun lalu dia baru saja jadi
Vikaris di jemaatnya sendiri. Amerika ada di sana. Dan kabarnya dari Mina, dia akan
pulang hari ini dan hadir besok"
Mendengar itu, Langit jadi menyesal karena tidak pergi ke acara reuni bulan lalu. Itu
bukan karena ia tak ingin, bulan lalu jadwal Langit di rumah sakit sangat padat, dan
ada jadwal operasi yang tak mungkin bisa ia tunda hanya karena acara
Langit jadi mengingat masa lau. Mereka semua telah tumbuh dengan sempurna.
Tidak ada lagi desakan, tidak ada lagi sifat perfeksionis.
Devan telah menjadi karyawan di sebuah kantor ekonomi terbesar di bandung. Dan
setiap kali mereka berempat berjumpa, Juan akan selalu menggunakan seragam
kedinasannya. Ia sekarang bekerja di kantor walikota manado, dan sebentar lagi akan
mencalonkan diri sebagai gubernur yang baru di kota ini. Sedangkan Vano, ia telah
menjadi seorang design interior sekaligus arsitektur terkenal.
Para gadis, Mina yang sudah bekerja di Ratatotok dengan gelar S.pt, Vina yang
sekarang sudah mengajar di sekolah mereka, Deswita yang baru saja menjadi Vikaris
pendeta, dan Amerika......
Yang Langit dengar, Amerika memilih fakultas sastra di universitas indonesia. Gadis itu
sekarang telah menjadi seorang penulis buku puisi, novel, dan berbagai cerpen.
Mengingat Amerika, perasaan bersalah Langit masih timbul. Karena ini semua juga
berkat bantuan Amerika
"Kamu datang atau ngga?" Devan kembali bertanya
"Iya. Aku pasti datang" jawab Langit
"Oke, kalau begitu kamu akan pulang setelah bekerja kan?"
Langit berdiri dari kursi dokternya. Ia melepas jas dokternya dan keluar dari ruangan
"Aku memang sudah mau pulang. Karena aku akan mempersiapkan sesuatu"

*
Api unggun dinyalakan. Begitu langit tiba, tempat ini sudah ramai. Usaha teman-
temannya untuk melaksanakan pesta reuni benar-benar sangat besar.
"Heiii, long time no see pak Dokter" Vina membawa gelas soda dan mengajak Langit
bergabung bersama yang lain.
"Hai Vin long time no see" balas Langit
Sepertinya seluruh angkatan datang malam ini. Ada yang memutar musik dan
menyanyi di sekitar api unggun, yang lainnya menikmati hidangan bakaran pinggir
pantai, dan yang lain berkumpul untuk bercerita
"Waw! Dokter kita sudah datang" semua orang langsung menyoraki Langit.
"Kamu udah lebih tinggi ya Lang" ujar Mina
"Iya, aku jadi iri" Devan meminum minumannya.
"Welcome bro" Vano memberi tos kepada Langit
"Lama ngga jumpa, ternyata makin ganteng" Langit terkekeh dengan ucapan Juan.
"Kamu laper Lang? Ayo makan dulu" Deswita mengajak Langit, namun Langit urung
untuk makan lebih dulu.
Pandangannya jatuh kepada seseorang dengan rambut panjang yang diurai, sedang
duduk di pinggir pantai.
Seperti biasa, menyendiri di tengah keramaian. Mencari kedamaian. Ciri khas dari
seorang Amerika.
"Oke, kita nyusul aja nanti. Aku rasa kamu sama Amerika perlu bicara"
Mereka membiarkan Langit menuju pantai dan duduk disebelah Amerika.
"Kata Claude Debussy, 'A beautiful sunset that was mistaken for a dawn'. Sunset ngga
salah, fajar mungkin"
Amerika melihat orang di sebelahnya. Ia sempat kaget, namun ia berusaha untuk
menetralkan wajahnya. Karena ini adalah acara angkatan, jadi tidak heran jika Langit
datang.
"Iya, tapi sunsetnya udah ngga ada"
Langit memberikan Amerika sebuah tas. Itu adalah tas yang dulu ia lemparkan di
wajah Langit.
"Ini...buku sketsaku dan jas dokter nenek" Ujar Amerika dan dibalas anggukan oleh
Langit
"Maaf terlambat 6 tahun untuk mengembalikan ini, dan maaf karena baru saja
berkata maaf setelah 6 tahun"
Amerika tersenyum
"Tidak ada kata terlambat bagiku. Kamu tahu kan aku hidup sesuai alur cerita?"
Giliran Langit tertawa
"Yasudah, maafkan aku yaa, wahai mantan mahasiswa UI"
Amerika menaruh telunjukknya di bibir.
"Kamu seharusnya bangga karena di angkatan kita, cuma kamu yang mendapat gelar
dokter"
"Kamu juga seharusnya bersyukur karena di angkatan kita, cuma kamu yang berhasil
lolos ke universitas terbaik di indonesia"
Amerika akhirnya menyerah.
"Jadi apa yang mau kamu bilang sekarang padaku? Kamu mau memuji karya-karyaku
ya?"
Langit mengerutkan keningnya. "Kamu jadi berbeda banget ya, biasanya kamu yang
banyak bicara. Sampai pake filosofi apalah itu yang tidak kutahu"
"Hm..kalau mengingat diriku yang dulu sangat lucu"
Amerika tertawa kecil. "Ya, sekarang aku bahagia dengan apa yang ada dalam diriku,
dan kamu bahagia dengan apa yang ada dalam dirimu. Aku harap kamu melihat
dirimu dengan caraku melihat apa yang didalam dirimu"
"Kamu ngga bisa melihat apa yang ada di dalam diriku"
"Bisa! Aku bisa tahu dirimu Lang, kamu teratur dan sempurna. Kamu tidak lagi keras
kepala karena hidupmu tidak lagi keras, melainkan ringan. Kamu tidak lagi menilai
setiap sisi hidupmu dengan hal-hal negatif melainkan positif. Dan kamu tidak lagi
menganggap hidup ini sulit karena kamu sudah menikmatinya"
Kamudian Langit terhanyut dalam arus kehidupan masa lalu
"Kamu melankolis yang selalu mendesak takdir kamu sendiri"
"Melankolis?" Tanya Langit, dibalas anggukan dari Amerika
"Iya. Salah satu kepribadian dari keempat kepribadian menurut Galenus Claudius.
Orang yang melankolis adalah orang yang perfeksionis. Si perfeksionis yang ingin
semuanya berjalan sesuai pengaturan rencananya. Kamu ingin hidupmu itu
sempurna, sedangkan hal mengejar sempurna itu bisa dikatakan ilegal. Semuanya
butuh proses yang berliku-liku"
Kini Langit melihat dirinya yang dulu penuh dengan perjuangan. Semua itu dia
simpan dalam kenangan manis. Kenangan itu yang membuatnya ada seperti
sekarang. Menjalani tugas dan tanggung jawabnya sebagai dokter. Sebagai seorang
pribadi yang melankolis, bukanlah masalah baginya untuk tetap mengatur hidup
dengan lebih baik.
Entah itu dirinya, Amerika, Juan, Deswita, Devan, Vano, Vina dan juga Mina. Mereka
bersama mengucap keinginan dalam satu doa. Untuk masa depan yang lebih baik.
Tidak ada lagi desakan, tidak ada lagi pergumulan, hanya tantangan yang perlu
dihadapi dengan kesabaran.
Sikap perfeksionis itu, akan Langit pakai untuk membuat perjuangan lebih besar
nantinya.
Setelah pulang dari pantai, Amerika beristirahat di kamarnya. Mengingat bahwa
seminggu lagi, ia akan kembali ke jakarta untuk mengurus ujian S2 nya.
Ia membuka lembaran akhir buku sketsanya yang sudah dikembalikan Langit. Disitu
tertulis
'Melalui pengalaman yang menyakitkan namun menguntungkan ini, aku belajar
bahwa saat sang pencipta mendidik kita, hasil terpenting bukanlah apa yang kita
peroleh, melainkan menjadi orang seperti apa kita nanti'

- END -

Anda mungkin juga menyukai