Anda di halaman 1dari 3

Perjalanan Kehidupan

Penulis: Inayah Zahra Dalimunthe ¬ XII MIPA 5

Linda Seriati Marbun, adalah namaku lengkapku. Aku dilahirkan pada tanggal
22 Desember 1974, tepatnya minggu malam di Padang Sidempuan, Sumatera Utara.
Aku merupakan anak bungsu dari dua belas bersaudara. Aku tinggal di kelurahan Wek
II, kecamatan Padang Sidempuan Utara.
Udara masih sejuk dengan banyaknya pepohonan, air sungai masih jernih dan
dekat degan mata air, alam sangat bersahabat dan belum banyak di eksploitasi. Itulah
keadaan kampung yang kuingat saat masa kecil. Setiap hari, aku melihat pemandangan
alam yang indah, karena lokasi rumah kami di dataran tinggi, sehingga banyak gunung
terlihat di sekitar.
Aku cukup dekat dengan Kakak-Kakakku yang selisih umurnya tidak banyak,
terutama yang berada tiga diatasku. Nama panggilan mereka adalah Mazdalifah, Ihsan
dan Hana. Kami sering menghabiskan waktu bersama untuk bermain.
Hana adalah orang yang penakut, sehingga sering diganggu oleh Mazdalifah dan
Ihsan. Melihatnya seperti itu, aku bertekad untuk menjadi orang yang tidak penakut agar
tidak sama seperti dengan Hana. Dari sinilah, aku memiliki sifat yang cukup berani.
Pada saat itu belum ada TK, aku memulai pendidikan pertama yaitu di SD
Negeri 2 Depok Padang Sidempuan pada tahun 1981. Masa SD adalah fase dimana
anak-anak sangat nakal dan sering jahil, tetapi karena sudah biasa menjadi anak bungsu,
aku termasuk salah satu orang yang tidak bisa dijahili. Bahkan ada yang berkata bahwa
mereka takut padaku karena mengira aku sering menindas orang.
Aku lulus dan melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Padang Sidempuan
pada tahun 1987. Aku dekat dengan salah satu anak yang sekelas denganku, Namanya
Purnama. Kami dekat karena sering bertemu dan rumah kami berdekatan. Tidak banyak
yang terjadi di masa SMP, hal yang paling berkesan adalah aku bersyukur menemukan
sahabat karib.
Pada tahun 1990, ketika aku beranjak SMA adalah masa dimana semua Kakakku
pergi untuk meninggalkan rumah, untuk merantau di tempat yang cukup jauh demi
menempuh pendidikan kuliah di perkotaan. Sehingga di rumah kami hanya tersisa aku,
Ibu dan Ayah.
Ibuku memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Keluarga kami memiliki
perkebunan salak yang luas. Oleh karena itu akulah yang menjadi tangan kanan Ibuku
dalam soal berjualan, dan juga membantu Ibu dalam mengurus perkebunan. Memang
melelahkan, namun karena perjuangan Ibuku juga kami sekeluarga tidak pernah
kesusahan dalam hal finansial, sehingga sudah hal yang wajar untuk membantunya
meskipun sedikit.
Sebagai anak satu-satunya yang tinggal di rumah, tanggung jawabku pada saat
itu juga bertambah. Aku giat membersihkan rumah dan memasak makanan sekeluarga.
Karena inilah, aku dituntut untuk bersikap mandiri.
Ayahku bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Aku tidak terlalu dekat dengan
Ayahku karena ia jarang berbicara kepadaku. Ayahku juga sibuk bekerja, sehingga aku
biasanya hanya berinteraksi dengan Ibuku di rumah.
Aku bersekolah di SMA Negeri 2 Padang Sidempuan dengan jurusan IPA.
Meskipun aku bukanlah siswa unggulan dan tidak tergolong pintar dalam akademis,
namun hal itu tidak mematahkan semangatku untuk mengikuti jalan Kakak-Kakakku
untuk merantau ke kota. Aku ingin menempuh jalan yang sama seperti Mazdalifah
untuk bersekolah di Universitas Indonesia.
Sulit untukku dalam mengimbangi pelajaran dengan banyaknya tanggung jawab
di rumah maupun membantu Ibu berdagang, tetapi usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Aku berhasil diterima di FKM Universitas Indonesia pada tahun 1993.
Ketika hendak meninggalkan Padang Sidempuan, aku ingat hal berkesan saat
berpisah dengan Ibu. Kami melakukan percakapan kecil sebelum berpisah. Aku
memutuskan untuk mengakui semua kesalahan yang pernah kulakukan.
“Maaf Bu, selama ini aku sering iseng mengambil uang berjualan untuk jajan,
dan juga sholatku selama ini masih bolong-bolong. Aku juga pernah bolos dan
melakukan banyak salah lain…”
“Ibu tahu kok selama ini.” Ujar Ibu. Aku melongo, ternyata selama ini Ibu sudah
sadar.
“Justru momen kenakalanmu itulah salah satu yang membuat masa kecilmu di
kampung terkenang. Itu semua sudah lalu, dan sekarang kamu majulah kedepan, tempuh
kehidupan baru di kota.” lanjut Ibu.
Bukannya nasihat, aku menerima pelukan. Hanya dari percakapan sesingkat
itulah, aku mengerti bahwa seorang Ibu pasti akan selalu memaafkan anaknya, dan itu
akan selamanya akan terkenang bagiku. Mulai dari titik inilah, aku meninggalkan
Padang Sidempuan untuk merantau ke kota Depok.
Sebagai orang kampung, tentu saja adaptasi adalah hal yang sulit terutama saat
awal pindah. Kebiasaan dan cara berbicara orang kota merupakan sesuatu yang baru
bagiku. Saat itu, banyak mahasiswa perantau sepertiku yang memutuskan untuk kembali
ke kampung karena tidak mampu adaptasi dan bersaing. Tetapi dalam benakku, setelah
susah payah di kampung, aku tidak akan menyiakan kesempatan untuk menempuh
pendidikan di kota.
Banyak kejadian yang kualami saat tahap adaptasi, terutama soal gaya berbicara.
Saat itu aku masih berbicara dengan logat batak yang kental, dan orang-orang tidak
jarang mengiraku sedang marah-marah,
“Lin, lu kenapa mesti marah-marah sih?”
“Jangan pundung dong, santai aja.”
“Kenapa lu malah marah sama gue?”
Seperti itulah kata-kata yang sering kudengar. Meskipun sebenarnya aku hanya
berbicara normal pada mereka. Bahasa gaul juga sesuatu yang asing untuk telingaku.
Aku sering tertinggal dalam percakapan karena tidak mengerti dengan bahasa yang
mereka katakan.
Bukan hanya soal gaya berbicara, aku juga tidak terbiasa dengan lokasi dan
kebiasaan orang-orang sekitar. Pengalaman tersesat selama awal berada disini tidak
dapat dihitung jari lagi. Aku juga cukup kagok dalam soal penggunaan kendaraan
umum. Tapi untungnya, dalam hal ini aku dibantu banyak oleh Mazdalifah dan Aswan,
kakak laki-lakiku yang sudah bekerja di Depok.
Akhirnya, sudah cukup lama menetap di kota, aku sudah terbiasa dengan
keadaan disini. Aku menyelesaikan kuliahku dan mulai magang di perusahaan asuransi
Allianz. Senang rasanya ketika tahu bahwa aku adalah salah satu karyawan yang
diterima menjadi pekerja tetap. Setelah mendapatkan pekerjaan itu, aku mulai hidup
independen secara finansial dan berdiri di atas kaki sendiri.
Begitulah cerita dari perjalanan kehidupanku, yang kuceritakan hanyalah bagian
singkat dari semua yang terjadi. Mulai dari SD, SMP, SMA, dan kuliah, banyak
kenangan yang akan kuingat sepanjang masa. Aku tidak akan sampai di titik ini tanpa
dukungan dari orang tua, khususnya Ibuku, dan juga dukungan Kakak-kakakku dan
teman-teman yang kumiliki.

Anda mungkin juga menyukai