KENANG – KENANGAN
PERJALANAN HIDUP
ABDUL HAMID NASUTION
MEDAN
2013
Semua pembuatan ini diniatkan dan di dorong ayat suci Alquran
Surat as-Syu’araa ; 84:
Artinya: “dan Jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-
orang (yang datang) Kemudian.”
Persembahan untuk anak-anak tercinta:
1. M. Yusran Nasution
2. M. Yunan Nasution
3. Syukri Hamdani Nasution
4. Syarifah Hidayah Nasution
5. Ina Zainah Nasution
6. Laili Syafitri dan
7. Nasrun Nasution
1. MASA KANAK-KANAK
Saya dilahirkan di Jalan Sei Kerah Titi Satu Medan tahun
1939, dari orang tua bernama Abdul Gani Nasution dan Na`imah
siregar. Ayah saya berasal dari Tapanuli Selatan tepatnya Kampung
Maga Pagaran Sigatal. Sedang Ibu juga berasal dari Tapanuli Selatan
namun beliau dilahirkan di Kampung Gelugur Medan. Ayahnya
seorang kepala masinis kereta api yang selalu berpindah-pindah
tempat. Dari Sei Titi Kerah kemudian saya bersama orangtua pindah
dan tinggal di Glugur Gang Suratman sejak tahun 1940 sebelum
kemerdekaan RI. Gang tersebut diberi nama Gang Suratman karena
seorang pemuda bernama Suratman yang tinggal disitu gugur
ditembak Belanda. Ia sangat berani, ketika itu ia ingin mencari
senjata untuk pemuda-pemuda kita dan memanjat pagar bengkel
MMF/SOCFIN, naas baginya ada tentara Belanda yang menjaga dan
melihatnya, langsung ditembak.
Kehidupan orang tua kami ketika itu berjualan kedai sampah
(kata orang kampung yaitu yang berjualan sayur-sayuran, ikan, beras,
dan lain-lain).
Ketika Jepang masuk menjajah 1942, memang benar
orangnya pendek-pendek, sangat kejam, semua penduduk ketakutan
ketika masuk ke seluruh daerah dan mengambil apa yang mereka
perlukan, makanan, pakaian, bahkan anak gadis yang mereka sukai.
Hal ini saya dengar dari orangtua bercerita, saya sendiri pernah
mendengar ketika bekerja di jalan Ahmad Yani (Kesawan dulu)
Jepang datang dan memasuki toko-toko dan mengambil pakaian,
bakal-bakal pakaian sehingga di pekan rakyat sulit mencari kain
untuk pakaian sehingga banyak rakyat berpakaian goni dan bahan apa
saja yang bisa…….. Kami dan rakyat semuanya sulit dan susah,
makan apa yang ada. Ubi kayu, pisang, jagung, pepaya. Saya ketika
itu sakit malaria dan sakit puru (bendol-bendol gatal) bengkak dan
tidak ada obatnya. Orangtua kami berusaha berjualan dan belanja ke
pekan tetapi sulit dan sangat berbahaya disana sini tentara Jepang
siap, terkadang tembakan-tembakan terjadi banyak orang jalan mati
kena pelor kesasar. Walau keadaan demikian sulit orangtua kami
sekitar tahun 1945 membawa saya sekolah Kindergarden bahasa
Inggris di Pulo Brayan. Saya tidak mengerti kenapa ke sekolah
Inggris saya anak baru umur 6 tahun hanya mengikuti dan sampai
sekarang teman saya nama Ismail masih ada di Jalan Panitra Pulo
Brayan Medan.
Pada suatu siang awal tahun 1946 kami anak-anak sedang
bermain-main di lapangan pinggir rel kereta api Gang Suratman, tiba-
tiba suara sorak-sorak orang dan anak-anak kedengaran ketika ada
kereta api dari Medan membawa tentara Jepang menuju Belawan dan
akan naik ke kapal pulang ke Jepang.
Saya dan teman ikut bersorak-sorak gembira melihat di kereta
api tentara Jepang melambai-lambai tangannya. Ketika itu saya
berumur 6 tahun dan belum mengerti apa dan kenapa ini semua
terjadi. Setelah dewasa dari buku sejarah barulah saya mengerti
bahwa tentara Jepang menyerah kalah karena negerinya Hirosima di
bom oleh sekutu. Kemerdekaan Indonesia sudah di Proklamirkan
lebih dahulu sebelum Jepang menyerah kalah dan Jepang menjajah
Indonesia ± 3,5 tahun.
Beberapa bulan kemudian akhir tahun 1946 suatu malam
kami terkejut ada perintah supaya meninggalkan dan evakuasi
masing-masing cari tempat selamat, karena keadaan bahaya tinggal di
Gang Suratman (Glugur). Rupanya Belanda tidak senang dengan
kemerdekaan Indonesia, ia mengadakan aksi/perang pertama seluruh
Indonesia dan memasukkan tentara sekutunya Inggris dan Pakistan
untuk berperang.
Di Glugur dari lorong I sampai Jalan Bono itu semua di
patroli tentara sekutu, dan tiap hari mencari pemuda-pemuda
Indonesia. Banyak yang lari ketakutan, semua orang-orang tua
beserta anak-anaknya. Kami ada mendengar juga di Glugur asrama
Hong, pemuda kita di luar markas pertahanan tentara sekutu ada
pemuda kita yang berani memanjat pohon kelapa untuk menggeranat
tentara sekutu dari atas tetapi dilihat tentara sekutu dan
menembaknya jatuh dan mati.
Kami pergi keluar cari selamat dari Gang Suratman evakuasi
ke Sampali, memang agak jauh tetapi aman. Saya ketika itu berumur
6 tahun dibawa jalan oleh ayah saya di malam hari dan kakak saya
dengan ibu juga berjalan melalui semak-semak hutan dan sampai
kami ke Sampali pagi hari. Tetangga kami di gang Suratman pak
Dolah tukang kereta lembu telah duluah pindah ke Sampali dan
ketika melihat kami ia sangat senang dan terus mengajak ke
rumahnya.
Kami merasa bersyukur dan tinggallah kami disitu beberapa
hari. Setelah keadaan agak aman disamping kami pun agak segan
berlama-lama tinggal di rumah tersebut. Setelah mohon izin orangtua
memberanikan diri dan membawa kami berangkat berjalan kaki dari
Sampali menuju Glugur seberang sungai atau sekarang disebut
Glugur gang Sekata. Perjalanan cukup jauh dan melelahkan, kiri
kanan semak-semak hutang sunyi sekali, tidak seperti sekarang sudah
banyak gedung yang bagus-bagus. Tangan saya dipegang oleh ayah
saya dan ibu membawa kakak saya (alm.). Saya melihat ibu sudah
lelah tetapi dia tabah sekali, saya kagum akhirnya sampai kami di
Glugur seberang itu. Disini kami tinggal di sebuah rumah sewa yang
sederhana dan orangtua berusaha berjualan dan bertani. Disini
banyak saudara-saudara dari ibu dari mulai atok, nenek, paman-
paman dengan adik-adiknya, mereka gembira dengan kedatangan
kami. Kehidupan kami masih sulit susah, makan sering bercampur
nasi dengan ubi karena sulit mencari beras. Ibu sering menggalas cari
beras ke Binjai naik ke kereta api. Walau dia capek bawa beras
dengan menjunjungnya, tapi tetap sabar tak pernah mengeluh atau
marah-marah, saya terharu bila teringat ini. Keadaan di Glugur
seberang sungai ini lebih aman dibanding di gang Suratman, tetapi
setiap hari terdengar pesawat Belanda/sekutunya lewat-lewat dan
menjatuhkan bom-bom di tempat tentara TNI berada. Saya masih
anak-anak dan takut sekali. Ketika itu saya dipindahkan ke Sekolah
Rakyat (SR8) atau sekarang SD dimulai dari kelas I dan harus
berjalan kaki dari gang Sekata ke Petisah. SR8 ini bekas sekolah
Belanda dan disinilah saya sekolah sampai kelas III tidak sampai
tamat.
Setiap hari pulang dari sekolah saya sering disuruh ibu ke
ladang mengambil ubi kayu dan sayur-sayuran untuk di makan.
Lebih tiga tahun kami tinggal di Glugur seberang ini. Keadaan
Negara kita belum aman walau sudah merdeka. Menurut sejarah
Belanda/sekutunya terus mengadakan aksi/serangan yang kedua.
Peperangan besar-besaran pun terjadi di Surabaya, Belanda
menyerang dengan pesawat tempurnya ketika itulah Bung Tomo
pejuang kita dengan semangat jihadnya dengan pekikan “Allahu
Akbar” berjuang dan beratus/ beribu bangsa kita yang mati sahid
dalam peperangan tersebut. Belanda terus memerangi walau
Pemerintah kita dengan delegasi Sutan Syahrir/M. Rom telah selesai
Konferensi di PBB dan akhirnya kedaulatan NKRI diakui di PBB.
Pemerintah Indonesia akhirnya terus berupaya mencari
dukungan negara-negara Arab, Mesir dan lain-lain. Setelah Arab-
Mesir mendukung mengakui kedaulatan Negara RI, barulah Belanda
berhenti memerangi Indonesia.
Setelah keadaan Negara merdeka dan aman, barulah kami pun
kembali ke rumah kami di Glugur gang Suratman pada tahun 1950.
Tidak berapa lama kemudian orangtua kami Alhamdulillah ketika itu
dapat pekerjaan di Socfindo dan kami pun mulai mendapat catu beras
dan perobatan gratis, barulah sesudah itu kami tidak lagi makan ubi.
Ayah kami menyuruh ibu membawa saya untuk masuk ke
sekolah Inggris di jalan Percut Sei Kerah Titi Dua Medan. Saya
sebagai anak patuh saja. Walaupun tidak mengerti mengapa ke
sekolah Inggris, sedang SR (Negeri) sudah ada ketika itu. Begitu juga
ibu saya patuh sekali pada suaminya. Padahal ketika itu dari segi
keturunan dan status ekonomi ibu saya lebih baik dari ayah saya. Ibu
saya anak seorang Sef (Chief) kereta api jaman Belanda dan semua
abang dan adiknya sekolah tinggi dan ada jabatan-jabatan dalam
pekerjaannya. Ibu saya ditakdirkan mendapatkan jodoh yang susah
melarat banyak minta bantuan pada abang dan adik-adiknya. Kami
anak-anaknya merasa minder (m.c) ketika itu. Tapi dengan melihat
ibu begitu sangat sabar dan tabah dalam kesusahan penderitaan kami
ikut tabah juga. Dan suatu pagi saya dibawa ibu untuk dimasukkan ke
sekolah Inggris di jalan Percut Sei Kerah Titi Dua Medan. Kami naik
kereta api dari stasiun Glugur ke Medan. Setelah tiba di stasiun
Medan kami berjalan kaki menuju sekolah yang namanya Asiatic
English School. Saya diterima dan harus masuk dimulai kelas I
(Standard One). Setelah diterima kami pun pulang berjalan kaki lagi
dan baru besoknya saya mulai sekolah. Jika sekarang saya
mengenang dan teringat ibu betapa susah dan capeknya dia mengurus
anak-anaknya rela mengorbankan segala-galanya, hati saya tergugah
sekali dan menuliskan doa ini untuknya “Ya Allah, ampunkanlah
dosa kami dan dosa kedua Ibu Bapak kami dan belas kasihanilah
mereka berdua sebagaimana mereka belas kasihan pada kami ketika
kami masih kecil”. Semoga mereka mendapat ketenteraman di alam
barzah.
Esok paginya saya sudah mulai masuk sekolah dan sudah
harus sampai ke stasiun kereta api Glugur untuk naik kereta api.
Banyak orang dan anak-anak sekolah sudah menunggu di stasiun
Glugur. Ketika kereta api datang dari Belawan, penumpang sudah
penuh, sungguh ramai dan kami pun naiklah. Demikian setiap hari
saya ke sekolah pergi dan pulang dan pembayaran ongkos kereta api
hanya dengan memakai kartu abonemen (bulanan) saja.
Setelah sampai stasiun kereta api Medan sudah banyak sado
(kereta ditarik kuda) menunggu, (belum ada becak atau angkot)
mencari penumpang yang ramai baru turun dan masing-masing pergi
ke tujuannya. Saya berjalan kaki melalui titi gantung dan terus jalan
kaki melewati jalan Bali – jalan Simpang Thamrin – jalan Percut
terus sampai ke Sei Kerah Titi Dua Medan. Keadaan ketika itu 1950
masih belum ramai kendaraan sehingga saya bisa berjalan kaki
dengan aman sampai ke sekolah. Mulai kelas I (standard one) sampai
dengan STD V semua mata pelajaran dalam bahasa Inggris ada
nama-nama bukunya seperti History (sejarah), Geografhy (ilmu
bumi), buku Reading (bacaan) Grammar (tata bahasa) dan ada
matematika, Algebra, Science. Di kelas V mulai bahasa Inggris
sebagai pengantarnya, tetapi tidak demikian dari standard one sampai
dengan IV. Saya terus belajar di sekolah Inggris ini kemudian disuruh
sambung ke sekolah Inggris lainnya karena disana sampai standard V
(setingkat SMP) saja. Semenjak kelas IV orangtua memberi
sepedanya untuk saya pakai sekolah dan ngaji ketika itu saya sudah
berumur lima belas tahun lebih.
Ketika kelas IV itu saya pagi sekolah dan sore mengaji di
Madrasah Alwashliyah jalan Wahidin Medan sampai tamat sekolah
dasarnya. Ini saya tempuh naik sepeda pagi dan sore. Oleh karena di
Asiatic English School ini hanya sampai kelas V saja, maka saya
menyambung ke sekolah Inggris lainnya bernama Cambridge
English High School di jalan Jakarta (sekarang Imam Bonjol). Untuk
menyambung pelajaran maka saya harus mulai kembali dari kelas V
(standard V). Murid-muridnya banyak sekali, ada Cina, India,
Indonesia, dan lain-lain. Begitu juga guru-gurunya ada Ceylon, India,
Cina, Indonesia. Disini bahasa pengantar dengan bahasa Inggris
semua sehingga saya didorong untuk harus belajar sungguh-sungguh.
Disini saya belajar sampai kelas VIII karena orangtua berhenti
bekerja dari Socfin. Saya merasa sedih ketika itu tidak selesai sampai
akhir kelas IX. Beertepatan ketika itu tahun 1957/1958 Pemerintah
Indonesia tidak memberikan izin lagi sekolah-sekolah asing
beroperasi, kalau pun mau terus harus sesuai dengan kurikulum SMA
Negeri. Banyak teman-teman kecewa, ada yang mencari kerja di
Caltex–Pekan Baru. Perusahaan Amerika ada juga yang
menyambung sekolah ke Singapura atau London. Saya sungguh
bingung ketika itu dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
2. MASA PEMUDA
Masa pemuda saya penuh dengan kecemasan dan pesimistis.
Saya merasa bingung terus sehingga saya menganggap masa depan
saya sudah tidak ada harapan untuk baik lagi. Inilah kegelapan yang
saya rasakan ketika baru berhenti sekolah dengan tiba-tiba itu.
Masalahnya karena berhenti tidak sampai tamat maka tidak mendapat
ijazah sama sekali.
Ditambah lagi dengan kesusahan di bidang ekonomi rumah
tangga orangtua kami oleh karena berhentinya bekerja di Socfin.
Ketika itu saya berumur 18 tahun, sungguh usia yang sangat
muda sekali mengalami pukulan penderitaan berat seperti itu. Jiwa
saya yang belum punya pengalaman hidup, belum mengerti kegunaan
agama. Saya merasakan hidup saya gelap (dunia ini) saya mulai
merasa takut, kecut, lemah dan bodoh, seraya menutup diri berkurung
di rumah. Saya banyak bermenung terus sampai jauh malam dan
tidak bisa tidur. Ini terus berjalan beberapa hari/minggu. Rupanya
orangtua mengetahui dan merasa kasihan, kemudian menyuruh adik
saya menemani saya malam-malam hari (main domino dan lain-lain).
Orangtua ketika itu juga susah memikirkan adik-adik saya
sekolah, ada yang SD, SMP dan Aliyah. Syukur mereka sekolah
negeri semuanya tidak ada bayaran, namun hanya bisa tamat SD dan
SMP saja. Kemudian (yang perempuan) semua mereka cari kerjaan
di pabrik-pabrik dan sebagainya.
Orangtua tidak sempat banyak memperhatikan saya lagi,
mereka menganggap saya sudah dewasa dan harus memikirkan
mencari pekerjaan apa saja.
Itulah yang menimbulkan kecemasan saya setiap hari
memikirkan sekolah Inggris saya yang tidak berijazah tidak dapat
untuk mencari pekerjaan. Bahkan saya merasakan kebodohan jika
dibanding dengan anak-anak lulusan SMP, SMK, mereka lancar
bahasa Indonesia, sedang saya tidak bisa bahasa Indonesia, tidak
sadar berbangsa Indonesia. Belakangan baru saya sadar bahwa
sekolah-sekolah Inggris itu adalah binaan Belanda/Inggris sebagai
alat penjajah untuk kepentingan mereka jika mereka terus berkuasa.
Buktinya saya tidak mengerti lagu Indonesia Raya, tidak mengerti
sejarah Indonesia, sulit menggunakan bahasa Indonesia, saya hanya
pandai bahasa Inggris. Inilah saya rasa maka pemerintah RI menutup
sekolah-sekolah asing beroperasi tahun 1957 itu adalah kebutuhan
membangun pemerintah RI. Dalam kekacauan pikiran yang saya
hadapi itu syukurlah tidak sampai merusak diri, atau putus asa. Saya
sering diajak teman-teman bangun pagi-pagi main bola ke lapangan
Kampung Dadap. Ini memang sering saya ikuti ramai sekali jam
setengah lima sebelum subuh sudah main bola kaki. Sesudah itu
terbiasa bangun pagi untuk jalan-jalan kaki menghirup udara segar di
bengkel Harison di belakang (sekarang UMSU) dekat rumah kami.
Pada siang hari kecemasan datang lagi dan demikian berhari-
hari gelisah terus karena tidak mempunyai tujuan hidup mau kesana
kemari saja. Malamnya kemudian timbul pikiran saya bertekad pada
esok pagi untuk berjalan kaki ke Medan mencari pekerjaan. Saya
jalan kaki melalui rel kereta api terus sampai ke depan stasiun kereta
api Medan dan orang mulai ramai ada berjualan buku-buku, tukang
jual obat, tukang pangkas, ada yang berpidato dalam menjual obat
dan lain-lain. Ini semua menjadi perhatian saya dan saya merasa
senang mendengar pidato-pidato dan inilah kesempatan belajar
bahasa Indonesia. Saya melihat buku-buku yang ada ketika itu sambil
berjalan di bawah-bawah pohon kayu. Saya tertarik dan untuk
memperlancar bahasa Indonesia saya mulai membuka buku kecil
soal-soal agama, saya tertarik pidato Presiden Soekarno dalam rangka
Isra Miraj Nabi Besar Muhammad SAW, dan buku kecil lain banyak
soal-soal agama.
Demikian hari demi hari saya lakukan dan tidak untuk
mencari pekerjaan karena saya tidak punya ijazah. Saya sudah sering
ke Medan jalan kaki ke stasiun kereta api tersebut, saya sudah tidak
memperhatikan diri saya lagi, pakaian yang kadang-kadang sudah
ada tempelan (baju celana bekas sekolah dulu) saya ke Medan terus
dan siang hari saya pulang jalan kaki dari Medan ke Glugur, waktu
itu belum ada angkutan umum.
Perkembangan selanjutnya saya tetap gelisah kalau sampai di
rumah. Orangtua ketika itu ada tawaran kerja (dari paman Zen, adik
ibu) di Belawan jadi pegawai sebagai penjaga gudang di pelabuhan
Belawan, maka dia pun bekerja dengan naik sepeda setiap hari ke
Belawan (PP) pergi dan pulang.
Sedangkan ibu disuruh berjualan di kios milik pak Zen (Alm)
dekat rel kereta api stasiun Glugur. Ibu berjualan buah-buahan seperti
pisang, pepaya, kue, makan, dan lain-lain. Ibu lalu belanja sendiri
berjualan setiap hari. Ibu meminta saya untuk membantunya dan
disitulah saya mulai berjualan. Pagi hari ibu, dan siang hari sampai
sore hanya sayalah yang berjualan, oleh karena saya muda, banyaklah
anak gadis belanja, ada anak Pakistan, Padang dan Jawa. Mereka
masing-masing mendekati saya, saya sadar ini tapi saya sadar sebagai
pemuda belum ada perhatian saya pada anak perempuan karena
belum ada pekerjaan.
Pada suatu sore pulang berjualan ada tamu jauh abang (anak
saudara tua), ia menawarkan lowongan pekerjaan di kantor telepon
Medan, saya buat lamaran, saya diterima bekerja dan ditempatkan di
Tebing Tinggi (dekat stasiun kereta api Tebing Tinggi), saya sering
kerja malam pulang dan berjalan-jalan kaki di kota Tebing Tinggi
saya menginap di rumah bapak Muluh adik dari ayah saya. Di rumah
saya setiap pagi harus mandi di sungai dan bergaul disana. Hampir ke
4 bulan saya tidak tahan dengan keadaan itu, saya minta berhenti dan
pulang ke Medan. Kemudian saya ikut membantu ibu kembali
berjualan, saya usaha membuat layang-layang untuk anak-anak dan
sangat laku, begitu juga main-mainan sepatu gasing sarung tinju dari
kipas. Pada suatu hari Paman adik ibu (Alm. Harun) mengajak saya
untuk bekerja di central dengan temannya, saya bekerja disitu selama
3 bulan saja dan berhenti karena diajak paman tersebut ke Bengkel
untuk mengambil barang dagangan seperti kelapa, dan lain-lain. Saya
ikuti dan berangkat subuh dari Tanjung Morawa naik motor surat
kabar Waspada yang akan membawa surat kabar ke Sibolga. Untuk
mendapat barang di Bengkel Perbaungan kita harus menunggu para
pedagang kelapa yang datang dari kampung. Setelah banyak dibeli
dikumpul baru diangkut dengan motor gerobak ke Medan. Untuk
menjual kelapa disuruh paman saya yang membawa dan barang lain
dagangannya oleh paman sendiri. Sampai Tanjung Morawa motor
gerobak berhenti menurunkan barang-barang milik paman untuk dia
berjualan di pekan Tanjung Morawa.
Untuk kelapa sebanyak 300 gandeng dagangan saya langsung
dibawa ke Medan diturunkan di Central Pasar Medan. Saya mula-
mula kaku dan tidak begitu pandai berdagang tidak bisa berbicara
banyak. Orang-orang yang m embeli yang bicara mari-mari ini
saudagar muda kelapa dari Bengkel. Ada yang mau beli silahkan per
gandeng, dan lain-lain. Sampai sore tidak habis saya bingung ada
mengatakan supaya simpat di kios dan bayar sewanya. Inilah saya
lakukan akhirnya setelah beberapa kali perdagangan tidak banyak
untuk ongkos simpan kelapa saja banyak mengurangi modal.
Akhirnya saya sendiri berhenti jadi pedagang kelapa karena bangkrut.
Di celah-celah kehidupan saya yang masih belum dapat
pekerjaan itu, kebiasaan saya di malam hari sukan mengikuti wirid
yasinan, grup marhaban dan barzanzi. Oleh karena seni dan lagunya
dapat menenangkan hati, maka saya rajin mengikuti acara-acara
tersebut. Tapi ini semua saya lakukan bukan karena ilmu, tapi
mengikuti kebiasaan orang-orang tua di lingkungan kami itu. Kalau
pulang dari berjualan (tempat ibu) sore, saya seperti orang-orang tua
pakai sarung dan pergi berjalan kaki ke mesjid (jalan Mukhtar Basri)
shalat berjamaah dan mendengarkan pengajian. Saya merasa ini
mungkin adanya daya tarikan jiwa setelah banyak membaca buku-
buku agama atau juga mungkin pengaruh orangtua yang begitu tekun
shalat subuh dan membaca Alquran setiap habis shalat subuh. Atau
juga pengaruh sudah tamat sekolah dasar (MDA) Alwashliyah,
pembawa saya suka pakai sarung walaupun lingkungan teman anak-
anak muda dan mudi memandang saya aneh. Memang anak-anak
muda saat itu ada berani keluar malam, main-main di pinggir rel laki
dan perempuan (1959), bahkan yang suka minuman keras ugal-
ugalan, sok gaya preman. Tapi bukan itu tidak mempengaruhi saya.
Di samping seni marhaban, saya juga suka seni lagu Melayu,
ikut jadi pemain gitar di satu orchestra Melayu bernama KELANA
DELI. Saya sudah ikut kemana-mana tapi saya sulit menghafal
lagunya (karena di sekolahkan di sekolah Inggris sejak kecil, saya
sulit berbahasa Indonesia). Setelah saya berkerja barulah berhenti jadi
anggota orkes itu, tapi untuk seni marha ban tetap saya ikuti sampai
saya pindah ke jalan Alfalah Kampung Dadap
Belakangan setelah saya tua, ada anak-anak saya yang
menurun suka menyanyi dan main gitar. Saya senang melihatnya
karena seni dapat membina sikap lemah lembut pada diri manusia
umumnya. Pernah suatu hari setelah pensiun, saya mendengar anak
laki-laki saya (Syukri Hamdani) dengan petikan gitarnya
menyanyikan lagu Ebit G. Ade “Ayah….rambutnya sudah
memutih…” saya terharu sekali. Begitu juga anak saya yang kedua,
dia bagus dalam bermain organ sampai bergaya dan berlagu.
Disamping itu, ada pula nilainya yang lebih tinggi, anak saya yang
nomor dua ini memiliki sifat pemurah pada saudara-saudaranya,
memberi bantuan dengan ikhlas ketika saudaranya datang dalam
keadaan susah dan dia tidak minta pengembaliannya. Inilah pengikat
tali persaudaraan sejati. Semoga ini berlanjut sampai kami tidak ada
lagi. Semoga Allah juga memberi rezeki yang berkah padanya.
Memang saya sadari sejak bekerja saya sibuk belajar agama di
Muhammadiyah dan membaca buku-buku Islam modern selama lebih
40 tahun ditambah situasi politik yang kacau akibat PKI (G 30 S
PKI), tak ada lagi pelajaran seni pada diri saya.
Suatu hari ketika saya berada di tempat jualan ibu, ada surat
panggilan dari Paman almarhum Zakaria (adik ibu). Saya disuruh
membawa surat lamaran ke perusahaan DHB Belanda di Belawan
dan saya harus membawa langsung bersama paman naik kendaraan
dinas esok harinya ke Belawan. Saya merasa gembira bercampur
grogi malam itu dan sulit tidur.
3. MASA BEKERJA
Pagi sekali esok harinya tahun 1959 (September) saya sudah
siap bergegas untuk berangkat ke Belawan dengan kendaraan dinas.
Saya disuruh menunggu di pasar sejak jam 07.00, sedang mobil
dijanjikan datang jam 07.30, mobil dinas datang dan berhenti didepan
saya. Para karyawan yang ada di mobil mengajak saya naik ke dalam
mobil. Sedang paman saya menunggu di Pulo Brayan (rumahnya
disitu). Setelah paman naik barulah saya banyak diperkenalkan
paman dengan teman-temannya.
Saya merasa asing melihat pelabuhan ramai dengan para
pekerjanya dan sangat memperhatikan keindahan kapal-kapal yang
ada di Belawan dan saya merasa kagum, kemudian sampailah ke
kantor pelabuhan Belawan.
Di depan kantor itu saya membaca nama perusahaan E.M.K.L
Negara Eks DHB perkawilan PTP I s/d IX Belawan. Ada lima orang
pemuda termasuk saya dibawa paman ke ruang direktur dan
diperkenalkan kami satu persatu. Kami disambut baik oleh direktur
cabang dan menyatakan kami diterima untuk bekerja di perusahaan
tersebut, kami di Proof/dicoba dulu selama tiga bulan di empat
bagian:
1. Bagian pergudangan export.
2. Bagian pergudangan import
3. Bagian keuangan/ADM Belawan dan bagian keuangan ADM
Kantor Besar Medan (Stasiun Kereta Api Medan bagian
samping)
4. Bagian kapal-kapal keagenan.
4. MASA MENGAJAR
Pengalaman saya mengajar ini saya tulis setelah saya berhenti
mengajar khusus bahasa Inggris perkapalan dari mulai percakapan
(conversation) sampai menulis surat atau shipping English
corespoundence dari tahun 1995 – 2011. Banyak suka dukanya,
karena saya sebelumnya bekerja di perusahaan pelayanan selama 34
tahun 1960 – 1994 dan sudah banyak yang lupa bahasa Inggris yang
saya dulu pelajari di sekolah. Tapi, karena rasa syukur dapat
mengajar, saya bekerja keras membuka buku-buku lama, cari buku
baru, dan sebagainya. Saya mengajar, saya juga menyusun,
mengarang sampai membuat diktat-diktat untuk pelajar/mahasiswa.
Untuk mengenang pengalaman tersebut saya tulislah ini
sebagai kenang-kenangan untuk saya, isteri, anak-anak dan cucu
saya. Semoga ada gunanya, kenang-kenangan ini bukan dibuat-buat
atau fiktif, tapi ini adalah kenyataan yang saya alami.
Sesuai dengan kesadaran sendiri saya menyatakan
mengundurkan diri dari mengajar bahasa Inggris perkapalan tahun
2011 ini. Memang isteri dan anak-anak saya semua menganjurkan hal
ini, mereka melihat dari fisik saya yang sering sakit-sakitan dan sulit
berjalan kaki.
Memang dari segi fisik mereka benar, tetapi dari segi bathin
dan mental saya berhenti mengajar ini adalah cobaan yang berat.
Saya mengajar sejak saya pensiun dari perusahaan pelayaran tahun
1995. Mengajar sudah dimulai dengan semangat saya yang tinggi
karena saya senang dengan mengajar ini walaupun honornya sangat
kecil, tapi didorong kecintaan saya menghayatinya. Saya mulai
mengarang, menyusun, mengajar selalu dengan senang dan syukur
kepada Allah. Disaat bergembira dengan semangat mengajar tersebut
pada tahun 1997 saya mengalami musibah berat. Saya berkendaraan
vespa mau menyeberangi jalan Krakatau, tiba-tiba seorang pemuda
Tionghoa dengan kereta Honda Tiger menyeberang berlawanan arah
lalu menabrak saya, kemudian tercampaklah saya ke seberang jalan,
kemudian setelah kurang lebih setengah jam barulah Polisi datang
membawa saya ke rumah sakit. Tangan saya di operasi dan kepala
terhempas sakit. Setelah satu bulan berobat, walaupun belum sehat
saya ingin mengajar, dan berniat ingin mengajar dengan baik.
Para mahasiswa sangat antusias dan dengan sistem saya
mengajar diskusi dengan sabar tidak marah-marah, tidak mengompas,
tetapi ada yang tidak senang karena saya tidak mau mereka sogok
untuk menambah nilai. Perihal mahasiswi saya sendiri takut ada yang
berani nekat saya dan lain-lain. Pernah tidak disangka datang ke
rumah saya mau untuk dibantu nilai dan lain-lain (1999).
Seorang gadis nekad yang begitu berani masuk ke kamar saya
terus minta tolong dan lain-lain, setelah menanyakan bahwa saya di
rumah sendirian dengan berani ia mau ajak saya ke kamar tidur…,
saya ucapkan astagfirullah, saya larang dia dan minta dia keluar
segera. Dia merasa malu.., ia sangka saya bisa digituin.., nauzubillah.
Aku masih dilindungi Allah, semenjak itu saya tidak benarkan
mahasiswa datang ke rumah saya. Ada yang serem lagi, ia seorang
pemuda sering mengancam saya dan supaya dia diberi nilai lulus.
Saya ketawa saja, saya katakan nilai anda nanti sesuai kertas ujian,
dia tidak janji apa-apa dan sering mengancam. Tapi saya tidak acuh,
akhirnya semester akhir nilainya tidak lulus saya bantu lulus cukup
makan (nilai lulus terendah).
Adapun yang lucu dan kasihan seorang mahasiswi tidak lulus
dari akademi saya diminta untuk memberi ujian langsung percakapan
berupa pertanyaan yang mudah saya berikan disuruh dosen dia sulit
sekali dan tidak bicara…, apa katanya, …tolong ma au pak samarga
do au dokot bapak nasution, mendengar ini saya tersenyum sinis.
Bagaimana kamu ini, pertanyaan demikian mudahnya kamu tidak
mengerti, tak bisa bicara bagaimana nanti kalau kamu lulus tak bisa
saya yang malu…., tolonglah pak berkali-kali dibilangnya. Akhirnya
saya coba dengan cara salin apa aja saya bilang (tanya) artinya apa
dan apa jawabannya. Itulah bantuan saya padanya untuk dapat lulus
ujian akhir (nilai pas-pasan).
Ada yang lucu dan saya bertanya-tanya ada apa ini? Di kelas
semester II sungguh banyak mahasiswanya. Ketika saya masuk
pertama sekali semua mereka sepele dengan saya. Ketika saya
menerangkan bahasa Inggris ini mereka cuek-cuek saja, laki-laki
perempuan satu dengan lain berbaur seperti bukan mahasiswa, tapi
main-main. Cewek-cewek ada bikin kelompok yang ribut dengan
pembicaraan sendiri tak peduli dengan dosen pengajar. Demikian
berkali-kali ditegur supaya jangan ribut dan lain-lain, mereka tambah
melawan.
Satu pagi saya panggil ketua kelas agar nama-nama orang
yang suka ribut-ribut diberikan pada saya. Dari nama-nama tersebut
saya suruh ke papan tulis menulis apa yang dia tahu dan dari
pelajaran yang lalu. Banyak yang tidak bisa apa-apa, diam malu
akhirnya saya nasehati supaya mereka benar belajar kalau tidak anda
sendiri yang rugi.
Ketika pulang, mereka yang ribut-ribut tadi datang pada saya
minta maaf atas kesalahannya. Berjanji tidak berbuat demikian lagi,
lantas menyalami tangan saya dan menciumnya. Kemudian teman-
teman yang lain datang berbuat demikian (mencium tangan saya). Ini
mereka lakukan tiap hari ada kira-kira 5 orang, tetapi yang lain ikut
mengikuti baik perempuan atau laki-laki. Ini saya nyatakan tidak
usah lagi diteruskan baru mereka berhenti.
Ketika saya pulang mengajar pada suatu siang, sepatu saya
terbuka lapis tapak kaki bawah dan saya bawa ke tukang sepatu dekat
Akademi. Ketika si tukang sepatu membuka lapisan tapak kaki
tersebut, ia berkata maaf ya pak, sepatu bapak sudah tua, kan bapak
bisa minta sama mahasiswa dan saya dengar dari mahasiswa-
mahasiswa bapak tidak mau minta apa-apa sama mereka, kenapa
pak? Dosen-dosen lain mereka mudah saja untuk minta sama
mahasiswa. Saya katakan masing-masing dosen itu berbeda-beda dan
tidak sama, saya tidak mau minta-minta karena akan membuat susah
orangtua mereka. Saya takut si tukang sepatu meneruskan kata-kata
saya takut sama Tuhan ya pak…., ya saya katakan si tukang sepatu
pun segera menyelesaikan tempelan sepatu saya.
Yang saya ingat banyak sekali bermacam-macam cara dari
mahasiswa untuk meminta nilai baik dengan imbalan uang, tetapi
dengan baik saya tolak dan saya katakan dari kertas ujian sah nanti
akan saya bantu yang mana saya bisa bantu seperti senior anda
terdahulu.
Demikian saya lakukan untuk menjaga hubungan baik dengan
mahasiswa dan menjaga kebersihan hati saya mengajar sebagai
ibadah. Kenyataan ini tentu resiko berat ada mengajar di PTS dengan
kerja berdasarkan jam mengajar. Setiap bulan untuk mencari kurang
lebih Rp. 400.000,- sangat sulit dengan 4 jam mengajar seminggu.
Hasil sedemikian kecil itulah dibagi-bagi ke rumah/keluarga.
Alhamdulillah, isteri saya bekerja di TK Aisyah terakhir mengajar di
TK yang lain ia rajin juga dagang pakaian dan lain-lain. Saya
sampaikan terimakasih saya kepadanya ialah yang membantu biaya
rumah tangga dan sekolah anak-anak kami semuanya. Kemudian
sekitar tahun 2004 saya kena musibah juga dengan larinya seorang
pegawai penerbit dan percetakan yang membawa serta naskah buku
karangan yang sudah siap tinggal cetak. Ia pergi ke Batam dan disana
mau nikah dan pesta perkawinannya. Saya datangi dan periksa di
kantornya (sesuai dengan izin keluarganya), buku-buku naskah
tersebut dan semua dibawa ke Batam dan sampai sekarang orangnya
menghilang). Setelah itu saya bekerja keras lagi untuk menyusun dan
mengarang buku-buku lain ini sangat memakan pikiran saya dan hal
ini sangat mempengaruhi kesehatan saya sehingga sering sakit-
sakitan. Namun hal ini tidak begitu saya pedulikan dan tetap
mengajar dalam keadaan sakit. Saya bertekad menulis diktat-
diktat/buku-buku untuk mahasiswa punya buku pegangan belajar.
Memang saya akui bahwa buku-buku tersebut dapat untuk membantu
perekonomian saya sedikit. Sampai terakhir saya telah siapkan dalam
bentuk buku dan telah mendapat sambutan dari bapak Direktur untuk
dicetak, yaitu antara lain :
1. Shipping English Corresponden untuk semester II-V
2. English on Container
3. English on Shipping Business
Setelah sepuluh tahun mengajar banyaklah para mahasiswa
yang lulus dan bekerja di perusahaan-perusahaan pelayaran. Ada juga
beberapa orang mereka mengingat dosennya yang mengajar dahulu
dan mereka jumpai saya setelah mereka bekerja di perusahaan serta
dengan ikhlas mereka memberi uang karena sudah ada gajinya di
perusahaan-perusahaan tersebut. Saya ucapkan terimakasih kepada
mereka dan Alhamdulillah sebagai tanda syukur kepada Allah SWT.
Pada pertengahan Maret 2011, saya pulang mengantar soal-
soal ujian akhir AMI. Pada waktu itu, becak yang saya tumpangi
melanggar batu polisi tidur dan saya terkejut karena kepala saya
terkena papan atap becak sehingga darah mengalir banyak. Ketika itu
saya memang sedang sakit oyong-oyong dan payah berjalan kaki.
Saya ingat pada Tuhan bahwa ini musibah; Inna lillaahi wa inna
ilaihi raaji’un. Setelah diobati/dijahit di klinik, saya istirahat selama
satu setengah bulan. Kemudian saya harus pergi bersama membawa
isteri saya operasi mata di Jakarta. Setelah di operasi mata, kami
menunggu selama tiga bulan untuk berobat jalan. Saya putuskan
untuk membuat surat ke AMI Medan yang menyatakan saya
mengundurkan diri dari mengajar karena kondisi fisik yang sakit-
sakitan. Sebenarnya, saya sudah ingin sekali pulang ke Medan, sang
isteri membantah belum mau pulang. Di Jakarta, saya musafir dan
terus shalat di rumah karena sulit berjalan jauh sendirian. Hanya di
rumah Yusran yang dekat dengan masjid dan pengelolanya adalah
sunnah. Sungguh saya sudah rindu dengan teman-teman pengajian.
Doa saya di Jakarta semoga saya dapat segera pulang dan di
pertemukan dengan anak-cucu dan jika nanti saya kembali kepada
Allah saya minta diurus oleh Muhammadiyah.
Sekembali dari Jakarta ketika pertemuan terakhir dengan
beberapa dosen dan staf pengajar AMI Medan, dengan berkelakar
mereka masing-masing memberikan pandangannya agar tetap
menjaga kesehatan pikiran dengan melakukan kegiatan yang
bermanfaat, jangan banyak merenung dan kosong pikiran sebab ini
bahaya. Seorang dosen senior juga mengatakan bahwa dia jika
berhenti mengajar nanti saya akan banyak di kede kopi. Kita bisa
bertukar pikiran gembira dan tetap segar. Tetapi jika di rumah saja
tanpa ada kegiatan misalnya memulai karangan membaca
berorganisasi dan lain-lain. Ini akan cepat padam (istilahnya mati)
katanya. Semua para staf pengajar tertawa gembira masing-masing
memberi pandangannya untuk orang-orang yang akan berhenti
mengajar/pensiun.
Demikian sekelumit pengalaman saya, semoga saya dapat
mengambil manfaat dari pertemuan perpisahan dengan teman staf
pengajar tersebut. Saya mendoakan semoga AMI akan lebih maju
dan jaya dalam membina generasi maritim yang akan datang.
Beberapa hari kemudian saya coba menulis karangan ini dan saya
akan belajar terus menulis berbagai masalah untuk masa-masa sisa
umur saya ini. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya dan
pertolongan-Nya. Amin.
Wallahu a’lam
15 Oktober 2011