Absen : 02
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang
melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri.
Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah
agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang
memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat
nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-
1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah
Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya
adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama
di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan
Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam
yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam
yang murni.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang
ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan
penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri
juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang
waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri
oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum
Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-
pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan
konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).