Tak ada yang pantas dipuji kecuali Allah yang senantiasa melimpahkan rahmatnya
kepada makhluk-Nya di muka bumi. Sang Maha Pengasih yang kasihnya tiada pilih kasih.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabiyullah Muhammad Saw, atas
jasanya yang besar untuk menuntun manusia menuju shirot al mustaqiem. Alhamdulillah,
setelah melewati lika-liku yang cukup panjang, akhirnya tulisan ini pun dapat diselesaikan,
meski jauh dari kesempurnaan. Berkat kekuatan doa-doa orang yang berhati peri, penulis bisa
berada pada titik cahaya yang semoga membuahkan kebaikan.
Novelet ini sebenarnya penulis ilhami dari kisahnya sendiri selama sehidupnya yang
penuh dengan lika-liku kehidupan. Dalam kisah yang dituliskan oleh penulis ia menceritakan
kisahnya sebagai anak seorang petani yang pas-pasan dalam ekonomi keluarganya. Namun
hal tersebut tidak menjadi halangan bagi tokoh yang digambarkan oleh penulis untuk meraih
cita-citanya.
Lazimnya sekapur sirih, tak bijak rasanya jika tak penulis ucapkan rasa terimakasih pada
orang-orang yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ini. Pertama, penulis
ucapkan khusus untuk Ibu penulis yang telah melahirkan, merawat dan mendidik penulis
hingga penulis dapat merasakan nikmat kehidupan bersama doa-doanya yang tak pernah
kering. Teruntuk seorang Bapak yang telah bekerja keras banting tulang demi menghidupi
keluarga, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Hanya doa yang selalu terperanjat,
semoga Allah memberinya surga sebagai balasan atas perjuangannya di jalan Allah. Bagi
penulis beliau adalah sosok yang selalu memberi inspirasi dan semangat.
Kedua, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sulistyowati, S.Pd,
yang telah “memaksa” para siswanya (khususnya kelas XII MIPA 1) untuk berkarya.
Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Diniarista, Alfita, Karunia,
Zahra, dan juga sahabat penulis saat ini yang sangat penulis sayangi karna telah memberi
warna dalam hidup penulis, serta memberi inspirasi dan motivasi yang tiada hentinya.Tak
lupa penulis ucapkan rasa terimakasih pula untuk teman-teman yang sudah turut membantu
penulis untuk menyumbangkan ide dan gagasannya kepada penulis sehingga tercipta novelet
ini.
Desa, bak surga yang menyilaukan mata. Tanah yang subur, dedaunan yang rindang,
pepohonan yang menjulang tinggi, serta burung-burung yang bernyanyi gembira kala pagi
menyapa, membuatnya menjadi tempat yang indah dan mempesona. Terlebih masyarakatnya
bersahabat, ramah, dan budaya kekeluargaanya pun masih dijunjung tinggi, membuatnya
seperti tak pernah menyimpan masalah.
Balutan kebersahajaan dan kerukunan selalu menjadi kunci kebersamaan, dalam suka
maupun duka. Desa seperti gambaran surga yang dituturkan Tuhan dalam kitab sucinya.
Pepohonan rindang kehijauan, air mengalir deras ke pemukiman, buah-buah tumbuh subur di
pekarangan. Hingga bunga-bunga yang bermekaran nan elok dipandang. Tak salah jika desa
ibarat tetesan surga yang jatuh ke dunia. Indah sekali.
Tak beda dengan Ketringan, sebuah desa terpencil yang terletak di pelosok Kecamatan
Jiken Kabupaten Blora. Desa yang sangat jauh dari kebisingan kota, letaknya kira-kira 20 Km
dari pusat Kota Blora. Pagi itu, matahari nampak begitu cerah memancarkan seluruh
cahayanya untuk menerangi bumi dan penghuni semesta raya. Meski masih ada tetesan
embun yang menempel di dedaunan, burung-burung tetap menari indah di atas dahan pohon
jati. Mereka pun berkicau, menambah asyiknya suasana. Saling bersautan dan tak ada yang
mau mengalah. Indah sekali. Tak tampak mendung, apalagi kilatan guntur. Yang nampak
hanya mentari dengan sejuta harapan untuk hari ini.
Seorang bocah dengan seragam SD lengkap mulai beranjak dari rumah menuju sekolah
barunya dengan sejuta asa yang terselip di raut wajah mungilnya. Itulah Maulana seorang
anak petani yang ingin menggapai cita-cita kedua orang tuanya meskipun dengan latar
belakang yang bisa dibilang sederhana.
Ia melangkah dengan senyuman yang lebar bagaikan samudra menghampiri ibunya "Buk
ayo berangkat sekarang nanti takut telat ini kan masuk sekolah yang pertama kali" ucap
Maulana kepada ibunya. Tak bisa dipungkiri Maulana memang anak yang sangat rajin dan
pintar, walaupun ia hanya anak seorang petani tetapi cita-cita dan harapnya sangat tinggi
melebihi tingginya angkasa.
Sepanjang perjalanan kedua mata hanya bisa memandang rindangnya pohon jati yang
berjajar rapi disamping kanan dan kiri jalan. Tak jarang juga burung-burung berterbangan
diatas pohon dengan kicauannya yang sangat indah memikat hati.
Sesampainya di MTs Maulana pun berpamitan dengan ibunya.
"Buk Kakak sekolah dulu yaa, minta doanya semoga nanti bisa mengikuti pelajaran
dengan baik. Assalamualaikum" Ucap Lana dengan halus.
"Iyaa Ibu doakan semoga kakak jadi anak yang pintar di sekolah baru ini ya" Jawab ibu
dengan tulus mendoakan anaknya.
^Sebuah Keajaiban^
Maulana pun sudah masuk ke MTs yang ia dambakan sejak masih di kelas 5 SD tersebut.
Akan tetapi ibunya sangat khawatir dengan anaknya karna ia adalah anak desa yang belum
pernah tau bagaimana kerasnya sekolah di kota. Sehingga ibunya menunggu di depan sekolah
bersama orang tua siswa lain yang sama khawatirnya dengan ia. Ya, inilah Handayani, ibuku
yang memiliki sifat penyabar, penyayang dang sangat khawatir dengan anak semata
wayangnya.
Dengan penuh kesabaran ibuku menunggu hingga aku pulang sekolah. Bel pulang pun
berbunyi, Lana segera keluar dari sekolah dan menghampiri ibunya yang sudah lama
menunggunya hingga berlumut didepan sekolah. Lana dan ibunya pun beranjak
meninggalkan sekolah dengan motor bututnya tersebut. Sesampainya di rumah, seperti biasa
ibunya bertanya.
"Biasa saja kok buk, tapi tadi tiba-tiba ada pembagian kelas sesuai ranking jumlah nilai
dan diambil 100 besar untuk tes masuk kelas unggulan" Jawab Lana dengan semangat.
"Terus Kakak masuk 100 besar itu atau tidak?" Tanya ibu yang kedua .
"Alhamdulillah Kakak masuk buk tapi belum tahu hasilnya masih nunggu besok, ya
semoga saja Kakak bisa masuk kelas unggulan"
"Aamiin semoga saja Kakak bisa masuk ke kelas unggulan" Sahut ibu dengan penuh doa
dan harapan anaknya bisa masuk ke kelas yang elit dan bisa bersaing dengan ratusan anak
kota yang lebih pintar.
Keesokan harinya Lana berangkat sekolah seperti biasa dengan diantar oleh ibunya
menggunakan motor butut yang biasa dipakai sehari-hari. Tapi pagi ini ada yang berbeda,
Lana tidak sendirian tetapi ia bersama temannya. Ia adalah sosok teman sejak kecil tetapi
terpisah karna ia ikut sekolah di SD tempat ibunya mengajar. Syaiful adalah sosok teman
Lana sejak kecil yang setiap hari bermain bersama kini sekolah di tempat yang sama juga
dengan Maulana.
Seperti biasa sesampainya di sekolah Lana melakukan kegiatan belajar dengan
semangat. Tiba-tiba ada pengumuman dari sentral yang berisi tentang hasil dari tes kemarin
sudah ditempel di depan kelas masing-masing. Semua siswa pun bergegas untuk melihat
pengumuman tersebut dan berharap bisa masuk di kelas unggulan karena notabene kelas
unggulan adalah kelas yang berisi anak-anak pintar saja dan biasanya ranking paralel pun
diborong oleh kelas unggulan tersebut.
Lana adalah anak yang bisa dikatakan paling malas untuk berdesakan, jadi Lana hanya
menunggu di belakang hingga semua siswa selesai melihat pengumuman baru ia akan melihat
pengumuman tersebut. Belum selesai kerumunan ada sesok teman Lana yang
menghampirinya dan berkata padanya.
Dia adalah Karunia teman sebangku Lana semasih di Sekolah Dasar. Dengan raut wajah
yang sangat kaget dan penasaran Lana pun menjawab.
"Hah yang benar Nia? Aku masuk kelas unggulan? Mimpi apa aku semalam bisa masuk
kelas unggulan, padahal kemarin aku menjawab dengan setahuku saja"
"Iya bener kamu masuk kelas unggulan, selamat yaaaa" Ucap Nia dengan raut wajah
yang agak sedih.
Lana pun bertanya "Trus kamu gimana, masuk kelas unggulan juga kan pasti?"
"Tidak aku tidak masuk kelas unggulan karna kemarin aku tidak bisa mengerjakan,
soalnya banyak yang tentang agama, aku kan tidak pandai masalah agama"
Memang benar, Nia adalah anak yang pintar tetapi kurang jika masalah agama karna ia
tidak mengaji di Madin seperti Lana. Sedangkan Lana sangat pandai perihal agama karna dia
adalah seorang yang rajin mengaji di Madin setiap sore dan di Musholla setiap malam. Jadi
tidak bisa dipungkiri jika Lana lebih pintar dibandingkan dengan Nia.
Singkat cerita Lana pun sudah berada di kelas unggulan dan ia sangat kesepian karena
tidak ada satupun temannya yang masuk di kelas unggulan. Tetapi dari sinilah Lana dapat
beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan mendapatkan teman yang baru juga. Lana
mencoba memperkenalkan dirinya dengan teman yang baru.
Tanya Lana pada teman didepannya yang ternyata itu adalah Alfita seorang siswi yang
mendapatkan nilai tertinggi tes seleksi kemarin.
"Aku Alfita dan kamu siapa? Jawab Alfita yang juga belum tahu bahwa teman
dibelakangnya itu adalah Lana, siswa yang berada tepat di bawahnya dengan nilai selisih 0,7
saja.
"Wah ternyata rumahmu jauh juga ya, semangat ya nak semoga besok waktu
pengumuman mendapat hasil yang terbaik"
Setelah satu Minggu berlalu tepatnya hari Senin, semua siswa dan guru melakukan
upacara seperti biasa. Setelah upacara Lana bertemu dengan salah satu guru dan guru tersebut
berbicara padanya.
"Selamat ya Lana"
"Loh, kamu belum tahu ya? Yasudah tunggu saja nanti biar pembimbing mu yang ngasih
tahu"
"Baik Bu"
Dan benar saja dengan ucapan Bu Zuriah satu Minggu yang lalu, Lana mendapatkan
hasil terbaik sebagai juara 2 Olimpiade Bahasa Indonesia tingkat Nasional. Lana sendiri juga
masih tidak menyangka jika ia bisa manjadi juara olimpiade Nasional. Tapi sayang sekali
setelah Lana naik ke kelas VIII ia tidak melanjutkan bimbingan Bahasa Indonesia dan justru
malah memilih untuk ikut bimbingan Matematika.
“Aku juga ngga tahu, dari rumah aku mendengar teriakan yang arahnya dari sawah. Aku
langsung kesana dan ternyata aku melihat ibu yang sudah mendekap tubuh bapak dan
menangis.” Jawab Sukadi.
“Ya sudah, kita siapkan saja upacara pemakamannya sambil menunggu saudara yang dari
luar kota tiba disini.” Tegas Sukadi.
Pagi itu cuaca tak seperti sebelumnya. Suasana begitu senyap. Burung-burung yang biasa
bernyanyi dengan riang di dahan cemara depan rumahnya, kini tak mau bersiul seolah ikut
merasakan duka. Matahari yang kemarin bersinar dengan cerahnya, kini tampak redup seperti
ikut merasakan pilu. Sungguh pagi yang amat menyedihkan. Para pelayat semakin memenuhi
rumah duka. Mulai dari pamong desa sampai pamong kecamatan juga nampak disana.
Hampir semuanya menanyakan apa yang terjadi dengan Kakek Lana tersebut. Tapi tak ada
satu pun yang bisa mengetahui pasti dan belum ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. Yang
mengetahui pasti adalah nenek Lana sendiri yang masih terbaring lemas belum sadarkan diri.
Ia tergeletak lemas dikamarnya ditemani oleh para ibu-ibu. Ia pun tak ada daya. Ucapan
terakhir suaminya untuk pergi ke sawah, ternyata adalah isyarat untuk pergi selama-lamanya.
Suasana begitu kalut. Tatkala terdengar suara Yasin dari para pelayat. Sang nenek masih tak
sadarkan diri. Ia benar-benar terpukul atas kejadian ini. Para kerabat dan pelayat hanya
berharap agar sang nenek bersabar dan menerima takdir yang sudah ditetapkan Tuhan.
Upacara pemakaman pun sudah siap untuk dilakukan. Para pelayat berkumpul untuk
bersama-sama melakukan sholat jenazah, sebelum pemakaman dilaksanakan. Kala itu yang
bertindak sebagai imam adalah Kiai Khoirin, sesepuh desa Ketringan. Mereka tampak
khusyu’ melaksanakan sholat, bahkan tak jarang dari mereka meneteskan air mata kesedihan.
Seperti masih tak rela untuk melepas kepergian orang yang dikenal sangat baik.
Lana yang juga mengikuti sholat jenazah nampak lemas, dan selalu memuntahkan air
mata, hingga membuat matanya merah dan membengkak. Sepertinya ia belum siap untuk
menerima semua ini.
“Nek, yang sabar nek......” Ucap Lana yang merangkul neneknya dengan erat.
Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya linangan air mata yang mengucur dari
matanya. Benar-benar neneknya merasakan duka yang amat dalam. Para pelayat yang tak
kuat melihatnya pun ikut meneteskan air mata. Tak terkecuali Kiai Khoirin yang memimpin
upacara pemakaman. Prosesi pemakaman pun selesai. Para pelayat pulang ke rumah masing-
masing. Tapi tak untuk nenek Lana. Ia tersungkur diatas gundukan tanah yang masih basah,
tempat suaminya dimakamkan. Ia tak mau pulang meninggalkan suaminya sendirian. Semua
saudara pun merayunya, tapi tak ada satu pun yang mempan. Bahkan sampai Kiai Khoirin
pun ikut membujuknya untuk pulang, ia tetap tak bergeming sedikitpun.
“Ayo nek, pulang... biarkan kakek istirahat dengan tenang.” Kata Kiai Khoirin sambil
memegang pundak Lana yang berada disamping neneknya.
“Njengan pulang saja, saya mau tetap disini menunggui suami saya.” Jawabnya dengan
nada terbata-bata.
“Ayo, kita pulang dulu. Kita do’akan kakek dari rumah. Kalau nenek menangis terus,
apalagi sampai air matanya menetes di makam kakek. Itu artinya telah mempersulit jalan
kakek menuju surga Allah.” Nasehat Kiai Khoirin kepada nenek .
Nenek pun luluh mendengar nasehat Kiai Khoirin. Ia segera beranjak dari makam
dirangkul oleh Lana dan Ibunya. Ia sebenarnya masih merasa enggan untuk meninggalkan
makam sang suami. Seperti dalam sebuah mimpi, baru beberapa jam yang lalu, ia masih bisa
mendengarkan suaranya, namun beberapa jam kemudian, Allah telah membuatnya tak kuasa
lagi untuk berbicara. Inilah kehidupan, tak ada yang abadi. Hanya Tuhan lah yang Maha
Abadi, manusia hanyalah mahkluk-Nya yang tak bisa berkuasa atas kehendak-Nya.
_Takdir Baik_
Keesokan harinya Lana memulai kegiatannya seperti biasa dan kini ia sudah berada di
kelas VIII. Lana merasa sangat bahagia karena di kelas VIII ini ia bisa bersatu kembali
dengan temannya. Ya, itu adalah Karunia yang mendapatkan rangking 2 di kelasnya waktu
kelas VII kini masuk di kelas unggulan Juga.
Saat di kelas VIII ini Lana menjadi siswa yang sangat aktif dan rajin. Ia selalu mengikuti
perlombaan yang ada bersama dengan keempat temannya tadi. Bahkan ia mendapatkan 18
medali dalam waktu setengah semester saja.
Disamping prestasi Lana tersebut ada juga yang harus ia korbankan yaitu ngajinya di
sore hari. Ia berkata pada ibunya.
"Buk kakak sudah capek pulang dari Mts Jam 2 kalau harus ngaji sore juga kakak tidak
kuat buk"
"Ibu tidak memaksa kakak, kalau memang kakak capek nanti ibu bilang sama kepala
madin kalau kakak mau berhenti ngaji sore"
"Iya buk kakak sudah capek kalau harus ngaji sore juga kan malam kakak juga ngaji di
Musholla"
Malam harinya Lana dan ibunya pergi ke rumah kepala madin tersebut
"Assalamualaikum" Ucap salam mereka saat mau masuk ke rumah Kepala Madin.
"Begini pak ini Lana katanya sudah tidak kuat kalau harus ngaji sore karena dia pulang
sudah sore pasti capek juga"
"Jangan Bu kalau bisa diteruskan saja, nanggung soalnya Lana tinggal setengah semester
sudah lulus"
Kalau dipikir benar juga ucap Kepala Madin tersebut Lana sudah berjuang Selama 4
tahun tapi kurang 3 bulan saja masa mau nyerah.
"Begini saja Bu, karna saya rasa Lana mampu mengikuti pelajaran ngaji jadi gimana
kalau Lana nanti hanya ikut ujian saja, tapi kalau masih ada waktu bisa masuk walaupun telat
tidak apa-apa"
Tidak bisa dipungkiri sosok Lana tidak hanya berprestasi di sekolah formal saja tetapi ia
juga berprestasi di sekolah nonformal juga hingga Kepala Madin berani membuat keputusan
tersebut.
Tak disangka ternyata walaupun Lana jarang masuk tetapi ia mendapat predikat lulusan
terbaik dengan nilai yang melambung jauh melampaui teman-temannya yang masuk setiap
hari. Semua orang pun terheran-heran mendengar pengumuman tersebut saat akhirusanah
kelulusan Madin. Tak terkecuali dengan Handayani ibu Lana sendiri, ia masih tak percaya
jika anaknya tersebut bisa melewati semua ini dan mendapatkan hasil yang terbaik meskipun
dengan kesibukannya di sekolah formal.
Dan saat itu juga bersamaan dengan penerimaan raport semester ganjil di kelas VIII. Tak
heran juga kali ini Lana melejit jauh lebih tinggi naik ke rangking satu menyalip Alfita
dengan selisih nilai yang jauh lebih banyak.
Karena yang mengambil raport adalah orangtua jadi Lana hanya bisa menunggu di
rumah dengan rasa cemas dan takut jika ia mengecewakan orangtuanya. Terdengar suara
motor butut milik ibu telah tiba di depan rumah, ia dengan cemas bertanya kepada ibunya
Ibu belum menjawab dengan kata-kata, hanya senyuman lebar yang mengisyaratkan
suatu kata. Lana pun semakin penasaran
"Wong kok seng liyane penak-penak neng omah malah mlebu sekolah dewe teros"
"Ya gak popo lah ben tambah pinter malahan" Jawab ibukku membelaku.
Akhir semester 2 ibuku mendapatkan surat undangan untuk rapat bersama 5 orangtua
siswa yang terpilih lainnya. Undangan tersebut berisi tentang perizinan untuk aku supaya
boleh mengikuti perlombaan Robotik di Yogyakarta. Pada saat itu dimintai biaya sekitar 850
ribu rupiah untuk tambahan dana selama 3 hari di Sleman, Yogyakarta. Dan ibuku berkata,
"Kalau harus membayar uang segitu ya jujur saya belum punya Bu. Kalau memang harus
bayar ya mas Lana mengundurkan diri saja biar diganti dengan yang lain"
"Ibu, saya tidak membutuhkan uang dari ibu tetapi saya hanya membutuhkan kepintaran
dari anak ibu, jadi untuk mas Lana kami gratiskan tidak usah membayar sepeser pun" Jawab
Kepala Madrasah dengan tegas.
"Yasudah kalau memang seperti itu silahkan saya izinkan anak saya Bu"
Pak Slamet memang tipikel orang yang tidak suka bertele-tele jadi beliau langsung to the
point saja.
"Loh! Saya pak? Saya kan hanya lulusan dari Madin pak, ilmu saya mungkin juga baru
sebiji sawi tidak sebanyak orang lain yang mungkin lebih layak dibandingkan dengan saya"
Jawab Lana secara spontan karna kaget.
"Ya tidak apa-apa, saya rasa kamu mampu untuk mengajar adek-adek yang masih berada
dibawahmu"
"Yasudah kalau memang begitu pak, saya akan berusaha untuk mencoba dan terus belajar
lagi"
"Nah begitu baru murid saya. Sebenernya yang saya butuhkan tidak hanya ilmu yang
kamu punya tetapi kesabaranmu yang melebihi luasnya samudra dan kasih sayangmu pada
anak kecil yang melebihi kasih sayang ayam pada anaknya" Ucap Pak Slamet dengan raut
wajah yang nampak sumringah bahagia.
Hari pun telah berlalu dan kini sudah tiba saatnya Lana untuk menjadi sosok guru untuk
pertama kalinya. Yang pasti sih grogi ya apalagi di TPQ tidak hanya ada anak-anak saja,
melainkan ibu-ibu juga yang terkandung mulutnya pedas seperti cabe rawit. Karena Lana
adalah guru yang umurnya paling muda yaitu baru 15 tahun ia terkadang merasa minder
dengan yang lain. Lana pun manut saja ditempatkan dikelas mana.
Di hari pertamanya Lana berada di kelas B yaitu kelas pertengahan, dan ternyata kelas B
adalah kelas dengan jumlah murid yang paling banyak yaitu 25 siswa. Lana pun semakin
gugup bagaimana ia bisa memulai pelajaran dan bagaimana juga ia bisa mengajar mereka,
karna ia belum punya bekal sedikitpun. Lana akhirnya membuka elajaran dengan salam dan
doa kemudian ia berusaha memberikan ilmu yang ia punya kepada muridnya tersebut. Hari-
hari sudah berlalu begitu saja, tanpa Lana sadari ia sudah terbiasa dengan pekerjaannya
tersebut. Sampai-sampai kini ia menjadi guru terfavorit di kalangan muridnya. Itu semua
karna ia memiliki sifat yang penyabar dan sangat menyayangi muridnya.
^^^Bimbang?^^^
Tibalah Lana diakhir masa biru putihnya, ia merasa bingung antara mau melanjutkan
sekolah atau tidak karena keterbatasan ekonomi keluarga. Bagi masyarakat, menyekolahkan
anak sampai SMA itu butuh biaya yang tak sedikit. Mulai dari biaya bulanan, biaya buku, dan
seragam. Belum lagi biaya untuk transportasi yang harus ada setiap harinya. Bagi perantau
kuli bangunan yang penghasilannya pas-pasan itu sangatlah berat. Apalagi untuk petani yang
panennya tiga bulan sekali. Bahkan ada yang setahun dua kali.
“Kakak, jangan melamun, lagi mikir apa?” Tanya Bapaknya sambil memikul cangkul di
pundaknya.
“Ini Pak, kakak lagi mikir. Kok, kakak rasa, orang desa itu kok pada jadi aneh ya pak.”
“Aneh Kenapa?” Tanya Bapaknya dengan mimik penuh rasa ingin tahu.
“Ya aneh saja pak. Mereka itu beli motor baru. Kredit lagi. Cicilannya sampai Rp.
300.000 per bulan. Dan mereka sanggup. Tapi untuk menyekolahkan anak sampai SMA yang
mungkin sama segitu, kok ga pada sanggup. Aneh.”
“Kak, yang namanya orang menyekolahkan anak itu bukan hanya masalah uang, tapi
masalah niat. Bapak bisa menyekolahkanmu, meski sebenarnya pendapatan bapak mungkin
sama dengan yang lain. Kenapa? Karena bapak punya niat.” Jawab Bapaknya berusaha
menjelaskan.
“Ya sudah, sekarang sudah jam 7. Bapak mau berangkat ke sawah dulu.”
“Ga usah, kamu dirumah saja. Urusan sawah biar bapak. Kamu konsentrasi belajar saja.
Sebentar lagi juga kamu kan mau ujian apa namanya?”
Sang Bapak berlalu meninggalkannya sendiri di rumah. Hanya buku-buku pelajaran yang
tertumpuk di rak-rak usang yang menemaninya kini. Bahkan, meski ia anak petani, koleksi
bukunya bisa mengalahkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang tingkat ekonominya
lebih baik. Semua berawal dari semangat. Maklum saja, ia adalah murid yang dikenal rajin di
sekolahnya, sehingga hampir ia memiliki semua buku pelajaran yang pelajarinya di sekolah.
Kadang teman-temannya sampai heran melihat semangatnya yang menggebu-gebu. Padahal
rumahnya saja bisa dikatakan sangat sederhana jika dibandingkan dengan tetangganya.
Temboknya masih terbuat dari papan kayu dan lantainya masih tanah. Tak seperti yang lain,
yang temboknya sudah terbuat dari batu bata yang di dalamnya tersedia sofa yang cukup
empuk dan bagus serta sudah berlantai keramik. Menurutnya, Sang Bapak tak mau
memperbaiki rumahnya seperti yang lain sebelum anaknya selesai pendidikannya. Karena
menurutnya, yang lebih penting adalah isinya bukan sangkarnya. Banyak yang sangkarnya
bagus dan mewah tetapi isinya kosong. Selain itu, bekal ilmu akan lebih berharga dari pada
bekal harta. Prinsip itulah yang menjadikan bapaknya menjadi sosok yang sangat kuat
pendiriannya dan susah untuk digoyahkan oleh siapapun. Hingga banyak orang-orang yang
menaruh simpati dan kagum padanya. Kondisi itu tak pernah menjadikannya malas untuk
belajar, justru sebaliknya.…
"Haaa... yang benar Bu? Ibu pasti bohong ya, masa aku bisa menang lomba
Internasional, padahal waktu lomba aku saja tidak faham maksud soalnya karna pakai Bahasa
Inggris semua"
"Benar ibu tidak bohong ini sudah datang medali dan piagamnya dari Philippina, besok
bisa diambil di Mts ya"
"Iya Bu siap"
Paginya dengan penuh semangat Lana pergi ke Mts untuk menemui pembimbingnya,
akhirnya penantian selama 6 bulan berbuah manis dengan hasil yang membanggakan. Setelah
bertemu dengan gurunya Lana kaget yang kedua kalinya
"Iya itu yang satunya piagam dari lomba riset kamu saat ekstrakurikuler KIR"
"Loh lomba yang pakai bahasa inggris itu Bu? Yang saya baca saja sampai kepleset
lidahnya "
Sangat tak disangka ternyata walaupun sudah di jenjang pendidikan SMA masih ada
piagam Lana yang baru keluar dari luar negeri. Dan piagam riset tersebut bertuliskan silver
award yang artinya juara 2 padahal ia sudah tidak berharap akan menang karena saat
presentasi menggunakan bahasa inggris ia sangat kesulitan.
Ketika di MAN Lana sangat menikmati sekolahnya sampai-sampai ia mengikuti OSIS
dan banyak ekstrakurikuler. Lana adalah sosok yang mudah beradaptasi sehingga ia dengan
mudah mengeksplorasi banyak hal di tempat yang baru. Di Madrasah Aliyah ini Lana juga
banyak mengukir prestasi di bidang non akademik seperti Olimpiade Matematika, Fisika,
Kimia, Biologi, dan pelajaran lainnya bahkan ia juga mengikuti olimpiade lintas jurusan
seperti Ekonomi dan Geografi, serta lomba di bidang riset dan penelitian.
Di kelas Lana juga dikenal dengan sosok yang rajin dan aktif sehingga tak heran banyak
guru yang mengenalnya dan akrab dengannya. Setiap ada kegiatan class meeting kelasnya
selalu menjadi juara umum hingga 3 tahun berturut turut. Hal ini juga tidak lepas dari peran
Lana dalam mengkoordinasikan teman-temannya dan juga ia mengorbankan dirinya sendiri
terjun ke lapangan untuk berjuang bersama teman-temannya tersebut.
Dari sinilah Lana dapat berfikir bahwa tidak ada mimpi yang tidak bisa digapai jika mau
berusaha pasti akan ada jalannya. Walaupun hanya anak desa dan anak seorang petani tapi
Lana membuktikan bahwa semua itu tidak berpengaruh baginya, malahan itulah yang
menjadi semangat baginya untuk mengejar impiannya.
^^_TAMAT_^^