Anda di halaman 1dari 4

Sinopsis

Setelah Diana pulas, keharuan Ridho meledak. Mata pemuda itu berkaca-kaca, ia menyadari dirinya
sedang ada di dalam kereta, duduk di samping putri bungsu Kyainya. Ia baru saja meninggalkan
pesantren. Ia dalam perjalanan pulang, inilah hidup, tidak ada yang tetap selamanya. Ia tidak mungkin
terus tinggal di pesantren jadi santri sepanjang hayatnya. Matahari terus berputar pada garis edarnya.
Bumi berputar pada porosnya. Siang dan malam datang pergi bergantian. Ia teringat nasehat Simbah Kyai
Nawir dalam salah satu pengajiannya.

“Santri-santriku, dalam pengembaraan mengarungi kehidupan dunia ini jadilah kalian orang-orang yang
penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti orang yang mengembara dan sangat rindu
untuk segera pulang bertemu keluarganya. Orang yang didera rindu untuk segera pulang, itu berbeda
dengan orang yang tidak merasa rindu, meskipun sama-sama bepergian. Orang yang didera rasa rindu,
tidak akan membuang-buang waktunya di jalan, ia ingin cepat-cepat sampai rumahnya. Sebab, ia ingin
bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, orang yang tidak merasa rindu, mungkin dia
mampir di satu tempat berlama-lama di situ, jadinya banyak waktu terbuang dan sia-sia.

Di dunia ini kita seperti orang bepergian, orang yang mengembara. Dunia ini bukan tjuan kita. Tujuan kita
adalah Allah. Kita harus memiliki rasa rindu yang mendalam kepada Allah. Dan Allah akan membalas
dengan kehangatan rindu dan ridha-Nya yang tiada bandingannya.

Nurus Syifa, tingggal di Way Meranti, seorang yatim piatu yang memiliki adik bernama Lukman. Ia gadis
yang tegar, bertanggung jawab, dewasa, terpaksa putus sekolah demi membiayai keluarga, adik, Nenek
Zumroh, Nenek Halimah, dan Kakek. Meskipun keinginan sekolahnya sangat menggebu, namun saat itu
ia rela, dan pada akhirnya Shifa bisa melanjutkan sekolah lagi di sebuah pesantren, serta menghafalkan
Al-Quran.

Ainur Ridho, Kakak sepupunya Syifa, yatim piatu juga, masih memiliki nenek dan kakeknya yang saat itu
mengalami koma. Ridho pulang dari pesantren disuruh oleh Kiyainya. Ia kini menjadi tulung punggung
keluarga, mengambil alih posisi yang disandang Syifa sebelumnya. Kakeknya, memaksanya untuk belajar
di pesantren. Ridho masih mengingat kata-kata sang Kakek yang membujuknya agar mau diantar ke
pesantren.

Kyai Nawir dari Sidawangi, sangat menyayangi Ridho, dan menggapnya sudah seperti anaknya.

Yang jelas, Ridho tidak pernah tidak antusias kalau disuruh atau ditugasi oleh Abah. Anak itu sangat
patuh dan ta'dhim. Ia lebih mementingkan Abah dalam segala hal daripada dirinya sendiri. Bahkan
nyawanya sekalipun," tukas Gus Najib (halaman 137)

Namun Kyai, menyuruh Ridho untuk pulang. Sudah beberapa tahun Ridho tidak pulang ke kampung
halamannya. Dan, di saat pulang, ia harus menghadapi kenyataan sulit yang menghimpit keluarganya.
Sanggupkah Ridho mengatasi permasalahannya? Usaha apa yang dilakukan Ridho? Bagaimana ia bisa
mencari jalan keluar untuk permasalahan hak waris yang dihadapi kedua sepupunya? Usaha apa yang
dilakukan Ridho untuk mengobati kakeknya yang sudah berbulan-bulan koma? Akankah Syifa diterima
oleh Ibu Rosma, Sita dan Diana? Temukan selengkapnya dalam bukunya

Meskipun kini ia miskin, ia berharap kuat iman dan tidak memakan harta orang lain dengan haram.
(halaman 6)

“Santri-santriku, dalam pengembaraan mengarungi kehidupan dunia ini jadilah kalian orang-orang yang
penuh rindu. Orang-orang yang rindu pulang. Jadilah seperti orang yang mengembara dan sangat rindu
untuk segera pulang bertemu keluarganya. Orang yang didera rindu untuk segera pulang, itu berbeda
dengan orang yang tidak merasa rindu, meskipun sama-sama bepergian. Orang yang didera rasa rindu,
tidak akan membuang-buang waktunya di jalan, ia ingin cepat-cepat sampai rumahnya. Sebab, ia ingin
bertemu dengan orang-orang yang dicintainya. Sebaliknya, orang yang tidak merasa rindu, mungkin dia
mampir di satu tempat berlama-lama di situ, jadinya banyak waktu terbuang dan sia-sia. Kita seperti
orang bepergian, orang yang mengembara. Dunia ini bukan tjuan kita. Tujuan kita adalah Allah. Kita
harus memiliki rasa rindu yang mendalam kepada Allah. Dan Allah akan membalas dengan kehangatan
rindu dan ridha-Nya yang tiada bandingannya.” (halaman 61)

“Anak panah kalau tidak dilepas dari busurnya, tidak akan pernah sampai pada sasarannya. Demikian
juga manusia, jika tidak berani merantau untuk mencari ilmu maka dia tidak akan meraih
kegemilangannya. Kamu harus belajar, jauh, merantau, agar banyak pengalaman. (halaman 66)

Ya, kita semua sudah pasti ingin selamat. Dan kita sangat mengimani Allah yang Maha Menentukan.
(halaman 101)

…”Akal sehat dan kewaspadaan itu sangat penting untuk menjaga keamanan dan keselamatan!”
(halaman 103)

“Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Kita harus tetap ikhtiar semaksimal yang kita mampu.” (halaman
120)

Satu-satunya hal yang bisa membungkam mulut-mulut yang miring adalah sebuah keberhasilan, sebuah
prestasi. Ia harus berhasil. (halaman 134)

“Aku memilih jualan gorengan asal barokah. Sekali lagi, kata-kataku ini bukan sabda yang harus diikuti.
Kau merdeka menentukan pilihan.Yang jelas aku sudah berusaha menunaikan kewajibanku menjagamu
sebagai kakak yang dituakan.” (halaman 200)

Makmurkan mesjid depan rumahmu itu! Kau makmurkan rumah Allah, maka Allah akan memakmurkan
hidupmu! Jangan khawatir tentang rezeki Allah. Ingat, lebah di dalam hutan, bahkan di lereng tebing
gunung saja, diberi rezeki oleh Allah. (halaman 214-215)
Jangan pernah putus asa dari rahmat Allah! Jangan pernah tinggi hati. Kalau kau nanti dijahati orang,
jangan membalas. Biarlah Allah yang menangani. (halaman 215)

… tiga akhlak penting yang ada dalam diri Rasulullah saw. yang harus diteladani oleh seluruh umatnya,
terutama para pebisnis. Tiga akhlak itu ialah jujur, amanah dan profesional.

Nurus Syifa, seorang gadis belia yang terpaksa putus sekolah sejak beberapa tahun karena tuntutan
ekonomi. Setelah kedua orang tuanya meninggal, kehidupan Syifa berubah. Ia hanya tinggal bersama
nenek dan Lukman –adiknya yang masih kecil. Untuk mencukupi kehidupan keluarga, ia terpaksa
menjajakan gorengan dan minuman dari satu tempat ke tempat lain. Kehidupannya terasa semakin berat
sejak kepergian sepupunya, Ridho, ke Sidawangi, karena kini dia memiliki tugas baru untuk menjaga
kakek dan nenek Ridho yang kesehatannya semakin menurun. Neneknya dan nenek Ridho merupakan
saudara kandung, sehingga Syifa merasa merekalah keluarga terdekat yang ia miliki saat ini. Hal itu
membuat Syifa merasa bertanggung jawab untuk menjaga dua keluarga tersebut. Tugas yang kian berat
membuat kedatangan Udo Ridho begitu Syifa nantikan, karena ia merasa kehadiran Udo Ridho akan
sangat membantunya.

Ridho menjalani kehidupannya sebagai seorang santri asal Lampung Barat yang selama bertahun-tahun
menimba ilmu di Pesantren Darul Falah, Sidawangi, mengabdikan diri sebagai khadim sekaligus orang
kepercayaan Kyai Muawir –pemimpin pesantren Darul Falah. Oleh sang kakek, ia diamanahi untuk tidak
pulang ke Way Meranti –kampung halamannya, sebelum pak Kyai sendiri yang menyuruhnya untuk
kembali. Tanpa alat komunikasi, jarak yang tercipta antara Ridho dan keluarganya terasa semakin
panjang. Kehidupan sebagai seorang santri sekaligus khadim, juga aktivitasnya sebagai mahasiswa
tingkat akhir yang dituntut untuk segera menyelesaikan skripsi, membuat Ridho tak menyadari bahwa
kehadirannya di rumah telah begitu dinantikan oleh keluarga, terutama oleh adik sepupunya, Syifa, yang
sejak beberapa bulan terakhir harus menjadi tulang punggung dua keluarga.

Akhirnya, Ridho diminta pulang oleh pak Kyai untuk mengabdi di kampung halaman. Perasaan haru
membuncah tatkala ia harus meninggalkan lingkungan tempatnya menuntut ilmu, terlebih harus
berpisah dengan gurunya yang penyayang dan begitu ia hormati. Kepulangannya kali ini pun tak sendiri.
Dia menempuh perjalanan menuju Lampung bersama Diana –putri bungsu Kyai Nawir, yang akan
melanjutkan studi di UNILA. Bahkan sampai akhirpun ia masih diberikan amanah oleh Kyai Nawir yang
memiliki kepercayaan begitu besar kepadanya.

Kini, tibalah pertemuan yang telah lama dinanti setelah melalui kerasnya kehidupan. Tak ada yang
membuat Syifa merasa lebih bahagia selain kehadiran Udo Ridho, karena kini tugas sebagai tulang
punggung keluarga tak hanya dipikul oleh dirinya sendiri. Kehidupan yang Ridho dan Syifa jalani
selanjutnya, membawa kedua saudara itu bertemu dengan orang-orang yang membuka satu persatu
kisah dalam kehidupan mereka.

Meskipun inti cerita berada pada kehidupan Ridho, namun sebenarnya jalan cerita dalam novel ini
berpindah-pindah antara satu tokoh ke tokoh yang lain. Banyaknya tokoh yang dihadirkan tak lantas
menghilangkan fokus cerita, karena masing-masing tokoh telah diberikan porsi yang pas. Hal inilah yang
membuat jalan cerita lebih menarik karena pada akhirnya akan ditemukan benang merah antara satu
tokoh dengan tokoh lainnya.

Kisah masa lalu Syifa mulai terbuka dan pertemuannya dengan sosok lain telah terungkap. Namun
kelanjutan mengenai kisah kehidupan pribadi Ridho masih menjadi teka-teki yang sangat dinanti. Kang
Abik begitu cerdik mengakhiri jalan cerita pada novel pertama ini, karena hingga paragraf terakhir,
pembaca akan dibuat penasaran dengan kelanjutan kisahnya. Menurut saya, ini merupakan ending yang
baik dalam cerita seri berkesinambungan, tuntas satu kisah tapi belum selesai. Terjawab, tapi masih bikin
penasaran. Nah, kan jadi nggak sabar nunggu buku ke 2.

Satu hal yang tidak pernah dilupakan oleh Kang Abik dalam setiap karyanya, yaitu menyertakan pesan-
pesan sarat nasehat melalui karakter tokoh di dalam cerita. Pada novel ini, kesederhanaan menjadi jiwa
yang menggerakkan laku tokoh utama dan kerinduan akan ridha Allah menjadi nyawa yang
menghidupkan jalannya cerita.

Anda mungkin juga menyukai