A. BIOGRAFI
Dengan sangat bijaksana Tuanku Imam menjawab: “Habib! Kami tahu cita-cita
yang baik dari Habib! Memang tidak perlu darah ini tertumpah banyak, tapi ucapan
Belanda seperti itu dahulu telah kami dengar juga sewaktu perjanjian damai di
masang! Pada hal kalau niat suci itu memang ada, mengapa Kota Lawas yang
terang berada di bawah kuasa kami diduduki saja oleh kompeni, dan tak ada niat
hendak mengembalikan? Mengapa di tempat-tempat yang kami berkuasa selalu
diganggu dan dikepung? Dan lagi jika benar Belanda hendak berdamai dengan
kami, silahkanlah meninggalkan Luhak Agam! Karena itu adalah daerah kami.
Katakanlah kepada Belanda supaya dia menghormati perjanjian yang telah dibubuhi
tanda tangan sendiri. Habib tahu bagaimana arti janji bagi kita orang Islam! Dari
pihak kami sendiri tidaklah pernah janji kami langgar!”
Mendengar jawaban itu, Sayid al-Jufri memaklumi bahwa ternyata dia bertemu
dengan pribadi yang jauh lebih besar dari pada yang dikiranya semula. Hal-hal yang
diuraikan di atas secercah bukti bahwa Tuanku Imam Bonjol dengan bekal ilmu,
pengalaman hidup dan sikap keulamaanya yang mumpuni, membuat orang yang
berhadapan dengannya menyadari akan kekurangan dirinya dibandingkan dengan
kharisma yang dimiliki oleh Tuanku Imam. Bagi Kompeni Belanda, niat jahat untuk
menguasai ranah Minang dengan segala hasil buminya, integritas Tuanku Imam
sebagai ulama pemimpin masyarakat seakan tidak ada artinya sama sekali.
Keinginan Tuanku Imam untuk berjuang mengusir penjajah “kafir” dari bumi
Minangkabau seakan sia-sia belaka, karena mereka (kompeni) melakukan berbagai
cara untuk melumpuhkan kekuatan perlawanan kaum Paderi dan masyarakat
Sumatera Barat.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan
dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku
Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973. Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik
bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran
Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001
JENDRAL SUDIRMAN
A. BIOGRAFI
Suatu hari dengan adanya tekad dan keyakinan yang mendalam, Jenderal
Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya yang
berlangsung selama tujuh bulan. Dalam menjalankan peperangan tersebut kondisi
fisik Soedirman dalam keadaan sakit. Sehingga, dalam perjalanan perangnya ia
harus ditandu untuk memimpin pasukannya.
Ada beberapa alasan perang gerilya itu dilakukan, diantaranya ialah strategi
gerilya memiliki karakteristik perang dengan persenjataan atau kekuatan militer
yang minim. Strategi yang digunakan Jenderal Soedirman dalam melawan Belanda
dengan gerilyanya bersifat non-kooperatif. Ia tidak mau menjalin perundingan
ataupun kerja sama dengan pemerintah kolonial. Strategi gerilya ini memiliki sifat
melemahkan, bukan menghancurkan. Selain itu dalam strategi perang gerilya
berusaha agar serangan mencakup di berbagai daerah seluas luasnya. Sementara
tujuan memperluas serangan agar lawan dapat menyebar pasukannya, sehingga
kekuatan mereka menjadi terpecah dan mudah untuk ditaklukkan.
Pada saat Jenderal Soedirman dalam masa perang gerilya, terjadi Perjanjian
Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian ini ditandatangani oleh perwakilan
dari kedua negara yakni Mohammad Roem (delegasi dari Indonesia) dan Herman
van Roijen (delegasi dari Belanda). Berdasarkan pada perjanjian ini, pada Juni 1949
Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta serta pejabat pemerintah RI
yang ditahan pihak Belanda di Pulau Bangka dikembalikan lagi ke Yogyakarta.
Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu dari cara perjuangan guna
mempertahankan kemerdekaannya melalui strategi diplomasi, sehingga kekuasaan
pemerintahan Republik Indonesia kembali lagi ke Yogyakarta. Setelah presiden
kembali lagi ke Yogyakarta, Jenderal Soedirman pun diminta untuk kembali juga ke
Yogyakarta, namun ia menolak. Atas penolakan tersebut, pihak pemerintah meminta
bantuan Kolonel Gatot Subroto, yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima
Divisi XI yang memiliki hubungan baik dengan Jenderal Soedirman. Gatot
mengirim surat yang bertujuan untuk membujuk Jenderal Soedirman agar mau
kembali lagi ke Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, dengan berbagai pertimbangan dan
maksud untuk menghargai Gatot, Jenderal Soedirman bersama pasukannya bersedia
kembali lagi ke Yogyakarta. Mulai sejak itu, Jenderal Soedirman kembali bersama
pasukannya dan menetap di Yogyakarta dan penyakitnya kambuh kembali.
Di tengah gentingnya keadaan saat itu, Jenderal Soedirman bersama staf dan
anggotanya melakukan rapat untuk kebaikan TNI. Lalu, T.B. Simatupang dan A.H.
Nasution menemukan strategi perongrongan (attrition strategy). Strategi ini
merupakan strategi perang yang bersifat jangka panjang yang kemudian dijabarkan
dalam organisasi dan sistem wehrkreise (lingkungan pertahanan atau pertahanan
daerah). Kemudian pada November 1948, sistem wehrkreise ini disahkan
penggunaannya melalui SURAT PERINTAH SIASAT No.1 yang ditandatangani
oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Puncak dari perang gerilya ini adalah serangan 1 Maret 1949 yang direncanakan
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kemudian dikomando oleh Jenderal
Soedirman, dan dilaksanakan oleh Letkol Suharto. Ini menjadi bukti bahwasanya
segala komando perjuangan masih berada di pundak panglima besar Jenderal
Soedirman seperti yang telah dijelaskan di awal. Perlawanan tersebut membuat
Belanda semakin tercengang, karena serangan tersebut memang sengaja dilakukan
oleh Indonesia, dan memberi tahu bahwa bangsa Indonesia tidak takut dan masih
akan terus berdaulat. Serangan tersebut adalah tanda bahwa bangsa Indonesia masih
ada dan tidak takut dengan segala bentuk penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia
siap untuk melawan dan mengusir segala bentuk penjajahan di negara Indonesia dan
perjuangan tersebut tidaklah sia-sia, karena serangan tersebut mampu membungkam
propaganda yang dibuat oleh Belanda. Belanda pada waktu itu mengatakan bahwa
Indonesia sudah dikuasai, dan intrik-intrik itu merupakan gerakan yang dilakukan
oleh pengacau keamanan, bukan dari para pejuang. Akhirnya serangan tersebut
mampu membungkam propaganda yang dilakukan oleh Belanda. Perjuangan
tersebut juga menjadi tonggak perjuangan para pahlawan di medan perang karena
perjuangan di ranah diplomasi juga memberikan hasil yang baik, di mana Belanda
dapat diusir kembali ke negeri asalnya.
A. BIOGRAFI
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia yang dikenal karena
perjuangannya dalam melawan penjajahan
Belanda di wilayah Aceh pada abad ke-19. Dia
lahir dengan nama asli Cut Nyak Meutia pada
tanggal 1 November 1848 di Lampadang, Aceh
Besar, Aceh, dan meninggal pada tanggal 6
November 1908 di Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dien menjadi tokoh penting
dalam perlawanan terhadap Belanda selama Perang Aceh yang berlangsung dari
tahun 1873 hingga 1914. Dia adalah istri dari Teuku Umar, seorang panglima
perang yang juga terlibat dalam perlawanan melawan penjajah. Setelah
suaminya gugur dalam pertempuran, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan
dengan memimpin pasukan Aceh.
Keberaniannya dalam pertempuran dan kepemimpinannya yang tangguh
membuatnya dihormati oleh rakyat Aceh dan dianggap sebagai simbol
perlawanan terhadap penjajah. Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia secara
resmi mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia karena
jasanya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Cut Nyak
Dien menjadi contoh inspiratif bagi perempuan Indonesia, menunjukkan bahwa
perempuan juga memiliki peran yang penting dalam perjuangan kemerdekaan
dan dalam mempertahankan keutuhan negara.
A. BIOGRAFI
Sultan Hasanuddin (1631-1670) adalah seorang
pemimpin dan pejuang besar dari Kesultanan Gowa-
Tallo di Sulawesi Selatan, Indonesia. Ia dikenal karena
perlawanannya yang gigih terhadap penjajah Belanda
dan upayanya dalam mempertahankan kedaulatan
kesultanan tersebut.
Lahir pada tahun 1631 di Makassar,
Hasanuddin merupakan keturunan dari keluarga
bangsawan di Kesultanan Gowa-Tallo. Sebagai
seorang pemimpin muda, ia ditunjuk sebagai raja Kesultanan Bone pada tahun
1653 setelah kematian ayahnya, Sultan Malikussaid.
Semasa kecil Sultan Hasanudin diberi nama I Malambasi oleh orang
tuanya. Waktu itu, Ayahnya belum menjadi Raja Goa, Baru setelah I Mallambasi
berumur delapan tahun, Ayahnya diangkat menjadi Raja Goa. I Mallambasi
belajar Al-Qur’an pada umur 8 tahun. Setelah mulai mengaji, namanya diganti
menjadi Muhammad Bakir. Muhammad Bakir mempunyai otak yang cerdas,
kemauan yang keras dan pantang menyerah. Pada waktu itu pendidikan untuk
anak-anak raja dan bangsawan dipisahkan dari rakyat biasa, Walaupun
mendapat pendidikan yang terpisah Muhammad Bakir tetap bergaul bersama
teman-temannya yang berasal dari golongan rakyat biasa, Bahkan Muhammad
Bakir sangat marah jika ada anak bangsawan yang sombong terhadap rakyat. Di
samping pendidikan agama, pengetahuan umum juga diberikan kepada
Muhammad Bakir.
B. PERJUANGAN DAN PERAN SULTAN HASANUDIN
Setelah berumur 20 tahun, Muhammad Bakir diikutkan oleh ayahnya
dalam soal-soal negara. Sultan Muhammad Said telah menetapkan bahwa
Muhammad Bakir kelak akan memangku jabatan Raja. Saat Muhammad Bakir
berusia 22 tahun, 6 Sultan Muhammad Said wafat, Muhammad Bakir lalu naik
tahta sebagai Raja Goa ke 16, jika mengikuti adat kebiasaan, Muhammad Bakir
tidak berhak menduduki tahta karena lahir sebelum ayahnya menjadi Raja.
Walaupun begitu, putra mahkota yakni Daeng Matawang bersedia menyerahkan
tahta kepada Muhammad Bakir, beserta permaisuri dan keluarga bangsawan
menyetujui pengangkatan Muhammad Bakir sebagai Raja Goa ke 16 dengan
gelar Sultan Hasanudin.
Kerajaan Goa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin terletak di ujung
selatan Pulau Sulawesi, Kerajaan Goa dan ibukotanya yang terkenal yakni
Sumbaopu terletak di pantai Selat Makassar, selat yang memisahkan Pulau
Sulawesi dan Pulau Kalimantan. Kerajaan Goa menjadi penghubung antara
Pulau Jawa, Pulau Kalimantan bahkan Pulau Sumatera dan semenanjung
Malaka di sebelahbarat dengan Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara di
sebelah timur. (Sagimun, 1985, h. 1-2) Setelah Sultan Hasanudin
menduduki tahta Kerajaan Goa, keadaan tidak seperti yang diharapkan oleh
para pembesar VOC di Batavia (Jakarta), maka hubungan antara Kerajaan
Goa dan VOC tidak dapat dielakkan.
Ketegangan yang sering disertai pertempuran yang seru antara Kerajaan
Goa dengan VOC sesungguhnya sudah berlangsung jauh sebelum Sultan
Hasanudin menduduki tahta Kerajaan Goa. Kerajaan Goa selalu menolak
bahkan menentang dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan oleh
VOC terutama di Indonesia bagian timur. Kerajaan Goa berpendirian: “Tuhan
Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di
antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah
terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda
melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-oleh mengambil nasi dari mulut
orang lain”. Demikianlah pendirian dari Sultan Alaudin maupun sultan
Muhammad Said bahkan juga Sultan Hasanudin yang selalu berpendirian bahwa
tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk digunakan bersama oleh semua umat
manusia. Bukan hanya untuk VOC atau orang-orang Belanda. Itulah sebabnya
mengapa Kerajaan Goa dengan keras menentang usaha monopoli VOC.
Sebaliknya VOC berusaha dengan keras pula menghancurkan dan
menyingkirkan Kerajaan Goa.
Perjuangan dan peran Sultan Hasanuddin terutama terkait dengan
upayanya dalam mempertahankan kedaulatan Kesultanan Gowa-Tallo dari
penjajahan Belanda pada abad ke-17. Sebagai seorang pemimpin yang gigih dan
berani, Sultan Hasanuddin memimpin perlawanan yang berani terhadap
kekuatan kolonial Belanda yang berusaha untuk menguasai wilayahnya.
Salah satu aspek penting dari perjuangan Sultan Hasanuddin adalah
kepemimpinannya dalam menggalang dan memimpin pasukan militer untuk
melawan invasi Belanda. Meskipun menghadapi tekanan yang besar dari
kekuatan militer Belanda yang lebih besar, Sultan Hasanuddin terus berjuang
dengan gigih, menunjukkan ketabahan dan keberanian dalam mempertahankan
tanah airnya.
Selain itu, Sultan Hasanuddin juga memainkan peran penting dalam
membangun kesatuan di antara berbagai elemen masyarakat Sulawesi Selatan
untuk melawan penjajah. Ia berhasil menyatukan suku-suku dan kerajaan-
kerajaan di wilayah tersebut, membentuk aliansi yang kuat dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Kesultanan Gowa-Tallo
Di bawah kepemimpinannya, Hasanuddin berhasil memperluas wilayah
kekuasaan kesultanan, memperkuat sistem administratif, dan membangun
hubungan dagang yang kuat dengan negara-negara tetangga. Perjuangan
Hasanuddin melawan penjajah Belanda menjadi sorotan utama dalam
sejarahnya. Pada tahun 1666, Belanda melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Kesultanan Gowa dalam upaya mereka untuk menguasai wilayah
tersebut. Hasanuddin memimpin perlawanan dengan berani, tetapi kesultanan
akhirnya terdesak oleh kekuatan militer Belanda yang lebih besar.
Setelah serangkaian pertempuran yang sengit, Hasanuddin akhirnya
menyerah kepada Belanda pada tahun 1669. Ia dipaksa untuk mengakui
kekuasaan Belanda dan mengakhiri perlawanan bersenjata. Hasanuddin
kemudian diasingkan ke Batavia (sekarang Jakarta), di mana ia meninggal pada
tahun 1670.
Meskipun terpaksa menyerah kepada penjajah, perjuangan Hasanuddin
tetap dihormati dan diabadikan dalam sejarah Indonesia sebagai simbol
perlawanan terhadap penjajahan. Ia dianggap sebagai pahlawan nasional dan
jasanya dalam mempertahankan kehormatan dan kedaulatan kesultanan telah
mengilhami generasi-generasi berikutnya untuk melawan penindasan dan
mengejar kemerdekaan.