Anda di halaman 1dari 3

Raden Soedirman atau Jenderal Soedirman adalah seorang perwira tinggi pada masa

Revolusi Nasional Indonesia. la menjadi panglima besar TNI pertama yang dihormati di
Indonesia berkat jasanya dalam menggugurkan para penjajah. la dilantik pada tanggal 18
Desember 1945. Selama tiga tahun berusaha melawan tentara kolonial Belanda, Soedirman
berhasil mengalahkan mereka melalui Perjanjian Linggarjati dan Renville yang turut disusun
oleh Soedirman. Setelah melalui berbagai macam perjuangan, pada tahun 1948, Soedirman
divonis mengidap penyakit tuberkulosis yang menyebabkan paru-paru kanannya harus
dikempeskan pada November 1948. Jenderal Soedirman meninggal kurang lebih satu bulan
setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Soedirman merupakan anak dari
pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem, lahir di Purbalingga, 24 Januari 1916. Sejak kecil,
Soedirman diasuh oleh pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo, karena ia memiliki
kondisi keuangan yang jauh lebih baik dibanding orang tua kandung Soedirman. Setelah
Soedirman diadopsi oleh pamannya, ia pun juga turut diberi gelar kebangsawanan suku Jawa,
menjadi Raden Soedirman. Soedirman tumbuh besar dengan cerita-cerita kepahlawanan
yang disampaikan padanya, serta diajarkan etika dan tata krama priyayi serta kesederhanaan
sebagai rakyat biasa. Berkat didikan tersebut, Soedirman tumbuh menjadi anak yang rajin
dan aktif di sekolahnya Namun pada tahun ketujuhnya bersekolah, ia harus dipindah dari
sekolah milik pemerintah ke sekolah menengah milik Taman Siswa. Pada tahun kedelapan, ia
kembali dipindah sebab sekolah Taman Siswa ditutup oleh Ordonansi Sekolah Liar, sistem
yang didirikan pemerintah Hindia Belanda, karena sekolah tersebut diketahui tidak terdaftar.
Di sekolah ia banyak dikenal oleh guru-guru dan teman-temannya sebagai seorang murid
serta teman yang tekun dan pintar. Berkat ketekunannya tersebut ia tetap diizinkan untuk
melanjutkan sekolah meskipun ia tidak mampu membayar setelah kematian sang paman yang
membuatnya jatuh miskin Setelah kepergian ayah tirinya, Soedirman masih terus
mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan.  Ia menjadi guru praktik di Wirotomo dan
menjadi anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik.  Bahkan
Soedirman juga turut membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi
Kepanduan Putra milih Muhammadiyah.  Setelah lulus dari Wirotomo, Soedirman melanjutkan
pendidikannya selama satu tahun di Kweekschool (sekolah guru) yang dioperasikan
Muhammadiyah di Surakarta, namun berhenti karena masalah biaya.

Pada 1936, Soedirman kembali ke Cilacap untuk mengajar di sebuah sekolah dasar
Muhammadiyah, setelah sebelumnya dilatih oleh guru-gurunya di Wirotomo.  Di tahun yang
sama, Soedirman menikah dengan seorang perempuan bernama Alfiah dan dikarunai tiga
orang putra dan empat orang putri

Mereka adalah Ahmad Tidarwono, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, dan Taufik Efendi,
serta keempat putrinya adalah Didi Praptiastuti, Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, dan Titi Wahjuti
Satyaningrum. Selama Soedirman mengajar di sekolah dasar Muhammadiyah tersebut, ia
masih giat sebagai anggota Kelompok Pemuda Muhammadiyah.
Ia berperan menjadi negosiator dan mediator yang lugas dan mampu memecahkan setiap
masalah yang terjadi di dalam organisasi tersebut.  Soedirman juga aktif dalam kegiatan
penggalangan dana, baik untuk kepentingan sekolah ataupun untuk kepentingan
pembangunan lainnya. 

Ketika Perang Dunia II mencapai puncaknya di Eropa, Jepang berupaya untuk menginvasi
Hindia atau Indonesia.  Serangan tersebut berdampak pada sekolah tempat Soedirman
mengajar, di mana ia harus menutup sekolahan tersebut, karena dialuhfungsikan menjadi pos
militer.  Soedirman yang menjadi sosok terpandang di masyarakat, diminta untuk memimpin
tim di Cilacap dalam menghadapi serangan dari Jepang.  Beliau berusaha meyakinkan
Jepang untuk membuka kembali sekolahnya dan ia berhasil. 
Pada awal 1944, Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air
(PETA), kelompok militer bentukan Jepang dan menjadi komandan.   Jepang sendiri
mendirikan PETA pada Oktober 1943 guna membantu menghalau invasi dari Sekutu. 

Selama Soedirman menjabat sebagai komandan PETA, semuanya berjalan dengan sangat
baik, sampai akhirnya pada 21 April 1945, tentara PETA di bawah komando Kusaeri mulai
melancarkan pemberontakan terhadap Jepang.  Mengetahui hal ini, Soedirman pun diminta
untuk menghentikan pemberontakan tersebut, ia bersama pasukannnya mulai mencari para
pemberontak. 

Selama proses pencarian, anak buah Kusaeri rupanya telah menembak komandan Jepang,
Soedirman pun lekas mengumumkan melalui pengeras suara bahwa mereka tidak akan
dibunuh.  Mendengar kabar tersebut, para pemberontak lantas mundur.  Kusaeri menyerah
pada 25 April. 

Pada awal Agustus 1945, Amerika Serikat melakukan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki
di Jepang.  Berita tersebut kemudian sampai ke Indonesia yang kemudian disusul dengan
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.  Sejak pengeboman tersebut,
kontrol Jepang mulai melemah. 

Soedirman kemudian memerintahkan rekan-rekan lainnya untuk kembali ke kampung


halaman mereka, sedangkan Soedirman pergi ke Jakarta. Ia menemui Presiden Soekarno
yang memintanya untuk memimpin perlawanan Jepang di kota. 

Namun, Soedirman menolak hal tersebut, karena ia masih belum terbiasa dengan lingkungan
Jakarta, Soedirman justru menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya.  Soedirman
kemudian bergabung dengan pasukannya pada 19 Agustus 1945 dan di saat bersamaan,
Belanda berupaya untuk merebut kembali kepulauan Indonesia, dihadiri dengan tentara
Inggrid pada 8 September 1945. 

Untuk mengatasi masalah ini, PPKI membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan
potensi perjuangan rakyat pada 22 Agustus 1945, yaitu: Komite Nasional Indonesia (KNI),
Partai Nasional Indonesia (PNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR).  Soedirman sendiri
mendirikan divisi lokal dalam BKR dan kemudian pasukannya dijadikan bagian dari Divisi V
pada 20 Oktober oleh panglima sementara Oerip Soemohardjo.

Pada 12 November 1945 dilakukan pemilihan untuk menentukan panglima besar Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta.  Soedirman pun terpilih untuk menduduki jabatan
tersebut, sedangkan Oerip menjadi kepala staff. Sembari menunggu dirinya dilantik,
Soedirman mengerahkan serangan kepada pasukan Inggris dan Belanda di Ambarawa.
Pertempuran ini diungguli dengan kemenangan Indonesia melalui perjanjian yang turut
dicetus oleh Soedirman, Perjanjiaan Linggarjati dan Renville. 

Selain mengalami pemberontakan dari Belanda, Soedirman juga mendapati pemberontakan


dari dalam termasuk upaya kudeta 1948.  Melalui rangkaian peristiwa tersebut, Soedirman
kemudian menganggap hal tersebut menjadi penyebab penyakit tuberkulosisnya. Karena
infeksi ini, paru-paru kanan Soedirman pun harus dikempiskan pada bulan November 1948. 
Setelah beberapa hari di rumah sakit, Soedirman diperbolehkan untuk pulang. 

Bersamaan dengan itu, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II untuk menduduki
Yogyakarta.  Soedirman beserta kelompok kecil tentaranya serta dokter pribadinya
melakukan perjalanan ke Yogyakarta dan memulai perlawanan melalui Perang Gerilya selama
tujuh bulan. 

Setelah melalui berbagai macam perlawanan, Belanda akhirnya mulai menarik diri.  Mengikuti
Perjalanan Brigjen Yehu Wangsajaya ke Mabes Polri Tanpa Patwal Soedirman masih ingin
tetap terus melanjutkan perlawanannya terhadap Belanda, namun keinginannya ditolak oleh
Presiden Soekarno. Soedirman pun pensiun dan wafat kurang dari satu bulan setelah Belanda
mengakui kemerdekaan Indoenesia. 

Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.  Referensi:  Imran, Amrin.


(1971). Sedjarah Perkembangan Angkatan Darat. Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen
Pertahanan Keamanan: Pusat Sedjarah ABRI. Nasution, A.H. (1963). Tentara Nasional
Indonesia, Jilid I, Cetakan II. Bandung: Ganeco N.V.

Anda mungkin juga menyukai