Anda di halaman 1dari 2

Mari Saling Mencintai Sampai Akhir.

Pada bagian ini kamu harus benar-benar membatu, mulai dari kalimat ini
aku akan berkisah dengan sungguh.
Bisik angin tidak lagi berhembus pelan, syahdu, dan merdu. Jeritan pilu, isak,
saling beradu. Telingaku dipenuhi asin tangis laut, perih, kian perih. Nyaring,
makin nyaring memenuhi kepala. Ini akan jadi kali terakhir, tidak ada lagi
kehidupan selanjutnya.
Manusia terlalu sering berkhutbah seolah tahu segalanya. Bagaimana aku
bisa mencintai patah hati? Bahkan di kedalaman yang rasanya tidak
berdasar ini, bilur di sekujur tubuhku tidak juga menyerah untuk
mencintaimu.
Saat lanskap dibentangkan, peragaimu seolah sandiwara yang tengah
dipertontonkan padaku, sedang aku hanya sebuah karangan pada surat
kabar Minggu pagi. Aku diam, sebab waktuku telah menjelma “kamu”. Kita
adalah kisah singkat yang tidak terbaca, satu naskah yang mungkin tidak lagi
kauingat alurnya.
Jatuh cinta dan mencintai adalah dua hal yang berbeda. Aku mungkin jatuh
cinta sepersekian detik setelah netra kita saling membius, setelahnya aku
mencintaimu karena keinginanku, penuh sadar dengan segala
kemungkingan sakit sebab cinta itu sendiri. Kemungkinan bahwa setelahnya
kamu akan menjadi bisu dan tidak tergapai.
Aku adalah nama, pemilik rindu yang belum kaubaca. Ketika aku
mencintaimu, itu karena aku adalah sesuatu yang rumpang, lembaran
naskah tak utuh yang butuh disempurnakan, meski teriring pilu pada hati
yang hampir retak. Kini mutiara rindu itu terbelah tepat di tengah dan
hancur.
Saat mengikhlaskan menjadi cara terbaik untuk mencintai, bahtera rindu tak
beradab ini tetap mamaksa ingin bermuara pada sorot mata elangmu. Lupa
bahwa menjadi sempurna adalah sebuah kejahatan, aku masih menuntut
Tuhan untuk menghadirkan tiap wujud yang kurapal. Menggugat dengan
cela-cela tak berdasar.
Dialog menjadi kian ribut di tengah penghambaan kali ini, meluap mencari
celah. Asin tangis laut menyamarkan erangan pengabadian.
“Aku mencintaimu” silahkan kau anggap lalu kalimat itu. Sebab tiga
kehidupan sudah cukup untuk mengoyak sadar, biar mantra itu terpatri,
kucukupkan padaku. Kita berkenalan, berpisah, bertemu, meninggalkan,
cukup bagiku dalam kehidupan kali ini
Selepas ini aku akan tinggal, aku akan tanggal, tidak peduli di kehidupan
selanjutnya jika kita bertemu. Kucukupkan pada batas tiga kali ini. Tidak ada
bagian yang lebih meradang dibanding hati, sebab aku masih jatuh cinta.
***
Aku sempat mengungkapkan jika aku pernah takut ‘mati’. Namun aku
kembali mengatakan jika sekarang aku meninggal dunia, aku sudah tidak
takut ‘mati’ seperti yang aku ungkapkan di awal.
“Nona mati?”
Kamu hanya tersenyum, memalingkan pandangan dari gelas kopi yang
sedari tadi kaurenungi dengan agung. Kembali manik hitam itu sibuk
menerawang, sorotnya jauh, entah lagi-lagi yang kaudalami ada pada mata
atau kepalaku.
“Dia hanya mencintai hingga akhir.”
Tepat pukul 18.05, aku bertemu kamu lagi.

[] Tulisan ini diinspirasi oleh kisahnya Pak Habibie dan Ibu Ainun. Dengan
segala hormat pada kisah cinta Habibie-Ainun, I write this with affection and
love as big as the world. [26/11/23] AM.

Anda mungkin juga menyukai