Anda di halaman 1dari 8

SULTAN AGENG TIRTAYASA

Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai sosok pahlawan nasional asal Banten.

Sebagai sultan Banten ke-6, Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Kesultanan Banten yang merupakan
kerajaan Islam yang berlokasi di Tatar Pasundan, Provinsi Banten, Jawa Barat.

Ada beberapa gelar yang didapatkannya, seperti semasa kecil ia bergelar Pangeran Surya.

Kemudian saat ayahnya wafat, diangkat sebagai sultan muda dengan gelar Pangeran Rau atau Pangeran
Dipati.

Setelah kakeknya meninggal dunia, akhirnya diberi kepercayaan menjadi sultan dengan gelar Sultan
Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa didapatnya


setelah ia mendirikan keraton baru di dusun
Tirtayasa yang berlokasi di Kabupaten Serang
setelah sempat berselisih dengan Sultan Haji.

Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Kesultanan


Banten pada periode antara tahun 1651-1683.

Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa Melawan


Belanda Selama berkuasa, Sultan Ageng
Tirtayasa dalam memimpin Kesultanan Banten
terkenal gigih menentang VOC.

Perbuatan VOC memonopoli perdagangan dan


memblokade pelabuhan memang membuat
Kesultanan Banten mengalami kerugian.

Pada 1655 Sultan Ageng Tirtayasa juga menolak membuat perjanjian dengan VOC karena ingin
mempertahankan status Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Sikapnya dalam membela rakyat menjadikannya dicap sebagai musuh bebuyutan Belanda.

Pada akhirnya VOC melancarkan politik adu domba di dalam istana dengan mempengaruhi Sultan Haji
untuk melawan kepemimpinan sang ayah.

Dengan cara ini nyatanya VOC bisa mulai meredam perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dan bahkan
Sultan Ageng Tirtayasa dipenjara di Batavia pada tahun 1683 yang memaksanya turun dari tahta.

Ia kemudian meninggal di dalam penjara pada tahun 1692 dan dimakamkan di Komplek Pemakaman
Raja-raja Banten.
SULTAN HASANUDDIN
Terkenal dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah pahlawan nasional dari
Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16, putra dari I
Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid (ayah) dan ibunya bernama I Sabbe To'mo
Lakuntu.

Ilmu berpolitik, diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang dipelajari Hasanuddin ketika ikut
mendampingi ayahnya melakukan perundingan-perundingan penting, ditambah dengan bimbingan
Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa,
yang sangat berpengaruh dan cerdas.

Pergaulan Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata,


orang asing dan Melayu membuatnya sering dipercaya
menjadi utusan ayahnya untuk mengunjungi daerah dan
kerajaan lain.

Pada usia 21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk


menjabat bagian pertahanan Kerajaan Gowa. Di sinilah
Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi mengatur
pertahanan untuk melawan serangan Belanda yang ingin
memonopoli perdagangan di Maluku.

Setahun kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau,


Sultan Hasanuddin yang seharusnya tidak ada dalam
garis tahta dinobatkan menjadi raja karena kepintaran
dan keahliannya.

Peperangan dengan Belanda berlangsung alot karena


dua kubu memiliki kekuatan armada yang sebanding.
Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah di
bawah kekuasaan Gowa mudah dihasut dan dipecah belah.

Arung Palakka yang merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil memimpin
pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.

Tahun 1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan
Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali Belanda.

Setelah 16 tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan rakyatnya sendiri (yang
memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam peperangan tahun 1669.

Di tahun yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari jabatannya sebagai Raja Gowa dan memilih menjadi
pengajar agama Islam sambil tetap menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan. Sultan Hasanuddin
wafat tanggal 12 Juni 1670, dan tidak mau bekerja sama dengan Belanda hingga akhir hayatnya.
TUANKU IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol adalah salah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang
melawan Belanda dalam sebuah peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-
1837. Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad Shahab di Bonjol pada tahun 1772. Dia
merupakan putra dari pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang alim ulama dari Sungai
Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat
setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku Imam
Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain
yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai
salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan
adalah yang menunjuknya sebagai Imam
(pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Dia sendiri
akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan
Tuanku Imam Bonjol.

Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka


agama Islam dengan pribadi yang santun. Sosok
Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa
dilepaskan dari Kaum Paderi. Kaum Paderi
merupakan sebutan yang diberikan kepada
sekelompok masyarakat pendukung utama
penegakan syiar agama dalam tatanan masyarakat
yang zaman dulu populer di tanah Minangkabau
terutama pada masa Perang Padri.

Kelompok ini merupakan penganut agama Islam


yang menginginkan pelaksanaan hukum Islam
secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung.
Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam
Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi
pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh
sebagai Imam di Bonjol. Tuanku Imam Bonjol dipercaya untuk menjadi pemimpin sekaligus panglima
perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.

Tuanku Nan Renceh merupakan salah satu anggota Harimau Nan Salapan yang merupakan sebutan
untuk pimpinan beberapa perguruan yang kemudian menjadi pemimpin dari Kaum Padri.

Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam
Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh
pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.

Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan
yang marak waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para penguasa setempat dalam
kawasan Kerajaan Pagaruyung, seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat), perjudian,
penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran
pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.

Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan
tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan sesama Minang
dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan
sedangkan Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni Sultan Arifin Muningsyah.

Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang justru
memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung
bersama Kaum Padri. Peperangan ini sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda
dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat lama.

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat itu Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itulah
Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol
dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam
memorinya. Walau di sisi lain, fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah
air.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang
mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak tanggal 6 November 1973
KAPITAN PATTIMURA
Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina Silahoi. Munurut
M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama) mengatakan bahwa “pahlawan Pattimura
tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram).
Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari
Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja
Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak
dalam sebuah teluk di Seram Selatan"

Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC


Belanda. Sebelumnya Pattimura adalah mantan sersan di militer
Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut kepda belanda.
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat
tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik,
ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua
abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah
pimpinan Kapitan Pattimura.

Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi


perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil
mengoordinir raja-raja dan patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat,
mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam
perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore,
raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba,
tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda.

Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar
Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat
Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede.
Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan
Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan
Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian
melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan
persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa
anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia
bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.

Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada
tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan
Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik
Indonesia.
I GUSTI KETUT JELANTIK
I Gusti Ketut Jelantik menjadi pemimpin dalam perlawanan terhadap invasi Belanda ke Bali, perlawanan
tersebut terjadi beberapa kali di Bali utara selama tahun 1846, 1848, dan 1849.

Perlawanan ini bermula karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan tawan karang
yang berlaku di Bali, yaitu hak bagi raja-raja yang berkuasa di Bali untuk mengambil kapal yang kandas di
perairannya beserta seluruh isinya.

Pada kala itu, Belanda berusaha memanipulasi


rempah rempah Bali dan melalui pelayaran
Hongi, kapal Belanda karam Di Bali. Kapal
tersebut langsung ditawan oleh Kerajaan
Buleleng.

Ucapannya yang terkenal ketika itu ialah


"apapun tidak akan terjadi. Selama aku hidup,
aku tidak akan mengakui kekuasaan Belanda di
negeri ini".

Pada tahun 1849, ia melarikan diri dari serangan


Belanda di Buleleng. Dengan penguasa
Buleleng, ia melarikan diri ke sekutu
Karangasem, tetapi ia akhirnya terbunuh oleh
pasukan Lombok, sekutu Belanda.

Perang ini berakhir sebagai suatu puputan,


seluruh anggota kerajaan dan rakyatnya
bertarung mempertahankan daerahnya sampai
titik darah penghabisan.

Namun akhirnya ia harus mundur ke Gunung Batur, Kintamani dan pada pada saat inilah perjuangannya
harus gugur. Setelah ia wafat, perjuangan Raja-Raja Bali mulai mengalami kemunduran.

Seluruh Bali dapat dikuasai dengan mudah, hanya Bali Selatan saja yang masih melakukan perlawanan.
NYI AGENG SERANG
Nyi (Nyai) Ageng Serang dilahirkan sekitar tahun 1752 di Desa Serang sekitar 40 km sebelah utara
Surakarta dekat Purwodadi, Jawa Tengah. Nyi Ageng Serang masih keturunan Sunan Kalijaga. Ayahnya
adalah Pangeran Ronggo seda Jajar yang dijuluki Panembahan Senopati Notoprojo.

Pangeran Notoprojo menguasai wilayah terpencil dari Kerajaan Mataram tepatnya di wilayah Serang
yang sekarang berada di wilayah perbatasan Grobogan-
Sragen.

Setelah ayahnya wafat Nyi Ageng Serang menggantikan


kedudukan ayahnya. Nyi Ageng Serang menikah dua kali,
yaitu dengan Hamengku Buwono II dan Pangeran Serang I
(nama asli: Pangeran Mutia Kusumowijoyo).

Di Serang, dia melahirkan seorang putra bernama


Pangeran Kusumowijoyo atau Sumowijoyo (1794-1852),
yang disebut sebagai Pangeran Serang II dalam sumber
Belanda.

Dicap oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, sebagai


yang sungguh jahat, tidak berprinsip, dan kecanduan
madat.

Sang Nyai juga memiliki seorang putri yang kelak akan


menikah dengan anak Sultan Hamengku Buwono II,
Pangeran Mangkudiningrat I (1775-1824), yang diasingkan ke Pulau Pinang (1812-1815) dan Ambon
(1816-1824) setelah Inggris menyerang Kesultanan Yogyakarta.

Pasangan yang terakhir ini punya seorang putra, Raden Tumenggung Mangkudirjo yang kelak akan
bergelar Pangeran Adipati Notoprojo atau Raden Mas Papak (1803-1855). Julukan itu diberikan karena
jari-jari tengah-tengah kiri sama rata, tanda kebesaran sebagai calon raja.

Nyi Ageng Serang meninggal di Yogyakarta tahun 1828 dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.[3]
Di antara keturunannya, salah satunya juga seorang Pahlawan Nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat
atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Sebagai pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang cenderung hampir terlupakan. Mungkin karena namanya
tak sepopuler R.A. Kartini atau Cut Nyak Dhien. Bagaimanapun warga Kulon Progo mendirikan monumen
di tengah kota Wates untuk mengenangnya. Monumen tersebut berupa patung Nyi Ageng Serang yang
sedang menaiki kuda dengan gagah berani membawa tombak.

Pada awal Perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang yang berusia 73 tahun memimpin
pasukan dengan tandu untuk membantu Pangeran Diponegoro melawan Belanda. Tidak hanya turut
berperang, ia juga menjadi penasihat perang. Nyi Ageng Serang berjuang di beberapa daerah, seperti
Purwodadi, Demak, Semarang, Juwana, Kudus, dan Rembang.
Nyi Ageng Serang mengikuti pelatihan kemiliteran dan siasat perang bersama dengan para prajurit pria.
Menurut keyakinannya, selama ada penjajahan di bumi pertiwi, maka ia harus siap tempur untuk
melawan para penjajah. Salah satu strategi perang paling terkenal darinya adalah penggunaan lumbu
(daun talas hijau) untuk penyamaran.

Anggota Kelompok :
M. Zazinul Ichsan Aryaditya (20)
Rafif Ahmad Arrizky (28)
Rayasha El Ramadhan (30)

Anda mungkin juga menyukai