Anda di halaman 1dari 3

Di Balik Cermin

Zainal Abidin

Fajar, untuknya yang terbiasa tanpa kabar

Pagi, untuknya yang kini telah pergi

Siang, untuknya yang tiada lagi kasih sayang

Senja, untuknya yang tak lagi tersenyum manja

Hanya tersisa malam yang kelam penuh khayal. Terima kasih pernah menemani hari
sepiku. Senyumnya dukaku, bahagianya piluku. Enam tahun usai ku mengaguminya, kini
biarlah dia meratapi keajaiban yang banyak terlewati. Sejenak ku terbuai harapan, sejenak
pula dia memadamkan. Apakah dia tak pernah merasakan duka? Apakah dia tak pernah
merasakan tumbuh dalam balutan luka? Ah entah, biarlah.

Gadis itu kini telah tumbuh dewasa. Menjadi sesosok wanita yang tangguh nan cantik
jelita. Tapi sayang, pikirnya masih bimbang. Seolah merasa tak percaya diri mendengar
ocehan para tetangga yang kian meracuni, menusuk bagai duri. Mungkin itu sisi buruk pada
dirinnya. Tapi tak apa, semua dapat ditoleran kecuali penghianatan, kesalahan fatal yang
mungkin tak termaafkan.

Untuk kata bahagia bukan hanya tentangnya, aku pun berhak. Ku beri sedikit jeda
agar temukan jawaban, tapi nyatanya dia abaikan. Dia yang meninggalkanku pergi seolah dia
juga yang merasa paling tersakiti. Aku yang selalu bertahan dari dia yang selalu mencari
kesalahan, dia juga yang selalu mengeluh lelah dengan keadaan. Drama macam apakah ini?
Sampai segitunya dia medalami sebagai peran. Sudahlah, ku tak ingin terlena pada masalalu.

Janji setia, kata termanis yang pernah ku dengar darinya. Seakan menghipnotis jiwa
tuk tunduk dan percaya. Kini janji sebatas kata, memudar tak bermakna. Dia yang dulu
merasa pilu kemudian datang dan aku yang selalu menerimanya dengan lapang. Padahal ku
tak pernah mengekang tapi mengapa dia mendua, memilih seseorang yang bahkan baru ia
kenal. Jika itu memang pilihan terbaiknya, baiklah aku ikhlas.
Sekarang dia bebas, tak ada lagi aku sang pengganggu. Kecewa? Tidak, marah?
Apalagi. Setiap hembus nafas yang menyebut namanya kini tinggal lah kenangan. Jika ku
menangis meratapi itu dimaklumi, layaknya hujan yang jatuh ke bumi. Karena ku tahu tak
semua orang akan berempati, percuma tak semua dapat menerima.

Aku sadar, dari balik jendela ku lihat butiran embun yang mulai memudar. Menguap,
terbang tanpa sayap. Laksana anala yang membakar jiwa, tirta lebih sejuk dan menenangkan.
Aku mengalir anantara bena. Menyapu pasir di bibir pantai. Seakan menyaksikan huru-hara
batin yang dilanda nestapa. Cukuplah sudah baginya, tak perlu kembali tak perlu berubah.
Aku tetaplah aku, yang sedari dulu tanpa ditanya pun ku telah memaafkannya.

Semoga dia bahagia dengan apa yang telah menjadi pilihannya. Aku tak lagi berhak
peduli, tanpaku dia bisa sendiri. Tak perlu ada sapa saat bagaskara menampakkan wajahnya.
Aku hanyalah dermaga tempatnya berlabuh, bukan tempat megah dimana ia dapat singgah.

Selamat tinggal lebah kecil.

Jakarta, 12 Agustus 2021


Bio Narasi

Dia bernama Muhammad Zainal Abidin. Remaja kelahiran 06 Agustus di Grobogan.


Seorang introver dan pendiam. Tak ada yang spesial darinya. Baginya menjadi seorang
penulis bukanlah pilihan, akan tetapi mambaca adalah keharusan. Selamat membaca.

Anda mungkin juga menyukai