Di kolom ini, pada 13 Agustus 2017, Fariez Alniezar menulis “Nasib Huruf Qaf”.
Dengan menyitir Remy Sylado, Fariez menyatakan ada fenomena kesalahan konsepsi dan
kesalahan transkripsi dalam penyerapan bahasa asing. Hal ini menarik untuk didiskusikan
karena transkripsi, transliterasi, dan penyerapan merupakan tiga hal yang berbeda meskipun
dalam konteks tertentu berkaitan. Terlebih, Fariez menyinggung Pedoman Transliterasi Arab-
Apa yang dikemukakan dan contoh yang diberikan oleh Fariez sebetulnya bukan hal
yang baru. Sebelumnya, dalam sebuah forum, dosen bahasa Arab saya di Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia mengemukakan hal yang sama dan tentu itu merupakan pengulangan
Karena ada tiga istilah yang dikemukakan, ketiganya harus didudukkan posisinya
dengan jelas. Dalam linguistik transkripsi dipahami sebagai ‘pengalihan tuturan (yang
berwujud bunyi) ke dalam tulisan’ dan ‘penulisan kata, kalimat, atau teks dengan
‘penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain’ atau istilah
Dalam sejarah bahasa Indonesia, transkripsi (dalam arti apa yang didengar itu yang
ditulis) pernah digunakan dalam konteks penyerapan kosakata asing, misalnya kata winkel
diserap menjadi bengkel. Pola seperti itu kemudian diubah menjadi penyerapan berdasarkan
penulisan.
Pedoman di dalam bab II disebutkan bahwa pembakuan pedoman transliterasi Arab Latin
disusun dng prinsip sejalan dgn EYD jadi tidak mungkin pedoman itu bertelingkah dng
kaidah BI
Tujuan ut
Lalu apa yang membedakan alihaksara dan penyerapan? Dalam alihaksara, satu kosakata
masih diperlakukan sebagai kosakata asing hanya penulisannya penulisannya diubah. Sebagai