Anda di halaman 1dari 12

ARTIKEL SEJARAH INDONESIA

“Tokoh Perjuangan Pada Masa Pergerakan Nasional & Tokoh


Perjuangan Pada Masa Pendudukan Jepang"

XI MIPA 3

Guru Pembimbing :
Vera Martina Dewi. S.pd

Disusun Oleh :
DIMAS PRASETYO (15)

SMA NEGERI 1 SUMBERREJO


TAHUN AJARAN 2019/2020
KH. Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1868 , beliau
memiliki Nama kecil Muhammad Darwis. Beliau merupakan anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pendiri
Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah
seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.

KH. Ahmad pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun pada saat beliau berusia
15 tahun.. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran
pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu
Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi
Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua
tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di
kampung Kauman, Yogyakarta.

Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai
Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan
Nasional dan pendiri Aisyiyah.

Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo -
organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan
pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa
sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini
menyarankan agar Kiai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan
didukung oleh organisasi yang bersifat permanen.
Pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum
wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah
ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya
sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan
membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka - dengan nama
Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang,
memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform
atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang.

Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda
yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader
terpercaya, sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan
progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan
zaman.

Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide


pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam
dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan
perhatian pada Muhammadiyah.

Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai
Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat
besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.

Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan
wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen,
Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji
Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai
Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden
RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
Dewi Sartika

Dewi Sartika lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, dan meninggal di
Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Beliau adalah tokoh perintis
pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah
Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan.
Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda
hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi
Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya
bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan
mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat
didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di
belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-
tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang
kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak
kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian
karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh,
sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain
sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat
senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun,
ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam
bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti
itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan
menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat.
Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan
R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran
ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya
“Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung
semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan
Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya
wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran
agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid
bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga
tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun
kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak
didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah
Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga
bertambah.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa


Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-
cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di
kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-
sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki
Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di
mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan
September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah
berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas
jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-
Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata,
seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang,
yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11
September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman
sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian
dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar,
Bandung.
R.A Kartini

Raden Ajeng Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa
Tengah. Ia anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah
lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih
tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Kartini kecil
sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap
anak durhaka. Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran
dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan
ditemani Si mbok (pembantunya).

Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku,
termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat
kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah
Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya
didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman
wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah
kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya
yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon.
Dalam suratnya tersebut ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan


oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke
daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah
wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut
adalah “Sekolah Kartini”.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25,
setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon
mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para
teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang
artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai
pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda
dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan
wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk
mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran Kartini
sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi, masing-masing pihak
memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak begitu menyetujui, ada yang
hanya tidak merayakan Hari Kartini namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada
tanggal 22 Desember.

Raden Ajeng Kartini sendiri adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati
kita dengan segala cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu
menggerakkan dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari
pada masa lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah
kaumnya dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini
kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak tersebut.
Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan
penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
Mohammad Yamin

Muhammad Yamin lahir pada tanggal 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat.
Yamin merupakan pahlawan nasional, budayawan, dan aktivis hukum terkenal di Indonesia.

M. Yamin memiliki pendidikan yang lengkap. Pendidikannya dimulai ketika ia


bersekolah di Hollands Indlandsche School (HIS). Ia juga mendapat pendidikan di sekolah
guru. M. Yamin juga mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Pertanian Bogor,
Sekolah Dokter Hewan Bogor, AMS, hingga sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool)
Jakarta.
M. Yamin termasuk salah satu pakar hukum dan juga merupakan penyair terkemuka
angkatan pujangga baru. Ia banyak menghasilkan karya tulis pada dekade 1920 yang
sebagian dari karyanya menggunakan bahasa melayu. Karya-karya tulis M. Yamin
diterbitkan dalam jurnal Jong Sumatra. Ia juga merupakan salah satu pelopor puisi modern.
M. Yamin banyak menulis buku sejarah dan sastra yang cukup di kenal yaitu Gajah Mada
(1945), Sejarah Peperangan Diponegoro, Tan Malaka(1945) Tanah Air (1922), Indonesia
Tumpah Darah (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Revolusi Amerika, (1951).
Karir M. Yamin dalam dunia politik dimulai ketika ia diangkat sebagai ketua Jong
Sumatera Bond pada tahun 1926 sampai 1928. Setelah itu pada tahun 1931, ia bergabung ke
Partai Indonesia. Tetapi partai tersebut dibubarkan. Karir politiknya berlanjut ketika M.
Yamin mendirikan partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Adam Malik, Wilipo, dan Amir
Syarifudin.
Sebagai sastrawan, gaya puisi suami dari Siti Sundari ini dikenal dengan gaya
berpantun yang banyak menggunakan akhiran kata berima. Tak hanya itu, ia pun disebut-
sebut sebagai orang pertama yang menggunakan bentuk soneta pada tahun 1921 sekaligus
pelopor Angkatan Pujangga Baru yang berdiri pada tahun 1933. Dibesarkan dalam dunia
pendidikan yang berlatar belakang Belanda, bukan berarti Yamin, sapaannya, memihak
Belanda yang kala itu menduduki Indonesia. Semangat nasionalismenya tetap berkobar dan
dibuktikan dalam bentuk karya sastra dan menghindari kalimat yang kebarat-baratan.
M. Yamin juga merupakan anggota BPUPKI dan anggota panitia Sembilan di mana
akhirnya berhasil merumuskan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta ini merupakan cikal bakal dan
merupakan dasar dari terbentuknya UUD 1945 dan Pancasila. Tercatat M. yamin juga pernah
diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Setelah Indonesia merdeka, Yamin banyak duduk di jabatan-jabatan penting negara, di
antaranya adalah menjadi anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952),
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan
Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas
IKBN Antara (1961–1962).

M. Yamin meninggal pada tanggal 17 Oktober 1962. Ia wafat di Jakarta dan


dimakamkan di desa Talawi, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat. Ia meninggal ketika ia
menjabat sebagai Menteri Penerangan. M. Yamin dianugerahi gelar pahlawanan nasional
pada tahun 1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.
Sukarni

Sukarni lahir di Blitar, Jawa Timur pada tanggal 14 Juli 1916. Tokoh yang memiliki
nama lengkap Soekarni Kartodiwirjo ini adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Ayahnya adalah Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak
Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama Supiah, gadis asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa
dikatakan berkecukupan jika dibanding penduduk yang lain. Ayahnya membuka toko daging
di pasar Garum dan usahanya sangat laris.

Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat
oleh Ki Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui
Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan
Indonesia.

Menjadi Aktivis Pergerakan


Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk menjadi
anggota perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930. Semenjak itu dia berkembang menjadi
pemuda militan dan revolusioner. Selain itu ia juga sempat mendirikan organisasi Persatuan
Pemuda Kita.

Masa Pendudukan Jepang


Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni tertangkap di Balikpapan dan kemudian
dibawa ke Samarinda. Namun, setelah Jepang masuk, Sukarni berserta beberapa tokoh
pergerakan lain seperti Adam Malik dan Wikana malah dibebaskan oleh Jepang. Awal-awal
pendudukan Jepang, Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh
Adam Malik (yang kemudian berubah jadi Domei). Pada masa Jepang ini, Sukarni juga
bertemu dengan Tan Malaka. Tan Malaka-lah yang menjadi otak pembentukan partai Murba
dan dia jugalah yang menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar Sukarni yang menjadi
Ketua Umum.
Tahun 1943, bersama Chairul Saleh, dia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Di
tempat itu Sukarni makin giat menggembleng para pemuda untuk berjuang demi
kemerdekaan Indonesia. Seperti diketahui, pada kurun selanjutnya, Menteng 31 dikenal
sebagai salah satu pusat penting yang melahirkan tokoh Angkatan 45.

Peristiwa Rengasdengklok
Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah
di bawah pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk
memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya mendesak
Soekarno dan Hatta, tetapi mereka berdua menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit
yang berakhir dengan penculikan kedua tokoh tersebut, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-
Hatta dari "pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin itu "diasingkan" ke Rengasdengklok oleh
kelompok pemuda yang dipimpin olehnya[2].

Seputar Proklamasi
Akhirnya semua pihak kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan
segera dilakukan pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni mengemban amanat
kemerdekaan serta bahu membahu bersama kelompok pemuda lainnya dalam meneruskan
berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia
gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar kemerdekaan ke
seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API (Angkatan Pemuda
Indonesia) dan untuk buruh dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian
melahirkan laskar buruh dan laskar buruh wanita.

Di zaman RI berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris


Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan
pemerintah dan menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat
Sukarni dijebloskan ke penjara pada tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami
penahanan di Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah komunis Muso) pada masa pemerintahan
Amir Syarifudin (1947/1948).
DAFTAR PUSTAKA

Calista, Fariza. 2017. Biografi dan Profil Lengkap KH. Ahmad


Dahlan – Tokoh Pendiri Muhammadiyah.
http://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-kh-ahmad-
dahlan-tokoh-pendiri-muhammadiyah/. 18 Februari 2020.
Wink. 2018. Biografi Dewi Sartika, Kisah Pahlawan Perintis
Pendidikan Kaum Wanita. https://www.biografiku.com/biografi-
dewi-sartika/. 18 Februari 2020.
Saputra, Rendra. 2019. Biogafi RA Kartini, Sang Pahlawan yang
Berjuang Untuk Emansipansi Wanita.
https://www.akupaham.com/biografi-ra-kartini/. 19 Februari 2020.
Zain, Dwi. 2018. Biografi Mohammad Yamin Pahlawan Nasional.
https://m.merdeka.com/mohammad-yamin/profil/. 19 Februar 2020.
Putra, Eka. 2018. Sukarni, Pemuda Revolusioner Penggagas
Proklamasi. https://www.google.com/amp/s/strategi.id/sukarni-
pemuda-revolusioner-penggagas-proklamasi/. 19 Februari 2020.

Anda mungkin juga menyukai