Anda di halaman 1dari 3

Jendral Soedirman

Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di
rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di Bodaskarangdjati, Rembang, Purbalingga.
Tarsem sendiri bersuamikan seorang camat bernama Raden Cokrosunaryo.Menurut catatan
keluarga, Soedirman – dinamai oleh pamannya – lahir pada Minggu pon di bulan Maulud
dalam penanggalan Jawa pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 24 Januari 1916
sebagai hari ulang tahun Soedirman. Karena kondisi keuangan Cokrosunaryo yang lebih baik,
ia mengadopsi Soedirman dan memberinya gelar Raden, gelar kebangsawanan pada suku
Jawa. Soedirman tidak diberitahu bahwa Cokrosunaryo bukanlah ayah kandungnya sampai ia
berusia 18 tahun.Setelah Cokrosunaryo pensiun sebagai camat pada akhir 1916, Soedirman
ikut dengan keluarganya ke Manggisan, Cilacap. Di tempat inilah ia tumbuh besar.Di Cilacap,
Karsid dan Siyem memiliki seorang putra lain bernama Muhammad Samingan. Karsid
meninggal dunia saat Soedirman berusia enam tahun, dan Siyem menitipkan kedua putranya
pada saudara iparnya dan kembali ke kampung halamannya di Parakan Onje, Ajibarang.

Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata
krama priyayi, serta etos kerja dan kesederhanaan wong cilik, atau rakyat jelata. Untuk
pendidikan agama, ia dan adiknya mempelajari Islam di bawah bimbingan Kyai Haji Qahar;
Soedirman adalah anak yang taat agama dan selalu shalat tepat waktu. Ia dipercaya untuk
mengumandangkan adzan dan iqamat. Saat berusia tujuh tahun, Soedirman terdaftar di
sekolah pribumi (hollandsch inlandsche school).Meskipun hidup berkecukupan, keluarga
Soedirman bukanlah keluarga kaya. Selama menjabat sebagai camat, Cokrosunaryo tidak
mengumpulkan banyak kekayaan, dan di Cilacap ia bekerja sebagai penyalur mesin jahit
Singer.

Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah


sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;[d] permintaan ini
awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik Taman Siswa
pada tahun ketujuh sekolah. Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah
Wirotomo[e] setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar karena
diketahui tidak terdaftar. Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah nasionalis
Indonesia, yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda. Soedirman
belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman
sudah mempelajari pelajaran tingkat dua pada saat kelas masih mempelajari pelajaran tingkat
satu. Meskipun lemah dalam pelajaran kaligrafi Jawa, Soedirman sangat pintar dalam
pelajaran matematika, ilmu alam, dan menulis, baik bahasa Belanda maupun Indonesia.
Soedirman juga menjadi semakin taat agama di bawah bimbingan gurunya, Raden
Muhammad Kholil. Teman-teman sekelasnya memanggilnya "haji" karena ketaatannya dalam
beribadah, dan Soedirman juga memberikan ceramah agama kepada siswa lain.
Selain belajar dan beribadah, Soedirman juga berpartisipasi dalam kelompok musik sekolah
dan bergabung dengan tim sepak bola sebagai bek. Kematian Cokrosunaryo pada tahun 1934
menyebabkan keluarganya jatuh miskin, namun ia tetap diizinkan untuk melanjutkan
sekolahnya tanpa membayar sampai ia lulus pada akhir tahun. Setelah kepergian ayah tirinya,
Soedirman mencurahkan lebih banyak waktunya untuk mempelajari Sunnah dan doa. Pada
usia 19 tahun, Soedirman menjadi guru praktik di Wirotomo.

Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo,


klub drama, dan kelompok musik. Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah
organisasi Kepanduan Putra milik Muhammadiyah. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel
Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo; tugasnya adalah menentukan dan
merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama,
bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di
seluruh Jawa. Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan[f] tentang sejarah Islam dan
pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.

Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman belajar selama satu tahun di Kweekschool
(sekolah guru) yang dikelola oleh Muhammadiyah di Surakarta, tetapi berhenti karena
kekurangan biaya. Pada 1936, ia kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar
Muhammadiyah, setelah dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo. Pada tahun yang sama,
Soedirman menikahi Alfiah, mantan teman sekolahnya dan putri seorang pengusaha batik
kaya bernama Raden Sastroatmojo. Setelah menikah, Soedirman tinggal di rumah mertuanya
di Cilacap agar ia bisa menabung untuk membangun rumah sendiri. Pasangan ini kemudian
dikaruniai tiga orang putra; Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan
Taufik Effendi, serta empat orang putri; Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi
Wahjuti Satyaningrum.

Sebagai guru, Soedirman mengajarkan murid-muridnya pelajaran moral dengan


menggunakan contoh dari kehidupan para rasul dan kisah wayang tradisional. Salah seorang
muridnya menyatakan bahwa Soedirman adalah guru yang adil dan sabar yang akan
mencampurkan humor dan nasionalisme dalam pelajarannya; hal ini membuatnya populer di
kalangan muridnya. Meskipun bergaji kecil, Soedirman tetap mengajar dengan giat. Akibatnya,
dalam beberapa tahun Soedirman diangkat menjadi kepala sekolah meskipun tidak memiliki
ijazah guru. Sebagai hasilnya, gaji bulanannya meningkat empat kali lipat dari tiga gulden
menjadi dua belas setengah gulden. Sebagai kepala sekolah, Soedirman mengerjakan
berbagai tugas-tugas administrasi, termasuk mencari jalan tengah di antara guru yang
berseteru. Seorang rekan kerjanya mengisahkan bahwa Soedirman adalah seorang pemimpin
yang moderat dan demokratis. Ia juga aktif dalam kegiatan penggalangan dana, baik untuk
kepentingan pembangunan sekolah ataupun untuk pembangunan lainnya.
Selama waktu-waktu ini, Soedirman juga terus bergiat sebagai anggota Kelompok
Pemuda Muhammadiyah. Dalam kelompok ini, ia dikenal sebagai negosiator dan mediator
yang lugas, berupaya untuk memecahkan masalah antar para anggota; ia juga berdakwah di
masjid setempat. Soedirman terpilih sebagai Ketua Kelompok Pemuda Muhammadiyah
Kecamatan Banyumas pada akhir 1937. Selama menjabat, ia memfasilitasi seluruh kegiatan
dan pendidikan para anggota, baik dalam bidang agama ataupun sekuler. Ia kemudian
mengikuti seluruh kegiatan Kelompok Pemuda di Jawa Tengah dan menghabiskan sebagian
besar waktu luangnya dengan melakukan perjalanan dan berdakwah, dengan penekanan pada
kesadaran diri. Alfiah juga aktif dalam kegiatan kelompok putri Muhammadiyah Nasyiatul
Aisyiyah.

Pada awal Agustus, Soedirman mendekati Soekarno dan memintanya untuk melanjutkan
perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi Perjanjian Roem-
Royen, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi
pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan ketidak-konsistenan pemerintah sebagai
penyebab penyakit tuberkulosisnya dan kematian Oerip pada 1948, ia mengancam akan
mengundurkan diri dari jabatannya, namun Soekarno juga mengancam akan melakukan hal
yang sama. Setelah ia berpikir bahwa pengunduran dirinya akan menyebabkan ketidakstabilan,
Soedirman tetap menjabat dan gencatan senjata di seluruh Jawa mulai diberlakukan pada
tanggal 11 Agustus 1949.

Soedirman wafat di Magelang pada pukul 18.30 malam pada tanggal 29 Januari 1950;
kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI. Setelah berita kematiannya
disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota
Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman
dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat tank dan
delapan puluh kendaraan bermotor dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut
diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.

Jenazah Soedirman disemayamkan di Masjid Gedhe Kauman pada sore hari, yang dihadiri
oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri
Abdul Halim, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri Kesehatan
Johannes Leimena, Menteri Keadilan Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Informasi Arnold
Mononutu, Kepala Staff TNI AU Soerjadi Soerjadarma, Kolonel Paku Alam VIII, dan Soeharto.
Upacara ini ditutup dengan prosesi hormat 24 senjata. Jenazah Soedirman kemudian dibawa
ke Taman Makam Pahlawan Semaki dengan berjalan kaki, sementara kerumunan pelayat
sepanjang 2 kilometer (1,2 mi) mengiringi di belakang. Ia dikebumikan di sebelah Oerip
setelah prosesi hormat senjata. Istrinya menuangkan tanah pertama ke makamnya, lalu diikuti
oleh para menteri.Pemerintah pusat memerintahkan pengibaran bendera setengah tiang
sebagai tanda berkabung di seluruh negeri dan Soedirman dipromosikan menjadi jenderal
penuh.

Anda mungkin juga menyukai