Anda di halaman 1dari 1
Bahasa! ‘Asep Rahmat Hidayat* ETIKA membaca sampar yang terkait dengan pandemitersebabcorona, ingatan saya hanyatertaut ‘pada Sampar (La Peste)karya Albert Camus. Rasanya belum tertemu buku berbahasa Indonesia berjudul sama. Kini tampaknya tokoh-tokoh dan beragam responsatas sampar dalam novel itu maujud diantara kita, Sebagai ikhtiar melawan pandemi, Kerja dari rumah di Jakukan, sehingga cukup waktu untuk menjelajahi pustaka tentangsampar. Kamus Besar Bahasa indonesiamencatatkata epidemi, hawar, pandemi, pagebluk, sampar, aun, dan wabah ‘untuk merujuk pada berjangkitnya suatu penyakit dengan cepat dalam waktu relatif singkat. Sebagian kata itu residu. ddan sebagian lagi baru. Klinkert (1902) mencatat kata awar, bela (karena ditulis dalam aksaraJawi, mungkin yang dimak- sud bala) benah, hawar, sampar, taoen, dan waba (kini wa- bah) yang merujuk pada pest, epidemic, plaag. Kata sampar sendiri digunakan dalam kon- teks yang beragam. Dalam Vademecum voor den praktizeerenden geneesheer in Nederland cen de kolonien (1904), sampar hanya diguna- kan untuk Pestis Nigra (wabah hitam). Nama fru mungkin terkait dengan pandemi Black Death-pandemi terbesar yang pernah ter- jadi karena makhluk renik, Yersinia pestis. Sampar dalam buku pegangan untuk dok- ter itu digambarkan sangat menular dengan masa jangkit 5-8 hari dan sangat mematikan pada hari ketiga-kelima setelah menjangkit ‘Menurutamatan D.G. Moelder, yang menulisdi- sertasi pada 1923 tentang penanganan sifilis (De in- vloed der moderne kultuur op het verloop der syphilis bij den Soendanees), kata sampar digunakan orang Sunda untuk pe- nyakit siflis dan frambusia. Padahal sifilis dan frambusia dua penyakit yang berbeda. Untuk kedua penyakititu, mere- ka juga menggunakan sebutan raja singa dan kasawat Jawa. Bahkan, untuk penyakit-penyakit yang berwujud borok, la- zim juga digunakan sebutan kembang sampar. Apakah sif- lis saat itu memang bermula dari Jawa sehingga disebut ka- sawat Jawa (penyakit Jawa) atau sudah mewabah sehingga di- sebut sampar? Entahlah. Pada 1930, terbit buku Peladjaran Kesehatan. Dalam buku itu, kata waba’bersanding dengan kata sampar: “sesoedahta- /hoen 191 timboel waba’ sampar ditanah Djawa.” Kata sampar dalam konteks itu merujuk pada wabah pes yang diperanta- rai kus, Kata waba’rupanya lebih umum karena digunakan juga untuk waba’cacar dan kolera. Uniknya lagi, katasampar berkolokasi dengan kata cabul: “penjakit sampar kerap kali 8 | TEMPO | 21 UN! 2020 Menurut Le Td Coat tet Ciera Sunda untuk Pee ee ray Pitt bertjaboel ditanah Eropa.” Makna “berkecamuk, merajalela” pada kata bercabul masih mengendap dalam kamus Poer wa: darminta, tapilindap dari Kamus Besar. ‘Aturan atau Reglement voor den militair veterinairen dienst ‘yang diterbitkan pada 1913 memuat instruksi untuk anggo: tamiliter yang menjadi penjaga karantina hewan. Dalamins- ‘ruksi tersebut, sampar disebut untuk “sakit ingoes jang dja +hat betoel”. Para petugas itu tidak boleh meninggalkan tem- pattanpaseizin dokter, sementara oranglain tidak boleh ma- suk, apalagi menyentuh hewan yang dikarantina. Setelah bertugas, mereka harus mencuci tangan dengan air sabun idjoe dan pasir, lalu mencucinya lagi dengan air obat keras. Dalam kitab-kitab Nasrani berbahasa Melayu, juga san- gat lazim penggunaan kata sampar. Bahkan, dalam Maz- ‘moer dan Tahlil yang terbit padai908, beberapa kata ber: ‘makna malapetaka muncul sekaligus: “didalam riboet hhoedjan itoe mati, pelbagai kawannja, jang dikilati, ‘Hoe jang djabar biarkanlah morkanja, gram, goe- sar, kahangatan amarahnja, memboeka djalan toelah dan bela, sahingga timboel sampar dan waba.” Respons terhadap sampar juga beragam. Setelah mewabahnya sampar, Idenburg me- nandatangani dua aturan: Quarantaine Or- donnantie dan Epidemie Ordonnantie. Karan- tina dilakukan dengan melarang atau memba- tasi kapal masuk ke pelabuhan. Sebagai tanda karantina, disiarkan dua sinyal: bendera kuning dikibarkan sejak matahari terbit hingga terbenam dan dua lampu putih dinyalakan mulai malam sampai agi, yang dapatterlihat dari jarak dua mil laut. Kapal-kapal yang diizinkan masuk harus mengisi surat keterangan yang, disediakan dalam tiga bahasa. Salah satu hal yang ditanya- kan adalah persinggahan kapal-kapal itu di pelabuhan yang. “soedah bertjaboel penjakit pest sampar), kolera (thaoen) dan demam koening’ Dalam Habis Gelap Terbitlah Terang (1922), Kartini pun ‘menceritakan ihwal sampar. Ketika sakit keras dan dokter telah menyerah, Kartini sembuh dengan meminum air abu yang telah dimantrai di depan tepekong Cina. Saat sampar berjangkit, tepekong yang sama dibawa berkeliling kampung ‘untuk mengusirbala. Demikianlah perjalanan kata sampar. Kesintasan kata itu ‘mencerminkan kesintasan penggunanya juga. Kita harusop: ‘timistis bahwa bangsa kita akan menjadi penyintas dari sam- par kali ini

Anda mungkin juga menyukai