Anda di halaman 1dari 5

TEKS EDITORIAL/OPINI (PENGERTIAN,

STRUKTUR TEKS, KAIDAH


KEBAHASAAN, DAN CONTOH TEKS
EDITORIAL)
Refsa Nanda Januari 27, 2016 Bahasa Indonesia 1 Komentar
Teks Editorial/Opini atau yang biasa juga disebut sebagai tajuk
rencana adalah materi bahasa Indonesia yang akan kita pelajari kali ini.
Adapun materi yang akan kita bahas mengenai teks opini/editorial adalah
tentang pengertian, struktur teks, kaidah kebahasaan, dan contoh teks
editorial. Baiklah langsung saja kalian simak materi nya dibawah ini agar
kalian dapat lebih memahami tentang teks editorial.
Pengertian Teks Editorial
Teks editorial adalah teks yang berisi pendapat pribadi seseorang terhadap
suatu isu/masalah aktual. Isu tersebut meliputi masalah politik, sosial,
ataupun masalah ekonomi yang memiliki hubungan secara signifikan
dengan politik. Teks jenis ini secara teratur muncul di koran atau majalah.
Dalam mengungkapkan pendapat harus dilengkapi dengan fakta, bukti-
bukti, dan alasan yang logis agar dapat diterima oleh pembaca atau
pendengar.

Struktur Teks Editorial


Sebuah teks editorial/opini memiliki struktur teks yang sama dengan
struktur yang membangun teks eksposisi, yaitu pernyataan pendapat (tesis),
argumentasi, dan pernyataan/penegasan ulang pendapat (reiteration). Untuk
lebih jelasnya lihat lah dibawah ini.
1. Pernyataan pendapat (thesis), bagian ini berisi sudut pandang
penulis terhadap permasalahan yang diangkat. Istilah ini mengacu ke
suatu bentuk penryataan atau bisa juga sebuah teori yang nantinya
akan diperkuat oleh argumen.
2. Argumentasi, merupakan bentuk alasan atau bukti yang digunakan
untuk mempekuat pernyataan dalam tesis walaupun dalam pengertian
umum, argumentasi juga dapat digunakan untuk menolak suatu
pendapat. Argumentasi dapat berupan pernyataan umum
(generalisasi) atau dapat juga berupa data hasil penelitian, pernyataan
para ahli, atau fakta-fakta yang didasari atas referensi yang dapat
dipercaya.
3. Penyataan/Penegasan ulang pendapat (Reiteration), bagian ini
berisi penguatan kembali atas pendapat yang telah ditunjang oleh
fakta-fakta dalam bagian argumentasi. Terdapat pada bagian akhir
teks.
Kaidah Kebahasaan Teks Editorial
Berikut akan saya jelaskan ciri kebahasaan atau kaidah kebahasaan dati teks
editorial. Teks editorial memiliki ciri kebahasaan yang diantaranya
adverbia, konjungsi, verba material, verba mental, dan verba relasional.
Untuk lebih jelasnya simaklah penjelasannya dibawah ini.

1. Adverbia, agar dapat meyakinkan pembaca diperlukan ekspresi


kepastian yang bisa dipertegas dengan kata keterangan atau adverbia
frekuentatif, yaitu adverbia yang menggambarkan makna
berhubungan dengan tingkat kekerapan terjadinya sesuatu yang
diterangkan adverbia itu. Kata-kata yang digunakan antara lain selalu,
biasanya, sebagian besar waktu, sering, kadang-kadang, jarang, dan
lainnya.
2. Konjungsi, merupakan kata penghubung pada teks editorial seperti
kata bahkan.
3. Verba Material, adalah verba yang menunjukkan perbuatan fisik
atau peristiwa.
4. Verba relasional, adalah verba yang menunjukkan hubungan
intensitas (pengertian A adalah B), dan milik (mengandung pengertian
A mempunyai B). Verba yang pertama tergolong ke dalam verba
relasional identifikatif, sedangkan verba yang kedua dan ketiga
tergolong ke dalam verba relasional atributif.
5. Verba Mental, adalah verba yang menerangkan persepsi (misalnya
melihat, merasa), afeksi (misalnya suka, khawatir), dan kognisi
(misalnya berpikir, mengerti). Pada verba mental terdapat partisipan
pengindra (senser) dan fenomena.
Contoh Teks Editorial
Kebijakan Itu Harus Efektif Diimplementasikan
Untuk apakah sebuah peraturan dibuat? Agar bisa diimplementasikan,
karena peraturan itu dibuat untuk kepentingan bersama. Apa jadinya kalau
peraturan dibuat, tetapi tidak efektif dilaksanakan? Pasti ada sesuatu yang
tidak tepat dalam merumuskan peraturan itu.

Mulai hari Senin (29/12) masyarakat Ibu Kota menjalani tata aturan yang
baru lagi. Mulai kemarin peraturan three in one tidak lagi hanya berlaku
pagi hari, tetapi juga sore hari. Setiap mobil yang melintasi jalan-jalan
utama Jakarta minimal harus ditumpangi tiga orang. Pada pagi hari, aturan
itu berlaku pukul 07.00 hingga 10.00, sementara petang hari mulai pukul
16.00 hingga 19.00.

Ketika rencana itu mulai dilontarkan, sudah muncul keberatan dari


masyarakat. Bukan hanya peraturan itu dinilai memberatkan, tetapi sejak
konsep three in one diterapkan pada pagi hari saja, efektivitas sangatlah
rendah. Yang muncul adalah joki-joki yang berdiri menawarkan jasa di
sepanjang jalan utama itu.

Namun, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso tetap pada sikapnya. Peraturan


tetap akan diberlakukan dengan sebulan masa sosialisasi.

Tentunya terlalu dini untuk mengevaluasi efektivitas peraturan itu. Namun,


dari evaluasi awal, para pengemudi tidak mempedulikan aturan baru itu.
Petugas DLLAJR pun tidak mengambil tindakan apapun terhadap para joki.

Mengapa peraturan itu tidak efektif? Pertama, karena soal disiplin.


Masyarakat kita, termasuk juga masyarakat Jakarta, sangat rendah tingkat
disiplinnya. Mereka selalu mencari cara untuk mengakali peraturan, apalagi
masyarakat tidak mendukung peraturan pembatasan itu.

Ancaman hukuman bukanlah sesuatu yang ditakuti karena masyarakat


paham bahwa hal yang satu itu merupakan kelemahan lain dari bangsa kita.
Masyarakat pun tahu bagaimana caranya terhindar dari ancaman hukuman,
yang dikenal sangat tidak tegas itu.

Alasan kedua adalah tidak adanya alternatif bagi masyarakat untuk


mendapatkan jasa transportasi yang bisa menjamin mobilitas mereka. Kita
tahu, Pemerintah Provinsi DKI sedang mempersiapkan sistem bus dengan
jalur khusus atau busway. Namun, selain sistem transportasi alternatif itu
belum berjalan, konsepnya tidak utuh untuk bisa menjamin kebutuhan
tranportasi masyarakat.
Sekarang ini justru berkembang pertanyaan baru, apakah kebijakan
Primprov DKI itu tidak justru akan berlawanan dengan kebijakan Gubernur
Sutiyoso yang sangat kuat keinginannya untuk membuat Jakarta tertib. Ia
mencoba membatasi orang untuk bisa masuk Jakarta dan menggusur
masyarakat maupun pedagang kaki lima yang menempati lahan yang bukan
hak mereka.

Namun, bagaimana orang tidak tertarik untuk masuk Jakarta kalau semua
kesempatan itu mudah didapat di Ibu Kota. Meski pertarungan hidupnya
keras, lebih mudah mendapatkan uang di Jakarta dibandingkan dengan di
daerah. Di Jakarta menjadi penjaga toilet di hotel ataupun di mall saja bisa
dapat beberapa puluh ribu rupiah sehari. Jadi, tukang parkir liar, asal bisa
teriak-teriak, dengan mudah dapat seribu atau dua ribu rupiah. Bahkan
menjaga tempat perputaran jalan pun, di Jakarta bisa dapat uang

Peluang itu ditambah lagi dengan menjadi joki. Bagi kalangan pengusaha
yang harus keluar-masuk jalan utama Jakarta, apa susahnya untuk
menambah satu pegawai yang bisa menemani dia bekerja. Dengan satu
sopir dan satu ajudan, maka ia bisa bebas keluar-masuk jalan utama.

Inilah yang sebenarnya kita ingin ingatkan. Peraturan itu seharusnya dibuat
dengan mempertimbangkan segala segi secara matang. Peraturan itu juga
harus mendapat dukungan dari masyarakat agar bisa berjalan efektif.

Untuk apa peraturan dibuat kalau kemudian hanya untuk dilanggar. Begitu
banyak peraturan yang kita buat, pada akhirnya tidak bisa diterapkan karena
tidak dirasakan sebagai kebutuhan bersama oleh seluruh rakyat.

Ketika peraturan itu tidak bisa efektif dilaksanakan, yang akhirnya menjadi
korban adalah si pembuat peraturan itu sendiri. Setidaknya wibawanya
menjadi turun karena peraturan yang dibuat ternyata tidak bergigi.

Peraturan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat. Selain soal three in
one, yang juga menjadi pembicaraan ramai masyarakat adalah soal bunga
bank.

Kita ketahui bahwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sekitar dua
pekan lalu kembali membahas soal apakah bunga bank itu tergolong riba
atau tidak. Putusan Komisi Fatwa MUI sendiri kemudian menggolongkan
bunga bank itu sebagai riba. Tetapi segera ditambahkan bahwa haramnya
bunga bank itu hanya berlaku di kotakota yang sudah memiliki Bank
Syariah.

Keputusan Komisi Fatwa MUI itu seharusnya dibawa dulu ke Sidang


Lengkap MUI, yang melibatkan seluruh ulama, sebelum menjadi fatwa
yang menjadi pegangan seluruh umat. Namun, keputusan itu sudah
dikeluarkan terlebih dahulu ke masyarakat, apalagi media pun terjebak
seakan-akan itu sudah menjadi fatwa MUI.

Namun, di sini kita menangkap adanya kearifan pada jajaran pimpinan


MUI. Keputusan Komisi Fatwa itu tidak dianulir, tetapi pembahasannya
dalam sidang lengkap MUI ditunda sampai diperoleh waktu yang memadai
untuk bisa membahas masukan Komisi Fatwa itu secara menyeluruh.

Pimpinan MUI sangat menyadari bahwa persoalan ini bukanlah masalah


mudah sebab bukan hanya berkaitan dengan urusan ekonomi, tetapi juga
kehidupan masyarakat banyak. Dengan tradisi yang sudah panjang, tidak
sedikit umat muslim yang bekerja di bidang itu. Kalaupun sekarang harus
diubah menjadi Bank Syariah, apakah sistemnya bisa cepat berubah dan
menunjang perkembangan Bank Syariah itu sendiri.

Begitu banyak aspek yang harus dilihat sehingga pada tempatnya bila MUI
menunda keputusan itu. Sebab, pada akhirnya, sebuah peraturan itu bukan
hanya harus bagus di atas kertas, tetapi sungguh bermanfaat bagi kehi-
dupan masyarakat yang menjalankannya.

Anda mungkin juga menyukai