Anda di halaman 1dari 10

BAHAN TULISAN

UNTUK RUBRIK “ SOSOK “


BULETIN IKPM EDISI 48

A. Currikulum Vitae :
a. Nama Lengkap : H. Ahmad Suharto. S.Ag
b. Tempat Tgl Lahir : Cepu ( Blora ) 30 Oktober 1965
c. Riwayat Pendidikan :
i. TK Bustanul Athfal Tahun 1971 - 1972
ii. SDN Balun I Tahun 1972 - 1978
iii. SMP Muhammadiyah Cepu Tahun 1978 - 1981
iv. KMI Gontor Tahun 1981 - 1985
v. ISID Tahun 1985 - 1990
vi. Pasca Sarjana UMM Tahun 2005 – 2006
d. Pengalaman Berorganisasi :
i. Ketua OSIS SMP Muhammadiyah Cepu 1979 – 1980
ii. Ketua Kamar 04 Gedung Baru Shighar 1981
iii. Bagian KMN Rayon Komplek Masjid Shighar 1983
iv. Ketua Rayon Komplek Masjid Sighar 1983 ( setelah pergantian
OPPM )
v. Ketua Konsulat Semarang 1983 - 1984
vi. Bagian Penerangan PBR, PBS dan OPPM 1984 – 1985
vii. Bagian Riset Dan Diskusi DEMA 1986 – 1987
viii. Ketua Redaksi Majalah Himmah 1987 - 1988
ix. Pimpinan Umum Majalah Himmah 1988 - 1989
x. Staf Sekretariat Pimpinan Pondok 1986 – 1990
xi. Pengasuh Pondok Darul Muttaqin Banyuwangi 1990 – 1997
xii. Pengasuh Pondok Darul Ma’rifat Kedidri 1997 - sekarang
e. Nama Istri : Silvana Yunita
f. Anak-anak :
i. Fathi Robbani ( Fathi ) Umur 10 Tahun
ii. Hana Raghida Bahjati ( Anggi ) Umur 8 Tahun
iii. Syauqi Bey Sadadi ( Oki ) Umur 6 Tahun
iv. Atabik Chazmi Amrallah ( Atar ) Umur 1 Tahun

B. JAWABAN UNTUK PERTANYAAN RUBRIK SOSOK


a. Cerita singkat masa kecil beserta suka dukanya
Lahir di tengah-tengah keluarga besar, sebagai anak ke lima dari 9
bersaudara, di desa Balun Sudagaran, sebuah desa kecil pinggiran sungai
Solo, sebelah selatan kota Cepu Jawa Tengah. Tanahnya agak gersang
berkapur karena termasuk gugusan pegunungan kapur utara yang
memanjang hingga Gresik bahkan Madura, dikelilingi hutan jati yang
lebat di sebelah Utara dan Barat. Udaranya cukup panas karena tanahnya
kaya dengan kandungan gas dan minyak bumi serta berada di dataran
rendah.
Seperti anak-anak kecil di desa saat itu, sejak kelas III SD, saya
jarang tidur di rumah, lebih sering tidur di mushalla bersama teman-teman
dan hampir setiap malam ( hingga tamat SMP ) belajar silat di salah satu
rumah seorang pendekar kampung. Pada tahun 1979 ( kelas II SMP ) saya
berhasil lulus ujian silat dan mendapat tingkat Pendekar I setelah
mengikuti long march 34 KM ( Blora – Cepu ). Dengan demikian praktis
jarang sekali belajar malam, paling baru belajar bila menjelang ujian.
Sejak SD ikut aktif ronda malam dan membangunkan masyarakat dengan
musik tabuhan tradisonal saat sahur bulan puasa. Kalau ada hiburan
( tontonan ) semacam wayang, kethoprak dan ludruk biasanya aktif nonton
bersama teman-teman, tidak jarang ikut tawuran dengan anak-anak desa
lain.
Saat paling menyenangkan adalah kalau datang banjir besar,
meskipun menyusahkan orang dewasa, anak-anak dengan suka cita bisa
mbolos sekolah dan bermain perahu, kebetulan desa saya menjadi
langganan banjir di setiap musim hujan, biasanya hingga 4 – 6 hari air
baru surut. Di musim kemarau saat air Bengawan Solo surut, kami ( anak-
anak ) biasa mandi pagi dan sore di sungai, bermain sepakbola di tepian
sungai dan kadang memancing ikan di sore atau malam hari.
b. Suasana Lingkungan dan Pendidikan sebelum masuk Pondok
Lingkungan keluarga dan masyarakat saya cukup agamis, langgar
dhuwur ( nama masjid di dekat rumah ) yang menjadi pos kami. Di sana
kami shalat berjama’ah, mengaji al-Qur’an, bermain hingga tidur. Bapak
saya ( H. Abdul Qodir Ali ) seorang kyai di kampung, sekaligus salah
seorang perintis Muhammadiyah di Cepu adalah seorang pedagang, yang
sering bepergian ke luar kota atau pulau untuk beberapa pekan, di rumah
pun bapak sibuk menerima tamu untuk berbagai urusan, sementara ibu
sibuk dengan adik-adik yang setiap dua tahun bertambah jumlahnya.
Pada tahun 1977 Prof. Dr. Mukti Ali yang saat itu menjabat
sebagai Mentri Agama, membangunkan sebuah madrasah diniyah di
samping masjid kami, jam belajarnya sore hari, hampir seluruh anak-anak
di kampung bahkan dari luar kampung setiap sore rame mengaji di
madrasah diniyah ini, termasuk saya, sejak kelas VI SD hingga tamat SMP
( selama 4 tahun ) sepulang dari sekolah umum harus merangkap belajar di
Diniyah sore hari, kelak setelah masuk KMI Gontor, saya merasakan
betapa besar manfaat merangkap belajar di Diniyah seperti ini. Minimal
kami sudah pernah mengenal bahasa Arab dengan nahwu sharafnya,
menghafal arba’in nawawiah dan Juz ‘Amma serta beberapa materi
diniyah lainnya.
c. Peristiwa kehidupan atau pendidikan yang paling berkesan sebelum masuk
Pondok.
Tidur di mushalla sejak kecil sangat membekas dalam kehidupan
saya, meskipun jarang bisa bercengkerama dengan ayah yang sering pergi
berdagang keluar kota, beliau sangat keras dalam mendidik shalat anak-
anaknya, kalau kami malas shalat bisa-bisa kena pukul sapu lidi. Di bulan
Ramadhan setiap habis jama’ah Shubuh ayah sendiri yang mengajari kami
hafalan juz ‘Amma di masjid bersama teman-teman dengan sambil
terkantuk-kantuk.
Di usia SMP, saya mulai mengerti belajar, al-hamdulillah karena
tidak banyak saingan, selalu meraih ranking pertama di sekolah, sempat
terpilih menjadi Pimpinan Regu teladan se kecamatan Cepu dalam sebuah
acara “ Gladian pemimpin regu “ dan mendapat kesempatan mengikuti
Jambore Daerah di Surakarta. Pada tahun 1979 juga terpilih sebagai murid
teladan II untuk kabupaten Blora. Tradisi prestasi ini saya coba
pertahankan ketika masuk KMI Gontor.
Ketika di usia SMP ini saya mulai akrab dengan koleksi buku ayah
yang kebanyakan merupakan karya tokoh-tokoh Masyumi semisal M.
Natsir, Syafruddin Prawiro Negoro, Kasman Singodimejo, M. Room
hingga Buya Hamka, ayah juga berlangganan majalah suara masjid, suara
Muhammadiyah dan Gema Islam ( sebelum Panji Masyarakat ) milik
Hamka, buku-buku tersebut sangat berkesan di fikiran saya,
membangkitkan ghirah Islam, sehingga tidak jarang saya berdiskusi
dengan ayah untuk membahas masalah-masalah yang krusial, al-
hamdulillah ayah selalu mempunyai waktu untuk melayani diskusi saya.
Saya sangat bersyukur ternyata wawasan saya sejak di rumah ini menjadi
modal dan kekayaan saat mengikuti muhadharah di Gontor kelak.
Tahun 1978 terjadi revolusi Islam Iran, sebagai anak kelas II SMP
saya sangat terkesan dengan sosok Ayatullah Khumaini, ada keinginan
untuk meniru perjuangannya, saya semakin rajin shalat dan puasa sunnah,
idealisme mulai tumbuh, barang kali inilah kondisi psikologis yang
menyiapkan saya untuk masuk ke Gontor.
d. Bagaimana mengenal Pondok Gontor.
Nama Gontor sebenarnya tidaklah terlalu asing bagi telinga saya,
karena salah satu paman saya juga alumni Gontor tahun 50-an, namanya
Muhammad Musyaffa’ Shadiq, tetapi karena paman bekerja di kota
kabupaten - Blora, sementara saya di kota kecamatan – Cepu, sangat
jarang ketemu beliau. Ayah meskipun alumni pesantren Jam Saren
Surakarta, tampaknya tidak mengarahkan putra-putrinya ke pesantren.
Kakak-kakak saya disekolahkan di umum semua ( ITB, UNS dan IKIP
Jogja ). Saya sendiri hingga kelas III SMP masih berangan-angan
meneruskan di salah satu SMA di Jogjakarta, seperti anjuran para guru
saya.
Hingga tibalah saatnya, ketika hari-hari terakhir di kelas III SMP,
beberapa hari yang tidak efektif lagi, karena menunggu perpisahan dan
serahterima STTB, ada seorang guru yang mengajar bahasa Inggris kami,
namanya Bapak Zaenal Abidin berasal dari Sumatra ( mungkin Medan ),
mengisi waktu kosong di kelas kami dan bercerita tentang Gontor, beliau
memang alumnus Gontor di awal tujupuluhan. Cerita itu mungkin
dianggap sekedar pengisi waktu bagi teman-teman, tetapi tidak bagi saya,
saya sangat terkesan, terutama dengan disiplin kehidupan asrama yang
mandiri dan penerapan bahasa asingnya. Saya minta izin orang tua untuk
berkunjung ke Gontor sendirian, dengan bekal wawasan peta yang
diberikan guru saya tersebut.
Sampai di Gontor saya mencari Ahmad Burhan, siswa kelas III
KMI yang berasal dari Cepu, putra Bapak H. Muhsin ( alm ) yang juga
kawan seperjuangan ayah. Untuk ukuran anak kampung bangunan Masjid
Gontor, Gedung Saudi I dan BPPM ketika itu sangat megah, saya melihat
sendiri semua urusan ditangani santri, dan lebih terkesima ketika
menyaksikan proses belajar mengajar yang menggunakan bahasa
pengantar Arab dan Inggris di beberapa kelas. Saat itu rasanya sudah bulat
tekad saya untuk masuk Gontor. Pada Bulan Ramadhan saya muqim
hingga berlebaran di Pondok dan langsung ikut ujian masuk, al-
hamdulillah bisa diterima di kelas I Eksperimen B.
e. Perasaan suka duka menjadi santri Gontor.
Menjadi santri Gontor saya rasakan sebagai kebanggaan dan
prestise, saya sangat menikmati status sebagai santri Gontor, masyarakat
kami juga sangat apresiatif dengan kami yang nyantri ke Gontor. Terasa
spektakuler dalam pengalaman pribadi saya, setelah belajar satu semester
ternyata bisa berbahsa Arab dan Inggris, baik berbicara, mendengarkan
dan memahami maupun menulis meski masih jauh dari sempurna. Saya
sangat menikmati keberhasilan belajar di Gontor ketika mulai memahami
makna global dari setiap ayat al-Qur’an yang dibaca para qurra’ di masjid.
Penguasaan bahasa Arab dasar ini kemudian mendorong saya tertantang
untuk mencoba belajar kitab kuning saat liburan panjang Ramadhan ( 50 )
hari, saya muqim satu bulan penuh di Pondok Termas Pacitan untuk ngaji
kitab kuning, dengan modal bahasa Arab kelas I Eksperimen ( Intensive )
dengan mudah bisa mengikuti, sehingga tidak perlu memberi makna
gandul di setiap kosa kata. Banyak teman yang ikut ngaji dengan saya
heran karena saya hanya memberi tanda posisi kalimat ( I’rabnya ) dan
tidak banyak memberi makna.
Belajar di Gontor sangat berbeda dengan di sekolah umum yang
pernah saya alami. Selain difahami juga harus dihafal bila ingin ilmunya
malakah, bertambahnya ilmu terasa benar dan nilainya pun murni. Waktu
yang sangat menyenangkan adalah di waktu hari-hari ujian, terasa sangat
kondusif dan produktif, sangat benar ucapan Bapak Pimpinan ketika itu
( K.H. Imam Zarkasyi ) seandainya anak-anak belajar sepanjang tahun
seperti pada hari-hari ujian, tentu akan menjadi profesor semuanya.
Saya juga senang mengikuti kegiatan ektrakurikuler, terutama
latihan pidato, pramuka dan kursus-kursus bahasa,, namun karena saya di
kelas eksperimen ( Intensif ) yang terus dikejar-kejar dengan pelajaran
( muwajjah pagi dan malam ) sangat sulit mempunyai waktu untuk
menekuni kegiatan ekstra lainnya, olahraga pun jadi sangat kurang,
padahal saya sangat hobby silat dan sempat menjadi juara pingpong
tingkat kecamatan saat SD dan SMP di Cepu. Saya baru terjun berolahraga
( silat, pingpong hingga sepak bola ketika menjadi ustadz ) dan al-
hamdulillah hingga saat ini masih kuat bermain Basket dan sepak bola
baik dengan guru maupun santri .
Di kelas lima sempat mengalami degradasi mental, barangkali
karena terlalu banyak tugas dan kurang pandai membagi waktu, sementara
banyak pelajaran baru yang cukup sulit difahami. Sempat timbul
kejenuhan dalam belajar di Pondok, untungnya orang tua terus mendorong
dan mengarahkan sehingga motivasi saya menjadi lebih kuat dari
problematika yang ada. Di kelas V inilah prestasi belajar paing jelek yang
saya rasakan, al-hamdulillah di semester kedua bisa bangkit dan tetap naik
kelas positif di kelas VI B. Selama belajar, sempat beberapa kali masuk
mahkamah baik bahasa maupun KMN, meskipun untuk kesalahan yang
tidak terlalu signifikan, sepertinya ada beberapa teman yang iseng dan
sengaja menjebloskan saya masuk mahkamah, biar sekali-kali merasakan.
Namun al-hamdulillah, kakak-kakak yang menyidang saya, karena kenal
keseharian saya, dan kadang mereka juga minta bantuan pemahaman
pelajaran kepada saya ( ketika itu saya kelas III Eksperimen ) mahkamah
terasa hanya formalitas saja bagi saya. Yang bisa menjadi kebanggaan
saya, sejak kelas I hingga tammat kelas VI, saya tidak pernah izin tidak
masuk kelas karena sakit walaupun hanya satu hari.

f. Organisasi yang pernah diamanatkan kepada saya selama di Gontor.


( Dilihat dalam daftar yg sudah tertulis di atas )
g. Menjalankan tugas sebagai guru, mahasiswa dan membantu Pondok ketika
itu.
Ketika disampaikan oleh Bapak Pimpinan Pondok Modern saat
Yudisium, bahwa saya dan teman-teman masih banyak kekurangan dan
harus ditingkatkan lagi, karena itu mendapat kesempatan untuk mengajar
di KMI Gontor sekaligus belajar di IPD ( sebelum menjadi ISID ), saya
terima dengan kesyukuran. Saya niati sekalian untuk belajar lebih
mendalam tentang menejemen Gontor, kebetulan ketika itu saya sedang
merencanakan untuk merintis pesantren di Cepu, beberapa simpatisan
bahkan sudah mengirimkan kepada saya peta seluruh desa di kabupaten
Blora agar saya pilih lokasi yang tepat untuk pesantren. Saya ber’azam
untuk belajar dan menyerap sebanyak mungkin tentang Gontor untuk nanti
saya terapkan di masyarakat. Setelah beberapa tahun menjadi kader
Gontor dan mendapat amanah di Ma’rifat, saya pernah menyampaikan
uneg-uneg kepada Bapak Pimpinan tentang rencana perintisan pesantren
di Cepu, beliau bertanya kepada saya “ Apa motivasimu ? “, saya jawab “
Untuk membuatkan lapangan perjuangan bagi keluarga dan anak-anak
saya kelak “. Beliau menasehati saya, sebuah nasehat yang
membangkitkan kesadaran saya akan amanah dan tanggungjawab “ Kamu
tidak usah berfikir untuk pulang merintis pesantren untuk keluarga,
mari kita bersama sama mengembangkan dan membesarkan Gontor
dengan cabang-cabangnya, semua ini nanti juga menjadi lapangan
perjuangan kita dan anak-anak kita “.
Pada tahun pengabdian kedua saya ditugaskan oleh Bapak
Pimpinan untuk bergabung dengan staf sekretariat Pimpinan, saya
sampaikan kepada beliau bahwa saya tidak cakap ketik mengetik, beliau
menasehati saya bahwa sekretaris pimpinan itu bukan tukang ketik, tetapi
membantu melancarkan tugas dan kegiatan Pimpinan Pondok secara luas.
Saya banyak belajar dari teman-teman yang lebih senior dalam
kesekretariatan, kami saling membantu meskipun ada pembagian tugas
yang spesifik. Saya banyak dilibatkan dalam koordinasi dan pembinaan
pondok-pondok alumni yang mulai bermunculan ketika itu,
menyampaikan undangan, memanitiai silaturrahim antar pesantren alumni,
menyampaikan pesan-pesan Pimpinan kepada para pengasuh, hingga
tabayyun untuk beberapa permasalahan yang kadang menimbulkan
kesalahpahaman, hampir semua pesantren alumni di jawa dan madura
sempat saya kunjungi dalam tugas-tugas ini. Tugas lainnya yang sering
dimanahkan kepada saya adalah menyertai Bapak Pimpinan ke Jakarta
untuk berbagai urusan Pondok ; mengurus beasiswa keluar negri, mencari
bantuan keuangan untuk Gontor dan pondok-pondok alumni, hingga
beberapa urusan dengan pemerintah pusat.
Pada tahun 1986 saya mendapat beasiswa ke al-Azhar Mesir, surat
panggilan dari Depag pusat sudah saya terima, data pribadi sudah saya
kirimkan, ketika menyampaikan hal ini kepada Bapak Pimpinan, beliau
( K.H. Abdullah Syukri ) menasehati saya “ Kalau kamu berangkat ke
Mesir sekarang, saya khawatir orientasi kehidupanmu hanya
mengarah pada keilmuan seperti Pak Mukti Ali ( paman ), padahal
saya berharap kamu mempunyai orientasi perjuangan dalam hidup “.
Saya sasmito bahwa beliau kurang merestui rencana studi saya ke Mesir,
maka saya ikuti nasehat beliau, terus mengab di di Gontor dan belajar.
Karena banyak kesibukan di luar Pondok ini barang kali KMI
hanya dua kali menugaskan saya menjadi wali kelas I K dan V H, jam
mengajar saya pun dipangkas hanya tinggal 6 jam seminggu, padahal saya
sangat menikmati mengajar.
Meskipun bermarkas di kantor sekretariat saya senang main ke
pos-pos lainnya, seperti Mabikori, Dema, Majalah Himmah hingga
Pengasuhan, banyak hal yang bisa didiskusikan secara lintas bagian.
Beberapa masalah yang agak krusial serta pemikiran kritis tentang pondok
saya coba tampung dari teman-teman dalam sebuah forum diskusi terbatas
di gedung Asia ( sekarang kantor Yayasan ) dengan menghadirkan nara
sumber beberapa guru senior ketika itu, inilah yang kemudian menjadi
pendukung utama gerakan PSIA ( Pusat Studi Ilmu dan Amal ) yang
digagas oleh Ust. Hamid Fahmi kala itu. Ketika diamanahi kepemimpinan
majalah Himmah, saya cukup kerepotan membagi waktu dengan tugas-
tugas kantor sekretariat, sehingga sering Himmah agak molor terbitnya.
Kalau tidak salah, sekitar tahun 1988, waktu liburan pertengahan tahun
untuk yang pertama kali kami atas nama majalah Himmah mengadakan
kursus pers dan jurnalistik, pesertanya lebih dari 50 anak yang muqim
liburan, setelah selesai kursus mereka mencoba menerbitkan koran
dinding harian yang diberi nama Darussalam Pos, al-hamdulillah sampai
saat ini masih eksis dan berkembang, anak-anak menganggap saya sebagi
pendiri DP, padahal semua itu inisiatif mereka sendiri setelah kursus pers
dan jurnalistik yang kami adakan.

h. Sedikit cerita tentang pernikahan, diamanahi menjadi pengasuh di


Kaligung hingga Ma’rifat Kediri dan perkembangan Pondok hingga saat
ini.
Di awal tahun 1990 an saya mendapat tugas dari Pimpinan untuk
mengurus proses wakaf Pondok Kaligung Banyuwangi, sekaligus
menyiapkan kepenitiaan dalam acara tersebut, menghubungi IKPM
setempat dll. Juga berkoordinasi dengan Pesantren Berasan Muncar yang
mengundang Bapak Pimpinan Pondok Modern K.H. Abdullah Syukri
Zarkasyi untuk berbicara di hadapan sekitar 100 kyai-kyai Banyuwangi.
Ada semangat yang saya rasakan ketika mengurus proses perwakafan
Kaligung saat itu. Ternyata kemudian Pimpinan mengamanahkan kepada
saya untuk mengasuh Pondok Kaligung setelah proses penyerahan wakaf
kepada Gontor.
Saya fahami bahwa amanah tersebut hanya bersifat sementara,
karena saya sendiri belum menyelesaikan penulisan sekripsi yang
terbengkalai hingga empat tahun kemudian. Ternyata Bapak Pimpinan
selalu mendorong saya untuk meneruskan perjuangan di Kaligung. Pada
tahun 1994, usia saya memasuki 29 tahun, sering kali bila ketemu orang
ditanya tentang rencana pernikahan, akhirnya saya simpulkan sudah
saatnya menikah. Saya datang ke Gontor, matur kepada Pimpinan tentang
keinginan menikah tersebut, setelah melalui beberapa kali proses
( termasuk disuruh berangkat haji agar berdo’a di multazam ) al-
hamdulillah Pimpinan merestui, melamarkan calon istri hingga
menikahkan saya di Banyuwangi. Saya memilih putri Banyuwangi,
pertimbangannya ketika itu agar mendapatkan keluarga besar yang bisa
membantu perjuangan di Pondok. ( Ingat Zaid yang diambil sebagai anak
angkat Nabi, dan kemudian dinikahkan dengan Zainab, salah seorang putri
bangsawan Quraisy, agar Zaid yang jauh dari kerabatnya mempunyai
sandaran keluarga besar yang kuat di Makkah ).
Tahun 1990 menerima amanah menjadi pengasuh Pondok
Kaligung Banyuwangi, dengan santri 19 anak yang sebagian besar bebas
biaya, pondok belum ada instalasi listrik mandiri dan belum mempunyai
sumur apalagi kamar mandi. Pengalaman saat itu mengajari kami untuk
benar-benar survive, bertahan hidup dan mencoba mengembangkan diri.
Al-hamdulillah, secara bertahab pondok terus berkembang jumlah santri
mencapai 97 anak pada tahun ketiga, hampir semuanya anak Banyuwangi
asli, pada tahun 1993 mulai mendapat tambahan santri dari Gontor,
sehingga jumlah santri semakin banyak dan aktivitas semakin beragam,
disiplin pun lebih bisa ditegakkan.
Tahun 1997 dimutasi ke Darul Ma’rifat Kediri, menggantikan Ust.
Ma’ruf Chumaidi yang sudah mengembangkan Pondok sejak diwakafkan
ke Gontor ( 1993 ), kondisi di Ma’rifat lebih mirip dengan Gontor, hanya
bentuknya leih kecil, ranah garapannya pun lebih vareatif, dari program
pendidikan dan pengajaran, pengembangan unit usaha, pertanian,
pembangunan hingga kemasyarakatan.
Dalam pendidikan dan pengajaran, fokus dan prioritas kita adalah
mengejar standarisasi dengan Gontor dalam segala hal, meskipun sarana,
senioritas guru, kwalitas SDM, dan kultur masih jauh dari Gontor, namun
upaya untuk terus memacu diri dilakukan tidak pernah berhenti.
Pengembangan sarana dan pergedungan juga selalu dilengkapi, saat ini
fasilitas asrama, kelas KM/WC, Masjid, kantin, Koperasi pelajar, Dapur
Umum, sarana olehraga, kesenian dll sudah cukup memadai kususnya
untuk sekitar seribu santri. Yang belum ada adalah Balai Pertemuan.
Pengembangan khizanatullah juga berkembang ; tanah wakaf yang asalnya
6,5 hektar, saat ini menjadi 11,7 hektar, berbagai unit usaha seperti toko
besi, palen, perkulakan, wartel, fotocopi, fotografi, percetakan,
pemotongan ayam, café, pabrik roti dan susu gelas sudah ada dan bisa
menopang kemandirian Pondok serta guru-guru, pertanian juga
dikembangkan dengan memanfaatkan lahan sekitar 4 hektar untuk
berbagai tanaman sayur dan padi. Peternakan dimulai dengan sapi perah
yang susunya langsung diproses menjadi minuman santri sehari-hari.
Kaderisasi berjalan secara alami dan kesejeahteraan keluarga secara
bertahap ditingkatkan sesuai dengan kemampuan Pondok.
Desain dan setting kampus ditata sedemikian rupa agar menjadi
kampus yang rekreatif, kebersiahan, keindahan, tamanaisasi dan
penghijauan terus menjadi perhatian utama. Damai tetapi dinamis, itulah
suasana yang ingin kita wujudkan di Ma’rifat.
Pondok Ma’rifat karena lebih ramping dari Gontor ( jumlah
santrinya ), sehingga bisa mengadakan beberapa kegiatan eksperimen
untuk peningkatan efektivitas, semacam disiplin larangan merokok untuk
semua penghuni Pondok, penerapan sistem asistensi guru untuk materi
yang banyak koreksian, keharusan menyetorkan I’dad tadris yang sudah
ditandatanagani musyrif sebelum mengajar kepada syaikh diwan, gerakan
wakaf tanah dan al-Qur’an untuk guru dan santri, pembentukan wali
kamar selain syaikh manthiqah, otomasi sistem katalog perpustakaan dan
pengembangannya menjadi digital library, pendataan santri yang sudah
computerized, pendataan aktivitas guru di komputer, pemasangan jaringan
intranet di seluruh kamar guru, sehingga mereka bisa diskusi online dan
menyampaikan berbagai laporan kegiatan kepada pengasuh via jaringan
komputer dll. Dalam hal ini Ma’rifat bisa dijadikan sebagai laboratorium “
pilot projeck “ untuk uji coba beberapa hal yang berkaitan sistem
menegejemen alternatif yang kalau sudah berjalan efektif bisa diterapkan
di cabang lain atau pondok induk.
i. Metoda yang diterapkan dalam mengasuh Pondok, baik yang berhubungan
dengan santri, asatidz, masyarakat maupun Gontor Pusat.
Dalam melaksanakan tugas kepengasuhan di Pondok langkah
pertama yang harus kita lakukan adalah mempunyai self awerness
( kesadaran diri ) terhadap diri kita, senantiasa berintrospeksi dan
mengevaluasi kekurangan, memahami potensi diri yang ada dan
meningkatkannya, memahami misi dan amanah yang diemban agar tidak
melenceng, memahami tempat tugas, kedudukan pondok cabang terhadap
pusat, memahami para santri, para guru – apa yang menjadi harapan dan
keinginan mereka, bagaimana aspiasi mereka, termasuk masyarakat – apa
yang bisa lakukan untuk mengajak mereka berkembang, maju dan ikut
memperjuangkan pondok. Yang kedua hendaknya melaksanakan tugas
dengan tanggungjawab dan kecintaan ( responsibelity and love ), jangan
dianggap sebagai beban yang berat membelenggu, sehingga semua terasa
nikmat dan ringan dalam melaksanakan kegiatan dan aktivitas. Yang
ketiga istiqamah memikirkan Pondok ( concistence and progresifisme ),
mencari terobosan untuk lebih baik, evaluasi tiada henti, pengembangan
ide dan program dengan berbagai bentuk inovasi dan vareasi selama tetap
dalam bingkai ketentuan pokok Pondok ( tidak keluar dari landasan ideal –
panca jiwa dan landasan operasional – panca jangka ). Yang keempat
adalah melandasi semua aktifitas kita dengan niat ibadah lillah, perjuangan
di jalan Allah ( Heroisme and sucrifice ). Idealisme ini menjadi enerzi
untuk terus tegar dalam menghadapi berbagai tugas dan tanatangan yang
ada serta membentuk pribadi yang siap berqurban demi kebaikan dan
kemashlahatan yang lebih besar.
Empat pilar ini diupayakan untuk bisa dimilik ioleh setiap guru dan
santri, sehingga masing-masing individu akan mempunyai mentalitas
kepemimpinan yang handal “ kullukum ra’in “ seperti yang disabdakan
Rasulullah SAW.
j. Peristiwa dan nilai yang paling berkesan selama di Pondok ini.
Sangat terkesan ketika pertama kali melihat Gontor, diterima
menjadi santri, bisa tammat KMI dengan husnul khatimah, menikmati
pembinaan langsung dari Bapak Pimpinan di staff sekretariat Pondok,
mendapat amanah mengasuh Gontor V Darul Muttaqin dan kemudian
Gontor III Darul Ma’rifat. Yang saya dapatkan, yang diberikan pondok
kepada saya jauh…jauh lebih banyak dari apa yang baru mampu saya
berikan kepada Pondok, sudah sedemikian jauh Pondok “ memulyakan
saya “, pertanyaannya sekarang adalah “ Sejauh mana saya bisa membalas
jasa Pondok yang begitu besar ?. Mohon do’anya !!!.
Dari Gontor saya memahami dan memegang teguh nilai-nilai
kehidupan, hal-hal yang filosofis dan mendasar dalam kehidupan ini “ Apa
arti hidup ?, Untuk apa tujuan hidup ? Bagaimana seharusnya dalam
kehidupan ?. Hidup sekali hiduplah yang berarti, khoirunnasi
anfa’uhum linnas. Terus mengembangkan diri, mencari yang benar, baik
dan manfaat “ ihrish ‘ala ma yanfa’ka “, bukan yang enak saja.
Memberi-memberi dan memberi, tidak ada take and give di Pondok “ fa
amma man a’tha wattaqa wa shaddaqa bilhusna fasanuyassiruhu
lilyusra “. Gontor akan tetap diminati masyarakat dan menjadi tujuan
utama para penuntut ilmu kalau tetap bisa mempertahankan cirikhasnya “
Memberi “ dalam arti luas. Memberi solusi terhadap berbagai
permasalahan ummat, memberi harapan bagi masyarakat, memberi
alternatif sistim pendidikan, memberi kader-kader terbaik untuk bangsa,
memberi…. Dan memberi….insya Allah.

Anda mungkin juga menyukai