Anda di halaman 1dari 2

Nama : Aini Yulia Riyandani

Kelas : XII MIPA 4

Absen : 02

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang
melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri.
Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah
agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang
memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat
nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-
1802, dia mendapat gelar Malin basa.

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah
Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya
adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama
di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol


memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku
Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin
dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum
Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol.

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan
Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam
yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam
yang murni.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin


ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam
sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan
sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama
yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk
mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri  dengan
Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak,
dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke
Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang
ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan
penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri
juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang
waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri
oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum
Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-
pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan
konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).

Anda mungkin juga menyukai