Anda di halaman 1dari 8

PETRICHOR

Cuaca sore itu sangat buruk, awan hitam bergelayutan diatas sana, begitu gelap dan
menakutkan. Seperti menyeru manusia untuk diam dirumah dan mempersiapkan tungku perapian
karena tidak lama lagi badai kan datang. Tapi, aku mengacuhkan alam saat itu, tidak ada niat
terbersit diikiranku untuk pulang meski tetes-tetes air hujan yang terbawa angin kencang menerpa
wajahku.
Aku tengah berdiri mematung. Menunggu seorang teman lama. Aku melihat sekeliling,
tapi tak ada temanku itu memunculkan batang hidungnya, aku mencoba menghubunginya namun
ia tak kunjung memberi jawaban. Mungkin ia sedang berada diperjalanan atau bisa jadi sedang
berteduh karena terjebak hujan. Tapi aku malah bersyukur ia belum datang, setidaknya sekarang
aku bisa menunggu.
Tak seperti kebanyakan orang yang benci menunggu, aku menikmati saat-saat dimana aku
harus berdiam dan menantikan kehadiran sesuatu atau seseorang. Kesibukan dan kejaran deadline
yang menyita waktu dan ikiranku, membuatku harus meninggalkan kebiasaanku untuk melamun.
Ya, melamun; memikirkan hal remeh-temeh namun penting dilakukan. Seperti
membayangkan masa depan atau berharap bisa mengubah masa lalu. Apapun, yang bisa ku
lakukan dengan ikiranku sendiri. Seperti sekarang ini, aku amat menikmati waktu menungguku
dengan melamun, bukan untuk melamunkan masa lalu atau masa depan. Aku tengah melamunkan
apa yang sedang terjadi sekarang, saat ini, detik ini. Bagaimana sebenarnya Tuhan saat ini sedang
memberikan hadiah kepada manusia berupa tetesan-tetesan air yang berjatuhan dari langit.
Bagaimana Tuhan menyiapkan segala hal demi keberlangsungan hujan seperti matahari untuk
menguapkan air, langit yang dingin untuk membentuk awan, angin untuk meniupkan dan gravitasi
yang akhirnya menjatuhkkan. Belum lagi saat hujan reda, ada sesuatu hal menakjubkan dibalik
redanya hujan. Tapi sayang, kebanyakan orang tidak pernah menyadari itu. Mereka malah sering
kesal dan mengutuk hujan.
Kasihan hujan. Ia tak berdosa tapi sering disalahkan.
Kasihan juga manusia yang mengutuk hujan, ia kehilangan kesempatan untuk bersyukur
karena tidak memaknai hujan dengan baik.
---

Kinan! ia memanggil dari jauh, memecah lamunanku. Aku membalas tersenyum.


Dira, apa kabar? Lama banget kita gak ketemu. ucapku, sambil memeluknya melepas
rindu.
Baik, alhamdulillah. Jauh lebih baik daripada terakhir kita ketemu beberapa tahun lalu.

Kami bercakap-cakap saling menanyakan kabar dan keadaan, dan kegiatan-kegiatan apa
saja yang kami tekuni selepas lulus, dan bagaimana kami saling merindukan kebersamaan kami
yang sudah tidak terjalin. Dira adalah teman terbaikku, pendengar segala keluh-kesah dan
bahagiaku. Tak ada satu rahasiapun yang aku sembunyikan dari Dira, dan begitu pula Dira
kepadaku. Kami megetahui kehidupan satu sama lain, terlebih persoalan cinta dan segala
kegalauan didalamnya. Namun, semakin beranjaknya umur kami, semakin jauh kami dipisahkan
oleh kegiatan-kegiatan yang super padat, juga dijauhkan oleh rumah Dira yang kini tidak lagi
berada disamping rumahku. Sehingga, hubungan persahabatan kami sedikit merenggang.
Kinan, maa kemarin aku tiba-tiba hubungin kamu dan tanpa basa-basi aku minta bantuan
kamu. Tanpa bertanya kamu lagi sibuk atau enggak, aku minta kita ketemuan di sore yang buruk
seperti ini. ujarnya, dengan nada bicara mengeluh yang khas yang tak pernah berubah sejak
dulu.
Ya ampun Dir, kamu kaya ke siapa aja sih, aku malah seneng kita bisa ketemu hari
ini.
Maa banget ya Kinan. Aku jadi gak enak sama kamu.
Dira, kebiasaan kamu gak berubah ya gak enakkan sama orang. Memangnya kamu mau
minta bantuan apa?
Dira memintaku untuk mengantarnya bertemu dengan Radit, cowok bassist yang bikin dia
jatuh hati saat ia perorm di acara pensi. Seingatku, perasaan Dira itu tak pernah sampai ditelinga
Radit. Tapi, kenapa bisa sekarang Radit malah mendekati Dira?
Aku juga gak ngerti kenapa Radit bisa tiba-tiba menghubungiku, dan dia akhir-akhir ini
sering menghubungi aku untuk hal-hal yang gak penting. Dan dia minta aku buat ketemu sama
dia Kin, udah lama kita merencanakan ini, tapi gak pernah kejadian soalnya kita berdua samasama sibuk. Kalau kamu mau bantuin aku, aku pengin ditemeneni kamu buat ketemu sama Radit
sekarang.
Kenapa harus bareng aku Dir?
Karena aku gak tahu lagi harus pergi sama siapa. Dira mengeluh pelan.
Haha, bukan. Maksud aku, kenapa harus ditemenin? Kamu pergi aja sendiri, nanti kalian
bertemu berduaan, mengobrol. Kenapa harus mengajak aku?
Kinan, aku gak mau nanti kita ngobrolnya cuma berduaan. Terakhir aku ketemu Radit,
ya pas pensi waktu itu aja, aku takut nanti kita malah canggung. Ayolah Kin, please bantuin aku
ya? Temenin aku sekali ini aja..
Dira, gimana kalau Raditnya cuma pengen berduaan sama kamu? Nanti kedatangan aku
malah ganggu buat Radit. Kamu pergi sendiri aja gih, atau aku antar kamu sampai kamu ke
tempat Radit, terus aku pulang.

Dira menolak tawaranku dan memaksa aku untuk menemaninya. Akhirnya aku kehabisan
alasan untuk mengelak dan mengiyakan. Meski aku sendiri merasa gak enak takutnya menjadi
sosok yang tidak diharapkan kedatangannya dan dianggap mengganggu. Selepas beradu tawar
dengan Dira, kami perhalan menyusuri trotoar menuju sebuah kedai yang akan menjadi tempat
pertemuan Dira dan Radit.
Kinan, sebenarnya aku membuat janji dengan Radit itu selepas ashar, tapi sekarang
sudah jam 5. Doakan aku supaya Radit belum pulang ya. Aku tersenyum dan mengaamiini
permintaan Dira dalam hati.

Sampailah kami di kedai itu, kedai kopi ternama yang terletak di depan plaza di kotaku.
Dira yang sedari tadi cemas, disambut hangat oleh senyum Radit yang sudah menunggu. Disana
ternyata Radit tidak sendiri, ia membawa seorang teman. Entah mengapa disitu aku merasa lega.
Setelah menyalami Radit, Dira disapa akrab oleh pria yang dibawa oleh Radit itu.
Kemudian Dira bertanya kepadanya Hey Galih, apa kabar? Kamu kenapa bisa disini?
Baik. Aku dipaksa Radit buat nemenin. Aku awalnya udah nolak loh Dir, aku takut
ganggu sebenernya. Tapi si Radit nya tuh.. jelasnya sambil menyalahkan Radit yang hanya
senyum-senyum sendiri. Kamu bawa temen juga Dir, gak dikenalin?
Lantas Dira memperkenalkanku pada mereka. Radit yang menyalamiku terlebih dahulu,
lalu selanjutnya Galih.
Maa, siapa nama kamu? tanya Galih tepat setelah aku menyebutkan namaku, dan ehm
tanpa melepaskan tangan kami yang tengah bersalaman.
Kinan. Jawabku, mengulang.
Bagaimana menulisnya? Kinan seperti biasa, atau k-e-e-n-a-n? tanyanya lagi, tangan
kami masih berpautan.
Seperti biasa saja.
Oh iya, biar kutebak nama lengkap kamu Kinanti? tangannya masih bersamaku.
Sok tahu, namaku Kinan saja. Tanpa akhiran ti. sedikit ku bumbui tanggapunku ini
dengan tawa, agar tidak terlihat sombong, jutek atau semacamnya. Tapi jujur saja, aku agak risih
karena ia tak kunjung melepaskan tangannya dari tanganku.
Ooh.. akhirnya, ia melepaskan tangannya dari tanganku.
Dira dan Radit pun duduk, sambil mempersilahkan aku dan Galih untuk duduk disamping
mereka. Tapi, aku menyadari kebutuhan mereka akan privasi, begitupun Galih. Karena tanpa ada
komunikasi dulu, kami berdua meninggalkan Dira dan Radit dan memilih meja yang berbeda
dengan mereka.

Aku senang karena akhirnya aku bisa duduk, sudah kuniatkan dari awal kalau aku akan
melanjutkan lamunanku saat Dira sudah bertemu Radit. Ku awali lamunan ku dengan
memerhatikan jalan. Jalan yang lengang di sore hari serta basah oleh air hujan yang kini masih
menyisakan tetesan-tetesannya berjatuhan.
Bagaimana cuaca hari ini? tanya Galih membuka pembicaraan. Aku hampir lupa kalau
aku mempunyai teman bicara, sudah seharusnya aku mengobrol dengannya. Tapi, alam
memesonaku saat ini dan aku tidak sedang dalam mood yang baik untuk mengobrol, apalagi
dengan orang baru.
Buruk, aku kira akan terjadi badai atau semacamnya. Tapi, ternyata hanya hujan sesaat,
lalu kembali mereda. jawabku. Tanpa mengalihkan pandangan pada Galih.
Berarti kamu bukan peramal cuaca yang baik.
Memangnya kamu tidak memerhatikan awan sebelum hujan turun tadi? Hitam dan
menakutkan.
Benarkah? Aku tidak sempat melihat awan. Tadi, seusai kelasku selesai aku langsung
kesini. Radit ngajaknya buru-buru, eh tahunya kita malah nunggu hampir 2 jam.
Aku hanya terdiam, masih menatap jalan yang basah. Mungkin, Galih akan tersinggung
dan mengecapku sebagai teman baru yang tidak baik karena mengacuhkannya saat ia mencoba
mencairkan suasana diantara kami. Atau mungkin setelah ini Galih akan menyesal karena telah
berkenalan denganku, namun aku tidak peduli. Pun, Galih akan meninggalkanku dan mencari
meja lain karena bosan duduk bersamaku aku sepertinya tetap tidak peduli. Karena sekarang aku
tengah bercinta dengan alam. Alam yang baru saja ditinggalkan hujan adalah hal yang paling aku
sukai didunia ini.
Ya, hujan memang satu paket hadiah Tuhan yang sempurna membuatku takjub. Setelah
diawal sudah kukatakan setiap instrumen yang membuat bulir-bulir air ini bersirkulasi, ada satu
hal terakhir dari hujan yang mungkin tidak pernah kalian sadari.
Hujan yang telah reda tidak hanya meninggalkan basah, ia juga menyisakan aroma yang
khas, yang kini menyeruak memenuhi indra penciumanku, kemudian kuhirup aroma itu dalam
agar ia juga sampai kedalam paru-paruku dan mengalir bersama darah keseluruh tubuhku.
Aroma ini memberi eek berjuta ketenangan dalam benakku, dan menjadikan suasana
hatiku lebih baik berkali-kali lipat. Aku jatuh hati pada aroma ini, aroma sehabis hujan yang
disebut
Petrichor. ungkap Galih, menyempurnakan kalimat dalam hatiku.
Aroma sehabis hujan.. lanjutnya. Aku tersentak kaget, bagaimana bisa ia begitu
kebetulan melengkapi kalimat yang sedang aku ikirkan? Lalu aku mengalihkan pandanganku pada
Galih, ia juga tengah menghirup udara dengan cara yang sama seperti yang aku lakukan, sedalam
aku menghirupnya. Apa dia menyukai hujan seperti aku menyukainya?

Jujur saja, belum pernah aku menemukan seseorang yang juga menyukai aroma ini, pun
ada yang menyukainya mereka tidak mengetahui istilahnya. Karena istilah petrichor ini tidak
begitu amiliar ditengah masyarakat. Dan bagaimana Galih bisa tahu? Juga, bagaimana ia bisa
begitu sempurna melengkapi kalimat yang bahkan hanya aku ungkapkan didalam hatiku?
Ada apa? tanya Galih, yang menyadari bahwa ia sedang diperhatikan. Aku yang juga
baru sadar sedang memerhatikannya agak tersentak kaget, lalu menjawab Hah? Tidak, aku
hanya... Hmm.. Kamu menyukai petrichor?
Ya.
Hatiku berdesir. Aneh, rasanya seperti menemukan satu keping puzzle yang hilang
mengetahui ada orang lain yang menyukai hal yang juga aku sukai.
Aku juga penikmat petrichor, omong-omong.
Galih hanya menanggapiku dengan menatapku. Aku agak tersentak, ia menatap mataku
begitu lekat dan... tidak wajar. Alih-alih merasa tidak nyaman karena sedang diperhatikan, aku
malah membalas tatapannya, lekat kupandangi mata Galih yang jernih, luas dan dalam. Seperti
menemukan sebuah samudera dalam matanya, dan aku membiarkan diriku tenggelam didalamnya.
Semakin lama, semakain dalam, dan lebih dalam lagi. Tapi aku tidak ingin beranjak, aku tidak
ingin menepi, aku tidak merasa pengap. Hanya dengan hitungan detik, aku bisa merasakan
kenyamanan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya, mata Galih seperti rumah yang telah
lama aku tinggalkan dan aku rindukan.
Seperti rumah, segala kepenatan dalam benakku mendadak hilang digantikan oleh
ketenangan yang belum pernah aku temukan sebelumnya.
Aku begitu hidup didalam matanya.
Tenggelam didalam matanya, sama sekali tidak membuatku bingung akan cara untuk
bernaas. Matanya begitu menghidupkan aku disaat aku harusnya mati karena kehabisan oksigen.
Sebesar apa kamu menyukai aroma ini, Kinan?
Sangat besar.
Sebesar samudera yang kamu miliki didalam matamu.
Aroma ini membuatku mabuk, Galih. Tapi aku menyukainya.
Ya, dan aroma ini membuatmu ketagihan kan?
Bagaimana kamu bisa tahu?
Karena aku juga meraskannya.

Lebih dari nikotin mencandu para perokoknya. Ungkapku. Dan ungkap Galih,
bersamaan. Benar-benar bersamaan. Antara periode dan rekuensi suara kami hampir tidak memiliki
selisih, hingga tidak terjadi layangan pada saat kami mengucap kalimat itu bersamaan.
Tuhan, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana Engkau bisa menyembunyikan tempat
senyaman ini dibalik mata seseorang yang bahkan baru 10 menit lalu aku kenal. Membuatku
tidak ingin beranjak, dan malah ingin selamanya tinggal disana.
Ia memaknai petrichor sebagaimana aku memaknainya, dan entah bagaimana aku merasa
lengkap saat ini.

Kemudian handphone Galih berbunyi, dan membuatku harus menepi dari samudera yang
tengah aku arungi di mata Galih. Ia pun tampak sedikit kaget, dan mengerejap seperti terbangun
dari mimpi yang menakjubkan.
Maa. Ungkapnya pelan, aku bersyukur saat ia melangkah pergi menjauhiku untuk
mengangkat telpon. Selama dia mengakat telepon, aku berusaha memokuskan diriku sendiri.
Kejadian tadi pasti sangatlah memalukan, bagiku, bagi Galih apalagi jika Radit dan Dira melihat.
Mungkin Dira akan berprasangka yang tidak-tidak kepadaku, jika ia tadi melihat aku bertataptatapan begitu lama dengan Galih. Tidak, tidak boleh terjadi lagi.
Dari kejauhan, terdengar samar-samar percakapan Galih bersama seseorang ditelepon.
Kurang lebih aku dapat menangkap kalau Galih dan Radit harus buru-buru pulang karena ada
janji lain. Dan benar saja, mereka langsung berpamitan pulang sehabis itu. Galih meninggalkanku
dengan alamat e-mailnya, dan perasaan menggebu yang aku rasakan setelah menatap matanya
tadi.
Satu malam setelah pertemuan itu, ikiranku sempurna terkontaminasi oleh Galih dan
petrichor yang membawaku tenggelam kedalam matanya. Belum pernah aku temui seseorang yang
menatapku dengan cara seperti itu, hingga membawaku untuk jatuh jua kedalam matanya.
Bagaimana bisa?
Dan malam itu juga, e-mail pertama Galih sampai di kotak masukku. Isinya adalah:
Senang sekali berkenalan denganmu tadi sore Kinan, aku Galih. Semoga kita bisa menjalin
hubungan pertemanan yang baik kedepan.
Lalu aku membalas: Tentu, kalau kamu berkenan aku mengundangmu untuk bersama-sama
membuat petrichor mencandu kita lebih dari sekedar nikotin mencandu para perokoknya!
--Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang membahagiakan dan lebih bermakna dalam
hidupku. Aku merasa sesuatu yang pernah hilang dari hidupku sudah kembali. Ya, kebiasaanku
untuk melamun. Setelah bertemu Galih, aku tidak lagi harus menunggu jika ingin melamunkan
sesuatu. Aku bahkan kini bisa melamunkan sesuatu ditengah-tengah aktiitasku, bahkan disetiap
sela naasku.

Galih rutin memenuhi kotak masuk surat elektronikku. Kami bertukar ikiran mengenai
petrichor aroma sehabis hujan itu. Ternyata ia memaknai petrichor itu lebih dalam daripada apa
yang aku bisa, pengetahuannya mengenai hal itu juga lebih luas. Jika aku memaknai itu lebih
kepada caraku untuk mensyukuri ciptaan Tuhan yang kebanyakan orang lupakan, Galih
memaknainya dengan menghubungkannya dengan mitologi yunani yang menyebutkan bahwa
petrichor ini adalah darah para dewa.
Galih, kamu musyrik namanya kalau kamu memaknai petrichor dengan kepercayaan
dewa-dewi seperti itu.
Bukan, aku hanya mengartikannya sesuai dengan arti sesungguhnya, Kinan. Petra yang
berarti batu dan Ichor darah. Dalam bahasa Yunani sendiri petrichor itu cairan yang mengalir di
dalam urat nadi para Dewa-Dewi.
Atau percakapan kami yang lain, pernah suatu hari ia bertanya lewat pesan singkat
padaku.
Kinan, jika kamu diberikan kesempatan untuk berterimakasih kepada orang mati. Siapa
orang yang akan kamu ucapkan terimakasih?
Tidak tahu, orang-orang yang pernah membantuku belum pada mati soalnya. Hehehe.
Kalau aku, aku akan berterimakasih pada Bear dan Thomas.
Karena mereka telah menemukan petrichor?
Bukan, aku menemukan petrichor oleh diriku sendiri, bukan karena mereka.
Lantas?
Aku berterimakasih kepada mereka karena mereka sudah melakukan penelitian tentang
aroma ini, jadi aku gak perlu repot-repot meneliti. Hahaha.
Begitulah perbincangan-perbincanganku dengan Galih. Kami beberpa kali membuat janji
untuk bertemu, entah mengapa setiap kali kami bertemu cuacanya selalu hujan dan mereda
meninggalkan baunya.
Dan tak ada yang lebih membahagiakan dibanding dengan aku bisa menikmati bau hujan
ini bersamaan dengan Galih. Aku menyadari betul, aku sudah jatuh cinta pada laki-laki ini, atau
mungkin hanya sekedar kagum dan nyaman? Apapun perasaan itu, aku amat menikmati jam-jam
yang aku habiskan bersama Galih, seperti hari ini di sebuah hari di penghujung ebruari.
Aku dan Galih bertemu di kedai kopi yang menjadi tempat dimana kami awal bertemu.
Sebentar lagi bulan Maret. Aku sedih karena itu artinya musim hujan ini akan berakhir.
U
ungkapku.

Gak perlu mengutuk musim kemarau, Kinan.


Bukan, maksudku. Ya, kita akan kehilangan petrichor untuk sementara waktu.
Haha, yaa. Tapi jika musim hujan terus-terusan, nanti petrichornya hilang untuk
selamanya. Kamu tahu gak? Petrichor itu kan diciptakan Tuhan ketika musim kemarau, nanti
tumbuhan akan mengeluarkan minyak yang diserap oleh batuan. Terus begitu selama musim
kemarau, batuan akan terus mengumpulkan minyak itu. Barulah nanti saat hujan, air akan
melepaskan senyawa itu dan Geosmin atau bau tanah yang akan menjadi petrichor kita.
Aku terdiam. Merenungi penjelasan Galih. Oh seperti itu rupanya.
Dan ternyata, pertemuan itu adalah akhir dari pertemuanku dengan Galih. Galih tampaknya
mengikuti jejak petrichor, ia menghilang bersama bergantinya musim dari hujan menuju kemarau.
Setelah pertemuan itu, Galih tidak lagi mengirimiku e-mail atau pesan singkat. Ia tidak lagi
menghubungiku. Aku juga tidak tahu ia kemana, kutanyakan pada Dira dan Radit, mereka juga
tidak memberi tahuku keberadaan Galih.
Aku risau dan galau. Galih telah menjadi bagian dalam hidupku dimusim ini, melengkapi
puzzle yang hilang dalam hatiku, melengkapi kekosongan dalam jiwaku, dan dibalik matanya ia
menyediakan tempat yang paling nyaman diseantero dunia ini.
Padahal aku mulai mencintainya. Jika ia mengatakan padaku kalau ia akan pergi, akan
kuutarakan dulu perasaan ini sampai hatinya merasakan perasaan yang diam-diam aku pendam
ini.
Tapi, aku selalu berusaha agar tidak mengutuk kepergian Galih. Aku harus bisa
mensyukurinya sebagaimana aku tidak mengutuk hujan dan malah mensyukurinya, dengan harapan
bahwa Galih saat ini pergi untuk mengumpulkan sesuatu yang lebih indah suatu hari nanti.

Anda mungkin juga menyukai