Anda di halaman 1dari 9

O

L
E
H
NAMA : ARIO S. ARITONANG
KELAS : X TKJ B
MAPEL : BAHASA INDONESIA
GURU : PUTRI DAMANIK
BIOGRAFI TUANKU IMAM BONJOL
Latar Belakang Kehidupan Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol.


Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Luhak Agam, Pagaruyung pada 1 Januari 1772 dengan
nama Muhammad Syahab. Dia selanjutnya dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama
Syekh Muhammad Said Bonjol atau Inyik Bonjol.

Bonjol sendiri merupakan suatu kampung yang berada di daerah Sumatra Barat. Kampung ini
terkenal karena Muhammad Syahab dilahirkan dan berjuang bersama-sama dengan seluruh
lapisan masyarakat di tempat itu. Mereka saling bekerja sama menentang penjajahan dan
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Syahab adalah seorang ulama, pejuang, dan tokoh yang dituakan oleh masyarakat. Dia menjadi
tempat meminta nasihat, petunjuk, dan mengadu segala hal, baik yang berkenaan dengan
masalah keagamaan maupun kedunian. Hal inilah yang menyebabkan dirinya memperoleh
beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Sebagai salah seorang
pemimpin dari Harimau nan Salapan, Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam menunjuknya
sebagai imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia akhirnya lebih dikenal dengan
sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Kehidupan Imam Bonjol mencerminkan keteladanan dan kesederhanaan. Patutlah jika Badan
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Agama memilih dirinya untuk ditulis biografinya,
dengan harapan perjuangannya dapat dijadikan sebagai pedoman hidup oleh generasi
selanjutnya.

Imam Bonjol adalah putra tunggal dari pasangan Bayanuddin Syahab dan Hamatun. Ayahnya
merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.
Bonjol dilahirkan di kalangan keluarga pedagang dan senang merantau. Inilah yang
menyebabkan dirinya pernah dikirim ke Malaysia untuk mendapatkan pendidikan formal
Sekolah Rakyat Desa (setingkat Sekolah Dasar) pada 1779. Setelah dewasa, dia belajar agama
Islam kepada Syekh Ibrahim Kumpulan di Bonjol pada 1809–1814. Selanjutnya, antara tahun
1818 dia memperdalam ilmu Tarekat Naqsyabandiyah di Bonjol. Dia juga tertarik mempelajari
budi bahasa yang luhur, tingkah laku, dan kearifan. Dia mempunyai beberapa orang istri, tetapi
hanya satu yang mendampinginya hingga meninggal, yaitu Hajjah Solehah. Melalui
pernikahannya dengan Solehah, dia dikaruniai 10 orang anak, yaitu lima orang anak laki-laki
dan lima orang anak perempuan. Anak-anaknya adalah Hasan, Hasyim, Harun al-Rasyid,
Syahrudin, Djusnah, Sawwadjir, Hasanah, Rofiah, Cholidi, dan Nur Baiti.
Kebiasaan Imam Bonjol yang patut untuk dicontoh adalah sebagai berikut.

1. Terbiasa tidur di masjid, tetapi hampir 2/3 dari waktunya dihabiskan untuk beribadah
dan mengajar;
2. Selalu mengenakan jubah dan serban putih;
3. Sering mengurangi waktu tidur pada malam hari untuk berkhalwat kepada Allah SWT;
4. Memakan dengan lauk sederhana;
5. Setiap orang yang datang kepadanya dilayani dengan baik, tanpa membedakan siapa
pun.
Imam Bonjol mempunyai keahlian di bidang ilmu tasawuf dan ilmu fikih. Selain itu, dia juga
mempunyai keahlian di bidang pengobatan tradisional. Dia dikenal di kalangan masyarakat
mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang sering dikatakan misterius. Sebelum
menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut, dia melakukan salat istikharah dan berdoa kepada
Tuhan, sehingga para pasiennya juga sembuh seolah-olah secara misterius juga.

Peran Tuanku Imam Bonjol


1. Sebagai Guru
Imam Bonjol mendidik dan mengajar di setiap surau, masjid, dan pesantren yang dia bangun di
setiap perkampungan, sekaligus menjadi pemimpin para jemaahnya. Setelah berjalan lancar, dia
kemudian menyerahkannya kepada murid yang paling dipercayainya. Pekerjaan tersebut
dilakukannya dengan penuh keikhlasan.

2. Sebagai Tokoh Panutan


Sebagai tokoh panutan, dia sangat dekat dengan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Inilah yang
membuatnya sangat memperhatikan kehidupan masyarakatnya, baik kehidupan jasmaniah
maupun kehidupan rohaniahnya. Jika dia melihat anggota masyarakatnya yang susah
kehidupannya, akan dibantunya dan dianjurkan untuk mencari penghasilan yang lebih
menguntungkan.

3. Sebagai Pejuang
Sebagai putra bangsa yang hidup sejak zaman penjajahan Belanda, dia telah berniat berjuang
melawan melalui media agama Islam dengan mendirikan Tarekat Naqsyabandiyah. Melalui
tarekat tersebut, dia mengajarkan kepada murid-muridnya tentang pelajaran-pelajaran yang
berhubungan dengan penjajahan.

Imam Bonjol dan Perang Padri


Imam Bonjol adalah pahlawan nasional perintis kemerdekaan, seorang ulama, dan pemimpin
Perang Padri yang menentang penjajahan Belanda di bumi Minangkabau pada abad ke-19.
Gerakan Padri muncul di Minangkabau setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803,
yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang
dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji
tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan
Salapan. Harimau Nan Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan
beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring hal itu, beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya Kaum Padri
di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung pada 1815 dan pecahlah
peperangan di Koto Tangah.

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri
dari ibu kota kerajaan. Berdasarkan catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung
tahun 1818, dia menyebutkan hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang
sudah terbakar.

Dikarenakan terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak
pasti, Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada
Belanda pada 21 Februari 1821, meskipun dia sebenarnya saat itu dianggap tidak berhak
membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.

Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan
Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Sultan Tangkal Alam Bagagar kemudian diangkat
sebagai Regent Tanah Datar.

Belanda akhirnya terlibat dalam perang karena diundang oleh Kaum Adat. Campur tangan
Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada April 1821 atas perintah Residen James du Puy di
Padang. Pada 8 Desember 1821, datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Raaff untuk memperkuat posisi di kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Fort van der Capellen.


Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda kemudian membangun
benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum
Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada 10 Juni 1822, pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri,
tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Selanjutnya, Kapten Goffinet
menderita luka berat dalam pertempuran di Baso pada 14 Agustus 1822 hingga akhirnya
meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822, pasukan Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh
Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang
Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar pada 16 April 1823. Sementara itu, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff pada 1824.

Namun, raja terakhir Minangkabau ini akhirnya meninggal dunia pada 1825 dan dimakamkan
di Pagaruyung. Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada 17 April 1824
setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil
menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam, yaitu Koto Tuo dan Ampang Gadang. Pasukan
itu kemudian juga menduduki Biaro dan Kapau, tetapi Laemlin akhirnya meninggal dunia di
Padang pada Desember 1824 karena luka-luka yang dideritanya dalam pertempuran.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh, sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui residennya di Padang
mengajak pemimpin Kaum Padri, yang waktu itu telah dipimpin oleh Imam Bonjol, untuk
berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada 15 November 1825. Hal ini dimaklumi
karena pada saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di
Eropa dan Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga
mencoba merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang
mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang
artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam
berlandaskan kepada Al-Qur’an.

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, pemerintah
Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini didasari oleh
keinginan kuat penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan darek (pedalaman
Minangkabau).
Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda
di Eropa. Sejarawan Inggris, Christine Dobbin, menyebutnya lebih kepada perang dagang
dikarenakan hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam
liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara itu,
Belanda di sisi lain ingin mengambil alih atau memonopoli kopi.

Belanda kemudian melemahkan kekuatan lawan dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya. Mereka menyerang nagari Pandai Sikek, salah satu kawasan yang mampu
memproduksi mesiu dan senjata api. Pasukan Belanda kemudian membangun benteng di
Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock untuk memperkuat kedudukannya.

Sejak tahun 1833, mulai muncul kompromi perlawanan bersama di pihak lain antara Kaum
Adat dan Kaum Padri. Pada 11 Januari 1833, beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda
diserang secara mendadak, sehingga membuat keadaan menjadi kacau. Disebutkan ada sekitar
139 orang tentara Eropa dan ratusan tentara pribumi terbunuh.
Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah
Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada 2 Mei 1833 di Batusangkar atas
tuduhan pengkhianatan. Belanda kemudian mengasingkannya ke Batavia, meskipun dia
menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda. Pemerintah Hindia
Belanda di sini tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya.
Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.

Menyadari hal itu, Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi masyarakat
Minangkabau secara keseluruhan. Pemerintah Hindia Belanda lantas mengeluarkan
pengumuman yang disebut Plakat Panjang pada 1833. Isinya berupa pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut,
mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan
tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.

Pemerintah Hindia Belanda juga berdalih bahwa kedatangan pasukannya untuk menjaga
keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya. Inilah yang
membuat penduduk diwajibkan menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Namun,
hal itu tidak dihiraukan oleh Kaum Padri dan masyarakat Minangkabau.

Kegagalan penaklukan itu benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia


Belanda di Batavia yang waktu itu dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens. Dia kemudian
mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius pada awal
tahun 1837 untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol. Cochius
merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi
perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya, Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan
gabungan ini sebagian besar terdiri atas berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, dan 4.130 tentara
pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut
di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager,
Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya.
Ada juga nama inlandsche (pribumi) seperti Kapiten Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant
Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero,
dan lain-lainnya.
Pasukan dari Batavia didatangkan terus sebagai tambahan kekuatan tentara Belanda. Pada 20
Juli 1837, pasukan itu tiba dengan Kapal Perle di Padang, yang meliputi sejumlah orang Eropa
dan Sepoys serta serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda. Mereka direkrut dari
Ghana dan Mali, yang terdiri atas 1 sergeant, 4 korporaals, dan 112 flankeurs, serta dipimpin
oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dilancarkan oleh pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar selama kurang lebih 6 bulan lamanya. Pasukan infantri dan
kavaleri juga terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837, pasukan Belanda yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit
menguasai keadaan.

Pada 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi akhirnya jatuh dan Benteng Bonjol secara keseluruhan
dapat ditaklukkan pada 16 Agustus 1837. Namun, Imam Bonjol dapat mengundurkan diri
keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah
Marapak.

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi
terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah. Namun, pasukannya ternyata
hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Hal ini dikarenakan
mereka telah bertempur melawan Belanda secara terus-menerus selama lebih dari tiga tahun.

Imam Bonjol akhirnya menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan
bahwa anaknya yang ikut bertempur, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial
Belanda.

Anda mungkin juga menyukai