Anda di halaman 1dari 6

Alina tercinta,

Surat ini kutulis di bawah cahaya senja yang keemasan, yang membentuk sepetak lempeng emas di

atas meja, di tempat sekarang aku memikirkan dirimu.

Apakah yang sedang kau lakukan Alina ? Apakah kamu sedang minum kopi ? Apakah kamu sedang

menyetir di belantara kemacetan yang menjengkelkan ? Apakah kamu sedang berada di suatu

tempat entah di mana di balik bumi yang memandang senja perlahan-lahan menjadi malam ?

Kutulis surat ini perlahan-lahan Alina, seolah bukan tangan yang bergerak di atas kertas, melainkan

hati yang menerjemahkan dirinya ke dalam tinta, langsung membentuk huruf-huruf yang berusaha

merengkuh dirimu, nun entah di ufuk yang mana. Kulihat langit di luar makin menggelap, dan

lempengan emas di mejaku meredup, begitu rupa seolah-olah matahari di luar sana telah mengkerut

dan tiba-tiba menjauh, tapi itu semua barangkali tidak penting bukan Alina ?

Matahari senja yang lenyap ditelan gedung-gedung bertingkat tidaklah lebih penting dari begitu

banyak hal lain yang berlangsung hari ini ulat yang menggeliat di atas daun, satpam yang tertidur

di kursi jaga, seorang wanita berkaki satu yang mengemis di bawah jembatan layang, kereta api dari

Yogya yang memasuki stasiun, gadis yang menangis, gelembung permen karet yang pecah, suara

seruling, suara klakson, seorang menteri terbatuk-batuk, seorang penari mengibaskan selendang

Aku tahu aku bisa saja menelponmu Alina, dan kita akan bicara, begitu lama, sebisanya, seperti hari-

hari yang kita lewati bersama tapi, kali ini, biarkanlah aku menulis surat ini untukmu, demi sesuatu

yang barangkali saja bisa abadi. Siapa tahu. Kita kan boleh berharap segala sesuatu yang paling kecil,

paling sepele, paling tidak penting, tapi mungkin indah bagi kita berdua, bisa tetap tinggal abadi ?
Seperti daun melayang tertiup angin, yang kita tidak tahu lagi di mana, namun masih tetap tinggal

indah dalam kenangan kita.

Begitulah memang aku ketemu kamu Alina, di sebuah ruang di bagian semesta yang gelap di mana

waktu tak tercatat, seperti bisikan, di mana kita hanya saling menyentuh, dan tak selalu ketemu, tapi

bisa saling merasa, dan dengan itu toh bisa membangun dunia kita sendiri. Dari kelam ke kelam kita

arungi waktu Alina, dan dengan gumam perlahan-lahan karena ruang bukan milik kita, dan setiap

orang selalu merasa punya kepentingan yang sama besarnya. Barangkali juga karena

kepentingannya jauh lebih besar dari urusan kita. Bisakah diterima perasaan kita begitu penting

untuk sebuah kota yang gemerlapan di mana senja tiada artinya ?

Kukira kamu masih ingat senja di pantai itu Alina. Senja yang memastikan bahwa hari telah berlalu,

dan kita hanya bisa saling memandang, serta berkata diam-diam dalam hati : Betapa waktu begitu

singkat. Waktu memang tak akan pernah cukup Alina, tak akan penah cukup untuk sebuah

keinginan yang memang tidak akan mungkin terpenuhi, seperti begitu banyak cita-cita tersembunyi

selama-lamanya. Barangkali kita hanya harus merasa semua ini sudah cukup, dan bersyukur karena

sempat mengalami saat-saat yang indah. Seperti perasaan kita ketika memandang matahari senja,

yang toh tak bisa tetap tinggal di sana.

Alina tercinta,

Barangkali memang kita memang tidak usah terlalu peduli dengan semua ini. Karena serbuk-serbuk

perasaan yang tersisa, juga telah lenyap ditiup angin bercampur baur dengan debu yang

berterbangan, yang hanya kadang-kadang saja akan kita kenali kembali, jika arah angin menuju ke
arah kita. Perasaan-perasaan yang akan membuat kita berkata : Aku seperti pernah berada di sini,

pada suatu masa entah kapan , dari masa lalu atau masa depan. Memang banyak hal yang tidak

harus kita mengerti Alina, ada saatnya kita tidak harus mengerti apa-apa, tidak perlu memaklumi

apa-apa dan tidak perlu menyesali apa-apa, kecuali hanya merasa, bergerak, dan menjelma.

Tapi sudahlah Alina, kita kenang saja waktu dalam gelas kopi itu, yang akan segera mendingin

sebelum senja tiba. Bukankah kita sudah cukup bahagia, meskipun hanya saling bertanya ? Begitu

banyak kabar dari jauh, tentang ruang dan bumi yang selalu mengeluh. Begitu banyak kepedihan di

jalanan, darah berceceran, dan kita begitu sibuk dengan perasan kita sendiri tapi apalah salahnya

? Aku sering berpikir tentang betapa fana hidup kita. Sepotong riwayat di tengah jutaan tahun

semesta. Dua orang di belantara peristiwa. Apakah kita masih punya arti Alina, dalam ukuran tahun

cahaya ?

Aku pun bertanya-tanya, apakah semua itu ada maksudnya ? Sebuah sudut di dalam kafe, lampu

remang di pojok teman, sepotong percakapan yang kadang-kadang terganggu. Semuanya bagai tak

pernah utuh, tak pernah selesai, dan tidak mungkin jadi lengkap namun siapa yang menuntut

semua ini harus sempurna ? Kita sudah tahu semua ini memang tidak bisa jadi apa-apa, dan

barangkali memang tidak perlu menjadi apa-apa. Kita toh sudah senang meski hanya saling

memandang, dan menengok segala penyesalan sebelum pertemuan, dan tahu memang tidak ada

yang bisa disalahkan, sehingga kita memang tidak perlu bertanya, Kenapa harus jadi begini ?

Apa boleh buat. Hidup barangkali memang cuma seperti sebuah keemasan. Seperti opera sabun.

Barangkali seperti itulah hidupku Alina seperti opera sabun. Barangkali dari sensasi satu ke sansasi

lain, dengan bau parfum yang berlainan setiap kali pulang, dan kita tidak punya cukup kemampuan
untuk menghindarinya. Kulihat begitu banyak manusia berjejal di bawah sana, barangkali kamu

berada di antara mereka Alina, begitu sesak kota ini, seperti tiada tempat lagi untuk bangunan batu.

Gedung-gedung terus tumbuh ke atas, hanya untuk menampung manusia. Mereka semua akan

menjadi bagian dari opera sabun itu Alina, opera sabun tentang orang-orang yang terus-menerus

memburu sensasi dalam hidupnya. Barangkali, ya barangkali, kita memang harus berpesta sebelum

tenggelam dalam sebuah perkabungan yang panjang.

Aku di sini saja Alina, menulis surat untukmu, di salah satu gua di belantara kota yang memabukkan.

Pastilah hidup ini memabukkan Alina, sangat sering membuat kita lupa ada kematian. Dari senja ke

senja kutulis surat kepadamu Alina, sekedar untuk mencoba merasa bahwa kehidupan yang fana itu

masih ada, masih menggerakkan serat-serat halus perasaan kita, sekedar untuk membuktikan bahwa

kita belum menjadi dodol yang lumutan. Kalaulah aku bisa menuliskan surat ini langsung ke dalam

hatimu Alina, aku akan melakukannya, seperti awan mengubah dirinya menjadi hujan, supaya bisa

menyatu ke daratan. Tapi aku tidak bisa melakukannya Alina, aku hanya bisa menulis surat seperti

ini, surat seseorang yang barangkali agak kacau pikirannya kurang lurus, tidak jernih, dan terlalu

banyak mengumbar perasaan. Maafkanlah semua itu Alina, barangkali aku memang tidak dilahirkan

untuk membahagiakan semua orang.

Alina tercinta, masih selalu tercinta, dan akan selalu tercinta.

Di luar senja telah menjadi ungu Alina, dan aku tiba-tiba merasa tua. Senja merah yang keemasan

berubah menajdi ungu bagaikan akhir sebuah cerita yang muram. Jangan salahkan aku Alina, ini

bukan keinginanku senditi. Aku hanya menulis surat yang menerjemahkan diriku kepadamu, dari

salah satu ruang di sarang lebah di hutan belantara yang gemerlapan. Cahaya listrik berkeredap

riang di antara kelam tapi tak juga mampu mengusik suasana hatiku yang lagi-lagi menjadi rawan.
Apakah aku harus mengangkat telepon yang berdering itu, dan tenggelam ke dalam opera sabun

yang lain ? Aku sudah capek Alina, capek memanjakan perasaan. Barangkali memang sudah

waktunya kita harus menjadi kejam kepada diri kita sendiri. Membiarkan perasaan kita menggelepar

seperti ikan, dan mencoba hidup bersama dengan kenyataan. Masalahnya, apakah kenyataan mau

hidup sama kita ? Sudah terlalu sering aku mendengar tentang seseroang yang mati sendirian di

kamar, kesepian tanpa teman, membusuk perlahan-lahan. Jangan-jangan aku akan mati seperti itu,

duduk di kursi seperti sekarang, ketika sedang menulis surat untukmu, karena memang kamu yang

selalu, selalu, dan selalu kukenang dan kucemaskan. Ahsedang apa kamu Alina, sedang duduk

melamun sendirian atau menyetir mobil di tengah hujan ? Apakah kamu masih selalu memanggil

tukang pijat, setelah berhari-hari diterpa kelelahan yang seolah-olah merontokkan tulang ?

Begitulah keadaanku sekarang Alina, merasa tua, mudah capek dan mulai ubanan. Barangkali sudah

waktunya aku mengundurkan diri dari dunia persilatan, menyembunyikan diri ke sebuah gua di

puncak gunung, dan mempelajari kitab-kitab tentang kesempurnaan. Celakanya kehidupan ini

tidaklah begitu mirip dengan dunia persilatan. Kehidupan ini bisa begitu menyiksa tanpa ada korban,

karena segala sesuatunya memang keras tanpa ada kekerasan, kejam tanpa ada kekejaman, dan

begitu menghancurkan tanpa harus ada penindasan.

Inilah suratku Alina, surat seseorang yang menyandarkan kehidupannya pada kenangan, dan

kenangan itu adalah kamu. Kita semua memang menjadi tua Alina, tak apa, bumi begitu ungu di luar,

ungu dan kelam tapi siapakah yang akan merasa kehilangan ? Kita tidak akan pernah pergi ke

mana-mana Alina, percayalah, kita, kamu dan aku, akan tetap tinggal di sini, saling mengenang

ketika senja tiba, selamanya, karena aku telah menulis surat tentang kita, dalam huruf-huruf yang

membentuk kata-kata cetak, yang tidak akan pernah hilang lagi untuk selama-lamanya.
*) dikutip dari Novel Jazz Parfum dan Insiden, Yayasan Bentang Budaya, 1996

Anda mungkin juga menyukai