tulisan atau karangan yang dikemas sesuai kronologi waktu dari awal,
tengah, dan akhir,serta bertujuan untuk memperluas wawasan dan
menghibur pembaca. Karakteristik dalam karangan narasi adalah adanya
beberapa tahapan seperti orientasi, klimaks, reorientasi, konflik, dan
penyelesaian masalah. Pada kesempatan kali ini akan disajikan beberapa
contoh karangan narasi bertemakan pendidikan. Selamat menyimak!
1. Bapak Pendidikan Nasional
Dunia pendidikan akan selalu berterimakasih terhadap jasa tokoh pelopor
pendidikan sejak zaman penjajahan Belanda. Beliau adalah Ki Hajar
Dewantara. Perjuangan beliau saat zaman penjajahan Belanda adalah
agar rakyat pribumi dapat memperoleh hak pendidikan seperti hak para
priyayi maupun orang-orang Belanda. Perjuangannya inilah yang
membuat beliau dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan hari
kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan). Ing Madya Mangun
Karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa). Ing Ngarsa
Sungtulada (di depan memberi teladan). Semboyan ini kemudian
digunakan sebagai slogan Kementerian Pendidikan Nasional.
2. Hikmah Disiplin dalam Belajar
Rani merupakan anak ketiga dari lima besaudara. Ayah Rani adalah
seorang tentara angkatan darat. Mereka sekeluarga tinggal di rumah
dinas khusus TNI. Ayah Rani selalu mengajarkan kedisiplinan dalam
segala hal. Mulai dari disiplin dalam beribadah, displin dalam beraktivitas,
disiplin dalam berolahraga, dan disiplin dalam belajar. Ketegasan ayah
Rani dalam menerapkan kedisiplinan bukan berarti membuat anak-
anaknya merasa takut. Hubungan antara ayah dan anak di antara mereka
terjalin sangat harmonis.
Rani dan semua saudaranya diajarkan untuk selalu belajar di siang hari.
Setelah pulang sekolah, ayah Rani mengajarkan untuk selalu
mengerjakan semua tugas rumah yang diberikan pada hari itu. Akan tetapi
aktivitas itu harus dilakukan setelah mereka menyantap makan siang.
Ketika pekerjaan sekolah sudah selesai maka ayah membebaskan Rani
dan saudara-saudaranya untuk bermain. Dan malam harinya, ayah
mewajibkan untuk belajar dari ba’da isya sampai pukul 09.00 WIB.
Semua ini berawal saat usiaku 11 tahun. Waktu itu aku duduk di kelas 5
SD. Tidak seperti teman-temanku lainnya yang semangat bersekolah, aku
merasa sangat bosan di sekolah. Aku sering membolos keluar sekolah.
Pergi ke sawah, sungai, atau justru ke pasar. Orang tuaku tidak
mengetahui semua itu. Mereka hanya tahu bahwa pagi hari aku berangkat
ke sekolah dan siang harinya pulang. Adegan membolos ini aku lakukan
dalam jangka waktu yang lama. Sekitar dua bulan aku lebih sering berada
di luar sekolah.
Hal yang tidak baik akan susah untuk ditutupi dalam jangka waktu yang
lama. Hal ini pun terjadi padaku. Pihak sekolah akhirnya memberitahu
kedua orang tuaku tentang kebiasaanku membolos. Orang tuaku kaget
bukan kepalang. Mereka marah besar. Bahkan ayah sampai memukulku.
Tak lama berselang ibuku jatuh sakit. Kata ayah ibu sakit karena
memikirkanku. Aku mulai mengalah untuk terus bersekolah demi ibu. Tapi
ayah selalu saja bersikap kasar kepadaku setelah kejadian itu. Terlebih
lagi nilai-nilaiku kurang memuaskan bagi ayah.
Aku melanjutkan sekolah sampai lulus SD. Nilaiku pun tak cukup bagus.
Aku kemudian mengutarakan kepada ayah bahwa aku tak mau lagi
sekolah. Aku tidak bisa lagi belajar. Bahkan aku tidak ada keinginan untuk
belajar. Ayah dan ibu sudah kehabisan akal membujukku untuk
bersekolah. Alhasil muncul keputusan mengejutkan dari ayah. Beliau
memutuskan untuk menikahkanku. Laki-laki berumur 29 tahun menjadi
pilihan ayah. Tidak terbayang olehku, menikah dengan laki-laki yang
berjarak 17 tahun denganku. Tapi entah apa yang ada di pikiranku. Aku
langsung menyetujui keputusan ayah. Menikah di usia belia akhirnya
menjadi jalan hidupku.
Kini 21 tahun telah berlalu, dan aku baru merasakan akibat tidak
berpendidikan. Tidak berpendidikan sangat menyusahkan. Tidak berilmu
justru membuat hidup serasa sengsara. Pendidikan SD tidak bisa
menjamin kehidupan. Hidup tidak bisa hanya dibekali dengan
keterampilan dasar membaca, menulis dan berhitung. Aku sangat
menyesal atas keputusanku 21 tahun silam. Andaikan saja dahulu aku
menuruti kata ayah dan ibu, pasti aku bisa sukses seperti teman-temanku
sekarang. Bahkan aku bisa merasa bangga karena bisa menjadi guru
pertama bagi anak-anakku.