senyap. Dan engkau, tetap pada duniamu. Jarak begitu jauh mengantarai kita. Bahkan untuk
sekedar mendengar desahmupun tak bisa kulakukan.
Kita tinggal cerita.
Untuk kesekian kali, aku harus belajar mengikhlaskan. Belajar melepaskan. Belajar bahwa
kita akan tetap menjadi sebuah kenangan yang indah meski tak lagi serumpun.
Kita berakhir disini.
Mendung sore. Awan gelap yang menggelayut memudarkan pesona cerah. Tarik ulur cuaca
menyiratkan pergulatan. Mungkin hujan akan segera turun. Atau mungkin seperti kemarin.
Awan gelap menggantung di angkasa sejauh mata memandang. Tapi rintik hujan tak jua
kunjung menetes. Sesekali angin bertiup. Entah bersekongkol dengan apa. Apakah mengantar
awan gelap untuk semakin mengumpul atau menghalaunya untuk segera berlalu. Seharusnya,
Sunset bisa nampak saat ini di ufuk barat. Tapi, semburat sore itu hilang ditutupi awan gelap
mendung.
Air mata menetes. Aku harus memendam rasa. Rasa yang tak berujung. Air mata menetes,
tapi bukan karena perih. Aku meneteskannya karena aku tersadar, keindahan rasa ini terlalu
anggun hanya untuk sekedar dilupakan. Aku meneteskan air mata, karena itu caraku melepas
beban. Melepas asa yang mungkin tak teraih. Meneteskan airmata menjadi sebuah syarat.
Betapa semuanya begitu sayang untuk kubuang.
Aku, engkau, kita. Sebuah cerita yang bisa menghapus begitu banyak mendung yang ada.
Aku, engkau, kita. Seharusnya bisa menghalau mereka lagi. Tapi, aku, angkau, kita. Telah
habis cerita. Telah habis makna. Telah habis bahasa. Telah habis kata. Telah kehabisan
inspirasi.
Tapi, aku, engkau, dan kita akan tetap ada dalam sejarah pergulatan cuaca. Cuaca dimana
awan menggelantung pada hati yang tak terdefinisi.
Cerpen Karangan: Kiki Rasmala Sani
Blog: http://putribilqis313.blogspot.com/
Lahir 11 Januari 1989. Sekarang berprofesi sebagai Dosen di STISIP Muhammadiyah Sinjai