Anda di halaman 1dari 3

Saat Itu Hujan

Baru saja aku melangkahkan kakiku, tepat satu tetes air hujan jatuh di keningku. Saat itu
dinginnya air hujan seakan merambat sekujur tubuhku. Mengingatkan memori yang pedih
dan kelam. Sebuah memori yang harusnya hangat, kini telah binasa. Menghancurkan titik
terdalam pada hidupku. Tawa dan canda kala itu sudah tidak bisa lagi aku rasakan. Aku benci
hujan.

“Nona, kamu menjatuhkan buku ini!” Teriak seorang pelayan toko dari dalam toko buku.
Rintiknya hujan yang membuat sebuah genangan, menumbuhkan kenangan.
Untung saja buku yang barusan ku beli itu belum aku keluarkan dari plastik pembungkusnya.
Aku mengedahkan ke bawah untuk meraih buku itu. Kuulurkan tangan kananku Aku terkejut,
seketika saat air hujan membasahi jemariku. Aku segera menarik pergelangan tanganku. Aku
tidak suka ini. Aku tidak mau hujan menertawaiku hanya karena kebekuan yang aku rasakan
menjalar pada tanganku!
Aku kembali berdiri lalu menatap bendungan awan di langit. Sore itu semakin gelap.
Menelan cahaya. Matahari telah lenyap.
“Puaskan dirimu menghukumku, hujan! Aku akan menunggu hingga kau lelah dan berhenti
bermain-main disini.”
Beberapa menit berlalu hujan tak kunjung reda, dari suaranya dapat kusimpulkan hujan akan
semakin deras. Ku tatap bukuku yang masih tergeletak di pinggir jalan. Hampir
ditenggelamkan air yang menggenang.
Aku khawatir seseorang melewati dan menginjak bukuku yang tidak begitu jelas terlihat.
Untungnya hujan yang lumayan deras ini membuat orang-orang tidak ingin berkeliaran.
Begitu juga di toko ini, belum ada pengunjung lain yang datang setelah aku.
Aku tenggelam pada memori. Hujan sore itu, sepeda, dan rumah yang pernah ku tinggali
bersama keluarga kecilku. Melewatkan hari-hari Bersama Kana sang pemilik senyuman
terindah, pemilik senyuman termanis, senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya. Si
penyuka sajak dan hujan. Hari-hari aku jalani sekarang tanpamu, Na.
Caramu berbicara dengan tanganmu, menganyunkan kata-kata indah sama indahnya tentang
bagaimana kamu melihat dunia. Namun, dunia ini terlalu jahat untuk kamu, Na.
Aku benci hujan. Kita bertemu dikala pertama kali menyapa dan juga dikala kita berpisah.
Dirumah itu, rumah Dimana saksi Kana di sumpah serapahi, di pukul, dijadikan layaknya
pembantu, dan orang yang tak kasat mata.
“Tolong lepaskan aku Ayah, aku bersumpah tidak melakukan apa-apa!” Ucap Kana dengan
Bahasa isyaratnya.
Iya, Ayahnya. Entah mengapa Ayahnya sangat membenci anak sendiri. Kana adalah seorang
anak kandung ia yang selalu mengingatkan pada istrinya yang sudah tiada saat melahirkan
sang anak. Ia sangat membenci bahwa mereka sangat memiliki banyak kesamaan sehingga
membuatnya muak. Ayahnya berpikir istrinya tiada karena Kana
“Omong kosong apa yang telah kamu katakan dengan Bahasa isyarat itu!” pinta Ayah sambil
menarik tangan Kana menuju suatu kamar mandi belakang rumah.
“Kamu sudah melakukan apa saja, hah? Bisakah kau diam sehari saja!”
Tak terduga sang Ayah menindas berkali-kali, memukul hingga lebam, dan memasukkan
sebotol sabun cair ke dalam mulut Kana.
Kana tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia tidak bisa melawan Ayahnya. Ia sangat begitu
sayang kepada Ayahnya dan percaya bahwa ini bukan sebuah hal yang dimaksud oleh
Ayahnya.
Ayahnya mengunci Kana di dalam kamar mandi selama berjam-jam
Entah begitu lama Kana terkurung didalam kamar mandi hingga Seno, saudara tirinya
menyadari dan langsung membawanya ke rumah sakit. Menangani berbagai pemeriksaan dan
operasi kecil karena luka pada badannya.
Setelah mendengar kabar bahwa kamu selamat, aku sangat lega, Na.
Aku mendorong kursi rodamu dan kita berkeliling di taman rumah sakit. Kita berhenti lalu
menatap langit yang kian mendung seperti akan ada rintik hujan yang jatuh.
“Terimakasih kamu telah mengubah hidupku sepenuhnya” Kana tersenyum, dan itu
membuatku ingin menangis. Aku tidak akan merusak malam ini.
Aku memegang tangannya “Kamu adalah anugrah untukku dan kamu orang sempurna
untukku”
“Aku cinta kamu…” ku genggam semakin erat tangannya, bersamaan kalimat itu aku
ucapkan
Lalu beberapa saat kemudian, kurasakan kepala Kana menyenderkan ke lenganmu. Tertawa
kecil.
Aku Kembali menepuk tipis pipinya, “ayo Na bangun, kita masuk”
Tidak ada respon dari Kana, aku gemetar
Aku memeluk lehernya sembari menangis lalu rintik hujan mulai menyentuh tangan yang
digenggamnya. Kini kamu telah tidur untuk selama-lamanya. Selamat tidur pelangiku. Kamu
adalah orang yang kuat dan sekarang sudah waktunya untuk istirahat. Istirahat yang tenang
ya, Na.
Aku masih benci dengan hujan. Namun, sampai kapan aku akan membencinya? Aku teringat
selalu tatapan Kana yang membawa kehangatan di hatiku. Hujan tak selalu buruk bagiku.

Anda mungkin juga menyukai