Mulai hari Senin (29/12) masyarakat Ibu Kota menjalani tata aturan yang
baru lagi. Mulai kemarin peraturan three in one tidak lagi hanya berlaku
pagi hari, tetapi juga sore hari. Setiap mobil yang melintasi jalan-jalan
utama Jakarta minimal harus ditumpangi tiga orang. Pada pagi hari, aturan
itu berlaku pukul 07.00 hingga 10.00, sementara petang hari mulai pukul
16.00 hingga 19.00.
Namun, bagaimana orang tidak tertarik untuk masuk Jakarta kalau semua
kesempatan itu mudah didapat di Ibu Kota. Meski pertarungan hidupnya
keras, lebih mudah mendapatkan uang di Jakarta dibandingkan dengan di
daerah. Di Jakarta menjadi penjaga toilet di hotel ataupun di mall saja bisa
dapat beberapa puluh ribu rupiah sehari. Jadi, tukang parkir liar, asal bisa
teriak-teriak, dengan mudah dapat seribu atau dua ribu rupiah. Bahkan
menjaga tempat perputaran jalan pun, di Jakarta bisa dapat uang
Peluang itu ditambah lagi dengan menjadi joki. Bagi kalangan pengusaha
yang harus keluar-masuk jalan utama Jakarta, apa susahnya untuk
menambah satu pegawai yang bisa menemani dia bekerja. Dengan satu
sopir dan satu ajudan, maka ia bisa bebas keluar-masuk jalan utama.
Inilah yang sebenarnya kita ingin ingatkan. Peraturan itu seharusnya dibuat
dengan mempertimbangkan segala segi secara matang. Peraturan itu juga
harus mendapat dukungan dari masyarakat agar bisa berjalan efektif.
Untuk apa peraturan dibuat kalau kemudian hanya untuk dilanggar. Begitu
banyak peraturan yang kita buat, pada akhirnya tidak bisa diterapkan karena
tidak dirasakan sebagai kebutuhan bersama oleh seluruh rakyat.
Ketika peraturan itu tidak bisa efektif dilaksanakan, yang akhirnya menjadi
korban adalah si pembuat peraturan itu sendiri. Setidaknya wibawanya
menjadi turun karena peraturan yang dibuat ternyata tidak bergigi.
Peraturan bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibuat. Selain soal three in
one, yang juga menjadi pembicaraan ramai masyarakat adalah soal bunga
bank.
Kita ketahui bahwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia sekitar dua
pekan lalu kembali membahas soal apakah bunga bank itu tergolong riba
atau tidak. Putusan Komisi Fatwa MUI sendiri kemudian menggolongkan
bunga bank itu sebagai riba. Tetapi segera ditambahkan bahwa haramnya
bunga bank itu hanya berlaku di kotakota yang sudah memiliki Bank
Syariah.
Begitu banyak aspek yang harus dilihat sehingga pada tempatnya bila MUI
menunda keputusan itu. Sebab, pada akhirnya, sebuah peraturan itu bukan
hanya harus bagus di atas kertas, tetapi sungguh bermanfaat bagi kehi-
dupan masyarakat yang menjalankannya.