Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA

KARYA AHMAD FUADI

Dosen Pengampu :
Muhammad Hafidz Assalam, S.S, M.A.

Disusun Oleh:
1. Janto Sihite (2192510012)
2. Osi Desma Faudi (2191210004)
3. Evianna Pakpahan (2192210002)
4. Putri Sihombing (2191210005)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
Daftar Isi ................................................................................................................. i
Kata Pengantar....................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 2
D. Landasan Teori ................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sinopsis Novel Negeri Lima Menara................................................................ 3
B. Analisis Sosiologi Sastra pada Novel Negeri Lima Menara............................. 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................ 8
B. Saran.................................................................................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak hanya berguna sebagai hiburan yang
menyenangkan saja. Karya sastra juga berguna untuk menambah pengalaman bagi
pembaca.Lukens dalam Burhan Nurgiyantoro (2010 : 3) mengatakan bahwa sastra
memberikan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca
pertama-tama adalah memberikan hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan
cerita yang menarik, mengajak pembaca untuk memanjakan fantasi, membawa pembaca ke
suatu alur

Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2009
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilainilai pendidikan
yang terkandung dalam novel tersebut. Novel Negeri Lima Menara mempunyai masalah-
masalah kehidupan sosial budaya yang berasal dari daerah masing-masing oleh para tokoh.
Novel Negeri Lima Menara juga memiliki nilai positif yaitu penjelasan nilai keteladanan
dalam sebuah lembaga pendidikan sehingga bisa dijadikan panutan bagi pembaca. Novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi dipilih karena memiliki beberapa kelebihan baik
dari segi isi atau bahasanya dibandingkan novel yang lain.

Adapun alasan diangkatnya sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan sebagai kajian
karena novel Negeri Lima Menara memiliki kelebihan tersendiri. Apalagi didukung masalah
kehidupan sosial yang terjadi selama di dalam pesantren. Nilai pendidikan terlihat pada
segala sesuatu yang terlihat melalui proses pendidikan. Baik bentuk pengalaman di menara,
tatap muka di kelas dan hukuman yang dijatuhkan pada setiap anak yang melanggar
peraturan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri


Lima Menara karya Ahmad Fuadi?
2. Bagaimanakah aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi?
3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi?
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam


novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
D. Landasan Teori

Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma
dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh
teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian penelitian sosiologi sastra
menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan
dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakat tersebut. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut
memenuhi persyaratanpersyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.

Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus
dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan
kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model
pembaca yang ditujunya.Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun
bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode
tertentu.

Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian


yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya
kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang
lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem
komunikasi secara keseluruhan.

Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok
penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya.
Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1993:122).

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sinopsis Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi
Dikisahkan sebuah cerita dari tanah Minangkabau, yaitu Alif. Sejak kecil Alif memiliki
cita-cita untuk menjadi seseorang seperti B.J. Habibie, tetapi ibunya menginginkan Alif
menjadi seseorang seperti Buya Hamka. Hal itulah yang menjadi penghalang bagi
tercapainya cita-cita Alif. Ssat itu Alif diberikan dua pilihan untuk melanjutkan sekolahnya,
yaitu sekolah di bidang keagamaan atau mondok di pesantren. Pilihan itu membuat Alif
sangat marah, karena dia tidak bisa menggapai cita-citanya. Akhirnya, Alif memilih untuk
mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur, yaitu pondok Madani. Mendengar keputusan
Alif, ibunya merasa berat hati karena Alif tidak memilih sekolah ataupun pondok yang berada
di Minang. Kekhawatiran ibunya disebabkan oleh Alif yang tidak pernah keluar dari tanah
Minang.

Di pondok Madani, Alif merasa berat hati,karena dalam hati kecilnya dia ingin
melanjutkan kuliah di ITB. Namun, ada satu hal yang membuat Alif berubah pandangan,
bahwa mondok dipesantren sama halnya dengan sekilah umum, sebuah kalimat yang
diucapkan oleh pimpinan pondok, yakni Kiai Rais yang mengucapkan “Man Jadda Wa
Jadda” barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Hal yang paling berat ketika di
Pondok Madani adalah Alif dan kelima temannya harus belajar selama 24 jam dan hanya
tidur beberapa menit saja, hal itu dilakukan untuk mempersiapkan mental mereka
menghadapi ujian lisan dan tertulis. Disela sibuknya belajar Alif dan kelima temannya
menyempatkan diri berkumpul di bawah menara masjid untuk membicarakan seputar cita-cita
mereka sambil melihat awan untuk berimajinasi. Tahun berikutnya, Alif dan kelima
temannya sudah mulai terbiasa dengan kondisi pondok dan bisa menyesuaikan diri. Namun,
teman Alif yang paling cerdas dan rajin yang bernama Baso memutuskan untuk keluar dari
pondok Madani dengan alasan ekonomi dan permasalahan keluarga. Alif dan teman-
temannya merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan Baso. Hal itu membuat Alif,
Dulmajid, Atang, Raja, dan Said lebih bersemangat untuk segera lulus dari pendidikannya
dan kelak bisa menjadi orang yang sukses serta mampu mewujudkan cita-citanya menjelajah
bebua Eropa dan benua Amerika. Atas usaha dan perjuangan mereka, kini cita-cita yang
sebelumnya hanyalah sebuah mimpi menjadi kenyataan. Alif berada di Amerika, Baso di
Asia, Atang di Afrika, Raja di Eropa, Said dan Dulmajid berada di Indonesia. Alif dan kelima
temannya berada di bawah menara yang berbeda.

B. Analisis Sosiologi Sastra pada Novel Negeri Lima Menara


1. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara

Langkah yang dilakukan pengarang dalam menciptakan karyanya terispirasi dari


kisah pribadinya. Awalnya pengarang terpaksa masuk di pendidikan Pondok Madani.
Pengarang ingin mewujudkan cita-cita menjadi seperti Habibie. Akan tetapi, keinginannya di
tentang oleh orang tua pengarang. Keinginan untuk masuk Pondok Madani timbul karena
surat dari Etek Gindo. Keputusan pengarang untuk melanjutkan ke pondok merupakan
keputusan setengah hati. Selanjutnya keputusannya itu sirna seiring berjalannya waktu dan
terlaksananya pembelajaran di Pondok Madani.

Ahmad fuadi sebagai pengarang novel Negeri Lima Menara memandang Pondok
Madani adalah tempat membangun karakter anak bangsa. Dimana lulusan Pondok Madani
mampu bersaing di dunia kerja dan mampu bersaing di kancah luar negeri. Selain itu Pondok
Madani merupakan tempat mengajarkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas.

Hal ini sesuai dengan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam UU
nomor 20 tahun 2003 pasal 3 UU Sisdiknas. Karakter bangsa merupakan Karakter adalah
watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi
berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan
norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam
ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya
dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses
pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat,
dan budaya bangsa.
Selanjutnya pengarang memiliki pandangan bahwa pengarang merupakan orang yang
paling beruntung bisa menjadi murid Pondok Madani. Beruntung Pondok Madani telah
memberi bekal ilmu pembangun karakter. Pengarang juga merasa menjadi seorang anak
muda yang dibentuk dengan totalitas pendidikan yang iklas. Pondok Madani telah
memberikan bekal untuk mengarungi kehidupan ini. Baik kehidupan yang senang maupun
kehidupan yang susah. Bekal tersebut melekat di dalam otak dan hati. Namun, semua itu
tidak bisa lepas dari motivasi para kiai yang ada di Pondok Madani.

2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara Karya
Ahmad Fuadi

Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133)
memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) Sistem religi; (2) Sistem
kemasyarakatan atau organisasi social; (3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian;
(6)Sistem mata pencaharian; dan (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi. Ketujuh unsur
kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud kebudayaan. Sehingga tiap-tiap
kebudayaan dapat dijelaskan pada 1) wujud budaya (gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial
(tindakannya, pola aktivitas), dan 3) wujud fisik. Keseluruhan sistem dalam wujud
kebudayaan itu pada akhirnya menjelma menjadi kebudayaan makro suatu masyarakat, yang
memiliki peraturan-peraturan antar unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan (P. Hariyono,
2009: 38).

Sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara sesuai dengan tujuh
unsur yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri
Wijiyati, 2007: 133). Sistem religi yang terdapat dalam novel adalah menganut agama islam.
Novel tersebut bercerita tentang kehidupan sehari-hari di Pondok Madani. Di mana di
Pondok sarat dengan pendidikan agama yang sangat kental.

Selanjutnya sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, terdapat organisasi berupa


perkumpulan enam murid Pondok Madani. Perkumpulan enam anak tersebut dinamakan
Sahibul Menara. Tempat berkumpu Sahibul Menara adalah di manara masjid Pondok
Madani. Kegiatan yang dilakukan adalah belajar, diskusi dan berkhayal tentang impian
masing-masing anggota Sahibul Menara. Impian tersebut adalah impian untuk pergi ke luar
negeri. Selain di Menara masjid perkumpulan juga dilakukan di aula. Aula merupakan tempat
perkumpulan semua murid Pondok Madani. Sistem pengetahuan juga terdapat dalam novel
tersebut.
Sistem pengetahuan yang terdapat dalam novel bahwa murid kelas enam Pondok
Madani mampu membuat pertunjukan. Pertunjukan itu sangat spektakuler. Sehingga disebut
sebagai pertunjukan class six show.

Sementara itu bahasa yang terdapat dalam novel berupa bahasa lisan dan bahasa
tulisan. Bahasa lisan terdiri dari bahasa Minang, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sedangkan
bahasa tulisan berupa bahasa Inggris dan bahasa Arab. Untuk bidang kesenian terdapat
kesenian berupa kaligrafi dan kesenian bangunan Pondok Madani yang menawan.Sistem
mata pencaharian yang terdapat dalam novel yaitu guru dan pegawai Pemda. Guru
merupakan mata pencaharian orang tua Alif. Orang tua Atang yang tinggal di Bandung
bekerja sebagai pegawai Pemda.

Unsur kebudayaan yang terakhir yaitu sistem peralatan hidup dan teknologi terdiri
dari transportasi, alat komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah dan pakaian.
Transportasi yang digunakan Alif untuk pergi ke Pondok Madani adalah bus dan kapal.
Namun, setelah lulus dari Pondok Madani dan sukses Alif belajar di luar negeri. Untuk dapat
keluar negeri, Alif menggunakan alat transportasi pesawat terbang. Selanjutnya, peralatan
komunikasi berguna untuk mengetahui keadaan dan kabar berita, maka dalam novel tersebut
terdapat peralatan komunikasi berupa surat. Lain halnya dengan peralatan konsumsi dalam
bentuk wadah. Peralatan makan yang digunakan di Pondok Madani adalah piring dan gelas.
Terakhir adalah pakaian. Pakaian seragam di Pondok Madani sudah ditentukan yaitu pakaian
pramuka, sarung dan pakaian olah raga.

3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi

Nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari novel Negeri Lima Menara adalah nilai
pendidikan yang dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian ini nilai-nilai yang
diambil untuk menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukan oleh Max Scheler.
maka nilai-nilai pada novel dapat dikemukakanyaitu nilai vitalitas atau kehidupan sosial, nilai
religius atau keagamaan, nilai moran positif dan negatif dan nilai budaya.

Nilai vitalitas atau kehidupan sosial yaitu mengenai kehidupan sosial keluarga Alif
yang sederhana. Sehingga orang tua Alif tidak mampu menyekolahkan Alif ke sekolah
negeri. Namun, orang tua Alif menganjurkan untuk bersekolah di Pondok yang biayanya jauh
lebih murah.
Nilai pendidikan selanjutnya yaitu nilai religius atau keagamaan. Alif menuruti
nasehat orang tua untuk masuk ke Pondok. Di Pondok Madani terdapat pembelajaran agama
yang diajarkan setiap waktu. Di mana pun berada, pelajaran agama selalu dipelajari. Hal ini
terbukti sesuai dengan kutipan,

“Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan PM tidak
membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya berhubungan. Agama
langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada
dimana-mana,” Jelas Burhan lancar.

Sementara itu nilai moral yang positif dan negatif berupa kalimat mujarab yang
mendatang motivasi dan semangat tinggi. Kata mujarab tersebut adalah man jadda wajadda.
Artinya siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh maka akan sukses.

Nilai pendidikan terakhir yaitu nilai budaya. Budaya merupakan sesuatu yang dianut
oleh masyarakat setempat. Berkaitan dengan nilai budaya tersebut, dalam novel Negeri Lima
Menara terdapat nilai budaya mengenai kepercayaan orang Minang tentang rumah makan
Padang. Dalam mendirikan rumah makan Padang bangunannya terdapat atap bertanduk dan
bertuliskan “RM Padang”.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan

Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi

Pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara,
merupakan tempat yang mengajarkan kehidupan yang percaya dan bertakwa terhadap Tuhan.
Selain itu pengarang juga berpandangan bahwa Pondok Madani merupakan tempat untuk
membentuk karakter seseorang dan menjadikan manusia berwawasan luas. Pondok Madani
merupakan pondok yang memberi bekal hidup kepada murid dan mengharuskan muridnya
untuk menggunakan bahasa asing selama 24 jam. Semua itu dapat dilakukan dengan usaha
dan kerja keras seperti motivasi yang diajarkan di pondok man jadda wajadda.

2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad
Fuadi
a. Sistem Religi meliputi (1) sistem kepercayaan yang menganut ajaran Agama Islam; (2)
sistem nilai dan pandangan hidup yaitu berupa kata yang mujarab “man jadda wajadda”;
dan (3) komunikasi keagamaan berupa dahwah;
b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial meliputi (1) sistem kekerabatan masyarakat
Minangkabau yang matrilinial dan (2) asosiasi dan perkumpulan Sahibul Menara di
menara masjid sebelum Magrib dan aula yang digunakan sebagai perkumpulan murid
untuk melakukan kegiatan;
c. Sistem pengetahuan berupa kemampuan membuat Pesta pertunjukan itu biasa di sebut
dengan Class Six Show. Class Six Show yang ditampilkan murid senior kelas enam dan
pengajaran pondok yang bersifat modern yaitu penggunaan bahasa asing selama 24 jam;
d. Bahasa, bahasa yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara adalah bahasa lisan dan
bahasa tulis. Bahasa lisan berupa bahasa Minang, bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Bahasa tulis berupa bahasa Arab dan bahasa Inggris.
e. Kesenian berupa kesenian kaligrafi dan bangunan;
f. Sistem mata pencaharian yaitu berupa guru dan pegawai Pemda;
g. Sistem peralata hidup dan komunikasi berupa (1) transportasi yaitu berupa bus dan kapal;
(2) peralatan komunikasi berupa surat; (3) bentuk peralatan komunikasi dalam bentuk
wadah berupa piring dan gelas; dan (4) pakaian yang digunakan setiap hari di dalam
pondok yaitu berupa sarung, baju pramuka dan baju olah raga.
3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad
Fuadi
a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial yang berupa kisah kehidupan keluarga Alif yang
sederhana.
b. Nilai spiritual atau nilai agama yang tokohnya beragama islam dan menampilkan
kesediaan Alif untuk masuk ke Pondok
c. Nilai moral yang positif dan negatif, nilai tersebut berupa nilai moral yang positif yaitu
adanya pembelajaran pertama dengan menggunakan kata yang mujarab “man jadda
wajadda” d. Nilai budaya berupa supremasi masyarakat mengenai rumah makan padang
yang terdapat atap bertanduk dan bertuliskan “RM Padang”.
B. Saran

Dalam menganalisis suatu karya sastra, dibutuhkan pengetahuan-pengetahuannya


mengenai kehidupan di dunia. Terutama dalam memahami analisis Novel Negeri Lima
Menara ini diperlukan konsep pengetahuan pembaca mengenai pendidikan. Analisis suatu
karya sastra dapat berbeda-beda antara satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan
pengetahuan seseorang pun berbeda-beda.

Makalah ini jauh dari sempurna, sehingga jika terdapat kesalahan harap dimaklumi, dan
diharapkan analisisnya.
DAFTAR PUSTAKA

A, teeuw. 1998. Sastra dan ilmu sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung : Sinar Baru

Fuadi, A. 2010. Negeri 5 Menara. Jakarta: PT. Gramedia.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: RinekaCipta.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 1993. Teori Kesusastraan (terjemahan melalui Budiyanto).

Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai