Anda di halaman 1dari 6

Rintihan Senja

Sore ini angin bertiup sederhana, menghempaskan dedaunan yang gugur karena umur.
Deruh ombak yang terus berkejaran, semakin menambah suasana gaduh pantai sore ini. Kini,
kucoba teguhkan jiwaku yang gelisah, dengan berhenti dari langkah kecil tak bergaya, tepat di
bawah pohon kelapa, di tepian pantai nestapa. Kuangkat raga ini tegak berdiri melawan angin,
menatap jauh ke ujung samudra yang biru. Namun mataku memerah, angin terasa panas
menerpaku, dilema ini telah membara membakar habis kedamaian jiwaku.
Semestinya, jika kubawa rongsokan raga ini kesini, bisa membuatnya sedikit nyaman.
Seperti yang biasanya aku rasakan, aku mampu damai jika kunikmati terpaan angin di pantai ini.
Namun kali ini aku salah, aku benar-benar kehilangan hal itu. Aku tak tahu bagaimana aku bisa
kehilanganya, bahkan aku tak sanggup memikirkanya. Aku tak bisa merasakan apapun, mungkin
indraku mati rasa.
Suasana hatiku semakin lama semakin gaduh, semakin risau kian tak menentu. Bah
dermaga yang penuh dengan kapal tua berkarat, dengan jangkar-jangkar yang berlumut, papanpapan yang patah, kail-kail yang tumpul, jaring-jaring yang usang dan riuh ricuh penghuni
dermaga, hingga yang terakhir tak bisa kujelaskan. Semua bergejolak dari berbagai sudut, mulai
dari dalam dek kapal yang terombang-ambing, mesin-mesin yang bergemuruh, hingga dari
lubang-lubang kecil nan gelap yang di huni para semut, aku seperti mampu merasakanya.
Gelisah, aku memang gelisah. Semua ini kurasakan bersumber dari rasa bersalah yang
terus menerus menggetarkan keyakinanku. Kadang aku ingin tertawa lepas, seperti burungburung yang terbang bebas. Tapi, hatiku memaksa bersedih dan cengeng seperti bayi. Meski
sering terbesit hasrat untuk melawan dan menyuarakan isi hati. Percuma, semuanya akan sia-sia.
Karena aku takut dengan bayanganku sendiri.
Aku tak tahu lagi harus kemana. Apa harus kuikuti awan yang terus memudar itu, atau
kubiarkan jiwa ini melayang terbawa angin. Mungkin arus bisa membawaku ke sisi dunia yang
lain, sisi dunia yang lebih indah dari mimpi masa kanak-kanakku, atau bertahan dan lenyap
bersama senja yang mulai merekah. Cukup! Semua kegelisahan ini benar-benar telah membuatku
gila, menghancurkan kenormatanku, bahkan membuatku tak bisa bernafas dengan sempurna.
Air mata yang dulu sangat aku hargai, kini sudah tak berharga lagi, seperti sesuatu yang
terus kueksploitasi tanpa henti, tanpa hati nurani. Meski aku sudah berusaha untuk menahanya
dengan sekuat tenaga. Semua percuma, karena dia begitu lihai keluar tanpa perintahku, mengalir,
membasahi pipi, menetes, dan jatuh dengan sia-sia, tanpa sebuah penghormatan. Sesekali
terkadang aku bisa diam, namun lebih sering aku menangis. Seperti hujan pada bulan januari,
yang sesekali mungkin reda, namun hujan lebih sering turun tak kala setiap mendung datang
menyelimuti.

Aku heran, kenapa aku harus seperti ini, menangis, layu, dan luntur bersama angin sore
yang tak bisa kupersalahkan. Atau jika terus kubiarkan, aku bisa hancur bersama senja yang tak
bisa kumintai pertanggungjawaban. Sebenarnya aku tidak mau, siapa sih yang mau seperti ini?
Aku yakin tidak ada satu pun orang yang mau. Namun ini sudah terlanjur, aku tak bisa melawan
jarum jam yang telah berputar. Ini sudah larut berhari-hari, jika aku tak berubah, aku pasti
hancur. Entahlah, harus sampai kapan, dan bagaimana caranya bisa berakhir.
Aku merasa seperti bunga yang mekar namun layu, seperti emas yang indah namun
berkarat, atau seperti permata yang jatuh ke kubangan sampah. Oh tuhan, apakah ini karmamu,
ataukah ini ujian darimu. Aku benar-benar tak berdaya Tuhan. Untuk hari ini saja, aku mohon,
berilah aku kekuatan untuk melawan semua masalah ini.
Lama, dan aku masih berdiri disini dengan tetap melawan angin. Dengan tanpa atau
perduli lagi aku acuh terhadap orang-orang yang menatap sebelah mata kepadaku. Biarkan saja!
kumohon jangan ada yang peduli dengan aku. Jika nanti aku tak mampu bangkit dan melawan,
maka biarkan saja aku tenggelam dalam penyesalan. Walau terasa membingungkan, antara takut
dan berani sama besarnya. Antara melawan dan menyerah sama lemahnya, atau antara hidup dan
mati sama saja. Biarkan! Karena semua hidupku kini telah nirarti, kosong, hening, dan
memuakkan.
Kulihat mentari sebentar lagi tenggelam di singgasananya yang menawan. Pelan, namun
sangat meyakinkan. Cahaya jingganya begitu indah, hingga aku tak tahan untuk tak memujinya.
Sepertinya hari sebentar lagi usai, dan mengkekalkan sejarah yang telah terjadi. Lalu bagaimana
pula aku, aku tak ingin hancur bersama senja, lebih baik aku mencurahkan kegelisahan ini
padanya, semoga senja kasihan dan tidak menghancurkanku. Aku ingat kembali apa yang
membuatku seperti ini. Mungkin dengan itu, aku lebih kuat lagi. Kucoba tuk memejamkan mata
ini, walau terasa berat dan nafas yang tersenggal, kutetap memaksanya.
Kuingat kembali kejadian yang membuatku seperti ini. Apa yang sebenarnya telah terjadi
malam itu? Aku masih bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi kepadaku? Aku benar-benar
bingung. Yang terakhir aku bisa ingat hanya suasana malam di caf itu yang ramai dengan
pengunjung. Semua pengunjung menikmati musik yang diputarkan, aku dan temanku Dewi pada
saat itu juga menikmatinya. Hentakan musik dan permainan lampu yang beragam membuat
suasan caf itu indah dan seru. Namun, aku dan Dewi hanya duduk manis di mejaku dan tak ikut
berdugem seperti pengunjung yang lain.
Lalu, nampak dari meja sebelah seorang pria yang tersenyum, sepertinya dia ingin
menghampiri kami, dan benar dugaanku. Tak lama setelah dia menebar senyumnya, ia lalu
menghampiri meja kami, aku tak mengenalnya. Tapi, sepertinya pria itu mengenal Dewi, terlihat
mereka sejak awal bertemu sudah sangat akrab dan memperbincangkan beberapa hal, termasuk
pekerjaan serta tempat tinggal mereka sekarang. Aku pun jadi tak curiga dengan pria itu, Dewi
lalu memperkenalkan aku dengan dia,

Namanya ternyata Rio, seorang pengusaha asal kota tetangga. Penampilanya menarik,
memiliki paras yang tampan dan juga baik. Rio mengajakku dan Dewi berbincang-bincang
tentang beberapa hal. Lama aku berbincang-bincang denganya, aku makin tertarik untuk lebih
jauh mengenalnya. Rio menurutku orangnya asyik dan selalu nyambung dengan apa yang aku
bicarakan. Hingga tak terasa perbincangan kami yang menarik ini berjalan lama hingga larut
malam. Aku sadar, kini aku harus pulang, aku tak mau orang tuaku memarahiku lagi karena aku
pulang terlalu malam.
Sebenarnya Dewi sudah berulang kali mengajakku untuk pulang, karena Dewi sendiri
takut dengan orang tuanya jika pulang terlalu malam. Tapi karena aku terlalu asyik ngobrol
dengan Rio, Dewi jadinya aku cuekin sampai akhirnya dewi pulang duluan meninggalkanku
dengan Rio. Terpaksa, kini aku harus pulang sendiri. Rio sempat menawarkan niatnya untuk
mengantarkanku pulang. Tapi aku menolaknya, karena aku beralasan sudah bilang kalau
sepupuku akan menjemputku. Kuberdiri dari tempat dudukku dan melangkah keluar dari caf ini.
Lama aku menunggu di depan caf. Sepupuku tak juga datang. Sampai akhirnya yang
aku khawatirkan dari tadi terjadi. Hujan deras akhirnya mengguyur, Ah sial.., kapan aku sampai
rumah kalau begini mendung mungkin sudah lelah menahan beratnya sumber kehidupan ini,
jika tidak ditumpahkan ke bumi. Tak ada pilihan lain, kecuali aku harus kembali ke dalam caf
untuk berteduh.
Aku merasa kedinginan, karena aku tak memakai swetter waktu itu. Hanya baju crom
lengan panjang dengan celana jeans yang membentuk kakiku. Tak butuh waktu yang lama aku
menjadi tak sendirian, datanglah kembali Rio menghampiriku. Dia menawarkan lagi bantuanya
untukku, namun aku tetap masih menolak. Dia lalu pergi tanpa sebuah kata. Mungkin dia marah
denganku yang untuk kedua kalinya menolak bantuanya. Biarlah! Aku memang tak mau
merepotkan orang lain. Kulihat jam ditanganku sudah menunjukkan pukul setengah sebelas
malam, dan sepupuku masih juga tak datang. Baiklah, aku harus bersabar, jika hujanya reda aku
yakin pasti sepupuku datang menjemput.
Lagi-lagi Rio datang kepadaku, namun kali ini dia datang dengan membawa secangkir
kopi susu hangat. Kukira itu minumanya, namun aku salah menduga, dia memberikan kopi susu
itu kepadaku. Sempat aku menolaknya, tapi dia memaksa. Aku pun menerimanya, aku tak tega
jika harus menolak kebaikannya lagi. Apalagi dia bilang kalau kopi susu ini buatanya sendiri
yang khusus dia buat untukku, aku jadi semakin tak tega jika harus menolaknya. Aku
meminumnya. Aku berpikir mungkin dengan minum kopi susu hangat bisa membuat tubuhku
lebih hangat, karena memang suasana malam ini sangat dingin. Sedikitpun aku tak menaruh
curiga pada minuman ini, jika ditaruh obat atau ramuan apa, karena memang aku percaya Rio
orang yang baik. Namun, kali ini rasanya sedikit aneh dari biasanya. Pikirku, mungkin karena ini
buatanya sendiri, jadi terasa sedikit berbeda dari buatan orang yang sudah mahir membuatnya.

Meski rasanya sedikit berbeda, kutetap meminumnya hingga habis. Tubuhku menjadi
hangat kembali, Terima kasih Rio ucapku padanya. Rio membalasnya dengan tersenyum manis
memandangku. Entah apa yang kurasakan, suasana saat itu benar-benar nyaman. Tiba-tiba suara
petir dengan keras menyambar, seketika listrik di caf itu pun padam. Aku ketakutan, dan tak
bisa melihat apapun. Aku memanggil Rio berulang kali, namun dia tak sedikit pun menjawab.
Mungkin dia sudah beranjak dari tempat duduknya.
Aku ketakutan, karena suasana yang gelap namun terdengar masih ramai. Pengunjung
yang lain seskali menyalakan hpnya, itu mungkin cukup membantu mereka. Tapi, tidak untukku,
mataku sudah silinder, jika melihat hp di kegelapan malam malah membuatku pusing. Aku
menyayangkan pengelola caf yang tak kunjung menyalakan lampu cadangan, apadahal aku
sudah ketakutan. Pikranku tak karuan, takut bila tiba-tiba ada yang mengambil tasku atau dengan
sengaja melakukan pelecehan seksual terhadapku.
Tiba-tiba saja kepalaku rasanya sangat pusing, terasa berat sekali untuk bisa berpikir. Apa
yang telah terjadi denganku, penglihatanku perlahan memudar di kegelapan dan . Saat aku
terbangun sudah dirumah. Sontak setengah mati aku kaget dan lari keluar dari kamarku. Ternyata
hari sudah pagi dan pakaianku sudah berubah. Aku menjadi semakin bingung, apa yang semalam
terjadi denganku.
Aku terdengar suara ibu memasak, aku langsung menghampirinya. Sebenarnya aku
sangat takut jika aku harus bertanya tentang kejadian semalam. Tapi aneh, ibu malah dengan
santai berkata
Lho! Udah bangun, kamu udah nggak sakit, semalam kamu pingsan lho! aku terheran-heran!
Emang aku pingsan bu??
Iya, semalam Agus yang membawamu pulang, dia bilang kamu pingsan saat belajar bareng
dirumahnya. Kamu sih! nggak makan seharian..
Oh! Iya sudah bu, aku ke kamar
Jadi ternyata Agus keponakanku itu yang sudah membawaku pulang. Aku masih heran, siapa
yang menggantikan pakaianku. Ahh..!! Paling ibu, siapa lagi kalau bukan ibu. Sudahlah yang
penting aku pulang dengan selamat.
Dua minggu kemudian ada yang aneh dengan diriku, setiap pagi aku selalu mual-mual
seperti masuk angin. Aneh, padahal aku tidak keluar kemana-mana semalam, juga tidak tidur
dengan memakai kipas. Tiga hari aku selalu merasa mual setiap pagi, aku tak berpikiran bahwa
kalau aku sakit, atau aku hamil. Karena kondisiku baik-baik saja juga jika aku hamil maka
dengan siapa, aku merasa tak melakukan hal itu dengan siapapun. Tapi semenjak aku pulang
dengan pingsan malam itu, aku merasa kewanitaanku sedikt sakit dan sedikit berubah. Setiap kali
aku buat berlari, berjalan menuruni tangga, dan menjongkok rasanya sedikit sakit, tapi tak aku

rasa sama sekali. Pikirku, mungkin hanya gejala PMS. Lebih anehnya lagi, aku sudah telat haid 3
minggu. Sebenarnya apa yang terjadi denganku, kenapa semua menjadi seperti ini.
Satu bulan kemudian seluruh tubuhku berubah, semuanya seperti membengkak, dan
ahh.!! Tak mungkin, ini pasti hanya dugaanku saja. Aku seperti wanita hamil jika melihat dari
perubahan tubuhku. Tak mungkin! ini pasti tak mungkin. Pikiranku pasti bercanda, mungkin ini
hanya berat badanku yang bertambah. Memang akhir-akhir ini pola makanku yang bertambah.
Mungkin itu yang membuatku makin gemuk hingga seperti ini. Tapi, aku masih tak percaya.
Masak iya aku hamil, lalu siapa yang menghamiliku?
Keesokan harinya aku coba membeli testpeck dan membuktikanya. Ternyata, apa yang
kulihat pada alat itu benar-benar menjawab semua ketakutanku. Hari pertama aku menguji, alat
itu menunjukkan dua garis merah yang berarti positif, hari kedua juga dua garis merah, dan hari
ketiga pun sama. Itu artinya aku benar-benar hamil. Tapi, aku tak begitu saja yakin dengan itu.
Keesokan harinya aku beli lagi testpeck dengan merk yang berbeda dan kualitas yang lebih
bagus. Kembali aku mengujinya, dan ternyata dunia seperti sudah kiamat. Tiga kali aku menguji,
jawaban yang sama aku dapati. Itu artinya aku tamat.
Aku menjerit histeris seketika, aku tak percaya aku hamil aku benar-benar hamil..
Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Apa mungkin Rio, atau Agus, ataukah orang lain
yang melakukanya. Kini apa yang harus aku lakukan? Aku tak berani bertanya pada mereka, aku
takut mereka salah faham dan malah membenciku. Andai aku tahu siapa yang melakukan ini, aku
pasti sudah menuntut tanggung jawab kepadanya. Tapi ini ulah siapa? Berhari-hari aku mencari
jawaban itu, bahkan berminggu-minggu sudah berlalu. Namun semua nihil, aku masih belum
menemukannya.
Sampai detik ini, usia kandunganku sudah hampir tiga bulan. Aku tak tahu lagi harus
menutupinya dengan cara apa. Perutku semakin membuncit, dan pasti sebentar lagi akan banyak
orang yang bisa mengetahuinya. Lalu aku harus bilang apa jika mereka bertanya siapa ayahnya.
Apa aku menjawab ini ulah Rio atau Agus atau siapa? Ya Tuhan, berikan petunjukmu, aku tak
sanggup dengan semua ini. Apa ini karmamu? Atau ini memang takdirku? Sungguh perih
rasanya jika terus seperti ini, dilema ini seperti menguburku dalam kehancuran, lalu membawaku
ke neraka yang paling dalam.
Setiap detik dalam hidupku kini penuh dengan ketakutan. Setiap gerak, langkah, dan
nafasku penuh dengan kekhawatiran. Aku sadar, ini memang belum selesai. Tapi, apalah arti
selesai atau tidak sekarang. Yang aku butuhkan hanya keadilan, keadilan yang membuat wanita
tak seperti patung berjalan, apalagi kini aku telah berbadan dua. Tapi, siapa yang aku mintai
keadilan? Harusnya dulu aku mematuhi pesan orang tuaku. Sekarang sudah terlambat, aku sudah
benar-benar jatuh dalam jurang penyesalan. Kenapa? Kenapa baru sekarang aku menyadari
betapa berharganya pesan orang tuaku. Kenapa juga harus aku yang menerima ini, kenapa bukan
orang lain?

Tuhan, apakah aku akan hancur? Aku sudah tak bernilai lagi, apa yang bisa aku
banggakan? Aku seperti mawar yang kehilangan duri, yang mampu mekar namun layu. Daundaunku yang harusnya indah melambai-lambai, kini perlahan gugur tersungkur. Kini aku
bagaikan hidup di tanah gersang tanpa sumber kehidupan. Tangkai yang seharusnya menopang
mimpi-mimpi dan cita-citaku, kini merapuh, semua selesai. Sebentar lagi, tak akan ada kumbang
yang menggodaku, aku pun harus siap dengan datangnya ulat-ulat bulu yang kapan pun dengan
mudah menertawakanku.
Kurasa, kini angin semakin bertiup kencang, membuatku sedikit meriang. Kubuka
mataku dari kisah pilu yang panjang, ku usap air mataku dengan penuh kasih sayang. Kurasa
matahari sebentar lagi tak akan terang. Aku menggerang, menyadari aku akhirnya hancur
bersama senja yang mulai menghilang. Sejauh mataku kini mampu memandang, semuanya mulai
petang, langit gelap kian memanjang, menutup mimpi, asa, dan harapan yang tadinya terang.
Aku sadar, aku tak lagi seperti bintang, aku hanya sampah yang siap untuk dibuang, karena aku
hanya akan menjadi aib bagi keluarga di mata orang-orang.
Walaupun hatiku berdarah, jiwaku menjerit, pikiranku mati, imanku terkoyah, ragaku tak
berdaya, diriku tak berharga. Aku akan tetap bertahan, bertahan untuk sebuah kehidupan untukku
dan anakku nanti. Meski akan terasa lelah dan menyakitkan, aku tak akan menyerah, aku pasti
akan berjuang. Malam, kini telah tiba, aku harus pulang. Pulang dengan keyakinan dan keraguan,
pulang dengan keberanian dan ketakutan, dan pulang dengan hati yang kuat bersiap menghadapi
peperangan melawan kehancuran.
Terima kasih senja, kau telah mendengar rintihan hatiku.

Ditulis Januari 2015


Oleh : Moh. Anang Maruf F.
Cerpen Rintihan Senja ini saya tulis karena kegelisahan saya dengan wanita zaman sekarang
yang begitu mudahnya menyerahkan harga dirinya dengan gratis untuk lelaki yang belum tentu
nanti ia akan menjadi imamnya.
Semoga dari kisah yang penuh dilemma ini bisa menginspirasi bagi kalian para wanita,
harga dirimu adalah perhiasan yang terindah yang dianugrahkan tuhan kepadamu. Jaga dan
lindungi anugrah itu, karena kau tak akan bisa mempunyainya lagi jika itu sudah hilang dari
dirimu.
Sekecil apapun kesempatan terbuka, akan sangat berbahaya untukmu jika kau biarkan.
Waspadalah dengan segala rayuan lelaki, rayuan mereka memang manis namun sebenarnya
pahit. Semoga kalian ingat itu.

Anda mungkin juga menyukai