Anda di halaman 1dari 149

ANAK ARLOJI

Kurnia Effendi

1
Judul Buku: Anak Arloji

Copyright © 2010
Kurnia Effendi

Penyunting:
Endah Sulwesi

Perancang Sampul:
M. Iksaka Banu

Cetakan Pertama

Diterbitkan pertama kali oleh


Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN:

UU RI No.19/2002 tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan
menurut peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Sanksi Pelanggaran
Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau pasal 49 Ayat
(1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta
atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2
ANAK ARLOJI
Kurnia Effendi

- tak pernah ada kado terlambat untuk ulang tahunku kesetengah abad

3
TEMALI RASA

DEBAR hati tetap terasa sewaktu hendak melahirkan himpunan cerita pendek ini.
Oleh berbagai sebab, tentu saja. Sekumpulan cerita pendek yang sejak lama mengendap
sebagai manuskrip ini seperti mendapat gairahnya kembali untuk hadir kepada sidang
pembaca dengan aneka selera. Kepada seluruh sahabat pendukung, saya mengucapkan
terima kasih.
Bekerja sendiri untuk menyiapkan naskah barangkali sebuah idealisme. Namun
menyertakan seorang sahabat yang memahami rasa bahasa, lantas meminta bantuannya,
adalah idealisme yang berbeda. Untuk antusiasme dan keringantanganan Endah Sulwesi,
sang penyunting, saya mengucapkan terima kasih.
Entah mengapa, khusus untuk kumpulan cerita pendek ini, saya menghendaki
seorang penyair yang memandang dengan caranya sendiri. Saya memilih Joko Pinurbo,
pembuat puisi paling berbakat pada angkatannya, yang tinggal di kota pelajar
Yogyakarta. Reaksi pembacaannya demikian membumi, sederhana, dan saya tak perlu
terlalu tersipu. Kepada sahabat yang (aduh!) sangat menggemari rokok itu, saya
menyampaikan terima kasih.
Selanjutnya banyak jasa yang bergeriap sepanjang karier kepenulisan saya di
media massa, diam-diam telah turut memperkaya portofolio yang tak seberapa ini.
Mereka tak lain: Nirwan Dewanto (Koran Tempo), Bre Redana (Kompas), Edy A.

4
Effendi (Media Indonesia), Irwan Duse (Matra), Triyanto Triwikromo (Suara Merdeka),
Ami Herman (Suara Karya), Belinda Gunawan (Femina), dan Jamal D. Rahman
(Horison). Kepada para redaktur sastra dan fiksi itu, saya menyampaikan terima kasih.
Saya jarang pasrah kepada penerbit dalam menentukan rancangan sampul buku.
Pun kali ini. Meski gagasan saya belum tentu yang terbaik, setiap kali saya ungkapkan
kepada Iksaka Banu, disambut dengan perasaan terbuka. Bukan itu saja, melainkan
dipikirkannya untuk diwujudkan dalam sebuah desain. Kami biasa duduk berdua di depan
layar kaca monitor komputer, berlama-lama, membicarakan gagasan gambar seolah
paling penting dari seluruh urusan buku. Kepada sahabat satu almamater yang sangat
sabar menghadapi kecerewetan saya itu, terima kasih saya curahkan.
Disadari atau tidak, dalam lingkaran terdekat saya ada sebuah keluarga. Dari sana
sebagian inspirasi bersumber. Terima kasih yang dalam saya ucapkan untuk Najma
Amtanifa dan Afif Saifi Hirzan (mutiara jiwa) beserta ibu mereka, Ratu Ade Wazna;
orang tua yang dekat maupun jauh, beserta adik-adik dengan doa mereka masing-masing.
Rupanya jodoh juga berlaku bagi sebuah atau sejumlah karya prosa berjenis
cerpen ini. Saat meminta Anton Kurnia untuk memberikan testimoni atas cerpen-cerpen
saya, tak sekadar memberikan apresiasi: "Cerpen-cerpen Kef memukau tak hanya dengan
kekuatan diksi yang acap liris membius, tapi juga dengan intensitas yang terjaga. Dalam
kumpulan ini, pembaca akan menangkap nuansa magis selain aroma cinta yang melekat
sebagai ciri karya-karya Kef selama ini. Buku ini adalah penanda usia setengah abad
yang menunjukkan kematangan seorang pendongeng setia.” – bahkan berniat
menerbitkannya. Setelah kini jadi buku, melalui proses yang sungguh kemistrial, saya
sampaikan terima kasih mendalam.
Tak mungkin tersebutkan secara rinci para sahabat dan sejumlah pembaca yang
konon merindukan buku fiksi saya. Walaupun demikian, mereka telah menjadi serat
temali rasa dalam perjalanan saya. Termasuk di antara mereka: Alex Komang, Happy
Salma, Leila S. Chudori, dan Triyanto Triwikromo yang menyempatkan diri memberikan
endorsement. Jauh sebelum itu, sahabat Yusi Avianto Pareanom pernah memberi andil
meluweskan cerpen-cerpen saya Setulus hati saya sampaikan terima kasih. Tanpa
pembaca, saya tentu seorang pengarang yang kesepian. Bahkan, barangkali akan
melangkah tanpa arah.

5
Di pengujung uluk salam ini, dengan segenap keyakinan, saya bersyukur kepada
Allah SWT, atas sepercik talenta yang dicurahkan dari sumber cinta-Nya kepada saya.
Untuk semua yang tak mungkin saya bayar dengan sepadan, saya tak ingin kehilangan
pegangan.

Oktober 2010 - Januari 2011


Kurnia Effendi

6
DAFTAR ISI

Temali Rasa

1. Noriyu
2. Aromawar
3. Kuku Kelingking
4. Panggilan Sasha
5. Pertaruhan
6. Laut Lepas Kita Pergi
7. Kamar Anjing
8. Tetes Hujan Menjadi Abu
9. Sepanjang Braga (versi kelima)
10. La Tifa
11. Wangi Kaki Ibu
12. Anak Arloji
13. Penggali Makam
14. Jalan Teduh Menuju Pulang

Kata Pembaca oleh Joko Pinurbo


Proses Kreatif Kurnia Effendi
Sumber Karangan
Biografi Singkat Kurnia Effendi oleh Sunu Wasono

7
NORIYU

AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras dan mengetuk bidang
kayu warna cokelat tua. Ia terpana di tanah berumput, memandangku dengan mata tak
berkedip. Celana krem dengan blus berbahan kaus warna putih yang memiliki bordir di
bagian belahan dada mengesankan rona pucat. Sementara langit kelabu di belakangnya
menunjukkan suasana muram.
Lalu turunlah hujan.
Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak dari tempat semula.
Tidak tampak mengejutkannya, seperti telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa
mendung di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya sebentar tengadah
dan beribu titik air menyiramnya. Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya.
“Ayo, naiklah!” kataku. Aku berdiri di tengah sepasang daun pintu yang terbuka
lebar. Ada embusan angin basah yang bertemperasan menempuh tubuhku.
“Kamu ingin aku naik ke beranda?” Ia bertanya seperti tak yakin.
“Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku mengingatkanmu.”
Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur hujan tampak lucu.
Menggemaskan.
Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan. Kakinya, mulai dari yang
kanan, sebagaimana diajarkan oleh orangtuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak

8
tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh tujuh tahun. Tapi buah dadanya
cukup memprihatinkan: tak melampui besar buah apel malang.)
Kaki kirinya menginjak tangga kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya
beberapa sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi yang kuhirup dari parfum
yang mungkin tetap lekat di serat pakaiannya.
“Namaku Noriyu,” ia memperkenalkan diri.
“Aku sudah tahu.”
“Maksudmu?”
“Aku sudah tahu namamu Noriyu.”
Kembali sepasang ujung alisnya saling mendekat tanda sejumlah pertanyaan
terhimpun di keningnya. Tapi kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan
yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia bisa saja menganggapku
seorang Picasso, yang selalu berucap, “Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum kamu
dilahirkan…” kepada setiap perempuan cantik yang menarik minatnya untuk jatuh cinta.
“Bagaimana kini rupaku?” Dia, Noriyu, mengangkat wajah dan menatapku lurus,
memperlihatkan seluruh paras yang kuyup oleh hujan.
“Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk,” kataku sejujurnya.
“Maksudmu?”
“Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih menggemaskan dalam keadaan seperti
itu. Jika tidak ingin disebut menggairahkan.”
Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang kecewa. Tapi aku tidak menyesal
telah mengucapkan pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam keadaan
terpaksa sekalipun.
“Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain menangis ketika berduka. Lakukan
seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu,” saranku. “Kenapa mesti ditahan di
dalam dadamu yang rapuh?”
“Kenapa kamu mengejekku?” Ia mendorong dadaku dengan tangannya yang juga
basah. Lalu ia masuk ke dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan oleh
tetes-tetes air dari tubuhnya.

9
“Kamu tak ingin melepas sepatumu? Kamu pasti merasa sayang jika sepatu itu
rusak. Ada kenangan tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada Bandung.
Dan…”
“Diaaaam!” Noriyu menjerit dan matanya menyorot tajam kepadaku. “Dari mana
kamu tahu semua itu?”
Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak akan melanjutkan
kegeramannya. Dan seperti yang kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa
peduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang membungkus busa kualitas
tinggi itu. Benar, dia menangis. Kulihat dadanya naik turun, bagai ada pompa yang
bekerja di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang terbalut blus kaus itu, tapi
tak pernah berhasil membuat mereka menggelembung.
Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan, lalu ujung ibu jari kaki
kanannya melepaskan sepatu yang kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah
setiap jarinya yang terintai olehku mulai keriput oleh dingin air yang sempat
merendamnya beberapa saat.
Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai jendela. Kadang-kadang berhias
petir. Tapi tentu ledakan perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu, yang kini
dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana yang terbit dari sudut mata, dan
mana yang bersumber dari ujung-ujung rambut basahnya di pelipis.
“Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain akan membuatmu menjadi
lega, kamu melahirkan satu kisah lagi yang dapat dibagikan kepada teman-temanmu…”
Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang tajam. Tangannya menyeka
pipi dengan kasar. “Kamu ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?”
Aku menggeleng. “Aku hanya mengingatkan. Sejak kamu berjalan dari plaza itu,
sudah tumbuh keinginanmu untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan
yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan mungkin menguap.”
Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan aku tahu, dari sela-sela
jemari kurus itu mengalir air mata. Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu
mencair. Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali.
Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu, dengan membiarkan tidak
mengganti pakaian, tentu akan masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak

10
nyaman. Tapi ia masih cukup peduli dengan daya tahan tubuhnya yang terlukis melalui
semua ukuran minimum.
Sebelum ia melangkah, ia memandangku. “Apa lagi yang hendak kamu katakan?”
Aku tersenyum. “Mandilah dengan air hangat. Lalu menyeduh segelas susu. Itu
akan…”
“… memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang tidak perlu terjadi.”
Noriyu melanjutkan. “Itu aku tahu, karena aku dokter!”
Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin menjadi sahabatnya. Hadir di
saat dia membutuhkan. Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya yang
robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil? Walaupun ia seorang dokter, bukan
berarti hatinya terbuat dari aluminium.
Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata bukan susu hangat) dari
cangkir keramik, yang tampak terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia
membiarkan cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai diraba oleh jari-
jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba sedikit rakus saat makan siang, agar
lengannya lebih berisi? Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan pecah
pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan sama sekali, kecuali mengunyah
mangga muda atau sebutir buah pir.
“Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas. Setelah amarahmu reda, kata-
kata awal itu boleh kamu ganti…”
“Kenapa kamu mengajariku?” Noriyu meradang. “Aku tahu bagaimana aku harus
menulis. Kamu pikir aku siapa?”
“Siapa yang mengajarimu? Aku hanya mengingatkan.”
Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk. “Mungkin sebaiknya kamu saja
yang menulis. Bukankah itu lebih meringankan bebanku?”
“Apakah benar kamu setuju? Apakah kamu ingin aku menceritakan semuanya
tanpa satu adegan pun terlewatkan?” Aku memancing.
“Terserah apa maumu!”
“Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu kedatangannya? Atau langsung dari
setiap jalan pikirannya yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan perdebatan
sengit?”

11
Air mata perlahan-lahan meleleh di pipinya. Di pipi Noriyu yang mulai cekung,
padahal pagi tadi masih tampak bulat.
“Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang? Atau agar lebih menarik,
justru dibuka dengan kejadian ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu
serahkan secara manis, tapi berubah dengan–bahkan–melepas cincinmu? Ya, persis
sebelum kamu dengan setengah berlari meninggalkan kafe…”
Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya. Matanya terpejam, seperti
yakin pelupuk yang terkatup itu sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari
dalam hatinya. Lalu ia berteriak: “Diaaaaam!”
Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguh-sungguh sepi, karena masih
terdengar desis gerimis di luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu,
waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau sudah sore?
“Siapa sebenarnya kamu?!” tanya Noriyu lantang. “Dan apa maumu?!”
Aku tersenyum sabar. “Aku hanya ingin menjadi sahabatmu. Aku akan
menghalau seluruh temperamenmu yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan
menjaga perasaanmu yang paling rapuh.”
Noriyu menggeleng. “Aku tidak mengerti…”
“Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti aku tahu siapa kamu
sesungguhnya.”
“Siapa namamu?”
“Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku.”
Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat. Lalu terdengar suaranya
perlahan, pertanda emosinya reda. “Kamu laki-laki atau perempuan?”
Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti tahu, aku laki-laki atau
perempuan. Dia sangat tahu, aku adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat
perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya. Aku yakin dia
tahu.

***
(untuk Nova Riyanti Yusuf)
Jakarta, 23 September 2005, 22.00 –23.54

12
AROMAWAR

LEWAT tengah malam, lelaki itu turun dari ranjang. Gerakannya yang ringan tak
sampai mengusik perempuan yang sedang tidur telentang tanpa busana. Dengkur
halusnya mengisyaratkan untaian perjalanan mimpi yang lembut, memagut perasaannya
yang jauh mengembara. Lelaki itu menatap dengan mata teduh, mata yang mengalirkan
kerinduan. Tapi, ia memang tak bermaksud membangunkannya.
Gorden pada jendela kaca sengaja disingkap, agar wajah rembulan dapat terlihat
jelas. Bola gading itu melayang dikelilingi serpih awan. Cahayanya memendar, membuat
atap-atap rumah tampak berkilat. Dan sebagian semburatnya memasuki kamar puri di
lantai tiga melalui jendela.
Lelaki itu tersenyum, memandang bayangan postur tubuhnya yang bugil di
dinding. Sedikit piuh. Hitam perkasa.
Dari saku jubahnya yang tergantung di puncak tiang ranjang, lelaki itu mengambil
sekuntum mawar segar. Tampak setiap kelopaknya masih berlumur embun. Ia
meletakkan mawar merah itu penuh kasih sayang di atas pusar perempuan yang tetap
pulas, dengan komposisi yang begitu indah dilihat.
“Aku harus pergi, Marchy. Happy birthday.” Ia berbisik di telinga perempuan itu,
yang sebagian tertutup rambut. Pipinya tampak kemilau oleh cahaya bulan.

13
Selanjutnya, satu per satu pakaiannya dikenakan kembali. Dan yang terakhir: ia
memasukkan tubuhnya ke dalam jubah hitam, yang memiliki kerah tegak seperti bibir
piala. Sejenak ia memperhatikan noda merah yang memercik di bawah pusar perempuan
itu. Dengan kesungguhan, ia merendahkan wajahnya dan menjilat setiap tetes merah yang
tersisa. Mengisap sampai pori-pori yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Sejenak perempuan
itu menggeliat, semata menggeliat. Ah, lelap benar tidurnya. Lelap dalam buaian sihir...
Kemudian lelaki itu menegakkan badan, merapikan kancing-kancing jubahnya, sebelum
membuka jendela dan melayang pergi.
Kini angin pun masuk dengan bebas melalui tingkap yang terbentang. Kini suara
kerisik daun-daun pohon yang ujungnya melampaui atap puri itu mulai terdengar hingga
ke dalam. Kini hawa dingin mulai mengisi relung-relung kamar yang sebagian gelap
sebagian terang. Kini… bulu mata perempuan itu bergetar!
Ketika sepasang matanya terbuka perlahan, tidak lagi dia temukan laki-laki yang
tadi menemaninya tidur. Ia hendak bangun dengan mengandalkan sepasang sikunya
untuk menahan tubuh, tapi tenaganya lenyap. Ia merasakan badannya lemas luar biasa.
Seolah telah berlari beberapa kilometer tanpa henti. Tapi aneh, ia tidak mendapatkan
tubuhnya basah berkeringat, kecuali titik-titik mirip embun yang berkerumun di dahi dan
sekitar leher.
Ia pun kembali meletakkan kepalanya di atas bantal. Telentang. Telanjang. Dalam
cahaya minimalis, ia saksikan dadanya naik turun. Dan terkejut saat matanya memergoki
sekuntum mawar merekah di atas pusarnya. Seperti lekat dengan daging perutnya yang
halus langsat. Seolah-olah tumbuh, dan akarnya bersarang dalam usus melalui ceruk
pusar.
Kelopaknya bergetar oleh angin yang berembus dari lubang jendela. Dibiarkannya
bunga rekah itu tergolek, tampak berseri dipandang dari celah payudaranya.
“Prince, di mana kamu?” Mata perempuan itu mencoba menelisik setiap relung
kamar puri. Sebuah ruang tidur yang remang, karena sebagian besar lampu dipadamkan.
Digantikan dengan sinar bulan yang menerobos jendela. Sisi-sisi benda yang
mendapatkan tatapan rembulan memantulkan warna keemasan. Termasuk sisi tubuhnya
yang menentang jendela, mulai dari pelipis hingga mata kaki: membentuk kontur kemilau
berwarna emas.

14
Sesekali terdengar suara mobil melintas, jauh di bawah, di jalan pegunungan yang
lengang. Perempuan itu pun sadar, bahwa kini ia sendirian dalam kamar yang memiliki
langit-langit tinggi. Ia mencoba mengingat kejadian yang telah membuat tulang-
belulangnya terasa luluh-lantak. Tangannya meraba sepasang bukit di dadanya, adakah
yang memar? Jemarinya turun ke perut, dan menyentuh setangkai mawar basah, yang
tidak diketahui sejak kapan terletak di situ. Diambilnya bunga itu dan didekatkan ke
hidungnya. Seiring alun napasnya, ia pun menghirup wangi bunga itu. Hmm… aroma
yang benar-benar dikenalnya! Inilah aroma sayup kembang ros yang telah membiusnya.
Yang membuatnya mabuk kepayang dan hilang kesadaran. Tak hanya kehilangan daya
pikir, tapi juga berhasil melepaskan seluruh tali kendali nafsunya.
Ketika terisap aroma itu ke dalam rongga hidungnya, ke kisi-kisi peparunya, ia
seperti memperoleh tenaga untuk bangkit. Tenaga yang berasal dari pikiran dan serta-
merta menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Seperti ada gemeretak pada setiap sendi
yang ia gerakkan. Lalu samar-samar kenangan beberapa jam yang lalu terbongkar dari
ingatannya.

ADA seorang lelaki setampan pangeran dalam komik kisah-kisah karya Hans
Christian Andersen, yang tak disangka-sangka berdiri di teras balkon kamarnya. Cahaya
temaram membasuh sisi jubahnya, yang sebagian menjuntai di balik pagar pelindung
yang terbuat dari jeruji besi tempa. Purnama baru saja terbit, melayang rendah seolah
berangkat dari rekah bumi gelap di bawah sana. Cahaya bulan yang menyemburatkan
warna tembaga meletakkan gelap terang seperti sebuah lukisan.
“Siapakah kamu?” Perempuan itu curiga.
“Aku Pangeran Rembulan.”
Kening perempuan itu berkerut. Ia semakin merasa sedang memasuki wilayah
sebuah dongeng. “Seumur hidupku, baru kudengar nama itu. Meskipun itu nama yang
indah, rasanya tak pantas untuk seorang laki-laki.”

15
“Apakah nama rembulan hanya untuk perempuan?” Lelaki itu tersenyum.
“Apakah karena rembulan sering disebut Dewi Malam? Atau lantaran wanita semata
yang mengalami ‘datang bulan’ dan ‘terlambat bulan’?”
Perempuan itu terperangah, namun pandangan matanya membenarkan.
“Jika demikian, akulah kekecualian itu,” lanjut lelaki itu.
“Maksudmu?”
“Sesuatu yang unik selalu berbeda dari biasanya. Anomali. Aku tak sama dengan
lelaki lain. Aku bukan Pangeran Matahari atau Dewa Surya. Aku Pangeran Rembulan
yang berkelana hanya setiap malam purnama.”
Senyum itu, wahai, begitu memesona. Seolah menebar tenung yang membuat
setiap perempuan diam tertegun, atau boleh jadi mati berdiri. Tetapi, sesungguhnya
perempuan itu memiliki semacam keangkuhan yang tak hendak luntur begitu saja di
depan seorang lelaki. Bagaimanapun dia termasuk perempuan penakluk!
Dia pernah menjadi Ratu Malam, yang mengalahkan sekian puluh perempuan lain
di sebuah pesta dansa. Dialah perempuan yang senantiasa mengangkat dagunya lebih
tinggi saat berjalan di tengah keramaian, karena semua mata laki-laki tersedot
menatapnya, bagai lepas dari kelopak masing-masing.
Apakah dia rela dengan begitu mudah terkesima terhadap laki-laki yang datang
tak diundang ini?
Harga dirinya bangkit. Ia pun melangkah mendekat dengan harapan: niat buruk
pemilik nama Pangeran Rembulan itu goyah. Ya! Siapa pun yang hadir dengan cara tidak
sopan tentu memiliki maksud jahat.
Angin yang menggeriapkan juntai jubah lelaki itu mengirim irama senandung dari
kejauhan. Sayup terdengar musik orkestra dengan lengking sopran seorang penyanyi
yang menyayat kalbu. Perempuan itu heran, karena ia tak memiliki tetangga kecuali di
seberang kebun, jauh terlindung pepohonan.
“Siapa namamu, Cantik?”
“Kamu tidak perlu tahu namaku. Seorang tamu, seharusnya memiliki setidaknya
sedikit data mengenai alamat yang dituju…”
“Percayalah, aku punya iktikad baik. Aku memang tidak tahu namamu, tetapi aku
tahu kamu hari ini ulang tahun.”

16
Astaga! Hampir perempuan itu terlonjak kaget. Pernyataan itu benar. Tapi kali ini
sengaja tak ingin dirayakan, setelah setiap tahun ia mengadakan pesta ulang tahun yang
meriah dan gemerlapan. Malam ini dia ingin bersunyi-sunyi di puri. Malam ini ia sengaja
meninggalkan rumahnya di pusat kota yang selalu meriah dengan cahaya lampu dan deru
kendaraan, menggantikannya dengan suasana tenang di puri ini. Sesekali saja kendaraan
lewat, dan itu pun mobil-mobil yang mungkin tersesat karena bingung memilih jalan dan
tempat bermalam sejak memasuki gerbang ke perbukitan tiga kilometer di depan.
“Siapa yang memberi tahu kamu…?” Akhirnya perempuan itu menyerah. Ia tetap
waspada untuk hal-hal yang tak terduga selanjutnya, namun ia tak hendak melakukan
perlawanan yang mencolok.
“Aku diberi kabar oleh seekor burung malam. Kebetulan sekarang malam
purnama, waktu yang tepat bagiku untuk mengembara menemui para kekasih.” Lelaki itu
tertawa perlahan. “Lihatlah cahaya yang begitu benderang, tak ada awan dan hujan. Ini
malam yang banyak dinanti-nantikan kaum perawan.”
“Kamu pasti bermaksud mempermainkan aku, bukan? Apakah kamu seorang
pencuri? Akan kuusir kamu pergi dari sini!”
Lelaki itu kembali tertawa. “Kamu hendak mengusir seorang pencuri hati?”
“Jangan kurang ajar! Aku bisa teriak dan beberapa Satpam akan datang sekaligus
untuk meringkusmu!” Perempuan itu demikian geram. Tapi juga bimbang dengan niatnya
itu. Apalagi lelaki yang mengaku bernama Pangeran Rembulan itu tetap tenang, diam di
tempatnya.
Dan yang membuatnya jatuh terkesima adalah wajah tampannya. Wajahnya
seperti terbuat dari tepung pualam. Dengan hidung yang memesona. Terutama ketika
tersenyum. Perempuan itu memang geram, lantaran kesunyiannya terganggu. Ia merasa
sia-sia jauh sembunyi ke tempat ini. Ternyata ada seorang lelaki asing yang tersesat ke
kamarnya.
Sungguh lelaki itu memiliki kekuatan terselubung. Semacam energi yang
tersimpan di balik ketenangannya. Bahkan kemudian ia mengangkat tangan kanannya,
sehingga jubahnya ikut terkembang dari bahu ke sikunya. “Aku bisa terbang, Sayang.
Jadi percuma kamu memanggil polisi sekalipun.”

17
Terbang? Jangan-jangan dia seekor vampir! Atau tukang sihir? Perempuan itu
bergidik menahan rasa takut. Cukup beralasan juga kata-katanya, pikirnya. Bagaimana
dia dapat tiba begitu saja di balkon kamar yang tingginya dua belas meter? Pasti ia telah
memasang sayap di kedua bahunya. Tak mungkin tumbuhan rambat yang melata di
dinding itu sanggup menahan tubuhnya jika dia memanjat dari sana.
“Apakah kamu…”
“Pangeran Drakula, maksudmu?” Lelaki itu tersenyum dan sengaja memamerkan
deretan gigi putihnya. “Adakah taring di kedua tepi mulutku?”
“Jadi siapa sebenarnya dirimu?”
“Aku Pangeran Rembulan. Bukankah sudah kubilang tadi?” Lelaki berjubah itu
mendekat. Menghampiri dengan perlahan. “Jangan khawatir. Aku tak pernah berbuat
jahat. Aku selalu mengunjungi para gadis yang sedang berulang tahun, yang jatuh
bersamaan dengan bulan purnama.”
Diam-diam, perempuan itu merasa tersanjung. Sengaja tak seorang pun teman
dekatnya—terutama yang biasa menemaninya menghadiri pesta-pesta tengah malam—
diberi tahu alamat pengungsiannya. Karena dia ingin, ulang tahunnya yang kedua puluh
satu berlangsung hening. Puri berlantai tiga inilah pilihannya untuk menjauhkan diri dari
gemuruh suara pesta.
“Kado apa yang kamu inginkan, Cantik?”
Dalam jantung perempuan itu berdebur ombak. Ada hasrat meletup, yang datang
secara tak biasa. Namun ia berusaha menggeleng. Ia tidak ingin terperangkap bujuk rayu.
Ketika hanya tinggal selangkah jarak antara mereka, perempuan itu tak lagi dapat
melihat sang purnama. Tubuh lelaki berjubah itu menutupi bingkai jendela. Temaram
lampu yang bersumber dari atas kepala perempuan itu menyinari wajah Pangeran
Rembulan. Memantulkan warna tembaga keemasan dari tiap tonjolan di raut mukanya:
sepasang tulang pipi, puncak hidung, ujung dagu, dan permukaan keningnya.
Pualam yang sempurna!
Lalu semerbak harum mawar seperti terembus dari tubuh lelaki itu. Entah dari
bagian mana di antara badannya yang meruapkan aroma puspa itu. Tapi perempuan itu
merasa sedang melintas di tengah kebun bunga ros yang baru mekar secara bersama-
sama.

18
“Tolong jangan sakiti aku…,” bisik perempuan itu. Ia merasa sedang dibius oleh
hawa seribu kuntum mawar. Ia merasa sedang memasuki alam persilatan Tiongkok
klasik, dan bertemu dengan seorang Penjahat Pemetik Bunga. Senyum menawan itu pasti
sebuah jurus yang mematikan seluruh tenaganya. Senyum yang akan menotok jalan
darahnya. Sebentar lagi… sebentar lagi, pasti melayang kesadarannya!
Dan, itulah yang terjadi.
Kesadarannya tak hanya melayang, namun menghadirkan letup gairah yang
memancar dari segala penjuru sarafnya. Sepasang tangannya terangkat dengan jemari
gemetar: seperti hendak menolak tubuh yang merapat, namun tak kuasa. Kini ia rasakan
embusan napas seorang pejantan. Ia melihat gerakan terlatih seorang lelaki yang akan
segera menaklukkan perlawanannya.
Lalu sebuah diorama fantasi mekar di benak perempuan itu. Ia terpejam, undur
sejengkal, dan pangkal betisnya melanggar tepian ranjang. Tak terhindarkan lagi, ia
terjatuh telentang di atas kasur yang lembut. Kelambu tipis berwarna putih serupa kabut
bergelombang oleh tiupan halus angin malam. Sepasang tangannya mencoba meraih
ujung seprai, merengkuh bantal. Tapi upayanya sia-sia.
Tenaga yang terkandung dalam tubuhnya, di hari-hari biasa, akan sanggup
mempertahankan staminanya untuk mengikuti three nights nonstop party. Tapi kali ini, ia
mirip buah jeruk yang terpanggang terik matahari. Perempuan itu mulai cemas. Namun
sekaligus terangsang. Sungguh aneh. Perasaannya seperti meluncur pada tebing es
menurun. Tergelincir!
Dalam pejaman matanya ia merasakan ada semacam cahaya bianglala yang
menjadi latar panorama perjalanannya menuju ke kedalaman jurang. Seluruh bulu halus
di tubuhnya meremang, di beberapa tempat terasa menegang, bahkan ia kemudian mulai
mengerang.
“Tolong jangan sakiti aku...,” bisik perempuan itu kembali. Sementara ia telah
kehilangan orientasi, ketika seluruh busananya terlepas dan melayang ke bawah ranjang.
Sepanjang waktu yang berlalu, terngiang sayup suara musik orkestra, dengan peralihan
nada yang beranjak semakin cepat. Semakin cepat. Semakin cepat. Dan semakin lenyap
ambang kesadarannya.

19
Darahnya seperti tersirap. Teluh yang hangat telah membuatnya terkulai dan
berantakan. Sementara kelambu transparan itu melayang bergelombang. Menebar lebih
lebar aroma kembang ros ke seluruh sudut kamar.
Hampir di ujung lelap, telinganya masih menangkap suara lelaki itu: “Selamat
ulang tahun, Marchy. Itulah nama yang tepat untukmu. Si Cantik yang lahir di bulan
Maret.” Dan lelaki itu berbaring di sisinya. Matanya menatap langit-langit yang tinggi.

PERLAHAN-lahan perempuan itu mulai sanggup mengangkat tubuhnya dan


duduk bersila di atas ranjang. Kuntum mawar yang luruh ke atas seprai merontokkan satu
kelopaknya. Seperti cecak yang memutuskan ekornya, ketika bermaksud melarikan diri
dari jerat bahaya.
“Tapi aku sudah terlepas dari perangkap. Pantaskah aku merindukannya suatu
ketika?” keluhnya.
Dan ketika mencoba bangkit berdiri, tubuhnya terasa luluh-lantak. Ia menyeret
langkah ke ambang jendela. Ia tahu tak akan menemukan apa pun di balkon yang terang
oleh cahaya bulan itu, tapi mungkin bisa mendapatkan hawa segar yang akan
mengembalikan seluruh tenaganya. Angin berembus, mengayunkan juntai gorden.
“Apakah peristiwa ini perlu kuceritakan kepada teman-temanku?” Perempuan itu
merasa dirinya terbang ke serambi awan.
Tentu saja tidak! Sepanjang pengalamannya, tak pernah dia menjadi pecundang.
Setiap pamit dari pesta, panggung tempatnya tercurah cahaya, selalu ada mobil mewah
yang menunggu dengan pintu dibukakan oleh seorang lelaki berdasi kupu-kupu. Setiap
dia merebahkan diri di atas sofa dengan kedua kaki terjulur, selalu ada sepasang tangan
lelaki yang cekatan melepas stocking pembungkus tungkai rampingnya. Ia akan tetap
terlena dengan leher jenjang terbuka. Setiap mendekati bar sebuah kafe, selalu ada piala
terangsur dengan harum margarita. Dan seperti biasa, dia akan melangkah dengan dagu
terangkat tinggi.
Tetapi: malam ini dia merasa teperdaya!

20
Di tepi balkon, tubuhnya yang semampai kedinginan oleh embusan angin pukul
dua dini hari. Dengan masih telanjang, ia menyeret langkahnya kembali ke kamar. Daun
pintu dan jendela kaca yang terbuka kini ditutup, namun tidak menghalangi sulur-sulur
cahaya bulan memasuki kamarnya, membuat lantai marmer berkilauan. Perempuan itu
menjatuhkan tubuhnya kembali di atas ranjang yang berayun sejenak. Di atas seprai yang
tepercik noda-noda anggur merah.
“Bahkan dia telah ceroboh menumpahkan minuman yang sengaja kusimpan
selama beberapa tahun…” Ia tersenyum, namun air matanya berlinang dan meresap ke
permukaan bantal yang dipeluknya. Tubuhnya serasa baru lepas dari uap sauna.

TELINGANYA menangkap musik sayup. Ia membuka kelopak matanya dengan


berat. Tak hanya kantuk yang telah membuatnya tertidur tak tentu waktu, melainkan juga
kenikmatan yang luar biasa. Bunyi musik itu terdengar berulang-ulang, dan ia
mengenalnya sebagai suara dari telepon selulernya.
Tangannya mencoba menggapai benda mungil yang entah sejak kapan berada di
bawah tempat tidur, hampir tertutup pakaiannya yang berserakan. Hari telah lewat pagi.
Sinar matahari menyiram lantai balkon, memantulkan terang ke dalam kamar.
“Halo...?”
“Marchy.” Suara perempuan di seberang. Suara yang dikenalnya. “Selamat ulang
tahun. Gila! Aku mencarimu ke mana-mana. Tak seorang pun tahu di mana kamu berada.
Bahkan semalaman aku tak pernah berhasil meneleponmu. Kukira, di kutub pun ada
sinyal.”
“Oh, sorry, Reyna. Aku… aku…” Perempuan itu bahkan merasa terperanjat
dengan suasana kamarnya.
“Kenapa, Marchy? Apakah kamu sakit?” Reyna di seberang mendadak cemas.
“Tidak, Rey, kukira hanya lelah.”
Ah, apakah perlu kuceritakan peristiwa semalam? Perempuan itu merasa
bimbang. Sebelum memutuskan untuk merahasiakannya kepada siapa pun.

21
“Aku sebenarnya hendak memberimu kado. Satu-satunya yang pasti belum kamu
miliki…”
“Apakah itu?” Perempuan itu menantang. Ia berani bertaruh, tak seorang pun
temannya berhasil membuatnya terpana.
“Aku percaya kamu memiliki lebih dari seratus merek parfum terkenal. Tapi pasti
belum punya yang ini,” kata Reyna yakin. “Semalam aku hadir pada acara launching di
Fashion Café. Acaranya luar biasa, karena penciptanya turut hadir dengan jubah seperti
sang pengembara malam. Dia menyebut dirinya Pangeran Rembulan…”
“Reyna, apa maksudmu…” Perempuan itu tergeragap.
“Ya, sungguh memesona! Seolah-olah aku sedang menyaksikan sebuah
pementasan di Broadway. Di tengah panggung dia siapkan sebuah ranjang dengan
kelambu tipis yang berkibar-kibar. Dia katakan, bahwa parfum ini sengaja diciptakan
untuk para pencinta, kaum asmarawan. Untuk membuat sebuah malam percintaan tak
akan terlupakan oleh setiap pasangan…”
“Reyna, aku tak mengerti apa yang kamu ceritakan!”
“Aku membeli produk perdana itu untukmu. Untuk ulang tahunmu, Marchy!
Apakah kamu ingin tahu nama parfumnya?”
Perempuan itu menggeleng. Tapi kemudian sadar, Reyna tak akan melihatnya. Ia
menganggap sahabatnya sedang mengigau. Bagaimana mungkin Pangeran Rembulan…
“Namanya Aromawar!”
Degup jantung perempuan itu seolah sejenak terhenti. Lalu ia meletakkan telepon
selulernya jauh dari telinga. Ia biarkan Reyna mengoceh. Ia tak ingin mendengarnya lebih
lanjut. Ia ingin menepati janji untuk tidak menceritakan peristiwa semalam. Kepada siapa
pun. Tolong jaga rahasia ini!

***
Jakarta, 2 Februari 2005

22
KUKU KELINGKING

HAMPIR setiap pagi rumah itu heboh oleh suara seorang ibu yang memaksa
anaknya sarapan. Lengkingannya bergema memantul-mantul ke setiap dinding, sampai
akhirnya terlontar ke luar melalui jendela yang terbuka. Uap mulut yang panas itu
berhamburan, saling selinap dengan aroma wangi bunga yang berembus dari kebun.
Dengarlah: “Bobby! Bobby! Bobbyyyyyyyyyy!!!”
Anak laki-laki berumur lima tahun, kurus kerempeng, melangkah tanpa suara, dan
mendadak berada di belakang pantat ibunya. “Ada apa, Ma?” Jawaban serupa bisik itu
menandai kehadirannya, dan baru diketahui ketika ada jeda pada lolongan sang ibu.
“O, rupanya kamu di sini. Sudah mandi?” Suara ibunya berubah lembut. Bibirnya
tersenyum. Otot-otot yang semula tegang di sekitar leher pun mengendur. Namun gema
raungannya masih bersipongang ke relung-relung ruang. Karena rumah itu sepi, setelah
Ayah berangkat ke kantor dan kedua kakaknya melangkah ke sekolah.
Bobby hanya mengangguk, seraya menatap paras ibunya. Ia selalu terpesona pada
wajah sang ibu, yang menurut para tetangga: keturunan bidadari.

23
“Tidak mungkin,” sergah Bobby, ketika pembicaraan mengenai ibunya itu santer
di rumah kawannya. “Aku punya foto Nenek, juga foto Mama waktu kecil, tak ada di
antara mereka yang memiliki sayap.”
“Bidadari tidak selalu memiliki sayap,” kata ayah temannya.
“Tidak perlu ikut-ikut membicarakan nyonya sebelah!” protes istrinya, cemburu.
Untung Bobby masih lima tahun. Tidak terpikir olehnya, bahwa setelah dia
pulang, suami istri itu bertengkar hebat. Hanya karena sang suami kembali mengusik
dengan kesaksian: “Bu, lihatlah kuku kelingkingnya. Ada cahaya keemasan, yang
membuat aku yakin dia termasuk…”
Pipi sang suami ditampar dengan perasaan mendidih. “Hebat! Sampai hati kau
memperhatikan kuku kelingkingnya. Jangan-jangan…” Bisa diperkirakan hamburan
kalimat berikutnya yang mirip letupan seuntai petasan. “Perang” meletus diawali letik api
tentang kuku kelingking. Tapi Bobby sudah tidak tahu lagi, sebab ia sudah berada di
rumah, tenggelam dalam permainan video game. Ia akan lupa makan siang, lupa makan
malam, lupa makan pagi berikutnya.
Dan seperti yang berlangsung setiap hari, ibunya akan melengking-lengking
memanggil Bobby untuk makan. Sekadar sesuap-dua, atau mengunyah buah, ngemil kue,
dan banyak alternatif kudapan yang mungkin menarik minatnya. Tapi, selera Bobby tak
tersentuh. Untuk menenteramkan hati ibunya, ia hanya meneguk segelas susu.
Banyak cara telah dilakukan ibunya, dengan mencoba resep yang diterbitkan oleh
pelbagai majalah. Sejak yang paling mudah, hingga yang bahannya harus dicari di toko
khusus. Sejak yang manis, asin, pedas, sampai makanan gurih kesukaan anak-anak. Sejak
yang bersantan, menggunakan krim, disiram mayonaise, diguyur sirop, dioles mentega,
ditaburi cokelat atau parutan keju, dicampur susu, sampai dipanggang supaya
merangsang. Bobby tetap menggeleng. Mulai dari kue berbentuk mainan lucu, biskuit
yang meriah bila dikunyah, manisan yang harum, sampai dibacakan dongeng untuk
mengelabui agar mulutnya terbuka ketika disuapi. Uf! Bobby masih juga menggeleng.
Bahkan ayahnya membelikan robot yang bisa memberi makan Bobby, namun akhirnya
barang elektronik itu hanya menjadi penunggu gudang.

24
IBUNYA terperanjat ketika Bobby bertanya: “Apakah Nenek seorang bidadari?”
“Kenapa kamu bertanya begitu?” Sang ibu tersenyum. Berharap percakapan ini
menuntun anaknya pada keinginan makan. Boleh jadi, dongeng-dongeng itu cukup
berkesan bagi Bobby. “Coba tanya Papa, apakah Mama punya ibu bidadari?”
Mata Bobby beralih ke ayahnya, yang nyaris tersedak karena sedang menyeruput
kopi. “Ah, kamu ini!” Ayahnya tergelak. “Kalau benar, berarti Papa seorang Joko Tarub.
Bagaimana mungkin orang biasa seperti Papa menyunting putri bidadari?”
Bobby ikut tertawa. Menunjukkan giginya yang mirip biji mentimun. Bahunya
yang kurus terguncang. Ia mungkin merasakan pertanyaannya itu lucu. Tapi, bukankah ia
masih kanak-kanak? Tentu masih boleh bicara lucu dan tak masuk akal.
“Sekarang makan dulu,” bujuk ibunya. “Nanti Mama mendongeng tentang tujuh
bidadari yang mandi di telaga.”
Bobby hanya menggeleng. “Dongeng dan makanannya buat Kakak saja.” Kedua
kakaknya selalu beruntung, karena jadi “tempat sampah” bagi aneka makanan adiknya.
Bobby memang selalu menggeleng, setiap kali ibunya mengangsurkan piring
berisi penganan. Ia hanya minum susu, itu pun dengan amat terpaksa, dan menuntaskan
isi gelas di bawah tatapan ibunya. Segeram-geram hati ibu, tak mungkin ia menghajar
Bobby untuk mau menyantap makanan. Bisa-bisa nanti jadi urusan polisi.
Sudah banyak dokter dan ahli gizi yang angkat tangan untuk persoalan Bobby.
Upaya mereka telah maksimal, mengatur menu, memberikan sejumlah vitamin, tapi tak
urung menyerah juga. Rasanya akan dianggap keji bila mengusulkan agar Bobby diinfus.
“Yang penting, anak Ibu tetap tumbuh dan sehat. Cobalah tuangkan cairan
vitamin dan nutrisi tambahan ke dalam susunya. Nanti saya bikinkan resepnya.”
“Dokter bilang dia sehat?” Ibunya tersinggung.
“Maksud saya…” Dokter itu terkesiap oleh kilatan cahaya dari kuku kelingking
ibu Bobby. “Maksud saya tidak dalam keadaan sakit. Saya telah memeriksa tulangnya,
cukup kuat. Kalsium dari susu yang diminum sangat membantu pertumbuhannya.”
“Sudahlah,” ujar sang ayah menenangkan perasaan. “Suatu ketika Bobby akan
merasa perlu makan. Dia masih di Taman Kanak-kanak. Saat masuk SD nanti, tubuhnya
akan memerlukan banyak energi, pasti membutuhkan makanan lebih dari sekadar susu."

25
“Ah, pikiranmu selalu pragmatis dan terkesan menghindari persoalan ini…”
“Dengar dulu, Ma. Dokter pun sampai saat ini belum punya jawaban. Tapi Tuhan
tetap memberikan tenaga dan pikiran kepadanya. Dia normal, kan? Tidak lemah mental
dan tidak cacat. Hanya kurus, memang. Kasihan Bobby kalau terus dipaksa.”
Sang istri hanya sebentar merasa tenang. Ucapan suaminya boleh jadi masuk akal.
Tapi, bagaimana mungkin seorang anak yang tidak mau makan dibiarkan saja, meskipun
ia hidup dan selalu bergerak dengan tubuh tipisnya. Sebagai ibu, ia sering merasa malu
mengajak Bobby jalan-jalan. Setiap pandangan mata akan menyiratkan nada cela.
Seakan-akan anaknya sedang dihukum untuk berpuasa sepanjang tahun. Tubuh Bobby
yang nyaris melayang itu amat kontras dengan kebugaran ibunya. Seandainya saja Bobby
terbuat dari kayu, dengan muka jenaka seperti Pinokio, akan berbeda halnya.
Tapi, kini, yang lebih membuat resah Bobby adalah rasa ingin tahunya tentang
asal-usul ibunya. Gunjingan teman-temannya membuat Bobby harus menemukan
jawaban. Ia sendiri tak ingin jawaban, mengapa tak ada selera sedikit pun untuk makan.
Tapi justru teka-teki tentang siapa sebenarnya ibunya yang membuat ia berjanji akan
mulai makan.
“Ma, kapan kita ke rumah Nenek?” tanyanya mendesak.
“Rumah Nenek jauh, melewati laut dan pulau. Nanti kita berkunjung kalau
Lebaran.”
“Bobby kangen.”
“Tentu tidak sekarang. Sekolahmu tidak libur. Papa juga harus ambil cuti, kan?”
Tatapan Bobby kecewa. Namun kemudian ia terbelalak melihat kilau dari kuku
kelingking ibunya. Tangannya segera meraih jemari indah itu. Diciumnya seperti ketika
mau berangkat sekolah. Tapi kini ia berlama-lama memandangi kuku kelingking ibunya.
“Ada apa, Sayang?” Sang ibu heran.
“Kuku jari kelingking Mama bagus,” katanya.
“Itu karena selalu dirawat. Kuku jari-jarimu juga rapi dan bagus. Setiap hari
Minggu selalu Mama potong.” Digandengnya Bobby ke tempat buah-buahan. “Ayo kamu
pilih yang mana? Akan Mama belikan. Tapi harus kamu makan, ya?”

26
Bobby mulai bergidik. Ibunya menyeretnya ke tempat makanan, tapi tak satu pun
membuat mata Bobby bercahaya. Ibunya mulai putus asa dan suaranya terdengar keras.
Bobby bertahan. “Mama, pokoknya Bobby mau makan kalau kita ke rumah Nenek.”
Ibunya berhenti memaksa. Ditatapnya sungguh-sungguh mata Bobby. Dan
akhirnya ia berjanji akan mengatur waktu untuk pergi ke rumah Nenek. Mendengar itu,
alangkah girangnya perasaan Bobby. Ia akan segera mengetahui, apakah ucapan tetangga
dan teman-temannya itu benar? Bahwa Mama adalah anak bidadari.
Hari menjelang keberangkatan, ibunya bermaksud menyiapkan sup. Ia tidak ingin
Bobby masuk angin di perjalanan. Tiket pesawat sudah siap untuk bertiga, sementara
kedua kakak Bobby tidak ikut karena sekolah tidak libur. Dua orang pembantu dipercaya
untuk menjaga rumah sekaligus melayani mereka berdua.
“Nyonya, apakah semua bahan ini akan dibuat sup?” tanya seorang pembantunya.
Dari lemari es dikeluarkan: daging ayam, wortel, kubis, buncis, seledri, telur puyuh,
jagung muda, kentang, makaroni, brokoli…
“Ya, sekalian untuk dua hari. Jadi besok pagi kamu tidak repot masak.”
Dapur terasa meriah karena nyonya rumah yang memasak. Begitu semangatnya
memotong wortel dan sayuran, mata pisau itu mengiris ujung kelingkingnya. Seketika ia
menjerit, matanya terbelalak, dan pisau itu terlempar. Serta-merta tangan kanannya
menggenggam kencang jari terluka itu. Darah mengucur seperti air matanya. Sambil
menahan pedih, ia memanggil pembantu yang menghampiri tergopoh-gopoh.
“Ada apa, Nyonya?” tanyanya ikut panik, melihat wajah majikannya pucat.
“Tolong teruskan pekerjaanku. Kelingkingku terluka.” Bibirnya digigit menahan
sakit. “Lihat, airnya sudah mendidih, bumbu sudah dimasukkan.”
“Baik, Nyonya.” Dengan sigap seluruh bahan sayuran dan potongan daging ayam
itu direbus ke dalam kuah yang bergelembung, tanda telah mencapai 100 derajat Celcius.
Sebentar lagi Bobby pulang dari sekolah. Mudah-mudahan sup itu siap tepat
waktu. Tapi yang lebih penting, kelingkingnya harus segera dibebat. Ia mencari cairan
yodium dan perban. Dan…astaga, alangkah kagetnya ketika genggaman penuh darah itu
dilepas. Rupanya ujung jari kelingkingnya terpotong satu ruas. Ia tidak melihat kuku
kelingkingnya!

27
Ia pun menjadi histeris. Dibebatnya jari kelingking yang kehilangan ruas kukunya
itu, seraya berlari kembali ke dapur. Begitu kalap ia meminta pembantunya untuk
mencari potongan jari di antara daging ayam dan sayur. Namun terlambat. Semua
potongan bahan sup itu telah tenggelam dalam kuah kaldu yang mendidih. Ia terlongong
pias, sementara pembantunya gemetar, tak tahu harus berbuat apa. Ya, apa yang akan
dilakukan dengan–misalnya–sepotong ruas jari yang sudah masak?
“Tolong panggilkan dokter!” pekiknya. Pembantu itu panik namun sigap
melakukan perintah. Lalu membimbing sang nyonya ke kamar untuk beristirahat dan
menunggu. Sementara sup sudah betul-betul matang, siap disajikan untuk disantap.
Di pembaringan, ibu Bobby diterkam perasaan bimbang. Di tengah irama denyut
pedih yang berlangsung pada luka kelingkingnya, ia mulai mempertimbangkan: apakah
sup itu sebaiknya dibuang saja? Atau mencari potongan jari dan menyelamatkannya?
Untung dokter lekas tiba dan menjahit luka kelingkingnya
Akhirnya semua beres persis ketika Bobby datang dari sekolah. Ibunya masih
berbaring di kamar dengan kepala pening. Samar-samar didengarnya suara Bobby dalam
nada gembira. “Wah, harum sekali masakan Mama. Bobby jadi lapar.”
Hampir tak percaya ucapan itu terlontar dari mulut Bobby. Pembantunya seperti
mendapat peluang emas. “Apakah Den Bobby mau makan? Saya siapkan, ya?”
Ia ingat, Bobby pernah berjanji mau makan jika keinginannya mengunjungi
Nenek dipenuhi. Inilah saatnya menagih janji. Betapa gembira ketika semangkuk sup
yang disajikan mendapat perhatian Bobby. Meskipun tidak menyentuh nasi, Bobby
begitu bernafsu menyenduk kuah sup ke mulutnya. Seolah memenangi sebuah
perjuangan panjang, sang pembantu memandang tak berkedip. “Akhirnya mau makan
juga. Syukurlah.” Ia berbisik sendiri.
Ibunya penasaran mendengar kesibukan di ruang makan. Ia bangkit dari tempat
tidur. Tumben, Bobby tidak mencari dan mencium tangannya. Namun pemandangan
yang dilihatnya sungguh menakjubkan. Anaknya mau makan. Bobby menyantap
semangkuk sup penuh semangat.
“Hai, belum ganti baju kok sudah makan?” tegurnya mesra.
“Hai, Mama! Enak benar sup buatan Mama.” Celotehnya riang. Seolah lupa,
bahwa sekian ratus hari ia tidak mau menyentuh makanan, kecuali susu.

28
“Tentu. Ini sengaja Mama masak khusus buat kamu.” Diusapnya kepala Bobby
dengan perasaan terharu. Akhirnya penantian itu mencapai ujung. “Mau nambah?”
Bobby mengangguk. Terlihat olehnya sesuatu yang aneh. “Kenapa tangan
Mama?”
“Ow! Ini… ini tadi terluka.” Tiba-tiba paras ibunya memucat serupa kertas. Ia
teringat sesuatu. Tapi… sekali lagi: terlambat!
“Mama, ini daging apa?” Bobby mengamati sepotong daging yang tersisa di
mangkuk supnya, sementara kuahnya telah tandas. “Mirip ujung jari, ada kukunya. Boleh
dimakan, Ma?”
Mula-mula ibunya terperanjat mendengar ucapan Bobby. Hatinya berdesir cemas.
Kemudian ada rasa mual yang mendesak dalam lambungnya. Kepalanya berputar seperti
lepas dari engsel. Seribu kunang-kunang datang memenuhi matanya. Ia pun menjerit
sekuatnya, sebelum jatuh pingsan : “Bobbyyyyyyyyyyyyy…..!!!”

***

Jakarta, 6 Oktober 2002

29
PANGGILAN SASHA

TAKSI yang kubayar segera berlalu dengan kepulan debu halus di belakangnya.
Kini kutatap sebuah kantor elok yang lebih mirip rumah tinggal. Bentuk bangunannya
unik, estetik, seperti sengaja diciptakan secara khusus oleh perancang yang tinggal di
dalamnya. Aku sudah tahu, karya desain interior mereka telah menjadi langganan para
pejabat dan orang-orang kaya di Bandung maupun Jakarta. Suatu saat nanti aku pun
termasuk salah seorang pengambil keputusan di kantor itu. Ya, dan Sasha akan belajar
mandiri sejak usia tiga tahun! Kenapa tidak?
Seorang gadis cantik melihatku di pintu masuk. Ia resepsionis yang ramah dengan
senyum memikat. Ia berdiri mempersilakan aku masuk ke ruang yang sejuk dan temaram
oleh cahaya lampu kertas.
“Mbak Rosana?” tanyanya hangat.
Aku mengangguk, masih dengan tingkah yang canggung. Mungkin karena
sejumlah keraguan–yang membuatku semalaman kurang tidur–telah turut terbawa hingga
pagi ini. Aku duduk sebagai tamu.
“Saya janji dengan Pak Andy Amron,” ujarku kepadanya.

30
“Ya, saya sudah diberi tahu. Kebetulan Pak Andy sedang rapat di luar, sejak
setengah jam yang lalu. Tapi beliau menitip pesan untuk Mbak Rosana. Sebentar, saya
ambilkan.”
Saat berikutnya, resepsionis cantik itu memberiku map hijau.
“Ada beberapa formulir yang perlu diisi dan dilengkapi oleh Mbak Rosana.
Sebaiknya kita mencari tempat yang lebih terang.”
Dengan cekatan—seolah aku begitu istimewa—ia membuka pintu yang segera
kutahu: itu ruang pertemuan dengan klien. Aku pun masuk ke dalamnya.
“Terima kasih.”
Dia tersenyum. “Mbak Rosana suka minum apa? Dingin atau hangat?”
“Teh manis saja.”
Pandanganku mengitari ruang yang dominan abu-abu. Dua buah reproduksi
lukisan optik karya Victor Vasarelly terpasang di dinding. Di meja sudut terletak
seperangkat LCD projector. Vas keramik dengan tangkai-tangkai sedap malam, berdiri
anggun di tengah meja utama. Impianku akan segera terkabul, pikirku girang. Inilah
ruang tempatku bertemu dengan klien kelak, untuk membahas proyek yang hendak
dikerjakan.
Kubuka map yang berisi formulir untuk calon pegawai. Kudapatkan pesan Mas
Andy di atas kertas memo: “Ana, ini sekadar formalitas untuk arsip personalia kami. Aku
sudah tahu kemampuanmu sejak tingkat III. Apalagi nilai Tugas Akhirmu sangat baik.
Selamat bekerja!”
Aku mulai menuliskan nama ketika seseorang masuk mengantarkan minuman. Di
luar ruang rapat kudengar sesekali telepon berdering. Suara tawa segar yang bersumber
dari studio gambar, diseling kesibukan langkah sepatu. Juga percakapan antara tamu dan
resepsionis. Sungguh kantor yang memiliki suasana kerja dinamis. Namun jauh dari
ketegangan. Mencerminkan semangat kerja yang benar-benar menyenangkan.
Inilah impianku yang sudah berlarut-larut semenjak kesibukan mengurus Sasha
berkurang. Inilah hasil keputusanku setelah berdiskusi cukup lama dengan suamiku,
sebelum dia berangkat tugas ke Surabaya tiga hari lalu. Sebentar lagi tentu akan menjadi
kenyataan.

31
Pikiranku terbawa terbang oleh aroma sayup wangi sedap malam yang melayang
di udara. Begitu jelas terbayang, aku telah menjadi junior designer yang langsung
bertanggung jawab terhadap Mas Andy selaku Kepala Studio. Aku sudah boleh
menentukan bentuk, warna, maupun bahan yang akan digunakan dalam suatu ruang.
Kadang-kadang aku berani menolak jenis material yang kurang bagus kualitasnya.
Kubayangkan pengalaman demi pengalaman telah mengubah diriku semakin
terampil menangani proyek. Prestasiku yang baik kian menambah gairah bekerja, rasa
percaya diri pun tumbuh semakin besar.
Begitulah, dalam angan-angan, akhirnya aku menjadi wanita yang menjalani
sebuah hari terbagi dalam jam-jam sibuk dan janji-janji yang padat. Kedisiplinan yang
pernah kulatih sejak masa kuliah, sungguh terasa manfaatnya. Terbukti aku mampu
berperan sebagai istri seorang instruktur mesin; menjadi ibu rumah tangga yang penuh
perhatian terhadap anak pertama; sekaligus menjadi desainer muda yang baik di mata
klien maupun perusahaan. Di Arsi Magenta, orang tak hanya mengenal Insinyur Sri
Hardiatmo atau Sarjana Desain Interior Andy Amron, tetapi juga Rosana Satya Dewi!
Terbayang dalam khayal, aku sedang menghitung biaya perencanaan interior
sebuah kafe di Jalan Tirtayasa, ketika pintu kamarku diketuk seseorang.
“Sudah pukul sebelas lebih. Mbak Ana punya janji, kan?”
“Oh ya, hampir lupa! Terima kasih, Rizki.”
Segera kuselesaikan pekerjaanku, lalu menghubungi nomor telepon rumah. “Siapa
ini? Yuda? Tolong panggilkan Tinah.”
Tak lama kemudian. “Ya, Nyonya. Ini Tinah.”
“Bagaimana Sasha di rumah? Syukurlah. Tadi pulang dari sekolah pukul berapa?
O…, jadi sekarang sedang tidur? Jangan lupa, sebentar lagi waktu makan siang. Jika dia
bangun nanti, tolong sampaikan padanya, bahwa Mama tak sempat makan di rumah.
Sasha makan bersama Om Yuda saja. Ya… Nanti malam akan diajak Mama menjemput
Papa di bandara. Jelas, Tinah?”
Telepon kuletakkan. Kusisir rambut dan kuperiksa isi tas presentasi. Kuhampiri
Ela di meja resepsionis.

32
“Saya pergi dengan Rizki. Tolong sampaikan memo ini ke Pak Ruslan jika beliau
datang. Berkas rencana anggaran biaya untuk coffee shop Tirtayasa ada di meja saya,
sudah bisa diketik dan ditandatangani oleh Pak Sri.”
“Tadi Pak Adnan telepon…”
“Oke. Nanti contoh lantai granit untuk Pak Adnan akan dikirim, buatkan saja
tanda terimanya. Kita akan periksa dulu sebelum dipasang,” ujarku cepat-cepat. “Oh ya,
sekalian teleponkan biro travel. Saya butuh tiket Argo Gede ke Jakarta besok pagi, nomor
kursinya jangan dekat toilet. Sudah, ya!” Kubetulkan letak ikat pinggangku. “Rizki!”
“Sebentar, Mbak. Saya sedang mencari file sketsa perspektif yang hendak dikirim
ke Jakarta sore nanti.”
“Serahkan saja kepada Rully. Kita bisa terlambat, lho!”
“Oke! Rully manis, tolong carikan berkas proyek restoran apung untuk dikirim
Ela ke Jakarta. Saya mau ke Profil Kencana.”
Dalam bayanganku, tampak Rully yang sedang sibuk menggambar dengan
program autocad, mencibir ke arah kami. Aku tersenyum, karena yang tampak justru
lesung pipinya.
Lima belas menit kemudian, dalam hitungan khayalku, sedan biru yang
dikemudikan Rizki membawaku ke Jalan Sukajadi. Undangan makan di Flamboyan siang
itu kujanjikan pukul dua belas tiga puluh. Bersama seorang klien baru yang bermaksud
memugar rumahnya di Setrasari. Pertemuan ini merupakan tahap negosiasi.
“Rizki, jemput saya kembali setelah selesai dengan urusanmu, ya? Jangan lama-
lama. Siapa tahu kita akan meninjau lokasi hari ini juga.”
Aku turun di halaman restoran, dan masuk ke ruangan yang teduh dengan sayup
suara musik tanpa kata. Di salah satu meja kulihat Pak Margono duduk dengan gadis
mungil seusia Sasha. Seketika dadaku berdesir.
Tak biasanya aku makan siang di luar. Aku justru selalu sengaja pulang pada jam
istirahat untuk bisa makan berdua Sasha di rumah. Ya, seharusnya siang ini aku
menemani Sasha, sambil mendengar celotehnya tentang kawan-kawan kecilnya di Tadika
Puri. Tapi apa boleh buat. Janji ini tak bisa kuhindari.
“Selamat siang, Ibu Rosana.”

33
“Selamat siang, Pak Margono.” Aku membalas sapa ramahnya. “Ini putri Bapak?
Siapa namanya?”
“Ayo, kenalan sama Tante!” Pak Margono memandang putrinya.
“Neno,” ucapnya lucu. Mungkin nama sebenarnya Retno. Sementara aku digigit
perasaan bersalah telah membiarkan Sasha makan bersama Yuda, adik suamiku yang
tinggal bersama kami, sedangkan Pak Margono dengan senang hati mengajak anaknya
untuk bertemu dengan konsultan. Tapi, di mana ibunya?
“Ibu…?”
“Sedang belanja.” Pak Margono tahu arah pertanyaanku. Ia tertawa. “Beginilah
kalau tiba giliran saya cuti.”
Agaknya mereka keluarga yang bahagia. Senang betul menyaksikan gemerlap
cahaya di mata Pak Margono. Seperti mata Mas Uku, suamiku, di kala hatinya diliputi
perasaan gembira.
Sebetulnya aku pun istri dan ibu muda yang bahagia. Betapa tidak? Aku punya
suami yang penuh pengertian terhadap karier istrinya. Aku punya anak yang lucu. Aku
juga bisa beraktualisasi diri dengan baik, mengamalkan ilmu secara profesional.
Tapi, jujurkah pernyataanku ini? Apakah benar Mas Uku memiliki pengertian
yang tulus dalam memberiku peluang bekerja? Apakah bukan lantaran menghindari
pertengkaran karena melihat niatku untuk bekerja begitu besar?
Memang ketika usul untuk bekerja itu kuutarakan, tercuri olehku reaksi kekagetan
pada wajahnya. Mungkin sudah terangkum dalam dugaannya, namun tak mudah untuk
segera menerima kenyataan itu. Aku pun tahu, akan sulit baginya mengucapkan
pertanyaan: Kenapa mesti bekerja? Sebab pertanyaan itu bakal mencerminkan kesulitan
posisinya sebagai suami dan bapak muda.
Terasa sukar juga menyampaikan alasan secara jelas tanpa menyinggung
perasaannya. Kerinduan terjun dalam profesi sesuai dengan pendidikanku, tampaknya
masuk akal. Tetapi kekhawatiran suami terhadap urusan rumah tangga segera menjadi
alasan keberatannya. Meskipun sesungguhnya, niatku ini berangkat dari masalah
ekonomi.
Hidup di kota besar membutuhkan banyak biaya jika menghendaki fasilitas yang
memadai. Aku menikah dengan Mas Uku sebelum lulus kuliah. Secara bijak, Ayah

34
menanggung biaya kuliahku hingga selesai. Namun di luar itu, kami perlu uang untuk
kontrak rumah dan biaya hidup sehari-hari secara tertib dan baik semenjak Sasha lahir. Di
samping perasaan bahagia karena bisa menimang bayi, muncul sederet permasalahan
baru agar Sasha tetap sehat dan cerdas. Sementara gantungan kami hanyalah gaji Mas
Uku yang baru dua tahun bekerja sebagai pegawai negeri.
“Berapa pun uang yang kamu terima dari suamimu, janganlah sekali-sekali kamu
sambut dengan muka cemberut!” pesan Ibu sebelum kami menikah.
Syukurlah tak pernah kulanggar amanat itu. Bagaimanapun Mas Uku pilihanku
yang terbaik. Aku wajib berbakti kepadanya. Kesabarannya menghadapi sifat
emosionalku telah teruji selama kami pacaran hingga detik ini. Tanpa kusadari mungkin
aku telah membuat harga dirinya terusik. Tapi, apakah sepenuhnya aku bersalah?
Pernah suatu akhir pekan Mas Uku merencanakan jalan-jalan ke luar kota.
Mendengar rencananya, yang terpikir olehku adalah dana untuk perjalanan itu. ”Berarti
sepeda buat Sasha terpaksa kita tunda lagi, Mas. Bukankah biaya ke Pangandaran tidak
sedikit?”
Meski parasnya tenang, aku bisa mencuri kesan kecewa membias di wajahnya.
Aku sangat menyesal telah berterus-terang semacam itu. Niatku semata berbuat sebaik
mungkin. Termasuk keputusanku ingin bekerja sebagai desainer interior.
“Sasha masih membutuhkan perhatian penuh dari ibunya. Jangan sampai dia
kesepian sepanjang hari,” pesan Mas Uku.
“Bulan depan dia mulai sekolah. Suasana play group akan membuatnya tidak
bosan di rumah saja. Dan aku akan pulang untuk makan siang bersamanya.”
Pada akhirnya Mas Uku mengizinkan aku menerima tawaran Mas Andy untuk
ikut bergabung di Studio Arsi Magenta. Dan kebetulan suasana yang kutemui sejak awal
sungguh menyenangkan.
Kubayangkan betapa hidupku menjadi lebih berwarna. Pagi-pagi sarapan bersama
suami dan anakku. Lantas kami mengantar Sasha ke sekolahnya. Aku turun di Jalan
Sangkuriang, sedangkan suamiku membawa mobil minibusnya ke kantor.
Pukul delapan aku mulai bekerja, membuka agenda harian: adakah janji dengan
relasi atau klien? Kalau tidak, akan segera kulihat daftar proyek, memeriksa progres di

35
studio gambar. Lantas tenggelam di meja kerja, membuat lay out di atas kertas grafik atau
sketsa perspektif untuk mendukung gambar prarencana, sebagai bahan presentasi.
Pukul sepuluh Tinah akan menjemput Sasha. Setengah jam berikutnya aku
menelepon ke rumah, memastikan kedatangan mereka. Ketika tiba waktu istirahat, aku
pamit pulang untuk makan siang bersama Sasha. Ngobrol sebentar dengannya, sebelum
kembali ke kantor dan tenggelam oleh kesibukan hingga sore hari. Tiba di rumah,
biasanya Mas Uku sedang mandi atau malah sudah minum kopi dengan koran yang
terbuka lebar.
Kubayangkan itu terjadi setiap hari, dan terkadang aku harus menambah jam
kerjaku jika ada proyek yang perlu segera selesai. Sekali dua aku tak sempat pulang
karena harus menikmati makan siang di antara acara rapat. Dan apabila tenaga sehari itu
terkuras, aku tak lagi punya gairah mendengar celoteh Sasha. Nonton televisi pun sambil
setengah terpejam. Kewajiban membuat minuman sore untuk suami sudah beralih kepada
Tinah.
Ya, ya, memang tak pernah kudengar keluhan Sasha, namun kutemukan
kerinduan yang merebak pada sepasang matanya. Sebagai seorang ibu yang sangat
mencintainya, sungguh pilu rasanya, ketika menjumpai Sasha di sore hari dalam keadaan
panas suhu badannya. Langsung aku marah kepada Tinah, mengapa tidak mengabari
sewaktu kutelepon siang harinya. Kini harus dibawa ke dokter selekasnya untuk
mendapatkan obat turun panas.
“Neng Sasha tidak mau makan siang, karena Nyonya tidak pulang,” Tinah
menjelaskan. “Den Yuda tidak berhasil membujuknya.”
Kepanikanku terasa berlipat ganda karena Mas Uku berada di luar kota.
Rencanaku malam ini akan mengajak Sasha untuk menjemput ke bandara, tapi yang
terjadi justru membuatku hampir kehilangan akal.
“Ini kompresnya.” Tinah jadi lebih sibuk dari biasa.
Aku sudah meminta Yuda menyiapkan mobil untuk membawa Sasha ke dokter.
“Sasha sayang… ayo cium Mama. Kita ke dokter, ya?” Aku memeluknya
sepenuh kasih. Badannya yang hangat menularkan suhu tinggi ke lenganku.
“Kenapa tadi siang Sasha tidak makan?” tanyaku lembut dalam angan-angan.
“Sasha ingin makan sama Mama…,” ujarnya sendu.

36
Ya, Tuhan! Apa yang pernah kubaca dalam sebuah majalah, tentang keluhan
balita terhadap orangtuanya kini terjadi pada anakku! Sasha tidak mau makan tanpa
ditemani ibunya. Sementara aku, sang ibu, makan siang dengan hangat bersama si kecil
Neno, putri Pak Margono! Ya Tuhan, apa kata Mas Uku nanti seandainya hal ini
kuceritakan kepadanya?
“Mama jangan pergi lagi. Sasha nggak mau makan kalau Mama pergi lagi!”
Aku membayangkan suara Sasha yang mengiba membuat tubuhku menggigil oleh
perasaan berdosa. Dadaku bergelombang. Mataku panas.
“Mama mau ke mana lagi?” tanya Sasha sedih.
“Kita akan ke dokter, agar Sasha lekas sembuh. Kita akan menjemput Papa. Nanti
Sasha akan makan bersama Papa dan Mama…”
Dihantui bayangan itu, seketika air mataku tak terbendung lagi. Menyadari bahwa
inilah hasil kekerasan hatiku untuk meninggalkan Sasha terlampau dini. Air mata yang
bertetesan itu mengaburkan huruf-huruf biru yang baru saja kutulis di atas formulir.
Ya, Tuhan! Pikiranku terlalu jauh mengembara! Belum kumulai apa pun di kantor
ini, kekhawatiran terhadap nasib Sasha sudah mengancamku. Oh! Kepalaku mendadak
pening oleh garis-garis optikal Victor Vasarelly. Telapak tanganku terasa begitu dingin
dan pena yang kupegang bergetar hebat.
“Sasha sayang, aku mendenggar panggilanmu…”
Map hijau yang berisi formulir calon pegawai kututup. Aku mengusap air mata
yang berlelehan di pipi. Kembali kudengar dengan jelas kesibukan di luar ruang rapat.
Aku pun bangkit dengan perasaan kacau-balau.
Ketergesaanku keluar dari ruangan menerbitkan tanda tanya di mata resepsionis.
Tapi aku tak perlu menutup-nutupi. Sepasang mataku pasti mampu memberi gambaran
yang jujur.
“Maaf, saya lupa, pagi ini ada janji dengan kawan lama dari luar kota. Dia pasti
sudah tiba di rumah,” kataku sekenanya.
“Tapi Pak Andy belum tiba. Mungkin setengah jam lagi. Bukankah Mbak Rosana
bermaksud bertemu Pak Andy?” Resepsionis cantik itu berusaha menahanku.
”Tidak apa-apa. Biar nanti saya telepon, atau Pak Andy yang menghubungi saya
ke rumah. Saya harus cepat-cepat pulang.”

37
Aku mencoba tersenyum meskipun sulit. Mudah-mudahan gadis itu hanya
menganggapku tiba-tiba terserang demam. Aku ingin segera berjumpa Sasha.
“Baiklah, nanti saya sampaikan. Bolehkah formulirnya saya simpan di sini?”
“Oh, maaf, belum selesai saya isi. Saya bawa pulang saja, akan saya selesaikan di
rumah.”
Gadis itu tampak bimban. Tentu saja. Tapi, “Oke, mudah-mudahan di rumah bisa
lebih tenang.” Senyumnya yang memikat itu terkembang.
“Terima kasih. Selamat pagi.”
Aku bergegas meninggalkan resepsionis cantik itu. Aku meninggalkan Studio
Arsi Magenta, meninggalkan keputusanku untuk bekerja saat ini. Aku melangkah cepat
sampai menemukan taksi yang segera kuminta berbalik arah.
“Sasha!” Tak sabar aku memanggilnya setiba di rumah.
“Mama!” Lengkingannya yang merdu kudengar segera disusul bayangan
tubuhnya yang tergopoh-gopoh menghambur ke arahku. Aku memeluknya erat dengan
air mata yang mengalir tanpa kusadari. Maafkan Mama, Sasha! Ah, ia baru saja pandai
bercerita dengan runtut, seharusnya aku banyak menemaninya di rumah.
Apa reaksi Mas Uku nanti bila di antara pelukan kangennya kubisikkan
keputusanku untuk menunda bekerja?

***

38
PERTARUHAN

KUMANDANG tawa Iban masih terperangkap dalam telinga Arya, beberapa


detik setelah telepon dimatikan. Hubungan pembicaraan mereka seketika terputus. Tapi
tidak terputus hubungan janji mereka untuk bertemu di sebuah kafe.
Telah beberapa kali Arya dan Iban bertaruh untuk mendapatkan julukan lelaki
pemberani. Mereka saling menunjukkan kemampuan dengan permainan yang lebih
berbahaya dibanding aksi iklan perusahaan rokok. Setiap kali mereka selesai melakukan
pertaruhan yang ditonton oleh ratusan orang, selalu berakhir dengan gempita tepuk
tangan. Meskipun detik demi detik yang berlangsung itu telah membuat debur jantung
para saksi mata bertambah kencang.
Ketika Iban dan Arya sepakat masuk ke kandang harimau, mereka sengaja
mengundang para sahabat. Teman-teman mereka memublikasikan peristiwa itu dengan
menempel semacam poster, di sekitar kampus dan resto-resto anak muda. “Ini pertaruhan
dua lelaki muda untuk mendapatkan gelar The Bravest!”
Peristiwa itu terjadi tahun lalu, saat udara cerah dan matahari terik benderang.
Mungkin cukup mengherankan ketika sebuah kebun binatang menjadi tempat yang

39
dikunjungi banyak mahasiswa. Mereka sesungguhnya hanya ingin menyaksikan
pertunjukan berbahaya itu. Entah siapa yang sengaja mengundang wartawan televisi,
sehingga di sekitar kandang macan telah siap beberapa kamerawan dan juru berita.
Dua lelaki muda berani menawarkan nyawa kepada seekor harimau!
Berdasarkan putaran koin, ternyata Iban yang mendapat “kehormatan” giliran
pertama. Dengan wajah tetap sumringah, ia masuk ke rumah harimau. Ia mengenakan
celana dan jaket jins untuk berjaga-jaga dari cakaran binatang buas itu. Penonton
berdebar ketika detik demi detik gugur dalam was-was. Bahkan seorang penjinak
harimau yang bersiap di tepi kandang pun tidak tahu persis, mana yang akan lebih
bernasib malang, masuk lebih dulu atau belakangan? Setiap orang memiliki peluang yang
sama untuk diterkam.
Mendengar geramnya saja sudah membuat bulu kuduk berdiri, bagaimana jika si
Raja Rimba itu mengaum? Berulang kali kawan-kawan Iban bertanya kepada
pengasuhnya, apakah hewan itu telah diberi jatah makan siang? Perasaan penonton risau
sejak awal. Sepanjang lima menit kedua petaruh harus bertahan dalam kandang harimau.
Kejadian itu memang serupa mimpi. Tak sadar para penonton menjerit, sewaktu
harimau itu berdiri, berjalan mendekati Arya, dan matanya mengawasi dengan tajam.
Saat itu, Arya bagai tak berdiri di tempatnya. Darahnya tersirap, kulit tubuhnya dingin
mendadak, dan memucat selebar parasnya. Ia mengatur nafas dengan susah-payah. Hanya
dengan keberanian yang luar biasa, Arya tidak kencing di celana. Sementara Iban telah
lolos dari maut pada giliran pertama.
Menit-menit merayap lambat, macan itu mengendus dengan helai-helai kumis
yang tegang. Sorot matanya menggentarkan. Tapi Arya memiliki mata yang tak kalah
tajam. Mereka berpandangan untuk saling melumerkan nyali. Saat itu, Arya menyerahkan
seluruh hidupnya kepada nasib. Perlahan-lahan, sepasang kaki yang semula tampak
gemetar kini terpacak kokoh. Ia yakin akan sanggup mengatasi rasa takut. Mengatasi
harimau yang mulai hilir-mudik dengan gestur gelisah. Di saat yang sama, sang pawang
di luar kandang pun mulai cemas, siaga dengan mata tak berkedip.
Pemegang stopwatch yang berkeringat dingin, merasa sedang menanti waktu
bertahun-tahun. Demi dilihatnya jarum merayapi detik-detik terakhir, ia memberi isyarat
kepada penjaga pintu kandang agar segera membebaskan Arya. Ketika akhirnya gerbang

40
besi ditarik, bunyi derit mengawali sorak-sorai keberhasilan Arya. Namun baru saja Arya
melangkah keluar: seperempat tubuhnya yang tersisa, menarik minat harimau itu untuk
meraihnya. Lompatan yang cekatan sejenak menghentikan tepuk tangan, bertukar dengan
pekik serentak. Arya terjerembap di luar kandang, dengan baju dan kulit punggung
koyak. Pintu besi berdentang memukul tiang di ujung perhentian, nyaris menjepit kaki
harimau yang masih mengembangkan cakarnya.
Pertunjukan itu sempat menimbulkan silang pendapat. Sebagian orang menuduh
sebagai sabung nyawa yang sia-sia. Tapi ada pihak yang mendukung sebagai gagasan
baru, semacam pertunjukan gladiator di masa lalu. Menurut mereka, rutinitas kehidupan
kota perlu dihiasi dengan kejutan-kejutan.
Kali ini, Iban menantang dengan permainan yang lebih berbahaya, dengan nyawa
menjadi taruhannya. Sebelum Arya menyanggupi, Iban menghamburkan tawa yang
terdengar menyakitkan. Sesungguhnya di antara mereka tak pernah ada yang benar-benar
kalah atau menang. Para penggemar tantangan, menganggap Iban dan Arya mendekati
gila. Mereka bukan stuntman. Perangai mereka aneh, tetapi justru menjadi idola.
Mereka kuliah di perguruan tinggi yang berbeda. Iban mempelajari ilmu
arsitektur, sedangkan Arya memilih kimia. Mungkin setan telah mempertemukan mereka,
ketika sedang berebut seorang gadis di sebuah kafe. Andai gadis itu pintar mengatur
jadwal, tentu beruntung mendapatkan teman kencan dua lelaki pemberani.
“Namaku Iban, Bung!” Tangannya terulur ke arah Arya. “Jangan sekali-sekali
mengganggu kencanku dengan Ignis!”
Arya meradang. “Sejak kapan Ignis menjadi milik orang lain?”
Ignis, gadis yang mereka perebutkan, perlahan undur. Ketika perang mulut itu
memuncak, sejumlah teman dari masing-masing kubu mencoba melerai. Adu fisik urung
terjadi, ketika masing-masing merasa curiga. Boleh jadi, Ignis selama ini mendua.
Iban membanting tinju ke meja. “Urusan ini belum selesai, Bung! Antara kita
berdua perlu keputusan, siapa yang pantas mendapatkan Ignis?”
“Silakan ambil dia!” Arya tersenyum sinis. “Sorry, aku sudah tidak
memerlukannya lagi. Tapi ini bukan berarti kemenanganmu. Aku akan menantangmu
bertaruh.”
Iban tersengat. “Aku tunggu tantanganmu! Aku bukan pengecut!”

41
Setelah bubaran, keduanya merasa terpuruk. Hati mereka terluka. Ignis yang
jelita, namun bening matanya mengandung dusta. Mungkin ia menangis di sudut, setelah
kehilangan keduanya. Tetapi rasa malu melarangnya untuk mengiba. Seperti yang sudah-
sudah, bagi Ignis, kesedihan hanya singgah sehari-dua. Pekan depan akan datang pria
pengganti. Karena tatapan dan wajah Ignis bergelimang madu.

DIAM-diam, para anak muda selalu menanti persaingan dua pemberani yang
memiliki tabiat seperti minyak dan air itu. Sementara hampir setiap orang yang
menempuh jalan bahaya, selalu dikaitkan dengan kedua nama itu.
“Wah, telah lahir saingan Iban!”
“Gila, kurasa kamu bisa menantang Arya!”
Tapi, adakah yang berani minum segelas kopi bercampur larutan arsenik? Bahkan
Arya yang kuliah di Jurusan Kimia belum tentu imun terhadap racun itu. Namun, ramuan
itu pernah mereka jadikan pertaruhan. Bertempat di sebuah diskotek yang ingar-bingar,
tengah malam, ketika pengunjung mulai mengisi ruang remang. Musik mengentak.
Lampu berkejap-kejap. Aroma alkohol menari-nari di udara yang cemar oleh asap
tembakau terbakar. Teman-teman mereka berdebar menunggu sepasang petaruh akan
menyerahkan selembar hidupnya untuk disebut sebagai sang Pemberani.
Di meja telah siap dua cangkir kopi yang diseduh bersama arsenik. Secara
bersama-sama, Iban dan Arya akan menenggak sekaligus cangkir kopi masing-masing.
Suasana beranjak tegang, meskipun musik tetap berdentang. Disaksikan teman-teman
yang siap kehilangan idola, yang selama ini dielu-elukan karena pernah melampaui
beberapa peristiwa menakjubkan, seperti misalnya: melompat dari satu kereta gantung ke
kereta gantung lain yang bersimpangan pada ketinggian seratus kaki tanpa bantuan tali;
atau menguji ketekunan aliran darah di kursi dokter gigi yang dihubungan dengan arus
listrik…
“Satu, dua, tiga!”
Begitulah. Semua mata mengharap perlambatan adegan, namun yang terjadi
seolah tak kuasa dikuntit pandangan. Begitu lekas tangan Iban dan Arya menjangkau

42
cangkir masing-masing, mengangkat ke mulut mereka, dan tegukan-tegukan besar
membuat isi cangkir itu tandas.
Orang-orang berseru, terkejut, antara girang dan cemas. Para pemabuk melompat
gembira. Sementara yang masih waras merasa cemas dan menyesal telah membiarkan
pertaruhan itu berlangsung! Seseorang berteriak agar memanggil ambulans. Tapi Arya
dan Iban tersenyum kelewat tenang. Dalam aturan main, setelah lebih dari lima menit
cairan itu masuk ke dalam lambung, mereka boleh mengupayakan dengan segala cara
untuk menaklukkan arsenik yang merayapi tubuh.
“Oke, aku pergi!” Nyaris bersamaan Iban dan Arya pamit.
Kemudian terdengar suara guntur dan hujan turun dengan lebat. Banyak di antara
saksi merasa sangat sedih sesudahnya. Mereka menduga, salah satu atau keduanya akan
tewas. Namun ternyata tidak. Ada yang terus sibuk mengikuti arah Arya dan Iban pergi.
Terutama wartawan yang begitu rakus dengan berita-berita sensasi. Tiga hari kemudian,
tercantum dalam sebuah surat kabar, berita tentang Arya dan Iban yang selamat dari maut
arsenik. Di tempat masing-masing, para pembaca yang menemukan kabar itu bertepuk
tangan, seraya menyebut: “Gila!”, “Luar biasa!” atau “Ajaib!”, dan “Mustahil!”

DI kafe yang dijanjikan, Arya sedang menggoda seorang pramusaji, ketika Iban
datang. Mereka mengepung meja yang segera penuh orang. Masing-masing telah
memiliki pengagum, sehingga pertemuan mereka di tempat itu pun tidak dirahasiakan.
“Kita pilih lintasan kereta api dengan jalur kendaraan yang padat!” ujar Iban.
“Oke. Jam berapa?”
“Pukul dua siang. Saat banyak anak-anak pulang sekolah. Mobil kita berjajar
melintang di atas rel. Beberapa detik sebelum kereta api menyentuh mobil, siapa yang
berani keluar pintu?” tantang Iban.
“Kenapa tidak menggunakan satu mobil? Tinggal pilih, siapa yang mengemudi?”
Arya balik menantang.
Iban berpikir. Ada kemungkinan pengemudi berbuat curang. Akan tetapi
tergantung pula dari arah mana kereta api akan datang?

43
“Setuju!” Iban menggebrak meja.
Mereka sepakat, akan berada dalam mobil yang sama. Kereta api harus datang ke
arah pengemudi. Mereka akan mencuri kewaspadaan penjaga pintu lintasan. Mobil harus
dalam posisi di dalam pintu lintasan yang menutup, pura-pura menunggu sebelum rel.
Keduanya setuju: mobil akan bergerak ke atas rel saat lokomotif tinggal berjarak seratus
meter. Mobil akan dihentikan, seraya menunggu datangnya kuda besi itu ke arah mereka.
Disepakati juga, sekitar sepuluh meter sebelum kereta api menyentuh mobil, yang
ditandai cat putih di atas batang rel, mereka keluar menyelamatkan diri.
Semua yang mendengar terperanjat. Sebelum mereka menyebut pertaruhan itu tak
masuk akal, Arya dan Iban lebih dulu mengucapkan: “Ini benar-benar permainan gila!”
Perlintasan kereta api di Cipinang Lontar menjadi pilihan. Semua hampir
memenuhi syarat kecuali perihal kecepatan kereta api. Jika beruntung, kereta api mulai
melambat karena mendekati Stasiun Jatinegara. Atau masih lambat karena baru bertolak
dari stasiun. Tapi laju gerakan momentum roda besi yang meluncur dengan bobot ratusan
ton, tak sesederhana yang dibayangkan.
Pada hari perjanjian, cuaca mendung. Mereka mengambil posisi yang tepat, agar
kejadian ini seolah tak sengaja. Dari putaran koin, Arya mendapat peran sebagai
pengemudi. Pukul dua, kereta api Cirebon Ekspres akan bertolak dari Stasiun Jatinegara.
Itulah mangsa mereka. Atau, itulah kereta api yang akan memangsa mereka!
Terdengar bunyi isyarat dengan lampu merah yang menyala-padam di tiang pintu
lintasan kereta api Cipinang Lontar. Mikrolet berebut jalur dengan metro mini dan bajaj,
ingin lekas mencapai sisi seberang rel, berlomba dengan galah pintu lintasan yang
berayun-ayun turun. Arya menekan gas, mobil mereka meluncur dari arah Pisangan,
menyalip sebuah jip, dan berhasil melewati pintu lintasan yang hampir merendah. Mobil
berhenti di sana. Entah jantung siapa yang lebih kencang berdebar. Baik Iban maupun
Arya masih punya kesempatan untuk membatalkan permainan ini. Misalnya: Iban
membuka pintu dan melompat turun. Atau: Arya mematikan mesin sehingga mobil tidak
akan beranjak melintas rel. Tapi, dengan demikian mereka berdua bakal menyandang
gelar sang Pengecut!
Mereka saling berpandangan, seperti dua sahabat yang saling merindukan, seraya
menunggu dengus kereta api yang mulai tampak. Ketika jarak lokomotif itu mencapai

44
titik seratus meter dari mobil mereka, Arya memasukkan persneling ke gigi satu. Mobil
pun bergerak maju dan roda depan segera menginjak sepasang rel yang menjulur
panjang. Saat itu, mungkin mata masinis terbelalak. Mungkin penjaga pintu lintasan
berteriak, dan orang-orang yang berada dalam mobil lain tak kalah marahnya melihat
kebodohan itu. Tapi ini sebuah pertaruhan!
Detik-detik berlangsung dengan tebaran hawa maut. Bahkan Iban dan Arya
merasakan bulu kuduk mereka meremang. Hati mereka ciut. Secara bersamaan mereka
punya pikiran untuk melompat sebelum jarak yang disepakati dalam perjanjian. Namun
ternyata pintu dalam keadaan terkunci oleh mekanisme door-lock otomatis. Dan mesin
mendadak mati oleh pengaruh kuat medan magnet rel besi yang memanas akibat gesekan
beratus roda besi serangkaian gerbong berat.
“Ayo!” ajak Iban. Seolah Arya adalah sahabatnya paling kental, yang tak
mungkin ditinggalkan remuk diseruduk lokomotif.
Arya mengangguk. Tapi, seperti juga Iban, jemarinya yang berkeringat tak
berhasil menarik tuas kunci pintu. Sepertinya batang pengungkit itu terlalu kecil, atau
terlalu licin. Di saat seperti itu, terngiang di telinga Arya, kumandang tawa Iban waktu
menantang pertaruhan melalui telepon beberapa hari lalu.
Tawa yang menyakitkan! Tapi tentu lebih menyakitkan apabila ia kalah karena
gagal keluar dari mobil, sementara kereta api akan menubruk dan menyeretnya sepanjang
ratusan meter. Katakanlah Iban juga bernasib sama, tergulung dalam impitan besi sedan
yang diringkus kereta api dan tubuhnya menjadi serpih ke mana-mana. Dalam keadaan
seperti itu, tentu telinganya tak mampu mendengar teriakan orang-orang. Sekalipun jika
mereka menyerukan: “Hidup sang Pemberani!”

***

Jakarta, 27 Maret 2005

45
LAUT LEPAS KITA PERGI

KETIKA Ayah meninggalkan tempat permukiman, hanya kulihat punggungnya


yang setengah bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan, berwarna
buram, dan aku tahu itu bukan miliknya. Ia berjalan tidak terlampau cepat, tapi jarak
antara kami semakin lebar. Semakin terasa bahwa ada bentangan yang segera akan
memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau bahkan ratusan kilometer.

Sebelum pergi, kurang lebih sepuluh menit yang lalu, Ayah mengatakan: “Aku
percaya, kamu bukan pemuda cengeng. Hampir sebulan kita telah menangis bersama-
sama. Itu cukup. Tidak perlu diperpanjang lagi. Kita sudah saling berusaha untuk
menemukan ibumu. Juga kedua adikmu. Percayakan itu kepada Tuhan. Mungkin kini
tempat mereka lebih lapang dibanding kita. Mungkin tidak ada lagi pikiran yang
membebani mereka. Tinggal kita, mau hidup terus atau perlahan-lahan mati.”

Mata Ayah memandangku tidak lagi senyalang elang. Tidak ada kemarahan
dalam kata-katanya. Aku merasakan ucapan Ayah begitu serius tapi tidak mengandung

46
tekanan. Ia bicara seperti sedang menceritakan tentang kegiatan sehari-hari. Begitu datar.
Tapi hatiku terkesiap mendengarnya.

“Aku akan berangkat pagi ini juga, sebelum orang ramai ke jalan-jalan. Sebelum
banyak ibu-ibu antre di kamar mandi umum. Sebelum tampak asap di dapur terbuka itu.
Aku percaya, kamu akan sanggup menghadapi hari depanmu sendiri. Aku melihat ototmu
yang kuat, badanmu yang sehat, dan terutama perasaanmu yang tabah. Ingat! Jangan
pernah menangis lagi.”

Bibirku mendadak gemetar. Ada ribuan kata berkerumun di ujung lidah.


Berdesakan ingin meletup, mendorong dinding gigi. Membuat rahangku keras. Tapi tak
ada suara yang sanggup keluar dari mulutku.

“Aku menulis surat untukmu, karena kukira kamu tak akan bangun saat subuh.
Bacalah setelah matamu tak mampu memandang bayanganku. Sampai suara panggilanmu
tak mungkin kudengar lagi.” Ditepuk-tepuknya bahuku, seolah-olah aku sendiri yang
berduka dan dia berperan sebagai sang bijak yang berusaha menghiburku. “Maafkan aku,
jika selama menjadi ayahmu tak pernah membuatmu bahagia.”

Tidak ada pelukan dari Ayah. Tangannya mengusap pipiku, terasa kasar. Keriput
yang terbentuk dari serangkaian kerja keras itu berusaha melekat di mukaku. Aku
mencium bau khas yang barangkali tak terhapus dalam sewindu.

Dan kini Ayah telah melangkah memunggungiku. Ke arah selatan. Seperti


memberikan isyarat, bahwa di sana akan menjadi akhir dari pengembaraannya.

Begitu sadar Ayah telah semakin jauh: hanya kulihat punggungnya yang setengah
bungkuk, dan segerumbul pohon yang miring di ujung pandangan siap mengaburkannya,
aku segera berlari ke dalam tenda. Jika benar Ayah menulis surat untukku, tentu disimpan
tak jauh dari alas tidurku. Kutemukan selipat kertas lembap yang tampak baru saja
disisipkan ke bawah timbunan sarung.

Aku berdebar membuka lipatan surat itu. Ternyata hanya beberapa baris kalimat,
yang mudah dihafal setelah membaca dua kali.

47
“Mustafa, anakku. Aku terlampau sedih dalam peristiwa kehilangan ini, dan
mungkin sebentar lagi menjadi gila. Aku akan pergi. Mudah-mudahan kamu tetap kuat
untuk tinggal. Aku ternyata seorang pengecut. Selamat tinggal.”

Aku melompat bagai tersengat kalajengking. Tanpa sadar aku telah melanggar
permintaannya untuk tidak memanggilnya. Aku berlari sekencang-kencangnya menuju
arah Ayah berjalan. Tapi sampai aku terengah-engah, tak kutemui lagi bayangan Ayah.
Mungkin tikungan, atau bekas tikungan, telah menyembunyikan arah langkahnya.
Sandalku telah lepas entah ke mana. Butir kerikil yang menghunjam telapak kakiku tak
benar-benar kurasakan sakitnya. Lebih sakit perasaan dalam relung dadaku. Pisau sepi
menoreh begitu dalam. Baru saja Ayah pergi, tapi kesepian begitu lekas menyergap. Aku
menjadi seorang diri di dunia. Dari seorang piatu menjadi sekaligus yatim dan sebatang
kara. Jauh dari laut tapi gemuruh itu tak pernah mau hilang dari rongga telingaku.

Kini aku berjalan lunglai kembali ke barak, sebuah permukiman sementara. Kata
sementara itu mulai terasa tak terbatas. Terutama bagiku yang kini sudah tidak memiliki
siapa-siapa lagi. Satu-satunya tumpuan harapan telah meninggalkanku. Pergi begitu saja.
Hanya meninggalkan kata-kata yang justru membuatku semakin terpuruk.

Memang sekarang bukan lagi saatnya untuk terus menangis. Setiap hari
kuhabiskan waktuku untuk menanyakan kabar dari timur, barat, selatan, dan utara. Dari
seluruh penjuru mata angin. Adakah yang menemukan Meutia? Adakah yang
mendapatkan sosok Hasan? Adakah yang sempat bersimpang jalan dengan Siti Salamah?

Bahkan andai kata telah berbentuk jenazah!

Atau mungkin tinggal serangkai belulang dari tubuh mereka yang terimpit rangka
bangunan. Bekas perjalanan yang tak lazim: terseret sekian kilometer bersama puing dan
ombak berwarna cokelat. Terempas dan hanyut berkali-kali.

Atau sekadar sobekan pakaian terakhir yang dikenakan mereka menjelang


gelombang tsunami datang. Mungkin aku masih sanggup mencium aroma sisa tubuh
mereka, di antara lumpur dan segala yang hancur. Aku akan memeluknya untuk
penghabisan kali sebelum kurelakan masuk ke dalam lubang bersama mayat lain yang

48
baru ditemukan. Tanpa nama, kecuali jika aku menandainya dengan setulus hati, lalu
berusaha mengingat letaknya.

“Ayah, mungkinkah kita akan sanggup menziarahi mereka?”

Tapi aku tidak lagi bersama Ayah. Dia sudah pergi dan kini mungkin telah tiba di
wilayah lain yang juga tidak dikenalnya karena suasananya sudah berubah. Sementara
aku akan tetap tinggal di sini, bersama beberapa penduduk yang masih bertahan dengan
keadaan seperti ini. Bersama beberapa tentara yang kulihat juga mulai bosan dan kusut
mukanya.

KETIKA Ayah memberiku sebilah rencong, aku baru saja selesai SMP. Umurku
menjelang lima belas tahun.

Usai menerima pengumuman kelulusan, aku bersama teman-teman merayakan


dengan cara membakar baju seragam di tengah ladang. Anak seorang juragan kambing
menyumbangkan seekor domba untuk pesta syukuran. Aku pulang menjelang magrib,
dengan perasaan riang. Setelah libur panjang aku akan memasuki dunia sekolah yang
lain. Seolah-olah ada selembar kertas harapan untuk ditulisi segala keinginan. Dicoret-
coret dengan gambar impian sekehendak hati. Aku pun berjalan sambil bersiul-siul.

Di pintu pagar rumah aku mendapati mata Ayah yang nyalang seperti elang. Aku
serentak menduga ada hal yang sangat penting dan mungkin akan disampaikan dengan
nada marah. Firasat itu begitu kuat, membuat dadaku berdegup kencang. Rasa takut
menjalar. Kegirangan merayakan lulus sekolah dengan pesta api unggun, langsung sirna.

“Mustafa!” panggil Ayah.

“Ya, Ayah.” Aku mempercepat langkah. Dengan dada terbuka seperti ini, tentu
tampak menantang. Tapi, ya, bajuku sudah sempurna menjadi abu di ladang dua jam
yang lalu.

“Ayah mau amanatkan sesuatu kepadamu! Duduklah!”

49
Perasaanku mengerut. Serambi rumah tampak sepi. Langit redup. Sebentar lagi
akan terdengar suara azan dari meunasah di belakang rumah. Aku segera duduk di
bangku kayu yang terletak setengah miring di teras.

“Ayah, hari ini aku lulus sekolah.” Aku mencoba meredakan gejolak dengan cara
menyampaikan berita gembira. Siapa tahu akan menurunkan temperamen Ayah. Tapi
ternyata tak mengubah apa pun.

“Aku tahu! Karena itulah aku memanggilmu. Sudah saatnya kamu menerima ini,”
Ayah mengangsurkan sebuah benda yang masih tertutup oleh kain putih. “Bukalah!”

Dengan agak gentar, aku melolos kain kafan yang sudah tidak baru lagi. Serta-
merta terkejut, meski sudah menduga dari bentuknya, ketika mendapatkan sebuah
rencong yang masih mengilat, meskipun gagang kayunya sudah berumur panjang.

Mendadak tanganku gemetar. Apa maksud Ayah memberiku benda tajam yang
berbahaya ini? Setiap menghadapi logam tajam, apalagi dengan beberapa lengkung yang
mirip ukiran, aku merasa sedang berhadapan dengan masalah besar.

“Ayah.... mengapa rencong?”

“Aku tak bisa menunda lagi. Sudah saatnya kamu memahami arti bahaya di luar
sana.”

Aku memandang sekitar. Kukira Ayah keliru dalam menilai situasi. Desa kami
daerah yang paling aman. Bahkan jarang menjadi lintasan anggota Gerakan Aceh
Merdeka, secara terang-terangan maupun menyamar.

“Kamu mulai bertanggung jawab melindungi keluargamu. Bahu-membahu


dengan Ayah. Jaga keselamatan Meutia dan Hasan. Sementara Ayah akan menjaga
Salamah, ibumu.”

Tanganku semakin gemetar mendengar penjelasan Ayah. Sementara angin senja


bertiup lebih dingin dari biasa. Kemudian terdengar azan magrib berkumandang. Entah
siapa yang menjadi muazin sore ini, suaranya terdengar mendayu-dayu. Membuat sedih.

“Ayo lekas simpan rencong itu! Kini menjadi milikmu. Jangan dibiarkan
telanjang, salah-salah disambar iblis.” Ayah mengingatkan. “Sekarang kita ke surau.”

50
Sehabis sembahyang aku merenung di dalam bilik. Rupanya hari ini berlangsung
dihiasi berbagai peristiwa yang mendebarkan. Sejak pagi aku sudah berdebar-debar
menunggu pengumuman ujian akhir. Aku tidak terlampau bodoh. Tapi bukan berarti pasti
lulus.

Ketika membuat api unggun dan membakar baju-baju, angin bertiup cukup
kencang. Kemarau telah berhasil membuat setiap petak ladang menjadi kering, tumpukan
jerami bertebaran di mana-mana. Tentu kami berdebar-debar dan selalu terkesiap setiap
kali melihat api meliuk ke arah gubuk.

Dan senja ini: sebuah rencong diwariskan kepadaku! Begitu mendadak, seakan-
akan musuh sudah berada di balik dinding rumah. Telinga kami menduga, ada semacam
keresek langkah kaki orang jahat yang mendekat. Ya. Aku telah menjadi pemuda!

KETIKA Ayah memintaku untuk khitan, Hasan belum lahir. Ia masih berada
dalam perut Ibu yang membuncit seperti mendekap ember di balik kain sarungnya.
Sedang Meutia mulai sekolah seminggu tiga kali di madrasah terdekat.

“Sudah waktunya kamu memotong ujung kulupmu. Itu sumber penyakit! Mau
berangkat sendiri atau kuantar?”

Aku terkesima. Mengapa Ayah tidak menunggu aku benar-benar khatam Alquran
dengan tartil dan lafal yang benar? Atau membiarkan aku mengalami mimpi basah yang
pertama?

“Tidak!” Seolah Ayah mendengar keragu-raguanku. “Sunat sekarang atau tidak


usah masuk ke dalam rumah.”

“Ambillah kain sarung yang baru, Mustafa.” Ucapan Ibu lebih lembut. “Sudah
kusiapkan di ranjangmu.”

Aku pun mengangguk. Aku tak pernah tega menolak permintaan Ibu. Sesulit apa
pun. Setakut apa pun.

51
Aku belum menjumpai petualangan yang seru, selain lomba berenang di arus
sungai yang deras. Tapi pengalaman dipotong ujung kulit penisku tentu merupakan salah
satu keberanian anak laki-laki. Jangan menangis! Ya, jangan menangis, Mustafa!

“Aku percaya, kamu bukan anak cengeng, Mustafa!” ujar Ayah membekali
perjalananku.

Maka berangkatlah aku ke seorang mantri sunat. Setelah dibius dengan suntikan
di sekitar “burung”-ku itu, gemetar kuserahkan kelaminku untuk dipotong ujung kulitnya,
dijahit, dan diperban. Aku meringis saat perih menjalar menembus tabir anastesi.

Tapi aku berhasil mempertahankan agar mataku tetap nyalang, tanpa setitik air
menggenang di sudutnya. Aku berhasil dan begitu bangga. Aku seorang anak yang
berani. Tidak cengeng! Aku malu kepada Ibu yang tak pernah takut untuk melahirkan.
Sebentar lagi akan ada bayi ketiga yang melewati pintu rahimnya. Pasti sakit luar biasa,
karena ukuran bayi tidak sebanding dengan diameter lubang yang hendak dilaluinya. Itu
menurut akalku, yang masih duduk di kelas empat sekolah dasar.

“Inilah anak Ayah yang pemberani.” Ayah menepuk bahuku, ketika sedang
kunikmati seekor ayam panggang yang khusus dimasak oleh Ibu. “Aku percaya, kamu
bukan anak cengeng!”

Tapi, lihatlah hari ini, di ambang waktu dhuha: ternyata akhirnya aku menangis!

Dadaku seperti mau meledak oleh impitan kesepian. Padahal aku tahu, di
sekitarku masih ada orang-orang lain yang setengah gila akibat perasaan kehilangan. Ibu-
ibu yang putus asa. Anak-anak kecil yang bermain tapi tidak tahu meski mencari pelukan
siapa ketika lapar datang. Dan beberapa orang tentara yang rindu keluarganya. Juga para
relawan yang sudah nyaris mabuk oleh aroma busuk yang melayang-layang sepanjang
pekan.

Ketika Ayah meninggalkan permukiman yang terdiri atas tenda-tenda militer dan
bangunan kayu yang berdiri tanpa fondasi, hanya kulihat punggungnya yang setengah
bungkuk. Kemejanya yang lusuh mengandung banyak lipatan di sana-sini, warnanya
buram, dan aku tahu itu bukan miliknya, karena diperolehnya dari kardus yang dilempar
oleh sebuah helikopter yang gemuruh di suatu siang bermega pekat. Ia tadi berjalan tidak

52
terlampau cepat, tapi jarak antara kami demikian pasti menjadi semakin jauh. Semakin
terasa bahwa telah terbentang ruang yang memisahkan kami. Mungkin satu, dua, atau
bahkan ratusan kilometer.

Apakah aku masih perlu mencari Meutia? Hasan? Atau ibuku? Yang entah
berkubur di mana. Tsunami yang cantik telah merebutnya dari kami tanpa memberi
kesempatan untuk belajar cemburu lebih dulu. Maafkan aku.

***

(Tanda simpati untuk Azhari, cerpenis dari Aceh.)

Jakarta, 29 Januari 2005

Catatan :

-Judul “Laut Lepas Kita Pergi” dipetik dari judul lagu Leo Kristi di Album Nyanyian
Tanah Merdeka, 1982.

53
KAMAR ANJING

TIGA tahun silam aku bertandang ke rumah Aditya untuk pertama kali. Sore itu,
mula-mula aku bersepeda ke taman sekolah untuk mendapatkan Palupi di sana. Aku
mulai hafal, dara manis itu setiap hari Senin dan Kamis sore mengambil les Matematika.
Rasanya ingin berpura-pura tak sengaja memergokinya keluar dari kelas. Berharap ia
bersedia kubonceng menuju ke rumahnya. Sejauh apa pun.
Sore itu aku melihat Adit—teman satu kelas—juga ada di sana. Seketika ada desir
cemburu memenuhi aliran darahku. Kulihat sepedanya lebih bagus dibanding milikku. Itu
membuat perasaanku sedikit sedih.
“Hai!” sapaku. Sambil tersenyum, menduga-duga.
“Kris!” Adit membalas, lalu mendekat. “Cari siapa?”
“Nggak cari siapa-siapa.” Aku tidak ingin tersipu, apalagi gugup. “Iseng saja.
Kamu sering ke taman ini?”
“Kadang-kadang saja. Lebih kerap berkeliling ke Balai Kota. “
“Tiap sore?”
“Tidak juga.” Adit sedikit tersenyum. “Mau menemani? Sekarang?”

54
Aku bimbang. Sebentar lagi waktu les berakhir. Tapi belum tentu beruntung bisa
bercakap-cakap dengan “kembang” SMP itu. Sebetulnya tak pernah ada janji dengan
gadis itu. Akhirnya kuputuskan menemani Adit. “Ayolah!”
Selanjutnya roda sepeda kami menggelinding menyusuri jalan aspal. Di bawah
naungan rimbun jajaran pohon asam keranji. Berbincang seperti sahabat lama. Tak terasa
aku mengiringi Adit sampai ke halaman rumahnya. Dia mengajakku singgah dan
berkenalan dengan orangtuanya.
Saat bertemu dengan ayahnya, aku agak terperanjat.
“Krisna, teman Aditya.” Aku mengulurkan tangan.
“Sentot. Ayah Adit.” Senyumnya terkembang. Senyum yang khas. Senyum
jenaka yang amat kukenal. “Mari masuk.”
“Pak Sentot yang punya…”
“Aha, kamu penggemar Chocky?” Senyum Pak Sentot melebar. Terasa ada
kebahagiaan. “Kamu masih ingat rupanya? Bukankah sudah lama?”
Aku mengangguk tanpa melepaskan pandangan kagum. Ternyata Adit anak orang
terkenal! Sentot Karyoto itu pemilik boneka Chocky yang bisa “bicara”. Boneka yang
memiliki gerakan indah pada kepala dan rahang saat “berbicara”. Semula aku terkecoh
dengan permainan itu: dialog antara Chocky dan Pak Sentot yang menjalin dongeng atau
petuah bagi anak-anak. Akhirnya aku tahu, yang diucapkan Chocky juga suara Pak
Sentot, dengan teknik suara perut, tanpa terlihat menggerakkan bibir. Ajaib!
Tanganku ditarik Adit, seolah aku anaknya yang membangkang dan bertahan di
depan segugus mainan menarik. Aku diseret gegas menuju ke kamarnya di bagian
belakang rumah. Sebelum aku bicara satu dua hal tentang ayahnya, di meja telah
dihamparkan berpuluh komik terbitan Marvel. Mataku berbinar tanpa sadar.
Menyenangkan juga terdampar di kamar ini! Mengapa tidak sejak dulu?
Saat pamit, matahari sudah tak tampak lagi. Senja hampir menjadi malam. Di
pintu pagar kusempatkan berkata kepada Adit: “Aku ingin melihat langsung ayahmu
memainkan boneka Chocky…”
Adit hanya mendengus tanpa terlihat bangga. Lalu tangannya melambai seperti
mengusirku. Aku pun meluncur dengan sepedaku meninggalkan halaman rumah Adit,

55
tanpa merasa tersinggung. Hari mulai gelap. Aku ingin segera tiba di rumah, ingin lekas
membaca dua buah komik yang kupinjam.

“TAHUKAH kalian? Ternyata ayah Adit itu pengisi acara…”


“Hus! Jangan banyak omong!” Sebuah tangan membekap mulutku. Tangan Adit.
Tangan yang lebarnya sanggup memenuhi wajahku. Teman-teman yang berkerumun di
depan kelas tertawa-tawa melihatku megap-megap. “Ayo, aku lihat pekerjaan rumahmu!
Nomor delapan!”
Aku diseret ke dalam kelas. Lalu kubongkar tas dan kuberikan buku matematika.
Tapi ternyata ia tak sungguh-sungguh hendak menyalin. Ia hanya ingin menjauhkan
diriku dari teman-teman, terutama karena terlontar kata-kataku tentang pekerjaan
ayahnya.
“Pulang sekolah kamu mau ke mana?” tanya Adit serius.
“Ke mana? Tentu saja pulang.”
“Di belakang sekolah kita, tebu-tebu sedang dipanen. Kita ke sana, yuk! Kamu
mau menemani?”
Aku mengangguk setuju. Setahuku, jika kita minta tebu dan makan di tempat,
para mandor penjaga itu tidak keberatan. Tengah hari itu, kami berlari di atas pematang
sambil sesekali jatuh ke tanah retak bekas ditanami tebu. Ada serangkai lori, kereta
pengangkut tebu, yang memanjang di atas rel ukuran mini. Para penebang tebu sedang
sibuk mengikat lonjoran-lonjoran yang telah memenuhi beberapa gerobak besi itu.
Tapi ternyata, Adit tidak serakus yang kubayangkan. Kami baru makan sebatang
tebu berdua, memeras air manis itu dengan mengunyah batang yang dikupas oleh gigi.
Cairan manis beraroma harum itu mengalir dari serat yang menyerpih ke tenggorokan,
terasa mengurangi sengatan panas mentari di kulit. Lalu Adit mengajakku duduk di atas
tumpukan batang tebu di sisi pematang.
“Kamu suka Chocky?” tanyanya tiba-tiba.
“Hm… ya dulu suka. Tapi aku sekarang bukan anak kecil lagi.”
“Kalau begitu, Chocky hanya cocok untuk anak kecil?”

56
Aku ragu mau menjawab. Tapi sejak semula aku ingin jujur kepadanya.
“Mestinya begitu. Kalau sudah seusia kita, rasanya sulit memercayai percakapan
dua orang yang sebenarnya hanya satu,” kataku. “Menurutmu bagaimana?”
Adit menggeleng. Tapi tampak wajahnya keruh. Seperti orang marah.
“Kamu tampaknya tidak menyukai Chocky. Kita cari gelagah saja. Kita bikin
mainan dari batang bunga tebu itu. Kamu tahu caranya?”
“Kamu tahu, berapa umur Chocky?” tanyanya tak peduli dengan usulku.
“Wah, mana kutahu? Apakah dia juga tumbuh seperti manusia?” Aku hampir
takjub mendengar pertanyaannya.
“Dia seumur denganku. Empat belas tahun!”
Aku tertawa. “Jangan-jangan dia juga disunat seperti kamu.”
Kepala Adit tertunduk. Membuat aku menyesal menanggapinya dengan bercanda.
“Begitu aku lahir, ayahku membuat boneka itu.” Adit bergumam.
Aku pun memandangnya dengan serius. “Apakah bermaksud membuat mainan
untukmu?”
“Tidak. Ia menganggap Chocky sebagai diriku yang lain…”
“Maksudmu?”
“Setiap kali ia memainkan Chocky di televisi, ia menganggap sedang bermain
denganku. Bercakap-cakap denganku.”
“Wah, asyik sekali!” ujarku iri.
“Mulanya demikian. Ibuku menganggapnya lucu. Karena Ibu sering keguguran,
dan aku dianggap anak kesayangan.”
“Siapa lebih dulu pandai bicara? Kamu atau Chocky?”
“Tentu saja Chocky lebih dulu bisa ngomong, karena yang bersuara ayahku.
Sebelum aku betul-betul mampu diajak bercakap-cakap, ia bercanda dengan Chocky. Dan
ia melihat Chocky sebagai aku.”
“Luar biasa,” desisku tak sengaja.
“Tidak, bodoh!” Adit menolak. Membuat aku terperanjat. “Karena aku seperti
bukan anaknya, tetapi bonekanya. Sedangkan Chocky menjadi anaknya.”
“Kenapa begitu?”

57
“Karena Chocky yang cari uang, kata ayahku. Aku harus berterima kasih kepada
Chocky.”
Aku tak sepenuhnya mengerti waktu itu. Aku tentu tak dapat memahami perasaan
Chocky. Maaf, maksudku perasaan Adit.
Tiba-tiba langit berubah mendung. Ada sepercik cahaya petir yang membuat kami
gentar dan segera menutup percakapan untuk sepakat bergegas pulang. Kami berlari-lari
kembali sepanjang pematang menuju ke jalan raya, lalu masing-masing menyusuri jalan
pulang. Sesaat seperti ada perjanjian, kami akan menjadi sahabat. Aku sedikit yakin,
bahwa Adit tidak menceritakan hal itu kepada teman lain.

TETAPI mengapa Adit tidak jujur kepadaku?


Sebenarnya itu hanya menyangkut kamar anjing di rumahnya yang tak pernah
dijelaskan isi di dalamnya. Atau mungkin aku terlampau bodoh dengan pertanyaan itu.
Kamar anjing tentu berisi seekor—atau lebih—anjing. Seperti juga kamar jenazah untuk
menyimpan bekas tubuh yang sudah kehilangan ruh.
Akan tetapi, kamar anjing di rumah Adit agak mengherankan bagiku karena
memiliki pintu kayu yang tertutup rapat. Bagaimana makhluk lucu—atau mungkin
seram—itu dapat bernafas jika tinggal di dalamnya? Sudahlah. Tak perlu bertanya lebih
jauh. Aku tak ingin memancing pertengkaran melalui urusan sepele.
Hari ini aku singgah ke rumah Adit sepulang sekolah. Saat mengikuti langkahnya
menuju kamarnya di belakang, kuperhatikan pintu kamar anjing yang terletak menghadap
ruang keluarga. Lebih istimewa, rasanya.
“Di kamar ini, aku bisa lebih bebas berkhayal,” katanya seperti tahu yang
kupikirkan. Ucapannya beralasan karena jendela kamarnya menghadap kebun belakang.
Peluang itu pula yang digunakannya untuk sesekali pergi ke luar malam tanpa melewati
pintu depan.

58
BEBERAPA kali, atau mungkin sering, aku main ke rumah Adit, bahkan sampai
kami sama-sama bersekolah di SMA. Aku singgah untuk meminjam komik-komik
barunya. Atau nonton film-film koleksinya. Tak satu pun terdapat film anak-anak, apalagi
yang berjudul Pinokio. Ia cukup mendapat kebebasan untuk mengumpulkan film dewasa,
meskipun sepanjang yang kutahu, percakapan dengan ayahnya terlampau terbatas.
Tampaknya kisah tentang Chocky telah berlalu. Tiada lagi yang menghangatkan
pikiran kami tentang boneka itu. Sejak acara ayahnya di televisi dihentikan, aku tidak
pernah satu kali pun melihatnya memainkan Chocky di rumahnya. Barangkali tak akan
membuatku terhibur juga.
Sementara itu, aku sering memergoki Pak Sentot menyendiri di beranda. Banyak
surat kabar di meja, tapi dibiarkan tetap terlipat. Pandangan matanya menembus sela-sela
tirai ke arah kebun kecil di depan rumah. Setiap kali aku pamit, sedikit membuatnya
terperanjat, dan melimpahkan perasaan berdosa kepadaku karena telah mengganggunya.
“Kamu jarang sekali bicara dengan ayahmu,” kataku di pintu pagar.
“Ayahku yang jarang bicara denganku,” sahut Adit datar.
Aku memandang heran. Tapi seperti biasa, tangannya melambai seolah
mengusirku. Dan seperti biasa, sejak awal mula, aku segera pulang tanpa merasa
tersinggung. Tapi malamnya aku bermimpi bercakap-cakap dengan Chocky! Membuatku
ingin segera menjumpai pagi.
“Adit, kutunggu kamu sejak tadi. Ayo kita ke kantin.” Aku menyerbu
kedatangannya di pagar sekolah keesokan harinya.
“Sepagi ini?”
“Ya. Aku mau ceritakan mimpiku semalam.”
Tanpa meletakkan tas terlebih dulu, Adit mengiringi langkahku ke kantin.
“Aku mimpi bercakap-cakap dengan Chocky!” ujarku penuh semangat.
Mendadak muka Adit memerah. “Kamu bercakap-cakap dengan anjing itu?”
Mulutku ternganga. “Anjing?”
“Ya!” Rahang Adit tampak mengeras kaku.
Kupegang kedua lengannya. Aku tak sepenuhnya tahu dengan yang kulakukan,
namun jantungku terasa gemuruh. Kamar anjing itu…

59
“Maaf, maaf! Aku tak akan membicarakannya lagi.” Aku benar-benar berjanji.
Akan tetapi Adit justru menggagalkan janjiku.
“Dengar, Kris! Kini kamu tahu, siapa yang menghuni kamar anjing itu. Itu kamar
Chocky! Aku muak setiap kali Ayah masuk ke kamar itu, mengunci diri, dan kudengar
bercakap-cakap dengan Chocky. Sementara aku, anaknya, tidak pernah diajak bicara
seperti itu. Seolah aku tak punya masalah …”
“Ibumu?”
“Kamu tahu, kan? Ibu yang bekerja menghidupi kami, sebagai pegawai negeri.
Telah hampir lima tahun pekerjaan ayahku hanya duduk-duduk, atau pergi entah ke mana
dan pulang menceritakan pengalamannya di kamar anjing.”
“Mestinya kamu ceritakan ini kepadaku, agar aku tak salah sangka…”
Kulihat ada air mata menetes ke pipinya. Kami sama-sama kelas dua SMA. Tetapi
aku selalu merasa bodoh untuk melakukan perbuatan yang berguna bagi Adit. Aku tak
tahu, sedalam apa luka hatinya.
“Ayo, kita ke kelas. Sekali lagi aku minta maaf,” ajakku.
Adit mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Lalu berjalan dengan kepala
ditundukkan. Sepanjang dua jam pelajaran dia terdiam. Tak sampai akhir jam sekolah,
Adit minta izin untuk pulang. Aku membiarkannya berjalan meninggalkan sekolah,
dengan punggung yang tak lagi tegak.

HARI berikutnya Adit tidak masuk sekolah. Aku tergerak menjenguk ke


rumahnya. Ke kamarnya yang menghadap kebun belakang. Ibunya ada di rumah,
menawariku makan siang, tetapi aku lebih berminat segera menemui Adit. Lama aku
mengetuk pintu kamarnya sampai kemudian dibuka dengan enggan.
Aku terkejut melihat keadaannya. Matanya bengkak, lebih tampak sebagai akibat
pukulan dibanding oleh tangisan. Rambutnya acak-acakan, dan kuduga dia belum
menyentuh air sejak pulang sekolah kemarin. Kamarnya lebih berantakan dari biasanya.
“Aku ingin membunuh Ayah….”

60
“Sstt!” Kini aku yang membekap mulutnya. Ucapannya sungguh menakutkan
bagiku.
“Kubuatkan minum, ya?” Aku bergegas ke dapur yang tak jauh dari pintu
kamarnya. Mengambil sebotol air dingin dari lemari es dan berharap bisa menenangkan
perasaannya. “Minumlah dulu. Jika sudah tenang, katakan apa masalahmu.”
Ia menurut, meneguk air yang kuberikan dalam gelas yang kuangsurkan. Aku
hanya bisa menunggu. Menemaninya.
“Aku… aku merasa hidupku percuma, Kris.”
“Adit, tak boleh bicara seperti itu!”
“Semalam aku bertengkar hebat dengan Ayah.”
Aku mengangguk. Menunggu ceritanya.
“Chocky telah tiada, Kris.” Adit kemudian tersedu. Tubuhnya bergetar.
Aku disergap bingung. Ucapannya seperti terdengar keliru di telingaku. Bukankah
Chocky adalah musuhnya? Yang telah membuatnya iri dan cemburu selama ini.
Seharusnya ia begitu bahagia seandainya benar Chocky telah “meninggal”.
Kuusap punggungnya yang berguncang.
“Semalam, setelah kami bertengkar, Ayah membakar Chocky…,” ujarnya
tersendat.
Aku terperangah. Lalu bertanya ragu-ragu. “Bukankah itu yang kamu harapkan?”
“Apa katamu, Kris?” Tiba-tiba Adit memandangku dengan tatapan kasar.
“Ayahku telah membunuhku!”
Mulutku ternganga tanpa kusadari.
“Jadi, kamu senang jika aku mati? Bukankah Chocky itu aku? Ayah telah
membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku, Kris!”
“Aku tak mengerti…” Aku mulai dijalari rasa takut. Terutama melihat mata Adit
yang aneh.
“Kamu pasti mengerti, Kris. Kamu sahabatku! Tapi kini kamu hanya pura-pura
menghiburku, padahal kamu senang aku mati!”
“Adit! Maaf, itu tidak benar …”
“Kamu bohong! Sekarang kamu keluar dari kamarku!”

61
Kini saatnya aku merasa tersinggung dengan lambaian tangannya. Tubuh tak
bertenaga itu kini seperti monster yang menakutkan bagiku. Matanya itu! Seperti ingin
membakarku.
“Kubilang keluar!” Suaranya mirip guntur.
Aku terhuyung meninggalkan kamar Adit yang kemudian dibanting pintunya.
Aku mundur dan menabrak tubuh ibunya yang tegak di sisi dapur.
“Dari semalam dia berkelakuan aneh. Sejak ayahnya membakar Chocky,” kata
ibunya. Aku mengangguk tapi belum tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin
duduk di beranda, meredakan gemuruh dada, sambil mencoba berpikir.
Aku melewati kamar anjing. Aku menatap pintunya sejenak. Kamar Chocky,
yang selalu disebut “kamar anjing” dengan nada marah oleh Adit. Tapi baru saja Adit
kehilangan nyala harapan ketika anjing itu, maksudku Chocky, musnah. Masih terngiang
dengan dengung yang mencekam di telinga: “Ayah telah membunuhku. Bukankah
Chocky itu aku? Ayah telah membunuh Chocky, sama saja ia membunuhku!”
Aku duduk di beranda, di kursi yang biasa menjadi tempat rehat Pak Sentot. Aku
memandang ke arah kebun melalui sela-sela tirai bambu. Seperti yang dilakukan oleh Pak
Sentot setiap hari. Tanpa tercegah, mataku perlahan basah.
Di balik tirai, di kebun kecil itu, aku melihat anak kecil yang wajahnya mirip Adit
sedang bermain sendirian. Kadang-kadang wajahnya berubah serupa boneka kayu
Chocky. Alangkah mirip senyum keduanya. Lambat-laun aku semakin tak sanggup
membedakan antara wajah Aditya dengan wajah Chocky pada anak kecil yang sedang
bermain di kebun itu.

***

Jakarta, 5 Januari 2006

62
TETES HUJAN MENJADI ABU

SUDAH tiba saatnya saya pulang, bisik Andria dari balik jendela kamarnya. Ia
gemetar menatap pemandangan yang terjadi di luar. Hujan turun dan setiap tetes airnya
berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Bahkan yang memercik ke bibir lantai
teras yang dapat diintipnya, juga menjelma abu. Seketika. Tanpa menunggu jeda.
Andria teringat pesan neneknya dalam bahasa Jawa. Maknanya kira-kira
demikian:
“Jika kamu melihat tetes hujan menjadi abu, segeralah pulang. Itu tanda aku akan
kembali kepada Sang Empu. Berilah aku doamu untuk terakhir kali. Dan miliki
warisanku yang kelak juga kamu wariskan kepada cucumu.”
Pesan yang tak akan ia lupakan. Karena ditulis dalam sebuah kertas dan
dibungkus saputangan, yang diserahkan menjelang Andria meninggalkan rumah keluarga
di bukit Paninggaran. Andria sejak awal tak berani membuka bekal yang mirip pusaka
itu. Meskipun neneknya tak banyak mengutarakan dalam bentuk kata-kata, linangan air
mata yang tak sampai mengalir ke pipi keriput itu telah mewakilinya.
Boleh jadi, Andria adalah cucu kesayangan. Tak dapat dipungkiri karena ia anak
tunggal dari ibu yang meninggal muda. Sang ayah, menantu nenek, seorang yang

63
sungguh setia. Ia bersitahan untuk tetap menjadi petani dan menggarap kebun yang luas
dengan sepasang tangan kekarnya. Otot-ototnya yang bercecabang menonjol di atas kulit
berwarna tembaga menunjukkan kekuatan yang terhimpun di dalamnya.
Andria kagum terhadap ayahnya. Sebagai seorang lelaki, sesungguhnya ia bisa
saja pergi dari rumah untuk mencari perempuan lain pengganti istrinya. Ia masih sangat
pantas untuk menikah lagi dan mungkin akan memberikan adik-adik tiri bagi Andria.
Tetapi tak pernah ia lakukan. Tanpa alasan yang benar-benar jelas, kenapa ia tidak
menikah lagi. Karena itu, selama ini, Andria hanya menduga-duga, barangkali cinta
ayahnya memang tak mungkin terbelah. Tak tergoda oleh perempuan lain, yang bahkan
lebih cantik daripada mendiang ibu Andria.
Ketika Andria lepas dari sekolah menengah pertama, ia mulai merasakan ada
yang tak beres dengan kesetiaan ayahnya. Bagaimana mungkin seorang lelaki, dengan
nafsu yang umumnya meletup-letup, mampu bersikeras untuk tidak menikah lagi.
Apakah batang zakarnya tak sanggup menegang lagi oleh paras cantik atau lekuk tubuh
dan bentuk buah dada seorang permpuan? Apakah tak ada desir darah bersilekas setiap
kali Andria mencoba melewati ayahnya hanya dengan lilitan handuk setiap habis mandi
dari pancuran? Apakah celoteh para perawan iseng yang sengaja beramai-ramai
mendahului jalan ayahnya saat menuju sungai tidak menerbitkan khayalan erotis?
Justru karena Andria tahu, bahwa perempuan dapat lebih tabah menahan gejolak
nafsunya, dan dibenamkan ke dalam mimpinya, sementara laki-laki akan segera mencari
pelampiasan, maka keheranannya tampak membutuhkan jawaban.

“AYAH tak bisa meninggalkan ibumu begitu saja, Andria.”


“Ibu sudah meninggal, mungkin hari ini ulang tahun keempat atas kematiannya.
Saya kira sudah cukup perkabungan itu.”
“Apakah kamu tidak ingin cintamu terhadap ibumu menetap kekal?”
“Ayah jangan menyangsikan cinta saya terhadap Ibu. Meskipun saya
mengenalnya hanya beberapa tahun, namun semua yang dilakukan Ibu terhadap saya
hampir semua berkesan.”

64
“Apakah kamu ingin memiliki ibu baru yang kita tidak tahu sebesar apa rasa
sayangnya terhadapmu?”
“Bukan itu yang saya pikirkan, Ayah. Justru saya ingin Ayah dapat kembali
bahagia seperti waktu saya kecil.”
“Apakah kamu melihat saat ini Ayah tidak bahagia?”
“Ayah, bukankah saya yang ingin bertanya kepadamu? Bukan sebaliknya. Kenapa
Ayah yang selalu meminta jawaban dari saya?”
“Percayalah, Andria. Ayah merasa sangat bahagia. Karena sesungguhnya ibumu
tak pernah pergi dari sini.”
“Ayah jangan berdusta. Sekarang saya telah duduk di sekolah menengah atas,
mulai tahu perasaan-perasaan orang lain. Saya sudah menstruasi sejak dua tahun yang
lalu.”
“Pengetahuanmu bisa keliru, Andria…”
“Itu karena Ayah mencoba menutupi rasa sedih yang berkepanjangan. Sementara
itu, sesungguhnya, kita dapat memulai hidup yang baru, dan menciptakan kebahagiaan
yang baru.”
“Ah, Ayah jadi heran. Ini desa terpencil. Kamu harus berjalan kaki tiga kilometer
untuk sampai ke sekolahmu. Ayah juga yakin, guru-gurumu itu sisa dari jumlah yang
telah dipilih oleh sekolah-sekolah di kota. Tetapi kenapa kamu jadi sok tahu? Siapa yang
mengajarimu, Andria?”
“Dengan pertanyaan itu, Ayah sepertinya mengharapkan saya tetap bodoh, dan
tetap percaya dengan alasan-alasan Ayah yang tak masuk akal.”
“Andria! Maafkan kalau Ayah telah membentakmu. Maafkan. Sesungguhnya
Ayah ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, tapi tentu tidak sekarang. Sebaiknya saat
ini kamu percaya saja kepada jalan yang Ayah pilih…”
“Meskipun saya tetap tak mengerti, saya tak akan mendesak Ayah. Hanya Ayah
yang tahu semua yang terbaik buat Ayah. Maafkan saya, jika pertanyaan-pertanyaan tadi
membuat hati Ayah terluka.”
“Ayah tahu. Dan kamu juga harus tahu, bahwa Ayah sangat mencintaimu. Seperti
Ayah mencintai ibumu. Pergilah tidur. Ayah ingin merokok sebentar.”

65
*

JEMARI tangan Andria gemetar mencengkeram jeruji yang melindungi kaca


jendela jika sewaktu-waktu ada seorang maling yang memecahkannya untuk mencoba
masuk ke dalam kamar. Ia masih menatap tetes-tetes hujan yang seketika menjadi abu
begitu menyentuh pelataran atau aspal jalan di depan rumah.
“Sudah tiba saatnya saya pulang,” desisnya sendiri.
Andria akan segera melupakan semua rencana hari ini. Ia akan segera menepis
janji-janjinya terhadap teman sejawat atau kekasihnya untuk keluar rumah besok hari
Minggu. Ini Sabtu yang akan mengubah sejarah. Saat ia melihat sesuatu yang sejak awal
tak pernah dipercaya.
Tulisan neneknya itu, yang dibuka dan dibaca justru setelah ia mendapatkan
pekerjaan dan tempat tinggal. Hampir secara tak sengaja. Ketika ia akan membereskan
seluruh pakaian dalam lemari yang baru dibelinya, ia menemukan saputangan yang diikat
rapi di saku tas yang tak benar-benar dibongkarnya sepanjang ia merantau.
Begitu terpesona ia membaca pesan nenek yang tertulis dengan tinta melepuh,
nyaris luntur, di atas kertas yang mulai menguning. Dalam bahasa Jawa. Tapi, karena
Andria memang orang Jawa yang lahir dan memiliki masa kecil di pedalaman, ia tidak
mengalami kesulitan untuk menangkap artinya.
“Berarti saat ini Nenek sudah waktunya menghadap Tuhan.” Ia bergumam
sendiri. “Benarkah demikian?” Ia meragukan kesimpulannya. Tapi, sebenarnya, ia lebih
meragukan pandangannya terhadap tetes-tetes hujan itu.
Dan yang paling menyedihkan, di rumah tak ada seorang pun yang dapat ditanya:
mengapa hujan kali ini berperangai aneh? Sebuah metamorfosa yang tak lazim. Bahkan
sepanjang sejarah hidup manusia, rasanya.
“Berarti saya akan pulang tanpa pamit. Kata ”segera” dapat diartikan sebagai
tidak ditunda-tunda lagi.”
Lantas ia pun berkemas. Ia harus bergerak lekas. Tak perlu membawa banyak
pakaian, karena tentu tak akan lama di Paninggaran. Jika memang benar neneknya akan
meninggal dunia, atau bahkan telah meninggal dunia, Andria akan segera kembali ke kota

66
setelah tiga hari kenduri. Sebab, meninggal adalah hak semua orang. Jadi Nenek telah
mendapatkan haknya, tak perlu lagi disesali atau ditangisi berlarut-larut.
Entah kenapa, mata Andria mendadak terasa panas. Lalu mengalir air bening dari
kelopaknya. Kesedihan yang serta-merta meruyak dalam dadanya telah membuatnya
menangis. Ia tiba-tiba menyadari, bahwa dirinya adalah cucu kesayangan. Buktinya, ia
mendapatkan pesan khusus dari neneknya. Ya, melalui tetes-tetes hujan itu. Tetes hujan
yang serentak menjadi abu begitu menyentuh tanah. Pelataran dan kebun yang diguyur
hujan sama sekali tidak basah.

DIKUNCINYA pintu kamar. Andria hanya menuliskan pesan ringkas dengan


bahasa Indonesia di atas kertas yang diletakkan di meja makan. Dengan cara itu ia pamit
kepada pemilik rumah. Dengan cara itu pula ia berharap pemilik rumah akan
menyampaikan pesan kepada teman sejawatnya yang akan lewat di depan rumahnya
untuk bekerja pada shift sore.
Tentu Andria tidak menuliskan kata-kata: “Saya melihat tetes-tetes hujan menjadi
abu, sehingga saya harus segera pulang ke gunung.” Kata-kata itu hanya akan membuat
pemilik rumah bingung. Dan akan menganggapnya sebagai cara minggat—tanpa
membayar sewa kamar—yang tak santun.
Hujan reda ketika Andria mulai bergegas ke jalan raya. Tapi ia tidak
mengurungkan niatnya untuk tetap pulang ke Paninggaran. Pesan singkat itu sudah cukup
untuk membuatnya berangkat. Di ujung gang ia mencegat sebuah angkutan kota yang
akan membawanya ke terminal bus antarkota antarprovinsi.
Ketika sebuah bus jurusan Pekalongan sedang merayap di mulut terminal, Andria
tidak berminat menunggu lagi. Ia yakin, sebelum musim Lebaran, tentu tak akan
berdesak-desakan. Ia pun masuk ke dalam bus yang memiliki kondektur begitu ”ramah”
sampai tangannya mendekap erat bokongnya, seperti takut Andria akan jatuh.
Dilihatnya bangku kosong dekat pintu belakang. Ia pun duduk dan merasa tenang,
karena bus itu tidak lagi berhenti mencari penumpang. Perjalanan akan memakan waktu

67
sekitar sembilan sampai sepuluh jam, tapi bukan lagi menjadi masalah. Karena memang
tak ada jalan lain, kecuali jika hendak mengikuti jadwal kereta api.
Persis setelah melewati Bekasi, kondektur menarik ongkos. Mungkin karena tugas
mencari penumpang sepanjang perjalanan sebelum masuk jalan tol telah selesai, dan
dengan demikian, ia dapat menganggur duduk di bangku paling belakang. Memang
benar, perjalanan demikian lancar, membuat semua penumpang tertidur lelap.
Saat itulah kembali turun hujan. Mula-mula Andria tidak memperhatikan, karena
ia pun mulai mengantuk. Namun jika teringat sebab-sebab kepulangannya, mendadak
hilang rasa kantuknya. Ia menegakkan punggung, sehingga matanya dapat memandang
jalan raya yang sedang dilalui bus itu.
Astaga! Setiap tetes hujan yang menimpa aspal serentak menjadi abu. Tetes-tetes
yang jatuh beribu-ribu dari langit itu tidak membuat jalan basah. Justru kini menebar
sebagai debu kelabu terbawa angin yang menderas oleh kecepatan bus. Mirip abu rokok
yang dijentikkan sembarangan.
“Tak mungkin!” bisik Andria terkesiap. Di balik jendela rumahnya, boleh saja
pemandangan muskil itu terlihat olehnya. Tapi, di jalan raya ini…
Sekarang saatnya mencari saksi. Di dalam bus ini setidaknya terdapat dua puluh
orang penumpang. Andria dapat memastikan, apakah benar yang dilihatnya itu? Tetes-
tetes hujan menjadi abu!
Tapi ia melihat seluruh penumpang sedang terlelap. Ia menunggu sampai ada di
antara mereka yang bergerak, sehingga ia punya alasan untuk bertanya. Tapi selama
hampir sepuluh menit tak ada yang menunjukkan gerakan orang yang terjaga. Kepala
mereka rebah ke sandaran. Ada yang terbungkuk-bungkuk, atau tergolek ke samping,
terayun-ayun oleh gerakan mobil yang melaju.
Orang yang duduk di samping Andria, bahkan mendengkur lantaran begitu pulas.
Siku Andria mencoba menusuk ke tulang rusuknya, pura-pura tak sengaja, namun tak
menghasilkan apa-apa. Kepalanya mencoba menengok ke belakang, siapa tahu kondektur
sedang terjaga. Ia kecewa, karena lelaki yang telah sengaja memegang pantatnya itu juga
sedang tidur dengan mulut setengah terbuka.
Apakah sopirnya juga tidur? Tiba-tiba Andria terperanjat dan cemas.

68
“Tak mungkin!” desisnya. “Tak mungkin saya berteriak dari sini, memanggil
sopir untuk menanyakan apa yang dilihatnya…”
Sopir itu begitu tekun mengendarai bus. Seolah-olah dia yang paling bertanggung
jawab terhadap seluruh penumpang, agar masing-masing sampai di tempat tujuan dengan
selamat. Tapi… tentu mata sopir itu melihat hujan yang turun membasahi jalan raya yang
sedang ditempuhnya.
Membasahi! Itulah yang seharusnya dilakukan oleh hujan terhadap hamparan
tujuannya. Tapi, seluruh yang dilihat oleh Andria melalui jendela di sampingnya: tetes-
tetes hujan itu menjadi abu. Akhirnya Andria putus asa. Ia tak berani berteriak karena
akan membangunkan semua penumpang dan mungkin akan memancing kemarahan
mereka yang merasa terganggu kenikmatannya.

“APA yang telah terjadi, Ayah?” Andria menghambur ke dalam pelukan laki-laki
bertangan kekar itu. Ia telah melihat tenda terpasang di halaman rumah.
“Nenekmu meninggal dunia. Kemarin siang.” Ayahnya membelai rambut
anaknya. “Panjatkan doamu yang terakhir. Ia disemayamkan di ruang tengah. Sepagi
mungkin, nanti, akan dikuburkan dekat makam ibumu.”
“Maaf, saya datang terlambat. Tadi lama menunggu kendaraan di Kedung Wuni.”
“Kamu datang tepat pada waktunya, Nak. Ayah justru mau bertanya, siapa yang
memberi tahu kamu?”
Andria memandang ayahnya, tapi tak mengucapkan apa-apa. Ia segera masuk ke
dalam rumah, dan bersimpuh di depan jenazah neneknya. Beberapa orang yang sedang
mengaji di sekitarnya sedikit menepi. Andria membaca doa, lalu mencoba mengamati
wajah neneknya yang teduh.
“Sesuai dengan pesanmu, saya telah melihatnya. Karena itu saya segera pulang,”
Andria menggerakkan bibir tanpa suara. Seperti khawatir akan membangunkan
perempuan tua itu kembali.

69
Sementara pagi hampir tiba. Malam lembap itu telah menyadarkan Andria pada
tubuhnya yang terasa ringsek karena perjalanan panjang yang dilaluinya. Ia kembali
menuju tempat ayahnya duduk, dan minum kopi yang sudah dingin di meja ayahnya.
“Kini Nenek telah meninggal. Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?” tanya
Andria.
“Pertanyaan Ayah belum kamu jawab. Siapa yang memberi tahumu bahwa Nenek
meninggal?”
Andria mengeluarkan kertas lusuh dari sakunya. Memberikan kepada ayahnya
untuk dibaca. Laki-laki itu terdiam lama tak berkata-kata. Sampai Andria kembali
memecah kesenyapan.
“Apakah berarti Ayah akan menikah lagi?”
“Entahlah.” Ayahnya menundukkan kepala. “Ayah tak dapat mengkhianati ibumu
yang tetap setia menemani Ayah tidur, selalu menyeduh kopi pagi-pagi, dan
meletakkannya di kamar…”
“Maksud Ayah?” Andria menyentuh tangan ayahnya. Ia tak yakin dengan
pendengarannya.
“Entahlah…”
Apakah Andria harus memercayai kata-kata ayahnya? Seperti harapan Andria
agar ayahnya percaya padanya tentang tetes-tetes hujan yang menjadi abu?

***

Jakarta, 21 September 2005

70
SEPANJANG BRAGA

LUKISAN itu akhirnya kuselesaikan. Senjakala Braga. Kutoreh namaku di kanan


bawah kanvas. Kuregang tubuh ketika kudengar langkah Chiara menuju studio.
“Selesai, Mas?”
“Ya. Ini yang kedua puluh. Masih jauh dari angka seratus,” keluhku.
“Apakah harus sama jumlahnya dengan yang lalu?” Chiara memelukku dari
belakang. Aroma parfum lembut merasuk ke hidungku, bersaing dengan sengat bau cat
minyak yang memenuhi ruangan. “Yang penting telah mengganti yang pergi.”
Benarkah seratus lukisan Sepanjang Braga telah dianggap pergi? Bukankah ia
tersimpan aman dalam galerimu? Di Ujungpandang atau Manila? Ah, tak pernah kutahu
lagi kabarmu sejak percakapan terakhir melalui telepon. Aku merasa terempas oleh
kalimat perpisahan. Memang sedikit bahagia, begitu tahu seluruh lukisan itu menjadi
milikmu. Apakah itu sebuah cara untuk saling mengenang?
“Inginnya seperti itu. Tapi…” Aku membalik badan dan mencium pipi Chiara,
“…sekarang jauh lebih berat.”
“Nah, aku membawa berita penting.”

71
“Apa?” tanyaku penasaran.
Chiara membentang Jakarta Post. “Selintas kubaca berita tentang pameran
koleksi Sepanjang Braga. Nah, ini dia!” Di sisi kanan kutemukan kolom budaya yang
menarik perhatian. “Kupikir, Mas yang memasang pengumuman ini. Padahal, proyek
Sepanjang Braga kedua ini belum selesai,” sambung Chiara.
Kutemukan namamu sebagai kolektor penyelenggara. Astaga, apa maksudmu?
Apakah… lukisanku hendak dilelang? Itu lukisan kita! Mendadak aku sedikit gemetar.
Tercecap rasa getir di bibir.
“Dua minggu lagi…”
“Bukankah dulu pembelinya bernama Mr. Feliciano?”
“Ya,” sahutku lirih. “Boleh kusimpan koran ini?”
Chiara mengangguk dan tersenyum. Langkah sepatunya menjauh. Tapi seruannya
justru terdengar nyaring. “Baby! Sudah pulang les, Sayang?”
Aku tak mendengar sahutan anak perempuan kami. Tapi aku yakin dia sudah
pulang, dan tenggelam membaca novel teenlit. Kudekati jendela yang masih terbuka.
Senja turun merapat ke bumi. Sisa cahaya di langit masih membedakan warna daun dan
ranting. Sesekali tampak daun kering luruh ke tanah. Kepada siapa puncak pohon
mengirim pesan melalui selembar daun ke rumputan? Kepada siapa hendak kaupamerkan
seratus lukisan Sepanjang Braga?
Ternyata, kamu semakin pintar membuat perasaan tenteram ini terusik.
Setidaknya, engkau telah melakukan tikaman yang tepat. Terngiang kembali percakapan
ringkas kita beberapa tahun lalu, melalui telepon yang terganggu gemuruh pesawat.
“Kau cemas jika Chiara melihatnya, bukan?” Saat itu kamu tertawa, bagai
merayakan sebuah kemenangan. “Aku hanya ingin memberi tahu bahwa Sepanjang
Braga sudah menjadi milikku. Seluruhnya, Mas! Feliciano membelinya untukku, sebagai
maskawin, atau kami tidak pernah menikah. Kaget? Maaf, aku tak mungkin mengatakan
sejak awal, karena aku sulit melupakanmu. Aku hanya ingin segalanya beres, bahkan
sejak kubaca berita budaya di beberapa surat kabar. Pameran Sepanjang Braga itu pasti
untukku. Aku tahu, tanpa kamu memberi tahu, Mas.”
Lima tahun berlalu. Meski perasaanku terhibur karena seratus lukisanku itu
menjadi milikmu, aku sempat berhenti melukis. Berminggu-minggu. Bahkan setelah

72
berulang kali melangkah sendiri di sepanjang Jalan Braga. Kala petang, saat jatuh
gerimis. Lewat tengah malam, sewaktu keloneng becak tinggal gema di kejauhan.

“PAPA! Nama Papa disebut di televisi!” jerit Baby dari ruang tengah.
Masih dengan sikat gigi di mulut berbusa, kutinggalkan wastafel. Perasaanku
berdesir melihatmu menjadi tamu dalam acara “Percakapan Pagi”. Nyaris tak ada yang
berubah: wajahmu yang tirus, rambut pendek lurus, senyummu terkembang tulus.
“Jadi pameran ini sebagai perayaan ulang tahun kelima pernikahan?” tanya
Sandrina. “Merupakan gagasan pribadi atau keinginan bersama suami?”
Kulihat kamu tertawa. “Awalnya hanya keinginan saya. Tanpa sengaja tercetus
ketika kami menghadiri pameran di Singapura. Ternyata Feliciano setuju.”
“Tapi kenapa hanya seri Sepanjang Braga? Bukankah banyak koleksi lain?”
Kali ini kulihat kamu menjawab hati-hati. Entah kenapa, jantungku justru
berdegup lebih kencang.
“Sebenarnya bisa lukisan yang mana saja. Tetapi, seratus lukisan Sepanjang
Braga merupakan hadiah perkawinan dari Feliciano. Itu lebih tepat.”
“Boleh tanya lebih jauh?” Sandrina tersenyum. “Mengapa Feliciano memberikan
hadiah itu? Mengapa tidak dari sejumlah pelukis yang berbeda? Atau bisa mencari dari
tempat lelang kelas dunia, misalnya. Atau seratus lukisan itu yang Mbak inginkan?”
“Hmm... Boleh dikatakan begitu.”
“Kenapa ragu-ragu? Hanya sebuah kebetulan atau memang minta koleksi
Sepanjang Braga?” Sandrina membaca sejenak catatan pada kartu yang dipegangnya.
“Lukisan yang saat itu sedang dipamerkan di Galeri Soemardja ITB, bukan?”
“Ya, benar.”
“Ya untuk kebetulan atau ya karena permintaan?” Mata Sandrina tak lepas dari
wajahmu yang kini mulai tersipu.
“Terus terang, saya memang ingin Sepanjang Braga sebagai maskawin,” ujarmu
akhirnya. Dan tampak parasmu menjadi lega, seperti terlepas dari beban.

73
“Itu lukisan Papa, ya?” tanya Baby, ketika secara insert muncul di layar TV. Aku
mengangguk dengan tatapan tak beranjak dari wajahmu. “Kok Baby nggak pernah lihat
di studio?”
“Waktu Papa melukis itu, kamu masih tiga tahun.”
“O,” Baby menggumam. “Tapi Papa kenal sama tante itu?”
“Sst… kita dengarkan dulu, ya.”
Sandrina tidak berhenti mengejar. “Apakah Mbak kenal dengan pelukisnya? Atau
mungkin lebih tertarik pada tema lukisannya, maksud saya, terhadap Braga?”
“Benar. Saya mengenal pelukisnya, seperti saya mengenal Hanafi, Agus Suwage,
atau Acep Zamzam Noor. Dan saya suka dengan tema spesial itu.”
“Jadi itu semacam memorabilia? Ini tak perlu dijawab, Mbak. Nah, pertanyaan
terakhir sebelum jeda pariwara. Apakah pelukisnya tahu rencana pameran ini?”
“Saya belum memberi tahu, tapi sudah sempat diumumkan di surat kabar.
Mungkin tidak perlu menghubungi. Bukankah lukisan itu milik saya?”
Begitukah? Apakah aku perlu tersinggung dengan jawabanmu itu?
“Satu lagi, Mbak, agar pemirsa tahu. Pameran ini akan berlangsung di mana?”
“Di Bandung, tentu. Di Caesar Palace, Jalan Braga. Agar pengunjung dapat
menarik hubungan antara lukisan dengan suasana sekitarnya.”
“Menarik sekali, pemirsa. Sesi berikutnya Anda boleh telepon, bertanya langsung
pada sang impresario sekaligus kolektor…”
Aku terperenyak oleh peristiwa yang berkelebat begitu cepat. Kemarin Chiara
membawa berita dari koran. Pagi ini, televisi menyodorkan percakapan langsung tentang
Sepanjang Braga. Aku duduk di sofa. Kepala Baby langsung rebah ke bahuku. “Papa
kenal sama tante yang tadi?” Ia mengulang pertanyaannya.
Hampir kujawab pertanyaan Baby, ketika kudengar celoteh Rindra dan Hanusa, si
kembar adik Baby. Mereka pulang dari jalan-jalan keliling taman bersama Chiara.
“Lihat, Mama bawa oleh-oleh apa?”
Baby lupa pertanyaannya, melompat menyerbu ke beranda. “Asyiiik!” kudengar
jeritannya. Benar katamu. Sesungguhnya aku lebih cemas jika Chiara menyimak
tayangan itu. Lantas tahu sesuatu yang selama ini sembunyi dalam kelopak sejarah.
Karena Sandrina pasti akan terus mengejarmu dengan pertanyaan.

74
*

TELEPON berdering. Aku mengambil alih dari Chiara, karena memang untukku.
“Kawan, ada kabar duka. Bung Pram baru saja meninggal. Pukul 9.”
“Ya Tuhan. Aku turut berduka. Terima kasih kabarnya. Jenazah disemayamkan di
mana?” Aku mencatat alamat yang dia imlakan. “Agak siang aku melayat.”
“Satu lagi yang juga penting bagimu. Sepanjang Braga akan dipamerkan di
Bandung! Oke, sampai ketemu.”
Telepon ditutup. Berita di pengujung percakapan membuat aku seperti diserang
teror. Tapi, mengapa pusing? Seratus lukisan itu mau kaubakar, kaujual dengan harga
obral, atau ditenggelamkan ke dasar laut dan suatu saat ditemukan oleh Mila Duchlun,
seorang pemandu wisata di Republik Maldives yang pernah menyelam sambil menulis
puisi…terserah saja.
Aku pun selekasnya berbenah. Tiba-tiba terpetik pikiran untuk melanjutkan
perjalanan ke Bandung. Apakah ini sebuah keputusan yang tergesa? Aku hanya ingin
berlindung dari rasa pedih ke tempat yang tenang. Aku tak akan mengunjungi
pameranmu! Kecuali ingin perasaanku dihujani sejumlah jarum kenangan yang begitu
tajam. Aku tahu, kamu sengaja memanggilku dengan pameran itu. Tapi maaf, tidak perlu
lagi memperpanjang ngilu.
“Aku akan ke Utan Kayu. Setelah pemakaman Pak Pramoedya, aku mau ke
rumah kawan, mungkin pulang larut.” Pamitku pada Chiara. Ia menyarankan agar aku
membawa jaket dan payung.
Datang ke rumah duka, aku berusaha memandang paras Pram terakhir kali. Saat
janazah berangkat ke Karet Bivak, diantar sejumlah sahabat, aku meninggalkan Jakarta.
Hujan sempat menghiasi perjalanan menuju Bandung. Petir berpijar di langit seperti akar
serabut yang menyala. Indah sekaligus mengerikan. Aku menyesal tak berterus terang
kepada Chiara arah tujuanku ini.
Senja mulai menuang warna jingga pada langit Bandung. Hujan tak sampai ke
bumi Parahyangan. Aku parkir di depan Sarinah, di Jalan Braga. Lalu berjalan kaki ke
arah Caesar Palace. Udara yang teduh dengan kesiur angin dingin membuatku perlu

75
mengenakan jaket. Membuatku teringat dirimu. Terkenang awal pertemuan kita, setelah
tahun-tahun emas persahabatan melalui surat. Teringat ketika kita sejenak berhenti untuk
mendengarkan petikan kecapi Braga Stone…
Kumasuki balairung Caesar Palace. Tampaknya akan berlangsung jamuan gala
dinner. Kuselinapkan diriku di antara orang yang sibuk bekerja, hanya ingin melihat, di
mana seratus lukisan Sepanjang Braga akan dipasang? Di antara tiang-tiang menjulang,
dinding bersampul kertas hias? Aku tahu: kamu sengaja memanggilku dengan pameran
itu. Tapi apa peduliku? Bukankah semua sudah selesai? Caramu menghilang tanpa isyarat
jejak, menyimpulkan bahwa kisah Sepanjang Braga telah usai.
Dengan perasaan terjerembap, aku melangkah murung meninggalkan Caesar
Palace. Kumasuki temaram Cafe Braga Permai yang tak pernah ramai pengunjung.
Kupilih tempat terlindung demi rasa sunyi. Meja yang kutempati tampaknya baru saja
ditinggalkan seseorang, masih terdapat gelas kosong dan piring dengan sisa potongan
tiramisu. Kupanggil pramusaji untuk menyingkirkan benda-benda itu.
Sang pelayan mengangkat selembar katalog dan saputangan yang terlipat bersama
tisu. Dia celingukan, mengharap masih memergoki pemiliknya.
“Perempuan atau laki-laki?” tanyaku.
“Perempuan. Dari tadi terlihat gelisah, dan keluar dengan terburu-buru.”
Ketika pelayan itu hendak berlalu, tercium aroma parfum yang tak pernah kulupa.
Astaga! Tanganku meraih pundak sang pelayan. “Pinjam saputangan dan kertas itu.”
“Maksud Bapak?”
Tak sabar aku merebut dari tangannya. Lelaki berdasi kupu-kupu itu mengeleng-
geleng dan pergi. Aku mencoba meyakini wangi yang sangat kuingat. Tentu ada sekian
ribu orang menggunakan jenis parfum ini, tapi firasatku mengatakan: ini dari tubuhmu!
Saputangan ini milikmu! Seperti tersengat jutaan watt listrik, aku melompat gegas
menuju pintu keluar. Kamu pasti belum jauh dari tempat ini. Aku membayangkan kelebat
tubuhmu, warna busana yang kaukenakan pada live interview tadi pagi. Seperti jejak yang
masih tergambar di udara dengan harum melayang-layang.
Aku berdiri gemetar di teras kafe dengan mata nyalang. Aku tak tahu harus ke kiri
atau kanan? Ke mana laju tubuhmu melangkah? Kamu pasti ingat, betapa aku pernah
sempoyongan di sepanjang Braga karena menanggung kehilangan tak terperi.

76
Kulihat sebuah mobil menyalakan lampu, melawan redup awal petang. Aku
berlari memburu, namun tak terkejar. Boleh jadi aku keliru. Belum tentu itu mobilmu.
Aku terengah, bersandar di tiang lampu. Kucium saputangan itu, seperti menghirup
wangi masa lalu. Kubuka lipatan kertas dari genggaman, katalog Caesar Palace.
Kutemukan tulisanmu yang kukenal betul melalui ratusan suratmu yang masih kusimpan.
“Sepanjang Braga, aku tak tahu apa yang ingin kucari di sini…”
Aku tak ingin menjadi lelaki yang lemah. Tapi aku memang tidak mengerti,
mengapa selalu ada cara Tuhan untuk membuat aku menggigil. Dan memanggil namamu.
Perlahan, dengan bisik serak, dada yang terasa penuh bungkahan rasa kehilangan, dan air
mata yang tak tertahan mengalir ke pipi…

***

Jakarta, 9 Mei 2006

77
LA TIFA

NAMA saya Latifa.


Di depan cermin, saya sengaja menggerakkan bibir ketika menyebut nama Latifa.
Saya tak ingin keliru menyebut nama lain, sehingga seolah-olah saya bermaksud
menghindar dari kesalahan, dan mengalihkannya kepada orang lain. Saya hanya ingin
menghukum diri sendiri.
Lihatlah, alangkah buruk wajah saya. Wajah seorang perempuan yang berdosa.
Tak pantas duduk dalam sebuah kelas bersama-sama dengan perempuan lain yang masih
bersih. Orang-orang pasti akan membuang muka jika mengetahui sesuatu yang telah saya
perbuat.
Di depan cermin besar dalam kamar ini, saya berdiri telanjang. Sekali lagi saya
ingin menghukum diri sendiri. Bahkan saya tidak hendak menyalahkan pakaian yang tadi
saya kenakan. Tidak kepada siapa pun, juga kepada apa pun. Saya ingin mengenal lebih
dalam tentang saya, melalui tubuh sendiri.
Ada warisan mata yang indah dari Mama untuk wajah saya. Hidung saya tidak
semancung hidung Mama, karena ada hasrat Papa yang telah mencampuri komposisi raut
muka saya. Saat ini rambut saya terurai agak berantakan. Seandainya tersisir rapi dan
membiarkan seluruh kening terbuka, tentu tampak cantik. Walaupun merupakan
kecantikan yang tak pantas. Entah kenapa dengan menangis tak akan selesai rasa jijik
saya terhadap diri sendiri.

78
Saya memiliki leher yang umum dimiliki perempuan lain. Tulang bahu yang
mungkin cukup kuat untuk memikul beban. Di atas payudara ada setitik tahi lalat yang
telanjur diketahui oleh Ray. Seharusnya saya malu. Tapi beberapa jam yang lalu saya
membiarkan mata Ray melihatnya, mengamatinya, dan sempat menciumnya.
Mengingat kejadian itu, dada saya terasa sesak. Seperti menahan buncah ombak.
Sesungguhnya ada waktu dan kesempatan untuk mencegahnya. Untuk segera menyadari
bahwa perilaku yang tak pantas itu tak perlu berlangsung. Tapi saya justru terlena. Saya
menganggap ini hak semua orang yang sedang demam asmara. Karena itu saya tidak
menyingkirkan tangan Ray yang merayap ke pinggang. Bahkan ada semacam upaya
bantuan dari saya agar tangan itu segera mencapai tempat yang dicarinya. Mulanya saya
terkejut, namun kemudian kembali terlena ketika bibir saya tersumbat mulut Ray.
Terdengar bunyi decap ketika lidahnya bermain. Mata saya terpejam. Saya seperti
seorang pingsan yang diletakkan di atas sebuah ranjang. Saya membayangkan sebuah
sekte yang melakukan ritual dengan persembahan seorang perawan di atas altar. Segala
yang saya lihat tidak terlampau terang. Mungkin karena sebagian lampu sengaja
dipadamkan. Mungkin karena mata saya tak sepenuhnya terbuka. Mungkin karena hari
telah mencapai senja, dan hujan baru saja selesai.
Saya merasa sangat takut ketika ada benda yang hanya beberapa kali saya lihat
melalui film biru, tiba-tiba saya rasakan terletak di bawah pusar saya. Mata saya seketika
terbelalak. Tubuh saya mengejang. Kedua tangan saya mendadak tegang oleh tenaga
untuk menolak tubuh Ray. Sedikit terlambat. Karena permukaan perut saya telanjur basah
dan lengket.
Saya meraup selimut untuk menutupi tubuh. Tangis saya pecah lebih karena benci
terhadap diri sendiri. Saya lupa awalnya. Yang pertama kali teringat adalah titik-titik
hujan yang membuat kami berlari dari taman menuju beranda bungalo. Kami tertawa
karena berkejaran dengan air hujan, menyebabkan napas tak beraturan, sementara
berpuluh bunga rumput serupa jarum menisik celana panjang kami.
“Duduklah, saya akan cari kopi. Jika hujan berlangsung lama, setidaknya ada
yang sanggup menghangatkan badan,” ujarnya. Saya mengangguk setuju.
Saya tertawa melihat Ray hampir jatuh di tangga teras. Di bawah rintik gerimis ia
melompat-lompat. Saya ingat, di tikungan ada tenda warung kopi. Letaknya seratus meter

79
dari kompleks bungalo ini. Dan bangunan ini berada pada urutan kedua, dekat dengan
jalan raya.
Saya kembali membuka buku yang tadi saya baca di taman. Bahkan beberapa bab
di dalamnya sempat kami diskusikan. Setidaknya, tugas-tugas kuliah saya menjadi lebih
ringan sejak Ray campur tangan, menjadi teman berdebat. Banyak hal darinya yang saya
suka. Banyak hal dari dia yang membuat saya selalu membutuhkan kehadirannya. Saya
rasa, mungkin, karena dia pintar. Boleh jadi pergaulannya cukup luas. Dibanding dengan
teman-teman lelaki yang pernah menjadi kawan satu kelompok dalam tugas, wawasannya
lebih kaya.
Kadang-kadang saya merasa amat kehilangan saat tiba hari Sabtu atau Minggu.
Dua hari yang menyulitkan kami bertemu. Tapi tak sepantasnya saya menuntut. Toh
sejak berkenalan dan menjadi akrab, dia adalah teman diskusi. Kawan berbagi pikiran,
bukan untuk berbagi hati. Meskipun bagi saya terlampau sulit untuk tidak
mengharapkannya hadir, walau sekadar dalam mimpi.
Astaga! Saya kerap tersipu karena mimpi-mimpi saya sangat berani. Dalam
mimpi, saya sering terlalu terus terang dan kelihatan lebih binal daripada seekor kuda
liar. Sewaktu terbangun, entah kenapa, saya tidak merasa lega. Justru kecewa. Ketika
saya mencoba bermaksud melanjutkan mimpi, sekalipun saya tahu ini mustahil, tak ada
yang benar-benar tersambung. Luput sudah. Bahkan yang muncul mimpi lain, yang tak
saya harapkan.
“Lihat, apa yang saya bawa? Jagung bakar. Kamu suka?” Dengan rambut basah,
saya melihat wajahnya begitu riang. Tampaknya, warung kopi itu juga menyediakan
jagung bakar. Seseorang di sana pasti sibuk mengipas arang agar tetap membara,
meletikkan lelatu ke udara, dan biji-biji jagung sebaris demi sebaris matang dan meretas.
Entah apa yang dia katakan di kantornya, hingga bisa meluangkan waktu ke
tempat sejuk ini. Padahal ketika telepon tadi pagi, saya hanya bilang: “Jika ada acara ke
luar kantor, singgahlah ke Plaza Semanggi. Saya akan cari buku di QB.”
Begitu spontan dia menjawab. “Sekitar jam dua saya ada rapat di Automall. Tak
sulit untuk menyeberang menemuimu.”

80
Dari tempat kuliah, toko buku terdekat memang di Plaza Semanggi. Tidak perlu
naik kendaraan. Cukup melintasi pagar kampus dan saya akan mencapai lift dari lobi
gedung dalam tujuh menit. Di tempat itu pula saya pertama kali bertemu Ray.
“Hai, buku yang kita baca sama.” Katanya waktu itu, hampir satu semester yang
lalu.
Dia duduk di depan saya. Kami satu meja di kafe toko buku itu. Saya memandang
sepasang matanya yang teduh. Lalu tatapan saya turun ke buku yang dibacanya. Big Fish.
Judul yang sama dengan buku yang saya pegang. Lalu saya pun tersenyum, ketika
memastikan tidak ada maksud nakal di wajahnya.
“Saya sudah nonton filmnya, tapi penasaran ingin membaca bukunya.”
“Lho, saya juga demikian.” Ia seperti kaget, karena beruntun mengalami
kebetulan.
“Om suka sastra juga, ya?” tanya saya.
“Nama saya Rayadi,” ia mengulurkan tangan.
“Latifa.”
“Panggil saya Ray.” Senyumnya sempat membuat saya berdebar. Tapi sekali lagi
saya memastikan bahwa dia tidak nakal. “Seperti teman-teman kantor memanggil saya.”
Sebenarnya saya agak heran. Saat itu belum jam pulang kantor, tapi sikapnya
menunjukkan begitu senggang waktu yang dimiliki.
“Sekarang sedang cuti?” Saya kaget sendiri dengan pertanyaan itu.
“Tidak. Kebetulan tadi mengambil rapor anak saya. Karena mendapat ranking,
dia minta hadiah, maka saya ajak ke sini. Saya biarkan dia memilih sendiri buku yang
diinginkannya.”
“Oh.” Mata saya berkelebat, mencari sosok yang pantas menjadi anaknya.
“Dia tertutup rak di ujung sana. Banyak komik impor yang gambarnya bagus-
bagus. Oh ya, anak saya ini suka menggambar.”
Saya tersenyum. Kemudian terlintas dalam pikiran, seandainya Papa masih hidup,
mungkin usia mereka hampir sama. Oh, tidak. Papa sedikit lebih tua. Mungkin terpaut
tiga atau empat tahun. Ah, kenapa memikirkannya? Saya pun kembali membaca buku.
“Kuliah di mana?”
“Tak jauh dari sini.”

81
“Jurusan?”
“Ilmu Komunikasi.” Saya melihat dia tersenyum. Dan saya berdebar lagi. “Bapak
berkantor di mana?”
“Di Cawang. Perusahaan otomotif.” Dia memberikan sebuah kartu nama. Saya
menerimanya tanpa pikiran untuk menjalin pertemuan lebih lanjut. Tanpa harus
diceritakan, saya tahu dia telah berkeluarga. Bahkan anaknya, dari awal percakapan,
berada di toko buku ini. Pembicaraan itu bermula dari sebuah kebetulan yang mungkin
mengusik perasaannya untuk bertanya. Seandainya saya yang melihat lebih dulu bahwa
buku yang kami baca sama, belum tentu saya berani menyapa lebih dulu.
Sudah ada beberapa uban bertebar di kepalanya. Tapi wajahnya tidak tampak tua.
Ada energi yang membuatnya lebih tampak matang dibanding istilah renta. Memandang
wajahnya, mendengar suaranya, saya teringat mendiang Papa. Apakah perlu saya
ceritakan pertemuan ini kepada Mama?

PINGGANG saya ramping. Dada saya hampir tiga puluh empat. Pinggul saya
penuh. Oleh karena itu, tampak indah bentuk tubuh saya.
Saya menggigil ketika pandangan mata saya ke dalam cermin tiba pada bagian
bawah pusar. Saya ingin ada seseorang yang mengulurkan seutas cambuk dan segera saya
dera tubuh itu dengan lecutan. Tubuh indah yang telah berhasil menggoda seseorang.
Dengan api yang meliuk di matanya, berhasrat membakar saya dalam tungku berahi yang
menyala-nyala. Lihatlah, alangkah buruk wajah saya. Wajah seorang perempuan yang
berdosa. Yang tak pantas duduk dalam sebuah kelas bersama-sama dengan perempuan
lain yang masih bersih. Orang-orang pasti akan membuang muka jika mengetahui sesuatu
yang telah saya perbuat.
Sambil menutup wajah, saya duduk di tepi ranjang. Seharusnya tetap setia pada
kata-kata Ray, bahwa sepanjang hujan turun, secangkir kopi akan menghangatkan badan
kami. Ya. Secangkir kopi saja. Bukan dengan cara lain. Entah mengapa, saya terlampau
lama menatap mata teduhnya. Saya telah berlama-lama memandang manja kepadanya.

82
Boleh jadi, saya melihat Papa di sana. Sehingga ada rasa kangen untuk
mendapatkan pelukannya. Memang kemudian saya merebahkan kepala di dada Ray.
Dada yang kemudian basah oleh air mata saya. Selanjutnya kepala saya diusapnya.
Perasaan saya begitu tenteram. Lebih merasa tenteram sewaktu bibirnya menyentuh
kening dan pelupuk mata saya.
Boleh jadi, saya tidak lagi melihat Papa di sana. Yang saya ingat adalah mimpi-
mimpi yang saya rencanakan setiap menjelang tidur. Yang kadang-kadang dikabulkan
entah oleh setan atau malaikat, dan kadang-kadang nihil. Ketika mulut saya diciumnya,
saya merasa sedang menempuh mimpi yang kadang-kadang terputus di ujung malam.
Yang tidak membuat saya lega di saat terjaga, namun justru menerbitkan perasaan
kecewa.
Saya tidak mendengar napasnya terengah. Karena itu saya tidak merasa takut
sejak awal. Dan mata saya terpejam. Tak ada kata-kata lagi.
Padahal, pada setiap pertemuan yang kami lakukan, selalu riuh dipenuhi kata-
kata. Saya akan membawa tugas kuliah, dan Ray akan menjadi seorang mentor yang
telaten. Ia akan dengan senang hati turut mencari referensi. Membawakan buku-buku
yang saya perlukan. Kadang-kadang, ketika saya belum mendapat tugas baru, ada saja
caranya untuk membuat saya singgah ke sebuah tempat sebelum pulang ke rumah.
Menikmati semangkuk bakso Malang, misalnya. Atau sekadar memenuhi perut dengan
sepiring salad dengan thousand island yang berlimpah. Saya akan mengusap lelehan yang
tak sengaja hinggap di ujung bibirnya.
“Kenapa kamu sering terlambat pulang, Tifa?” tanya Mama suatu hari.
“Banyak tugas, Ma. Lagi pula harus dikerjakan kelompok.” Saya mencium pipi
Mama.
“Teleponlah ke rumah, agar Mama tidak cemas. Bukan justru ponselmu
dimatikan.”
“Aduh, maaf, Mama. Nggak sengaja.”
Ah, kenapa mesti berdusta? Saya pikir, saya tak perlu merahasiakan persahabatan
ini. Dengan demikian Mama tidak perlu merasa khawatir lagi. Tapi saya akan memilih
waktu yang tepat untuk bicara mengenai Ray. Waktu yang tepat adalah ketika Mama
sedang menyanyi. Di kamar atau di ruang keluarga.

83
Mama memang seorang penyanyi. Bukan profesional tentu. Karena ia seorang
sekretaris senior, dan setiap ada acara pesta perusahaannya selalu diminta menyanyi.
Tentu tidak sekonyong-konyong, melainkan melalui beberapa peristiwa. Sekali-dua
Mama memberanikan diri menyanyi, bersama-sama dengan karyawati lainnya. Akhirnya
seluruh kantor mengakui, bahwa suara Mama bagus. Lambat-laun, sebelum nama-nama
lain diminta menyanyi, biasanya nama Mama yang lebih dulu diteriakkan.
Saya suka dengan cara bergaul Mama. Sebagai sekretaris direksi, apalagi cantik
dengan hidung bangir dan pandai menyanyi, ia selalu menjadi primadona pada setiap
acara pesta kantor. Ia membantu seorang Managing Director yang cukup dandy pada
sebuah advertising. Banyak peluang untuk terjatuh ke dalam pelukan laki-laki berprestasi
internasional itu. Apalagi Mama seorang janda. Tapi, entah mengapa, Mama sanggup
meletakkan batas dan tak seorang pun di kantornya mencoba melanggar.
Sementara saya? Hanya dalam waktu hampir enam bulan, seorang laki-laki
mengenal kulit tubuh saya yang paling tersembunyi. Ray telah mencium tahi lalat di atas
payudara saya. Tangannya telah saya antarkan ke tempat yang seharusnya paling saya
lindungi. Dengan menangis, tak akan selesai rasa jijik saya terhadap diri sendiri.
Seandainya cambuk telah saya pegang, saya tak akan ragu-ragu membuat bilur-
bilur di dada dan paha. Bagian tubuh yang paling mudah menjatuhkan iman seorang laki-
laki. Itulah hukuman yang pantas untuk perempuan seperti saya. Yang telah mengubah
persahabatan intelektual menjadi hubungan asmara yang tak senonoh. Boleh jadi saya
jatuh cinta kepada Ray. Atau sebaliknya. Tapi bukan dengan cara seperti itu. Setidaknya
saya harus mempertimbangkan istri dan anak-anaknya. Setidaknya saya harus berpikir
panjang perihal masa depan yang tentu tak sebenderang jika saya jatuh cinta kepada
lelaki yang belum berkeluarga. Tapi, saya melihat Papa di sana. Pada kelopak senyum
dan sejumlah ucapan Ray yang menyejukkan.
“Mana flashdisc-nya? Biar saya yang cetak dan fotokopi di kantor. Besok saya
mampir ke kampusmu.” Beberapa kali Ray menawarkan pertolongan. Meski sebenarnya
pekerjaan itu bisa saya lakukan dengan mudah, tapi tawarannya sangat menyenangkan.
Mengandung kasih sayang.

84
Dalam suatu perjalanan dari kafe menuju rumah, suatu ketika, Ray mengingatkan
janji saya. Beberapa minggu sebelum senja bergerimis di bungalo. “Kapan saya
berkenalan dengan ibumu?”
“Boleh kapan saja. Tapi jam empat biasanya belum pulang. Apalagi jika
kantornya sedang menyiapkan konsep untuk pitching. Mama harus mendampingi Mr.
Edgar untuk pengarahan kepada Art Director dan para Copywriter.”
Malamnya saya sampaikan kepada Mama, bahwa saya memiliki seorang teman
diskusi yang mengasyikkan. Waktu itu Mama hanya tersenyum. Mama tidak menanyakan
apakah itu kawan dari kampus, atau dari kegiatan lain. Tapi agak terkejut sewaktu saya
sampaikan: “Ia mirip Papa.”

SAYA hampir tidak ingin memandangnya saat menutup tubuh dengan selimut.
Saya meringkuk dengan sejumlah rasa takut yang tak terungkapkan. Tangis saya pecah
lebih karena benci terhadap diri sendiri. Saya lupa yang terjadi kemudian. Yang saya lihat
serbaremang: Ray menjauh. Mungkin selanjutnya masuk kamar mandi. Lama sekali.
Saya terkejut sewaktu Ray berlutut di kaki saya yang gemetar. Ia meminta maaf
dengan sungguh-sungguh. Tapi saya sadar, ini tidak sepenuhnya salah Ray. Saya
merasakan wajah saya hangus menghitam, dibakar dosa.
Dalam perjalanan pulang, saya membisu. Sebenarnya saya berhasrat membuka
pintu dan melompat ke luar mobil, saat jalan sedang menurun dan meliuk, dengan
kecepatan cukup tinggi. Tapi itu bukan cara mati yang baik. Bahkan seandainya saya
sengaja membuat mobil ini celaka dan menyebabkan kami tewas berdua. Tidak! Saya
harus sanggup mencuci kesalahan terlebih dulu.
Sekali lagi saya menatap tubuh telanjang dalam cermin. Memandang sepasang
mata yang sembap. Wajah perempuan yang berdosa. Yang dengan keindahan bentuk
tubuhnya telah berhasil menggoda seorang laki-laki. Saya tidak akan menyalahkan siapa
pun, bahkan terhadap pakaian yang tadi saya kenakan di bungalo. Seharusnya, ketika
kepala saya rebah ke dada Ray, saya sampaikan bahwa dia mirip Papa. Tapi, saya

85
terlampau dihantui mimpi-mimpi liar yang kerap membuat saya tersipu malu. Jadi, semua
memang salah saya.
Bunyi mesin mobil di halaman, menderum sebelum dimatikan, membuat saya
sadar harus mengunci pintu kamar. Mama pulang! Apa yang harus saya katakan jika
memergoki sepasang mata yang bengkak?
“Tifa!”
Saya terdiam. Apakah sahutan saya akan terdengar serak?
“Di mana kamu, Tifa?”
Baiklah, untuk menghapus kenangan buruk itu saya harus mengubah cara menulis
nama. Bukan lagi Latifa, melainkan: La Tifa. Akankah mengembalikan kesucian?

***

Jakarta, 13 Maret 2005

86
WANGI KAKI IBU

KETIKA bibir dan hidungnya menyentuh punggung kaki yang cokelat keriput itu,
ia merasakan air matanya menetes. Membasahi permukaan kulit yang kisut. Terguling
dari tonjolan otot menuju lingir telapak kaki, sebagian ke sela jemari.
"Aku tahu, bukan kamu yang membunuhnya," bisik serak seorang perempuan tua,
yang kedua mata kaki kanan dan kirinya sedang ia dekap.
Entah siapa yang memberi kabar indah itu ke telinga yang mungkin tak
sepenuhnya berfungsi. Atau ada yang langsung membisikkan ke ceruk hatinya? Membuat
lelaki itu teringat perjalanan yang sesungguhnya tak panjang, namun dirasakan sangat
berlarut-larut. Semata oleh pikiran yang kalang-kabut.

SUBUH retak melahirkan fajar. Takbir menggema di telinga, dari pelbagai surau,
yang terletak jauh maupun dekat. Dipantulkan oleh bening embun. Membubung ke awan-
gemawan yang parasnya sedang dipulas rona lembayung. Angin reda, membuat pohonan
yang belum menjelaskan warna daunnya terdiam tunduk, seperti sabar menanti perintah
berikutnya. Di dalam rongga dadanya yang kurus, tampak dari kemejanya yang terasa
demikian longgar, ada sebersit ngilu berdesir.
Ia baru saja meninggalkan Stasiun Tugu. Dengan langkah bimbang, tak ubahnya
selembar daun kering yang terseret angin, ia merasa harus mengenali kembali setiap
ruang dan benda yang dilalui. Toko-toko yang berderet memanjang ke Malioboro masih
menutup pintu. Atau mungkin hari ini tak akan membuka dagangan, karena tiba Lebaran.

87
Jalan aspal yang memiliki beberapa lubang akibat genangan air, tak berbeda dari kota
yang ia tinggalkan. Trotoar dengan warna paving-block yang tak sama antara satu dengan
yang lain, tentu lantaran pernah terbongkar di sana-sini. Dan yang terhirup ke dalam
paru-parunya adalah udara yang menebarkan aroma tersendiri: sisa malam yang
tersangkut dan terlambat sirna.
Ini wajah kota kelahiran, yang pernah memberikan keindahan masa kanak-kanak.
Ketika Janti masih berupa jalan tanah berbatu. Ketika Hotel Ambarukmo berdiri paling
megah dan bergaya di Jalan Solo. Dan Demangan merupakan pusat jajan dengan bakso,
es buah, sate, dan limun berwarna-warni. Lalu ia, dulu sekali, mengendarai sepeda
ringkih, selalu menghabiskan hari-hari Ramadan dengan menyewa komik atau
membacanya di kios persewaan itu sambil menunggu magrib. Terbayang dalam
kenangan: Barda Mandrawata sebagai Si Buta dari Gua Hantu. Pendekar Bambu Kuning.
Gundala Putera Petir karya Hasmi dari kota ini. Peni sudah Mati. Ah, Peni! Itu tokoh
utama dalam komik roman karya Jan Mintaraga. Tokoh yang sesungguhnya telah mati.
Dan seorang perempuan lain telah menyamar sebagai Peni, seolah-olah masih hidup, tak
berdaya di atas kursi roda, namun sanggup membongkar kematian Peni yang dilatari
ketamakan atas harta warisan....
Dan Peni, seseorang yang seharusnya sangat dicintai, kini juga telah mati. Sejenak
jemari tangan kanannya bergetar bagai diserang tremor. Ia menggigil bukan oleh dingin
pagi yang mengusap dada kerempengnya. Tapi oleh ingatan yang membuatnya harus
pulang ke kota kelahiran.
Matanya memandang ke segala arah. Ia mencari becak. Ada beberapa becak
teronggok di ruas jalur lambat Jalan Pangeran Mangkubumi, tapi pemiliknya masih
meringkuk dengan sarung lusuh. Ah, apakah mereka tak mendengar suara takbir dari
pengeras suara masjid di sana-sini? Ini hari Lebaran. Seharusnya mereka berkumpul
dengan istri dan anak di rumah sumpek masing-masing. Atau jika masih bujangan, boleh
juga sesekali bergadang di surau demi hari yang istimewa ini. Tapi, kadang-kadang,
Lebaran memang memberikan ironi kepada sejumlah orang. Ketika seharusnya sebuah
hati digenangi kebahagiaan, ada sebagian yang mendapati dirinya tenggelam dalam duka
paling dalam. Dia, barangkali, menjadi salah seorang di antara mereka.
Apakah sebaiknya berjalan kaki ke Janti? Tentu akan tiba kesiangan di rumah,

88
yang separo dindingnya masih bertahan dengan papan kayu. Sepanjang perjalanan tentu
akan berpapasan dengan rombongan jamaah Salat Ied. Tentu akan banyak mata
memandangnya dengan raut muka bertanya-tanya. Siapakah lelaki yang melangkah
gontai seperti tanpa tujuan itu? Sebuah pertanyaan yang tak mungkin terucapkan dari
wajah-wajah gembira, yang bersinar oleh cahaya kemenangan Ramadan. Sebuah
pertanyaan yang lebih baik sembunyi dalam hati mereka, ketimbang menyinggung
perasaan. Ini hari yang akan dipenuhi oleh hati orang-orang sabar, jiwa-jiwa yang
memaafkan. Bukan untuk menyimpan tanda tanya.
Maka ia memberanikan diri untuk menggugah seorang tukang becak yang
kebetulan sedang menggeliat. Orang itu tampak kaget, serentak mengucek mata, dan
memandang langit yang mulai semburat kuning.
"Antarkan aku ke Janti."
Penarik becak itu sedikit termangu. Memandang lurus ke wajah tirus.
"Apakah sampean merasa mengenalku, Mas?"
Penarik becak itu tergesa menggeleng. Kemudian turun untuk berpindah tempat
ke belakang dan mempersilakan calon penumpangnya naik. Udara pagi mengiringi
kayuhan yang masih berat oleh beban kantuk. Seperti sebuah pena yang menggaris kertas
kosong, becak itu meluncur dalam sunyi. Kesunyian yang sebentar lagi pecah oleh para
jamaah dari banyak gang perumahan.
Sepanjang jalan, lelaki di dalam becak itu berpikir: apakah ini keputusan yang
benar? Mengunjungi Ibu untuk menyampaikan kegagalan? Ia gemetar bagai demam, dan
ingatan tentang sebuah malam jahanam melintas begitu keras di benaknya.

***

CAHAYA bohlam lima belas watt sejenak terhalang bayang, seperti padam
seketika. Membuat matanya mendadak terbuka. Menyadari ada seseorang masuk ke
dalam kamarnya yang tak pernah dikunci, ia segera bangkit duduk. Waspada.
"Maaf, aku mengganggu. Tapi ini sungguh penting. Aku menemukan Peni!"
"Oh," lelaki tuan rumah itu mengusap matanya. Kata "Peni" terdengar sangat
penting di telinganya. Ia meraih gelas di samping tempat tidur dan segera minum air

89
putih yang tersisa.
"Di mana?"
"Maaf, jangan membuatmu kaget. Di sebuah klinik tersembunyi, tempat aborsi."
"Astaghfirullah."
"Apa yang harus aku lakukan?"
Lelaki itu tampak tercenung. Seperti sedang mengumpulkan seluruh kesadaran,
mengusir sisa-sisa mimpi berkarat.
"Membawanya kemari," ujarnya dengan suara serak.
Si pembawa berita tampak ragu-ragu.
"Aku kakak kandungnya, Bung! Jadi aku berhak memanggilnya."
"Jika dia tak mau?"
"Paksa!"
"Jika dia ternyata punya suami..."
"Masya Allah, aku masih ingat kata-katamu. Dia kaulihat berganti-ganti lelaki.
Kudengar darimu juga, dia pernah digerebek polisi saat pesta shabu-shabu, dan ditebus
oleh seseorang..."
Mereka berdua terdiam. Waktu merambat menuju saat makan sahur. Mereka
menyadari, suara keras percakapan akan terdengar di bilik kiri dan kanan.
"Mungkin yang terpenting adalah bahwa kamu tahu, dia lari dari rumahku, tapi
tidak pulang ke Yogya untuk merawat Ibu yang sudah sepuh. Berbulan-bulan aku
mencarinya, tanpa berani menyampaikan secara jujur kepada Ibu. Aku mencarinya!"
"Tapi...dia telah membuatmu terusir dari jamaah di Al-Hidayah, mencoreng
namamu sebagai pengurus majelis taklim...."
"Itu tidak penting." Lelaki itu menahan napas. Sebersit rasa sedih melintas ngilu.
”Adalahh dosaku jika sampai Peni terseret ke jurang gelap. Itu sebabnya aku ingin
menemuinya dalam bentuk apa pun."
"Baik, aku akan mencobanya."
"Atau...," Lelaki itu tampak berpikir. "Begitu kamu mendapatkannya, teleponlah
aku. Biar aku yang mendatanginya."
Sang tamu mengangguk lalu berpamitan. Suara televisi di bilik sebelah
menyiarkan fragmen tematik Kampung Lele. Terdengar tawa penghuninya yang tergelitik

90
oleh perdebatan antara Opie, Malih, dan Bolot...

***

SUASANA begitu tegang saat ia tiba di klinik yang tersembunyi dalam gang.
Perempuan dengan rambut masai memaksakan diri bangkit dari pembaringan, menyibak
gorden pembatas dan bergegas keluar dari kamar. Langkahnya tertegun di pintu,
tangannya memegang erat kusen kayu, menahan rasa sakit entah di mana. Dalam
pandangan kabur, ia melihat lelaki yang sangat dikenalnya. Rasa takut membuat
kepalanya berkunang-kunang.
Lelaki itu memburunya. Dipeluknya perempuan yang limbung itu, jatuh
memberat ke dadanya. Ia melihat matanya terkatup rapat, bulu matanya bergetar.
Barangkali darah mengaliri betis, ke lantai, basah dan terasa lengket di telapak kaki yang
terlepas dari sandal.
"Peni...," Lelaki itu panik. Lalu tatapannya mengandung nyala marah kepada
seorang suster yang menciut ketakutan. "Mana dokternya?!"
Suster itu menggeleng dengan paras seputih kertas.
"Panggil dia! Segera!"
"Dia sudah pergi. Satu jam yang lalu."
"Aku perlu namanya!" Ia memanggil temannya. "Hazri! Tolong catat, juga alamat
praktiknya yang lain."
Hazri merobek bungkus rokok, mencabut pulpen dari sakunya, dan memandang
penuh tuntutan kepada suster yang merapat ke dinding. Terbata-bata bibir perempuan itu
mengucapkan serangkai nama dan alamat.

***

"Peni, bertahanlah," lelaki itu berbisik di telinga perempuan yang begitu lemas
dalam pelukan. Lalu ia kembali meradang. "Suster, kamu pasti tahu cara memanggil
ambulans. Di sini ada telepon, kan? Cepat, minta ambulans sekarang!"
Hazri dengan sigap menuju ke meja yang memiliki kabel telepon. Ditelusuri jalur

91
kabel itu dan menemukan pesawat telepon tersembunyi dalam laci. Ia mengangkat
gagang telepon, dan ketika yakin ada nada aktif, diberikannya kepada suster. "Panggil
ambulans!"
Peni dibaringkan di kursi ruang tunggu yang berjajar tiga. Terkulai tak sadarkan
diri. Darah masih mengalir dari sela-sela paha. Mencemaskan. Sekaligus membuat lelaki
itu menyesal. Seharusnya ia tak perlu selekas itu datang, sehingga Peni masih punya
waktu untuk memulihkan diri.
Rasanya berjam-jam waktu berlalu sampai terdengar sirine ambulans. Dua orang
lelaki membawa tempat tidur beroda memasuki gang. Hazri menolong sampai Peni naik
ke dalam ambulans. Dan di dalam kabin dilakukan pertolongan pertama, termasuk
memasang jarum infus ke punggung tangan Peni. Dari tabung plastik yang tergantung,
tetes-tetes cairan mengalir melalui selang mungil.

***

DI sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, lelaki itu tidak bicara apa-apa.
Mulutnya hanya mendesahkan doa. Berulang kali Hazri memegang lengannya, mencoba
menenteramkan. Sesekali mengucapkan: "Aku berjanji akan mencari dokternya dan
melaporkannya kepada polisi."
Ia tertunduk. Jemari tangannya mengusap rambut dan kening Peni. Matanya
basah. Hatinya terguncang. Apa yang harus ia katakan kepada ibunya? Saat membawa
Peni ke Jakarta, ke rumah kontrakannya, tiga tahun yang lalu, ia berjanji: "Peni memang
susah diatur. Di sini dia hanya akan merepotkan Ibu. Biar aku yang mengajarnya. Agar
dia tahu bahwa hidup itu berat dan harus dilalui dengan perjuangan. Agar dia bisa
mandiri."
Tapi...apa yang kemudian terjadi? Lelaki itu menggeleng sendiri dengan rasa
sakit, seolah ribuan duri menusuki setiap permukaan jantungnya. Ia hanya memperoleh
kegagalan. Kini seluruh tenaga yang dicurahkan di tempat kerja, di pelabuhan yang panas
dan keras, dan sisa waktunya yang dihabiskan untuk mencari keteduhan di lingkungan
masjid, seperti sia-sia saja. Kenyataannya ia tak pernah tahu, apa yang dilakukan Peni
sehari-hari selain menjadi pegawai administrasi di sebuah pabrik sepatu. Terutama

92
setelah enam bulan yang lalu bersikeras pindah tempat tinggal, berpisah dengannya, demi
mendekati tempat kerja. Namun tak berapa lama berita tak pantas itu merebak hingga ke
wilayah Al-Hidayah.
Selanjutnya sungguh perih untuk diceritakan. Hanya Hazri, sahabatnya yang
masih dapat memahami perasaannya.
Lamunannya membuyar saat ambulans berhenti di teras Unit Gawat Darurat.
Semua berjalan lekas, mirip potongan film yang disunting sembarangan. Apa pun yang
dia lakukan sekarang, termasuk menandatangani perjanjian penggantian darah dari PMI,
seluruhnya demi Peni.
***

TAPI Peni sudah mati. Tanpa percakapan panjang. Hanya permohonan maaf, juga
kepada Ibu yang wajib disampaikan. Inilah amanat yang sedang ia bawa ke kampung
halaman.
Ia terisak perlahan. Ditahannya agar tak terdengar. Tapi dadanya penuh oleh
benda padat bernama kesedihan. Atau mungkin rasa sesal.
"Bangunlah," meski desis itu tertangkap lemah, sesungguhnya begitu tegar.
Hanya seorang ibu yang dapat memadukan antara sakit hati dan kasih sayang dengan
nyaris sempurna.
Lelaki yang bersimpuh itu tak bergerak. Sejak keberangkatannya dari Jakarta, ia
berharap ada hukuman untuknya. Bukan ucapan yang akan membuatnya merasa bersalah
berkepanjangan.
"Kamu telah melakukan sesuai dengan kemampuanmu," perempuan tua itu
kembali bicara. Tidak gemetar seperti yang diharapkan. Kesunyian merambat.
Sesungguhnya hanya tiga tahun dia tak pulang. Sebelumnya, hampir setiap tahun
ia mengunjungi Ibu dan adik satu-satunya, sejak ayah mereka meninggal. Tapi, tak
pernah perasaannya terusik oleh indahnya masa kanak-kanak di kota ini. Kenangan itu
kini memanggilnya. Panggilan yang begitu deras. Sederas air matanya.
"Maafkan aku, Ibu," bisiknya tanpa berani mengangkat wajah. Ia merasa amat
tenteram di kaki ibunya. Merasa sangat terlindungi dari segala marabahaya. Tercium
harum aroma kasih sayang dari kaki ibunya, yang mengalahkan seluruh hawa busuk di

93
luar sana. Dan ia bagai kembali ke masa kanak-kanak.
"Ibu sudah memaafkan kamu sebelum kamu mengetuk pintu. Sekarang kamu
ambil air wudu, dan segera berangkat Salat Ied."
Kedua tangan perempuan tua itu meraih bahu anak lelakinya. Ketika wajah tirus
anaknya itu tengadah, dilihatnya penuh air mata. Perlahan ia mencium dahi lelaki itu,
persis di antara kedua matanya.

***

Jakarta, Ramadan 1425 H

94
ANAK ARLOJI

PADA pemeriksaan kali ini, perut istriku yang buncit diolesi krim gel. Lalu
dilakukan proses ultrasonografi dengan sebuah kamera diletakkan di atas permukaan
perut yang sudah licin itu. Aku diminta memandang monitor kecil di meja dokter, yang
dihubungkan dengan lensa alat itu. Lalu sebuah radio—atau alat semacam itu—
memperdengarkan suara keresek-keresek, mirip pesan dari angkasa luar yang sulit
dimengerti karena diombang-ambing gemuruh udara kotor.
Kulihat raster dengan jutaan dot dan pixel yang membentuk bayangan hitam dan
putih. Sejujurnya, aku tak tahu itu gambar apa. Di mana kepala, yang mana anggota
badan, tidak jelas posisinya, tapi sebaiknya kupercaya saja bahwa itu adalah potret
segumpal janin yang diambil melalui berlapis-lapis serat daging. Lalu sang dokter
tersenyum memandangku. Aku berusaha menunjukkan rasa bangga, bahwa akhirnya
spermaku berhasil membuahi sel telur istriku.
“Dengarlah, ada degup jantung,” kata dokter.
Aku menajamkan telinga. “Suaranya samar-samar.”
“Ya, tapi cukup mudah dibedakan antara suara degup jantung dengan suara yang
lain,” ujar dokter itu lagi.

95
Aku berusaha mengangguk. Berusaha yakin, meskipun sebenarnya sulit
membedakan. Aku hanya tidak ingin mengecewakan perasaan dokter. Juga perasaan
istriku, jika aku terus bertanya: yang mana degup jantung sang bayi? Bukankah ada
suara-suara lain? Alasanku memercayai ucapan dokter itu juga disebabkan tidak ingin
dianggap bodoh dan tidak mengerti. Yang dipasang itu alat canggih, sebagian sanggup
melihat ke dalam rahim, sebagian bisa mendengar suara di dalam rahim.
“Memang ada dua detak jantung, yang lebih lambat milik ibunya.” Dokter itu
kembali menjelaskan.
Istriku tersenyum. Seolah mengucapkan terima kasih dengan tatapan matanya
yang lembut. Tatapan mata itulah yang pernah dan selalu membuatku terpesona.
Membuat jantungku berdebur-debur. Dan saat itu, kurang lebih tiga tahun yang lalu,
perasaanku luluh. Aku mencintainya sekaligus memercayai bahwa ia akan setia
kepadaku. Maka dilaksanakanlah hari perkawinan untuk mengakhiri masa pacaran kami
yang tak terlampau berlarut-larut. Dan sejak malam pertama aku menyampaikan
kepadanya beberapa keinginan, antara lain memiliki beberapa anak yang sehat dan pintar.
Kugenggam tangan istriku, menyambut tatapan mata lembutnya. Untuk beberapa
saat dokter membiarkan kami saling mengutarakan keterharuan. Sampai akhirnya ia
melepas alat peneropong dari puncak perut istriku. Pemeriksaan berakhir dengan
memberi resep berupa vitamin dan pesan-pesan agar menjaga kondisi tubuh demi
kesehatan sang bayi dan ibunya. Tapi, di ujung perpisahan, sebelum kami membuka pintu
dan keluar dari kamar periksa, dokter menyampaikan sesuatu yang kurasakan agak aneh.
“Tidakkah kalian dengar tadi, di antara dua detak jantung, kita juga mendengar
detak arloji?”
“Detak arloji?” Aku mengerutkan kening, memandang istriku.
Istriku tersenyum. “Dokter hanya bermaksud bercanda, Mas.”
Aku menarik nafas lega. Dokter itu pun tertawa. Tapi, menurut telingaku, tawa
dokter itu agak aneh. Kami pun berpisah. Aku mengucapkan terima kasih, layaknya
seorang pasien kepada dokter yang merawatnya. Kugamit tangan istriku menjauh dari
pintu. Kami menuju kasir untuk membayar biaya pemeriksaan. Sambil menunggu
dibuatkan kuitansi, aku berbisik di telinga istriku.
“Apakah kamu mendengar suara detak arloji dari perutmu?”

96
“Hus!” Istriku mencubit lenganku. “Tidak mungkin. Memang detak jantung janin
mirip suara detak arloji yang disekap di bawah bantal. Tapi dokter itu kan hanya ingin
membuat kita lepas dari ketegangan.”
“Maksudmu, dia bercanda?”
“Tentu saja.”
“Tapi, bukankah cara bercanda dokter itu aneh?”
Istriku menerima kuitansi. Lalu menyeretku ke luar dari klinik, menuju tempat
parkir. Masuk bersama-sama ke dalam mobil dari pintu masing-masing. Tapi aku tidak
juga menyalakan mesin.
“Ayolah, sudah malam. Ada film bagus yang mau kutonton,” kata istriku.
“Apakah kamu tidak merasakan bahwa cara dokter bercanda itu aneh?”
“Ya, mungkin juga. Tapi itu tergantung dari mana kita menilainya. Anggap saja
memang bercanda, dan tidak aneh.”
Aku menyalakan mesin. Mobil melaju meninggalkan halaman parkir menuju
rumah. Jarak antara rumah sakit bersalin dengan tempat tinggal kami tidak terlalu jauh.
Hanya pada jam-jam tertentu, misalnya saat orang-orang pulang kantor, kendaraan begitu
padat dan berjalan dengan merayap. Terutama oleh kendaraan umum yang tidak tertib,
berhenti tanpa benar-benar menepi. Kondisi itu pula yang menyebabkan aku memilih
klinik ibu dan anak itu. Seandainya istriku mendadak harus dilarikan ke tempat
persalinan, tidak perlu menempuh risiko kelamaan di perjalanan.
Aku, boleh jadi, termasuk seorang pencemas. Pilihan klinik terdekat semata-mata
untuk menghindari kepanikan bila istriku mulai merasa mulas menjelang melahirkan.
Aku bisa mencapainya dengan lekas. Akhir-akhir ini aku memang sering diserang tremor
saat terjebak kemacetan lalu lintas. Di saat seperti itu, aku mencoba menelepon kawanku
yang senggang, agar mengajakku ngobrol untuk melupakan rasa panik yang menyerang
dari banyak penjuru. Bisa dibayangkan, bagaimana jika dua hal datang bersamaan: istriku
mulai kontraksi dan lalu lintas di jalan raya macet!
Boleh jadi, aku juga seorang yang perasa. Banyak hal sepele yang sering
kupikirkan berlarut-larut. Ada sesuatu yang tiba-tiba menimpakan perasaan bersalah,
padahal tidak seharusnya demikian. Kadang-kadang menjadi semacam empati yang

97
berlebihan. Seperti saat ini, yang kupikirkan mungkin soal detak arloji. Tapi, jangan-
jangan istriku sengaja menyembunyikan kekhawatiran tentang arloji dalam perutnya.
Hanya seperempat jam perjalanan, kami sudah mencapai pintu pagar halaman.
Pembantu membukakan pintu pagar, dan menyampaikan bahwa tadi ada tamu menitipkan
barang.
“Laki-laki atau perempuan?” tanyaku.
“Laki-laki. Katanya orang dekat Bapak.”
“Siapa namanya?” tanya istriku.
“Dia tidak menyebutkan nama, Bu. Tapi tampaknya mengenal Bapak dengan
baik.”
“Kira-kira siapa?” Istriku memandang ke arahku. “Apakah ada yang janji mau
datang?”
Aku berusaha mengingat. Memang ada kalanya aku lupa beberapa janji. Terutama
jika itu direncanakan jauh-jauh hari. Kadang-kadang, di kantor pun, tiba-tiba ada seorang
atau beberapa relasi muncul. Resepsionis kantor mengatakan, tamu itu sudah dijanjikan
bertemu seminggu atau dua minggu sebelumnya. Barulah kemudian aku ingat. Kadang-
kadang, memang, aku lupa menuliskannya di dalam agenda, karena janji itu dibuat saat
aku sedang berada dalam perjalanan di luar kantor. Lalu biasanya aku menyebut sebuah
hari yang kuanggap kosong.
“Aku tidak ingat, siapa yang janji malam ini datang. Tapi jadwal dokter kan
memang hari ini? Mungkin ia datang tanpa rencana,” kataku akhirnya.
“Tapi kenapa ia tidak menunggu? Mungkinkah tetangga kita?”
Boleh jadi, pikirku. Seorang tetangga bisa saja akan mengulang kunjungannya,
toh tidak terlalu jauh rumahnya. Tapi, mengapa pembantu kami tidak mengenalnya? Aku
hanya mengangkat bahu. Lalu aku memberi isyarat kepada pembantu agar mendekat.
“Tolong tutup kembali pagarnya.” Aku bergegas membuka pintu mobil untuk
istriku, lalu membantunya turun. Bagiku, wanita hamil senantiasa menimbulkan perasaan
iba. Aku sering bersyukur menjadi laki-laki. Tapi pernah di suatu malam, tiba-tiba saja,
aku ingin menjadi perempuan. Dan mencoba membayangkan ada seorang bayi yang
bergelung di dalam lambung. Mungkin karena aku merasa tak tega jika istriku harus

98
melangkah dengan beban berat yang menggantung, sampai punggungnya agak
melengkung ke belakang untuk membuatnya seimbang.
Ya. Kadang-kadang terasa benar tugas laki-laki begitu mudah, sementara yang
menanggung akibatnya adalah perempuan. Rasanya, aku hanya perlu meniduri istriku,
dengan tujuan saling memberi kenikmatan. Dan kini, perut istriku menggelembung,
berjalan dengan lebih perlahan, dan dapat dipastikan akan semakin sulit berbaring karena
harus memilih posisi terbaik. Sementara itu, setiap aku ingin mencumbunya, ia selalu
memberikan tubuhnya meski dengan agak susah payah. Kini aku percaya kepada
pilihanku: perempuan yang menjadi istriku itu memang akan setia. Nrimo dan selalu
berusaha memberikan kegembiraan kepada suami.
Kutuntun istriku yang sesungguhnya masih sanggup berjalan dengan baik, menuju
ke ruang tamu. Ada sebuah sofa berwarna hijau, warna kesukaan istriku, yang langsung
menerima tubuhnya. Bagian yang ditimpa pantatnya menjadi cekung oleh bobot yang
tidak ringan, tapi aku percaya bentuk sofa itu akan kembali seperti semula begitu istriku
bangkit. Itu sofa mahal, dengan bahan yang bermutu tinggi. Kubeli pada sebuah pameran
furnitur internasional, karena jatuh suka pada pandangan pertama.
“Yati, tolong ambilkan minum,” ujar istriku kepada pembantu.
Seketika aku teringat ucapan Yati di pintu pagar. Ada tamu menitipkan barang.
Aku pun mencari-cari di mana ia meletakkan titipan itu. Yang terbayang dalam kepalaku
adalah bungkusan besar, berupa kotak kubus atau bentuk tak teratur karena terbuat dari
bahan yang lunak. Tapi tak tampak olehku barang itu. Lebih-lebih untuk menerka siapa
orang itu. Dia mengaku orang dekat. Seseorang yang mengenal dekat. Tapi, kenapa Yati
tidak tahu namanya? Mungkin saja teman lama, jauh sebelum Yati bekerja di sini.
Ketika Yati datang dari dapur dengan membawa minum, aku segera memburunya
dengan pertanyaan. “Di mana kamu letakkan titipannya?”
“Oh, maaf, saya taruh di atas televisi.”
Di atas televisi? Pikiranku segera membayangkan bahwa barang itu kecil saja.
Atau mungkin sepucuk surat. Atau, boleh jadi, uang yang dibungkus amplop agak tebal.
Tapi, siapa yang berjanji memberiku uang?
Kuhampiri televisi yang belum dinyalakan kembali setelah kami tinggal pergi
tadi. Yati tentu lebih suka menyalakan televisi yang kami sediakan di belakang. Di atas

99
televisi itu kulihat ada sebuah kubus, yang kuperkirakan berukuran 6 x 6 x 6 sentimeter.
Hanya dibungkus dengan kertas sampul cokelat tipis yang biasa ditemukan di toko-toko
buku. Kuambil dan menimbang dengan tangan, benda apa kiranya di dalam kotak itu?
Secara logika, benda itu tidak membahayakan, karena ukuran dan bentuknya tidak
mirip dengan bom. Tapi, yang kemudian membuatku agak gemetar dan berpikiran
macam-macam, adalah suara yang terbit dari dalam kotak itu. Oh, bukan, tidak ada suara
yang tembus keluar! Kurasa hanya terbawa halusinasi saja.
“Ketemu barangnya?” tanya istriku dari ruang tamu.
“Ada. Tapi belum kubuka.” Aku menghampiri istriku, menunjukkan barang
titipan itu. “Apakah sebaiknya dibuka? Tidak tertulis apa pun di luarnya.”
“Cobalah dibuka. Apa maksudnya dikirimkan kepadamu, kalau tidak untuk
dibuka dan dimiliki?” Benda itu segera berpindah ke tangan istriku.
Aku merebutnya. “Biar aku yang membuka!”
Istriku merebutnya kembali. “Berikan padaku! Aku ingin membukanya.”
Beberapa saat kami saling berebut. Benda itu berpindah-pindah dengan cepat.
Istriku mungkin setengah bercanda, menggodaku. Tapi, entah kenapa, aku agak serius
menanggapinya.
“Sini, aku saja yang membuka! Kamu sedang hamil, kalau ada sesuatu malah
repot.”
“Apa yang repot?” Istriku memandang dengan aneh.
Boleh jadi, pikiran yang melintas sesaat itu, sekadar mengada-ada. Ya, apa yang
repot dengan membuka bungkusan yang kukira sudah mulai robek karena perebutan tadi?
Tapi, seandainya benda itu bisa bergerak dan menerkam, tentu istriku yang akan menjadi
korban, sedangkan ia tengah hamil, tengah mengandung anak kami. Apa yang akan
terjadi jika istriku menjadi santapan benda itu? Kami akan kehilangan kesempatan
beranak-pinak? Padahal, sejak awal aku sudah mengutarakan kepada istriku untuk
memberikan beberapa anak yang sehat dan pintar.
“Mungkin benda di dalamnya berbahaya…”
“Tidak mungkin.” Istriku tertawa. Lalu dengan cekatan tangannya segera
membuka bungkusan itu. Aku agak berdebar. Bukan agak, melainkan sungguh-sungguh
berdebar. Sampai selesai bungkusan itu terkelupas, aku merasa menahan napas.

100
“Arloji!” seru istriku. “Wah, ini mahal.”
“Arloji?” Aku mendekat, meskipun masih dengan jantung yang berdebar. Pantas
aku seperti mendengar suara dari dalam kotak itu. Meskipun tidak seharusnya suara itu
menembus karton tebal berlapis beludru. “Coba kulihat.”
Kotak beserta isinya itu diberikan kepadaku. Aku memandang arloji bagus itu.
Berantai logam dengan bilah-bilah yang cantik. Warna dasar pada lingkaran tempat jarum
berputar kombinasi antara abu-abu dan hitam. Titik-titik di atas angka berupa fosfor yang
pasti akan menyala di dalam gelap. Mereknya agak sulit dibaca karena bentuk
tipografinya agak aneh. Tapi pasti bukan jam murahan. Pertanyaan yang kemudian
berkerumun di kepala adalah: Siapa pengirimnya? Siapa yang memberikannya? Dalam
rangka apa orang itu mengirim arloji kepadaku?
“Coba dicari, mungkin ada surat atau suatu pesan dari pengirimnya.”
Arloji itu dilepas dari kotak dan terurailah selipat kertas. Aku segera membuka
dengan cekatan namun tetap hati-hati. Ternyata itu hanya sebuah pesan dari produsennya,
keterangan mengenai ketangguhan arloji, yang tertulis dalam tiga bahasa. Aku tidak
menemukan sepucuk surat atau kartu di dalamnya. Tidak ada apa pun yang bermaksud
mengucapkan sesuatu. Saat ini aku memang tidak sedang berulang tahun. Tidak pula naik
pangkat. Jika itu sebagai tanda mata, layaknya dipertautkan dengan peristiwa tertentu.
“Yati!” Istriku memanggil pembantu, yang segera tergopoh-gopoh menghampiri.
“Apakah kamu bisa menyebut ciri-ciri orang yang menitipkan hadiah ini?”
“Orangnya tinggi, lebih tinggi dari Bapak. Kulitnya hitam, hidungnya mancung.”
“Apakah matanya tajam?” tanyaku memotong.
Yati tampak mengingat. “Mungkin. Tadi saya memang agak takut saat
berpandangan dengannya.”
Aku bisa menyebut beberapa nama. Tapi perlu lebih terperinci lagi. “Apakah ada
bekas luka pada pelipisnya?”
Yati kembali seperti mengingat-ingat. Lalu menggeleng. “Tidak.”
Aku segera menggugurkan beberapa nama.
“Apakah ia memakai baju batik?”
“Tidak. Tapi pakaiannya bermotif bunga-bunga…”
“Oh, aku tahu. Tapi sebentar, apakah ia mengenakan kacamata minus?”

101
“Tidak,” sahut Yati. Maka gugur lagi sebuah nama yang siap terloncat dari
bibirku.
“Sudahlah, Mas. Mengapa kita jadi repot memikirkan dia? Lebih baik kita simpan
dulu arloji itu. Siapa tahu besok pagi dia akan menelepon. Bukankah ia mencarimu?”
Aku setuju dengan usul istriku. Kami tak perlu menghabiskan waktu dan memeras
otak mengingat seseorang yang—kukira—memang tidak bermaksud ingin diingat.
Alangkah bodoh si pengharap ucapan terima kasih itu jika ia memberikan sesuatu tanpa
tanda-tanda tentang dirinya. Ia pasti orang yang hatinya bersih, berbuat dengan ikhlas dan
tidak ingin dikenang oleh siapa pun.
Sisa malam, setelah digunakan oleh istriku untuk menonton film seri favoritnya,
segera kami gunakan untuk istirahat. Keletihan siang hari di kantor, dilanjutkan dengan
antre di rumah sakit, membuat mata segera ingin mengatup. Aku segera merindukan
ranjang. Tapi yang kemudian membuatku sulit tidur, adalah suara detak arloji di
telingaku.
Aku tergeragap, bangkit mendadak, seperti terjaga dari mimpi. Padahal belum
sempat tidur. Mungkinkah di bawah bantal ada arloji? Kunyalakan lampu kamar agar
lebih terang dan mencoba mengingat, di mana istriku meletakkan arloji hadiah tadi? Aku
tidak bermaksud membangunkannya, aku mencarinya sendiri, dan segera mendapatkan
benda itu di atas meja rias. Jadi, bukan arloji itu yang berdetak di relung telingaku.
Ah, kukira itu ilusi saja. Aku membalik bantal dan kembali merebahkan kepala di
atasnya. Aku baru saja hampir terlelap ketika detak arloji mulai terdengar samar-samar.
Aku hampir bangkit untuk memastikan sumbernya, tapi tiba-tiba terpikir untuk
menyimak lebih jauh. Justru saat itulah, akhirnya aku tertidur. Seperti dituntun nada
hipnotis.

BELUM terdengar azan subuh sewaktu kudengar dering telepon. Dengan


setengah mengantuk aku meraba-raba permukaan meja di sisi tempat tidur. Aku bukan
pemain komedi dalam sebuah film kocak yang ternyata keliru mendengar dering weker,

102
oleh karena itu, yang kutemukan adalah benar dering telepon. Buktinya, ketika kuangkat,
ada seseorang yang berbicara di seberang.
“Halo, selamat pagi. Maaf mengganggu.”
“Oh, siapa ini?” Suaraku serak. Mencoba mengumpulkan kesadaran.
Kudengar dia menyebutkan nama. Memang kurang jelas, tapi aku malu minta
penjelasan. Penelepon itu menanyakan beberapa hal yang menunjukkan bahwa ia begitu
dekat hubungannya denganku. Seperti sahabat lama. Atau seseorang yang memang
tinggal hanya berantara beberapa rumah saja dari sini. Bisa jadi semacam kawan kantor
yang hampir setiap hari bertemu dan mengobrol. Aku menjawab dengan tanpa dibuat-
buat, namun sesungguhnya kesal karena telah mengganggu kenikmatan tidurku.
Seandainya ia tinggal di Jepang, ada perbedaan waktu dua jam, boleh jadi ia lupa langit
Indonesia masih gelap.
“Maaf sekali lagi karena telah mengganggu. Mudah-mudahan kirimanku sudah
diterima. Selamat pagi,” katanya menutup telepon.
Aku terperanjat tapi terlambat. Telepon di seberang sudah diletakkan. Aku
menoleh ke belakang, istriku masih meringkuk di bawah selimut dengan perut yang
membusung. Aku pun meletakkan telepon yang sunyi kembali.
Diakah yang memberiku arloji?
Aku lekas bangun dan mandi di luar rencana. Dengan rambut basah dan badan
yang segar, mungkin segera kuingat suara seseorang yang sok akrab itu. Aku mencoba
menderetkan berpuluh nama yang nada suaranya mirip penelepon itu. Juga mengingat
nama yang diucapkan secara tidak jelas itu. Usahaku tetap membentur tembok kabur.
“Pagi tadi aku ditelepon seseorang,” kataku sambil memasang dasi. Istriku
berhenti menyeduh kopi, memandangku.
“Siapa?”
“Itulah yang menjadi persoalan, aku tak kenal siapa dia.” Aku duduk menghadap
meja makan. Disergap rasa sedih atas kebodohanku.
“Kenapa tidak ditanya?”
“Sudah. Tapi tidak terdengar jelas.”
“Laki-laki atau perempuan?” Istriku mulai menyelidik.
“Laki-laki. Ya, kukira laki-laki.”

103
Wajah istriku tampak tidak puas dengan jawabanku. Mungkin karena aku
menjawab dengan kata ”kukira”. Menimbulkan teka-teki.
“Atau ada kawan laki-lakimu yang suaranya mirip perempuan?”
“Ada beberapa. Tapi pasti bukan mereka. Dan yang kudengar tadi suara laki-
laki.”
Istriku duduk di depanku. Ikut gelisah. “Ngomong apa dia?”
“Agaknya dia tahu banyak tentang kita. Bisa jadi dia juga temanmu. Tapi yang
paling membuat heran adalah kata-kata sebelum menutup telepon.”
Mata istriku tak berkedip. Menunggu ucapanku selanjutnya.
“Ia bilang, mudah-mudahan aku telah menerima kirimannya.”
“Jadi dia yang mengirim arloji semalam?” tanya istriku. Aku tidak menjawab.
Aku mulai cemas dengan waktu yang terus beringsut. Sebentar lagi lalu lintas Jakarta
memadat dan aku akan terlambat tiba di kantor. Akhirnya aku hanya menghabiskan kopi
dalam cangkirku. Aku menolak sarapan dan bergegas ke kantor.
Di kantor aku menjadi lebih siaga dibanding hari-hari sebelumnya. Aku diam-
diam, sambil bekerja, memperhatikan setiap teman kantor: siapa kira-kira yang mirip
dengan ciri-ciri tamu semalam? Bahkan ketika bercakap dengan mereka, sengaja
kusinggung tentang arloji, atau gangguan telepon di pagi buta. Tapi tak seorang pun
terpancing untuk membahasnya, bahkan bertanya lebih lanjut pun tidak. Aku bagai
menepuk angin.
Saat menerima telepon, relasi atau kawan, kupingku mencari-cari nada suara yang
mirip dengan penelepon tadi pagi. Setiap kali merasa hampir sama, aku jadi ragu-ragu.
Karena tidak mungkin dia yang kucari. Orang-orang itu hanya berhubungan dalam hal
pekerjaan, atau bahkan sama sekali tidak pernah bicara secara pribadi. Mereka adalah
teman-teman yang terbentuk karena hubungan perusahaan. Maka, menjelang istirahat
siang, perasaan dan tubuhku terasa letih. Saat aku mencoba memisahkan diri dari
dokumen-dokumen di mejaku, ada telepon dari rumah.
“Baru saja ada seorang laki-laki yang menanyakan, apakah ada kiriman yang
salah alamat?” kata istriku.
“Siapa dia?”

104
“Dia tinggal masih satu kompleks dengan kita. Nomor rumahnya kebalikan dari
nomor rumah kita. Kebetulan pula, namanya hanya beda satu huruf dengan namamu.”
Astaga! Bisa jadi demikian. Orang yang mengantarkan paket semalam telah keliru
melihat nomor rumah, dan merasa yakin karena nama yang nyaris tidak berbeda dalam
sekali sebut. Tapi… paket itu telah dibuka. Ah, bagaimana mungkin diberikan dalam
keadaan sudah berantakan?
“Semoga dia seorang pemaaf.”
Selanjutnya aku tidak lagi membuang waktu untuk meyelidiki seseorang yang
telah mengirim arloji itu. Untuk sementara sudah terjawab. Tinggal memikirkan cara
meminta maaf karena telah membuka paket yang salah alamat. Akan tetapi, kenapa
pengirimnya juga bisa salah memutar nomor telepon? Bukankah aku tadi menerima
telepon dari pengirim paket itu?

“NAMA saya Bustamam.” Orang itu berdiri di depan pintu rumah yang kubuka
begitu kudengar ketukan beberapa kali. Ia datang terlampau malam. Aku telah
mengenakan piyama, mengira orang itu bakal menunda kunjungan.
Saat ia memeperkenalkan diri, sebenarnya sedikit membuatku kaget. Mengira
nama kami sama. Tapi karena ia mengatupkan bibir ketika tiba di ujung namanya, berarti
menunjukkan perbedaan. Namaku Bustaman, tanpa berakhir dengan katupan bibir. Tapi,
benar adanya, namanya hanya berbeda satu huruf denganku.
“Silakan masuk.” Aku memberi isyarat dengan tanganku, agar dia mau duduk di
sofa ruang tamu. Ia pun duduk tanpa ragu-ragu. Untuk waktu yang kelewat larut,
seharusnya dia ragu-ragu.
Aku segera masuk ke kamar untuk mengambil arloji yang kami terima semalam.
Aku tidak lagi memikirkan siapa pengirimnya, karena sudah menemukan seseorang yang
seharusnya menerima kiriman. Namun begitu arloji sudah tergenggam di tangan, giliran
aku yang menjadi ragu-ragu. Apakah benar dia yang seharusnya menerima kiriman itu?
Bukan karena arloji itu terlihat mahal harganya. Tetapi seandainya ada orang lain
lagi yang menanyakan arloji itu, bagaimana aku menjawabnya setelah melakukan

105
kebodohan dengan memberikan ini kepada orang yang barangkali keliru? Dalam waktu
singkat aku harus menemukan akal, setidaknya demi mendapatkan keyakinan bahwa
Bustamam yang berhak.
“Bapak tinggal di mana?” tanyaku sambil tersenyum.
Ia pun menyebutkan nama jalan dan sepasang angka yang merupakan kebalikan
dari nomor rumahku. Ya, itulah informasi yang disebutkan istriku tadi siang.
“Apakah ini kiriman yang seharusnya Bapak terima?” Aku menunjukkan sebuah
arloji.
“Ya, benar. Mereknya pasti…” Bustamam menyebut sebuah merek yang cukup
terkenal. Aku sendiri masih susah mengeja karena bentuk tipografinya yang agak aneh.
“Kira-kira Bapak bisa menyebutkan nama pengirimnya?” Pertanyaan ini
terdengar tidak sopan, tapi demi kehati-hatian terpaksa kulontarkan. Setidaknya aku akan
bisa menjawab bila istriku bertanya ini-itu soal arloji yang akan segera pindah tangan ini.
“Tentu saja. Syarif namanya. Ia seorang dokter kandungan.” Ah, ia begitu tangkas
menyebut sebuah nama. Tetapi aku terkejut mendengarnya.
“Syarif Budiman?” Aku menatap sepasang matanya.
“Rupanya Bapak kenal juga?” Bustamam tersenyum. Ia terlihat sedikit bangga
karena pengirimnya orang yang juga kukenal.
“Tentu, jika yang dimaksud adalah dokter kandungan yang berpraktik di rumah
bersalin…” Aku menyebut nama sebuah rumah sakit ibu dan anak tempat istriku biasa
memeriksakan kandungan.
“Ah, benar!” Bustamam seperti terlompat kegirangan, tetapi sesungguhnya dia
tetap berada di tempat duduknya. “Jadi begini ceritanya. Dia berjanji memberikan arloji
kepada kami setelah anak kami lahir. Ini merupakan kado tradisi dari dia kepada setiap
bayi yang lahir dari perut pasiennya. Dia dokter kandungan yang luar biasa. Bertangan
dingin, istilahnya. Anak kami lahir melalui tangannya empat hari yang lalu dalam
keadaan sehat. Saat kami meninggalkan rumah sakit, dia berjanji akan mengirimkan
sebuah arloji sebagai tanda mata.”
Aku merasa terpesona dengan ceritanya. Tidak luar biasa, tetapi justru
mengandung unsur yang tidak biasa. Seandainya memang ada dokter yang berlaku murah
hati, tentu kenang-kenangannya bukan berupa arloji. Ada banyak benda yang lebih

106
sesuai. Misalnya boneka, payung, buku tentang merawat bayi, botol susu, atau apalah.
Tapi arloji?
Dan kemarin Dokter Syarif Budiman juga menyebut arloji di akhir pemeriksaan
kandungan istriku. Ia mengatakan, mungkin bercanda, bahwa selain mendengar detak
jantung bayi di perut istriku juga terdengar detak arloji. Adakah hubungannya dengan
peristiwa ini?
“Apa kata Dokter Syarif tentang arloji ini?” tanyaku penasaran.
“Ia menjanjikan akan memberikan arloji setelah anak kami lahir. Ah, dia dokter
yang suka bercanda. Menyebut anak kami sebagai anak arloji.”
Apakah anakku juga akan disebutnya sebagai anak arloji? Dan kami akan
dikiriminya arloji juga? Kulihat Bustamam agak tak sabar menungguku memberikan
arlojinya. Atau karena ia merasa sungkan telah bertamu kelewat malam? Akhirnya
kuputuskan untuk segera meyerahkan arloji itu kepadanya.
“Maaf, bungkusnya sudah dibuang. Tapi memang tidak tertera nama, baik
pengirim maupun yang dikirim.”
“Oh, tak jadi soal,” jawab Bustamam sigap. Tentu tak jadi soal, pikirku geram,
karena yang akan diterimanya adalah sebuah jam mahal.
Lalu, untuk berjaga-jaga, aku pun meminta nomor teleponnya. Kupikir ini
semacam kewaspadaan yang wajar untuk peristiwa serah terima barang berharga,
meskipun tidak secara tertulis. Selebihnya aku percaya saja.
Aku merasa tak ingin menunda waktu lagi untuk mengusirnya. Maksudku
membiarkannya pamit dan berlalu dari rumahku. Sekadar untuk tidak menyesal telah
memberikan benda berharga kepada orang yang mungkin saja hanya mengaku-ngaku.
Tapi, rasanya juga bukan sebuah rekayasa, mengingat tak banyak orang tahu mengenai
arloji itu, selain istriku dan Yati. Kecurigaan terhadap Yati juga terasa berlebihan, karena
sepanjang yang kutahu, dia jujur dan tak pernah usil terhadap majikannya.
“Terima kasih.” Bustamam menjabat tanganku erat-erat dan meninggalkan pintu.
Aku masih mencoba melihat langkahnya menjauh.
Kini aku merasa lega. Menyimpan arloji selama sehari semalam menjadi
semacam beban. Mungkin aku akan segera dapat tidur nyenyak, menyusul istriku yang

107
tak terusik oleh percakapan kami di ruang tamu. Selain percakapan kami bukan berupa
teriakan, jarak antara ruang tamu dengan kamar tidak terlalu dekat.
Begitu merebahkan diri di sisi tubuh istriku, mendadak aku terperanjat. Aku pun
duduk dan tertegun. Rasanya aku kini kenal dengan suara orang yang meneleponku
menjelang subuh. Ya, suara Dokter Syarif. Ah, kenapa tidak segera kukenali sejak
ucapannya yang pertama? Aku pun tersenyum sendiri menyadari kebodohan itu.
Perasaanku kini lega. Tapi mendadak terperanjat lagi. Muncul pertanyaan: siapakah yang
mengirimkan arloji itu ke rumah? Tentu bukan Dokter Syarif, karena saat kiriman itu
diterima oleh Yati, Dokter Syarif sedang memeriksa istriku. Tapi…orangnya lebih tinggi
dariku, kulitnya hitam hidungnya mancung…sama dengan ciri-ciri fisik Dokter Syarif!
Cita-citaku untuk tidur nyenyak kini berantakan.

KEGELISAHAN sebagai calon ayah akhirnya terjadi padaku. Istriku telah satu
jam masuk ruang bersalin, dan aku mencoba membaca majalah di ruang tunggu. Semula
ingin menemani istriku dalam ruang persalinan, tapi merasa tak tahan melihat darah.
Sekarang aku sedang berada dalam kegelisahan seorang calon ayah. Kebahagiaan yang
mendebarkan.
Sewaktu ponselku berbunyi, aku seperti terlompat, padahal sesungguhnya tetap
berada pada tempat dudukku. Mungkin jantungku yang melompat karena dalam kondisi
yang memang mendebarkan.
“Pak Bustaman? Benarkah ini Pak Bustaman?” Suara di seberang terdengar
gugup dan putus asa.
“Ya, benar. Siapa ini?”
“Bustamam. Saya mau menyampaikan berita duka. Saya tertimpa musibah…”
Aduh! Kalimat berikutnya nyaris tidak tertangkap dengan jelas. Aku merasa ada
gangguan terhadap jaringan telepon. Aku pun tergesa-gesa keluar dari ruang tunggu
untuk mendapatkan sinyal yang baik. Aku ke beranda dan mencoba menyimak kata-kata
Bustamam. O, ternyata selebihnya adalah suara isak tangis.
“Tenang, Bung, jangan panik. Apa yang sesungguhnya terjadi?”

108
Aku tidak mendengar apa-apa. Agaknya Bustamam sedang berusaha
menghentikan tangisnya.
“Bayi kami meninggal…”
“Ya Tuhan!” Aku benar-benar kaget. Itu tentu kesedihan luar biasa. Bayinya baru
berumur sebulan. “Kami turut berduka. Kalau boleh tahu, karena sakit atau…”
“Semalaman demam tinggi dan kejang. Tapi ada yang perlu Bapak tahu. Arloji
dari Dokter Syarif juga mati. Entah sebelumnya atau sesudahnya.”
Kembali terdengar isak tangis Bustamam, sampai akhirnya sambungan telepon
diputus. Aku masih tertegun beberapa lama di beranda. Ada rasa sedih yang tajam
mengiris hati. Setidaknya, walau baru sekali bertemu dengan Bustamam, ada ikatan
emosional. Entah melalui Dokter Syarif yang juga menangani istriku, atau oleh kiriman
arloji yang salah alamat.
Aku terperanjat karena teringat istriku masih berada dalam ruang persalinan. Aku
bergegas masuk ke ruang tunggu dan ragu-ragu. Apakah akan mengetuk pintu untuk ikut
masuk? Atau tetap menunggu di luar? Aku kembali duduk dengan kegelisahan seorang
calon ayah. Dengan majalah terbuka namun tak satu huruf pun masuk dalam kepala.
Kegelisahan itu ditambah dengan kesedihan atas berita yang baru kuterima.
Entah berapa puluh menit, yang terasa seperti berhari-hari, akhirnya aku
menerima kabar gembira. Dokter Syarif keluar dari ruang bersalin, jemarinya sudah
bebas dari sarung tangan karet. Matanya mencari-cari sebelum akhirnya hinggap ke
wajahku dan tersenyum.
“Pak Bustaman, selamat! Anak Anda sudah lahir dalam keadaan sehat. Laki-
laki!” Tangannya menggenggam tanganku begitu kuat.
“Bagaimana dengan ibunya?” tanyaku gugup di antara kegembiraan yang
menyeruak.
“Ibunya juga selamat, tapi mungkin masih terlampau letih. Tentu saja. Bayi Anda
hampir empat kilogram.”
Aku mengucapkan syukur kepada Tuhan. Akhirnya si pencemas ini berhasil
menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Dokter.”

109
“Ya. Anak arloji telah lahir, haha.” Dokter Syarif menepuk pundakku seraya
tertawa. Tapi hatiku justru mengerut mendengar ucapannya. Anak arloji? Anak
Bustamam juga anak arloji. Almarhum anak Bustamam!
“Dokter…” ucapanku tersangkut di tenggorokan.
“Sabar. Tak sampai setengah jam bayi Anda dapat dilihat melalui jendela di ujung
sana.” Dokter Syarif salah menafsirkan kelanjutan ucapanku. “Oh, ya. Sebelum saya
lupa, ini kenang-kenangan dari saya.”
Tangannya masuk ke dalam saku jas putih dan keluar lagi dengan sebuah kotak
arloji. Begitu cepat. Bahkan seperti tak pernah melakukan gerakan tangan masuk dan
keluar dari saku. Sejenak darahku tersirap. Tapi wajah Dokter Syarif justru tersenyum
sangat bahagia. Ia memberikan kotak arloji itu kepadaku.
Tanganku tidak berdaya untuk menolak. Aku menerimanya dengan gemetar.
Menerima kotak arloji yang sama seperti yang pernah kuberikan kepada Bustamam.
Rasanya aku sudah tak mampu tersenyum. Mungkin, bahkan, dengan wajah yang pucat.

***

Jakarta, 28 Februari 2006

110
PENGGALI MAKAM

IA suka termenung sendiri setiap kali habis menggali makam. Ia ingin bertanya
kepada para penggali makam yang lain, apakah selalu melihat cahaya dari rongga yang
dibuatnya?
Di pekuburan itu, yang memiliki tujuh puluh sembilan pohon kemboja, dan
dikelilingi ratusan pohon nanas, hanya dia yang ditugasi untuk menggali setiap kali ada
yang meninggal. Dulu pernah ada beberapa orang yang membantu, tapi kemudian satu
per satu menghilang hampir tanpa alasan. Dari kabar yang diperolehnya, ada di antara
mereka yang kemudian menjadi tukang batu, atau menjadi rombongan urbanis ke kota
besar, dan bekerja serabutan di sana.
Umurnya sebenarnya tidak terlalu muda. Tahun ini memasuki usia 40-an. Dari
banyak pendapat, umur tersebut merupakan awal terbitnya sifat bijaksana pada seseorang.
Apakah berarti setiap orang yang menginjak usia 40 akan mendapat pencerahan? Melalui
jalan yang berbeda-beda tentunya. Misalnya ia seorang santri, mungkin desir malaikat
akan mulai terdengar mengiringi langkah-langkahnya. Andai ia seorang dokter, akan
segera memahami lebih mendalam tentang hikmah di balik kesehatan dan lolosnya jiwa
seseorang. Jika ia seorang seniman, hakikat tentang keindahan yang lebih hakiki menjadi
bagian dari jalan pikirannya. Andai ia seorang…penjahat, ah, mungkin itu sebuah

111
kekecualian! Agaknya, penghuni kekecualian itu terlampau banyak. Misalnya: koruptor,
ibu tiri yang jahat, pembunuh bayaran, pelacur dan germonya, penipu kelas kakap, istri-
istri gelap yang materialistik…

KINI, di antara semilir angin kemarau, ia duduk di sisi gundukan tanah. Di


depannya sudah terbentang lubang berukuran 1 x 2 meter, sedalam 2 meter, kurang atau
lebih sedikit. Dalam liang lahat yang masih menyiarkan aroma tanah liat itu, beberapa
menit yang lalu, tampak ada cahaya. Ia, sesungguhnya, tidak takut dengan peristiwa itu.
Hanya heran dan takjub. Ia tidak menghitung secara persis, tapi kira-kira sejak sembilan
hari yang lalu ia memergoki sinar terang itu. Dalam kurun waktu yang singkat, mungkin
telah tujuh kali ia menggali calon kuburan. Menggali sendiri, karena tak seorang pun
dapat membantunya. Bahkan kawan baiknya, yang tinggal di sebelah rumah, setiap kali
mendapat tugas menggali makam, mendadak urung karena ada urusan lain.
Hatinya bertanya-tanya: mungkinkah karena ia tinggal sendiri, sehingga cahaya
itu kemudian menghampiri? Ketika ia menggali bertiga atau berdua, tak pernah
memperhatikan, apakah ada cahaya atau tidak. Semua berjalan wajar saja. Seperti biasa ia
menjumpai tanah yang keras, kadang bergumpal karena liat, dan kuku-kuku kaki pun
menjadi kotor dan rusak. Sesudahnya, otot-otot lengan sedikit pegal dan keringat tampak
mengalir di seluruh tubuh. Sebab, walaupun ada lebih 70 pohon kemboja, rimbun
daunnya tidak sempurna memayungi tubuh mereka. Justru lebih banyak memberikan
pekerjaan tambahan karena daun-daun kering mudah gugur. Ia memang sekaligus
menjadi penjaga kebersihan permakaman yang tak terlampau luas itu.

Ada hal lain, yang kemudian menambah sejumlah pertanyaan di kepalanya, yakni
rasa akrabnya dengan lingkungan itu. Kadang-kadang keheranannya muncul apabila ada
orang yang berpendapat bahwa kuburan itu menakutkan. Menurutnya, setidaknya sejak
beberapa pekan terakhir, ketika akhirnya ia bekerja sendiri; kuburan adalah tempat yang
nyaman untuk istirahat. Angin demikian bebas hilir mudik. Matahari tidak sepenuhnya
menghunjam bumi. Debu seperti terhenti oleh pekat daun-daun kemboja. Dan kebisingan

112
jalan raya tidak mampir ke tempat itu. Di sela makam, ia bisa duduk nyaman, merokok
tanpa diganggu. Burung-burung, termasuk kedasih, menjadi teman karibnya.
Oleh kekariban hubungan mereka, sering sang kedasih bertengger dekat dengan
tempatnya beristirahat. Acap kali memperdengarkan suara uniknya, lolong yang
menyayat, dengan maksud memperdaya rasa kantuk sahabatnya. Ada dua akibat yang
kemudian dirasakan: terjaga mendadak, atau semakin jauh terlena, sampai selembar daun
kemboja jatuh menimpa hidungnya.
Pada saat itulah, terdengar tanda-tanda kedatangan rombongan pengantar jenazah.
Dimulai dari petugas yang akan memeriksa kondisi lubang kubur, dan pengatur jalan.
Mereka akan mengatur tempat orang-orang berdiri saat memberikan doa penghabisan,
tempat meletakkan keranda sebelum jasad berkafan itu diturunkan ke liang lahat. Pada
saat itulah, ketika terdengar langkah-langkah menyibak ilalang, ia bergegas bangkit. Ia
buru-buru melongok ke dalam lubang, mencoba mencari semburat cahaya yang tadi
begitu terang. Tapi syukurlah, cahaya itu tidak memancar lagi. Ia hanya khawatir dituduh
berbuat yang aneh-aneh dengan menyalakan petromaks di dasar lubang, padahal hari
demikian terang.
Upacara penguburan berjalan seperti lazimnya: ada ucapan perpisahan dengan
memuji-muji almarhum. Beberapa anggota keluarga yang berwajah pucat dengan
keranjang bunga di tangan, seorang lainnya membawa dua botol berisi air mawar,
seorang pemimpin doa yang keningnya tampak hangus oleh banyaknya sujud, dan
beberapa orang mencoba menahan rubuh tubuh seseorang yang mungkin memiliki ikatan
paling erat dengan almarhum. Payung terkembang di atas beberapa kepala, menahan terik
matahari membakar rambut para pelayat. Angin yang silir menambah suasana duka,
karena membawa semerbak bunga kantil.
Sesudah tanah menimbun liang lahat, kelopak-kelopak mawar bercampur melati
dan rajangan daun pandan ditabur. Beberapa wanita, mungkin istri dan anak almarhum,
berjongkok dengan kerudung menyentuh tanah, berusaha mengucapkan kata-kata dalam
bisik. Bersama sisa air mata. Seakan-akan berat meninggalkan almarhum yang akan
begitu kesepian setelah mereka semua pergi.
Penggali makam itu bersabar di luar arena, dengan gagang cangkul dalam
genggaman. Ia akan memperbaiki gundukan tanah selepas para pelayat meninggalkan

113
kuburan. Seseorang tampak menghampiri, memberinya lipatan uang. Ia pun
mengucapkan terima kasih. Masih tersiar semerbak bunga kantil, padahal hanya beberapa
kuntum di antara serakan kelopak mawar. Harum yang mengisyaratkan kesenyapan.
Setelah kuburan kembali sepi, ia duduk merokok. Ia mulai membayangkan:
apakah akan seumur hidup bekerja sebagai penggali makam? Apakah akan sampai tua,
dengan punggung melengkung, ia tetap bekerja dengan cangkul di kuburan itu? Berapa
puluh atau ratus lubang lagi akan ia gali, dan… berapa cahaya akan dilihatnya dari
rongga yang dibuatnya? Lantas siapa yang akan menggali makam buat dirinya kelak?
Pikiran itu mengagetkannya. Tampaknya tidak ada seorang pun di lingkungan itu
yang berminat menjadi penggali kubur. Pikiran itu menyadarkannya dan membuatnya
waspada. Apakah tidak sebaiknya ia menyiapkan kuburan buat dirinya sendiri sejak
sekarang? Ia tidak bermaksud merepotkan orang lain. Pekerjaan menggali memang berat,
dan itu sebaiknya dikerjakan selagi tenaganya kuat. Perkara menimbun tanah ke dalam
lubang, hampir setiap orang mampu melakukannya.
Lama ia merenung-renung menghabiskan beberapa batang rokok. Sampai senja
turun. Ia hanya melihat beberapa orang berziarah. Mereka berdoa dan pergi lagi.
Mungkin mereka tergolong orang yang sadar, bahwa masa depannya ada di sini. Kelak
akan kesepian. Terasing. Gelap. Maka dengan berkunjung ke taman kubur, setidaknya
akan mengenali lingkungan kasat mata yang bakal menjemput mereka.
Akhirnya penggali makam itu memutuskan pulang setelah menyapu rerontokan
daun kemboja ke sudut, supaya besok tinggal membakarnya. Ia bangkit dan melangkah
meninggalkan deretan nisan, ketika terdengar suara memanggil. Ia menoleh tapi tak
tampak seorang pun. Dilanjutkannya langkah, dan suara itu kembali memanggilnya.
Berhenti dan menoleh lagi, matanya mengitari perkuburan. Ketika suara itu terdengar
kembali, ia merasa yakin arahnya dari kuburan yang siang tadi baru saja ditimbun. Lalu
ia mencoba menghitung langkah kakinya, belum sampai bilangan tujuh. Belum sampai
pintu permakaman.
Dengan perasaan bimbang, dihampirinya gundukan tanah yang masih segar itu,
dengan taburan bunga setengah segar. “Apakah sampean memanggil saya?”
“Ya,” sahut suara itu. Seperti dekat seperti jauh.
“Sampean ada di mana? Saya tidak bisa melihat sampean.”

114
“Tentu saja,” sahut suara itu. “Saya sudah ditanam. Sebentar lagi saya kesepian.
Mungkin saya akan takut. Boleh saya bertanya?”
“Apa yang akan sampean tanyakan? Jangan mengajukan pertanyaan yang sulit.
Saya hanya orang desa yang bodoh.”
“Terus terang saya lupa, bahwa setiap saat saya akan mati. Saya belum belajar apa
pun. Bukankah sepeninggal sampean nanti ada malaikat yang akan menemui saya?”
“Begitulah kata guru ngaji di surau,” lelaki itu mulai gemetar. Senja makin redup.
Ia ingin segera pulang. Tapi langkah kakinya bagai tertahan, seperti disekrup ke tanah.
“Saya mau tanya, apakah yang dimaksud dengan takdir? Pertanyaan kedua, konon
setan diciptakan dari api, mengapa ia akan dibakar api di neraka? Ini bisa jadi lelucon,
bukan? Api bertemu api! Pertanyaan ketiga, apakah Tuhan itu benar-benar ada? Mengapa
saya tidak pernah melihat-Nya?”
Penggali makam itu menggigil. Mengapa ia mendapat pertanyaan yang demikian
sulit? Ia tidak punya cukup ilmu untuk menjawab. Apakah ia boleh meminta waktu untuk
mencari jawab ke salah seorang ustaz di kampung itu?
“Pertanyaan sampean sangat sulit, saya harus tanyakan kepada juru dakwah.”
“Alangkah malangnya saya karena di saat terakhir seperti ini pun saya tidak yakin
apakah Tuhan itu ada.” Suara itu tidak peduli. “Bagaimana mungkin saya memercayai
takdir yang tak bisa ditolak dan hukuman yang tidak logis untuk sang penggoda
manusia?”
Lelaki itu semakin menggigil. Tubuhnya terasa dingin. Baru kali ini, sepanjang
bekerja sebagai penggali makam, mengalami peristiwa yang tidak biasa. Sekalipun
banyak cerita misteri yang pernah didengarnya, namun ia boleh menganggapnya sebagai
isapan jempol. Kini ia mendengar suara tanpa terlihat wujudnya. Apa hubungan peristiwa
ini dengan penglihatannya terhadap cahaya di dasar liang lahat? Apa hubungan peristiwa
ini dengan keinginannya menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri?
“Saya mau pulang, saya tidak mampu menjawab. Maafkan saya.”
“Baiklah, barangkali kini saatnya saya menghadapi segala kemungkinan yang
tidak saya yakini.”
Laki-laki itu selekasnya angkat kaki. Jiwanya tersirap oleh rasa takut. Ketakutan
yang luar biasa, karena menyangkut keyakinan. Ia pun berjalan meninggalkan kuburan, di

115
bawah langit lembayung, dengan pikiran yang berkecamuk. Selama ini ia percaya saja
pada dogma tentang Tuhan, padahal tidak pernah sekali pun memandang Tuhan dalam
bentuk apa pun. Menurut cerita dalam kitab-kitab, setan itu dibuat dari api, mengapa
dihukum dengan kobaran api? Boleh jadi sang iblis tertawa terbahak-bahak menikmati
pesta di neraka. Apakah ia menjadi seorang penggali makam adalah takdir? Jadi, akan
selamanya seperti ini? Kecuali jika takdir menentukannya sebagai manusia lain…
Tiba di rumah, mendadak tubuhnya demam. Istrinya menjadi sibuk dan cemas.
Bekerja di kuburan sudah biasa, tetapi mengapa baru hari ini kesambet? Tidak mungkin.
Atau karena terlalu letih bekerja, sedangkan hari ini hanya menggali satu makam…
Pertanyaan istrinya tidak pernah dijawab dengan jujur. Untuk mengulang pertanyaan
suara almarhum itu pun ia tidak berani.
Di antara kesibukan mengompres kening laki-laki itu, sang istri minta kepada
salah seorang anaknya yang masih terjaga untuk memanggil seorang ustaz, mungkin
dapat menolongnya. Penggali makam itu mengatupkan rahang demikian kuat, karena ia
menyadari betapa seorang yang sedang demam tinggi akan meracau. Ia begitu takut
igauannya terdengar oleh istrinya. Akan tetapi, kedatangan ustaz pada larut malam itu
membuat ia lebih terkejut. Dalam samar pandangannya, ketika suhu tubuhnya begitu
panas, ia tak mampu menolak lagi.
“Kenapa sampean?” tanya ustaz itu. Mengambil kursi dan duduk di sisi
pembaringan. Ia memberikan isyarat agar istri dan anaknya meninggalkan kamar.
Penggali makam itu menggeleng, namun air matanya menetes.
“Ayolah, berterus terang saja kepada saya.” Desak ustaz itu, sambil menyentuh
lengannya yang menggigil namun panas.
Dengan sabar ustaz itu menunggu sampai gelombang dada penggali makam itu
reda. Dan dengan terbata-bata akhirnya laki-laki itu menceritakan kejadian di kuburan
senja tadi. Lengkap dengan isyarat cahaya yang telah sembilan hari lalu dilihatnya.
Mendengar itu semua sang ustaz tersenyum.
“Jadi apa masalah sampean?”
“Saya bingung. Saya pun akan bertanya kepada ustaz, apa yang dimaksud dengan
takdir? Mengapa setan yang dibuat dari api dihukum dengan api? Dan apakah sebenarnya
Tuhan itu ada?”

116
Rasanya belum sempurna kalimat itu selesai diucapkan, tiba-tiba telapak tangan
ustadz menampar pipi penggali makam. Laki-laki itu terkesiap oleh kaget dan rasa sakit.
“Mengapa…mengapa ustaz menampar saya?”
“Itulah jawaban untuk ketiga pertanyaan sampean,” jawab ustaz tenang.
“Saya tidak mengerti…”
“Apakah sampean sudah diberi tahu sebelumnya bahwa saya akan menampar
sampean? Mungkin lewat mimpi atau kabar lain?” Tanya ustaz. Penggali makam itu
menggeleng. “Itu yang disebut takdir. Tidak seorang pun tahu itu akan terjadi, termasuk
saya.”
Penggali makam itu meraba pipinya yang terasa panas.
“Sampean tahu pipi itu terbuat dari apa?”
“Ini daging, ustaz,” sahutnya gemetar. Boleh jadi menahan geram.
“Tangan saya pun terbuat dari daging. Jadi bagaimana rasa daging bertemu
daging? Seperti halnya api bertemu api. Seperti halnya setan dibakar dalam neraka.”
Penggali makan itu mengangguk-angguk. Sambil masih mengelus-elus pipinya
yang sakit.
“Bagaimana rasa pipi sampean? Apakah sakit?”
Penggali makam itu mengangguk dengan serta-merta.
“Bisakah sampean melihat rasa sakit itu?”
Penggali makam itu tertegun, kemudian menggeleng.
“Perasaan itu ada tapi tidak tampak. Cobalah rasakan kehadiran Tuhan dalam hati
sampean, dalam pikiran sampean, seperti kalau sampean sedih, gembira, kangen, atau
marah…”
Tiba-tiba penggali makam itu menangis. Sesenggukan. Bukan oleh rasa sakit
akibat tamparan tangan ustaz, tetapi oleh kebodohannya. Ia bangkit dari pembaringan dan
memeluk ustaz yang menyambutnya dengan hangat.
“Semoga lekas sembuh. Sekarang istirahatlah, sebab besok mungkin ada jenazah
yang harus dikebumikan lagi.”
Tak lama kemudian penggali makam itu terlelap oleh lelah yang melanda tubuh
dan perasaannya. Ustaz itu pamit setelah membacakan Surat Alfatihah. Istrinya
bersyukur, karena secara perlahan-lahan demam suaminya mereda.

117
*

SEJAK lepas subuh penggali makam itu sudah berada di taman permakaman.
Badannya telah segar kembali, dan tenaganya seperti ditambah dua kali lipat dari
sebelumnya. Ia telah memilih lokasi agak ke tepi, dekat dengan tembok rumah seorang
juragan kaya yang kebunnya sangat luas. Ia akan menggali lubang kubur di situ, di bawah
pohon rindang.
Ketika seseorang datang menghampiri, tak terdengar suara langkahnya, karena
terlampau sibuk. Ia mendongak dari dasar liang saat beberapa butir gumpalan tanah
meluncur oleh sentuhan sandal sang pendatang.
“Pak, hari ini akan ada satu jenazah yang dimakamkan. Kami minta persis
sesudah zuhur, karena akan disembahyangkan dulu di masjid.”
“Oh, ya, akan saya siapkan. Tempatnya di mana?”
“Bagaimana kalau di sini?” Orang itu menunjuk lubang yang sedang digalinya.
Penggali makam itu berpikir sejenak. Rencana awal, liang kubur itu disiapkan
untuk dirinya sendiri, agar tidak merepotkan orang lain. Namun akhirnya ia mengangguk
setuju. “Baiklah, saya akan selesaikan sebelum zuhur.”
“Terima kasih,” Orang itu pergi. Terdengar dari langkah sandalnya yang
menginjak daun-daun, menjauh. Siapa dia? Ia tidak sempat memandang jelas.
Setelah permakaman sunyi kembali, penggali makam itu meneruskan
pekerjaannya. Ia menunggu datangnya cahaya dari rongga yang digalinya. Dengan
perasaan yang lebih tenang, lebih ringan, lebih tulus.

***

Jakarta, 7 Juli 2003

118
JALAN TEDUH MENUJU RUMAH

TERNYATA aku hanya seorang pendongeng.


Sejak kedua anakku masih belum lancar membaca, aku selalu mengantar tidur
mereka dengan sebuah dongeng. Mula-mula kuceritakan tentang muslihat sang Kancil,
yang selalu cerdik dalam menghadapi berbagai bahaya. Karena perbendaharaan kata yang
terhimpun di kepala anak-anakku belum sebanyak mereka yang sudah sekolah, tentu aku
menggunakan bahasa yang sederhana.
“Dengan suara yang ditenang-tenangkan, Kancil meminta agar Harimau
memandang ke dalam perigi…”
“Apa itu perigi?” tanya Najma.
“Oh ya, itu padanan kata dari sumur.”
“Padanan itu apa?”
“Hmm, maksud Papa adalah kata lainnya. Arti perigi sama dengan sumur. Sudah
pernah melihat sumur?”
Keduanya menggeleng. Tentu. Kami tinggal di kompleks perumahan yang
masing-masing sumurnya terpendam dalam semen beton, dan yang muncul ke

119
permukaan adalah pompa listrik. Ada getar dan bunyi dengung setiap kali pompa
penyedot air itu dinyalakan. Tahu-tahu mereka melihat air mengucur di keran-keran
kamar mandi, tempat cuci piring di dapur, atau wastafel dekat meja makan.
“Sumur adalah tanah yang digali dengan kedalaman sekitar enam sampai sepuluh
meter, dan pada bagian dasarnya terdapat mata air yang menggenang untuk keperluan
hidup sehari-hari. Ya… pokoknya begitulah. Di rumah kita ini, yang mengambil air ke
dalam tanah adalah pipa tersembunyi.”
“O, begitu. Lalu bagaimana selanjutnya Harimau itu?” Afif, adik Najma tak sabar.
“Karena tidak sepintar Kancil, Harimau itu menurut. Di tepi sumur ia mengintip
ke lubang yang dalam. Tampaklah bayang-bayang wajahnya di permukaan air. Seketika
ia percaya, bahwa gambar kepala harimau yang ada di dasar sumur adalah korban sang
Kancil. Ia pun gemetar…”
Najma dan Afif tertawa. Tatapan mata mereka antusias mendengar keberhasilan
Kancil. Tapi itu tak lama. Setelah dongeng berakhir, mereka segera membaca doa:
bismika allahumma ahya, wabismika amuut… Lalu selimut ditarik menutup sampai
sebatas dada, karena dingin AC dalam kamar mulai terasa. Perlahan mata mereka
terkatup. Dan seperti biasa, ibu jari dan telunjuk Afif mengusap-usap daun telinga sampai
terlelap. Sementara jemari tangan kanan Najma menggulung-gulung rambutnya hingga
tertidur.
Aku tersenyum sebelum keluar kamar dan bergabung dengan istri menonton
televisi. Pak Quraish Shihab sedang menyampaikan tafsir Alquran. Aku suka dengan
telaahnya yang mendalam, sering membuat mata hatiku terbuka oleh makna ayat yang
terungkap begitu jernih.
“Apa menu sahur kita nanti?” tanyaku.
“Maunya apa? Serbabening atau bersantan?”
“Aku mau yang serbahangat.” Aku tertawa.
“Seperti ini?” Istriku menyusupkan kepalanya ke dalam pelukanku.

TERNYATA aku hanya seorang pendongeng.

120
Sudah pukul sembilan malam, Najma masih tekun di depan komputer. Tubuhnya
yang tak langsing itu mungkin merupakan kesalahanku. Ada genetik bawaan yang
membuat badannya subur, padahal ibunya selangsing piala. Mudah-mudahan ia tetap
percaya diri di antara teman-teman SMP-nya.
Ah, ya! Najma sudah SMP. Sementara Afif kelas lima SD. Mengapa tahun-tahun
melesat seperti ketika aku menyingkat kisah dalam dongeng? Begitu lekas. Seperti
bergegas. Seperti mengejar sesuatu. Entah itu sebuah tujuan, berupa ruang atau waktu. Di
mana atau kapan?
“Kamu belum ngantuk? Nanti sulit dibangunkan saat sahur. Sedang bikin apa,
sih?” Kudekati anak sulungku itu.
“Ini lho, tugas pelajaran agama. Disuruh menceritakan salah satu contoh perilaku
Nabi yang pantas menjadi teladan,” jawabnya tanpa menoleh. Matanya tetap memandang
huruf-huruf yang tertera di layar monitor.
“Wah, itu banyak sekali.”
“Justru itu, aku bingung, Pa. Mau ambil yang mana?”
“Pernah dengar kisah Rasulullah dengan lelaki Yahudi tua yang buta?”
Najma menoleh memandangku. Tampaknya ia tertarik. “Belum. Nah, ini pasti
tidak akan sama dengan teman-teman lain. Bagaimana ceritanya?”
“Suatu hari, Siti Aisyah, istri Nabi bertanya kepada ayahnya yang juga menjadi
sahabat Nabi. Itu terjadi setelah Rasulullah meninggal.” Kumulai kisahnya. “Apakah
Ayah sudah melakukan semua yang Nabi lakukan? Demikian pertanyaan Aisyah.”
“Apa jawab… emm, Abu Bakar?” Rupanya Najma ingat nama ayah Aisyah.
“Ia menjawab, semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sudah ia tiru. Namun
menurut Aisyah, ada satu hal yang belum dilakukan oleh ayahnya. Di hari-hari menjelang
akhir hayat Rasulullah, ketika masih sehat, ia selalu menyuapi seorang tua buta di ujung
jalan yang setiap hari dilewatinya. Tentu Abu Bakar bertanya-tanya heran, dan
mengatakan bahwa orang tua buta itu adalah seorang Yahudi. Bukan hanya itu, namun
juga selalu mencerca Nabi Muhammad dan pengikutnya, bahkan sampai beliau
meninggal.”
“Kurang ajar betul orang Yahudi itu. Sudah tua, buta, tidak tahu berterima kasih
pula,” komentar Najma.

121
“Ya, perasaan itu pula yang berkecamuk dalam hati Abu Bakar. Akan tetapi,
karena tidak terpengaruh oleh cercaan itu, Abu Bakar berjanji kepada Aisyah, bahwa ia
akan menggantikan tugas Rasulullah untuk menyuapi kakek Yahudi itu. Maka keesokan
harinya, pagi-pagi, Abu Bakar mendatangi orang tua buta itu sambil membawa
semangkuk bubur gandum. Ketika aroma bubur itu tercium oleh Pak Yahudi, tampaklah
senyum gembiranya karena akan segera mendapatkan sarapan pagi. Mulailah Abu Bakar
menyuapkan sendok pertamanya ke mulut Pak Yahudi. Tapi apa yang terjadi ketika tiba
pada suapan kedua?”
“Apa?” Najma menanti dengan penasaran.
“Orang tua buta itu marah. Ia menolak tangan Abu Bakar dengan kasar, dan
menghardik keras.”
“Lho, kenapa begitu?” tanya Najma.
“Siapa kamu?! Begitu tanya sang Yahudi. Kamu pasti bukan orang yang biasa
menyuapiku. Mana orang itu? Dia orang yang sangat lembut, menyuapi dengan penuh
kasih sayang. Dia tak akan menyuapkan sendok berikutnya sebelum aku selesai
mengunyah dan menelan…”
“Subhanallah, begitu mulia Rasulullah. Lalu bagaimana jawab Abu Bakar?”
Tak terasa mataku panas, menahan rebak air mata. Entah mengapa, setiap
berkisah tentang akhlak Nabi Muhammad, selalu ada yang berdesir-desir dalam hati. Tak
seorang pun sanggup meniru tabiatnya, bahkan seorang sahabat paling dekat sekali pun.
“Abu Bakar menangis. Ia tersedu dan gemetar hebat. Ia menahan amarah, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap Pak Yahudi. Lalu dengan terbata-bata, ia
sampaikan sebuah rahasia. Kata Abu Bakar kepadanya: Tahukah Bapak, siapa orang
yang selalu menyuapimu dengan sabar dan penuh kasih sayang itu? Dialah Rasulullah
Muhammad yang engkau benci, yang setiap hari engkau maki. Tapi dia tak pernah sakit
hati atau dendam kepadamu, justru memperlakukanmu melebihi cinta kerabatmu.”
“Sungguh mulia akhlak Rasulullah ya, Pa,” ujar Najma kagum. “Lalu bagaimana
reaksi Pak Yahudi?”
“Ia tertegun. Apalagi ketika disampaikan bahwa Rasulullah meninggal kemarin.
Berarti kebencian Pak Yahudi itu berlangsung sampai akhir hayat Rasulullah, tak sempat
ia minta maaf. Namun Allah pada saat itu langsung menurunkan hidayah. Orang tua buta

122
itu menangis sedih dan menyesal sedalam-dalamnya. Saat itu pula ia mengucapkan dua
kalimat syahadat. Bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah. Juga bersaksi bahwa
Muhammad sebagai utusan Allah.”
Najma memandangku dengan mata berkaca-kaca. Kuacak-acak rambutnya
dengan kasih sayang. “Ayo segera ditulis kisah itu. Betapa Rasulullah tidak pernah
membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan beliau tidak perlu menunjukkan pamrih
dengan menyebut nama saat berbuat baik, karena yakin Allah yang akan menilai
perbuatan kita.”
“Oke! Terima kasih, Papa.” Najma membalikkan badan menghadap kembali ke
layar komputer. “Seandainya kita bisa mencontoh sedikit saja teladan Nabi…”
gumamnya.
“Maka jadilah anak yang salihah. Hormat dan berbakti kepada orang tua, setia
kepada suami kelak jika sudah berumah tangga, dan menjaga diri dari perbuatan riya.”

TERNYATA aku hanya seorang pendongeng.


Itulah yang disampaikan oleh anak-anakku, Najma dan Afif, kepada anak-
anaknya. Cucu-cucuku itu selalu memandang berlama-lama ke wajahku yang berhias alis,
kumis, dan janggut putih, setiap kali mereka bertandang ke rumah. Rumah seorang
pendongeng, tentu.
“Sebenarnya, Kakek itu seorang pendongeng atau penyihir?” bisik Ica, panggilan
sayang Faricha, kepada sepupunya, Naufal. Aku hampir saja tergelak. Ah, dasar anak-
anak!
“Ayo, mendekat kemari! Pada puasa, nggak?” Aku menyambut kedatangan
mereka dengan rasa bungah luar biasa.
“Apa kabar, Kek?” Ica, anak Najma mencium tanganku. “Aku bawa oleh-oleh
buat Kakek. Baju koko.”
“Wah, pintarnya cucu cantik ini.” Aku mencium sepasang pipinya yang montok.
“Kalau Naufal bawa apa?”

123
“Opang bawa ini,” ia mengulurkan sebuah VCD murotal Alquran. “Tapi ini dari
Papa.”
Kemudian tampak melangkah dari ujung jalan, Najma dengan suaminya, dan Afif
bersama istrinya. Sejak sebelum Ramadan, mereka merencanakan berlebaran di rumah
kami. Tidak ada keberatan bagi kedua cucu kami karena ini bukan kunjungan yang
pertama kali. Apa yang membuat mereka gembira di dusun lereng bukit ini, aku tak tahu
persis. Apakah karena aku seorang pendongeng?
Istriku, nenek mereka, segera membuatkan kentang goreng dan sosis. Aha! Boleh
jadi lantaran selama mereka di sini tidak kehilangan cita rasa kota, dengan muslihat
istriku membuat menu-menu yang mereka sukai.
“Mau mandi dulu, atau makan dulu?” Istriku menawarkan. “Perjalanan jauh kan
boleh berbuka. Musafir namanya.”
“Aku nggak mau mandi, Nek. Di sini airnya dingin. Besok pagi aja, setelah jalan-
jalan,” usul Ica.
“Ya, sudah. Panggil ayah kalian, nenek sudah siapkan sirop kelapa muda.”
Naufal berlari ke arah kami yang sedang bercakap-cakap di halaman. Tatapan
kami lurus ke arah jalan kecamatan dua ratus meter dari teras rumah. Dari sana sengaja
kubuat jalan batu. Di kanan dan kiri, masing-masing berbatasan dengan kebun milik
tetangga, kutanam pohon-pohon cengkih, berjajar sama tinggi. Pada usia delapan tahun
mereka tumbuh dengan daun merimbun dan mulai mempertontonkan bunganya yang
lebat.
“Papa, dipanggil Nenek. Disuruh buka puasa,” kata Opang.
“Oh ya, sebentar lagi, ya. Papa mau melihat matahari tenggelam.”
Naufal kembali berlari ke arah rumah dengan ceria. Aku memandangnya seraya
bersyukur. Kadang-kadang muncul sebersit rasa cemas: jangan-jangan, di tengah
kebahagiaan serupa ini tersembunyi duka yang akan menyergap tiba-tiba. Kuusap
mataku, mengusir kekhawatiran yang mengganggu. Tiga hari lagi Lebaran, tak baik
membayangkan prasangka buruk terhadap Tuhan.
“Inilah yang sering mereka ceritakan kepada teman-temannya…” kata Najma.
“Tentang seorang pendongeng?” Aku hampir tertawa.

124
“Bukan. Tentang jalan teduh menuju rumah.” Najma melingkarkan tangannya ke
bahuku. “Mereka suka tempat ini karena selalu melewati jalan yang rindang oleh pohon
cengkih. Jalan panjang yang tidak mereka lihat di mana pun, kecuali dalam film.”

TERNYATA aku hanya seorang pendongeng. Yang ingin menyambut takbir Idul
Fitri dalam ketenteraman hari tua. Yang membayangkan Lebaran indah di sebuah dusun
lereng bukit. Dan meniru sedikit saja dari perilaku Rasulullah, yang aku sanggup.
Kusiapkan jalan teduh menuju rumah, agar cucu-cucuku dapat kulihat dari
beranda sejak mereka memasuki halaman yang memanjang. Dan di pagi cerah sesudah
salat hari raya, kedua anak dan menantuku bergantian mencium tangan, sungkem dan
memeluk hangat. “Selamat Idul Fitri. Maafkan lahir dan batin, doakan kami selalu.”
“Buka juga lebar-lebar hatimu, agar semua kesalahanku sebagai orang tua
seketika lebur. Doa kami selalu untuk kebahagiaan dan kerukunan kalian.”
Atau sebaliknya: mereka akan memandangku berjalan menjangkau hari tua,
melewati jalan yang teduh menuju rumah.

***

Untuk anak-anakku, Nifa dan Afi


Jakarta, 25 Oktober 2005

125
KATA PEMBACA

“Sastra Cinta” Kurnia Effendi

HIDUP manusia sesungguhnya sudah penuh dengan rangkaian cerita yang alurnya
sering tak terduga dan ending-nya kerap di luar rencana dan tetap terbuka. Menulis cerita,
secara demikian, adalah menciptakan cerita di atas cerita.
Bila hidup sehari-hari sendiri sudah merupakan cerita, untuk apa menulis dan
membaca cerita? Itulah soalnya. Dalam kisah hidup sehari-hari kita lekat dengan
peristiwa. Sering kita berperan sekaligus sebagai pembuat dan pelaku cerita. Karena kita
sendiri bagian langsung dari peristiwa, kerap kita tidak bisa menyadari atau terlambat
memahami pesan di balik peristiwa.
Peristiwa itu sendiri sifatnya sementara karena terikat pada ruang dan waktu
tertentu. Dan peristiwa yang sementara itu datang tiada henti untuk kemudian lekas
berlalu. Belum usai kita merenungi sebuah peristiwa, peristiwa lain sudah menyusul–
sering tanpa pesan terlebih dulu. Bisa jadi kita lantas tenggelam dan tertelan dalam
rutinitas peristiwa. Baru setelah dapat mengambil jarak terhadap peristiwa, kita sadar
bahwa pengalaman-pengalaman itu–dengan satu dan lain cara—ingin mengatakan
sesuatu kepada kita.
Menulis cerita adalah seni menciptakan-ulang, menginterpretasikan, dan

126
merefleksikan cerita kehidupan manusia: merangkai-rangkai makna di balik sengkarut
pengalaman atau peristiwa. Barangkali seperti terlukiskan dalam sajak Sapardi Djoko
Damono, “Yang Fana adalah Waktu”.

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:


memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.

Tentu saja menulis cerita bukan sekadar mereka-reka peristiwa, menghadirkan


tokoh-tokoh, dan menampilkannya dengan bahasa yang menggugah rasa. Jika hanya ini,
berita-berita di koran, misalnya, sudah lebih dari cukup untuk mengharu-biru perasaan
dan memenuhi rasa ingin tahu kita tentang pelbagai ihwal yang terjadi dalam romantika
kehidupan manusia.
Sebuah atau sekumpulan cerita bisa menyentuh dan menggetarkan hati dan nalar
kita bila sanggup mengajak kita menghayati kembali berbagai situasi hidup yang acap
kali tak terselami dan tak terpahami. Dengan meresapi kembali berbagai situasi hidup
itulah pembaca beroleh inspirasi untuk menemukan dan mengembangkan visi atau
pandangan hidup yang lebih jernih. Visi itu sendiri tidak harus tampak secara gamblang.
Malah—di tangan penulis yang piawai—ia lebur dan meresap ke dalam cerita. Seperti
rasa rindu yang tak terlihat tapi terasakan. Hanya dengan membacanya dengan sabar dan
teliti kita dapat menangkap sinyal-sinyalnya dan merasakan getaran-getarannya.
Meminjam kata-kata dalam cerpen Kef (panggilan akrab Kurnia Effendi) “Penggali
Makam”, menulis cerita ibarat melukiskan rasa sakit yang tak dapat dilihat namun ada,
dan membaca cerita ibarat bergulat dengan rasa sakit yang tak dapat dilihat namun ada.
Izinkan saya mengutip salah satu bagian cerpen itu.

“Kenapa sampean?” Tanya ustaz itu. Mengambil kursi dan duduk di sisi pembaringan. Ia
memberikan isyarat agar istri dan anaknya meninggalkan kamar.

127
Penggali makam itu menggeleng, namun air matanya menetes.
“Ayolah, berterus terang saja kepada saya.” Desak ustaz itu, sambil menyentuh lengannya
yang menggigil namun panas.
Dengan sabar ustaz itu menunggu sampai gelombang dada penggali makam itu reda. Dan
dengan terbata-bata akhirnya laki-laki itu menceritakan kejadian di kuburan senja tadi. Lengkap
dengan isyarat cahaya yang telah sembilan hari lalu dilihatnya. Mendengar itu semua sang ustaz
tersenyum.
“Jadi apa masalah sampean?”
“Saya bingung. Saya pun akan bertanya kepada ustadz, apa yang dimaksud dengan takdir?
Mengapa setan yang dibuat dari api dihukum dengan api? Dan apakah sebenarnya Tuhan itu ada?”
Rasanya belum sempurna kalimat itu selesai diucapkan, tiba-tiba telapak tangan ustaz
menampar pipi penggali makam. Laki-laki itu terkesiap oleh kaget dan rasa sakit.
“Mengapa…mengapa ustaz menampar saya?”
“Itulah jawaban untuk ketiga pertanyaan sampean,” jawab ustaz tenang.
“Saya tidak mengerti…”
“Apakah sampean sudah diberi tahu sebelumnya bahwa saya akan menampar sampean?
Mungkin lewat mimpi atau kabar lain?” tanya ustaz. Penggali makam itu menggeleng. “Itu yang
disebut takdir. Tidak seorang pun tahu itu akan terjadi, termasuk saya.”
Penggali makam itu meraba pipinya yang terasa panas.
“Sampean tahu pipi itu terbuat dari apa?”
“Ini daging, Ustaz,” sahutnya gemetar. Boleh jadi menahan geram.
“Tangan saya pun terbuat dari daging. Jadi bagaimana rasa daging bertemu daging? Seperti
halnya api bertemu api. Seperti halnya setan dibakar dalam neraka.”
Penggali makan itu mengangguk-angguk. Sambil masih mengelus-elus pipinya yang sakit.
“Bagaimana rasa pipi sampean? Apakah sakit?”
Penggali makam itu mengangguk dengan serta-merta.
“Bisakah sampean melihat rasa sakit itu?”
Penggali makam itu tertegun, kemudian menggeleng.
“Perasaan itu ada tapi tidak tampak. Cobalah rasakan kehadiran Tuhan dalam hati sampean,
dalam pikiran sampean, seperti kalau sampean sedih, gembira, kangen, atau marah….”
Tiba-tiba penggali makam itu menangis. Sesenggukan. Bukan oleh rasa sakit akibat tamparan
tangan ustaz, tetapi oleh kebodohannya. Ia bangkit dari pembaringan dan memeluk ustaz yang
menyambutnya dengan hangat.
“Semoga lekas sembuh. Sekarang istirahatlah, sebab besok mungkin ada jenazah yang harus
dikebumikan lagi.”
Tak lama penggali makam itu terlelap oleh lelah yang melanda tubuh dan perasaannya. Ustaz
itu pamit setelah membacakan Surat Alfatihah. Istrinya bersyukur, karena secara perlahan-lahan

128
demam suaminya mereda.

***

DENGAN segala kesederhanaannya, cerpen-cerpen Kef mengajak kita menyelami


kembali berbagai pengalaman dan situasi hidup yang dalam kisah sehari-hari sering luput
dari kesadaran dan pemahaman kita. Apa yang bergolak di balik cerita kadang jauh lebih
kompleks dari yang tertulis atau terceritakan. Bahkan, kadang pesan yang lebih penting
justru tersimpan pada bagian yang tidak dituliskan atau diceritakan.
Contoh paling sederhana adalah cerpen “Pertaruhan”. Cerpen ini berkisah tentang
dua orang pemuda yang sama-sama merasa “memiliki” dan punya kuasa atas seorang
cewek. Terbakar api cemburu, keduanya melakukan serangkaian pertaruhan untuk saling
menguji kejantanan. Ini pertaruhan yang konyol tentang hakikat kejantanan dan harga diri
lelaki. Cerpen yang dari luar tampak sangat simpel ini menjadi lebih menarik justru
karena tidak menceritakan bagaimana sikap si cewek terhadap pertarungan adu gengsi di
antara kedua pemuda tadi. Seakan-akan ia cuek dan bersikap masa bodoh terhadap
kekonyolan semacam itu. Atau, ia tidak ingin ikut-kutan konyol dan bodoh.
Dengan pendekatan romantik-melankolik, “Sepanjang Braga” mengajak kita
mengaduk-aduk misteri hati manusia. Cerpen ini bermain dengan tema klasik yang digali
dari sajak Goenawan Mohamad, “Kwatrin tentang Sebuah Poci”.

Apa yang berharga pada tanah liat ini


selain separuh ilusi?
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

“Membikin abadi yang kelak retak” adalah salah satu tema favorit para pengarang.
Dalam cerpen ini tema itu terasa tajam karena bahkan di atas sesuatu yang telah retak
(kisah manis antara “aku” dan “kau”) masih menyala hasrat untuk membikin abadi yang
kelak retak. Namun sesungguhnya bukan itu yang utama. Yang lebih penting adalah
bahwa pengarang tidak menampilkan cerita tentang konflik antartokoh yang sangat
mungkin timbul jika skenario romantis dan terselubung antara “aku” dan “kau”

129
tertangkap oleh istri “aku” atau oleh calon suami “kau”. Tokoh utama dalam cerita ini
adalah pribadi yang berusaha menjaga keseimbangan diri: merawat baik-baik realitasnya
kini sambil tetap menghidupkan yang telah lampau. Tak mengapa damai di luar bergolak
di dalam.
Cerita tentang kemelut batin manusia muncul lebih tajam dalam “Kamar Anjing”.
Adit, seorang remaja, merasa jati dirinya runtuh karena bapaknya lebih banyak
berkomunikasi dengan Chocky, “seorang” boneka, dibanding dengan dirinya. Si bapak
memperlakukan Chocky sedemikian rupa, seakan-akan Chocky adalah jelmaan diri Adit.
Gara-gara boneka ini Adit benci bapaknya. Tentu benci Chocky juga. Suatu saat, karena
menganggap Chocky sebagai sumber kerunyaman, si bapak membakar boneka yang amat
disayangnya itu. Aneh, “kematian” Chocky ternyata disesali oleh Adit. Adit seakan-akan
kehilangan bayang-bayang dirinya. Inilah peliknya jiwa manusia, dan cerpen ini berhasil
melukiskannya dengan dinamis.
Dalam versi yang lain, “Noriyu” tak kalah uniknya dalam melukiskan hubungan
seorang pribadi dengan alter ego-nya. Dalam cerita ini tampak betapa seseorang
memerlukan alter ego (sebagai belahan jiwanya) untuk mencegahnya dari kematian
mental. Alter ego ibarat lawan main yang berperan membangkitkan kembali semangat
dan cita-cita hidup. Alter ego itu tidak berada di mana-mana; ia muncul di dalam diri.
Bahkan ia adalah bagian dari diri sendiri yang pada situasi tertentu memisahkan diri.
Dalam “Anak Arloji” kisah mengenai kerawanan jiwa manusia sampai ke tingkat
yang hakiki. Cerpen yang mempermainkan unsur kebetulan sebagai daya tarik cerita ini
menghadapkan manusia pada pertanyaan tentang misteri takdir. Pemicunya sepele saja:
sebuah arloji. Arloji ini pemberian dari seorang dokter ahli kandungan yang biasa
menghadiahkan barang yang berkaitan dengan waktu tersebut kepada “pasien” yang anak
dalam kandungannya diyakini akan lahir dengan selamat. Dan ada seseorang yang
anaknya memang lahir dengan selamat tapi beberapa waktu kemudian meninggal,
padahal ia juga mendapat hadiah arloji dari dokter yang baik hati itu. Kecemasan dan
kegelisahan yang luar biasa menghantui hati manusia yang suka “curiga” terhadap takdir.
“Aromawar” memiliki keistimewaan tersendiri. Dengan gaya pengungkapan yang
membius dan memabukkan, cerpen ini mempermainkan sisi erotik dan orgasmik jiwa
manusia dengan melukiskan kisah cinta yang fantastik, yang berlangsung dalam mimpi

130
semalam, kemudian menautkannya dengan sebuah konteks sosial. Ah, alangkah tipisnya
batas antara impian dan kenyataan. Seusai membaca cerita ini, kita boleh bertanya:
apakah industri kosmetika hadir untuk menjawab atau melayani impian manusia atau
impian manusialah yang menginspirasi petualangan industri kosmetika?
Alhasil, pengarang kumpulan cerpen ini ibarat seorang psikolog yang menuliskan
hasil penyelidikannya atas gerak-gerik dan gejolak jiwa manusia ke dalam bentuk cerita.
Bila cerpen-cerpen itu membuat kita seakan terlibat dalam pusaran cerita, itu karena sang
pengarang berbekalkan kekayaan kosakata yang membuatnya mampu melukiskan
bermacam-macam hal secara wajar dan meyakinkan. Faktor lain yang menjadikannya
fasih bercerita adalah kecermatannya mengamati dan menghayati berbagai peristiwa dan
situasi hidup manusia.
Kefasihan bercerita itu pula yang telah meloloskan beberapa cerpen Kef dari
kemungkinan menjadi sastra didaktis. Meskipun beberapa cerpen itu sarat dengan pesan
moral, kita tetap dapat menikmati mereka sebagai cerita karena sang pengarang mampu
menjaga unsur-unsur cerita dengan baik. Kita maklum, cerpen-cerpen dalam buku ini
ditulis untuk media massa umum yang biasanya menuntut aktualitas tema dan pesan yang
dapat dicerna oleh pembaca yang beragam. Saya bayangkan, akan sangat lain jadinya jika
cerpen-cerpen itu dikerjakan oleh pengarang yang lugu dan kurang terlatih.

***

HIDUP manusia memang selalu dalam pergulatan mencari jati diri, menjaga
keseimbangan diri, memuaskan diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri, dan mengasihi
diri sendiri. Selain dalam cerpen-cerpen yang telah disinggung, perkara ini juga muncul
dalam cerpen lain. Lihatlah “La Tifa”. Keputusan seorang gadis (yang merasa dirinya
ternoda karena telah melakukan hubungan cinta dengan pria setengah baya) mengganti
namanya dari Latifa menjadi La Tifa boleh saja dianggap sebagai sebuah keputusan yang
artisifial. Namun, ini dapat juga dilihat sebagai upaya simbolik untuk memperbaharui
mental dan menumbuhkan kembali rasa percaya diri.
Dalam “Laut Lepas Kita Pergi” yang berlatarkan tragedi besar bencana tsunami di
Aceh, kita berhadapan dengan seorang anak lelaki yang telah kehilangan ibu dan adiknya,

131
bahkan akhirnya harus merelakan ayahnya pergi entah ke mana dalam keadaan setengah
gila. Hidup harus terus berlanjut, dan anak muda yang telah kehilangan segalanya itu
harus bertarung melawan kesepiannya sendiri: ia harus berjuang keras mempertahankan
semangat dan harapan hidup agar ia tidak kehilangan dirinya.
Kumpulan cerpen ini menjadi lebih kaya karena di sana-sini juga menunjukkan
usaha manusia untuk memperjuangkan cinta bagi orang lain. Dalam “Panggilan Sasha”
seorang ibu rela meninggalkan pekerjaannya dan bayangan indah tentang masa depan
kariernya karena ia tak tega membiarkan anaknya tumbuh dalam kesepian, dalam kondisi
tanpa sentuhan langsung cinta ibunya. Itulah cinta yang berkorban. Dalam “Kuku
Kelingking” seorang anak yang sulit makan mendapatkan selera makannya setelah
ibunya membuat masakan dengan tangannya sendiri. Ini cerpen yang menegaskan bahwa
cinta ibu tak tergantikan. Itulah cinta yang konkret, cinta yang terlibat aktif.
“Jalan Teduh Menuju Rumah” mengangkat makna cinta dari perspektif yang lain
lagi. Cerpen ini seakan merupakan pernyataan mengenai misi hidup berkeluarga, yakni
menjadi tempat bersemainya hati yang damai. Di sini rumah dimaknai bukan semata-
mata dalam dimensi fisiknya, melainkan lebih-lebih dalam dimensi rohaninya. Rumah
adalah ruang batin, taman jiwa, tempat tumbuh dan mekarnya makna hidup yang sejati.
Itulah kekayaan yang lebih hakiki dibanding jenis kekayaan lain.
Itulah pula motif utama cerpen-cerpen Kef: menggugah empati kita agar lebih
sayang dan lebih hangat pada diri sendiri maupun orang lain. Pendekatan yang
dikembangkan dalam menampilkan pergulatan hidup manusia pun khas: pendekatan
damai dan cinta. Demikianlah, membaca cerpen-cerpen Kef adalah membaca “sastra
cinta”.
Pertanyaannya: dari mana “warta cinta” Kurnia Effendi mendapatkan sumber ilham
atau mata air spiritualnya? Saya menemukannya dalam dongeng indah mengenai
kebajikan hidup Nabi Muhammad yang dituturkan seorang bapak kepada anaknya. Saya
kutip bagian cerpen “Jalan Teduh Menuju Rumah” yang memuat kisah yang
mengharukan itu.

“Pernah dengar kisah Rasulullah dengan lelaki Yahudi tua yang buta?”
Najma menoleh memandangku. Tampaknya ia tertarik. “Belum. Nah, ini pasti tidak akan
sama dengan teman-teman lain. Bagaimana ceritanya?”

132
“Suatu hari, Siti Aisyah, istri Nabi bertanya kepada ayahnya yang juga menjadi sahabat Nabi.
Itu terjadi setelah Rasulullah meninggal.” Kumulai kisahnya. “Apakah Ayah sudah melakukan
semua yang Nabi lakukan? Demikian pertanyaan Aisyah.”
“Apa jawab… emm, Abu Bakar?” Rupanya Najma ingat nama ayah Aisyah.
“Ia menjawab, semua yang dilakukan oleh Nabi Muhammad sudah ia tiru. Namun menurut
Aisyah, ada satu hal yang belum dilakukan oleh ayahnya. Di hari-hari menjelang akhir hayat
Rasulullah, ketika masih sehat, ia selalu menyuapi seorang tua buta di ujung jalan yang setiap hari
dilewatinya. Tentu Abu Bakar bertanya-tanya heran, dan mengatakan bahwa orang tua buta itu
adalah seorang Yahudi. Bukan hanya itu, namun juga selalu mencerca Nabi Muhammad dan
pengikutnya, bahkan sampai beliau meninggal.”
“Kurang ajar betul orang Yahudi itu. Sudah tua, buta, tidak tahu berterima kasih pula,”
komentar Najma.
“Ya, perasaan itu pula yang berkecamuk dalam hati Abu Bakar. Akan tetapi, karena tidak
terpengaruh oleh cercaan itu, Abu Bakar berjanji kepada Aisyah, bahwa ia akan menggantikan
tugas Rasulullah untuk menyuapi kakek Yahudi itu. Maka keesokan harinya, pagi-pagi, Abu
Bakar mendatangi orang tua buta itu sambil membawa serantang bubur gandum. Ketika aroma
bubur itu tercium oleh Pak Yahudi, tampaklah senyum gembiranya karena akan segera
mendapatkan sarapan pagi. Mulailah Abu Bakar menyuapkan sendok pertamanya ke mulut Pak
Yahudi. Tapi apa yang terjadi ketika tiba pada suapan kedua?”
“Apa?” Najma menanti dengan penasaran.
“Orang tua buta itu marah. Ia menolak tangan Abu Bakar dengan kasar, dan menghardik
keras.”
“Lho, kenapa begitu?” tanya Najma.
“Siapa kamu?! Begitu tanya sang Yahudi. Kamu pasti bukan orang yang biasa menyuapiku.
Mana orang itu? Dia orang yang sangat lembut, menyuapi dengan penuh kasih sayang. Dia tak
akan menyuapkan sendok berikutnya sebelum aku selesai mengunyah dan menelan…”
“Subhanallah, begitu mulia Rasulullah. Lalu bagaimana jawab Abu Bakar?”
Tak terasa mataku panas, menahan rebak air mata. Entah mengapa, setiap berkisah tentang
akhlak Nabi Muhammad, selalu ada yang berdesir-desir dalam hati. Tak seorang pun sanggup
meniru tabiatnya, bahkan seorang sahabat paling dekat sekali pun.
Abu Bakar menangis. Ia tersedu dan gemetar hebat. Ia menahan amarah, baik terhadap diri
sendiri maupun terhadap Pak Yahudi. Lalu dengan terbata-bata, ia sampaikan sebuah rahasia. Kata
Abu Bakar kepadanya: Tahukah Bapak, siapa orang yang selalu menyuapimu dengan sabar dan
penuh kasih sayang itu? Dialah Rasulullah Muhammad yang engkau benci, yang setiap hari
engkau maki. Tapi dia tak pernah sakit hati atau dendam kepadamu, justru memperlakukanmu
melebihi cinta kerabatmu.”
“Sungguh mulia akhlak Rasulullah ya, Pa,” ujar Najma kagum. “Lalu bagaimana reaksi Pak

133
Yahudi?”
“Ia tertegun. Apalagi ketika disampaikan bahwa Rasulullah baru saja meninggal kemarin.
Berarti kebencian Pak Yahudi itu berlangsung sampai akhir hayat Rasulullah, tak sempat ia minta
maaf. Namun Allah pada saat itu langsung menurunkan hidayah. Orang tua buta itu menangis
sedih dan menyesal sedalam-dalamnya. Saat itu pula ia mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah. Juga bersaksi bahwa Muhammad sebagai utusan
Allah.”
Najma memandangku dengan mata berkaca-kaca. Kuacak-acak rambutnya dengan kasih
sayang. “Ayo segera ditulis kisah itu. Betapa Rasulullah tidak pernah membalas kejahatan dengan
kejahatan. Bahkan beliau tidak perlu menunjukkan pamrih dengan menyebut nama saat berbuat
baik, karena yakin Allah yang akan menilai perbuatan kita.”

Manusia memang memerlukan dongeng untuk menyegarkan kembali hati yang


gersang dan pikiran yang kerontang di tengah sergapan pragmatisme hidup sehari-hari.
Dalam hidup yang berputar seperti mesin, kesadaran dan imajinasi tentang nilai-nilai
hidup yang hakiki sering lenyap. Kita layak menunggu dan merindukan dongeng-
dongeng Kef berikutnya.

Yogyakarta, pada suatu bulan pada suatu tahun


Joko Pinurbo, penyair

134
SUMBER KARANGAN

1. Noriyu (Koran Tempo)


2. Aromawar (Matra, April 2005)
3. Kuku Kelingking (Suara Merdeka)
4. Panggilan Sasha (Femina, 1987)
5. Pertaruhan (Matra)
6. Laut Lepas Kita Pergi (Kompas, 13 Februari 2005)
7. Kamar Anjing (Koran Tempo, 30 April 2006)
8. Tetes Hujan Menjadi Abu (Media Indonesia)
9. Sepanjang Braga (Matra, Juli 2006)
10. La Tifa (Koran Tempo, 10 Juli 2005)
11. Wangi Kaki Ibu (Suara Merdeka, November 2005)
12. Anak Arloji (Horison, Maret 2006)
13. Penggali Makam
14. Jalan Teduh Menuju Rumah (Suara Karya dan Energindo)

135
Proses Kreatif Kurnia Effendi

KOLEKSI JUDUL

Sampai saat ini, saat menghimpun sejumlah cerpen dan membukukannya, saya
membuat cerita pendek atau cerita panjang selalu dimulai dengan judul. Mungkin tidak
akan berubah sampai entah kapan, mengingat cara itu paling mudah bagi saya. Metode
itu tidak sengaja saya latih, bukan pula merupakan jalan terakhir setelah gagal dengan
cara yang lain. Sama sekali tidak. Itu adalah cara pertama yang kemudian—setelah tahu
namanya—menjadi: proses kreatif.

Bertahun-tahun yang lalu, ketika diwawancara oleh redaktur majalah remaja,


terlontar pertanyaan: “Bagaimana biasanya kamu menulis cerpen?” Saya tidak perlu
memikirkan jawaban. Langsung saya ungkapkan: “Saya mulai dari judul.” Dan memang
seperti itu kenyataannya. Dalam dompet saya, dulu, suka tersimpan selipat kertas. Di sana
tertulis beberapa judul, entah untuk prosa atau puisi. Pada saat judul itu saya tuliskan,
kadang-kadang belum terlintas kisah apa pun. Belum terpikir serangkai cerita, belum
terbentang tuturan atau alur nasib seorang tokoh. Sebuah frasa atau kelompok kata yang
tiba-tiba melintas, memesona pikiran dan perasaan, segera ’saya tangkap’, saya catat atau
saya ingat, selanjutnya menjadi ‘biji-biji’ yang tersimpan dalam ‘tanah gembur’ proses
kreatif. Ada yang langsung tumbuh menjadi ’pohon’ cerita, banyak pula yang tetap
terlelap menunggu secercah cahaya matahari gagasan yang kelak
menumbuhkembangkannya.

Mungkin hal ini menjadi semacam keberuntungan, bahwa saya menulis dari sisi
yang—menurut saya—paling tepat. Mengapa? Judul adalah kata atau kelompok kata
yang dibaca pertama kali oleh 99,99% pembaca. Untuk jenis bacaan apa pun. Kadang-
kadang, ketika seseorang mendapatkan sebuah majalah di ruang tunggu dokter, misalnya,

136
akan membuka lembar demi lembar secara highlight untuk menemukan judul yang
menarik minatnya sebelum membaca lebih jauh. Bahkan seandainya saya menulis sebuah
prosa atau puisi bertajuk: ”Tanpa Judul” (Untitled); itu pun sebuah judul!

Apakah saya sadari sejak awal bahwa judul itu penting? Rupanya tidak. Itu
semacam refleks, impulsif, atau kebiasaan yang tidak diniatkan seperti ketika seseorang
mencoba mendisiplinkan sesuatu. Tiba-tiba saja berkelebat. Tertangkap. Melekat.
Andaikata saya sangat percaya terhadap daya ingat, mungkin tidak perlu mencatat. Tetapi
tinta paling tipis masih lebih kuat dibanding ingatan, demikian konon ujar sang Nabi.
Sesungguhnya saya cukup senang dengan sesekali membaca koleksi judul-judul itu di
kala senggang. Oleh sebab itulah, pada kertas kecil, atau yang sudah terpindahkan ke file
komputer, judul-judul itu seperti menanti saya untuk menengoknya dan memilihnya
untuk dibuat menjadi naskah.

Misalnya, beberapa yang saya ingat: Segenggam Melati Kering, Tetes Hujan
Menjadi Abu, Berjalan di Sekitar Ginza, Anak Arloji, Kincir Api, Menemani Ayah
Merokok, Laras Panjang Senapan Cinta, Abu Jenazah Ayah, Tilas Cemeti di Punggung,
Kembang Rumput Putih Kelabu… Hampir semua dimulai dari kelebat aksara khayali atau
bunyi yang tertangkap hati. Kadang-kadang ketika sedang bercakap-cakap dengan teman,
lalu dari percakapan itu terangkai sebuah komposisi kata yang menarik, nah! Lalu seperti
ada lampu menyala. Byar! Wah, ini asyik untuk judul!

Melalui tuturan ini, hendak saya bongkar semacam rahasia. Seperti terungkap
tadi, kadang-kadang saya tak punya cerita apa pun sebelumnya. Tetapi, sebaliknya, justru
sebuah judul sanggup menghamparkan kisah. Bahkan, secara agak tak terduga, ternyata
judul itu pintar menghimpun cerita. Dengan demikian, judul itu akhirnya mendapat
”tugas” sebagai penyimpan gagasan sebuah kisah, baik untuk karya prosa maupun puisi.
Dengan mengingat sebaris judul, seolah-olah terurai jalan hidup seorang tokoh dengan
pelbagai konflik di dalamnya. Saya kira, itulah yang umumnya terjadi pada riuh-rendah
benak saya dalam proses menulis karya fiksi.

137
CURAH KISAH

Sewaktu-waktu, ketika sedang bersama saya, jangan heran jika mendadak saya
curahi cerita. Biasanya, judul yang mengemban kandungan cerita itu tak cukup sabar
untuk tetap tersimpan dalan vestiaire angan-angan. Saya akan menyampaikan semacam
fragmen: mungkin segerumbul percakapan para tokoh, atau gambaran perilaku, bahkan
semacam abstraksi hikayat, atau hal-hal yang menjadi tumpuan tema. Mengapa
demikian? Jika suatu ketika saya hendak menulis, dan kebetulan lupa harus mulai dari
mana, ekstremnya, saya tinggal menelepon kawan yang sempat mendengarkan ”petikan”
kisah saya itu.

Pernah di suatu makan malam di kafe dengan dua sahabat, saya menceritakan
tentang perilaku seseorang yang sedang patah hati yang dipandang tak masuk akal oleh
tokoh lainnya… Bisa jadi, sahabat itu adalah Anda. Mohon jangan heran jika suatu saat
nanti saya menanyakan pada Anda mengenai rinci cerita yang mungkin terlepas dari
ingatan. Begitulah. Hampir tak ada rasa cemas, andai gagasan itu kemudian dicuri oleh
sang pendengar yang kebetulan (dan biasanya) juga seorang pengarang. Jika memang
diambil-alih, saya akan takjub karena ternyata ide yang berasal dari kepala saya itu
menarik juga dibuat cerpen oleh orang lain. Tetapi, boleh jadi, cara kami bercerita
berbeda.

Sejak menggunakan mesin ketik manual, saya tak pernah membuat konsep
terlebih dulu dalam menulis prosa atau puisi. Langsung tulis saja. Dulu, untuk menulis
cerpen 8 halaman, kadang-kadang membutuhkan lebih dari seratus lembar kertas. Selalu
ada suntingan atau perubahan setiap kali dibaca ulang. Namun kini dengan komputer, jika
salah ketik mudah diperbaiki. Mudah dipindah, digandakan, dan yang lebih terasa
manfaatnya: dapat disimpan.

Dengan kemampuan alat seperti itu, kebiasaan saya mengoleksi judul, semakin
terasa hikmahnya. Kini, ke mana-mana saya bisa membawa flashdisc, yang di dalamnya

138
telah siap sepuluh atau lebih file dengan masing-masing judul. Lantas bagaimana cara
saya bekerja? Sederhana saja. Duduk di depan komputer, membuka file pertama,
misalnya: “Puisi di Bangku Taman”. Eh, baru lima paragraf mendadak buntu, segera saya
buka file kedua: ”Mengapa Hiuma Berduka?” Hei, itu fabel! Cerita buat anak-anak! Tak
jadi soal. Entah mengapa, ada saja yang secara otomatis mengubah diri di rongga benak
saya, sehingga yang muncul kemudian adalah fantasi kanak-kanak. Demikian seterusnya.
Jadi, ada berapa calon cerpen, puisi, novelet, dalam sebuah flashdisc? Tentu tak sedikit.

Dalam menulis, saya tak perlu menyepi ke balik gunung atau ke dasar samudera.
Karena saya bukan pengarang ”menara gading”. Cukup menempati koridor yang
menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang makan (bila di rumah). Sambil sesekali
nonton TV, atau ngajari PR anak-anak (dulu, saat mereka masih di SD dan SMP). Atau
di meja kantor ketika jam kerja belum mulai (sering datang kepagian karena ada
kewajiban mengantar anak-anak yang masuk sekolah jam tujuh). Atau di sebuah warung
internet dekat hotel tempat menginap ketika sedang tugas keluar kota. Dalam hal waktu,
yang paling kerap terjadi, saya menulis pukul 22.00 sampai tengah malam.

SELALU “YA”

Di tengah rapat kantor, suatu hari, tiba-tiba telepon selular saya bergetar. “Halo,”
jawab saya setengah berbisik. “Lagi sibuk?” suara di sana menebak situasi. “Lagi
meeting, apa kabar?” Basa-basi ringkas itu berujung pada: “Ada stok naskah cerpen
nggak? Buat edisi Lebaran, seminggu selesai, ya?” Tentu saya jawab: “Ya.” Mengapa
tidak? Dengan ucapan ‘ya’, saya yakin ada semacam keajaiban yang bekerja ekstra di
seluruh kepala. Adrenalin menyembur deras. Judul-judul berlintasan bagai meteor. Tapi,
tentu saya meneruskan pekerjaan dulu sampai selesai jam kantor. Dengan ucapan ‘ya’,
seluruh peri yang beterbangan di udara meniupkan pelbagai gagasan. Nah: “Percakapan
Sepasang Peri…” Haha, bagus nggak kedengarannya?

139
Itulah stimulus yang datang dari luar. Setidaknya, istilah produktif tak hanya
digenjot secara internal. Ada saja teman redaktur yang kemudian meminta cerpen. Dan
ada saja majalah atau surat kabar yang tahu-tahu telah lama tidak saya jenguk dengan
karya. Mungkin Kartini, Kompas, Gadis, Horison, Femina, Lampung Post, Suara
Merdeka, Jurnal Nasional, Koran Tempo, Jawa Pos, atau Nova … Ya. Ternyata saya
tidak melulu menulis untuk ”sastra koran”. Untuk majalah Story pun secara berkala saya
masih menulis, tentu harus cerita bertema cinta remaja. Demikian faktanya. Saya terus
menyambar-nyambar ke pelbagai segmen pembaca. Tidak tabu, kan? Justru asyik!
Seperti halnya Arswendo Atmowiloto yang piawai masuk ke kalangan pembaca umur
berapa pun. Apalagi kini anak saya sudah menempati usia remaja, saatnya memberi
mereka bacaan yang baik. Menurut saya, tentu.

Setelah pernah menulis di Kompas dan Horison, ternyata saya enjoy saja
mengirimkan naskah ke tabloid milik sebuah radio swasta di Jombang, misalnya. Saya
pikir, mereka yang ada di ujung pulau atau dikepung pegunungan juga perlu membaca
cerpen dan puisi saya. Ketika redaksinya menelepon, meminta, sepanjang saya sanggup,
pasti akan saya penuhi permintaannya. Tidak pilih-pilih. Namun demikian harus tetap
serius agar hasilnya bagus. Menurut saya, tentu. Termasuk untuk memenuhi permintaan
teenlit magazine dan majalah anak-anak, saya tetap menulis dengan sungguh-sungguh.

Untuk membuat diri saya ”malu”, saya selalu memasang target di awal tahun.
Misalnya tahun ini saya akan menulis 24 cerpen, 200 puisi, satu novel, 12 esai, 5 resensi
buku, dst. Saya kirim ikrar itu melalui SMS kepada para sahabat ketika tiba tanggal 1
Januari. Dan menjelang Desember, saya menghitung prestasi. Apakah tercapai atau
gagal? Apa pun hasilnya, saya kirim melalui SMS juga kepada sahabat yang pernah
menerima informasi target pada awal tahun. Sebagai evaluasi diri. Mudah-mudahan para
sahabat yang selalu menerima informasi itu tidak bosan. (Kalau tak berkenan tinggal
pencet tombol delete, SMS itu terhapus). Seandainya target saya luput, tentu saya malu,
dan berusaha mengejar di tahun berikutnya.

140
”Jadilah pengrajin!” Menurut Zen Hae, penyair dan cerpenis anggota Komite
Sastra Dewan Kesenian Jakarta: kita ini hanya si tukang cerita. Boleh jadi memang
demikian. Tetapi, seseorang yang telah memiliki keterampilan teknis seperti Seno
Gumira Ajidarma, Arswendo Atmowiloto, Putu Wijaya, dan Gola Gong, bisa menjadi
”pengrajin” yang berkualitas. Mengapa? Keluasan wawasan mereka memadai, di
samping memang sudah terlalu piawai menangkap ilham. Dengan kata lain, ilham itu
tidak ditunggu. Tetapi ditangkap!

SIHIR BRAGA

Dulu sekali, waktu masih kuliah di Bandung, ada sejenis ‘hantu’ kalimat yang
selalu berkelindan dalam rongga benak saya. Begini kira-kira: Tiga hari yang lalu, aku
menerima fotomu, close up dan berwarna. Tadi pagi ibumu mengirim telegram yang
mengabarkan bahwa engkau telah tiada.

Dua kalimat itu terus saja terngiang, bahkan mungkin tercetak semacam cukil
kayu di batok kreatif saya. Apakah itu yang disebut obsesi? Saat itu saya begitu bertekad:
”Ini harus jadi cerpen! Ini harus memenangkan lomba!” Lalu saya agak bimbang dengan
judul yang telah berkelebat. ”Catatan Sepanjang Braga” atau ”Kenangan Sepanjang
Braga”? Lantas saya tanyakan kepada sahabat, Acep Zamzam Noor (penyair sekaligus
teman kuliah), bagaimana pendapatnya tentang judul itu. Ia menjawab lugas: “Potong
saja yang tak perlu. Sepanjang Braga. Itu bagus sekali.”

Cerpen itu, ”Sepanjang Braga”, kemudian ternyata merebut juara pertama lomba
cerpen majalah Gadis tahun 1988. Itu jauh di masa lalu. Kini, ternyata saya telah
memiliki lima versi cerita “Sepanjang Braga”. Memangnya ada apa dengan Braga?
Mengapa saya selalu merasa wajib melintasi jalan itu setiap kali berkunjung ke Bandung?
(sekarang saya tinggal, berkeluarga, dan bekerja di Jakarta).

Mungkin Braga memang menyimpan masa silam Bandung, dekat dengan aroma
kolonial dan seni, juga dekat dengan peristiwa bersejarah semacam KTT Asia-Afrika.

141
Hampir sama dengan ikatan chemistry seseorang terhadap Malioboro di Yogya, misalnya.
Atau Jalan Sabang di Jakarta. Mungkin. Tapi demikianlah perasaan saya terhadap Braga.
Eksotisme yang tak lekang dari ingatan!

Peristiwa di saya sebut sebagai ilham yang membius. Inspirasi yang menerbitkan
rasa haru. Dan perasaan seperti itu, dulu, sanggup membuat saya tiba-tiba ingin pulang
untuk menulis padahal sedang jalan-jalan bersama seorang kawan. Atau terpaksa
membolos kuliah demi tak terganggunya arus banjir cerita untuk menjadi halaman-
halaman prosa.

SUMBER ILHAM DAN BUKU

Selalu terngiang ucapan Joni Ariadinata yang meminta cerpen-cerpen saya untuk
dibuat menjadi buku antologi pribadi. Ia sedang berada di kantor majalah Horison malam
itu, di tahun 2002.

Buku? Wah, apakah sudah saatnya? Begitulah, pada tahun 2004, terealisasi 2
buku terbit sekaligus: Senapan Cinta (Kata Kita, April) dan “Bercinta di Bawah Bulan”
(Metafor Publishing, Mei). Pada tahun 2005 menyusul 2 buah lagi: Aura Negeri Cinta
(Lingkar Pena Publishing House) dan Kincir Api (Gramedia Pustaka Utama). Di tahun
2006, saya memenuhi permintaan teman lama untuk menerbitkan novel remaja Selembut
Lumut Gunung (Cipta Sekawan Media). Di tahun yang sama, atas nama Komunitas
Sastra Indonesia, saya menjadi editor untuk antologi puisi Jogja 5,9 Skala Richter
(Bentang Pustaka) dalam rangka mengenang 100 hari gempa Yogya. Pada tahun 2007,
terbit 2 buku lagi: Burung Kolibri Merah Dadu (C Publishing) dan kumpulan esai
Interlude-Jeda (LPKP, Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik).

Atas permintaan penerbit Hikmah, sebuah memoar tentang pianis berjari empat
dari Korea, Hee Ah Lee, terbit Frbruari 2008 dengan tajuk The Four Fingered Pianist.
Itulah buku yang mengandung motivasi untuk anak-anak dan keluarga di Indonesia.

142
Pada Tahun 2009, oleh pesanan majalah Kartini, saya menulis novel Merjan-
Merjan Jiwa yang terbit sebagai bonus majalah Kartini edisi Lebaran (3 September
2009). Jumlahnya tentu sesuai tiras majalah tersebut yang konon mencapai 150 ribu
eksemplar. Super best seller? Barangkali demikian. Dan tak lama sesudah itu, satu di
antara 10 novel sastra Nusantara yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, adalah karya
adaptasi saya, berjudul Kakawin Gajah Mada (diluncurkan dan didiskusikan pada 22
Oktober 2009). Buku-buku itu dicetak dalam jumlah banyak untuk didistribusikan kepada
perpustakaan sekolah di seluruh Indonesia.

Bersama dengan teman-teman Aniters (sebutan untuk para alumni pengarang


majalah Anita Cemerlang), saya menerbitkan antologi cerpen Tukang Bunga & Burung
Gagak. Itu himpunan 16 cerpen kami berempat (bersama Agnes Majestika, Kurniawan
Junaedhie, dan Ryana Mustamin). Kadang-kadang saya tidak menyangka, dengan seayun
momentum, akhirnya setiap tahun saya menerbitkan buku. Tentu lantaran banyak uluran
tangan sahabat, selain terbit, buku-buku itu lalu menyebar sebagai pemberitaan maupun
koleksi.

Saya saat ini bekerja di perusahaan otomotif (ATPM) Suzuki Mobil. Sangat
beruntung karena saya ditugaskan pada bagian pengembangan showroom seluruh
Indonesia. Setidaknya 2 kali keluar kota dalam sebulan. Setidaknya berkali-kali
mengunjungi wilayah-wilayah baru di pelbagai daerah. Sudah terbiasa, sejak dari bandara
saya mengirim SMS kepada para sahabat (jurnalis, penyair, budayawan, redaktur,
seniman) di daerah tujuan. Saat saya keliling daerah itulah, menjumpai beribu tunas
cerita. Tak hanya melihat sunset di pantai Pare-Pare, memandangi tamasya ikan di dasar
laut Bunaken melalui perahu katamaran, atau tekun menikmati koleksi lukisan di
Museum Affandi. Bertemu dengan kawan-kawan sastrawan, jurnalis, dan seniman di
daerah, juga membuat hidup saya sangat berwarna. Ternyata, ketika ide mampet, ngobrol
dengan kawan-kawan itu seperti charging baterai dalam pikiran saya. Dari sanalah ilham
mengalir. Persoalannya tinggal: sempat atau tidak menuliskannya di antara waktu yang
padat oleh kegiatan formal kantor?

143
Jadi, mohon jangan menolak jika sewaktu-waktu Anda saya telepon, hanya untuk
sekadar makan malam di TIM, atau bertukar kabar sembari menikmati tongseng kambing
di kakilima. Tentu tak ketinggalan berusaha hadir pada acara-acara yang digelar oleh
Teater Salihara, MP Point Book, Galeri Nasional, Omah Sendok, Bentara Budaya, PDS
HB Jassin, Warung Apresiasi Bulungan, Galeri Cemara, atau Kedailalang. Entah kenapa,
otak saya tambah berbinar-binar.

Selalu saya panas-panasi sejumlah kawan untuk terus menulis. Saya membagi
alamat e-mail semua redaktur kepada teman sejawat. Pokoknya, mari kita menulis! Agar
dunia bacaan kita makin ramai. Kita ”wajib” melahirkan sejumlah buku baru lagi. Jangan
pikirkan award atau pernghargaan dulu. Lebih penting batin kita puas dan orang lain
beroleh pencerahan.

Dari satu buku (yang disiapkan demikian lama) ke buku yang lain, ternyata
mengalir saja. Itulah yang saya sebut momentum. Proses kreatif menjadi hulu ledak yang
terus berkesinambungan dengan campur tangan ikhlas dan profesional orang lain. Oleh
karena itu saya menciptakan perasaan berutang jasa kepada para penulis yang karyanya
telah saya baca dan memberikan hal-hal baru, sehingga rasanya tak mungkin saya
berhenti menulis. Tak mungkin saya membunuh proses kreatif yang seolah-olah sudah
menjadi disiplin pribadi. Maka sebaik-baik pengarang adalah (menurut saya, tentu) yang
memiliki banyak jaringan, dan saling berkomunikasi secara tulus untuk saling berbagi.

(Kurnia Effendi, 2010)

144
Biografi Singkat Kurnia Effendi
Oleh Sunu Wasono

Kurnia Effendi lahir di Tegal, Jawa Tengah, 20 Oktober 1960. Pria yang selalu
berpenampilan rapi ini menyelesaikan pendidikan pada tahun 1991 dari Jurusan Desain
Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Barangkali karena
latar belakang pendidikannya itu sejumlah karyanya memperlihatkan warna
kesenirupaan. Metafor-metafor yang hadir dalam karya-karyanya tercipta dari dunia seni
lukis yang memang amat diakrabinya. Kepengarangan Kurnia Effendi tidak datang tiba-
tiba. Ia mulai menulis sejak masih duduk di Sekolah Dasar. Namun, namanya mulai
dikenal publik sejak 1978 ketika cerpen dan puisinya dimuat di media massa. Kemudian,
pada tahun 1980-an ia terlibat aktif sebagai peserta dalam berbagai sayembara penulisan
fiksi dan puisi. Berkat ketekunan dan kegigihannya, pria yang santun dan low profile
dalam perilaku dan kata-katanya itu telah memenangi berbagai lomba penulisan cerpen,
novelet, dan puisi. Tidak kurang dari tiga puluh penghargaan telah diterimanya, delapan
penghargaan di antaranya diperoleh berkat kemenangannya sebagai juara pertama.

Banyak penulis yang memperoleh kemantapan dan kematangannya di Jakarta.


Kurnia Effendi termasuk salah satunya. Namun, apa yang diperoleh di Jakarta tentu tidak
terlepas dari apa yang sudah dimulai dan dirintis di tempat sebelumnya. Sukses
kepengarangan Kurnia Effendi tidak terlepas dari perjuangan sebelumnya di Semarang
dan Bandung. Ia mulai menulis di kota Semarang dengan tema-tema remaja. Sekadar
contoh, sejumlah karyanya yang kemudian dihimpun menjadi Aura Negeri Cinta (2005)
mengambil latar Semarang.

Kreativitasnya sebagai penulis makin berkembang ketika ia hijrah ke Bandung


untuk melanjutkan studi di ITB. Di Bandung ia bergabung dengan Grup Apresiasi Sastra
(GAS) ITB dan bergaul dengan Forum Sastra Bandung. Di tempat inilah karya-karyanya

145
dipublikasikan di media massa lokal dan nasional. Seiring dengan perjalanan waktu,
karya-karya Kurnia Effendi akhirnya memasuki wilayah sastra “serius.”

Setamat dari ITB, Kurnia Effendi hijrah ke Jakarta. Sebagaimana di Bandung, di


Jakarta ia juga aktif dalam kegiatan sastra. Ia bergabung dengan Komunitas Sastra
Indonesia (KSI). Di sela-sela pekerjaan pokoknya di bidang otomotif, Kurnia Effendi
masih dapat terlibat dalam kegiatan sastra, seperti menjadi juri lomba penulisan cerpen,
lomba penulisan naskah buku, menjadi pembicara diskusi sastra, dan menjadi penatar
penulisan cerpen.

Jika dihitung, karyanya telah mencapai puluhan. Novel dan cerpen-cerpennya


yang telah dibukakan adalah Senapan Cinta ( Kata Kita, 2004), Bercinta di Bawah Bulan
( Metafor Publishing, 2004), Aura Negeri Cinta (Lingkar Pena Publishing House, 2005),
Kincir Api (Gramedia Pustaka Utama, 2005), Selembut Lumut Gunung (Cipta Sekawan
media, 2006), Burung Kolibri Merah Dadu, 2007), dan Interlude-Jeda (bersama
Syafrudin Azhar, LPKP, 2007). Perlu diketahui juga bahwa Kincir Api telah memenangi
penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2006.

Puisi dan cerpennya telah tergabung dalam sejumlah antologi bersama. Dalam
antologi berikut terdapat sajak-sajak Kurnia Effendi: Pesta Sastra Indonesia (Kelompok
Sepuluh, Bandung, 1985), Sajak Delapan Kota (Kompak, Pontianak, 1986), Malam 1000
Bulan (Forum Sastra Bandung, 1990; 1992), Potret Pariwisata dalam Puisi (Pustaka
Komindo, 1991), Perjalanan (Sanggar Minum Kopi Denpasar, 1992), Gender (Sanggar
Minum Kopi Denpasar,1994), Bonsai’s Morning (Denpasar, 1995), Dari Negeri Poci III
(Yayasan Tiara Jakarta, 1996), Trotoar (Roda-Roda Budaya Tangerang, 1996), Mimbar
Penyair Abad 21 (Dewan Kesenian Jakarta, 1996), Antologi Puisi Indonesia (Komunitas
Sastra Indonesia, 1997), Jakarta dalam Puisi Indonesia Mutakhir (Dinas Kebudayaan
Provinsi DKI, 2000), Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001 (Penerbit Kompas, 2001),
Puisi Tak Pernah Pergi (Penerbit Kompas, 2003), Bisikan Kata, Teriakan Kota (DKJ dan
Bentang, 2003), dan Mahaduka Aceh (Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 2005).

146
Sejumlah cerpennya juga terbit dalam antologi bersama. Beberapa di antara
antologi itu adalah 20 Tahun Cinta (Senayan Abadi Publishing, 2003), Wajah di Balik
Jendela (Lazuardi Publishing, 2003), Kota yang Bernama dan Tak Bernama (DKJ dan
Bentang, 2003), Addicted 2U (Lingkar Pena Publishing House, 2005), Jl. Asmaradana,
Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2005 (Penerbit Kompas, 2005), dan Ripin, Kumpulan
Cerpen Pilihan Kompas 2007 (Penerbit Kompas, 2007).

Sebagai penulis yang aktif dan giat dalam mengikuti kegiatan sastra, Kurnia
Effendi telah diundang dua kali oleh Teater Utan Kayu, pada tahun 2003 diundang
sebagai pembaca cerpen pada Panggung Cerpen Indonesia Mutakhir dan pada 2005
diundang sebagai peserta Festival Sastra Internasional di Selasar Sunaryo Bandung. Di
tahun 2010, ia diundang sebagai peserta dan pembicara pada Ubud Writers & Readers
Festival (UWRF) di Ubud, Bali, yang diselenggarakan oleh Yayasan Saraswati. Bahkan
pada tahun berikutnya, ia dipilih sebagai salah satu kurator UWRF 2011. Pada bulan Mei
2011, sembari mengikuti sidang pemilihan peserta UWRF, ia menjadi pembicara dalam
event Bali Emerging Writers Festival.

Sejak April 2006 cerpenis yang bekerja pada perusahaan otomotif Suzuki ini
tergabung dalam Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP). Ia juga menjadi redaktur
khusus seni budaya pada tabloid Parle.

Kerja keras telah menjadi ciri dan pembawaan Kurnia Effendi. Tidak heran jika
pada tahun 2006 ia menempati peringkat kedua Karyawan Teladan PT Indomobil Niaga
Internasional.

Tahun 2008 ia menulis buku The Four Fingered Pianist yang berisi kisah hidup
Hee Ah Lee—pianis asal Korea—yang sukses sebagai pianis meski hanya berjari empat.
Buku ini mendapat pujian dari banyak orang dan dalam waktu dua bulan telah mengalami
cetak ulang dua kali.

147
Satu hal penting untuk ditambahkan bahwa Kurnia Effendi adalah seorang penulis
yang amat sadar pada pentingnya kekuatan kata dalam menulis. Sejak awal
kepengarangannya ia telah menunjukkan diri sebagai penulis yang cermat dalam memilih
kata untuk puisi, cerpen, atau novelnya. Tak ada kata-kata yang sia-sia kehadirannya
dalam cepen-cerpen Kurnia Effendi. Tiap kata telah dipertimbangkan masak-masak
sebelum bergabung atau digabungkan dengan kata-kata lain dalam sebuah cerpen. Kurnia
sangat menyadari fungsi dan kekuatan kata itu. Ia seorang penulis yang terus-menerus
berjuang mengerahkan pengetahuaan dan pengalamannya untuk menemukan ungkapan
atau menciptakan metafor-metafor yang segar dalam mengekspresikan perasaan dan
pikirannya melalui karya-karyanya.

Membaca cerpen-cerpennya kita senantiasa mendapatkan hal baru: pengetahuan


baru, pengalaman baru, metafor-metafor baru sebagaimana yang terlihat, antara lain,
dalam cerpen yang dipilih oleh majalah sastra Horison dan dimuat pada Kakilangit edisi
bulan November 2010. Seperti hadiah untuk ulang tahunnya yang kesetengah abad.

(2011)

148
149

Anda mungkin juga menyukai