Kuperhatikan pria hampir senja ini berdiri didepanku. Dia mengenakan baju batik rapinya dengan model penampilan yang sangat klimis. Rambutnya licin dan mengkilat, tertata rapi menyamping seperti sawah padi yang tertanam di perbukitan terasiring. Kacamata tebal bertengger kuat di pangkal hidungnya. Pipi dan dagunya licin meskipun samar-samar nampak tunas-tunas rambut ke-perak-kan yang beranjak menembus pori-porinya. Bajunya rapi, jam tangan tua bermerk yang mungkin sudah berumur hampir setengah hidupnya bergelayut di tangan kurusnya. Sepatunya hitam mengkilat. Penampilannya begitu elegan, berbeda dengan outfit favoritku yang sering hanya menggunakan kain sarung dan kaos singlet saja, ditambah sandal jepit yang seolah sudah melekat di epidermis kulit telapak kakiku. Dia hanya membisu tanpa berucap sepatah kata pun. Ku perhatikan pria ini hanya diam sambil mulutnya berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Gerak bibirnya kelu, mukanya nampak tegang dan di seluruh kening dan sudut matanya sudah bergaris bergambar retakan-retakan umur. Aku sudah mengenalnya hampir seumur hidupku. Kami sudah sangat lama bersama sehingga setiap kali kulemparkan pertanyaan untuknya, seolah-olah aku sudah mengetahui jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya. Seluruh pertanyaanku seakan-akan hanya menjadi retorika belaka yang renyah. Renyah bagaikan tumpang tindih pikiranku yang seperti kerupuk jawa. “Kita sudah berjalan sepanjang ini. Kita sudah bertahan selama ini. Kita pernah berhasil menerjang gelombang. Kita sudah pernah berhasil menghadapi paceklik. Sekarang mengapa tiba-tiba menyerah begitu saja, Bonang?” tanyaku menyakinkan. Sekali lagi pertanyaanku hanya dijawab oleh komat-kamit kebisuan yang lelap. Mulutnya bergerak bersamaku, tapi suaranya tenggelam dalam dimensinya sendiri. Lama dia hanya tertegak menatapku. Menatap tajam retinaku, hingga nanar menyeruak dari balik hitamnya jawaban yang aku tunggu. “Aku ini sudah kering dan menguning! Hanya tinggal menunggu kurang dari tiga lebaran saja, maka purna sudah pengabdianku. Sekarang purnama ini datang mendadak, memaksa mempersingkat senjaku.” Suaranya bergetar. “Tidak gampang untuk berjalan di kelam malam sendirian. Dan aku belum terlalu mengenal purnama ini untuk menerangi jalanku.” Keluhnya. Jawabannya kemudian menghenyakkanku sesaat. Memaksa diam dan membekukan seluruh sisi lidahku, pikiranku, bahkan emosi bathinku yang baru saja bergejolak seperti api besar yang melalap habis sebuah rumah kemudian tenggelam dan memadam kehabisan oksigen. “Tiga puluh lima tahun aku mengajar. Selama tiga puluh lima tahun itu pula aku melihat dan berkesan dengan wajah baru setiap tahun. Tapi bukan wajah purnama ini yang bisa membekas di ingatanku.” Dia melanjutkan, “Gairahku sudah tidak mampu lagi berpetualang menyelami cahaya purnama ini. Dan hasratku sudah melunak tanpa energi meski purnama ini menjanjikanku cahaya yang menyilaukan disepanjang jalan tapakku.” Meski dia berbicara tanpa suara, kalimat ini begitu nyaring merobek selaput gendang bathinku hingga menembus ke otak besarku. Seolah berteriak didalam ruang kontempelasi yang seumur hidupku hanya kosong tanpa bunyi. “Setidaknya bertahanlah sebentar, Bonang!” balasku lirih. “1 tahun lagi, 2 tahun lagi, atau 3 tahun lagi dan nikmatilah uzurmu dengan lapang.” Kali ini aku membalas dengan lemas. Memahami dengan sublim tentang apa yang bergulat di pikirannya. Lebih dari simpati dan empati, tapi sublim, benar-benar dalam. Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu dari luar oleh suara yang tak asing di telingaku; “Pak Bonang?! Pak Bonang?!”. “Ya wik?!” balasku, menjawab panggilan Dewi, asisten rumah tangga di sekolahku. “Tamu Pak Kepala Sekolah sudah berpamit. Beliau sudah kosong. Beliau meminta saya memanggil bapak, jadi silahkan menghadap ke beliau pak.” Kata Dewi.
“Baik wik.” Balasku. “Saya segera keruang Bapak!” kataku seraya keluar dari ruang toilet sambil meninggalkan bayanganku di dalam kaca diatas wastafel. (tamat.Ilham2021)