Anda di halaman 1dari 4

Diantara waktu Dhuha , Fatma

Jam dinding di dalam kamarku sudah menunjukkan pukul 9. Aku menanti. Tak ada dering tak
ada getar. Aku menunggunya. Tak biasanya seharian ini dia alpa menghubungiku. Aku
cemas.

“ ndak usah ditunggu. Dia ndak akan pulang!” sarkasnya, mengagetkanku. Seharusnya,
beliau tak berbicara begitu. Khawatir, harusnya itu yang beliau punya. Raut wajahnya yang
tenang tanpa rasa bersalah, membuatku semakin kecewa. Sebenarnya apa yang sosok
didepanku itu mau.

“ndak usahlah, kamu itu memanjakan dia. Diqi itu sudah besar, jangan terlalu melindunginya.
Dia salah itu saja yang harus kamu terima.” Ungkapnya. Dengan tergugu aku meredakan
resahku, “bukan gitu, bah. Abah harusnya tegur Diqi pelan –pelan dulu kan bisa. Ndak harus
bentak dia, apalagi di depan para santri.mungkin malu yang membuat Diqi ndak pulang
sampai larut malam begini.”

“yo wes ben. Biar dia malu. Biar jera. Apa dikiranya aku ndak malu, setiap hari harus
mergoki dia bolos ngaji, bolos sekolah. Seharusnya dia sadar, dia punya adik adik yang harus
dikasih contoh dengan benar, bukan disesatkan. “

Aku diam. Aku tahu sifat beliau yang tegas dan cenderung keras dan mirip sekali dengan
Diqi, putra pertama kami, maka tak ayal benturan benturan sering terjadi diantara mereka
bahkan dalam perkara perkara kecil. Beliau, abah selalu menanamkan kedisiplinan pada para
santri, begitu juga pada kami, seluruh anggota keluarga.

Diqi mulai beranjak dewasa, 17 tahun sudah dia bersama kami. Dia mulai tahu dan sadar
siapa abahnya, siapa aku dan siapa dia sebenarnya. Kebimbangn kebimbangan yang ingin dia
tanyakan mungkin sudah menumpuk namun dia tak sanggup menanyakannya langsung
padaku, aku tahu dia takut menyakitiku. Hatiku semakin resah, kulihat abah sudah istirahat
terlebih dahulu. Heningnya malam ini akhirnya mengantarkanku terlelap.

Keesokan harinya, kabar dari diapun nihil, kutitipkan pesan pada kang santri yang kebetulan
satu sekolah dengannya untuk meminta dia pulang, aku berharap semarah apapun dia,
dimanapun dia berada, dia tetap berniat untuk sekolah. “kang, nanti tolong kasih tahu kalau
ketemu, mas Diqi. Ummi rindu.” Pintaku. “inggih , mi. “ jawabnya dengan sopan. Dia undur
diri.
“ mi, najwa berangkat dulu ya. Ummi jangan khawatir mas Diqi pasti pulang. Ya ndak
nasywa?” yang dipanggil tersenyum seraya menjawab ,” huum mi , jangan nangis terus
nungguin mas Diqi kan ada najwa ada nasywa, ada mas majda sama mas mahda. Kita siap
menyenangkan hati ummi. “ “ terima kasih anak anak ummi yang sholehah, sana gih cepetan
berangkat sekolah nanti ditinggal mas majda loh, udah pamit Bunda nak?”

“udah dong mi, tadi siy ummi ngelamun terus jadi yang nemenin kita makan yah Bunda.”
Jawab najwa “ Assalamualaikum, Ummi Fatma.” Ucap mereka kompak, perlahan mereka
menghilang dari hadapku. Itu mereka anak anakku yang lain. Tak terasa air mataku menetes,
entah apa yang dikatakan orang tentang keluarga kami tapi inilah duniaku. Tepukan pelan
mengagetkanku, senyum yang halus menenangkan milik Aisyah, adik maduku semakin
membuat aku pilu. “Ummi, sudah. Jangan menangis lagi, apa yang dikatakan abah pada Diqi
itu sudah rahasia umum. Semua santri tahu siapa Diqi, dan aku yakin Diqi pun sudah tahu
sebenarnya dia hanya anak angkat yang diambil abah waktu ngisi pengajian di Malang dulu.
Sebelum ada aku. Cepat atau lambat dia harus mengerti itu. Pasrahkan saja mi, semua takdir
sudah tertulis“ hiburnya tak juga mampu menyurutkan air mataku. “ Tapi dik, tapi bukan
begitu caranya kan. Diqi masih labil masih belum sepenuhnya sadar apa yang harus dia
lakukan setelah tahu dia bukan putra abahnya, bahkan dia bukan putraku, sosok yang pertama
kali dia panggil Ibu. Dia pasti terluka dik, dia pasti merasa pondok pesantren ini bukan
tempat dia harus kembali. “ sanggahku

“ya sudah, sudah masuk waktu Dhuha. Ummi kan suka sekali waktu ini, aku tinggal dulu
njeh.” Aku menganggu. Waktu Dhuhaku yang indah, kuhaturkan segala keluh kesahku ini.
Mungkin tidak ada satu orang perempuan pun diidunia ini yang ingin seperti aku. Masih
teringat jelas dalam ingatanku, ketika abah, mas Shidiq meminangku 20 tahun lalu. Syahdu
sungguh, dia meminangku di depan abah, umma dan seluruh keluargaku di Bandung. Setelah
acara akad dan resepsi, aku memutuskan untk mengikuti beliau dimanapun beliau mengabdi.
Yah akhirnya kami tinggal, disini, dikota kecil di pesisir Pantura mengasuh beberapa santri
amanah dari orang tua mereka. Waktu di awal pernikahan kami amatlah bahagia, hingga
akhirnya kejadian na’as itu pun terjadi dalam satu perjalanan mengisi pengajian di daerah
Semarang, mobil kami mengalami kecelakaan, abah hanya terluka kecil sedangkan aku? Tak
hanya dua lenganku yang harus diamputasi, bahkan rahimku pun harus diangkat dan secara
otomatis aku tidak akan bisa hamil dan memberikan keturunan. Kecewa pasti, aku bahkan
hampir depresi. Keluarga abah dan keluargaku datang silih berganti menjengukku, memupuk
harapanku, tapi harapan yang mana? Aku cacat lahir batin. Aku berada di titik terendah
dalam hidup, bahkan aku sempat pasrah jika seandainya abah mengembalikan aku kepada
keluargaku. Tapi dengan lembut saat aku berbaring lemah di rumah sakit, abah membacakan
ayat dalam al Quran favoritku, al Baqoroh 286 Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa
yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah
kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". Abah
cinta ummi, dan aku terima ummi apa adanya.” “Tapi ummi tidak bisa melayani abah secara
lahir dan batin bah, tanpa tangan.”bantahku dengan suara lemah “ndak papa, nanti minta
tolong mbak mbak untuk ngrewangi ummi.”

Takkan klupakan masa pahit itu, namun waktu terus berjalan. Kami berdua menjalaninya
dengan bahagia hingga akhirnya desakan desakan sosial tentang penerus pondok pesantren
ini membebani abah. Abah memutuskan untuk sowan dulu ke Kyainya di Malang.
Melakukan riyadhoh demi ketenangan hati. Dan ketika beliau kembali bukan hanya sebuah
keputusan yang beliau dapatkan tetapi juga seorang bayi merah yang kami beri nama
Ashidiqi seperti nama abah. Harapan kami, meskipun dia bukan darah daging abah sendiri
dan tak lahir dari rahimku, kami bisa menyayanginya. Tak lama setelah adanya Diqi dan atas
desakan mbah bu yang sekaligus mertuaku, abah akhirnya menikah lagi, dan aku yang
memilihkan perempuan yang menjadi maduku untuk abah. Apakah aku tak sakit hati? Pasti
aku sakit hati untuk kesekian kalinya, namun pada Allah jua semua takdir itu kembali,
keadaanku dan kekuranganku lah yang membuat aku pasrah untuk di duakan. Gadis yang aku
pilih bukanlah gadis sembarangan, maduku tidaklah sejahat seperti cerita orang. Dia Aisyah,
santriwati yang sejak dulu merawatku sejak kecelakaan itu. Dia lah gadis yang mengenalku
lahir dan batin. Saat aku melamarnya untuk abah, dia menangis. Lama aku menanti
jawabanya. Hanya kalimat sederhana ini yang dia katakan “ kalau Ummi ridlo dan ikhlas,
Aisyah mau. Aisyah ingin mengabdi sama Ummi dan abah sekaligus”. Air mataku
membuncah, bukan karena sakit hati tapi karena niatan hati Aisyah untuk ku dan Kyainya.
Dan hingga kini, dalam suka ku abah, Aisyah dan anak ankku lah penyemangatku. Semoga
dimanapun mereka berada dalam lindungan Allah SWT. Dalam patah hatiku, Allah selalu
menggantinya dengan rasa damai yang tiada tara. Aku tahu dan mafhum, aku bukanlah istri
nabi Khodijah, ataupun putri nabi, Fatimah, aku hanyalah Fatma yang menjalani lakonnya,
meskipun tidak sempurna sebagai istri, ibu bahkan guru namun aku yakin tidak ada satu hal
pun yang sia sia diciptakan oleh Allah, meskipun hanya stitik debu.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai