Anda di halaman 1dari 18

TUANKU IMAM BONJOL

A. BIOGRAFI

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman,


Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772 - wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng,
Minahasa, 6 November 1864), adalah salah seorang
ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama
Perang Padri pada tahun 1803 1838.

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah


Muhammad Shahab, yang lahir di Bonjol pada 1 Januari
1772. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin
Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib
Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang
berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab


memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari
Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi
kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam
Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan
Provinsi Sumatera Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatera Barat. Naskah
tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan Perpustakàan Provinsi
Sumatera Barat.

B. PERJUANGAN DAN PERAN IMAM BONJOL

Imam Bonjol memimpin perlawanan sengit melawan penjajahan Belanda


selama Perang Padri pada abad ke-19. Perang Padri adalah konflik antara kelompok
Padri yang berhaluan agamis dan tradisionalis dengan kelompok Adat yang
mengikuti tradisi lokal Ia memainkan peran kunci sebagai pemimpin perang dan
berhasil membentuk pasukan yang tangguh. Namun, pada akhirnya, Belanda
berhasil menangkap Imam Bonjol pada tahun 1837, dan ia diasingkan ke Jawa.
Meskipun ditangkap dan diasingkan, Imam Bonjol tetap aktif berjuang melawan
penjajahan. Ia berhasil melarikan diri dari tahanan pada tahun 1840, meskipun
kondisinya yang sudah tua dan sakit.Imam Bonjol dianggap sebagai simbol
kepahlawanan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia dihormati sebagai salah
satu pahlawan nasional dan namanya diabadikan dalam berbagai monumen dan
tempat bersejarah di Indonesia.Imam Bonjol meninggal pada tanggal 6 November
1864, dan warisannya sebagai pejuang kemerdekaan terus dihargai oleh masyarakat
Indonesia.

Sebagai seorang ulama, kepemimpinan beliau yang sangat bijaksana, mendapat


respon positif dari berbagai kalangan masyarakat. Titik berat dakwah diarahkannya
ke sektor ekonomi dan perdagangan, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama,
Bonjol tumbuh sebagai pusat perdagangan baru di Minangkabau. Kontrol ekonomi
dan perdagangan sepenuhnya berada di tangan ulama Paderi.9 Di samping itu
Bonjol juga dijadikan sebagai nagari ‘percontohan’ dalam hal “adatnyo kawi,
syara’nyo lazim; alim sekitab, besar seandiko, penghulu seundang-undang”.10 Ini
sebagai gambaran bahwa kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol lebih menegaskan
sebuah kearifan lokal Minangkabau, yang berbeda dengan daerah lain.

Dalam memimpin masyarakat di nagari Bonjol dan sekitarnya beliau


menjalankan prinsip “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka panghulu,
panghulu barajo ka kato mufakat”. Prinsip mufakat inilah yang menjadi pilihan
beliau di dalam mengatur tata kehidupan umat. Karena menurut beliau mufakat
adalah salah satu nilai universal yang dibawa oleh Islam.11 Kharisma Tuanku Imam
Bonjol sebagai ulama dan pemimpin umat di lain pihak sebagaimana diungkap oleh
Hamka terlihat ketika beliau menerima tamu kehormatan, juru damai kolonial
Belanda yang membawa misi jahat Belanda di Minangkabau, yakni, Sayid
Sulaiman al-Jufri, salah seorang warga Padang keturunan Arab. Misi yang
dibawanya ke hadapan Tuanku Imam adalah bahwa Belanda berniat menjalin
hubungan baik dengan Tuanku dan masyarakat Minangkabau serta tidak akan
merusak agama Islam.

Dengan sangat bijaksana Tuanku Imam menjawab: “Habib! Kami tahu cita-cita
yang baik dari Habib! Memang tidak perlu darah ini tertumpah banyak, tapi ucapan
Belanda seperti itu dahulu telah kami dengar juga sewaktu perjanjian damai di
masang! Pada hal kalau niat suci itu memang ada, mengapa Kota Lawas yang
terang berada di bawah kuasa kami diduduki saja oleh kompeni, dan tak ada niat
hendak mengembalikan? Mengapa di tempat-tempat yang kami berkuasa selalu
diganggu dan dikepung? Dan lagi jika benar Belanda hendak berdamai dengan
kami, silahkanlah meninggalkan Luhak Agam! Karena itu adalah daerah kami.
Katakanlah kepada Belanda supaya dia menghormati perjanjian yang telah dibubuhi
tanda tangan sendiri. Habib tahu bagaimana arti janji bagi kita orang Islam! Dari
pihak kami sendiri tidaklah pernah janji kami langgar!”

Mendengar jawaban itu, Sayid al-Jufri memaklumi bahwa ternyata dia bertemu
dengan pribadi yang jauh lebih besar dari pada yang dikiranya semula. Hal-hal yang
diuraikan di atas secercah bukti bahwa Tuanku Imam Bonjol dengan bekal ilmu,
pengalaman hidup dan sikap keulamaanya yang mumpuni, membuat orang yang
berhadapan dengannya menyadari akan kekurangan dirinya dibandingkan dengan
kharisma yang dimiliki oleh Tuanku Imam. Bagi Kompeni Belanda, niat jahat untuk
menguasai ranah Minang dengan segala hasil buminya, integritas Tuanku Imam
sebagai ulama pemimpin masyarakat seakan tidak ada artinya sama sekali.
Keinginan Tuanku Imam untuk berjuang mengusir penjajah “kafir” dari bumi
Minangkabau seakan sia-sia belaka, karena mereka (kompeni) melakukan berbagai
cara untuk melumpuhkan kekuatan perlawanan kaum Paderi dan masyarakat
Sumatera Barat.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan
dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku
Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6
November 1973. Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik
bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran
Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001
JENDRAL SUDIRMAN

A. BIOGRAFI

Soedirman dilahirkan pada tanggal 24 Januari


1916 di Desa Bodas Karangjati, Kecamatan
Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.1
Soedirman terlahir dari keluarga yang sederhana
bahkan bukan dari kalangan militer. Ayahnya
bernama Karsid Kartawiradji dan ibunya bernama
Siyem.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya,


orang tua Soedirman pernah bekerja di sebuah
pabrik, bertani dan menjadi pedagang antar
kampung. Sebelum Soedirman lahir, orang tua
Soedirman mendatangi seorang asisten wedana
Rembang yakni Raden Tjokrosunaryo. Kedatangan
mereka bermaksud untuk mencari pekerjaan, karena
sebagai seorang pedagang waktu itu tidak banyak menguntungkan. Dengan
kemurahan hati Raden Tjokrosunaryo, orang tua Soedirman pun diterima secara
baik.

Mereka mendapat pekerjaan untuk membantu kehidupan sehari-hari Raden


Tjokrosunaryo. Keberanian orang tua Soedirman meminta pekerjaan pada asisten
wedana Rembang tersebut bukan semata Raden Tjokrosunaryo sebagai asisten
wedana, namun ia juga merupakan kakak ipar Siyem. Raden Tjokrosunaryo
memiliki tiga istri, yang salah satunya merupakan kakak kandung Siyem. Dengan
kata lain, keluarga Raden Tjokrosunaryo masih memiliki hubungan kekeluargaan
dari pihak ibu.

Pada sekitar pertengahan tahun 1916, Raden Tjokrosunaryo yang menjabat


sebagai asisten wedana Rembang memasuki masa pensiun. Kemudian ia
memutuskan untuk tinggal dan menetap di Cilacap.4 yang diikuti oleh kedua orang
tua Soedirman. Setelah dua tahun tinggal di Cilacap, sekitar tahun 1918 ibunya
melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Muhammad
Samingan. Tidak berselang lama, ayah Soedirman meninggal dunia. Kemudian
Siyem pulang ke kampung halamannya dan menikah lagi. Ia mengijinkan dua
anaknya (Soedirman dan Muhammad Samingan) diadopsi oleh Raden
Tjokrosunaryo. Hal tersebut dilakukan oleh Siyem, karena pertimbangan ekonomi,
khawatir kelak tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan anak-
anaknya. Sehingga ia memasrahkan anaknya untuk hidup bersama keluarga Raden
Tjokrosunaryo.

Perjalanan hidup Soedirman bisa dikatakan beruntung, meskipun ia harus


berpisah dengan orang tuanya kandungnya, namun Soedirman hidup dalam
lingkungan orang tua angkatnya yang ekonominya berkecukupan. Alasan Raden
Tjokrosunaryo mengadopsi Soedirman karena ia tidak dianugerahi keturunan
meskipun memiliki tiga istri. Bahkan, nama Soedirman bukan pemberian dari orang
tua kandungnya sendiri, akan tetapi nama tersebut diberikan oleh Raden
Tjokrosunaryo.5 Sebab itulah, sebagian ada yang menyebut bahwa Soedirman
bergelar “Raden Soedirman”

Kehidupan pendidikan Soedirman sangat sederhana layaknya penduduk pribumi


lainnya zaman penjajahan. Proses pendidikannya lebih banyak ditempuh di surau
dengan cara mengaji atau belajar ilmu agama. Soedirman mengenyam pendidikan
dasar melalui didikan ayah angkatnya. Kesederhanaan hidup Soedirman tumbuh
dari latar belakang dirinya yang lahir dari keluarga kurang mampu. Namun karena
kebaikan hati pamannya, ia bisa tumbuh menjadi pribadi dengan nilai-nilai moral
dan pendidikan yang baik. Sehingga dapat membuat jiwanya ramah penuh
kebijaksanaan.

B. PERJUANGAN DAN PERAN JENDRAL SUDIRMAN

Meskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaan, Belanda kembali


menyerang. Pasukan tentara Belanda melakukan Agresi Militer II pada 19
Desember 1948. Mereka melakukan penyerangan terhadap Yogyakarta sebagai
ibukota Republik Indonesia saat itu. Lalu bergerak ke seluruh wilayah Republik
Indonesia. Penyerangan yang dilakukan oleh Belanda dalam Agresi Militer II bukan
hanya fokus ke Yogyakarta, tetapi dilakukan di beberapa titik lain, seperti daerah
Pujon, Batu, Malang, Jawa Timur. Mahardika menyebutkan bahwa penyerangan
Belanda saat itu dilaksanakan dengan strategi yang sangat rapi, tetapi sulit meraih
keberhasilan.

Suatu hari dengan adanya tekad dan keyakinan yang mendalam, Jenderal
Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya yang
berlangsung selama tujuh bulan. Dalam menjalankan peperangan tersebut kondisi
fisik Soedirman dalam keadaan sakit. Sehingga, dalam perjalanan perangnya ia
harus ditandu untuk memimpin pasukannya.

Ada beberapa alasan perang gerilya itu dilakukan, diantaranya ialah strategi
gerilya memiliki karakteristik perang dengan persenjataan atau kekuatan militer
yang minim. Strategi yang digunakan Jenderal Soedirman dalam melawan Belanda
dengan gerilyanya bersifat non-kooperatif. Ia tidak mau menjalin perundingan
ataupun kerja sama dengan pemerintah kolonial. Strategi gerilya ini memiliki sifat
melemahkan, bukan menghancurkan. Selain itu dalam strategi perang gerilya
berusaha agar serangan mencakup di berbagai daerah seluas luasnya. Sementara
tujuan memperluas serangan agar lawan dapat menyebar pasukannya, sehingga
kekuatan mereka menjadi terpecah dan mudah untuk ditaklukkan.

Rute perjalanan perang gerilya Jenderal Soedirman dari Yogyakarta hingga


Pacitan merupakan sebuah upaya untuk mengelabuhi tentara kolonial. Pada 1 April
1949, Jenderal Soedirman menetap di daerah Dukuh Sobo, Desa Pakis, Kecamatan
Nawangan, Pacitan, Jawa Timur. Pada saat itu keadaan Jenderal Soedirman sedikit
mulai membaik. Ia bisa melakukan komunikasi dengan pejabat pemerintah yang ada
di Yogyakarta dengan perantara kurir. Jenderal Soedirman berada di Pacitan selama
kurang lebih tiga bulan. Selain kronologi tersebut, bukti lain bahwa Jenderal
Soedirman bergerilya dari Yogyakarta hingga Pacitan yaitu sebuah monumen
Panglima Besar Jenderal Soedirman yang berada di Pakis Baru, Nawangan, Pacitan,
Jawa Timur.

Pada saat Jenderal Soedirman dalam masa perang gerilya, terjadi Perjanjian
Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949. Perjanjian ini ditandatangani oleh perwakilan
dari kedua negara yakni Mohammad Roem (delegasi dari Indonesia) dan Herman
van Roijen (delegasi dari Belanda). Berdasarkan pada perjanjian ini, pada Juni 1949
Presiden Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta serta pejabat pemerintah RI
yang ditahan pihak Belanda di Pulau Bangka dikembalikan lagi ke Yogyakarta.
Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu dari cara perjuangan guna
mempertahankan kemerdekaannya melalui strategi diplomasi, sehingga kekuasaan
pemerintahan Republik Indonesia kembali lagi ke Yogyakarta. Setelah presiden
kembali lagi ke Yogyakarta, Jenderal Soedirman pun diminta untuk kembali juga ke
Yogyakarta, namun ia menolak. Atas penolakan tersebut, pihak pemerintah meminta
bantuan Kolonel Gatot Subroto, yang pada waktu itu menjabat sebagai Panglima
Divisi XI yang memiliki hubungan baik dengan Jenderal Soedirman. Gatot
mengirim surat yang bertujuan untuk membujuk Jenderal Soedirman agar mau
kembali lagi ke Yogyakarta. Pada 10 Juli 1949, dengan berbagai pertimbangan dan
maksud untuk menghargai Gatot, Jenderal Soedirman bersama pasukannya bersedia
kembali lagi ke Yogyakarta. Mulai sejak itu, Jenderal Soedirman kembali bersama
pasukannya dan menetap di Yogyakarta dan penyakitnya kambuh kembali.

Ketika Jenderal Soedirman keluar dari Yogyakarta untuk melakukan perlawanan


dengan siasat perang gerilya, Yogyakarta berhasil dikuasai oleh pasukan Belanda
pada 19 Desember 1948. Mereka menahan Presiden dan Wakil Republik Indonesia
Pihak Belanda mengira bahwa Indonesia telah berhasil dihancurkan jika menahan
presiden dan wakilnya, tapi faktanya tidak seperti yang mereka duga. Presiden
Soekarno telah menyerahkan mandat pemerintahan kepada Sjafruddin
Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Kemakmuran yang bertempat di
Sumatera Barat. Selain itu juga, pasukan tentara Indonesia masih utuh bersama
panglima besarnya yakni Jenderal Soedirman yang pada saat itu sedang melakukan
perjalanan perang gerilya. Dengan mengetahui hal tersebut, pihak Belanda
mengerahkan pasukannya untuk mengejar pasukan Jendeal Soedirman untuk
ditangkap.

Di tengah gentingnya keadaan saat itu, Jenderal Soedirman bersama staf dan
anggotanya melakukan rapat untuk kebaikan TNI. Lalu, T.B. Simatupang dan A.H.
Nasution menemukan strategi perongrongan (attrition strategy). Strategi ini
merupakan strategi perang yang bersifat jangka panjang yang kemudian dijabarkan
dalam organisasi dan sistem wehrkreise (lingkungan pertahanan atau pertahanan
daerah). Kemudian pada November 1948, sistem wehrkreise ini disahkan
penggunaannya melalui SURAT PERINTAH SIASAT No.1 yang ditandatangani
oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II, Jenderal Soedirman mengeluarkan


SURAT PERINTAH KILAT No.1/PB/D/48. Isi surat Perintah Kilat tersebut yaitu
bahwa pada 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda telah menyerang Kota
Yogyakarta dan Lapangan Terbang Udara Maguwo. Pemerintah Belanda telah
membatalkan gencatan senjata (sebagaimana tercantum dalam Pernjanjian Renville
yang ditandatangani pada 17 Januari 1948). Semua angkatan perang telah
menjalankan rencana untuk menghadapi serangan Belanda.

Puncak dari perang gerilya ini adalah serangan 1 Maret 1949 yang direncanakan
oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kemudian dikomando oleh Jenderal
Soedirman, dan dilaksanakan oleh Letkol Suharto. Ini menjadi bukti bahwasanya
segala komando perjuangan masih berada di pundak panglima besar Jenderal
Soedirman seperti yang telah dijelaskan di awal. Perlawanan tersebut membuat
Belanda semakin tercengang, karena serangan tersebut memang sengaja dilakukan
oleh Indonesia, dan memberi tahu bahwa bangsa Indonesia tidak takut dan masih
akan terus berdaulat. Serangan tersebut adalah tanda bahwa bangsa Indonesia masih
ada dan tidak takut dengan segala bentuk penjajahan Belanda. Bangsa Indonesia
siap untuk melawan dan mengusir segala bentuk penjajahan di negara Indonesia dan
perjuangan tersebut tidaklah sia-sia, karena serangan tersebut mampu membungkam
propaganda yang dibuat oleh Belanda. Belanda pada waktu itu mengatakan bahwa
Indonesia sudah dikuasai, dan intrik-intrik itu merupakan gerakan yang dilakukan
oleh pengacau keamanan, bukan dari para pejuang. Akhirnya serangan tersebut
mampu membungkam propaganda yang dilakukan oleh Belanda. Perjuangan
tersebut juga menjadi tonggak perjuangan para pahlawan di medan perang karena
perjuangan di ranah diplomasi juga memberikan hasil yang baik, di mana Belanda
dapat diusir kembali ke negeri asalnya.

Dengan kehadiran patung Jenderal Sudirman sebagai simbol perjuangan dan


kepemimpinan, masyarakat diingatkan akan pentingnya mempelajari sejarah dan
menghargai perjuangan para pahlawan dalam merebut dan mempertahankan
kemerdekaan. Patung ini juga menjadi pusat refleksi dan penghargaan atas jasa-jasa
para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan dan kemajuan bangsa.
Sebagai simbol perjuangan, patung Jenderal Sudirman mengingatkan kita akan
ketekunan, keberanian, dan tekad yang ditunjukkan dalam perjuangan melawan
penjajah. Jenderal Sudirman merupakan sosok yang tidak kenal lelah dalam
memimpin perang gerilya dan strategi perlawanan lainnya. Patung ini
menggambarkan semangat juang yang tinggi untuk meraih kemerdekaan.
CUT NYAK DIEN

A. BIOGRAFI
Cut Nyak Dien adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia yang dikenal karena
perjuangannya dalam melawan penjajahan
Belanda di wilayah Aceh pada abad ke-19. Dia
lahir dengan nama asli Cut Nyak Meutia pada
tanggal 1 November 1848 di Lampadang, Aceh
Besar, Aceh, dan meninggal pada tanggal 6
November 1908 di Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dien menjadi tokoh penting
dalam perlawanan terhadap Belanda selama Perang Aceh yang berlangsung dari
tahun 1873 hingga 1914. Dia adalah istri dari Teuku Umar, seorang panglima
perang yang juga terlibat dalam perlawanan melawan penjajah. Setelah
suaminya gugur dalam pertempuran, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan
dengan memimpin pasukan Aceh.
Keberaniannya dalam pertempuran dan kepemimpinannya yang tangguh
membuatnya dihormati oleh rakyat Aceh dan dianggap sebagai simbol
perlawanan terhadap penjajah. Pada tahun 1964, pemerintah Indonesia secara
resmi mengangkatnya sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia karena
jasanya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Cut Nyak
Dien menjadi contoh inspiratif bagi perempuan Indonesia, menunjukkan bahwa
perempuan juga memiliki peran yang penting dalam perjuangan kemerdekaan
dan dalam mempertahankan keutuhan negara.

B. PERJUANGAN DAN PERAN CUT NYAK DIEN


Sultan Ibrahim memiliki perjanjian yang pernah disepakati bersama
Belanda. Akan tetapi, tahun 1857 Belanda mulai menujukkan tipu muslihatnya
dengan mengingkari perjanjian tersebut dengan cara memperalat Siak. Selama
masa jabatan sultan Ibrahim, penyukilan wilayah milik Aceh oleh Belanda
semakin luas. Nafsu Belanda ingin menguasai Aceh tetap berkobar, dengan
melakukan serangan terhadap kerajaan-kerajaan kecil bawahan Aceh setidaknya
dapat mengurangi sendi-sendi kekuatan Aceh.
Aceh merupakan salah satu wilayah yang sangat berpengaruh di
Indonesia sepanjang sejarahnya. Sejak abad ke-16, Aceh telah menjadi pusat
perdagangan yang penting dan terlibat dalam berbagai konflik dengan bangsa
Eropa yang berusaha menguasai wilayah ini untuk mengendalikan perdagangan
rempah-rempah.
Pada pertengahan abad ke-19, Belanda mulai aktif dalam upaya untuk
menguasai Aceh. Motivasi Belanda adalah untuk mengamankan jalur
perdagangan rempah-rempah dan memperluas koloninya di Indonesia.
Perlawanan terhadap Belanda di Aceh dimulai pada tahun 1873 ketika Belanda
melancarkan ekspedisi militer besar-besaran ke wilayah tersebut. Perlawanan ini
dipimpin oleh para ulama dan pemimpin adat setempat, termasuk Teuku Umar
yang kemudian menjadi suami Cut Nyak Dien.
Salah satu ciri khas perlawanan Aceh adalah penggunaan strategi perang
gerilya yang efektif. Mereka memanfaatkan medan yang sulit di pedalaman
Aceh untuk melancarkan serangan mendadak dan menghindari konfrontasi
langsung dengan pasukan Belanda yang lebih besar. Meskipun mengalami
tekanan dan penindasan yang berat dari pasukan Belanda, perlawanan rakyat
Aceh di bawah pimpinan Cut Nyak Dien terus berlanjut selama beberapa
dekade. Mereka menunjukkan ketahanan yang luar biasa dan tidak pernah
menyerah dalam mempertahankan kebebasan dan martabat mereka.
Perlawanan Cut Nyak Dien dan rakyat Aceh melawan penjajahan
Belanda merupakan bagian integral dari sejarah perjuangan Indonesia untuk
meraih kemerdekaan. Keberanian, keteguhan, dan semangat juang mereka telah
meninggalkan warisan yang kuat dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi-
generasi selanjutnya.
Meletusnya Perang Aceh yang terjadi pada tahun 1873 membuat
Belanda mencoba berbagai cara untuk menguasai daerah itu dan membuat Aceh
berganti-ganti pemimpin dalam melancarkan serangan terhadap aceh yang
terkenal sangat kuat pertahanannnya. Tahun pertama membuat Belanda berhasil
menduduki daerah kraton setelah itu meluas hingga ke daerah sekitarnya. Hal
ini membuat sebuah pernyataan: jika Belanda berhasil menguasai Aceh, berarti
pintu masuk ke Nusantara akan dikuasi juga. Teuku Cik Ibrahim memiliki
keaktifan dengan semua kegiatan yang dilakukan Nanta ayah Cut Nya Dien
serta kesibukkan dari rakyat VI Mukim juga selalu dipantau oleh Nanta. Cut
Nya Dien selalu menanyakan situasi dan kondisi garis depan yang dimpimpin
oleh suaminya. Para pemimpin lainnya seperti Ulama Cik Di Tiro Muhammad
Saman dari daerah Pidie bangkit bersama pasukannya memberikan perlawanan
yang cukup kuat terhadap Belanda. Semangat rakyat terus dikobarkan dalam
mempertahankan wilayah serta agama Islam. Ketika Habib Abdurahman
kembali dari Turki, ia menyatukan kembali dengan kekuatan Aceh untuk
melawan Belanda.9 Kegiatan yang dilakukan Habib Abdurahman di daerah VI
Mukim ini ternyata tidak mendapatkan dukungan dari rakyat Nanta. Kegaiatan
yang dilakukan Habib juga ditentang keras oleh Nanta karena melihat rakyatnya
yang sudah menderita diharuskan juga untuk mengumpulkan harta benda untuk
kepentingan perang.
Serangan yang dilakukan Belanda membuat Nanta semakin merasa
khawatir karena serangan ini lebih kuat dari serangan Belanda yang
sebelumnya. Ia terus melakukan persiapan untuk melakukan pertahanan dan
perlindungan kepada wilayah VI Mukim. Teuku Cik Ibrahim terus melakukan
serangan di garis depan perbatasan VI Mukim dan Meuraksa bersama
pasukannya untuk mengatur strategi pertahanan dari serangan Belanda. Ketika
ia memutuskan untuk pulang melihat keadan anak istrinya,
Teuku Cik Ibrahim melaporkan kepada Nanta mengenai situasi
perbatasan serta pasukan Belanda telah bergerak kearah selatan menuju IX
Mukim dan sudah memastikan bahwa akan memasuki wilayah VI Mukim.
Karena jalur ini sudah pasti akan dilewati oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi
seperti ini, Teuku Cik Ibrahim memperintahkan kepada semua rakyatnya untuk
segera mengungsi dari wilayah VI Mukim. Sedangkan Teuku Cik Ibrahim terus
melakukan pergerakan ke wilayah XI Mukim untuk memperlambat serangan
Belanda. Nanta dan pasukannya juga terus bergerak kearah Meuraksa.
Serangan demi serangan terus diluncurkan Belanda kepada wilayah VI
Mukim. Hal ini mengakibatkan terancamnya rakyat wilayah VI Mukim.
Sehingga membuat Teuku Cik Ibrahim meminta kepada seluruh rakyatnya
terutama kalangan ibu-ibu dan anak-anak untuk berpindah ke Lam Asam.
Perlwanan Belanda yang terus menerus ditujukan ke wilayah VI Mukim
mengakibatkan banyak rumah-rumah penduduk yang terbakar akibat serangan
dari Belanda dan dalam sekejap api melenyapkan seluruh harta benda milik
rakyat wilayah VI Mukim. Hal ini mengakibatkan Teuku Cik Ibrahim beserta
Pasukan Nanta mundur ke lereng bukit untuk mencari tempat berlindung.
Mereka selalu melakukan perpindahan tempat demi menghindari pasukan
Belanda yang sedang mencari keberadaannya. Nanta dan Teuku Cik Ibrahim
yang telah lama pergi dari wilayah VI Mukim ini menggabungkan diri mereka
dengan pasukan Habib dan kemudian mereka diangkat menjadi panglima. Habib
Abdurahman yang bermarkas di Muntasik terus berusaha menyatukan pejuang
Aceh dan kepentingan perang juga telah dilengkapi
Pasukan Teuku Cik Ibrahim terus melakukan perjalanan menelusuri
pegunungan. Perjalanan yang ditempuh sangat jauh membuat mereka
memutuskan untuk beristirahat sejenak. Akan tetapi, mereka tidak sadar bahwa
pasukan Belanda telah mengikuti perjalanan mereka. Pasukan Belanda juga
telah menewaskan adik dari Teuku Cik Ibrahim yaitu Teuku Ajat yang tertembak
tepat dikepalanya. Teuku Nyak Man yang sadar segera menyeru kepada Teuku
Cik Ibrahim untuk mencari perlindungan. Tak selang beberapa lama peluruh
tersebut juga bersarang ke tubuh Teuku Cik Ibrahim. Setelah pasukan Belanda
benar-benar mengetahui bahwa suami Cut Nya Dien yaitu Teuku Cik Ibrahim
terkena peluru dan tewas, pasukan Belanda akhirnya berhenti melakukan
penyerangan.
Cut Nya Dien tidak dapat menahan dirinya yang melihat suaminya tewas
karena serangan dari pasukan Belanda. Dunianya menjadi gelap gulita melihat
suaminya pulang dengan keadaan tak bernyawa. Ratap tangis dari Cut Nya Dien
membuat hati para rekan rekan luluh. Jenazah Teuku Cik Ibrahim dimakamkan
di Muntasik tempat yang diyakini aman dari jangkauan musuh. Kematian Teuku
Cik Ibrahim begitu mengkoyak perasaan Cut Nya Dien. Kematian suaminya
membuat rasa benci semakin tebal di dalam hatinya terhadap musuh. Ia bahkan
menyimpan hasrat suatu saat dapat bertempur dengan musuh orang Aceh itu
untuk membalaskan dendam suami serta bangsa Aceh.
Sebulan setelah Teuku Cik Ibrahim dimakamkan, datanglah Teuku Umar
ke Muntasik dalam rangka kunjungan keluarga sebagai anak kepada orangtua.
Teuku Umar adalah saudara sepupu Cut Nya Dien. Kunjungannya ke Muntasik
bukan hanya kunjungan keluarga melainkan juga membicarakan mengenai
situasi yang tengah dihadapi rakyat Aceh. Teuku Umar menyatkan bahwa betapa
khawatirnya ia kepada Teuku Nanta yang sudah banyak berjuang dan banyak
pejuang Aceh yang telah gugur sebagai syuhada di medan perang.
Teuku Umar selalu diperlakukan baik oleh tentara Belanda dengan
diberikan fasilitas senjata yang lengkap. Suatu saat Teuku Umar merasa telah
cukup mengetahui strategi dari Belanda yang ingin menguasai wilayah Aceh.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali bersama Cut Nya Dien beserta pasukan
Aceh yang sedang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kembalinya Teuku
Umar tidak dengan tangan kosong, melainkan ia telah mengetahui tempat-
tempat di wilayah Aceh yang akan diserang oleh tentara Belanda.
Sehingga membuat Teuku Umar lebih mempersiapkan serangan balik
kepada tentara Belanda. Keadaan para pejuang Aceh semakin mengkhawatirkan,
orang-orang kuat banyak yang telah gugur dalam perang. Pada tanggal 25 Juli
1898 mengambil tempat di daerah Kade Malu, Sultan secara resmi mengangkat
Teuku Umar menjadi panglima Angkatan Perang Aceh dengan memberikan
surat yang terdapat “Cap Sembilan”. Setelah upacara selesai, para tokoh
bertukar pikiran untuk membuat taktik melawan Belanda. Banyak tokoh yang
telah tewas seprti Teuku Tapa yang berhasil digagalkan perlawanannya oleh
tentara Belanda di Aceh Timur.
Pada tanggal 11 Februari 1899 sebelum mencapai Kota Meulaboh,
Teuku Umar yang berjalan di depan melihat adanya suatu bayangan yang
sedang menanti. Suara lantang Teuku Umar memberi komando kepada
pasukannya untuk menyerang musuh yang sedang menanti mereka. Tembakan-
tembakan dari pasukan Teuku Umar disambut juga oleh tembakan-tembakan
tentara Belanda yang pada akhirnya tembakan tersebut menembus tubuh Teuku
Umar dan jatuhlah Teuku Umar di dalam gelap.
Rakyat Aceh yang sangat gigih pantang menyarah merasa teriris hatinya
mendengar kabar mengenai gugurnya Teuku Umar sosok yang diharapkan
mampu memabantu rakyat Aceh untuk melawan musuh.16 Pasukan Cut Nya
Dien yang terus berpindah-pindah tetap aktif melakukan serangan-serangan
mendadak terhadap konvoi dan posisi-posisi pasukan Belanda di pedalaman
Melabo. Pengikut-pengikut Cut Nya Dien juga rela mati untuknya karena sifat
pantang mundurnya. Tahun 1901 pasukan Cut Nya Dien sempat hancur dan
jumlah pasukan menyusut drastis dan hal ini tidak menghentikan langkah
perjuangan Cut Nya Dien. Setelah enam tahun berlangsung dalam meneruskan
perlawanan, ia tertawan bersama pasukannya. Kemudian ia diasingkan ke
Sumedang, Jawa Barat.
SULTAN HASANUDIN

A. BIOGRAFI
Sultan Hasanuddin (1631-1670) adalah seorang
pemimpin dan pejuang besar dari Kesultanan Gowa-
Tallo di Sulawesi Selatan, Indonesia. Ia dikenal karena
perlawanannya yang gigih terhadap penjajah Belanda
dan upayanya dalam mempertahankan kedaulatan
kesultanan tersebut.
Lahir pada tahun 1631 di Makassar,
Hasanuddin merupakan keturunan dari keluarga
bangsawan di Kesultanan Gowa-Tallo. Sebagai
seorang pemimpin muda, ia ditunjuk sebagai raja Kesultanan Bone pada tahun
1653 setelah kematian ayahnya, Sultan Malikussaid.
Semasa kecil Sultan Hasanudin diberi nama I Malambasi oleh orang
tuanya. Waktu itu, Ayahnya belum menjadi Raja Goa, Baru setelah I Mallambasi
berumur delapan tahun, Ayahnya diangkat menjadi Raja Goa. I Mallambasi
belajar Al-Qur’an pada umur 8 tahun. Setelah mulai mengaji, namanya diganti
menjadi Muhammad Bakir. Muhammad Bakir mempunyai otak yang cerdas,
kemauan yang keras dan pantang menyerah. Pada waktu itu pendidikan untuk
anak-anak raja dan bangsawan dipisahkan dari rakyat biasa, Walaupun
mendapat pendidikan yang terpisah Muhammad Bakir tetap bergaul bersama
teman-temannya yang berasal dari golongan rakyat biasa, Bahkan Muhammad
Bakir sangat marah jika ada anak bangsawan yang sombong terhadap rakyat. Di
samping pendidikan agama, pengetahuan umum juga diberikan kepada
Muhammad Bakir.
B. PERJUANGAN DAN PERAN SULTAN HASANUDIN
Setelah berumur 20 tahun, Muhammad Bakir diikutkan oleh ayahnya
dalam soal-soal negara. Sultan Muhammad Said telah menetapkan bahwa
Muhammad Bakir kelak akan memangku jabatan Raja. Saat Muhammad Bakir
berusia 22 tahun, 6 Sultan Muhammad Said wafat, Muhammad Bakir lalu naik
tahta sebagai Raja Goa ke 16, jika mengikuti adat kebiasaan, Muhammad Bakir
tidak berhak menduduki tahta karena lahir sebelum ayahnya menjadi Raja.
Walaupun begitu, putra mahkota yakni Daeng Matawang bersedia menyerahkan
tahta kepada Muhammad Bakir, beserta permaisuri dan keluarga bangsawan
menyetujui pengangkatan Muhammad Bakir sebagai Raja Goa ke 16 dengan
gelar Sultan Hasanudin.
Kerajaan Goa yang dipimpin oleh Sultan Hasanudin terletak di ujung
selatan Pulau Sulawesi, Kerajaan Goa dan ibukotanya yang terkenal yakni
Sumbaopu terletak di pantai Selat Makassar, selat yang memisahkan Pulau
Sulawesi dan Pulau Kalimantan. Kerajaan Goa menjadi penghubung antara
Pulau Jawa, Pulau Kalimantan bahkan Pulau Sumatera dan semenanjung
Malaka di sebelahbarat dengan Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara di
sebelah timur. (Sagimun, 1985, h. 1-2) Setelah Sultan Hasanudin
menduduki tahta Kerajaan Goa, keadaan tidak seperti yang diharapkan oleh
para pembesar VOC di Batavia (Jakarta), maka hubungan antara Kerajaan
Goa dan VOC tidak dapat dielakkan.
Ketegangan yang sering disertai pertempuran yang seru antara Kerajaan
Goa dengan VOC sesungguhnya sudah berlangsung jauh sebelum Sultan
Hasanudin menduduki tahta Kerajaan Goa. Kerajaan Goa selalu menolak
bahkan menentang dengan keras hak monopoli yang hendak dijalankan oleh
VOC terutama di Indonesia bagian timur. Kerajaan Goa berpendirian: “Tuhan
Yang Maha kuasa telah menciptakan bumi dan lautan. Bumi telah dibagikan di
antara manusia, begitu pula lautan telah diberikan untuk umum. Tidak pernah
terdengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi seseorang. Jika Belanda
melarang hal itu, maka berarti Belanda seolah-oleh mengambil nasi dari mulut
orang lain”. Demikianlah pendirian dari Sultan Alaudin maupun sultan
Muhammad Said bahkan juga Sultan Hasanudin yang selalu berpendirian bahwa
tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk digunakan bersama oleh semua umat
manusia. Bukan hanya untuk VOC atau orang-orang Belanda. Itulah sebabnya
mengapa Kerajaan Goa dengan keras menentang usaha monopoli VOC.
Sebaliknya VOC berusaha dengan keras pula menghancurkan dan
menyingkirkan Kerajaan Goa.
Perjuangan dan peran Sultan Hasanuddin terutama terkait dengan
upayanya dalam mempertahankan kedaulatan Kesultanan Gowa-Tallo dari
penjajahan Belanda pada abad ke-17. Sebagai seorang pemimpin yang gigih dan
berani, Sultan Hasanuddin memimpin perlawanan yang berani terhadap
kekuatan kolonial Belanda yang berusaha untuk menguasai wilayahnya.
Salah satu aspek penting dari perjuangan Sultan Hasanuddin adalah
kepemimpinannya dalam menggalang dan memimpin pasukan militer untuk
melawan invasi Belanda. Meskipun menghadapi tekanan yang besar dari
kekuatan militer Belanda yang lebih besar, Sultan Hasanuddin terus berjuang
dengan gigih, menunjukkan ketabahan dan keberanian dalam mempertahankan
tanah airnya.
Selain itu, Sultan Hasanuddin juga memainkan peran penting dalam
membangun kesatuan di antara berbagai elemen masyarakat Sulawesi Selatan
untuk melawan penjajah. Ia berhasil menyatukan suku-suku dan kerajaan-
kerajaan di wilayah tersebut, membentuk aliansi yang kuat dalam
memperjuangkan kemerdekaan dan kedaulatan Kesultanan Gowa-Tallo
Di bawah kepemimpinannya, Hasanuddin berhasil memperluas wilayah
kekuasaan kesultanan, memperkuat sistem administratif, dan membangun
hubungan dagang yang kuat dengan negara-negara tetangga. Perjuangan
Hasanuddin melawan penjajah Belanda menjadi sorotan utama dalam
sejarahnya. Pada tahun 1666, Belanda melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Kesultanan Gowa dalam upaya mereka untuk menguasai wilayah
tersebut. Hasanuddin memimpin perlawanan dengan berani, tetapi kesultanan
akhirnya terdesak oleh kekuatan militer Belanda yang lebih besar.
Setelah serangkaian pertempuran yang sengit, Hasanuddin akhirnya
menyerah kepada Belanda pada tahun 1669. Ia dipaksa untuk mengakui
kekuasaan Belanda dan mengakhiri perlawanan bersenjata. Hasanuddin
kemudian diasingkan ke Batavia (sekarang Jakarta), di mana ia meninggal pada
tahun 1670.
Meskipun terpaksa menyerah kepada penjajah, perjuangan Hasanuddin
tetap dihormati dan diabadikan dalam sejarah Indonesia sebagai simbol
perlawanan terhadap penjajahan. Ia dianggap sebagai pahlawan nasional dan
jasanya dalam mempertahankan kehormatan dan kedaulatan kesultanan telah
mengilhami generasi-generasi berikutnya untuk melawan penindasan dan
mengejar kemerdekaan.

Anda mungkin juga menyukai