Anda di halaman 1dari 42

1.

KABUPATEN LIMBANGAN (GARUT)

Sebelum menjadi kabupaten, Limbangan merupakan

wilayah yang termasuk dalam wilayah kabupaten Sumedang.

Sejak tahun 1705 Limbangan menjadi kabupaten yang berdiri

sendiri dengan bupati pertama, Dalem Mertasinga. Pada tahun

itu pula wilayah Priangan mulai dikuasai oleh VOC. Kekuasaan

VOC atas wilayah Priangan berakhir tahun 1795.

Pada tahun 1811 Gubernur Jenderal Daendels melakukan

penataan ulang sistem pemerintahan. Kabupaten Limbangan

dihapuskan pada tahun itu. Kabupaten baru dibentuk dengan

nama Limbangan-Garut yang ditandai antara lain dengan

perpindahan ibukota dari Limbangan ke kota Garut saat ini.

Dua tempat inilah yang berperan dalam membentuk

kehidupanku. Aku dilahirkan di kabupaten Limbangan lama yang

1
beribukota Limbangan. Kemudian aku mengalami perpindahan

ibukota itu. Aku menghabiskan masa hidupku di ibukota yang

baru, termasuk membangun sekolahku di pendopo kabupaten

Garut.

Kabupaten Garut berada di dataran tinggi, sehingga

tanahnya subur dengan udara yang sejuk. Gunung Cikuray

menjulang tinggi dengan hamparan hijau sepanjang lereng.

Kondisi ini menyebabkan tumbuhnya banyak perusahaan

perkebunan.

Di kaki gunung Cikuray itu pula seorang pengusaha

Belanda, Tuan Hola, membuka perkebunan teh yang dinamai

Waspada. Tuan Hola memilih nama Waspada karena dari

perkebunanya itu pemandangan luas kota Garut jelas terlihat

tanpa terhalang apapun.

Tuan Hola inilah yang kelak ikut berperan dalam

kehidupan kami. Dengan perhatiannya kepada kebudayaan Sunda,

ia dipertemukan dan kemudian bersahabat dengan ayahku,

Muhamad Musa. Pertemanan itu pula yang membuka

2
kesempatan kepadaku dan saudara-saudaraku untuk dapat

berkecimpung dalam dunia tulis-menulis.

Dari cerita ayahku, aku tahu juga bahwa di kaki gunung

Cikuray itu terdapat kabuyutan Ciburuy pada zaman sunda kuno.

Di kabuyutan itu berlangsung pengajaran agama yang disertai

dengan tradisi menulis, yaitu menulis dan menyalin naska kitab

pengajaran agama. Dengan demikian, tradisi baca-tulis telah

berlangsung lama di tempat asalku itu.

3
2. AYAHKU

Aku memanggil ayahku dengan Ama. Panggilan itu

kependekan dari rama, sebutan hormat untuk ayah dalam

bahasa Sunda. Dengan panggilan itu aku menjembatani antara

sikap hormat dan akrab kepada ayahku.

Ayahku bernama Muhamad Musa. Beliau lahir tahun 1822

dan wafat tahun 1886 di Kabupaten Limbangan yang sekarang

bernama Kabupaten Garut. Ayahku bercerita bahwa setelah

menamatkan pendidikan di sebuah pesantren di Purwakarta,

beliau bersama kakekku berkesempatan menunaikan ibadah haji

ke Mekkah. Sejak itu, ayahku percaya bahwa ia ditakdirkan

untuk jadi seorang ulama.

Keyakinannya itu terbukti ketika ia diangkat sebagai

penghulu atau kepala urusan agama di Kabupaten Limbangan.

4
Bahkan, pada tahun 1864 ayahku dilantik sebagai kepala

penghulu sebagai bukti atas keberhasilan dalam tugasnya.

Jabatan ayahku sebagai pemuka agama Islam tidak

membuatnya berpikiran sempit untuk memikirkan masalah agama

semata. Ia adalah seorang muslim yang berpikiran terbuka. Ia

sangat menyukai beragam kesenian dan budaya Sunda.

Kesenangan dan pengetahuannya akan budaya Sunda

membawa pada persahabatan dengan seorang pemilik

perkebunan teh Waspada di daerah Cikajang, K.F. Holle.

Lidahku sulit mengucapkan nama itu, sehingga aku

memanggilnya, Tuan Hola.

Tampaknya, persahabatan dengan Tuan Hola semakin

membuka wawasan ayah. Tuan Hola banyak belajar tentang

bahasa dan budaya Sunda. Sementara itu, ayahku banyak

belajar tentang kemajuan-kemajuan bangsa Eropa yang saat itu

tentu saja suatu yang asing bagi bangsa kita.

Mereka bekerja sama untuk mendokumentasikan kekayaan

budaya dan menyusun buku-buku berbahasa Sunda. Tuan Hola

5
mendorong ayahku untuk menuliskan kembali dan mengarang

cerita-cerita dalam bahasa Sunda.

Ayahku tentu saja menerima dorongan itu dengan suka

hati. Semua sesuai dengan kegemarannya, yaitu membaca dan

menulis. Puluhan karya kemudian lahir dari tangannya.

Karyanya-karyanya kemudian dicetak oleh percetakan pemerintah

untuk kemudian disebarkan sebagai bahan pengajaran untuk

anak-anak. Salah satu karyanya adalah Wawacan Panji Wulung.

6
Ayahku, Muhamad Musa

7
Karya ayahku, Wawacan Panjiwulung
8
Ayahku sangat memperhatikan pendidikan seluruh anaknya,

termasuk anak-anak perempuannya. Ia menginginkan anak-

anaknya bersekolah di sekolah baru bermodel Eropa yang sudah

diperkenalkan di Hindia Belanda.

Kabupaten Limbangan merupakan kabupaten yang jauh

dari ibu kota pemerintahan. Sekolah Eropa terdekat dari

Limbangan ada di Kabupaten Sumedang. Saat itu hanya ada

kereta kuda sebagai alat transportasi, tentu dapat dibayangkan

berapa lama waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak

Limbangan—Sumedang.

Ayahku berinisiatif untuk mendirikan sekolah sendiri

dengan menggaji 2 orang guru Belanda. Beliau menyisihkan

sebagian uang dari gaji yang diterimanya untuk membiayai

sekolah itu. Di sekolah itu, pribumi baik laki-laki maupun

perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk belajar

dengan anak-anak Eropa.


9
3. LASMININGRAT

Raden Ayu. Begitulah orang-orang di sekelilingku

memanggilku setiap hari. Sementara, teman-teman sebayaku

memanggilku dengan nama enden. Sebutan hormat untuk

perempuan ningrat atau bangsawan, seperti halnya raden laki-

laki ningrat. Sebenarnya perasaan rikuh selalu menghinggapiku

ketika aku dipanggil dengan sebutan itu.

Lasminingrat adalah namaku. Kakekku, Raden Rangga

Suryadikusumah, adalah seorang patih Limbangan. Sementara itu,

ayahku yang menjabat penghulu dianggap setara dengan


10
kedudukan bupati saat itu. Dengan pangkat itu, keluarga kami

digolongkan dalam kaum ningrat.

Namun, sekali lagi kerikuhan selalu datang ketika label

ningrat itu dilekatkan kepadaku. Bagiku, derajat itu hanya

sebuah ketentuan Allah yang tidak harus membedakan aku

dengan orang lain, terutama sahabat-sahabatku.

Aku dilahirkan pada tahun 1843 di Limbangan dari

pasangan Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria. Sejak kecil

kami tinggal di rumah yang berada dekat kompleks kabupaten.

Meskipun pasrah saja dipanggil enden, aku tidak pasrah

ketika memilih teman. Kuhabiskan waktu kecil dengan teman-

teman sebayaku yang berasal dari kaum cacah atau rakyat

biasa.

Memang ada kebiasaan yang tidak biasa di kalangan

masyarakat saat itu yang kami lakukan sekeluarga menjelang

senja. Ama dan Ibu selalu memanggil aku dan saudara-

saudaraku untuk berkumpul di serambi muka rumah kami. Kami

duduk di atas kursi, meriung meja kecil dengan air teh dan

kue-kue kecil sebagai penganan.


11
Setelah kami berkumpul, ayah menyampaikan beberapa

hal. Dari semua hal yang disampaikan ayah, aku paling

menyukai cerita-cerita yang dia sampaikan di hadapan kami.

Satu di antaranya adalah dongeng Sakadang Kuya jeung


Sakadang Monyet (Seekor Kuya dan Seekor Monyet).
Kebiasaan itu tanpa terasa telah memupuk kegemaran

aku dan saudara-saudaraku pada kebiasaan membaca dan

menulis. Kelak, aku dan dua saudaraku berhasil mengarang

buku-buku yang dijadikan bacaan anak-anak.

Kebiasaan lain yang aku sukai adalah menyanyikan

tembang atau kawih. Ayahku sering mengajariku menembang

atau dia menyuruh orang lain untuk melatihku jika ia

berhalangan.

Aku sangat menyukai kesenian itu sampai aku mampu

menembang sendiri. Ketika tuan Hola berkunjung ke rumah,

ayah selalu memintaku untuk menembang di hadapan mereka.

Tuan Hola sangat terkesan dengan kemampuanku dan sejak itu

menembang menjadi kegiatan wajib ketika ia datang berkunjung.

12
Ketika kegiatan itu berlangsung, ayah dan Tuan Hola

duduk di kursi ditemani secangkir teh hangat. Aku duduk

bersimpuh di lantai ditemani kakakku yang memetik kecapi untuk

mengiringi tembang yang kunyanyikan.

13
4. SARCE

Sekolah yang didirikan ayah masih sangat sederhana.

Anak-anak belajar membaca dan menulis. Semua disatukan

dalam satu kelas belum ada pembagian kelas khusus.

Satu hal yang kusesalkan dari sekolah itu hanyalah

kenyataan bahwa sekolah itu hanya untuk anak lelaki. Kakakku,

Kartawinata, menjadi murid sekolah, sementara aku dan saudara

perempuanku hanya mampu menyaksikan kegiatan sekolah itu

dari serambi.

Ayah memang berpikiran terbuka mengenai pendidikan,

termasuk untuk perempuan. Akan tetapi, sebagai pemuka agama

14
beliau sangat ketat mengenai norma tentang percampuran

perempuan dan lelaki. Tentu ia ingin memberi contoh yang baik

tentang hal itu.

Setiap sekolah dimulai, aku berusaha untuk mengintip

dan ikut menyimak apa yang disampaikan guru Belanda itu.

Ayah menerima laporan dari guru dan menyaksikan sendiri

kebiasaan itu. Ayah kemudian berpikir untuk mengirimkanku ke

sekolah khusus untuk perempuan yang telah dibuka di

Kabupaten Sumedang.

Pada suatu sore seperti biasanya kami telah berkumpul

di serambi muka rumah. Setelah menyesap teh hangat dari

cangkirnya, ayah berkata kepadaku.

“Nyai, ama sudah mendengar dari gurumu dan

menyaksikan sendiri keinginanmu untuk belajar di

sekolah.”

“Iya Ama, nyai memang sangat suka membaca dan

menulis.”

“Tentu, makanya nyai selalu mengikuti pelajaran meskipun

dari jauh!”
15
“Ama mempunyai rencana untuk nyai. Ama akan

menitipkanmu di sahabat Ama di Sumedang. Sekolah di

sana jauh lebih maju, nyai tentu akan lebih senang

belajar di sana.”

Meskipun ayahku berpikiran terbuka, kepatuhan adalah

tanda kebaikan budi yang mutlak. Oleh karena itu, tanpa harus

berkata apapun, aku sudah dianggap setuju dengan rencana itu.

Usiaku masih belia, maka ada perasaan sedih yang

hanya bisa kuungkapkan dalam tangis. Ini bukanlah perjalanan

pertamaku keluar jauh dari rumah. Namun, ini akan menjadi

pengalaman pertamaku tinggal jauh dari ama dan ibu serta

saudara-saudaraku.

Aku memang sangat senang mempelajari hal-hal baru.

Akan tetapi, membayangkan harus tinggal di rumah yang asing

dengan kebiasaan yang asing pula sempat membuatku takut. Ya,

aku akan dititipkan di rumah sahabat ayahku, seorang Belanda,

yang bahkan namanya pun sulit kusebut, Levyson Norman.

Sebenarnya Sumedang bukan tempat yang asing. Aku

pernah menginap di Sumedang karena iparku menjadi kontrolir


16
di sana. Saat berkunjung ke Sumedang itulah aku telah bertemu

dengan Levyson. Aku tak mengingatnya karena hanya

diperkenalkan sekilas oleh ayah dan tak menyangka jika aku

akan dititipkan kepadanya.

Keganjilan juga rupanya menghinggapi keluarga Levyson.

Bagaimana tidak, seorang anak pribumi dengan nama yang

aneh untuk lidah mereka harus tinggal di rumah mereka,

bersama mereka. Selama ini, pribumi yang tinggal di rumahnya

ya hanya babu dan jongos, tidak yang lain!

Untuk menghapus perasaan itu Levyson membuat

“kesepakatan” yang tentu saja berlaku sejak disampaikan

kepadaku hari itu. Mulai saat itu, aku adalah anak angkatnya

yang dinamainya Sarce. Sementara aku memanggil Levyson dan

istrinya dengan tuan dan nyonya. Tentu saja awalnya, mereka

keberatan dengan caraku memanggil mereka, tetapi mereka tak

bisa apa-apa lagi karena panggilan itulah yang kudengar

sepanjang hari, setiap hari, dari seisi rumah.

17
5. DI SUMEDANG

Apa yang kutakutkan selama ini tidak seperti yang

kubayangkan. Keluarga Levyson sangat menyayangi dan

memperhatikanku. Kalian tahu apa yang membuatku senang?

Rumah Levynson memiliki rak-rak buku yang penuh dengan

buku-buku dengan gambar dan ilustrasi yang menarik.

Aku belajar sungguh-sungguh. Di sekolah aku diajari

membaca dan menulis, bahasa Belanda dan berhitung. Di

rumah, aku diajari berbagai keterampilan dan tatakrama. Untuk

membiasakanku berbahasa Belanda, aku hanya diperkenankan

berbahasa Sunda dengan para pembantu di rumah. Di luar itu,

18
di rumah dan di sekolah aku harus menggunakan bahasa

Belanda.

Aku berhubungan dengan keluargaku di Limbangan

melalui surat. Setidaknya, sekali dalam seminggu datang surat

dari ibuku melalui pos. Surat-surat pertamaku selalu bernada

sedih. Kutumpahkan kesedihan karena perpisahan dan kerinduan

akan pertemuan. Namun, lama kelamaan, surat-suratku berubah

ceria. Kuceritakan kemajuan pelajaranku.

Di sekolah, di Sumedang, aku merasakan wawasanku

semakin luas. Terlebih, Tuan Levyson mengizinkanku untuk

membaca buku-buku koleksinya. Buku-buku itu, terutama buku

cerita anak-anak, kelak akan menjadi inspirasiku ketika menulis

buku untuk bacaan anak-anak.

19
6. PULANG KE LIMBANGAN

Tahun baru 1871 sudah berlalu. Keramaiannya masih

kuingat, sampai Tuan Levynson memanggilku.

“Sarce, masih kerasan tinggal di Sumedang?” tanyanya

dan aku hanya menjawab dengan diam. Aku tak tahu harus

menjawab apa, sedangkan setiap malam, wajah ibu selalu

kurindukan.

“Aku tahu kerinduanmu pada keluargamu sudah tak dapat

dibendung apapun.”

20
“Pelajaranmu kuanggap cukup. Apa yang diharapkan

ayahmu saat menyuratiku pertama kali sudah mampu

kaupenuhi.”

“Minggu depan, ayah dan saudaramu akan menjemputmu

pulang ke Limbangan”.

“Iya, Tuan.” Hanya itu yang terucap karena air mataku

lebih dulu menitik. Tanpa sadar aku berdiri dan memeluknya

seakan mengganti ribuan terima kasih yang hendak kuucapkan.

Seminggu tak terasa sudah berlalu. Hari ini ayah akan

tiba di Sumedang. Setelah menginap sehari, keesokannya kami

akan pulang ke Limbangan.

Sebagai hadiah perpisahan, Nyonya Levyson memberikan

beberapa buku berbahasa Belanda kepadaku, dua di antaranya

adalah buku cerita favoritku: cerita anak karangan Christoph von

Schmidt dan karangan Grimm.

21
7. CARITA ERMAN

Suatu hari aku melihat ayahku yang sedang berbincang

dengan Tuan Hola di serambi belakang rumah kami. Setelah

menyadari kehadiranku, ayah segera memanggilku.

“Tuan masih ingat dengan Lasmi?”

“Tentu, sudah besar ya!”

“Dan, Lasmi telah lulus dari sekolah Levynson di

Sumedang!”

22
‘Oh, ya!” seru tuan Hola. Segera ia mengajakku

bercakap-cakap dalam bahasa Belanda yang tentu saja

dapat kujawab dengan fasih dan tanpa canggung.

“Luar biasa! Bagaimana jika Lasmi juga kita libatkan

dalam proyek penyusunan buku bacaan kita, Musa?”

Ayah hanya melirik kepadaku, tetapi senyumnya yang

lebar mengisyaratkanku akan suatu tantangan yang harus

kupenuhi: menulis buku.

Apa yang harus kutulis? Segera aku teringat akan buku-

buku cerita pemberian Nyonya Levyson. Aku segera mencarinya

di kamar. Kubuka-buka lagi buku-buku itu, tetap saja gambar-

gambarnya selalu memikat mata dan hatiku.

“Ini saja yang akan kutulis ulang, supaya anak-anak

merasakan kegembiraan yang sama denganku ketika aku

membacanya”, bisikku dalam hati.

Begitulah aku mulai menulis ulang kisah-kisah dari

Schmidt. Semula aku hendak menerjemahkannya begitu saja.

Pekerjaan yang tidak terlalu sulit untuk kulakukan. Namun, aku

teringat bahwa teman-teman pribumi di sekolah Sumedang tetap


23
saja ada yang merasa asing dengan cerita-cerita yang diajarkan

di sekolah. Mereka merasakan benar perbedaan latar budaya

yang mereka miliki dengan yang mereka baca.

Aku menutuskan untuk menyadur dan menyusun kembali

cerita-cerita itu dengan latar Sunda. Karena tidak

menerjemahkan, aku mengumpulkan cerita dari buku-buku karya

Christoph von Schmidt dan Hendrick van Eichenfels.

Cerita-cerita itu berasal dari Jerman yang diterjemahkan

ke dalam bahasa Belanda pada tahun 1833. Setelah aku baca

ulang, aku ceritakan kembali dalam bahasa Sunda dengan

aksara Jawa. Aksara Latin belum banyak dikenal orang banyak,

sementara aksara Jawa dan aksara Arab yang digunakan untuk

menulis bahasa Sunda atau disebut pegon lazim digunakan

masyarakat.

Aku juga menyesuaikan latar belakang cerita dengan latar

belakang yang dekat dengan masyarakat, di antaranya aku

mengubah nama tokoh utama menjadi Erman. Semua kulakukan

agar pembaca dapat menghibur diri dan mengambil manfaat dari

bacaan yang kususun.


24
Alhasil, pada tahun 1875 bukuku terbit dengan judul

Carita Erman. Menurut kabar yang kuterima dari Tuan Hola


melalui ayahku, percetakan pemerintah menerbitkan buku

sebanyak 6.015 eksemplar. Buku itu kemudian disebarkan ke

berbagai sekolah yang didirikan pemerintah sebagai bahan

bacaan para siswa sekolah.

Buku itu ternyata digemari oleh pembaca dan dianggap

cocok sebagai bacaan wajib di sekolah. Dengan demikian,

pemerintah memutuskan untuk mencetak ulang buku itu pada

tahun 1911. Sebelas tahun kemudian, tahun 1922, pemerintah

memutuskan untuk mencetak ulang Carita Erman dengan

menggunakan huruf Latin. Penggunaan huruf Latin tersebut

memperlihatkan niat pemerintah untuk memperluas penyebaran

buku tersebut untuk sekolah-sekolah dengan siswa dari bangsa

Eropa.

25
8. WARNASARI

Kabar mengenai penerbitan dan pencetakan ulang bukuku

sangat membesarkan hatiku. Bukan karena namaku kemudian

dikenal orang, melainkan keyakinan bahwa lebih banyak orang

yang ikut menikmati apa yang kunikmati selama ini yang

membuat bahagia.

Suatu hari aku menerima sepucuk surat. Surat yang

ditujukan kepadaku itu bertanda tangan Tuan Hola. Ia

memberikan ucapan selamat atas keberhasilan buku pertamaku.

26
Ia memberiku pujian karena aku menjadi penulis di antara

sedikit penulis pribumi, terlebih karena aku seorang perempuan.

Selanjutnya ia mengabari bahwa ia telah memberikan usul

kepada pemerintah untuk menerbitkan buku sejenis Carita Erman.

Pemerintah menyetujui usulnya itu. Oleh karena itu, ia

menyampaikan bahwa aku harus mulai kembali membaca dan

menyusun buku cerita yang baru.

Aku segera menemui ayah dan menyerahkan surat dari

Tuan Hola. Senyumnya yang lebar dan matanya yang berbinar

memperlihatkan rasa bangganya padaku.

“Kamu pasti bangga, Nyai!”

“Segera penuhi tantangan Tuan Hola!”

Aku membuka-buka kembali buku pemberian Nyonya

Levyson. Cerita-cerita dari Maarchen von Grimm dan

Goeverneur memikatku untuk menuliskannya kembali dalam

bahasa Sunda dengan penyesuaian yang kulakukan seperti pada

buku pertamaku.

Buku kedua yang kususun berisi beragam cerita dari

kedua penulis itu. Oleh karena itu aku merencanakan buku ini
27
akan diterbitkan dalam tiga jilid. Buku itu kuberi judul Warnasari

atau Rupa-Rupa Dongeng.


Buku jilid pertama Warnasari diterbitkan pada tahun 1876

dalam bahasa Sunda dan menggunakan aksara Jawa. Buku itu

kemudian diterbitkan ulang pada tahun 1903 dan 1907 masih

menggunakan aksara Jawa.

Jilid kedua Warnasari diterbitkan pada tahun 1887 dalam

bahasa Sunda dan menggunakan aksara Latin. Buku itu

kemudian dicetak ulang pada tahun 1909.

Jilid ketiga Warnasari disusun oleh saudaraku, Lenggang

Kencana, dan diterbitkan bersamaan dengan Jilid kedua pada

tahun 1887. Buku itu kemudian dicetak ulang pada tahun 1909

dan 1912.

28
29
9. MENIKAH

Ayahku menjabat sebagai penghulu pada masa

pemerintahan Bupati Limbangan, Raden Adipati Aria Surianata

Kusumah (1831—1871). Bupati yang dikenal juga dengan nama

Tumenggung Jayadiningrat itu berasal dari keturunan Bupati

Cianjur.

Selain karena urusan pemerintahan, mereka berdua

bersahabat. Ayahku sangat dekat dengan Tuan Hola, sehingga

ada yang menganggap kewibawaan ayahku menyamai Bupati

Limbangan.

Hal itu tidak menjadi ganjalan dalam persahabatan ayahku

dan Tumenggung Jayadiningrat. Mereka saling menghormati

dalam tugas masing-masing. Tidak heran ketika Bupati

30
Limbangan menyampaikan maksudnya untuk mempererat

hubungan silaturahmi melalui pernikahan anak mereka.

Akupun dipinang untuk dinikahkan dengan putra Bupati

Limbangan itu. Aku menerima pinangan itu tanpa paksaan juga

tanpa penolakan. Pada masaku memang lazim perjodohan

dilangsungkan dengan beragam alasan bukan hanya karena

perasaan kasih sayang yang telah terjalin sebelumnya.

Meneruskan hubungan kekerabatan adalah salah satu alasannya.

Semasa kecil, nama suamiku adalah Raden Jenon.

Ayahnya berasal dari keturunan Bupati Cianjur tetapi ibunya, Nyi

Raden Mantri, berasal dari keturunan Limbangan.

Pada masa itu jabatan bupati adalah jabatan

pemerintahan sekaligus jabatan tradisional, sehingga dapat

diteruskan secara turun-temurun. Demikianlah, ketika Bupati

Limbangan wafat pada tahun 1871, suamiku dilantik menjadi

penggantinya pada tahun itu juga.

Untuk menegaskan hubungan dengan leluhurnya, suamiku

menggunakan nama Raden Adipati Aria Wiratanudatar ketika

menjabat bupati Limbangan. Pada masa pemerintahan suamiku,


31
Kabupaten Limbangan mengalami perubahan menjadi Kabupaten

Garut. Perubahan itu diikuti dengan perpindahan ibukota

kabupaten dari Limbangan ke kota Garut sekarang.

Suamiku dianggap berhasil memajukan Kabupaten Garut,

sehingga dianugerahi bintang penghargaan. Sejak itu, suamiku

sering disebut juga dengan Dalem Bintang.

Keberhasilan itu ditentukan oleh keterbukaan wawasannya

akan kemajuan zaman. Dengan suami seperti itu tentu aku

merasa menemukan pasangan yang sesuai. Kami berdua

berpikiran terbuka, sehingga banyak ide-ideku yang disetujuinya

kelak.

Dari pernikahan kami, kami dikaruniai putri yang cantik

dan juga cerdas, Raden Ayu Mojaningrat.

32
33
10. AKU DAN DEWI SARTIKA

Ketika Raden Ayu Mojaningrat beranjak dewasa, datang

lamaran dari Wedana Cicalengka yang bernama Raden

Suriatanuningrat. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya

aku dan suamiku bersepakat untuk menerima lamaran itu dan

menikahkan mereka berdua.

Setelah pernikahan itu, dengan perasaan sedih, aku

harus melepas anakku tercinta. Aku mengantarkan pengantin

baru itu ke Cicalengka. Di sana aku sempat berkenalan dengan

Dewi Sartika yang merupakan anak Patih Kabupaten Bandung.

Ketika berbicara dengannya, aku seperti menemukan

kawan berdiskusi. Perempuan itu berpikiran maju. Dia berniat

hendak membuka sekolah khusus untuk kaum perempuan di

Pendopo Bandung.

34
Namun sayang, niatnya itu belum dapat dilaksanakan.

Bupati Bandung saat itu, Raden Martanagara, belum bersedia

mengabulkan permintaan Dewi Sartika. Hal itu disebabkan ayah

Dewi Sartika yang juga Patih Bandung dituduh ikut

merencanakan pembunuhan Martanagara.

Setelah mendengar cerita Dewi Sartika, hatiku tergerak

untuk membantunya. Sebelum kami berpisah, aku berjanji untuk

membantunya semampuku.

Aku menyampaikan kisah Dewi Sartika kepada suamiku.

Suamiku ikut menyayangkan hal itu. Lalu, aku meminta suamiku

untuk menjelaskan niat baik Dewi Sartika dan memberikan

pertimbangan kepada Bupati Bandung.

Alhamdulillah, usaha kami berhasil. Bupati Bandung

mengizinkan Dewi Sartika membuka sekolah Kautamaan Istri di

Pendopo Kabupaten Bandung pada tahun 1904.

35
36
11. SAKOLA ISTRI

Sepucuk surat tiba di rumahku. Surat itu dikirim oleh

Dewi Sartika. Ia mengucapkan terima kasih atas bantuanku dan

suamiku. Ia juga mengabari keadaan dan kemajuan sekolah

yang dikelolanya.

Aku berbahagia mendengar kabar kemajuan sekolah

Kautamaan Istri (keutamaan perempuan) yang diusahakan

oleh Dewi Sartika. Aku sendiri setelah menikah mulai disibukkan

dengan urusan keluarga. Aku juga harus mengimbangi kegiatan-

kegiatan suamiku sebagai Bupati Garut. Terlebih kefasihanku

berbahasa Belanda, membuatku harus selalu ada mendampingi

tamu-tamu pemerintah yang berkunjung ke Garut.

Meskipun begitu, kegairahanku akan menulis dan belajar

tidak pernah berkurang. Setelah membaca surat Sartika, aku

teringat kembali atas kesukaanku itu.

Sudah tiba saatnya untuk mengembangkan kegemaranku

itu menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat untuk rakyatku,


37
masyarakat Garut. Aku akan mendirikan sekolah. Beragam ide

mengenai sekolah itu segera memenuhi benakku seketika.

Aku segera menemui suamiku untuk menyampaikan

rencanaku. Tidak perlu usaha keras untuk meyakinkan suamiku,

karena pemikiran kami lebih banyak persamaannya daripada

perbedaannya. Yang perlu banyak didiskusikan adalah cara

memulai pendirian sekolah itu.

Setelah berdiskusi dengan suamiku, keputusan diambil.

Pendopo kabupaten yang berada tepat di belakang babancong

memiliki serambi. Ruangan itu digunakan untuk menyimpan

seperangkat gamelan, sehingga di sebut juga ruang gamelan.

Ruangan itu kemudian disiapkan sebagai kelas pertama. Setelah

gamelan dipindahkan, sebuah papan tulis diletakkan di tengah

ruangan.

Sekolah-sekolah pemerintah dan swasta yang didirikan di

berbagai tempat telah membuka kesempatan untuk anak-anak

lelaki, tetapi tidak untuk perempuan. Tidak mudah untuk

perempuan agar dapat bersekolah. Akupun merasakan harus

38
jauh dari orang tua untuk mengecap pendidikan di tempat yang

memberikan kesempatan kepada perempuan.

Aku memutuskan untuk mendahulukan anak-anak

perempuan sebagai murid pertama. Sekolah itu kunamai: Sakola

Istri (sekolah perempuan) dan dimulai tepat tahun 1907.


Murid-murid pertamaku adalah anak-anak perempuan

yang tinggal di lingkungan kabupaten. Aku mengajari mereka

membaca dan menulis. Selain itu, aku juga melatih mereka

dengan berbagai keterampilan perempuan, seperti mencuci,

menjahit pakaian, merapikan pakaian, memasak. Aku

menekankan kepada mereka supaya menguasai keterampilan

sehari-hari, sekaligus menguasai pengetahuan.

Beberapa tahun kemudian sekolahku semakin berkembang.

Masyarakat sekitar kabupaten mulai tertarik untuk mengirimkan

anak-anak mereka belajar di pendopo.

Pendopo pun menjadi sesak. Ruangan baru diperlukan

untuk menampung siswa. Suamiku membantu untuk membangun

bangunan baru di sebelah kiri pendopo kabupaten. Bangunan

39
baru itu disekat menjadi lima kelas agar dapat menampung

semua siswa saat itu, kurang lebih 200 orang.

Setelah melihat perkembangan Sakola Istri, pemerintah

akhirnya mengakui secara resmi keberadaan sekolah itu.

Pemerintah menerbitkan akta pengesahan. Dengan demikian,

Sakola Istri disamakan dengan sekolah yang telah dibangun


pemerintah. Sakola Istri berhak untuk memperoleh bantuan dari

pemerintah.

Beberapa tahun berikutnya daerah-daerah lain di Garut

mulai mengajukan keinginan untuk membuka sekolah yang sama.

Akhirnya, Sakola Istri dibuka di daerah-daerah tersebut. Bukan

main gembiranya hatiku. Dengan demikian semakin banyak kaum

perempuan di Garut yang akan menikmati pengetahuan dan

kemajuan.

40
12. PESANKU

Aku hidup di zaman penjajahan. Kekayaan budaya dan

kekayaan alam sangat melimpah. Namun, pemerintah jajahan

menggunakan kekayaan itu untuk kepentingan mereka sendiri.

Dalam kondisi seperti itu, aku, seorang perempuan pada

masaku, mampu berbuat sesuatu untuk kemajuan bangsa ini.

Keterbatasan harus dijadikan alasan untuk membuka peluang

kemajuan seluas-luasnya.

Kondisi saat ini tentu jauh berbeda. Kesempatan untuk

mengelola sendiri kekayaan budaya dan alam sangat terbuka

luas. Kesempatan untuk belajar, bersekolah, berlatih terbuka

untuk semua orang. Gunakanlah kesempatan itu dengan sebaik-

baiknya. Apa yang telah kulakukan tidak ada apa-apanya dari

apa yang dapat kaulakukan saat ini.

41
42

Anda mungkin juga menyukai