Anda di halaman 1dari 5

KAJIAN STILISTIKA DALAM CERPEN BERJUDUL “LEMBAYUNG PAGI, 30

TAHUN KEMUDIAN” KARYA FAKHRUNNAS MA JABBAR

A. Hasil Kajian Unsur Leksikal


Hasil kajian pada unsur leksikal dalam cerpen Lembayung Pagi, 30
Tahun Kemudian dapat dilihat berdasarkan kompleksitas kata, penggunaan kata
formal-non formal, penggunaan kata dari bahasa asing, dan jenis kata yang digunakan.
Kompleksitas kata terbagi menjadi dua, yaitu kata kompleks dan sederhana. Dari hasil
analisis pada cerpen Lembayung Pagi, 30 Tahun Kemudian banyak ditemukan Diksi
atau pilihan kata, misalnya Sayatan, pukau, Penyengat, membancuhnya, bersua,
bermadah, bergumul, terpekur, riak-riak, dan sebagainya. Hal ini menimbulkan efek
estetis cerpen ini terkait penyampaian makna yang dikemas dengan pilihan kata yang
sulit dimengerti sehingga pembaca perlu menafsirkan kata-kata yang sulit dipahami.
Penggunaan jenis kata formal dan nonformal sering disebut dengan istilah kata
baku dan tidak baku. Dari hasil analisis pada cerpen menunjukkan bahwa penggunaan
kata telah sesuai dengan kaidah ejaan yang disempurnakan dalam bahasa Indonesia dan
tidak memihak daerah atau etnis tertentu.
Penggunaan kata dari bahasa asing dalam cerpen sama sekali tidak ada dan
dapat dikatakan pula bahwa pengarang lebih nyaman dan suka menggunakan bahasa
Indonesia dengan pilihan kata atau diksi sehingga lebih terkesan begitu puitis.

B. Hasil Kajian Unsur Gramatikal


Hasil kajian pada unsur gramatikal dalam cerpen Lembayung Pagi, 30
Tahun Kemudian dapat dilihat berdasarkan kompleksitas kalimat, jenis kalimat, dan
jenis frasa.
a. Kalimat Deklaratif
1. Perempuan berparas molek itu dalam usia yang amat matang datang padaku
membawa hati yang lembayung pula.
2. Tapi sapa lembut perempuan berkulit kuning langsat itu bagai
mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.
3. Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata,
rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya.
4. Perempuan itu tersenyum.
5. Aku hanya seorang anak belia yang mudah memalingkan diri dari siapa saja.
6. Ia pernah menikah dengan seorang lelaki kesayangannya.
7. Setamat kuliah aku kembali ke kampung halaman.
8. Sejak kami hanya tinggal berdua di rumah setelah kedua anak perempuan
kami menikah dan pindah rumah, kehidupan kami terasa kian hambar saja.
9. Perempuan itu menyanyikan sayup-sayup ”Bahtera Merdeka’” yang dulu
amat kusukai.
10. Ia menghitung helai demi helai uban di belantara rambutku yang terasa kian
jarang.
11. Perempuan itu bagai burung dengan sayap sebelah terbang jauh.
b. Kalimat Imperatif
1. ”Kepakkanlah sayap-sayap kecil itu,” sambutku bahagia.

c. Kalimat Interogatif
1. ”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah.
2. ”Apa kau datang memintal semua masa lalu itu?” Ia menggeleng.
3. ”Akankah kita terbang bersama?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian
memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang
sudah terlewati.
4. ”Iya, langit lembayung itu, bukan?”
5. Tak kah kau ingin berhinggap di salah satu ranting itu?” ucapku agak
bersayap.
6. ”Sekarang…?” sela perempuan itu.
7. ”Apakah semua ini masih bermakna?” balasku.

C. Hasil Kajian Retorika


Hasil kajian pada unsur retorika dalam cerpen Lembayung Pagi, 30
Tahun Kemudian dapat dilihat berdasarkan permajasan, penyiasatan struktur, dan
pencitraan. Pada cerpen ditemukan beber-apa jenis majas didalamnya, yaitu hiperbola,
personifikasi, metafora, sinekdoke, simile, dan paradoks.
a. Majas Hiperbola
1. Perempuan berparas molek itu dalam usia yang amat matang datang
padaku membawa hati yang lembayung pula.
2. Telunjukku tiba-tiba layu saat sosoknya kian menyergam di antara tiupan
angin dan kabut yang menderu.
3. Aku berkaca di bola matanya yang bening.
4. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang
lembut.
5. Tapi sapa lembut perempuan berkulit kuning langsat itu bagai
mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.
6. Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata,
rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya.
7. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid
yang usang.
8. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata
itu.
9. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan
mesra.
10. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat
berhinggap bagi dirinya.
11. ”Aku hanya membawa sebagian masa lalu itu. Sebagian lagi, aku datang
dengan sayap yang menerbangkan aku jauh ke depan…” katanya penuh
makna.
12. Percik Melayu masih membalut hati pualamnya.
13. Butir-butir air mata perempuan menepi di antara kelopak.
14. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu diembuskan angin.
15. Bagai tempias gerimis, butir air mata itu menyelam di genangan bola
mataku yang terdedah sedari tadi.
16. Perjumpaan kami hanya lewat bunyi, keheningan, dan nafiri rindu. Setiap
waktu kami saling berkabar lewat batin. Atau, puisi yang mengalir
lembut di nadi-nadi perasaan.
17. Air mata kami bergumul di bola mataku. Hangat dan diam.
18. Aku hanya seorang anak belia yang mudah memalingkan diri dari siapa
saja.
19. Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis
kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.
20. Baru kusadari betapa aku telah lama membenamkan mimpi-mimpi di
ceruk jiwa yang terdalam. Betapa jauh aku bisa mengapungkan mimpi-
mimpi itu kembali.
21. Ia menghitung helai demi helai uban di belantara rambutku yang terasa
kian jarang. Jemarinya yang lembut terasa membelai-belai. Walau tak
pernah dibisikkannya padaku jumlah uban yang sudah dihitungnya, tapi
tatap matanya di kegelapan itu menyiratkan sesungguhnya aku sudah
begitu tua.
22. ”Aku benar-benar merasa terbang di awang-awang. Sudah lama aku tak
merasakan terbang setinggi ini…” katanya mengalir begitu saja.
23. Perempuan itu bagai burung dengan sayap sebelah terbang jauh. Kembali
ke tanah perantauannya. Sedang aku hanya sepotong ranting kayu yang
harus tegar berdiri di kampung halaman di bibir pantai. Hari-hariku
adalah deru ombak yang pecah di pantai yang keruh.

b. Majas Personifikasi
1. Kusaksikan segenap alam yang mengepungku disesaki bayang-bayang
lembayung.
2. Aku menangkap jemarinya yang masih lembut.

c. Majas Dipersonifikasi
1. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang
mengantarkan dirinya padaku.
2. ”Tidak lagi utuh. Bagai burung, sayapku sudah patah sebelah. Bagai
awan, sejuknya telah berderai-derai. Bagai angin, terpaannya tak sesakal
dulu…” ucap perempuan itu bermadah.
3. ”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung,
kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”
4. ”Masih seperti itu. Selalu begitu. Aku bagaikan garis datar saja. Tak
pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…”
5. ”Tapi, kau pun adalah telaga bening yang sudah lama tak mampu
kutimba. Telagamu begitu dalam, dasarnya begitu jauh…” balasku begitu
saja.

d. Majas Metafora
1. Kupetik sehelai awan pagi ini.
2. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu.
3. Tapi, masa lalu itu telah membancuhnya jadi kepingan-kepingan sejarah
dan kata-kata yang tersisa.
4. ”Apa kau datang memintal semua masa lalu itu?” Ia menggeleng.
5. Kemolekannya memukauku kembali.
6. Perjumpaan kami hanya lewat bunyi, keheningan, dan nafiri rindu.
7. ”Kata-katamu selalu menjelmakan aku jadi puisi tak berbingkai….
Terdedah begitu saja…”

e. Majas Simile
1. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan
mesra.
2. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang
mengantarkan dirinya padaku.
3. ”Tidak lagi utuh. Bagai burung, sayapku sudah patah sebelah. Bagai
awan, sejuknya telah berderai-derai. Bagai angin, terpaannya tak sesakal
dulu…”
4. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang
menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.
5. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang
sesukanya.
6. Aku bagaikan garis datar saja.
7. Perempuan itu bagai burung dengan sayap sebelah terbang jauh.

Anda mungkin juga menyukai