Anda di halaman 1dari 10

Topeng Basri

Langit persik telah mengganti birunya langit, namun laki-laki tua itu masih saja betah berdiri. Tangan
kanan yang telah keriput pun masih setia memegang walker. Sesekali satu peganganya ia lepas untuk
membetulkan kacamata yang bertengger di wajahnya. Menajamkan pandangannya yang mulai rabun di
makan usia.

“ Mbah, Ayo pulang!”

Entah sudah berapa kali, Andi mengajak mbah basri pulang. Tapi laki-laki tua itu masih tak bergeming
memandang topeng macan yang terpajang di dalam kaca. Sementara itu gedung museum mulai sepi
pengunjung. Maklum, seminggu lagi hari raya idul fitri, semua orang sibuk pulang mudik.

“Mbah..”

Mbah Basri menghela nafas panjang, sebelum akhirnya menarik walkernya untuk meninggalkan
museum. Laki-laki yang pernah menjadi primadona desa itu kini tak lagi perkasa, bahkan untuk
mendudukan pantatnya di kursi mobil pun ia butuh bantuan Andi. Namun untuk semangat jangan diadu,
ia bisa mematahkan angan dengan tindakan.

Sepanjang perjalanan, matanya menerawang, seakan kilas balik peristiwa beberapa tahun silam. Ia
teringat terhadap sosok di balik topeng yang selalu mendedikasikan 40 tahun hidupnya di atas
panggung. Laki-laki grapyak itu bernama lengkap Ali basyari, tapi beken dengan nama mbah basri. Ya,
masa mudanya ia habiskan untuk menjadi penari topeng. Bahkan saking piawainya ia pernah
mendapatkan penghargaan dari bupati. Tapi itu dulu, lambat laun di makan usia membuatnya tak lagi
bisa berdiri sigeg—posisi kuda-kuda yang wajib dikuasai penari pria pada umumnya.

“ Mbah kangen eyang putrimu, Ndi. Dulu jaman mbah karo eyangmu tesih kuat mlaku, aku karo
eyangmu seneng dolan meng museum kono. Pas jaman Indonesia heritage museum nembe di buka
tahun 2014, eyang putrimu seneng banget pas di ajak simbah ndeleng topeng. Suwe ora mengonoh siki
wis nambah koleksi . Ono keris, patung, lan artefak liane.” 1Mbah basri memecahkan keheningan selama
perjalanan.

1
Mbah kangen nenekmu, Ndi. Dulu zaman kakek sama nenekmu masih kuat jalan, kita suka main ke museum itu.
Dari zaman d’topeng baru dibuka tahun 2014. Nenekmu senang sekali waktu di ajak kakek liat topeng. Lama tidak
kesana, sekarang sudah menambah koleksi. Ada keris, patung, juga wayang.
Andi mengangguk mendengarkan cerita mbah Basri. Memang, walaupun eyang putri sudah meninggal 3
tahun silam, mbah basri masih saja sulit melupakan sosok istri yang telah menemaninya 55 tahun itu.
Apalagi mereka telah bersama-sama dalam menghidupkan pertunjukan topeng yang sempat digemari
remaja kala itu. Namun kini, semuanya rasanya seperti angin lalu. Untuk mengenangnya saja tergolong
susah. Apalagi keberadaan museum topeng masih terbilang langka. Di kota batu sendiri hanya Indonesia
heritage musemlah satu-satunya museum yang menyimpan lebih dari 2000 jenis topeng dari berbagai
daerah.

Mobil merah yang membelah kota batu itu akhirnya tiba di depan rumah bercat biru. Begitu mengetahui
mbah basri yang datang, seorang wanita paruh baya keluar terpogoh-pogoh menyambut
kedatangannya.

“Oalah bapak.. kok lama banget toh. Ratmi wis khawatir banget iki. Baru aja tadi Ratmi nyuruh bapaknya
Andi buat nyusul. Untung tadi baru manasin mobil.”

Mbah basri hanya menoleh sebentar kemudian berlalu langsung masuk kedalam rumah. Masih diiringi
dengan celotehan anak sulungnya yang masih saja menceramahinya “pulang jangan kesorean” dan
“telepon Ratmi kalau pulang telat.”

Dengan walker yang membantunya menahan tubuh kerempengnya, mbah basri berjalan menuju bilik
kamar mandi. Azan sudah berkumandang sejak di jalan. Ia tak mau terlalu terlambat bermunajat kepada
sang maha pencipta. Maka setelah bersuci, segera ia bentangkan sajadah dan duduk di atasnya.

“Allahu akbar.”

Takbir mengumandang kepada sang “Ar Rahman” . Lama ia khusyuk beribadah kepada sang khalik.
Hingga akhirnya suara salam lirih terdengar, pertanda ia usai melaksanakan shalat. Selepas berdo’a,
mbah basri melipat sajadahnya dan pergi ke teras belakang. Mendudukan dirinya di dingklik
kesayanganya.

Seperti malam-malam kemarin, ia kembali terpekur fokus dengan kayu sengon berukuran 8 x 10
sentimeter yang di bentuk memanjang . Tangannya yang sedikit gemetar itu sibuk mengukir dengan
pisau penatahnya. Tak jarang ia mendesah kecewa ketika hasilnya tidak sesuai yang di harapkan.

“Masih aja bikin topeng macan pak? Belum cukup tadi di dtopeng kingdom liatin topeng macannya?”
Ratmi yang membawa secangkir kopi untuk mbah basri ikut duduk terpekur melihat topeng yang sedang
di kerjakan mbah basri.
“Sok tahu kamu nduk.”

Ratmi tertawa mendengar jawaban mbah basri. “Ya tahu, kan setiap bulan bapak mesti pergi ke
museum d topeng. Kenapa sih bapak kok seneng banget nek mriku mesti liatnya topeng macan? Padahal
yang lain juga banyak. Ga cuma topeng, patung tao-tao toraja juga ada loh pak.”

Laki-laki yang tengah diajak berbicara itu memicingkan mata, memperhatikan dengan seksama ukiran
mata yang tengah di buatnya.

“ Ibumu iku seneng banget sama topeng macan Rat. Dari jaman bapak tesih manggung, ibumu seneng
kalau bapak ajak ke teater pertunjukan topeng macan. Aneh kan ibumu? Padahal topeng macan iku
maknane makhluk penjaga hutan sing seneng menerkam orang sing ngganggu wilayah kekuasane. Tapi
terlepas kan makna topenge , ibumu iku seneng corake Nduk”

Ratmi mengangguk-nganggukan kepalanya samar. “Oh pantesan ya pak, ibu sampai nangis pas topeng e
pecah.”

Mbah basri menjeda kegiatannya. Sembari melemaskan jemari tangannya, ia mengingat kejadian 7
tahun silam, saat ia tak sengaja menginjak topeng milik Lastri, istrinya. Mbah basri seketika tertawa
ketika mengingat kejadian saat Lastri menangis. Usia mereka sudah menginjak lansia, tapi tingkah
lakunya seperti perjaka. Mbah basri yang tak merasa bersalah justru menyalahkan lampu kamar. Bukan
apa-apa, karna mati lampu itulah yang membuatnya tak sengaja menginjak topeng yang tengah di
bersihkan istrinya.

“Ibumu iku nangis mergone susah nyari topeng macan Rat. Bocah jaman saiki apa ngerti carane gawe
topeng? Untung bae pak Reno Halsamer mbuka museum, cedhak mening. Dadine bocah jaman saiki,
bisa liat topeng dari sabang sampe merauke” 2

Ratmi manggut-manggut mendengar cerita mbah basri. “ Kalau Ratmi kan senenge bikin novel pak
hehe.. Oh iya, dtopeng sekarang dah ganti nama Indonesia Heritage museum kan yah pak? Eh bener ga
iku Ratmi nyebut e?”

Mbah Basri menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Ratmi. “ Iya, dulu di jenengi
dtopeng soale koleksine topeng. Sekarang kan museum iku wis akeh koleksi sing bisa menggambarkan
tentang budaya, ga cuma topeng!”
2
Ibumu menangis karna susah nyari topeng macan, Rat. Anak jaman sekarang apa tahu carana buat topeng?
Untung saja Pak Reno Halsamer buka museum, dekat lagi. Jadinya anak jaman sekarang bisa lihat topeng yang
dikoleksi Pak Reno.
Ratmi terdiam karena telah mendapati wajah raut kesal sang ayah. Seperti biasa, mbah basri paling tidak
bisa di ganggu ketika sedang membuat topeng. Salah sedikit, seperti yang sudah-sudah mbah basri pasti
akan menyalahkan Ratmi karena telah mengganggu konsentrasinya.

Demi menghindari hal itu, Ratmi memilih masuk ke dalam rumah. Percuma saja menunggu mbah basri,
ia tak tahu kapan laki-laki itu tidur. Sering kali ia terbangun untuk shalat tahajud, laki-laki itu masih saja
duduk dengan pisau penatah di tangannya. Terkadang pula, azan subuh berkumandang baru mbah basri
menyudahi kegiatannya.

Demi lastri, mbah basri rela siang malam berkutat membuat topeng. Walaupun Ratmi lebih sering
memergoki mbah basri menjadikan topeng tak jadinya itu sebagai pengganti kayu bakar. Jiwa seni yang
mengalir di darahnya ternyata hanya sebatas penari topeng, untuk urusan buat-membuat ia tak
memiliki kuasa. Namun besar cintanya kepada lastri, membuat mbah basri ingin membuat topeng
macan kesukaan almarhum istrinya. Meskipun tak terhitung lagi kayu sengon yang berakhir menjadi abu
di pawon.

Dan malam itu, angin bertiup tenang. Ditemani rokok sigaretnya, ia kembali bergelut dengan pembuatan
topengnya. Seakan ia tak menyadari, ada variabel tak diundang yang pasti hadir di kehidupan manusia.

***

Pukul 3 pagi, seperti biasa Ratmi bangun untuk shalat tahajud. Dan seperti biasa pula, ia langsung pergi
ke halaman belakang untuk menceramahi mbah basri. Namun kali ini, keningnya berkerut karena tak
mendapati tubuh kurus di dingliknya. Mata Ratmi memicing, menajamkan pandangannya ketika
retinanya menangkap sebuah topeng dengan cat yang masih basah tergeletak di meja pojok tembok.

“Bapak sudah selesai toh buat topengnya?” gumam Ratmi.

Dan benar adanya dugaan Ratmi, ketika dirinya mengintip lewat jendela kamar mbah basri, di dapatinya
laki-laki tua itu tengah tertidur. Tidur yang sangat pulas, mengingat seminggu ini mbah basri selalu
begadang menyelesaikan topengnya.

“Bapak..bapak, tidur kok ya posisinya gitu.” Ratmi tertawa cekikian ketika mendapati mbah basri tertidur
dengan posisi aneh. Bagaimana tidak? Separuh badannya ada di kasur tak berdipan, sedangkan kakinya
berada di atas lantai. Terlebih bekas cat masih menempel di tangan ringkihnya. Ratmi yakin,
sebangunnya nanti, pasti mbah basri akan meminta kerokan.
Dengan tawa yang belum usai, Ratmi menuju bilik kamar mandi untuk mengambil wudhu. Dibasuhnya
anggota badannya dari najis yang mungkin saja menempel.Terlebih ia ingin membasuh dosa-dosa yang
menambah timbangan amal keburukannya . Ratmi mengggelar sajadah dan menegakan shalat minimal
2 rakaat yang membuat manusia yang melaksanakannya di jamin dengan kemuliaan.

Sembari menunggu azan subuh, Ratmi pergi ke dapur. Sengaja ia memasak lebih awal, mengingat setiap
jum’at mbah basri selalu meminta di temani ke makam mamak. Kalau kata Andi, mereka seperti habibie-
ainun versi kota batu. Tapi Ratmi tak menampik, selama 52 tahun melihat sepak terjang rumah tangga
mamak dan bapaknya, mereka jauh dari adegan pertengkaran seperti ditayangan tv swasta.

“Kumenangis…. membayangkan…”

Ratmi menyenandungkan lagu di sinetron yang sering ia tonton sembari memberi bumbu pada ayam
kampungnya. Ia berniat membuat phak cam kee, yang tentunya rasanya tak jauh berbeda dengan
restoran bintang 5. Masakan enak yang didapatnya dari resep mamak. 1 jam lebih berlalu, suara sutil
yang beradu dengan wajan berhenti terdengar bersamaan dengan kumandang azan dari masjid kota.

Segera ia membasuh tangannya dan menuju kamar Andi untuk membangunkan putra tunggalnya.

“Le, bangun udah subuh. Sana kamu bangunin mbah, ibu mau beli koyo dulu ke warungnya pak tarjo.
Mesti mbah basri bangun tidur badannya pegel semua itu.”

Setelah mengganti dasternya dengan gamis, Ratmi pergi ke warung Pak Tarjo. Warung itu, walaupun tak
selengkap swalayan, tapi harga boleh bertaruh. Karena itulah Ratmi lebih memilih ke warung Pak Tarjo,
apalagi warung itu selalu buka pagi. Namun belum juga kakinya menapaki undakan tangga warung,
sayup-sayup telinganya mendengar suara Andi yang meneriakan namanya.

“Mbah Basri.. Ibu, Mbah Basri…”

Matanya terbelalak.”Apa? Kenapa? Kenapa Mbah Basri? tanyanya pada Andi yang masih ngos-ngosan.
Perasaan tak enak seketika menyelimutinya.

Andi menghela nafas panjang. “Mbah Basri meninggal bu.”

Bak tersambar petir, tubuh ratmi seakan mati rasa. Perasaanya begitu carut-marut. Saking sakitnya ia
sampai merasakan tubuhnya terpaku bumi.

“Gimana iki? gimana iki Ndi?” kata itulah yang terus terucap dari bibir ratmi. Bola matanya bergerak tak
tentu arah.
Andi memeluk bahu ibunya. Dengan langkah tak pasti, Ratmi mengayunkan kakinya kembali ke rumah.
Menemui sosok ayah yang telah membesarkannya. Oh Gusti, bagaimana dia harus menemuinya?

Menginjak halaman rumah, dilihatnya tetangga sudah mulai berkerumun di depan rumah. Para tetangga
yang gaduh seketika terdiam melihat kedatangan Ratmi.

“Turut berduka cita ya, Mbakyu”

Suara seperti itu menyeruak, bersikutan memenuhi gendang telinganya. Kata-kata itu mulai mencabik-
cabik hatinya. Ratmi mencubit keras-keras lenganya dan seketika ia mengaduh. Ia ternyata tak sedang
bermimpi. Langkah kakinya langsung tergesa-gesa masuk ke dalam rumah. Begitu kakinya berada di
depan pintu kamar, engsel lututnya tak lagi dapat menyangga tubuhnya.

Innalillahi, sang penari topeng legendaris kota batu telah berpulang.

***

Tetes-tetes air merembes masuk ke dalam rumah. Suara air bertumbukan dengan ember itu seperti
lantunan melodi klasik. Sunyi. Seperti tak di temui kehidupan di dalam sana. Cangkir-cangkir bekas kopi
berserakan meramaikan meja. Ahh.. jangan lupakan sebuah topeng macan di pojok ruangan yang begitu
memikat mata.

“Paket!”

Wuss… Suara itu terdengar bersamaan dengan angin yang bertiup lebih kencang dari biasa. Angin senja
itu tak hanya menerbangkan angan dan harapan, tetapi juga menjatuhkan sebuah foto di atas perut
perempuan yang tengah tertidur. Terlonjak kaget wanita itu hingga langsung bangkit dari tidurnya.
Matanya yang sudah seperti zombie itu nyalang menatap sosok laki-laki tua di bingkai kaca di
genggamanya.

“ih. Bapak!” ucap wanita itu kesal sebelum menempelkan pigura foto di tempat semula. Perlahan wanita
paruh baya itu bangkit dari tidurnya. Digerakan kepalanya ke kanan dan kekiri yang membuat tulangnya
berbunyi. Sudah berapa jam ia tertidur? Ia tak ingat, tepatnya tidak mau mengingatnya. Berkutat
dengan cerita novel tak ber-ending membuatnya kesal.

“Paket!”

Sayup- sayup ia mendengar suara petugas pos. “Iya, sebentar!”


Dengan cepat wanita itu mengganti bajunya dan memoleskan bedak di wajah kuyunya. Benar-benar
tragis! Setelah merasa penampilannya tak begitu menyedihkan, ia membukakan pintu untuk menerima
paket.

“Benar dengan alamatnya Mas Andi nggih bu?” tanya pengantar paket sembari tersenyum.

“Betul mas, ini rumahnya Andi.”

“Ini bu ada paketan mas Andi. Ini paketnya di terima atas nama siapa nggih bu?” tanya petugas paket.

“Ratmi,” jawab ratmi, “ibunya..” sambungnya.

Setelah barang itu ada di tangannya, ratmi kembali masuk ke dalam rumah. Diletakannya surat itu di
samping komputernya. Mendapati mejanya begitu berantakan, dipungutinya gelas bekas kopi ke dapur.
Setelah beberes, ia membuat kopi yang baru dan dibawanya di depan komputer miliknya.

Seorang laki-laki tua yang gemar menari topeng tiba-tiba datang memarahinya. Entah apa kesalahannya
yang membuat laki-laki itu murka kepadanya.

“Wingi habis dolan ngendi? Wong wedhok kok main sampe sore? Ga inget nasihat yang sering di kasih
mamak?!”

Dengan takut-takut wanita itu meminta maaf. Tangisnya luruh karena tak pernah laki-laki tua itu
memarahinya. Lidahnya begitu kelu, kenapa ia sulit melakukan pembelaan?

“Maaf Pak”, Wanita itu hanya bisa menangis tersedu-sedu. Ia memang mengaku bersalah karena pergi
tanpa pamit. Tapi tak sebersitpun di hatinya untuk melanggar aturan dan nasihat mamak, ia hanya ingin
mencari inspirasi untuk novelnya.

Stuck!

Ratmi mengerang keras sembari menarik rambutnya. Kenapa ceritanya selalu berhenti di situ? Matanya
yang mudah pegal menatap layar computer, mengalihkan pandanganya. Matanya itu gampang sekali
berair, apa karna usianya yang sudah tak lagi muda?

Pandangan Ratmi tertumbuk pada foto laki-laki tua yang tertempel di tembok. “ Bapak, mbah basriku..
apa bapak marah Ratmi bikin cerita kaya gitu? Ceritanya mirip karaker bapak yah jadinya Ratmi susah
nglanjutke ceritane?” ujar ratmi sembari tertawa.
Tawa palsu. Mulutnya memang mengeluarkan tawa, tapi matanya menahan duka. Seminggu sudah
kepergian mbah basri menghadap sang maha pencipta, tapi lara masih saja bergelanyut di hatinya. Tapi
The show must go on, hidup terus berlanjut, menangisi kematian terus menerus tidak akan membawa
dampak positif, ia harus bangkit!

Dengan mengucap bismillah, ia kembali berkutat dengan ceritanya. Ia harus membuat ending yang
bagus atau setidaknya ceritanya tidak berakhir sedih, ia benar-benar benci itu.

Saat sedang asyik dengan dunia literasinya, Andi pulang sehabis futsal.

“Bapak durung pulang bu?” tanya Andi ke Ratmi yang masih saja berkutat di depan computer.

“Durung, lembur kek e. iki ada surat buat kamu Le!”

Andi yang hendak menuju kamar kembali untuk menerima suratnya. Namun ia begitu terkejut ketika
mendapati bahwa surat itu untuk mbah basri.

“ Bu, iki surat tentang mbah basri!”

Ratmi yang terkejut langsung menyambar suratnya. Dibacanya dengan teliti kalimat yang tertuang di
kertas di genggamanya. Ada ratusan kalimat, tapi ia menangkap bahwa dalam rangka hari jadi Indonesia
heritage museum, mereka mengadakan acara penghargaan untuk orang-orang yang berjasa dalam
melestarikan budaya. Fotonya akan di pajang, boleh pula dengan karya yang pernah di buatnya.

Mata ratmi berkaca-kaca, ia teringat dengan mamak yang memberikan penghargaan kepada mbah basri
sebagai orang yang berjasa di dunia tari topeng. Penghargaan hanya berupa masakan, tetapi
menghadirkan senyuman indah di keriput wajahnya.

“Ndi, besok bawa topeng yang dibuat simbah. Kita wujudin mimpi mbah basri, topeng macan yang di
buat simbah kanggo eyang putri.”

Senyum terbit di wajah Ratmi. Mbah basri, apa kau lihat?

Mimpimu akan menjadi kenyataan. Topengmu memang tak sebagus aslinya, tapi topeng buatanmu
memiliki arti mendalam. Kamu berpulang tidak hanya meninggalkan nama yang berjasa dalam
melestarikan tari topeng, tapi cita-cita mempersembahkan topeng buatanmu untuk mamak akan
terkabulkan. Cintamu kepada mamak akan seperti topeng yang kamu buat, awet dan dikenang banyak
orang.
https://commons.wikimedia.org/wiki/Category:Indonesian_Heritage_Museum

https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Tiger_Mask.jpg

Anda mungkin juga menyukai