Anda di halaman 1dari 16

TOKOH SUMBAR

(Peran Tuanku Imam Bonjol,


Rahmah El Yunusiah
dan Rohana Kudus
Dalam Melawan Penjajah)
Oleh:
Dra. Etty Kasyanti
Dini Wahyuni, S.Pd
Achmad Edwin Sutiawan,S.Pd
TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol lahir dengan nama asli Muhammad


Shahab di Bonjol pada tahun 1772. Dia merupakan putra
dari pasangan Khatib Bayanuddin yang merupakan seorang
alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota
dengan istrinya Hamatun. Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, Muhammad Shahab atau Tuanku
Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu
Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah


seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di
Bonjol. Dia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat
dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
TUANKU IMAM BONJOL

Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando


Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai
pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita
yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya
walaupun harus melalui peperangan.

Perang Padri muncul sebagai sarana Kaum Padri (Kaum


Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan yang marak
waktu itu di kalangan masyarakat yang dilindungi oleh para
penguasa setempat dalam kawasan Kerajaan Pagaruyung,
seperti kesyirikan (mendatangi kuburan-kuburan keramat),
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium),
minuman keras, tembakau dan umumnya pelonggaran
pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.
TUANKU IMAM BONJOL

Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang telah


memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut
memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah
peperangan pada tahun 1803. Hingga tahun 1833, perang ini
dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum
Padri awalnya dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sedangkan
Kaum Adat dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung yakni
Sultan Arifin Muningsyah.

Ketika mulai terdesak, Kaum Adat meminta bantuan kepada


Belanda pada tahun 1821 yang justru memperumit keadaan,
sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan
Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri. Peperangan ini
sendiri pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan
Belanda dengan susah payah dan dalam waktu yang sangat
lama.
TUANKU IMAM BONJOL

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang


Belanda ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu
Tuanku Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke
Cianjur, Jawa Barat kemudian dipindahkan ke Ambon dan
akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat
terakhir itulah Tuanku Imam Bonjol meninggal dunia pada
tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan
di tempat pengasingannya tersebut.
TUANKU IMAM BONJOL

Pada masa kepemimpinannya, Tuanku Imam Bonjol mulai


menyesali beberapa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang
terdapat dalam memoirnya. Walau di sisi lain, fanatisme
tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta
tanah air.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol


dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam
menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari
pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada
umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
RAHMAH EL YUNUSIAH

Syekhah Hajjah Rangkayo Rahmah El Yunusiyah (lahir di


Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Hindia Belanda, 26
Oktober 1900 – meninggal di Padang Panjang, Sumatra Barat,
26 Februari 1969 pada umur 68 tahun) adalah seorang
reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan
Indonesia.

Ia merupakan pendiri Diniyah Putri, perguruan yang saat ini


meliputi taman kanak-kanak hingga sekolah tinggi. Sewaktu
Revolusi Nasional Indonesia, ia memelopori pembentukan
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padang Panjang serta
menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat
senjata mereka.
RAHMAH EL YUNUSIAH

Lewat usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh


tenaga pengajar dari perempuan, Rahmah ingin
memperlihatkan bahwa perempuan yang selama ini
dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat
sebagaimana laki-laki.

Rahmah menolak bantuan tenaga laki-laki untuk ikut


menggalang dana pembangunan gedung yang hancur pasca-
gempa 1927, mengatakan bahwa "buat sementara golongan
putri akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai
ke tanah tepi" sampai "tenaga putri tidak sanggup lagi
menyelamatkan pencalang itu"
RAHMAH EL YUNUSIAH

Rahmah meninggal mendadak dalam usia 68 tahun dalam


keadaan berwudu hendak salat Magrib pada 26 Februari
1969. Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang
terletak di samping rumahnya. Sehari sebelum ia wafat,
Rahmah sempat menemui Gubernur Sumatra Barat saat itu,
Harun Zain, mengharapkan pemerintah memperhatikan
sekolahnya.

Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan,


"Pak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah
sampai dileher. Tolonglah Pak Gubernur dilihat-lihat dan
diperhatikan Sekolah Diniyah Putri."[80] Setelah Rahmah
wafat, kepimpinan Diniyah Putri dilanjutkan oleh Isnaniah
Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Putri dipimpin oleh
Fauziah Fauzan sejak September 2006 dan telah memiliki
jenjang pendidikan mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
ROHANA KUDUS

Rohana Kudus atau Sitti Rohana merupakan perempuan


pejuang asal Sumatera Barat. Ia lahir di Koto Gadang,
Kabupaten Agam, pada 20 Desember 1884. Ayahnya,
Moehammad Rasjad Maharadja Sutan seorang Hoofd Djaksa
(Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan
ibunya bernama Kiam.

Rohana tumbuh dalam keluarga moderat yang gemar


membaca. Sejak kecil ia punya kesempatan untuk mengakses
bacaan lewat buku, majalah, dan suratkabar yang dibeli
ayahnya. Kegemaran membaca ayahnya ditularkan pada
Rohana. Meski tak mengenyam bangku sekolah formal, atas
didikan ayahnya, di usia lima tahun Rohana sudah mengenal
abjad latin, Arab, dan Arab Melayu.
ROHANA KUDUS

Rohana amat peduli dengan nasib perempuan.


Ketidaktersediaan sekolah untuk pribumi putri mendorong
Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah
kaum putri yang mengajarkan keterampilan.

Rohana tak berhenti berjuang hanya dengan mendirikan


sekolah. Lewat diskusi dengan suaminya, Abdul Kudus,
Rohana menceritakan keinginannya untuk memperluas
perjuangan. “Kalaupun hanya mengajar, yang bertambah
pintar hanya murid-murid saya saja. Saya ingin sekali berbagi
ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan
di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi,”
kata Rohana pada suaminya, seperti ditulis Fitriyanti dalam
Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia.
ROHANA KUDUS

Setelah diskusi itu, Rohana mengirim surat kepada Datuk


Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, di
Padang. Rohana menyampaikan keinginannya agar
perempuan diberi kesempatan mendapat pendidikan sama
seperti lelaki. Ia juga mengusulkan agar Oetoesan Melajoe
memberi ruang pada tulisan perempuan.

Maka, terbitlah Soenting Melajoe. Kata “Sunting” dipilih


karena berarti perempuan dan “Melayu” mewakili nama
wilayah mereka. Singkatnya, surat kabar ini diperuntukan
bagi perempuan di seluruh tanah Melayu.

Soenting Melajoe terbit pertama 10 Juli 1912. Surat kabar ini


terbit seminggu sekali dengan panjang 4 halaman.
Persebaran Soenting Melajoe tak hanya di hampir seluruh
Minangkabau dan Sumatera, namun juga menjaungkau
Malaka dan Singapura karena disirkulasikan bersama
Oetoesan Melajoe.
ROHANA KUDUS

Tulisan yang dimuat Soenting Melajoe beragam. Selain berita


terjemahan dari bahasa Belanda yang dikerjakan Rohana,
koran ini juga menyajikan sejarah, tulisan para kontributor,
hingga puisi.

Adanya wadah untuk menampung pikiran perempuan itu


membuat Rohana semangat mengajak kawan-kawan dan
muridnya untuk menulis di Soenting Melajoe. Di antara yang
mengirim tulisannya, ada istri Wiria Atmadja dengan tulisan
tentang obat sakit kolera pada terbitan tanggal 5 Oktober
1912. Lain waktu, pada Kamis 30 Januari 1913, Soenting
Melajoe memuat puisi salah satu murid Rohana.
ROHANA KUDUS

Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada


penerbitan Soenting Melajoe. Ketika pindah ke Medan tahun
1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk
memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke
Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur
di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di
Padang.

Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum


perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik
pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada
perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di
Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak
buruh-buruh perempuan dalam prostitusi.
“Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum
perempuan,” kata Rohana.
PENUTUP

KAITAN MATERI DENGAN AJARAN ISLAM

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain...”


(H.R. Ath-Tabrani).

Para tokoh yang telah kita pelajari adalah orang-orang yang memiliki peranan besar
bagi bangsa Indonesia. Mereka mengabdikan diri demi bangsa dan tanah air. Maka
ambillah hikmah atau tauladan di balik sejarah mereka.
TUGAS

1. Jelaskan apa yang ananda ketahui tentang Tuanku Imam Bonjol, Rahmah El Yunusiah dan
Rohana Kudus...!

2. Jelaskan peranan ketiga tokoh di atas...!

3. Keteladanan apa yang bisa ananda contoh dari ketiga tokoh di atas...!

Anda mungkin juga menyukai