Anda di halaman 1dari 84

Kata pengantar

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Puji syukur atas rahmat Allah yang karena ridha-Nya saya bisa menyelesaikan novel saya yang
berjudul 'Pengganti di pelaminan'. Tak lupa saya berterimakasih banyak pada pame publishing yang
telah memberi saya kesempatan sehingga bisa menyelesaikan novel ini sebelum deadline.
Alhamdulillah saya juga sangat sangat bersyukur mempunyai ibu yang selalu mendukung apapun
kegiatan positif saya.

Ada beberapa kesulitan disaat menulis novel ini, untuk melanjutkannya masih membayangkan dulu
supaya pas alurnya. Saya berharap novel ini juga membawa hikhmah bagi pecinta literasi. Novel yang
dibumbui komedi semoga menghibur para pembaca.

Jauh dilubuk hati yang paling dalam saya harap kalian para pembaca bisa memetik apa yang ada di
novel ini. Tak ada kata lagi selain saya mengucapkan tetap semangat buat para penulis dipenjuru
dunia. Novel ini juga menceritakan bagaimana kesabaran istri menghadapi sang suami. Akhir kata
dari saya si pena.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.


Blurb

Bening ditinggalkan oleh calon suami pada saat acara akad nikah. Dia dijodohkan dengan adek dari
dosen di kampusnya yang sangat ia benci.

Lalu siapa sangka bahwa dosen yang bernama Kunang Dramasta menggantikan posisi adeknya di
pernikahan. Akankah Bening bisa hidup bahagia dengan dosen dingin sekaligus phobia wanita itu?

Bab 1 (Bulyan dan pertemuan yang tak diinginkan)

Maba itu harus ekstra sabar saat kita dibully habis-habisan pakai kata yang lebih menyakitkan dari
mulut harimau. Karena walau katanya kesabaran itu ada batasnya akan tetapi sabar itu tidak ada batas.
Melainkan kesabaran tiap manusia mungkin yang terbatas. Bila dicoba semoga bisa bersabar lebih
lama.

Namaku Bening, aku mencoba mengikuti beasiswa dan diterima di Baba Elite University (BEU), aku
mengambil jurusan Akuntansi. Ibuku hanya penjual kue, saat ada pesanan saja Ibu buat kue. Tekat di
dada sudah bulat untuk tetap berjuang membahagiakan mereka. Walau sampai saat ini ragaku belum
bisa membahagiakan Ibu.

Hari ke 20 di kampus, tidak butuh waktu lama untuk cukup terkenal di sini. Dalam waktu singkat
mereka mencapku sebagai nenek-nenek pembawa balsem, kadang memanggilku dengan sebutan Miss
balsem. Sakit hati tentu menggeluti maba sepertiku, tapi sebagai maba tidak mampu menangkis
perkataan menyakitkan dari mereka karena sebagian yang mereka katakan nyatanya benar.

Selain wanita penyuka balsem, aku suka banget jurusan akuntansi. Akuntansi asal debit kredit balance
hatiku seperti berdentam-dentam bak merasakan jatuh cinta, hehe.

"Bening beraroma nenek ...."

Kala berjalan di koridor kampus, mendengar sosok yang memanggil dengan nada mengejek. Aku
Membalikkan badan guna memastikan siapa yang hendak memanggilku.

Belum menjawab pertanyaannya, aku sudah kaget melihat mukanya. Muka sok kegantengan dengan
bibir tipis yang menyeringai menunjukkan sikap sombongnya.

"Anda manggil saya?" Kutunjuk raga ini memakai telunjuk.

"Ya, bisa bicara sebentar?"


Aku mengekor di belakang dengan langkah kakinya yang cukup lebar. Ia duduk di bawah pohon
rindang sembari memandang halaman kampus.

"Aku butuh bantuan kamu."

Aneh dengan sikap Dion yang tiba-tiba meminta bantuan. Padahal jelas saja tadi ia mengejekku
dengan sebuah kata yang cukup mengena di hati.

"Hahaha ucul yah, tadi lo ngejek gue, eh sekarang malah ngemis minta bantuan!" bentakku.

"Emang gue ngejek lo dan lo gak bisa mengelak ejekan gue, paham. Itu semua kenyataan, lo suka
bawa balsem ke mana-mana. Ya, kan? Kebanyakan Nenek-nenek yang bawa balsem. So gue gak
salah manggil lo aroma Nenek."

Aku tertegun atas ucapannya. Memang saat ini aku tak bisa berkelit.

"Oke Dion, apa keuntungan gue bantuin lo!" nadaku sedikit meninggi. Aku tidak mau dong ngikutin
titah dia tanpa meraih keuntungan, hehe. Eh, tunggu dulu, kalau Dion nyuruh aku yang macam-
macam. Aku harus berpikir seribu kali buat setuju.

Ia menggaruk kepala tampak kebingungan dari sorot matanya. Mungkin Dion tidak bisa menjawab
perkataanku. Sudah 5 menit ia berpikir dalam otaknya, entah berapa lama lagi aku harus berada di
samping Dion.

"Aku tidak punya keuntungan buat lo."

Mendengar pernyataan Dion. Tawaku pecah, tak peduli puluhan mata menatapku aneh. Sungguh saat
ini pria di sampingku mampu menciptakan lelucon.

"Kamu kesurupan?"

Suara lain terdengar lebih berat dari suara Dion, bisa kupastikan itu bukan suara Dion. Suara itu
menghentikan gelak tawaku, mengubahnya menjadi ketakutan yang menggeluti uluh hati. Entah dari
mana datangnya sosok menakutkan ini. Dahinya mengeryit, ia terkenal sebagai dosen dingin.
Kuedarkan mata guna mencari Dion ternyata ia menghilang.

"Kalau ketawa itu jangan berlebihan. Jangan permalukan kampus ini, paham!"

Sesudah berkata, Pak Kunang pergi mengayunkan kakinya menjauhiku. Keringat mengucur deras,
harusnya maba sepertiku bisa lebih berhati-hati dalam bertindak. Jangan sampai mendapat masalah di
kampus ini.

"Dorr ....!"
"Is, kamu ngagetin deh."

"Tadi aku lihat kamu ditegur sama Pak Kunang, yah," ucap Intan.

"Jangan dimasuki ke hati yah, Pak Kunang memang seperti itu pada semua wanita. Katanya sih dia itu
phobia wanita," tukas Intan membuatku tak tahan menahan tawa.

"Hahaha ... mana ada cowok dikasik cewek cantik nolak? Tak mungkin di jaman sekarang masih ada
kata phobia wanita." Aku meneruskan tawa sampai mengeluarkan bunyi dut dut, membuat mata Intan
membulat lebar.

"Kamu kentut yah, Bening ... tahan dong kentutnya." Intan mengibas-ngibas wajahnya dengan tangan.

"Sorry Tan, kebablasan."

"Oke, kembali ke laptop, yah Bening. Jadi, menurut isu yang beredar dulu Pak Kunang mempunyai
kekasih yang teramat ia cintai. Namun, cinta mereka kandas saat wanita yang Pak Kunang cinta
kecelakaan."

Tawaku berubah menjadi kepedihan. Bulir bening jatuh meluruh di pipi, kisah cinta tragis yang Intan
ceritakan membuatku cukup menghimpit dada jadi terasa sesak. Cengengnya aku saat mendengar
kisah cinta yang begitu memilukan. Bahkan membaca novel saja aku harus memilah dulu, aku takut
kalau sampai membaca novel yang ujungnya sad ending.

"Kok kamu yang nangis sih, Bening? Harusnya yang sakit itu Pak Kunang bukan kamu."

"Memang kamu gak sedih apa ... Tan? Coba kamu pikir kalau kamu berada di posisi Pak Kunang."
Perkataanku cukup membuat Intan menganga. Kulihat mata Intan nanar dan dipenuhi genangan air
mata, air mata Intan mengucur deras. Kami berpelukan dan berada dalam isak tangis yang sama, tak
peduli pasang mata yang melihat kami dengan tatapan aneh.

**

Dalam ruangan kelas, aku dan Intan sama-sama diam. Larut dalam pemikiran masing-masing. Kalau
saja berada dalam posisi Pak Kunang, sungguh aku tak sanggup membayangkan betapa lecetnya
hatiku.

Sosok tinggi dengan hentaman kaki masuk ke ruangan. Deg! Ternyata sekarang mata kuliah yang
akan diajarkan oleh Pak Kunang. Semua murid diam tak berani membuat suara bising, karena Pak
Kunang sangat anti kebisingan.
Lagi-lagi air mataku luruh saat melihat wajah Pak Kunang yang seperti tidak ada beban. Hati begitu
kagum mendapati dosen seperti dia, bagaimana mungkin ia begitu tegar dalam menjalani hidup tanpa
kekasihnya. Lamunanku berlanjut pada wajah mulus Pak Kunang yang terlihat bekas air mata.

Air mata mengucur deras, di sini aku seperti membaca novel yang endingnya ngegantung. Kisah cinta
Pak Kunang benar-benar tragis, teringat perkataan Intan tentang phobia Pak Kunang, hati ini berdesir
perih. Tangan tergenggam kuat menahan suara tangis yang mungkin akan keluar dari bibir mungilku.

"Kamu kenapa?" Aku bergeming, ternyata suara tangisku terdengar. Kulihat Intan mengedikkan bahu
seakan mengisyaratkan sesuatu, mungkin Intan ingin bertanya aku kenapa.

"Jangan menangis bagaikan anak kecil yang menciptakan kebisingan, paham!" bentak Pak Kunang
dengan suara meninggi serta rahangnya yang mengeras, membuatku dikeluti rasa takut, tadinya aku
sangat prihatin atas apa yang menimpanya. Namun, prihatin yang mulai menggelut ini aku buang ke
tong sampah saja, buat apa prihatin pada guru dingin. Setelah sadar menangisi sosok yang sama sekali
tidak berprasaan, aku izin keluar, lama-lama gak betah berada di kelas.

"Saya izin keluar sebentar Pak."

"Oke, tapi jangan harap saya ngasi nilai kamu!" Lagi-lagi bentakan itu membuatku semakin benci
pada Pak Kunang.

Bersambung.

Bab 2 (Melihat sosok dingin di koridor kampus)

Oke ini tidak terlalu buruk saat dosen dingin memarahiku kemarin. Semoga saja hari ini nasibku baik.
Selama masuk kampus dan mengambil jurusan Akuntansi di BEU. Aku belum punya musuh, maka itu
lah salah satu keberuntunganku, hehe. 

Hanya saja aku mendapat julukan Miss Balsem. Harus kuat iman, serta membentengi hati supaya
tidak membalas cacian mereka yang kadang tepat menghunus jantung.

Hari ini hujan begitu mengguyur kampus. Suasana mendingin lebih kunikmati daripada harus
berpapasan or bertemu dosen beruang es. Kejam sekali kalau di pikir-pikir aku menyebutnya beruang
dalam hati. So, tak apa yang penting cuma dalam hati kan?

Kebiasaan muncul saat hujan semakin deras. Aku paling suka makai balsem apalagi kalau cuaca
dingin seperti ini.
Berlari sekuat tenaga menuju toilet. Sesampainya di toilet ada wanita berbisik nyaring. Hah?
Emangnya aku akan termakan oleh gosipan renyah mereka? Tentu saja tidak. Basi sekali ternyata
gosipnya tentang aku.

Nyaman sekali saat kuusap dileher bahu. Kuhirup dalam-dalam aroma balsem yang menenangkan.
Aroma ini lebih menyegarkan dibandingkan mencium aroma Pak Kunang. 

Lah emangnya aku pernah nyium aroma Pak Kunang? Ada-ada saja aku ini.

Menghempaskan segala pikiran negatif seraya membuka pintu menyambut hujan yang menggelegar.
Gempita petir bersarang di atap kampus. Rasa takut pun muncul. Napasku memburu aku segera keluar
dari toilet.

Setengah berlari, berfikir menggunakan taxi online. Kalau ojek nanti aku kena hujan. Namun,
ongkosnya cukup mahal. Duh aku kok jadi orang bingung gini sih! Arrghh ....

Untung aku selalu sedia payung sebelum hujan. Ini kesempatan untuk ....

Baru saja ingin melayangkan kaki melangkah menyentuh derasnya hujan. Belum kaki jatuh ke tanah
basah, netraku menangkap sosok dingin di sekitar koridor.

Kuhampiri enggak yah? Pikirku.

Pak Kunang menggigil. Merasa iba kalau aku meninggalkannya. Tapi, berhadapan dengannya
tubuhku bisa menegang.

Oke untuk kali ini saja Bening baik padanya, gumamku.

Gontai kumelangkah maju. Setelah berada di depannya. Ia seperti tidak merasakan ada seseorang. Pak
Kunang memeluk tubuhnya dengan erat. Bibirnya pucat. Matanya pun tinggal segaris. Oh ini sungguh
pemandangan yang memilukan.

"Pak? Ke--kenapa belum pulang?" tanyaku agak serak. Sangat takut kalau ia tidak akan menggubris
pertanyaanku.

"Si--siapa di sana?" Ia mulai membuka perlahan matanya. Lalu ia menyodorkan ponsel kepadaku.

Mataku mendelik dan apakah ini hadiah untukku? Tentu tidak. Apa sih yang aku pikirkan. Ini kan
ponselnya.

"Ini?"

Pak Kunang malah menarik tanganku. Dadaku berdegup kencang saat wajahku mendekat padanya.
Oh, ini memalukan! Untung suasana kampus terlihat sepi.
Masih hening, terdengar hanya detak jantungku yang berbunyi dan suara arlogi Pak Kunang.

Aku segera bangkit, tapi saat sebelum aku bangkit. Ia mulai membuka suara.

"Tolong telepon Ikhsan. Dia supir saya ... bawa saya pulang." lirihnya. Suaranya terdengar parau.
Sepertinya ia lagi sakit.

Segera membangkitkan diri. Tak tahan merasakan aroma tubuhnya yang maskulin. Tadi itu lebih
parah dari gelegar petir.

Kucari nama Ikhsan di ponselnya dan kutekan tombol hijau, dan sudah beberapa menit aku telepon.
Tetapi hasilnya nihil. Ini tidak bisa dibiarkan. Pak Kunang terlihat sangat ketakutan. Apakah dia
phobia petir atau hujan? Entahlah, selain phobia wanita. Aku belum tahu banyak tentang phobianya.

"Ahaaaa ...." Aku menjerit seketika Pak Kunang mendelik dan menatapku sinis.

Untung dia sekarang lagi kedinginan. Jadi, aku tidak takut. Aku seakan mendapatkan lampu di atas
kepalaku. Ya, aku akan memberikan Pak Kunang balsem favoritku.

Kubuka tas agak lusuh dan kurogoh balsem bewarna hijau. Setelah terbuka, aku bingung mau
mengoleskannya di bagian mana ya?

Tanpa berpikir panjang dan tanpa meminta persetujuannya langsung kuoleskan dileher Pak Kunang.
Ia mencengkeram pergelangan tanganku.

"Kamu ma--mau apa hah?"

"Diam dan tenanglah Pak. Sa--saya hanya ingin mengoleskan balsem," ucapku sembari mengoleskan
balsem di lehernya. Namun usahaku gagal. Pak Kunang menjauhkan tanganku dari lehernya. Oke ini
uji nyali. Terus saja tanganku menerobos lehernya.

"SAYA TIDAK SUKA BALSEM!" Pak Kunang menjerit sejadi-jadinya. Aku panik bagaimana kalau
aku dikira menganiaya dosen?

"Oke Pak, sudah cukup kok!"

"Bening! Nilaimu saya kurangi." Suaranya tidak terdengar tegas. Jadi, aku bisa mengemis nilai
padanya nanti.

"Saya phobia suara petir ... gimana Ikhsan sudah kamu telepon?"

"Oke Pak, saya chat saja. Ikhsan tidak mengangkat telepon. Mungkin signal di sini buruk."

Ya, signal di sini memanglah buruk. Seburuk ragaku yang  bertemu dirimu, Pak, gerutuku.
"Bantu saya berjalan. Saya takut petir itu menyambar. Badan saya pun menggigil karena saya tadi
kena hujan."

"Tidak, Pak! Kita bukan muhrim," jawabanku sudah seperti wanita sholehah. Tapi semoga saja
Aamiin ya Allah.

Pak Kunang bangkit berjalan tertatih-tatih. Melihat pemandangan yang mengenaskan. Aku tidak tega
dan merasa iba. Aku merasa menjadi tokoh antagonis di sini.

Kuayunkan tangan untuk menyentuh tangan Pak Kunang. Namun, aku berubah pikiran. Aku takut
menyentuh tangan beruang es ini. Aku tidak boleh gegabah dalam bertindak, dia bukan muhrimku.

"Bapak masih kuat berjalan, kan?" tanyaku untuk memastikan.

Ia menganggukkan kepala sambil memeluk tubuhnya.

Aku buka payung yang ada ditas. Payungnya cukup kecil untuk kami berdua. Aku bawa payung lipat,
bagaimana ini? Sedangkan Pak Kunang bukan anak kecil. Apakah muat dipakai berdua?

"Kamu mikir apa?" tanya sedikit melirikku.

Rasanya tidak mungkin aku bilang kalau payung ini tidak akan muat. Kasian ia berdiri dengan tubuh
menggigil. Kutahan ketakutan berdekatan dengannya. Menggigit bibir bagian bawah guna menahan
panas dingin yang menjalar.

"Ayo ...," ajakanku tidak ada penolakan darinya.

Sepertinya ia benar tidak enak badan saat ini. Kami berdua berada dalam satu payung. Aku mengekor
di belakang, biarlah tubuhku terkena hujan. Daripada harus menempelkan tubuh ini padanya.

Terasa tubuhku mulai menggigil, padahal tadi sudah mengoleskan balsem. Mengapa tidak ngefek?
Rasanya hujan ini sangat lebat. Bibirku gemetaran tak tahan menahan bulir-bulir hujan.

Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat diriku. Kepalaku langsung tertunduk saat mendapati ia
yang tengah menoleh. Entah rasa canggung itu bersarang di hati. Aku tak sanggup melihat wajah
dinginnya.

"Bening! Kamu niat gak sih bantuin saya?"

Kenapa suara Pak Kunang terdengar jauh? Astaga ternyata aku malah berhenti berjalan dan
membiarkan Pak Kunang berjalan lebih dulu. Tubuhnya basah terkena guyuran hujan. Segera
kuberlari mendekatinya. Namun, entah apa yang kuinjak sampai aku jatuh.
Mulutku terasa penuh tanah. Aku berusaha berdiri ternyata tenagaku tidak sanggup. Badanku terasa
gemetar. Kepalaku tiba-tiba pusing dan mataku berkunang-kunang.

"Bening ... Bening bangun ...." suara seseorang yang terakhir kudengar dan semua berubah menjadi
gelap.

Bersambung.

Bab 3 (Dunia kamar yang berbeda)

Kupegangi kepala yang sakit dan berdenyut. Entah apa yang terjadi. Membuka perlahan mata.
Suasananya berbeda, aroma kamar juga beda. Ini seperti bukan kamarku? Lemari yang bewarna
gelap. Lampu tidur dan semua perabotan mewah. Ini kamar siapa? Apakah aku sudah mati dan berada
di surga? 

Aku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Oh iya aku kan mau mengantar Pak Kunang
pulang? Kenapa bisa berada di kamar asing?

Berusaha bangkit dan berkaca di kaca berukuran besar, badanku terlihat jelas. Wah aku terlihat sangat
memukau dengan gamis baru merah jambu. Kerudung yang menjuntai. Aku seperti bidadari yang
turun dari kayangan, hehe.

Tercium aroma kamar yang berbau khas kamar cowok. Hah kamar cowok? Berarti aku sedang berada
di kamar siapa? Dan tunggu, siapa yang menganti pakaianku?

"AAAA ...." Aku menjerit diiringi tangisan yang meraung-raung. Aku seperti kesurupan,
Kulemparkan semua barang yang ada di dalam kamar dan tak terkecuali vas. Hingga pecahan vas itu
menyakiti kakiku. Aku tak peduli. Yang kupedulikan hanya martabat harga diriku. Oh ya Allah
ampuni hamba.

"SIAPA YANG TELAH MELECEHKANKU!"

"Ada apa ini Bening!" Suara seseorang membuatku mantap. Pasti dia yang telah melecehkan!

Kuayunkan bantal guling ke mukanya.

"STOP!!!" hardiknya. Setelah melihat wajahnya. Sungguh keterlaluan! Aku memang Maba. Tapi,
tidak boleh ada satu pun yang berhak menyentuh tubuhku. Termasuk dia!
"Manusia Biadab! Mana pakaian saya! Apa yang kamu lakukan? Hiks ...." Aku menangis tersedu-
sedu sambil menunjuk muka sok polosnya itu. Apa yang ada di pikirannya? Kulihat rahangnya
mengeras dengan sorot mata yang menyiratkan sejuta tanya.

"Kamu dosen Biadab! Kamu pantas dihukum! Saya benci ...."

"Stop talking. Bening! Tenangkan dirimu!"

Aku berasa tidak mempunyai tulang, tubuhku lemas, seperti tak punya tenaga apapun. Kubersandar
pada ranjang empuk sambil beringsut di lantai. Kakiku gemeteran saat diselonjorkan.

Ya Allah apa yang terjadi? Seharusnya kejadian ini tidak menimpaku. Apa yang aku katakan pada
Ibu?

Cairan bening semakin deras membasahi pipi. Menutup muka dengan kedua telapak tangan. 

Aku sudah tidak suci lagi! Astagfirullah!

"Non ...." Suara lain membuatku berdiri. Mataku menangkap wanita paruh baya. Entah siapa dia.

"Tenang, yah. Bibi yang ganti pakaian Non. Non masih ingat kan? Non itu terjatuh dan pingsan. Jadi,
Den Kunang menyuruh saya untuk menggantikan pakaian Non yang basah. Dan kenalkan saya Bi
Ais, ART di rumah ini."

Aku merasakan ada petir menyambar sekujur tubuh. Bisa-bisanya aku berkata kejam pada dosenku.
Bagaimana kalau dia menghukumku? Belum lagi kamarnya kubuat berantakan bagai kapal pecah. Ini
sungguh memalukan!

"Bibi, serius, kan? Bibi, tidak bohong?"

"Mana mungkin Bibi berbohong, Non? Bibi bersumpah!" 

Aku semakin yakin bahwa wanita paruh baya ini tidak berbohong. Panas dingin merasuk ke
jantungku. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini atau menggantung diriku di pohon stawbery.

"Non, istirahat kembali, ya, biar Bibi bereskan semua barang yang berserakan ini." 

"Tidak Bi, Biar gadis tak tau diri ini saja yang bereskan!" bentakkan Pak Kunang mengagetkanku.

Aku meneguk ludah beberapa kali. Sungguh pria ini menyusahkan. Dengan tangan bergetar aku
tumpuk pecahan vas. Tentu saja pecahan itu merobek sedikit tanganku. Aku harus kuat, aku tidak
boleh menangis. Menahan perih di tangan layaknya tidak terjadi apa-apa.
Sepertinya dosenku masih mengawasi di belakang. Apa aku bilang kalau tangan dan kakiku perih?
Tidak! Aku tahan kesakitan ini. Darah semakin mengalir, dengan jalan tertatih, aku menata barang
yang berserakan.

Pak Kunang langsung menghampiriku. Ia terlihat panik melihat darah yang berada di tanganku.

Tanpa suara, Pak Gatan mengambil kotak P3K dari laci mejanya. Tangan kekar memegang
pergelangan tanganku. Sebelum ia membalut luka, segera kutepis tangannya.

"Saya tidak butuh bantuan!" Ya sekali-kali guru angkuh seperti dia harus dikasi pelajaran. Sebab
karena dialah aku jadi pingsan.

Sorot mata tajamnya tak mampu kulihat. Aku duduk di kasur dan segera membalut tanganku sendiri.
Namun, usahaku gagal. Perbannya jatuh. Aku tak tahan menahan rasa sakit di kaki yang terkena
pecahan vas.

"Jadi kakimu juga ada darahnya?"

Aku tidak menggubris pertanyaannya. Lalu Pak Kunang langsung melihat kakiku yang berdarah dan
melepas pecahan vas yang ada dikakiku.

"AAAA ...." teriakku sambil megang kerah leher milik Pak Kunang. Maluku bertambah 360 derajat.

"Tenanglah! Jangan keras kepala!"

Oke aku mengalah, aku membiarkan dia meneteskan obat merah di kaki serta tangan. Tak luput ia
balut perlahan. Embusan napasnya memburu, begitu khawatirkah dia kepadaku? Tidak mungkin dia
khawatir. Ya, dia kan phobia wanita.

Pipiku semakin memanas menahan malu, saat Pak Kunang membereskan semua barang yang aku buat
berantakan. Rasanya aku ingin meminta pertolongan seseorang untuk kabur dari sini.

"Mau ke mana?"

"Mau pulang, Pak," jawabku datar.

"Jadi ini sikap maba jaman sekarang? Sudah di bantu malah tidak berterima kasih." 

Kubalikkan tubuh dan melihat ekspresi wajah Pak Kunang sangat mengerikan. Janggut tipis, kumis
tipis itu membuatku bergidik ngeri. Bisa saja bulu itu lebat dan merubah Pak Kunang jadi srigala. Aku
cekikikan membayangkan itu. Tanpa di sadari Pak Kunang mendekat. Dengan gencar kumenjauh.
Namun naas, kakiku kehilangan keseimbangan dan ....
Bruk!

Aku jatuh ke lantai. Rasanya Sakit tapi harus kutahan daripada Pak Kunang berani menyentuhku? Tak
bisa kubayangkan kalau hal itu terjadi.

Ia mengulurkan tangannya dan terlihat jelas urat-urat bernadi disana.

"Tidak Pak! Saya akan coba berdiri sendiri." Ia cukup terperangah mendengar perkataanku. 

"Kamu tinggal di sini saja. Besok saya antar kamu pulang. Bagaimana? Tenang saja saya akan tidur di
kamar bawah." Setelah aku berdiri berpegangan pada tembok kamar. Ia membuka suara.

"Tapi gimana dengan orang tua saya Pak? Saya takut mereka khawatir ...." Kupasang muka memelas.

"Saya akan telepon orang tuamu. Tenang saja Bening, nanti malam ada Mama saya, kok."

"Kalau Ibu saya marah bagaimana, Pak?" tanyaku.

"Kamu ini bawel sekali ya! Kita lihat saja nanti!"

"Baiklah Pak." Tidak ada cara lain selain mengiayakan peemintaannya.

Ia membentakku lalu meninggalkanku. Aku takut satu atap dengannya. Mimpi apa aku semalam?
Padahal aku bermimpi dikerjar kecoak.

**

Menjelang sore. Asisten rumah tangga Pak Kunang sangat baik, ia memberikanku mukena.
Perhatiannya sangat membuatku nyaman di sini. Kecuali kalau ada Pak Kunang.

Setelah kuberi nomor telepon ibu pada Pak Kunang. Ia menelpon Ibuku. Biasanya Ibu sangat khawatir
kalau pergi gak bilang-bilang. Namun, mendengar penjelasan Pak Kunang. Ibuku seperti terhipnotis.
Kupikir ia pria yang sangat kaku, tapi ia malah menelpon Ibu dengan nada tempo yang pas. Eist dah
emangnya Pak Kunang lagi menyanyi? Ia menelpon Ibu menggunakan video call. Kulihat ia
menyunggingkan senyum pada Ibu. Sungguh Pak kunang untuk saat ini menjadi malaikatku.

Selesai menelepon orang tuaku. Pak Kunang kembali murung. Ia bisa menampakkan lengkungan
senyumnya ke orang lain. Namun, aku tahu ia sangat terpuruk.

"Mama saya masih datang jam sembilan. Ia wanita pekerja keras. Setelah Papa pergi, Mama menjadi
lebih kuat. Tapi saya yakin Mama menyimpan kepedihan," kalimat terakhir yang ia ucapkan terdengar
serak.
"Jadi ini edisi curhat, yah?" Aku malah hendak meledeknya.

Mata Pak Kunang membola. Tangannya bergetar. Pipinya lucu sekali, sepertinya ia menahan malu.
Aku sukses meledeknya.

Ia seperti anak kecil yang ngambek. Ia pergi dari kamar. Aku meringkuk dalam selimut. Aku
menguap dan hampir terlelap.

"Bening?" Aku kaget saat pria itu kembali.

"Hah? Bapak kembali ngapain?!"

Ia memberi kode supaya aku melihat apa yang ia bawakan. 

"Wah, sup ayam ...."

"Kamu suka? Atau kamu alergi?" tanyanya datar. Aku tidak suka pertanyaanmu Pak!

"Sangat suka!" 

Aku mendelik saat sendok ditangan Pak Kunang mengarah padaku. Apa aku mau disuapi seperti anak
kecil? Apa yang ada dipikirannya?

"Saya bi--bisa sendiri, Pak!"

"Yakin?" tanyanya seakan meledek. Ia tersenyum menyeringai.

"Ya ...." Sial sebelum aku berucap ia malah menyuapiku. Terpaksa aku kunyah perlahan. Suapan
kedua, ketiga dan seterusnya aku melahapnya.

"Hahaha makanmu belepotan, Bening!"

Mataku berbinar saat melihat Pak Kunang tertawa lebar. Bibir tipisnya sangat indah. Baru kali ini aku
melihat pria yang katanya phobia itu tertawa. Seketika diriku mematung memperhatikannya. Begitu
putih wajah Pak Kunang. Setelah sadar aku kepergok memerhatikan. Aku langsung buang muka
menatap jam beeker di samping ranjang.

"Tunggu ...."

Ia keluar, entah mau kemana dia. Dan langsung balik dengan segepok tisu di tangannya. Dadaku
berdetak jauh lebih kencang saat ia mulai mengusap mulutku dengan tisu. Aku merasa bersalah, ia
memperlakukanku begitu hangat.

Bersambung.
Bab 4 (Jadi mereka saudara?)

[Inikah takdir jodohku?]

Mengetik kata-kata konyol itu di memo ponselku. Seketika aku terkekeh karena ulah sendiri. Bisa-
bisanya mengetik hal yang konyol.

Dreeet!

Ada yang ngechat nanyain kabarku. Siapa lagi kalau bukan Intan.

[Kamu kenapa pingsan? Sorry saat aku mau ke sana eh malah Pak Kunang membantumu.]

[Mungkin aku lagi kedinginan saja.] Balasku singkat di chat.

"Ehem ...," dehaman seseorang mengagetkanku. Hampir saja ponselku jatuh. Apa dia tidak tahu kalau
aku jenuh?

"Ponselnya ditaruk dulu ya... tanganmu kan masih perih."

"Emm ...." Lidahku kenapa? Kok kelu banget sih.

Pak Kunang langsung mencabut ponsel yang kupegang dan menaruhnya di saku celananya.

"Loh? Balikin, Pak!"

"Sudah, besok saja saya balikin," jawabnya masih datar. Entah kenapa aku gak suka nada datarnya.

Kenapa aku malah repot mengurusi jawabannya. Lama-lama diri ini merasa aneh.

Suara pintu digedor kuat oleh seseorang yang entah siapa.

"MAS! MAS! BUKA PINTU!"

Suara seseorang yang tengah menggedor pintu. Siapa ya? Apa tidak diajarkan kesopanan? Mengapa
sampai menggedor seperti itu? Ok, aku terlalu banyak bertanya dalam hati.

Mataku terbelalak lebar bak kelelawar cari mangsa, saat seseorang masuk. Wajah tak asing lagi
dengan kumis tipis yang tercipta. Dia adalah Dion si bocah tengik. Ia melangkah memandang heran
Pak Kunang. Ada hubungan apa mereka?
"Mas! Kenapa bawa Bening kesini?" tanya Dion.

"Bening enggak enak badan. Jadi, Mas bantuin dia," jawab Pak Kunang.

"Cewek Balsem aja ditolong!"

Bisakah ucapannya tidak kasar? Atay bisakah dia perhatian sedikit saja dengan temannya? Kenapa
sikapnya sangat cuek?

"Jadi kalian ini ...."

"Saudara." Mereka menjawab kompak sekali.

OH SAUDARA? 

Dalam hatiku rasanya aku ingin berteriak dan aku tidak percaya itu. Secara Pak Kunang pria yang
disiplin dan Dion entahlah aku tidak suka gayanya.

"Aku tidak menyangka kamu ...."

"Kenapa Bening? Kenapa tidak dilanjutkan? Karena penampilanku ya?" ucapnya sambil
mempelototiku seperti aku melakukan kesalahan yang fatal.

Dion sensi sekali hari ini kalau menjawab pertanyaannya nanti malah tambah runyam. Mending diam
saja deh.

"Kok kamu tidak menggubris pertanyaan gue? Hah!"

Lagi-lagi Dion membentak dan seperti orang kesurupan. Ia tidak tahu apa kalau tangan dan kakiku
nyeri.

"Cukup Dion! Kamu ini kenapa? Liat dia sakit tolong jangan berisik!" Pembelaan sang pangeran tua
itu membuatku cukup menganga. Untung saja air ludahku tidak jatuh. Hampir saja tadi jatuh. Kalau
sampai begitu, bisa-bisa mereka berdua akan menertawaiku seperti kancil dan harimau yang sedang
akur.

"Berisik kata Mas? Dengan gampangnya Mas bawa wanita lain ke kamar Mas! Apa jangan-jangan
Mas mau menghina Dion karena belum juga punya pengganti Diana? Diana memutuskan Dion itu
semua karena Mas bertengkar dengan Tiara yang menyebabkan Tiara kecelakaan!"

"Stop!" Mata Pak Kunang berubah menjadi nanar.

Ada Drama apalagi ini? Aku tidak sanggup melihat pertengkaran ini. Mengapa Diana sampai
memutuskan Dion? Tiara itu ada hubungan apa sama Diana?
Pak Kunang seperti membuat ancang-ancang untuk menampar Dion. Dion langsung memejamkan
mata dan sukurlah aku bisa menangkap tangan pria dewasa itu yang hendak menampar adiknya.
Walau dengan rasa sakit yang ada di kaki, akhirnya aku bisa menangkap tangan Pak Kunang.

Dion membuka mata, mungkin ia sadar kenapa tangan Pak Kunang tak kunjung tiba di pipinya. Mata
Dion membulat kala aku masih memegang tangan Pak Kunang. Dosenku malah memandangku
dengan tatapan amarah. Semoga aku tidak dikuburnya hidup-hidup.

Ya, Allah ... bantu Bening. Selamatkanlah Bening ....

"Bapak tahan emosi ...." Aku berusaha melembutkan suaraku. Walau sebenarnya suaraku tak
selembut para penyanyi, hehe.

"Jadi kamu bela dia? Dia yang jelas-jelas mencaci saya. Padahal kecelakaan itu murni kecelakaan.
Saya putus dengan Tiara pun karena ada fitnah yang mengatakan saya berselingkuh!"

"Bukannya saya membela dia, Pak. Tapi, kalau sesama saudara itu sama-sama melakukan tindak
kekerasan. Kapan saudara itu akan berdamai? Saya tanya kapan Pak?!" Nadaku sedikit meninggi.
Membuat Pak Kunang menurunkan tangannya.

Dion masih menganga atas perkataanku. Well, mungkin dia pikir aku baik dan jadi pahlawan
kemaleman untuknya.

Hahaha ... emang ada pahlawan kemaleman gitu?! 

"Setiap saat saya memberi penjelasan pada Dion, Bening! Namun, dia hanya bisa menyalahkan saya
saja ...," suara Pak Kunang terdengar begitu pilu. Ia sepertinya akan menumpahkan air mata.

"Sudah Pak. Bapak pergi dan istirahat saja. Biar saya yang bicara sama Dion!" tegasku.

"Bicaranya jangan di kamar, tapi diluar saja. Kamu bisa kan berjalan keluar pelan-pelan. Saya masih
ada tanggung jawab sama orang tuamu buat ngejaga kamu. Enggak baik kalau berduaan di dalam
kamar."

Perkataan pria dewasa ini membuatku mematung. Biasanya aku takut dengan hal yang berhubungan
dengan dia. Namun, aku merasakan hal yang berbeda. Aku merasa jadi tuan putri yang sedang dijaga
pangeran.

Arrrgghh! apaan sih aku!

"Bukankah kalian dari tadi di kamar berduaan!" bentak Dion.


"Dion! Aku hanya sebentar. Jangan bilang kalau aku ini orang yang mesum!" bentak Pak Kunang.

"Mana aku tahu? Semua perlu bukti!"

"DION!!!" Aku dan Pak Kunang menjerit serentak. Dion sangat jail. Aku tidak suka cara dia
memandangku.

Pak Kunang berpesan pada Dion untuk tidur di bawah. Namun, aku masih mau bicara sama Dion.
Kulihat Pak Kunang sedang mengintip. Dia sudah seperti orang tua yang menjagaku.

"Dion ... kamu harus ikhlas. Mungkin Diana itu bukan jodohmu. Kamu jangan nyalahin Masmu
terus," ucapanku.

Dion mencerna ucapanku enggak yah? Berapa lama lagi aku berdiri seperti patung begini?

"Aku berusaha Bening. Selalu berusaha ikhlas. Hiks!" Mataku membola saat Dion yang kukenal
pembangkang. Ternyata ia menyimpan kedukaan yang mendalam.

"Makasih kamu sudah menghalangi Mas buat menamparku. Selama ini tidak ada yang membantuku.
Mama juga diam saat Mas menamparku. Aku merasa anak yang paling tidak berguna, hiks!"

Tangisan Dion semakin pecah dan terdengar begitu memilukan. Kulihat di tangga, Pak Kunang masih
menguping. Ia meneteskan air mata juga. Sebenarnya mereka egois. Mereka saling menyayangi hanya
saja mereka gengsi.

"Dia menyayangimu Dion. Percayalah!" Tidak terasa aku menyunggingkan senyum. Aku tidak tau
senyumku manis atau pahit. Yang jelas hanya ingin menenangkan hati Dion.

"Bagaimana kau tahu?" Ah ia malah menanyakan keadaan tahu. Ya kenapa dia gak ubah kalimatnya
menjadi bagaimana kau tempe? Haha.

"Dia menamparmu karena dia masih menyayangimu. Kalau kamu salah pasti dia menamparmu untuk
mengingatkan kesalahan. Coba kalau orang tidak sayang kamu, pasti orang tersebut membiarkan
kamu menjadi anak nakal dan tidak memberimu petuah. Jadi, jangan artikan tamparan itu kekerasan.
Kamu anak cowok, pasti kamu kuat ditampar. Dia tidak akan membunuhmu dengan tamparan.
Melainkan dia mendidikmu dengan tamparan. Segitu paham?"

Dion malah terkekeh dengan petuahku. Apakah aku kurang pandai dalam memberi petuah? Kulihat
Pak Kunang memberi jempol padaku. Apa artinya aku akan lulus tanpa tugas-tugas darinya? Haha
tidak mungkin. Tapi aku sangat berharap itu.

"Aku sedikit bisa mencerna. Tapi, aku selalu gengsi kalau aku yang salah. Yang jelas thanks atas
malam ini kamu membuat hatiku tenang."
Sukurlah Dion sepertinya bisa sedikit mencerna ucapanku. Aku baru ingat bahwa Dion pernah
meminta bantuan padaku. Entah apa yang harus aku bantu.

"Kamu kenapa Bening? Kok bengong?" Dion bertanya. Aku hanya menggeleng.

"Bening, kamu istirahat ya!" 

Tiba-tiba Pak Kunang menarik tangan Dion, dan membawanya jauh dari hadapanku.

Bersambung.

Bab 5 (Ternyata tante adalah sahabat ibu)

Merasakan aroma maskulin yang menyeruak menyebar di rongga hidung. Memeluk guling yang
terasa menghangatkan. Baunya seperti aroma sosok yang tak asing, seperti Pak Kunang. Apakah
setiap ingin tidur pinguin dingin itu memakai parfum? Sampai aromanya melekat di guling. Setelah
membuka mata betapa kagetnya diriku mendapati mata tegas, rahang kokoh dan wajah tampan yang
menyiratkan tanda tanya. Di depanku ia berdiri bersidekap. Detak jantungku tiba-tiba tak beraturan.
Mungkin saja tadi ia tengah memerhatikanku yang sedang memeluk gulingnya dengan erat.

"Kamu tidak mau salat subuh?" Pertayaannya datar, dingin dan membuat bulu kuduk merinding.
Langsung saja kubangkit dari tidur, mengubah posisi menjadi duduk. Sambil menunggu apa yang mau
ia bicarakan. Kumasukkan anak-anak rambut yang menyebul dari jilbab.

Seketika mengingat saat memeluk gulinya. Tangan terasa lemas tanpa tulang, bisa-bisanya tadi
bertingkah memalukan dengan memeluk guling Pak Kunang.

Saat kepala tengah tertunduk, menahan malu yang bersarang. Pak Kunang melemparkan mukena.
Bisakah ia memberi mukena ini tidak kasar? Segera kuberanjak menuju kamar mandi guna
mengambil wudu'.

Air mengguyur muka. Bayangan Lelaki tegap itu masih terngiang di benakku. Seharusnya dia tidak
main masuk kamar, sembarangan. Walau memang kuakui kamar ini miliknya. Namun, ia harus tau
sopan santun dan bahwa yang di dalam ini bukan manusia biasa melainkan bidadari tak bersayap,
hehe.

BRAKK BRAKK
Pintu kamar mandi digedor kuat. Siapa sih yang menggedor pintu? Sudah tau ada orang. Bikin
moodku semakin gak karuan aja.

"Bening cepetan!" Lagi-lagi suara dosen itu.

"Iya Pak, i--ini saya mau ambil wudu'," ucapku geram saat Pak Kunang gak sabaran. Ternyata selain
begitu dingin. Ia tidak sabaran dalam sesuatu.

"Mau ambil wudu'? Lah tadi kamu ngapain aja di dalam! CEPETAN!"

Is orang itu bikin darah tinggiku kumat deh. Ah, emangnya aku punya darah tinggi? Gara-gara dosen
absurd jadi gak konsen deh. Eh bye the way barusan melamunin dia. Gawat kalau sampai dia
mengintrogasi dengan pertanyaan yang akan membuatku mati kutu.

Membuka pelan-pelan pintu kamar mandi. Lalu Pak Kunang langsung menerobos masuk kamar
mandi. Bingung dengan sikapnya yang keburu, mungkinkah dia mau berak?

Setelah selesai salat. Memanjatkan doa-doa pengharapan. Bermunajat pada Allah Yang Maha Kuasa,
semoga mendapatkan jodoh yang beriman, setia dan berakhlakul kharimah. Aku juga berdoa agar bisa
membahagiakan ibu. Serta tak luput mengirim alfatiha buat ayah tercinta.

CEKLEK!

Pintu kamar mandi terbuka. Membuat bulu kuduk merinding. Walau ini kamar dia. Kenapa aku
merasa risih saat pria itu sekamar denganku. Tak berani menoleh ke arahnya. Tidak mau kalau sampai
ia berpikiran yang bukan-bukan.

"Bening? Kamu turun ke bawah. Di sana ada Mama saya mau ketemu kamu."

Deg! Kenapa Mama Pak Kunang mau ketemu aku? Apakah aku akan dilamar? Aduh mikir apa sih?
Mana mungkin Pak Kunang suka sama maba sepertiku.

"Bening?" Lagi-lagi suara bariton itu mengangetkanku. Segera beranjak melipat sajadah dan
merapikan mukena. Kutatap pria yang berdiri tegap lengkap dengan kacamata yang terbingkai. Kalau
dilihat-lihat Pak Kunang sangat manis. Kalau dibandingkan dengan madu mungkin dia juaranya.

Pria itu mengibas-ngibas tangannya ke mukaku. Membuat aku kaget dan rasa malu yang mendera di
jiwa. Hati ini jadi berkecamuk, bagaimana bisa aku bertingkah memalukan seperti tadi. Kupegang
dada yang tertutup jilbab untuk mengurangi detak jantung yang berdetak hebat bak ditabuh gong.

"Ngelamunin apa, sih?" Suara bariton itu sangat tegas dan bagus. Detak jantungku semakin tak
karuan.
"Emmm ini Pak. Bapak ke--kenapa tadi masuk kamar mandi buru-buru?" Yes akhirnya aku ada alasan
buat menjawab pertanyaan guru phobia wanita ini. Meski awalnya bukan itu yang aku lamunin.
Melainkan aku tengah memerhatikan wajah indahnya.

"Saya lagi berak. Ups!" Pak Kunang langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Seketika gelak
tawaku tercipta. Sungguh pria ini lucu juga.

Seketika tangan terasa dicengkeram kuat. Aku menahan kesakitan. Apakah dia lupa kalau tangan ini
diperban? 

"Aw ... sakit Pak." Aku merintih kesakitan. Mata Pak Kunang membola dan segera meniup tanganku.
Sepertinya ia merasa bersalah? Kurasakan tiupan demi tiupan yang membuat jantungku bergoncang.
Kalau ini dibiarkan terus-menerus maka kesehatan jantungku bisa fatal.

Kutarik paksa tangan yang sedari tadi ditiup olehnya. Bergegas berjalan ke arah pintu kamar dan
segera menuju anak tangga. Sebelum melayangkan kaki ke bawah lantai tiba-tiba terdengar suara.

"Perempuan yang ditolong Mas kamu itu mahasiswa baru, ya?"

"Ia Ma," jawab Dion.

"Bagus, dong!"

"Maksud Mama apa?!"

"Iya siapa tau itu jodohmu."

"Hahaha dia bukan selera Dion, Ma. Lihat saja wajahnya gak selevel dengan Dion yang gantengnya
tiada tara ini." 

Perkataan Dion membuatku sakit. Dasar cowok sok kecakepan. Awas saja kalau sampai dia minta
bantuan. Aku pun turun dari anak tangga dan menampilkan senyum, berpura-pura tidak mendengar
apa yang mereka katakan.

"Wah kamu cantik sekali." Mama Pak Kunang memujiku terlalu berlebihan. Mungkin pipiku sudah
memerah.

"Ah tante, saya enggak cantik kok," ucapku gugup.

"Mama ini jangan terlalu muji gadis buluk kek gitu pake dipuji segalak!"
Dion berkata seperti menghunus jantung. Mungkin tidak masalah saat ia mencaciku di kampus BEU.
Namun, entah kenapa kalau di depan Mama Pak Kunang aku malu.

"Dion Dion. Anak Mama ini masih saja melihat orang dari luarnya. Awas loh kalau sampai kamu
benci tapi cinta." 

Dion mengebrak mejak dan berangsur pergi meninggalkan mamanya.

"Sabar yah, Nak Bening. Dion suka gitu kalo dibilangin."

Tercipta senyum indah di pipi mama Pak Kunang. Senyum itu seperti aku kenal. Tapi di mana ya?
Apa mungkin perasaanku saja?

"Kamu kenapa liatin tante kayak gitu?" Tiba-tiba suara tante mengagetkanku.

"Ah ini Tan, sepertinya saya pernah liat Tanta. Tapi, di mana, ya?"

"Ah, iya ... Tante juga sepertinya pernah liat kamu?"

Bunyi derap langkah seseorang membuatku kaget.

"Ma? Aku harus antarkan Bening pulang." Pak Kunang berucap.

"Loh kok buru-buru, Kunang? Mama belum ngajak dia makan," kata tante.

"Sudah Ma, ini Kunang juga ada urusan diluar. Jadi sekalian aja."

"Ya sudah."

"Tunggu." Saat kakiku beringingan melangkah dengan Pak Kunang. Mama Pak Kunang
menghentikan langkah. Ia menarik tubuhku dan memelukku erat.

"Apakah namamu Bening?" tanya mama Pak Kunang.

"Iya Tante, memangnya kenapa?"

"Apakah nama Ibumu Sulaikha?"

"Iya." Aku mengangguk pelan dan seketika mata Mama Pak Kunang bersinar seperti bahagia.

Ia segera mencarik kertas di meja dan mulai menulis sesuatu. Disodorkan kertas itu padaku.

"Aku pernah punya janji sama Ibu kamu. Tapi dulu waktu kamu masih SMP. kamu pernah ke rumah
Tante. Sayangnya Tante malah pindah rumah. Dan sejak itu kami sudah jarang ketemu."
"Wah Tante ini sahabat Ibu dulu?" tanyaku memastikan.

"Iya ... gak nyangka banget bisa ketemu kamu."

Kami pun berpelukan.

"Kenapa Pak Kunang dan Dion tak tampak saat saya dan Ibu ke sini?" tanyaku.

"Oh mereka lagi jalan-jalan sama Papanya. Kamu lupa?"

"Oh iya." 

Mama Pak Kunang begitu ramah, sama seperti pertama Ibu membawaku kerumahnya. Wajah anggun
dan tanpa beban membuatku sangat iri. Ia istri yang tegar di mana walau ditinggal suami, Mama
Kunang tidak menampilkan wajah sedihnya. Malah ia selalu tersenyum merekah. Tapi aku mungkin
tak tau kalau dia menangis. Mungkin saja dia bisa bersikap seperti itu saat di depanku.

Di dalam mobil Pak Kunang melambaikan tangan pada mamanya. Aku lebih milih duduk di belakang.
Tak mau kalau sampai detak jantungku tak karuan. Kugigit bagian bawah bibir sambil terbayang
ucapan mama Pak Kunang tentang janji apa yang ia buat dengan Ibu?

"Alamat rumahmu di mana?"

"Lurus saja entar ada belokan ke kiri nah yang paling ujung rumah saya."

Kulihat wajah Pak Kunang dari belakang. Betapa indahnya makhluk ciptaanmu ya-Robb. 

Bersambung.

Bab 6 (Harapan)

Akhirnya aku pulang ke rumah. Kata orang, rumah adalah istana. Ya, rumahku adalah istanaku.
Meskipun rumahku ini tidak sebesar rumah Pak Kunang. Aku tetap menganggapnya istana. Daripada
harus mendengar pertengkaran Pak Kunang dan Dion.

Membuka kamar lalu mengirim ke tempat tidur yang tidak terlalu empuk ini. Tapi aku senang bisa
balik ke rumahku. Apalagi bertemu ibu yang selalu ada untukku. Selalu tegar dan mampu
menghilangkan penat yang ada dipikiranku.
Aku kenapa malah mengingat perkataan Dion tentang kekasih dosen phobia itu. Pasti dia sangat
cantik sehingga Pak Kunang tak bisa melupakannya.

"Bening? Bagaimana perasaanmu di sana? Dosen kamu itu tampan dan baik hati ya? Ibu rela kamu
dinikahi dia."

Suara ibu mengagetkan dan menyadarkan aku dari lamunan.u selalu saja begitu bertanya banyak.

"Ibu apaan sih, mana mungkin dia mau sama Bening yang buluk ini?" jawabku minder.

"Hust jangan merendah seperti itu! Berdoa saja ya sama Allah."

Kuanggukkan saja ucapan konyol Ibu. Tiba-tiba saja aku kangen Ayah. Sejak ayah meninggal rumah
ini menjadi sepi, dan aku baru ingat kalau mama Pak Kunang memberiku secarik kertas.

Kusodorkan secarik kertas yang berisi alamat mama Pak Kunang. Seketika Ibu langsung jingkrak-
jingkrak seperti orang kegirangan. Ada apa dengan Ibu?

Ibu memelukku erat diriku, sambil mengedipkan mata.

"Ada apa Bu? Kok terlihat sangat senang gitu?"

"Iya dong! Apalagi setelah sekian lama akhirnya Ibu mendapatkan alamat Jessi. Dia juga punya janji
yang sangat ibu nanti," ungkap ibu.

"Jangan terlalu berharap pada seseorang ya, Bu. Kalau harapan yang kita inginkan tidak sesuai, maka
kita sendiri yang akan sakit." Aku berusaha mengingatkan ibu. Ya, karena memang tak ada gunanya
berharap atau menginginkan sesuatu dari manusia.

"Kau benar, Bening!"

Baguslah perkataanku bisa ibu cerna. Aku senang akhirnya ibu tidak mau berharap.

"Tapi ... harapan ibu ini pasti jadi kenyataan. Buktinya dia memberi alamatnya pada ibu serta nomer
telponnya. Walau nantinya harapan ibu ini tidak benar maka tak apa. Masih ada harapan lain." Ibu
berkedip dan meninggalkanku.

Kutepak jidat. Seketika aku tertawa melihat tingkah ibu. Entah janji apa yang Tante Jessi buat sampai
membuat ibu sangat kegirangan seperti itu.

Aku berpamit ke Ibu. Kucium punggung tangannya. Sekarang bukan waktunya aku berlarut dalam
kesedihan. Ya, aku memang kangen ayah. Namun, untuk saat ini aku harus fokus kuliah dulu.
Aku pakai sepeda karatan warisan kakek. Tidak peduli puluhan mata mahasiswa mengejekku nanti.
Yang jelas aku kangen dengan sejuta kenangan sepeda ini. Kemaren aku tidak bawa sepeda karena
belum siap. Sekarang aku sudah siap.

"Bening?"

Sesampai diparkiran terdengar suara tak asing lagi. Ia berlari mendekatiku.

"Kenapa kamu bawa sepeda karatan?"

"Daripada naik ojek terus. Ya aku pakai sepeda ini," ucapku sambil memakirkannya.

"Ikut aku yuk! Ada yang mau aku bicarakan." 

Tumben Dion bernada rendah dan halus. Pasti ini ada maunya. Aku mengekor di belakang Dion. Dan
kami berdua duduk di kursi memanjang yang agak sepi.

Apa yang akan dibicarakan cowok yang keren ini? Kulihat dia sekarang memakai jaket biru. Dengan
celana jeans.

Ya memang kuakui dia keren tapi mulutnya kadang tak terkontrol.

"Kamu sudah punya pacar belum?" Pertanyaan Dion membuatku menganga membentuk huruf 'o'
kecil di mulut.

"Aku tidak suka pacaran, Dion! Pacaran itu tidak ada dalam islam," tukasku.

"Ya sudah. Kita nikah saja!"

BUMMMM! Jantungku seakan meledak mendengar perkataan Dion. Haruskah aku menerimanya?
Bagaimana kalau dia hanya main-main saja.

"Ma--maksud kamu apa?"

"Iya maksud aku kita nikah, Bening!" 

Dion membuatku mati kutu sekarang. Ini terlalu cepat. Aku takut kalau gegabah dalam memilih
pasangan.

"Kamu serius? Apa alasanmu untuk menikahiku?" tanyaku sambil garuk kepala.

"Aku pernah bilang kan sama kamu? Aku minta bantuan kamu! Aku ingin kita berpura-pura menikah,
undangan kita sebar padahal kita sebenarnya tidak akan menikah. Supaya Diana cemburu dan bisa
balikan sama aku!"
Apa yang ada diotak pria ini? Kupikir dia berubah saat kejadian malam waktu aku nasehati. Ini sama
saja enak di dia gsk enak diaku. Hati terasa kecewa mendengar pernyataan Dion. Jadi dia hanya
memanfaatkanku saja.

Tanpa menjawab permintaan konyolnya. Kaki melangkah segera menjauhi Dion. Sekuat apa pun dia
memanggilku. Aku tidak menoleh sedikitpun.

Sakit menggelut di dada. Kukepalkan tangan sehingga darah dari balutan perban mengalir. Luka ini
tak sebanding dengan permintaan konyol Dion yang membuatku kecewa.

"Miss Bening."

"Cewek Balsem!"

"Awas ada cewek Balsem!"

Entah mengapa suara beruntun dari mahasiswa di sini terdengar merdu. Awalnya perkataan itu seperti
cacian. Tapi ada yang lebih menyakitkan dari pada sebutan itu. Ya, Dion sangat menyakitkan! Lelaki
itu seharusnya memikirkan perasaanku. 

"Lukamu menganga!"

Suaranya seperti kukenali. Untuk saat ini aku malas berbicara dengan siapa pun.

"Bening? Kenapa nangis?"

Ternyata benar dia Pak Kunang. Aku enggan mengatakan masalah ini padanya. Biarlah kupendam
saja.

"Tidak apa-apa kok Pak! Sa--saya kelilipan."

Aku melangkah menjauhi Pak Kunang. Setelah sampai dikelas. Intan melihatku dengan sorot mata
yang khawatir.

Bersambung.

Bab 7 (Mendadak dijodohkan)

Memapah bedak tipis-tipis dengan memakai gamis pemberian orang yang entah tidak tahu dari siapa.
Ibu merahasiakan orang yang telah memberi gamis indah ini. Kupandangi pantulan diriku dicermin.
Sedikit lip blam kuolesi di bibir.
Sepintas bayangan guru dingin bergelayut dibenakku. Ada apa denganku? Mengapa aku malah
membayangkan wajah tampan tapi bukan muhrimku? Astagfirullah ini tidak benar.

Ceklek

Suara pintu kamar terbuka. Derap langkah seseorang yang bisa kupastikan itu Ibu. Segera
membalikkan badan dan tatapan bersirobok pada wajah ibu yang begitu bahagia. Astaga ada apa
dengan Ibu? Mengapa begitu sangat bahagia?Pikiran sambil menerka-nerka apa yang membuat ibu
sebahagia ini.

"Waw amazing! Putri ibu tidak lagi jomlo," ucapan Ibu membuat sekujur tubuh menegang. Apa
maksud dari perkataannya pun tak dapat dimengerti.

"Apa maksud Ibu? Aku sama sekali tak mengerti semua ucapan Ibu?"

"Sudah lebih baik kamu ikut Ibu oke."

Perempuan yang tak lain ibuku dan sudah menjadi pengganti ayah ini membuatku sangat penasaran.
Mengikuti setiap langkahnya. Aku tercengang saat ibu memesan taxi. Sedangkan perekonomian kami
masih pas-pasan.

"Bu apa tidak sebaiknya kita pakai sepedaku saja?"

"Hey Bening, tenang saja ibu lagi ada rejeki kok." Mata ibu menyiratkan kemilauan. Sepertinya ia
benar-benar bahagia.

Sampailah di rumah yang tak asing lagi di netra. Degup jantung berdentam-dentam, tak kuasa melihat
rumah yang ada di depan mata. Ternyata ibu pergi ke rumah Pak Kunang? Pikiran harus dipositifkan.
Mungkin saja ibu kangen dengan sahabat lamanya.

Ibu mengetuk pintu. Kemudian keluarlah wanita berparas anggun dengan jilbab yang menjuntai
bermanik-manik. Luar biasa penampilan Tante Jessi saat ini sangat membuatku kagum. Mata ini
sampai tak bisa berpaling darinya.

"Silakan masuk." Penuturan yang lembut serta senyum berbentuk bulan sabit menunjukkan betapa
ramahnya ia.

Di ruang tamu kulihat seseorang yang tak asing lagi di mata. Ya dia adalah Dion si bocah nyebelin di
kampus. Entah rasanya kehadiran Dion sama sekali tidak aku harapkan. Kuberjalan mengekor
dibelakang ibu.

"Mau teh, jus atau ...."


"Apa aja, Jes. Yang penting aku bisa ketemu sama kamu." Ibu memotong pembicaraan.

"Bi tolong bawakan jus buat tamu kita ya," ucap mama Pak Kunang dengan manis pada wanita paruh
baya yang telah membantu menggantikan pakaianku.

"Oke langsung saja kita bicarakan soal perjodohan."

Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak. Kulirik Dion yang tampak biasa saja mendengar kata
perjodohan. Apakah bukan Dion yang akan dijodohkan? Lalu siapa? Kutelan saliva dengan susah
payah, sambil membenarkan posisi duduk.

"Perjodohan siapa Ma?" Suara bariton yang sangat bagus mengagetkanku. Setelah menoleh ternyata
Pak Kunang yang tengah lengkap dengan kacamata dan baju berkerah. Ia sangat terlihat memukau
dengan pakaian batik bercorak emas. Mataku sampai tak bisa berpaling.

"Ehem ...." Pak Kunang berdeham membuatku tersadar dari lamunan. Astagfirullah! Apa yang aku
lakukan? Aku malah memerhatikan wajahnya. Ah sial, pasti mukaku berubah menjadi merah bak
tomat. 

"Ciee yang mau jadi calon ipar?" Perkataan mama Pak Kunang mengagetkanku.

"Sini Nang, Mama juga mau bicara sama kamu, Bening dan Dion." Pak Kunang patuh lalu dia
tempelkan tubuhnya ke sofa. Sementara Terlihat ibu senyam-senyum saja.

"Sulaikha, kamu sudah bicarakan ini kan sama Bening?"

"Tentu dong Jes, Bening pasti setuju," jawab Ibu tanpa merasa berdosa. Apa yang ibu bilang? Dia
sama sekali tidak membicarakan apa pun denganku, dan ibu belum menanyakan aku setuju atau tidak.

"Oke Bening, kamu mau kan sama Dion? Dion sudah setuju kok kalau mau dijodohkan." Seketika
jantungku rasanya mau copot. Kenapa ibu tidak menanyakan tentang perasaanku dulu. Kulihat Tante
Jessi menatapku penuh harap.

Bagaimana ini? Apa yang harus aku katakan? Kenapa aku tidak yakin pada Dion. Tatapan yang biasa
saja itu membuatku merasa dia tidak serius. Tapi kalau aku menolak itu sama saja aku membuat ibuku
malu.

"Dion mau dijodohkan? Anak pembangkang kayak dia, mau jadi apa Ma? Emangnya dia bisa ngurus
rumah tangga?" Perkataan Pak Kunang seperti memberi harapan padaku. Apakah dia cemburu?
Namun apa yang ada dipikiranku, aku tidak mungkin menyukai dosen phobia wanita seperti dia.

"Justru itu. Mama ingin ada seseorang yang merubah sikap Dion yang arogan."
"Pasti-pasti Bening mau! Ya, kan Bening?" Ibu malah memojokkan diriku. Kuremas gamis dengan
keyakinan yang meragukan kulihat Dion yang masih tenang.

"Dion apakah kamu setuju?" Tak sengaja bibir terucap karena tak tahan melihat tingkah Dion yang
seakan jiwanya tak ada di sini. Sebab sedari tadi kulihat tatapannya kosong.

"Tentu! Siapkan undangan secepatnya!"

Hah? Apa yang ia katakan? Apakah aku tidak salah dengar. Atau mungkin kupingku sedang
kemasukkan kecoak raksasa. Pria arogan dan mau menang sendiri itu setuju? Mungkin ia kebanyakan
makan micin sehingga otaknya sedikir geser.

"Jawab dong Bening! Jadi orang tu jangan suka ngelamun!" Apa-apaan, dosen dingin itu malah ikut-
ikutan memojokkan.

"Oke! Apa pun yang Dion katakan. Aku setuju."

Perkataanku membuat Pak Kunang menganga, ibu dan mama Pak Kunang pun bahagia. Baiklah aku
tidak peduli dengan kebahagiaanku. Yang terpenting sekarang adalah kebahagiaan ibu. Senyuman
ibu. Karena semenjak ayah meninggal senyum ibu tidak lepas seperti sekarang.

Tiba-tiba pikiranku mengingat tentang kuliah. Memang sebenaenya kebahagianku, dan dengan siapa
aku menikah aku tak peduli. Mungkin pilihan ibu sangat tepat. Karena setiap orang tua pasti
menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Tapi, aku sangat mencintai kuliahku. Dengan perasaan
yang cukup ragu aku membuka suara.

"Terus? Bagaimana dengan kuliah saya Tante? Saya masih ingin kuliah," ungkapku dengan pelan.

"Tenang lah, Nak Bening, semua biaya kuliah tante yang nanggung."

"Wah benarkah Tante? Saya merasa tidak enak," jawabku

"Iya kami merasa tidak enak." Ibu mendukungku.

"Aduh Tante tidak usah khawatir masalah biaya. Insya Allah Mama dan saya akan menyisihkan uang
buat biaya kuliah Bening, ya kan Ma?" jawaban Pak Kunang seperti mencubit hatiku. Ternyata dia
kakak ipar yang baik.

"Betul sekali kata Kunang. Kalian tidak perlu sungkan. Bening akan dianggap seperti anak sendiri
oleh saya, dan dianggap sebagai keluarga." Tante Jessi memelukku erat.

"Jadi ini janji tante sama ibu? Saya akan dijodohkan dengan anak tante?" tanyaku dengan nada pelan.
Tak mau sampai pertanyaanku salah dicalon ibu mertua.
"Iya Tante berjanji kalau Tante akan menjodohkan anak Tante sama putri sahabat Tante yaitu kamu."

"Tapi, Tan, Dion itu tidak pantas buat saya."

Mata Mama Pak Kunang membeliak begitu pun dengan ibu. Astagfirullah aku kebabblasan dalam
berucap.

"Beraninya Kau!" Dion berdiri membuatku kaget. Sepertinya amarah Dion menggebu-gebu bahkan
mata nyalang menatapku tajam.

"DION! Jaga sikap di depan orang tua." Tante Jessi berteriak seketika Dion duduk kembali.

"Tenang, Bening. Dion pasti bisa dirubah. Kan nanti kamu yang akan menjadi istrinya. Aku ingin
segera menimang cucu. Sementara Kunang masih larut dalam masa lalunya." Perkataan Tante Jessi
membuatku kalut. Haruskah aku bahagia? Mengapa aku seperti dijadikan alat buat menggapai
keinginan Tante Jessi yang menginginkan cucu?

"Sebenarnya Tante ingin mendapatkan cucu dari Kunang, tapi kamu tau sendiri kan? Dia dikampus
terkenal tidak bisa move on dari Tiara. Beberapa kali Tante menyodorkan foto cewek untuk dia pilih.
Namun, Kunang menolak."

Deg! Jadi awalnya yang mau dijodohkan itu Pak Kunang, dan Tante Jessi menginginkan cucu dari
Pak Kunang.

Beberapa obrolah kini sudah menyusut. Aku dan ibu berpamitan untuk pulang. Sebelum aku keluar
dari rumah mewah ini. Tiba-tiba Tante Jessi memanggilku. Tante Jessi memelukku erat.

**

Masih tidak menyangka betapa teganya ibu menjodohkan aku secepat ini tanpa persetujuan dariku.
Seminggu setelah dari rumah dosen pinguin dari kutub es itu. Aku melihat pantulan diriku dicermin.
Ya sekarang adalah akad nikahku dengan Dion. Manusia absurd itu membuatku bingung bisa-bisanya
ia memajukan pernikahan. Apakah ada maksud tertentu atas semua ini?

Gaun putih melekat pas ditubuhku. Aku sengaja bilang kepada tukang make up untuk memakaikan
jilbab yang menutupi bagian dada.

"Mbak cantik sekali, pasti calon suami Mbak akan pangling dan semakin mencintai Mbak," Ucapan
Tukang rias ini membuatku mematung. Akankah Dion pria yang cocok untukku? 

Aku memilih pernikahan yang sederhana saja. Tak mau berlebihan. Itulah keinginanku. Karena
sebenarnya aku pun tak ingin berharap banyak pada Dion.
Penghulu sudah siap. Badan terasa panas dingin melihat puluhan pasang mata dan mataku beradu
pada intan sahabatku di sana.

Astaga siapa yang mengundang Intan? Pasti ini ulah ibu. Intan melambaikan tangan padaku. Segera
melangkah menuju dia yang sedang duduk.

"Selamat. Kamu akan menjadi istri." Intan mencolek perutku. Aku hanya diam. Entah kenapa aku
tidak bahagia dengan pernikahan ini.

"Bening? Kenapa tumben kamu tidak geli saat aku colek kamu. Biasanya kamu ini gelian lo kalo
dicolek? Apakah kamu tidak suka pernikahan ini? Ayolah katakan keluh kesahmu padaku."

"Tidak Intan. Aku bahagia kok. Aku tinggal kamu dulu ya."

Air mata sudah tergenang. Aku tak mau sampai Intan melihat air mataku luruh. Kulihat sorot mata
lain memandangku. Pak Kunang sama sekali tidak mencegah pernikahan ini. Berarti dia sangat
menyetujui dan sama sekali tidak mencemburui Dion?

Rasanya hal yang mustahil kalau si pria kulkas itu cemburu. Dia kan phobia wanita. Ibu menuntunku
untuk duduk di dekat pak penghulu.

Beberapa jam kemudian. Dion si manusia absurd itu belum kunjung datang. Membuat para tamu
undangan resah. Tante Jesi pun berkutat pada ponsel. Ia terus saja terlihat menghubungi seseorang
yang entah siapa. Mungkin ia menghubungi Dion kutu kupret.

"Duh bagaimana ini Bening? Ibu malu kalau sampai pernikahan ini batal," ucap ibu berbisik
ditelingaku.

"Ini semua ya salah ibu. Ngapain juga ibu milih Dion sebagai calon suami Bening. Kalau sampai
pernikahan ini batal ya gak papa."

Plak!!! Seketika tamparan keras ibu layangkan ke pipiku. Aku terperangah melihat emosi ibu yang
meledak. Para tamu pun memandang aneh pada aku dan ibu. Kulihat Tante Jessi memanggil aku dan
ibu. Segera kuberanjak dengan bahagia. Mungkin saja pernikahan ini tidak akan dilanjutkan.

"Apah menikah dengan Pak Kunang?"

"Iya Ma, aku gak mau menikah dengan Bening yang suka bawa balsem ke mana-mana."

Deg! Ucapan Pak Kunang memukul hatiku. Mengapa perkataannya membuatku teremas pilu. Bagai
tersambar petir berskala tinggi. Sejak dia memperlakukanku dengan lembut kupikir dia.

Ahhh mikir apa, sih aku.


"Kamu tidak mau mempermalukan Mama kan Kunang? Ingat! Kamu harus menjaga repotasi Mama
di depan semua pelanggan Mama. Kalau pernikahan ini batal, maka mau ditaruk di mana muka
Mama?"

"Baiklah Kunang akan menjaga nama baik Mama. Kunang akan melakukan semua ini demi Mama."

Seketika aku tercengang mendengar perkataan pinguin es ini. Aku yakin semua yang ia lakukan hanya
keterpaksaan belaka dan aku sangat kecewa pada Dion yang tidak menepati janjinya. Janji sebelum
pernikahan yang tidak pantas diingkari

Bersambung.

Bab 8 (Menjadi seorang istri)

Berjalan mengekor di belakang orang yang sudah sah menjadi suamiku. Tak menyangka ia bisa
menyelesaikan ijab kabul dengan hikmat tapi penuh kepura-puraan. Sementara Dion hilang ditelan
bumi. Entah kemana perginya Dion kutu kupret itu. Setelah akad nikah Pak Kunang bergeming dan
mengantarkan aku ke peraduan. Apakah dia bersungguh-sungguh dalam pernikahan ini? Ah
membayangkannya saja itu tidak mungkin. Segera menepis segala pikiran aneh yang bersarang di
kepala.

Dilihat dari sorot mata yang kosong seperti itu, sudah jelas ia hanya menyelamatkan repotasi nama
besar keluarganya. Kududuk di tepi ranjang kingsize, dengan membalas tatapan kosong yang dia
berikan. Terkejut saat Pak Kunang menutup pintu. Ya Allah apakah beruang dingin ini akan tidur
bersamaku malam ini? Seketika panas dingin menjalar ke seluruh organ tubuh seakan tubuhku ini
dikasi formalin yang bikin membeku.

Tiba-tiba kepala menjadi pusing, mungkin akibat menunggu Dion di acara akad nikah yang terlalu
lama dengan dempulan bedak yang menyiksa. Ditambah melihat pemandangan lelaki kosong. Aku
segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Anganku melesat terbayang pada siluet wajah ibu
yang sangat bahagia melihat pernikahan kami sementara Intan seperti terkejut dengan membulatkat
matanya. Untung teman-teman sekampus yang lain tidak diundang. Itu membuatku sedikit bernapas
lega.Tak bisa dibayangkan kalau mereka sampai mengetahui hubunganku dengan pria dingin ini.

"Mau ke mana?" Suara bariton itu mengagetkan. Seketika tubuh berhenti. Pria itu seakan punya remot
kontrol yang bisa menghentikan langkahku. Segera menundukkan kepala menghadapnya dan berkata,
"Saya mau ke kamar mandi Pak."
"Oh ya sudah."

Setelah sampai di kamar mandi aku tidak menemukan sabun muka khusus perempuan. Yang ada
hanya sabun lelaki. Pasti milik lelaki phobia itu. Ya sudahlah dari pada mukaku tidak dibersihkan dari
make up.

Selesai membersih muka dan mengambil wudu'. Membuka pintu kamar mandi, netrapun tak melihat
lelaki yang tadi bersamaku. Kemana ia pergi? Suara pintu mengagetkan. Ternyata beruang itu masuk
dengan membawa segepok pakaian wanita. Terbesit di angan apakah dia sudah bosan menjadi pria?
Hahaha

"Ini baju ganti untukmu. Aku harus memindahkan beberapa baju baru dari kamar Dion. Karena
semula mama membelikan baju baru untukmu dan menaruknya di kamar Dion," ucapnya dengan
tenang seakan menerimaku menjadi istrinya. Fikiranku sangat konyol tadi saat mengira ia ingin
menjadi perempuan.

"Baiklah Pak. Makasih banyak."

Dia keluar tanpa kata. Ya Allah cobaan apa lagi ini? Sesudah pernikahan, Pak Kunang malah semakin
dingin. Membentangkan sajadah guna melaksanakan salat sendirian. Memanjatkan doa-doa
pengharapan supaya hati dikuatkan menjalani pernikahan palsu ini. Sungguh perih merebak seluruh
jiwa. Sebagai suami seharusnya ia yang menjadi imam. Namun apa yang aku harapkan dari pria
dingin itu.

Malam kini menyapa. Setelah beberapa jam sendirian di dalam kamar yang membosankan.
Kuberjalan melihat-lihat kamar lelaki kulkas ini. Mata mulai menangkap beberapa deretan buku yang
tertata rapi. Dengan gencar mengambil buku yang ada di rak tanpa izin. Tak apa aku kan istrinya. Toh
aku hanya ingin membaca isinya tidak akan menjual novel ini, hihi.

Ternyata deretan buku itu adalah novel. Dari sekian novel yang ada. Ada novel yang membuatku
tertarik, sampul bewarna krem dengan melihat cover cowok yang sedang mengusap batu nisan. Mata
membeliak saat melihat judul yang tertera di novel tersebut. Judulnya 'Kutunggu Kau Di Surga'.
Seketika tangan menutup mulut, tak kuasa apa yang tertangkap oleh netra. Jangan-jangan Pak Kunang
masih memikirkan kekasihnya yang bernama Tiara itu.

Tidak-tidak! Ini kan cuma novel. Setelah menahan gemuruh resah di dada dan melirik penulisnya
'Kunang Dramasta'. Seperti ada petir yang menyambar sanubari. Mengundang gerimis di hati, jantung
seakan berhenti berdetak. Ternyata ia sengaja menuliskan novel ini untuk Tiara. Bagaimana tidak?
Aku masih ingat saat Dion memaki Pak Kunang dengan menyebutkan kronologis yang menimpa
Tiara. Jika itu benar, berarti ia tidak akan pernah membuka hati kepada siapa pun. Termasuk aku
istrinya.

Menelan saliva beberapa kali untuk menenangkan hati yang mulai terporak-porandakan. Tangan
gemetar hebat, tulang seakan lolos dari jazad. Tak kuasa memegang novel buatan suami yang ternyata
untuk mantannya. Menaruk dengan pelan novel ini di deretan buku yang lain. Mencoba
menghilangkan pikiran aneh yang sempat ingin bercokor dihatinya dan menerima fakta, bahwa tidak
mungkin aku bisa memiliki cinta yang utuh bak bulan purnama. Pernikahanku saja semua hanya
keterpaksaan karena Dion yang tiba-tiba menghilang.

Setetes demi tetes bulir bening jatuh membasahi pipi. Menyesakkan dada dan membuat hati tercabik-
cabik oleh duri. Dunia seakan ingin runtuh. Menangis pilu dengan sesenggukan hingga air mata tak
sengaja kutelan. Rasa asin dari air mata ini terasa pahit, seakan menelan kerikil-kerikil tajam.

Terdengar suara pelan dari derit pintu yang terbuka. Segera menyeka jejak kepiluan dengan kasar.
Suara derap langkah seseorang semakin dekan dan membuatku kalut. Setelah menoleh ternyata dia
Pak Kunang. Mencoba tegar di depan suami dingin ini sambil menyunggingkan senyum tipis.

"Sedang apa duduk dilantai kek gitu?"

Aku hanya menggeleng pelan. Tak mau berharap terlalu banyak pada pria yang berdiri tegap itu. Toh
semua ini hanya kepura-puraan dalam pernikahan.

"Cepatlah tidur! Besok kamu tidak mau terlambat kuliah, kan?"

Perintah sang suami segera dipatuhi. Walau dada ini begitu sesak saat mengetahui fakta yang
menjelaskan tentang dia ingin menunggu kekasihnya di surga. Astagfirullah! Kenapa aku bisa
terjebak dalam pernikahan yang begitu memilukan. Ingin rasanya merutuki diri. Seandainya aku
kabur saja saat akad nikah berlangsung. Maka aku tidak akan menelan kepedihan.

Tapi untuk apa terlalu larut dalam kepedihan? Mengeratkan pelukan pada guling. Menyelimuti tubuh
dengan selimut tebal yang wangi parfum khas lelaki, tanpa berani menoleh pada pria kulkas.
Kurasakan gesekan sprai pada tempat tidur. Apakah pria itu akan tidur bersamaku? Seketika detak
jantung berdentam-dentam seakan bertabuh dengan irama detik jam yang berbunyi.

Beberapa menit gerakan pun tak kurasa lagi. Aku tidak mencium ada aroma pria itu. Dengan perasaan
gundah diselimuti kabut, memberanikan menoleh ke mana hilangnya pria kutub itu. Setelah menoleh
ternyata ia malah tidur di bawah kasur beralaskan selimut. 
Seketika terperangah melihat lelaki itu seperti kedinginan. Mengundang gerimis di dada. Terdengar
hujan menyerang atap rumah. Bagaimana kalau petir menyambar? Sementara Pak Kunang sangat
phobia petir. Berharap semoga petir bisa absen untuk hari ini.

Kemudian aku turun dan tidur dibawah juga disamping kiri ranjang. Tanpa membangunkan seseorang
yang terlelap di bawah sana. Seketika suara petir mengangetkan.

"Aaa ...." Pak Kunang berteriak dan menghampiriku yang tengah tidur di bawah. Yang kutakutkan
akhirnya terjadi juga.

"Ngapain kamu di situ. Ha?!" bentaknya padaku.

"Bapak tidur di atas saja. Bi--biar saya yang tidur di bawah." Aku memohon sambil melipat tanganku.
Pria itu kemudian duduk di bawah bersamaku. Ia pasti menahan ketakutan petir tadi.

"Jangan keras ke--kepala. Kalau kamu sakit, nanti mama akan nyalahin aku, Bening!" Suaranya
sangat gagap ia memeluk tubuhnya sendiri.

"Bapak juga terlihat tidak kuat tidur di bawah. Kenapa Bapak tidak keluar saja dari kamar ini,"
usulku.

"Bagaimana tanggapan mama kalau sampai mengetahui saya tidak sekamar denganmu?"

Benar juga apa kata Nang kunang ini. Ah namanya seperti Binatang saja. Haha. Kalau sampai pria
dingin itu tidur di bawah nanti Tante Jessi curiga bahwa pernikahan ini hambar tanpa garam. Ya
pernikahan ini memang hambar. Bahkan tidak ada manis-manisnya sama sekali. Apalagi dia pria
dingin terus semakin dingin dong. Ah aku tu ....

"Biarlah saya saja yang tidur di bawah Pak, lihat kondisi Bapak yang sangat ketakutan akan petir dan
tidak kuat dengan hawa dingin." Biarlah istri seperti aku ini mengalah padanya toh semoga Allah
menambah pahalaku karena sudah menolong suami sendiri.

Pria itu bergeming. Entah apa yang ada diotaknya. Kuremas ujung jilbab, untuk menahan gundah
yang ada di hati, kuharap dia setuju usulku. Kalau tidak, egois sekali dia pad dirinya. 

"Kita akan tidur di atas sama-sama. Tapi kamu jangan geer."

Deg! Aku kaget mendengarnya. Apakah aku tidak budek? Dia benar-benar menerimaku sebagai istri?

"Akan saya beri pembatas guling diantara kita. Jadi, kamu akan tetap suci tanpa aku sentuh dan
sampai saya menentukan akan membebaskanmu dari pernikahan palsu ini."
Pria itu berucap tanpa memikirkan perasaanku. Kupikir dis sudah berubah. Apa maksudnya? Dia
bilang bahwa ia akan membebaskanku? Padahal tak secuil pun terbesit dalam benakku bahwa akan
meninggalkannya secepat itu.

Ia mendongak dan menepak jidat. Pria itu lupa mematikan AC. Jadi itu yang membuatnya kedinginan
lebih cepat. Kemudian si pria dingin beranjak ke peraduan begitu pula denganku. Tak lupa dia
memasang pembatas guling. 

Kekonyolan apa ini? Menikah tapi tidak disentuh.

Oke lah kalau memang ini yang terbaik dan membuat ibu senang, aku harus melanjutkan masa depan.
Baru kali ini aku tidur bersama seseorang dan seseorang itu adalah pria halalku. Namun, aku hanya
bisa memandangnya. Tidak bisa memiliki dia seutuhnya.

Jeduarrr! Suara petir menambah kepahitan dalam hati. Pak Kunang pun berteriak layaknya anak kecil
yang ketakutan. Terlihat ia memeluk erat gulingnya. Seketika lampu mati menambah suasana
mencekam malam ini. Dan berkali-kali Pak Kunang berteriak. Kucoba menyentuh bahunya dan
menenangkannya.

"Sudah Pak, saya di sini. Jangan takut oke!"

Saat menyentuh Pak Kunang dan meraba pembatas yang ia buat sendiri tidak ada. Entah ke mana
perginya guling tadi mungkin Pak Kunang tak sengaja menendangnya atau entahlah.

Suara gelegar petir menyambar semakin menjadi. Seketika tubuh terasa dipeluk oleh makhluk. Tak
mungkin ada hantu yang memeluk. Dari aroma tubuhnya ini pasti pria dingin ini.

"Saya takut," lirihnya. Sepertinya ia tak sadar tengah memelukku. Seketika mengundang gerimis di
dada. Jantung seakan melompat dari tempat. Panas dingin menjalar keseluruh organ.

Ya Allah aku tidak kuat berada dalam dekapan pria kulkas.

Bersambung.

Bab 9 (Suami sholeh)

Merasa begitu nyamannya tubuh dengan aroma maskulin. Mengeratkan pelukan yang semakin
membuat nyaman dan mata seakan enggan terbuka. Suara adzan berkumandang begitu merdu
ditelinga sambil menikmati kehangatan yang menyerebak jiwa.
Kicauan burung terdengar di cendela seperti sedang bercengkrama. Saat pelukan tangan seseorang
semakin erat dada berdentam-dentam. Siapa yang memelukku? Seketika mata membola saat
mendapati tubuh kekar dan berurat

Tubuhku berusaha menggeliat untuk melepaskan pelukan pria ini yang cukup kencang. Oh, tidak!
Apakah semaleman kami berpelukan? 

"Pak, sudah subuh," lirihku ditelinganya. Namun usahaku sia-sia. Ia semakin mengeratkan pelukan.
Emangnya aku guling apa?

"Emm ... guling kali ini kok beda." 

Perkataannya membuat panas dingin menjalar. Aku tak kuasa berada dalam dekapannya dan
merasakan setiap aroma yang menembus rongga hidung. Ya sudahlah mungkin beberapa menit lagi
dia akan melepaskanku.

"Aaaaa ...."

"Bening kamu ngapain memeluk saya?"

Pertanyaan konyol yang menggelikan. Justru di sini harusnya aku yang bertanya, bukan?

Kulihat ia beranjak dari ranjang kingsize ini. Membenarkan baju yang berantakan. Serta merta ia
masuk ke dalam kamar mandi tanpa menunggu penjelasanku. Dasar manusia antartika.

Beberapa menit aku sudah menunggu. Harus butuh waktu berapa lama lagi ia di kamar mandi?
Daripada bosan, tangan mulai menggeser-geser layar benda pipih. Menge-chat Intan sahabatku.

[Hei kamu sekarang mau kuliah, kan Dan Gimana malam pertamamu?]

Astaga Intan malah menanyakan hal yang membuatku menegang. Bagaimana aku dan dia melakukan
malam pertama? Sementara hatinya bukan untukku. Tidak mau membuat hati ini semakin terlarut
dengan perasaan yang tak pasti. Apalagi aku tidak mengenal jauh siapa Kunang itu dan bagaimana
sifat sebenarnya. Kadang ia lembut perhatian seperti sutra. Namun, kadang pula ia dingin seperti
bongkahan es.

Menarik napas panjang sembari memejam. Bayangan Dion kemudian muncul, bayangan itu
menampakkan Dion yang tidak datang ke acara pernikahan. Walau dia tidak mencintaiku, tapi bisakah
ia memikirkan perasaan ibunya secuil saja? Benar-benar pria yang tidak bertanggung jawab dan tidak
bisa dipegang kata-katanya. Untung saja tidak jadi nikah sama Dion.
"Sampai kapan kamu memejamkan mata? Tidak mau salat?"

Anganku tersentak setelah membuka mata dan mendapati pria yang bernama nang kunang ini ada di
depan mata. Pria ini sangat mengagetkan. Justru dari tadi bukankah dia yang terlalu lama di kamar
mandi? Dasar lelaki lelet.

Mataku membola setelah melihat dia salat dikamar ini, betapa sejuknya saat melihat ia salat di kamar
ini. Ingin sekali rasanya menjadi makmum dibelakangnya. Sepertinya tidak mungkin. Kadang kala
memikirkan hal yang konyol itu tidak baik bagi kesehatan, aku harus membuang jauh-jauh harapanku.

Dia berdiri siap melaksanakan salat. Sedangkan aku masih belum mandi. Aku dari tadi memerhatikan
suami sendiri. Astagfirullah!

Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Sesampainya di kamar mandi. Merasakan shower yang
menyirami tubuh begitu sejuk tadi. Setelah mandi dan berwudu', melihat Pak Kunang tengah melipat
sajadah. Begitu adem saat netra beradu pada sorot mata yanh mata Pak Kunang. Benar-benar makhluk
Allah yang sempurna. Apalagi baju kokoh yang melekat di tubuhnya. 

"Apa yang kamu lihat. Ha?!"

"Ti--tidak Pak!"

Segera menundukkan pandangan dan memalingkan wajah pada objek lain. Kulirik sedikit dan melihat
ia yang tergesa keluar kamar.

"Nanti biar saya yang cuci bajunya ya Pak?" pintaku gemetaran.

"Tidak usah bening!"

Aneh dengan perkataan Pak Kunang. Bukankah sudah seharusnya istri yang mencuci pakaiannya?
Benar-benar pria yang sempurna. Walau telah menjadi istri. Dia sama sekali tidak membebaniku.
Suami sholeh.

Kubentangkan sajadah. Tak lupa Mengenakan mukena dan melaksanakan salat subuh. Setelah selesai
salat. Memanjatkan doa-doa pengharapan serta mendoakan ayah tercinta supaya diampuni dosa-
dosanya.

Tersirat dibenak. Aku harus ganti baju. Karena selesai mandi aku memakai baju tadi malam ini. Kalau
aku pakai handuk itu tidak mungkin, sebab kamar ini bukan hanya kamarku tapi juga kamar suamiku.

Mengunci kamar agar Pak kunang tidak sembarangan masuk. Ya walau dia suamiku tapi aku masih
malu. Sesudah mengenakan gamis, aku bingung mau mengenakan jilbab yang mana.
Duh, kenapa aku malah grogi seperti ini? Tenang Bening dia hanya Kunang bukan seseorang yang
kamu cintai.

"Bening kenapa pintunya dikunci?"

Ketukan keras dan jeritan makhluk diluar sana mengganggu saja. Bisakah dia mengerti kalau aku
sedang mengganti pakaian? Untung saja sekarang aku sudah mau mengenakan jilbab.

Beberapa menit derit pintu terbuka. Segera kuberteriak.

"Aaaa kenapa Bapak buka pintu sembarangan, sih!"

Kumenjerit sejadi-jadinya. Bisa-bisanya manusia antartika itu membuka pintu.?Padahal aku belum
memasang jilbab. Kuberingsut dilantai sambil menutupi wajah yang memalukan tanpa jilbab. Tapi
bagaimana bisa Pak Kunang membuka pintu? Bukankah aku tadi sudah menguncinya?

"Kamu ngapain duduk di bawah lantai?"

"Jangan liat saya Pak! Saya belum memakai jilbab," pintaku yang tetap menutup muka dengan kedua
telapak tangan.

"Sudah cepat pakai jilbabmu Bening? Saya kan suamimu kenapa kamu mendramatisir seperti itu?"

Deg! Seketika aku merasa dianggap oleh pria bertubuh tegap ini. Ah tidak tidak dia mencintai orang
lain. Ia aku harus menanamkan dalam hati bahwa cintanya bukan untukku.

"Suami?" tanyaku lagi untuk memastikan indera pendengaranku normal.

"Iya saya suamimu tapi jangan geer ya."

Seketika hatiku yang tadinya berbunga berubah menjadi sesak. Ternyata perkataan pria memang tak
bisa dipegang.

Kucoba memberanikan diri untuk berdiri tanpa melihat matanya. Memegang ujung rambut dan segera
menuju lemari untuk mencari jilbab. Apa pun jilbabnya yang penting jilbab. Aku malu kalau harus
menggerai rambut ini di depan pria yang sama sekali tidak menganggapku ada.

Kupasang jilbab panjang untuk menutupi mahkota rambutku. Tara selesai. Ah apa pedulinya.

"Kenapa kamu pakai jilbab coklat? Lihat dulu bajumu kan hijau?"

Astaga saking groginya aku berada di dekatnya. Mengapa aku sampai tidak bisa menyesuaikan jilbab
dengan gamis? Eh tunggu, dia lumayan perhatian.
"Jangan bengong! Ayo cepat ganti."

Seperti layaknya pembantu yang menuruti semua perintah majikan. Entah kenapa aku tak bisa
menolak perintahnya. Kuambil jilbab warna senada dengan bajuku.

"Tunggu!"

"Apalagi, sih, Pak? Kan ini sudah benar warnanya senada ih," timpalku dengan amarah kekesalan.
Dikit-dikit di komentari. Menyebalkan sekali pria ini.

"Kenapa rambutmu digerai? Harusnya kan kalau wanita memakai jilbab itu rambutnya diiket."

Benar juga apa kata Pak Kunang. Mengapa aku sampai lupa mengikat rambut? Ah ini semua gara-
gara dia kan yang menerobos masuk kamar.

"Ini semua gara-gara Bapak!" Aku mencelos dan membuang muka.

"Lah kok saya?"

"Bapak masuk ke kamar Bening sembarangan!" tegasku sambil tak berani menatap matanya.

"Ingat Bening! Kamarmu juga kamar saya!"

Sial dia malah berkata dan membuatku tak bisa bekelit lagi. Menarik napas dalam-dalam sambil
mencari kesalahannya.

"Memang ini kamar Bapak! Namun seharusnya Bapak sada bahwa saya kan sedang mengganti
pakaian. Untung saja saya sudah mengganti pakaian. Gimana kalau sampai saya belum ...."

Aku menutup mulut seketika. Malu mau melanjutkan perkataan. Semoga bapak mengerti apa
maksudku bahwa gimana kalau aku belum mengganti pakaian dan dia masuk. Sunggu memalukan
kalau sampai itu terjadi.

Hening tak ada jawaban darinya. Apa yang Pak Kunang pikirkan? Kulirik wajahnya diam dan pipinya
merona. Mungkin ia malu.

"Ya sudah kalau kamu mau ganti pakaian. Bilang saja. Nanti biar  keluar."

Aku mengangguk pelan. Sorot mata itu kenapa seperti melihatku? Apa aku hanya kegeeran saja?

"O iya Pak. Anda kok bisa membuka pintu? Padahal sudah saya kunci tadi."

"Saya punya kunci cadangan," ucapnya santai sambil membuka lemari, entah apa yang ia cari.

"Kamu cari apa?" tayanya sok perhatian.


"Tali rambut," jawabku kasar.

"Kamu ceroboh sekali. Masak tali rambut saja hilang?"

Seharusnya kalau tidak mau membantu dia tidak usah menyalahkan. Kutulurusi tiap ranjang
kingsizenya. Kali saja tali rambutku jatuh di sekitar kasur.

Aku tersentak, rambutku seperti ada yang mengikat? Mataku bersirobok dengan cermin di depanku.
Terlihat lelaki antartika itu mengikat rambutku. Pantulannya di cermin membuat diri ini gugup serta
panas dingin ini mendera jiwa.

"Bapak menemukannya dimana?"

"Di lemari," ucapnya ketus. Pria ini sulit di tebak. Tadi berbuat perhatian namun dalam sekejap
berubah dingin lagi.

Saat sedang memasang jilbab dan memasuki anak-anak rambut. Pak Kunang mengeluarkan baju
berkerah dari dalam lemari. Mataku membola saat ia melepas pakaiannya. Tubuh kekar dengan perut
sixcpack serta dada yang membuat jantungku terlepas. Itu menambah kesempurnaan ketampanannya.

Astagfirullah! Segera memalingkan muka dan segera beranjak keluar. Tak tahan dengan
pemandangan indah yang mampu membuat menelan saliva beberapa kali saat melihatnya. Segera
kuayunkan kaki dan setelah sampai di ambang pintu.

"Tunggu! Kamu mau ke mana?" Suara bariton itu mengagetkan. Bulu kudukku seakan merinding.
Seharusnya dia sadar, kalau aku pergi itu pertanda melihat dia yang ganti baju.

"Ada apa sih, Pak?"

Nyaliku ciut untuk mendekati pria di ujung sana. Namun mau tidak mau harus aku lakukan, tidak mau
berdebat dengannya pagi-pagi buta ini.

"Tolong kamu bukakan kancing baju yang mau saya pakai ini. Jangan karena saya tak
menganggapmu istri. Lalu kamu main lari dari tanggung jawabmu! Anggap saja ini pekerjaan ringan."

"Dan setelah itu pasangkan baju ini." Lanjutannya membuat bulu kuduk merinding.

Hatiku berdetak tak karuan. Sanggupkah aku memasangkan baju pada pria? Sementara berdekatan
dengan pria saja aku malu?

Bersambung.
Bab 10 (Teman masa lalu)

Lama-lama sikap Pak Kunang kayak anak kecil. Memangnya sulit untuk membuka kancing baju?
Dengan segala keterpaksaan dalam hati. Kuturuti perintahnya. Membuka satu persatu kancing.

Lalu dengan gemuruh rasa di dada yang membuncah. Pelan-pelan memasangkan ke lengan kanan dan
kemudian lengan kirinya serta tanpa berani melihat sorot mata tajamnya. Hati deg-degan saat mulai
mengaitkan kancing satu persatu bagian depan teratas. 

Harus mendongak dulu sebab pria ini lebih tinggi dariku. Tak sengaja mata beradu dengan sorot mata
yang indah. Dengan rasa canggung yang membebat hati. Memberanikan diri memandang manik
matanya serta mengaitkan tiap kancing terus menerus walau dengan tangan yang gemetar.

"Kamu takut pada saya? Kenapa menunduk terus?"

"Emmm ... tidak Pak! Saya sama sekali tidak takut pada Bapak," jawabku mantap.

Untuk apa takut dengan suami sendiri? Walaupun aku tidak dianggap. Hanya saja tadi aku merasa
canggung. Karena baru pertama kalinya memasangkan baju pada pria. Meski itu suamiku.

"Itu hanya pekerjaan ringan, Bening! Tidak perlu kamu sampai gemetar."

Ia tersenyum puas seakan meledek. Sungguh aku merasa kesal. Rasanya rambut halusnya itu pengen
kujambak.

"Bening? Tolong sisirkan rambut saya ini."

Permintaannya makin aneh-aneh. Rasanya aku seperti pembantu dan benar-benar tak dianggap istri.

"Bapak kan bisa sendiri!" seruku.

Sorot mata tajamnya menatapku. Membuatku tak bisa berkelit dan langsung mencari sisir. Setelah
menemukan sisir dan berhadapan dengan manusia antartika ini. Aku berjinjit untuk menyisirnya.
Namun ia begitu tinggi sampai aku merasa kesulitan.

"Pak saya kesulitan menyisir rambut Bapak kalau Bapak berdiri. Bisakah Bapak duduk?" pintaku
padanya.

Hening sejenak. Ia seperti memikirkan sesuatu.


"Kamu merasa kesulitan ya? Saya suka kalau kamu merasa kesulitan. Dengan begitu kamu tidak
betah dengan saya."

Ganteng sih iya. Namun sayang seribu sayang mulutnya pedas sekali. Aku benci sekali sama kamu
Pak! Terpaksa menyisir rambutnya walau aku harus menjinjit. Terlihat senyumnya tipis-tipis
menambah ketampanannya. Astagfirullah! Tak kusangka ketampanan makhlukmu bisa kunikmati Ya
Allah. Tapi tidak jiwanya.

"Aduhhh Bening! Kamu mau merobek kepala saya? Kalau nyisir itu pelan-pelan pakek perasaan,"
protesnya. Benar saja aku tadi sengaja menekan sisir ini dengan kuat. Habisnya kulihat dia senyum-
senyum dan tak tahu apa yang membuatnya tersenyum itu.

"Maafkan saya Pak. Tapi apakah Bapak pakai perasaan saat tidak menganggap saya sebagai istri?"

Seketika raut wajahnya berubah ia melangkah dan meninggalkanku dengan sejuta tanya.

Setelah turun dan mempersiapkan sesuatu yang akan di bawa ke kampus. Terdengar suara kegaduhan
dari bawah. Rasa penasaran menuntunku ke arah kegaduhan itu.

"Dion kamu tidak sayang Mama? Kenapa kamu baru pulang. Hah?!"

Mencari sumber suara. Ternyata Tante Jessi yang marah pada Dion. Terlihat amarahnya menggebu.
Sorot mata tajam Tante Jessi sangat menakutkan bak kuntilanak di siang bolong. Kuberjalan perlahan
mendekati mereka.

"Bening? Ngapain kamu di sini? Bukankah pernikahan kita batal?"

Pertanyaan beruntun dari Dion kutu kupret membuatku kesal. Bagaimana tidak? Dia yang
meninggalkanku. Malah dia yang mencecar.

"Dion sudah menjadi istri sahku!"

Suara Pak Kunang mengagetkan. Seketika Dion terlihat tercengang. Tangannya mengepal kuat.

"Apah! Kamu kakak iparku? Aku tidak terima!" seru Dion.

PLAKK!!! Aku terperangah. Tamparan seseorang tepat mengarah ke pipi Dion yang mulus tanpa
jenggot. Ya, Tante Jessi menampar Dion. Sedangkan Pak Kunang terlihat tenang saja sambil meneguk
kopi di atas meja.

"Mama lebih milih gadis bau balsem ini?"


"Kamu goblok Dion! Kamu mau mempermalukan Mama dengan lari di acara akad? Untung ada
Kunang yang menggantikanmu."

Dion malah cekikikan atas perkataan Tante Jessi.

"Baguslah! Ternyata saking gak lakunya si Bening mendapatkan kawin paksa! Memang dia tidak
pantas untukku yang tampan dan harum."

Menjijikkan sekali pria sok ketampanan ini

PLAKK!!! Kutampar pipinya dengan sangat keras. Benar-benar tidak memikirkan perasaan seorang
wanita. Dengan gemuruh yang berada di dada. Kutinggalkan mereka tanpa kata. Terlihat mata Dion
yang sangat geram terhadapku. Tante Jessi sepertinya puas karena ia juga sangat kesal pada Dion.
Sementara Pak Kunang dengan santainya melihat istri dimaki.

"Bening?"

Suara tak asing lagi membuatku menoleh. Terkejut saat mendapati pria tinggi menjulang dengan tas
ransel yang bewarna krem.

"Kamu masih ingat aku, kan?"

"Aku sepertinya mengingatmu. Tapi dimana ya?" tanyaku.

"Haha begitu cepat kami melupakanku. Aku temen smpmu. Kamu ingat namaku?"

Keningku mengerut. Anganku dipaksa melesat ke tahun silam di mana aku masih SMP. aku berusaha
mengingat namanya. Setelah beberapa menit pun tak ada hasil. Astagfirullah! Betapa malunya aku
lupa namanya. 

Tanpa persetujuanku dia menarik paksa tanganku. Puluhan pasang mata di kampus melihat ke arah
kami. Kami menjadi tontonan massa. Bisakah dia tidak menarikku?

"STOP! Tolong yang sopan dong," pintaku setelah menangkis tangannya dan meniup tanganku.
Seakan berdosa tersentuh oleh tangan lelaki yang bukan mahram.

"Sorry aku hanya ingin mengajakmu duduk. Boleh?"

Aku mengangguk dan duduk bersamanya.

"Aku kira kamu bakal mengingatku." Ia bersuara. Saat dilihat bagaimana aku bisa mengingatnya?
Sementara ketampanannya terlihat sempurna. Ditambah saat ia tersenyum tercipta lesung pipi yang
menggemaskan. Astagfirullah aku harus sadar bahwa sudah punya suami. Kusegera menundukkan
kepala.

"Perkenalkan saya Candra."

Mataku membola saat ia mengatakan namanya. Benarkah dia Candra yang gemuk itu? Kenapa bisa
setampan ini? Seakan tak percaya dengan apa yang tampak di depan mata.

"Lagi terkesima ya?"

"Eh emm ... enggak kok." Ah sial lidahku begitu kelu.

"Ka--kamu kok bisa kurus sih? Dulu kan gemuk." Sengaja mengalihkan pembicaraan untuk
mencairkan suasana.

"Ya itu kan dulu. Kamu masih sama seperti dulu ya. Tetap cantik dan manis."

Seketika dadaku menari-nari mendengar perkataan Candra. Teringat akan masa lalu saat Candra
menyukaiku. Tapi rasanya itu tidak mungkin karena dia berubah menjadi pangeran yang tampan.

"Kok bengong sih! Aku tampan kan?" Candra mengedipkan salah satu matanya. Menambah kesant
cool di dalam dirinya.

"Apaan sih Candra. Kamu baru ngampus di sini sejak kapan?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Aku tau dari temen katanya kamu ngampus di sini. Jadi aku bela-belain pindah kampus. Hanya demi
kamu."

Astaga entah perkataan Candra membuatku senang atau tidak. Karena aku tidak mungkin berlama-
lama dengan pria lain.

"Kenapa kamu sampai pindah sih?" tanyaku penasaran.

Candra memegang tanganku dan mengeratkan jari jemari. Entah apa yang aku rasa saat ini. Yang
pasti aku seperti tersengat aliran listrik. Berusaha melepaskan genggaman Candra. Namun, tangannya
semakin mengerat. Astagfirullah ada apa dengan Candra?

"Lepas Candra! Kamu kenapa?"

"Aku masih sayang Kamu. Aku tahu rasa sayang ini memang sudah basi karena dulu aku pernah
nembak kamu waktu SMP. Namun, rasa sayang ini masih sama seperti dulu."
Ah Candra mengapa masih ingat masa itu. Masa itu aku menolaknya, ya karena memang aku tidak
suka pacaran dan ingin fokus pada pelajaran.

"A--aku ...."

"BENING!" Belum menjawab perkataan Candra. Teriakan seseorang membuatku tersentak. Saat
menatapnya ternyata sosok yang tak asing lagi.

Bersambung.

Bab 11 (Kembalikan aku pada ibuku)

Mengirim tubuhku menjauh dari hadapan Candra. Karena sekarang tanganku ditarik kuat oleh suami
sendiri. Ya, Pak Kunang menarik tangan seorang tuan putri tidak berdosa sepertiku hingga rasanya
mau patah. Puluhan pasang mata pun menatap tajam ke arah kami. Fix sudah dua kali aku dijadikan
tontonan.

Ya Allah ... Bening salah apa? Sampai suami sendiri berbuat kasar? Beginikah cara dia
memperlakukan istri? 

Padahal di awal pernikahan sama sekali tidak terbesit dalam angan untuk mencintai dia, untuk
berbakti dengannya. Tapi bagaimana seharusnya istri sholehah memang harus patuh pada suami,
walau suami tersebut sama sekali tidak menganggapku istri. Sungguh tragis dan malangnya nasibku.

Kutahan kesakitan yang amat menyakitkan ini. Bukan hanya fisik yang terasa nyeri. Tetapi hati yang
seakan tercabik pilu. Dunia pun seakan runtuh menggugurkan langit. Seorang pria yang mematahkan
hati seorang wanita itu bisa dosa besar.

"Stop Pak! Tangan saya sangat sakit," pintaku yang mengekor dan tak terasa kepala menggeleng-
geleng sendiri. "Saya mohon Pak! Ada apa dengan Bapak? Aku salah apa?" lanjutku dengan
memberanikan diri menatap kedua manik matanya.

Hening tak ada jawaban seperti berbicara pada tembok yang bisu. Anganku mulai melesat dan ingatan
kembali pada Candra yanh menggenggam erat jemariku. Apakah beruang kutub ini cemburu?
Seketika senyumku mengembang membentuk bulan sabit dan tubuh terasa ringan seakan ke angkasa.
Bisa disebut aku seperti layangan yang bebas terlepas. Mungkinkah aku bisa menakhlukkan suami
sendiri? Mungkin deretan gigi putihku muncul seiring kebahagiaan di dada.
"Hei! Masih mau berdiri atau duduk?" suara Pak Kunang mengembalikan anganku ke dunia. Padahal
tadi sepertu merasakan gravitasi bulan. Ya karena anganku untuk bisa menakhlukkannya itu sangat
tidak mungkin. Bahkan sangat mustahil. Kuturuti perintahnya dan kutempelkan pantat pada kursi.

"Jangan cengar cengir kayak kuda nil. Kenapa tadi kamu diam saja saat dipegang oleh cowok itu? Dia
siapa?"

Kenapa pria antartika ini malah menanyakan hal yang tidak penting? Bukankah pernikahan ini tidak
serius ia jalani? Apa benar dia cemburu? Beribu pertanyaan ingin lolos dari bibir. Namun, nyali terasa
ciut.

Untuk melepas kecanggungan kukeluarkan balsem. Rasanya napasku butuh asupan karena pria yang
disamping ini sangat sulit ditebak. Kuhirup aroma balsem dan sedikit merasakan ketenangan dalam
jiwa.

"Bening! Kamu malah mencium balsem? Tadi kan saya bertanya sesuatu padamu ... seharusnya kamu
jawab!"

"Iya lah Pak saya cium balsem! Masak saya mau cium Bapak? UPS!" Seketika perkataan konyol
terlontar dari bibir ini. Inginku merutuki diri karena telah membuat pertanyaan konyol. Kupandangi
wajah Pak Kunang yang mematung karena ucapanku. 

Mata tertuju pada pipi tipis sedikit gempul yang terlihat gemas ketika terkejut. Kenapa rasanya ingin
kucubit pipinya, ya?

"Aduh ... Bening, Kamu gila, ya!" serunya sambil mengusap pipi yang tercubit olehku.

"Habis pipi Bapak gemas, sih ...." Seketika rona diwajahnya berubah menjadi merah jambu.

"Pak! Tadi sebenarnya cowok itu mantan saya ... mangkanya saya biarkan dia menggenggam jemari
saya ...."

Tak apa kali ya mengerjai suami sendiri? Toh aku ingin tahu reaksinya. Kulihat wajahnya pun penuh
amarah. Wah kenapa malah menambah ketampanannya dua kali lipat? Sungguh sayang kalau
melewatkan wajah tampan yang penuh amarah seperti ini.

Sorot matanya berubah menjadi merah nanar. Daripada dimarahi atas kejailanku mending kabur saja
menggunakan langkah kaki seribu. Dengan gencar aku meninggalkan Pak Kunang walau ia terus saja
memanggilku.

*
Sekarang hari yang paling melelahkan bagiku, sebab dikampus aku harus menjauhi pria yang kini
telah menjadi suamiku. Saat Pak Kunang tolah toleh mencariku, disitulah aku bersembunyi. Masih
terngiang dalam ingatan saat aku menjailinya. Sungguh mengapa dia marah kalau dia tidak
mencintaiku?

Langkahku terayun ke anak tangga yang sedang kutapaki. Anganku masih membayangkan wajah Pak
Kunang.

Bruk! Badan kokoh membuatku terjatuh, rasanya tulang ekorku sakit sekali. Siapa sih yang
menabrakku?

"Hahaha rasain kakak ipar yang sok cantik!" Suaranya seperti aku kenal? Segera mendongak dan
mendapati senyum menyeringai dari Dion.

Astagfirullah!!! Saat ini hanya itu yang aku sebut dalam hati karena menghadapi orang seperti dia itu
tak akan ada habisnya.

Berusaha berdiri sendiri walau sebenarnya tidak kuat. Tak mau menjadi bahan tertawaan si pria jahat.
Tanpa menatap wajah penuh kepuasan itu, langkah kaki terayun meninggalkannya.

Tiba-tiba tangan serasa dicekal kuat. Aku berusaha meronta untuk melepaskan genggamannya.
Namun, usahaku sia-sia.

Astagfirullah mau dia apa, sih?

"Apa mau kamu sih ... adik ipar?" Berusaha melembutkan suara walau rasanya ingin menghajarnya
habis-habisan.

"Kenapa kamu seperti menghindariku?" 

Pertanyaannya bikin gemas deh. Apa harus aku bilang kalau dia pernah menyakitiku?

"Aku tidak perlu menjawab pertanyaan konyolmu karena kamu sudah tau alasannya bukan? Kalau
kamu tidak menyakitiku mungkin kita masih bisa berteman ...."

"Hahaha berteman? Menganggapmu ada saja itu tidak pernah dalam pikiranku!"

Oke aku sadar aku berbicara pada siapa. Seharusnya tidak perlu menjawab apa pun darinya yang
hanya membuat luka.

Dion pun hendak melangkah menjauhiku. Tapi entah mengapa tubuhnya seperti terhuyung seakan
mau jatuh. Ia pasti kehilangan keseimbangannya. Huh dasar anak itu ceroboh. Lalu tangan Dion
memegang bahuku, mungkin untuk menahan tubuhnya yang akan jatuh. Seketika aku tercengang saat
mendapati wajah Dion yang sangat dekat dan kuakui ketampanannya terlihat jelas.

Jantung bergetar tak kuasa berada di dekat pria asing seperti ini. Aku tak berani memandang matanya.
Apa yang harus aku pandang? Kalau aku pandang ke bawah maka sorot mataku akan melihat hidung
mancung serta bibirnya. Astagfirullah cobaan apa lagi ini?

Kutahan rasa gemuruh yang bersarang di dada. Aku harus segera bangkit dan meninggalkan pria gila
ini. Segera berusaha bangkit serta merapikan jilbab yang tertarik karena ulahnya. Tanpa sepatah kata
pun meninggalkan dia dengan wajahnya yang terlihat bengong.

Setelah melangkah menjauhi Dion. Akhirnya sampailah di pintu kamar. Menutup pintu kamar
sembari menahan gejolak hati. Bisa-bisanya aku melihat wajah Dion sedekat tadi. Kalau saja dia tidak
kabur diacara akad. Maka mungkin kejadian tadi sah saja karena aku istrinya. Tapi kenyataannya
tidak.

"Lagi ngapain di depan pintu?" Anganku tersentak saat melihat pria berselonjor manja di kasur
kingsizenya. Sorot mata yang terasa mengguliti itu sangat tak layak dipandang. Mengingat akan
kejailanku dikampus rasanya nyaliku sangat ciut untuk mendekatinya.

"Sini saya mau bicara ...," ucapnya sambil melambaikan tangan.

Segera kupatuhi saja perintahnya walau rasa takutku begitu membebat di hati.

"A--ada apa yah, Pak?" 

"Ternyata itu mantan kamu?" Ia terlihat serius. Bagaimana ini? Apakah aku akan melanjutkan
kebohonganku?

"Dia itu ...."

"Saya sangat kecewa padamu Bening. Kamu boleh saja tidak mencintai saya. Namun, statusmu masih
istri saya. Bukan apa. Kalau Mama sampai tahu kamu selingkuh. Dia bisa lebih kecewa daripada
saya ...." 

Glek! Aku menelan ludah saat pria itu mencurigai aku selingkuh. Apa yang harus aku lakukan ya
Allah?
"Ti--tidak Pak! Saya tidak selingkuh. Saya tidak bohong ...."

Ia mencoba menstop perkataanku dengan memberi kode tangan lima.

"Hukumanmu bertambah Bening!"

Mulutku menganga membentuk huruf O besar saat mendengar perkataannya. Hukuman apalagi yang
akan ia berikan?

"Jangan Pak! Jangan menghukum Bening ... please!" Kugenggam jemarinya kuat-kuat. Tak peduli ia
menyikapiku wanita aneh. Karena ketakutan hukuman ini lebih menakutkan darinya dan aku takut
tidak sanggup menjalanu hukuman dari pria ini.

"Kita lihat saja nanti apa hukumanmu."

Ia beranjak dan berlalu meninggalkanku setelah menangkis tanganku. Rasa takut mulai bersarang.
Aku tahu, diri ini bukan wanita yang pantas untuk mendampinginya. Kalau dia tidak mencintai
seharusnya pernikahan ini kandas saja.

Aku tidak mau menerima hukuman yang akan membuatku tersakiti. Kalau memang ia akan
memberikan hukuman maka satu-satunya hukuman yang terbaik adalah menceraikanku dan
mengembalikan aku pada ibuku.

Bersambung.

Bab 12 (Diberi hukuman)

Sesudah memanjatkan beberapa doa serta mendoakan ayah supaya terbebas dari siksa kubur.
Menggulung sajadah menaruhnya di tempat asal dan kemudian merapikan jilbab. 

Sekarang saatnya menutup rapat pintu harapan bahwa tidak bisa membalikkan hati pria dingin. Tidak
mungkin ia mencintai dengan setulus hati. Apalagi ia akan memberikan hukuman. Aku pun Segera
mengambil selimut untuk tidur di bawah lantai. Sepertinya ini adalah hukuman yang aku rancang
sendiri.

Oke, daripada harus menunggu hukuman apa yang akan diberikan pria setengah waras itu. Mending
berinisiatif membuat hukuman sendiri. Pasti pria itu merasa sangat puas setelah melihat apa yang aku
lakukan ini.
Tak lama membuat hukuman untuk diri sendiri. Terdengar bunyi derap langkah seseorang membuat
bulu kuduk merinding. Bisa dipastikan dia adalah Pak Kunang. Segera memejamkan mata dan
berpura-pura tertidur pulas layaknya putri salju. Derap langkah semakin mendekat, membuat
jantungku meronta. Pasti tercipta senyum dibibirnya setelah melihat aku kedinginan seperti ini.

"Bening? Apa yang kau lakukan? Kenapa tidur di bawah?"

Pertanyaannya sengaja tak kujawab. Untuk apa menjawab pertanyaan yang akan membuatku
mendapat hukuman. Aku akan bertahan dengan kepura-puraaan yang sedang aku jalani ini. Walau
beberapa kali pria itu memanggil. Aku tak akan menghiraukan.

Hening untuk beberapa saat. Aku pun tak tahu apa yang ada di otak pria itu. Seketika aku kaget saat
tubuhku dibopong ke atas ranjang. Terpaksa kubuka mata dan menatap Pak Kunang yang tengah
menatapku tajam.

"Apa yang Bapak lakukan? Stop!"

"Seharusnya saya yang bertanya!" jawabnya ketus.

Glek! Aku menelan ludah beberapa kali. Sorot matanya sangat tajam apakah ini saatnya aku
menerima hukuman? Entah apa yang harus kuterima hukuman itu. Pasti hukuman itu sangat berat
mangkanya dia mengangkat tubuhku. Karena dia ingin aku lebih tersiksa lagi.

"Aku sedang menjalani hukuman Pak! Daripada Bapak repot-repot mencari hukuman buat saya
mending saya buat hukuman sendiri yaitu tidur dibawah lantai ...."

Ia tersenyum menampilkan sisi tampannya. Sungguh senyumnya manis sekali seperti madu. Tapi
tidak hatinya.

"Berbaringlah! Saya akan katakan apa hukuman untukmu ...."

Kuturuti perintahnya. Walau hati penuh digeluti rasa takut. Sebenarnya apa mau dia? Saat kami
terbaring dalam satu ranjang. Pak Kunang membuang guling yang selama ini kami gunakan untuk
membatasi tidur kami. Apakah dia sudah menerima pernikahan ini?

"Bapak kok membuang pembatasnya? Katanya kita kalau tidur harus ada pembatasnya?" tanyaku
sambil berkedip-kedip saking keheranan.
"Hukumannya pembatas ini tidak lagi menghalangi kita," tukasnya.

"Mak--maksudnya?" Aku benar-benar tidak memahaminya.

"Mama memaksa saya ... beliau menyuruh saya memiliki anak dari kamu. Jadi mau tidak mau kita
harus .... Kamu pasti ngerti maksud saya, kan Bening?"

Astagfirullah ... astagfirullah ... Kuucapkan istigfar berkali-kali dalam hati. Pak Kunang menyuruhku
untuk mempunyai benih darinya? Dan ia melakukan itu karena paksaan Tante Jessi? Bisa-bisanya dia
memperalat aku untuk menghasilkan bayi. Sama saja dia menganggapku ini pelacur.

"Maaf Pak! Saya bukan PELACUR! Saya masih punya harga diri ...," ucapku mantap.

"Pelacur? Maksud kamu apa Bening?" Ia malah sok polos bertanya. Menyebalkan sekali.

"Apa namanya kalau bukan pelacur, Pak? Saya harus menghasilkan bayi sedangkan Bapak
melakukannya bukan atas dasar cinta melainkan paksaan dari Tante Jessi. Ya berarti sama saja Bapak
menganggap saya ini pelacur!"

Setetes demi tetes bulir bening berjatuhan membasahi bantal yang menopang kepalaku. Ia sepertinya
terkejut atas penuturanku barusan.

"Saya sama sekali tidak menganggapmu pelacur! Saya hanya menjalankan tugas dari Mama. Saya
bahagia kalau Mama juga bahagia ...."

Walau ia tidak mengangapku pelacur. Tetap saja hati ini teremas begitu pilu. Bagaimana rasanya
menjadi istri yang hanya diperalat untuk mencetak bayi? Rasa sakit dan kecewa yang mendera jiwa
ini seakan tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pernikahan seharusnya tumbuh atas dasar cinta, dan
memiliki buah hati juga bagian dari itu. Apa gunanya memiliki buah hati tapo tidak ada dasar cinta.

"Sadarlah Pak! Walau Bapak tidak menganggap saya sebagai pelacur. Namun, sama saja saya merasa
seperti pelacur yang hanya mencetak bayi tanpa ada rasa cinta dari Bapak dan Bapak hanya
mementingkan kebahagiaan Tante Jessi."

Segera beranjak keluar mengambil selimut. Tak peduli panggilannya yang dia pikir akan
menghentikan langkahku. Tiba-tiba aku dipeluk dari belakang. Langkahku otomatis terhenti. Deraian
air mata yang memilukan begitu membasahi pipi dan gerimis dihati sangat menyakitkan.
"Kamu mau ke mana? Bagaimana kalau Mama mengira kita tengkar? Kamu jangan egois Bening!
Pikirkan perasaan Mama. Kalau tahu kita tidak seranjang ...." lirihnya ditelinga dan masih memelukku
erat.

Segera melepaskan tangannya yang tengah memelukku. Aku tak mau lagi tertipu dengan perhatian
lelaki. Ternyata ia menikahiku hanya untuk menyenangkan Tante Jessi. Sadar Bening! Kamu jangan
terlalu berharap padanya. Anganku melesat dan mengingat di awal pernikahan dia memang
melakukannya demi Tante Jessi.

"Baiklah saya akan tetap tidur bersama Bapak! Tapi maaf, saya tidak mau melakukan hukuman yang
bapak sebutkan tadi ...," pintaku.

Ia pun mengangguk. Aku kembali tidur bersamanya tanpa pembatas. Entah rasanya malah ini sangat
beda. Aku takut Pak Kunang akan berbuat sesuatu yang tidak senonoh.

Mengingat dia selalu menuruti perintah Tante Jessi. Aku takut kalau dia sampai memperkosaku.
Astagfirullah istri macam apa aku ini? Mengapa aku berpikiran negatif pada suami sendiri?

Berusaha mata tetap terjaga karena hati masih digeluti rasa takut. Bayangan Pak Kunang yang
mengajak untuk mempunyai buah hati malah menghantui malam ini. Saat tangan Pak Kunang
melingkar diperutku. Cepat-cepat kuangkat tangannya dan kukembalikan ke tempat asalnya.

Tidak ada cara lain untuk menghilangkan rasa takut yang membebat ini. Sepertinya memang harus
tidur dibawah lantai. Tak mau sampai Pak Kunang mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Menumpuk selimut untuk dijadikan alas. Belum beberapa menit, dingin mulai menusuk tulang. Tidur
dibawah ternyata tidak enak. Kantukku semakin bertambah karena tidak bisa tidur. Kedinginan begitu
mendera raga. Panas dingin menjalar keseluruh organ.

Astaga apa yang harus aku lakukan?

Bersambung.

Bab 13 (Musibah yang datang tiba-tiba)

Kepala rasanya sangat sakit serta berdenyut hebat. Semua gelap namun perlahan terlihat secercah
sinar. Sinar begitu menyilaukan mata sampai mataku berkunang.
Setelah mengumpulkan segenap kesadaran. Aku kaget mengapa tubuhku terganti pakaian serta
dimana aku? Tangan mencengkram sprai sambil otak dipaksa mengingat kejadian apa yang terjadi.

Setelah ingat kejadian di malam itu. Dimana aku merasakan kedinginan yang amat menusuk tubuhku.
Lalu mengapa aku ada di tempat aneh ini? Dimana aku sebenarnya ya Allah? Apakah aku sudah mati?
Astagfirullah!

Rasa haus tiba saja mendera leher. Leher seakan tercekik. Aku seperti dehidrasi. Selang? Selang apa
yang terhubung dihidungku ini. Sepertinya ini dirumah sakit.

Terlihat dimeja samping ada segelas air minum. Kucoba meraih dengan tangan gemetar untuk
meminumnya.

Plassshhh! Sayangnya air minum itu jatuh dan pecahan gelasnya berserakan. Huft sesak sekali
rasanya berada ditempat ini. Bau rumah sakit ini sangat tidak enak. Apakah Pak Kunang yang
mengirimku kesini? Baik sekali dia. Seketika senyumku mengembang bak donat yang sedang
dikocok.

Tunggu itu seperti ada suara seseorang? Tapi siapa?

"Rahasiakan ini semua! Jangan sampai Pak dokter memberi tahu!"

"Baik Pak! Anda tak perlu mengancam saya. Saya tahu apa yang harus saya lakukan!"

Suara itu? Siapa yang bersuara diluar sana? Itu seperti percakapan Pak Kunang. Apa sebenarnya yang
dia rahasiakan dariku. Mengapa pernikahan ini semakin pelik dan tak tentu arah. 

CEKLEK!!

Seseorang membuka pintu. Sebaiknya aku perpura-pura tidur saja. Aku ingin tahu apa yang
dibicarakan Pak Kunang saat aku masih tidur.

"Kasian Bening ya, Kunang!" Itu pasti suara Tante Jessi.

"Salah dia sendiri Ma! Dia benar-benar gadis membawa petaka bagi keluarga kita!" 

Glek! Kutelan ludah seperti menelan kerikil tajam. Perkataan Pak Kunang menusuk jiwaku. Apa
maksud dari perkataannya? Apa salahku kali ini?

"Kunang! Pelankan suaramu! Dia bukan gadis membawa petaka. Dia adalah gadis lugu yang harus
dijaga. Kalau pun ada musibah dikeluarga kita itu adalah takdir, Kunang!" Apa maksud Tante Jessi?
Musibah apa yang terjadi dikeluarga Tante? Kenapa rasanya ada masalah baru dikeluargaku.
"Pokoknya aku akan bercerai. Aku tidak mau mendapatkan musibah yang lain! Cukup Tiara saja yang
meninggal." Suara Pak Kunang sangat menyakitkan. Kenapa aku harus diceraikan sementara usia
pernikahan belum satu bulan? Deraian air mata sudah membasahi pipi. Walau berpura-pura tidur
pulas. Tapi, entah kenapa menahan air mata itu susah. Lalu kenapa Tiara disebut-sebut?

"KUNANG! KUNANG! BERHENTI!" Sepertinya Tante Jessi berusaha menghentikan langkah Pak
Kunang. Kuintip mereka dengan membuka mata sedikit. Terlihat Tante memegang lengan Pak
Kunang. Tapi Pak Kunang malah menangkisnya.

BRAKKK!!!

Astagfirullah aku tak tahan lagi. Setelah melihat Tante Jessi terbentur ke tempat tudurku. Darah
keluar mengucur deras. Aku beranjak dan langsung turun untuk menghapus darah-darahnya.

"Pak! Apa yang Bapak lakukan? Bisakah bapak tidak kasar pada Mama?!"

"Mama! Mama berdarah bening!" Pak Kunang terisak sambil memelukku erat. Rasanya seperti
disurga. Mungkinkah dia sudah mau membagi dukanya padaku? Kuhapus air matanya dan tangan
kutempelkan dipipinya.

"Jangan sedih, Pak! Duka Bapak adalah duka saya juga ...," ucapku mengelus pipinya. Namun, entah
kesurupan apa dia. Dengan garang dia mendorongku sampai aku tersungkur.

"Pak, apa salah saya?" tanyaku memegangi lutut yang sakit.

Pak Kunang tak menjawab. Ia lebih fokus membopong Tante Jessi. Ya Allah kenapa Pak Kunang
seperti membenciku?

"Pak!" Aku berlari sambil memegang lutut yang sakit. Tak terasa aku tertinggal. Pak Kunang sangat
cepat membopong Tante Jessi.

Ada seseorang yang menepak pundakku. Aku tersentak dan menoleh.

"Pak dokter?"

"Ada apa Bening? Mengapa kau terlihat gelisah?" tanya Pak dokter padaku. Suaranya seperti kukenal.
Itu dokter yang berbicara pada Pak Kunang beberapa menit yang lalu.
"Pak dokter tau nama saya?"

Pak dokter yang memakai baju putih ini mengangguk.

"Pak dokter? Saya bingung! Seingat saya. Saya tidur dilantai. Ke--kemudian saya ada dirumah sakit
dan Pak Kunang terlihat sangat membenci saya. Sa--saya ...."

"Tenangkan dirimu Bening! Mari kita duduk!" Kuturuti perintah Pak dokter dengan berjalan
mengekor dibelakangnya.

Tubuhku bergetar. Bibir ini sulit berucap dan menanyakan apa sebenarnya yang terjadi selama aku
dirawat. Mengapa sepertinya ada masalah besar dikeluargaku. Bahkan Pak Kunang akan menceraikan
aku.

"Saya tau kamu sekarang kebingungan, mengapa suamimu sangat membencimu ...." Kulihat Pak
dokter menghirup udara dan mengeluarkannya dengan kasar. Mata Pak dokter berkunang sepeti ingin
mengeluarkan cairan kesedihan.

"Ini diluar batas kemampuan saya, Bening. Kamu membutuhkan darah golongan AB, stok dirumah
sakit kebetulan habis dan yang mempunyai golongan darah yang cocok denganmu hanya Dion. Dion
rela mendonorkan darahnya agar kamu bisa sembuh. Akan tapi musibah terjadi padanya. Ia tiba-tiba
dehidrasi dan sesak napas. Dan Allah lebih sayang padanya. Ia meninggalkan kita semua ...."

Tubuhku semakin bergetar saat pernyataan yang dilontrakan oleh lelaki memakai baju putih
disampingku. Bagaimana bisa Dion meninggal begitu cepat? Kenyataan ini tak bisa kuterima. Dia
memang jahat. Tapi, dia juga adik iparku.

Tetesan demi tetesan bulir bening dari matapun berjatuhan. Aku nangis sesenggukan serta sambil
menghapus jejak kepiluan. Sesak yang kurasa sangat menyesakkan dada.

Meremas apapun yang aku pegang. Untuk menahan gejolak hati yang berkobar. Sambil memikirkan
gimana perasaan Pak Kunang saat ini. Pasti perasaan pria dosen itu sangatlah hancur lebur.

"Aduh Bening! Sakit ...."

Suara Pak dokter mengagetkan. Betapa malunya aku setelah mengetahui bahwa yang kuremas tadi
adalah paha Pak dokter. Segera kututup wajahku dan berharap kejadian tadi adalah mimpi.

"Sudah jangan malu seperti itu ...." Kedua tangan Pak dokter memisahkan tanganku dari mukaku.
Seketika terlihat semyum Pak dokter padaku.
"Pak? Maafkan Bening. Bening tidak sengaja ... Bening kepikiran dengan gimana perasaan Pak
Kunang saat ini. Pasti dia sangat terpukul ...," kataku.

"Sebaiknya kamu pikirkan kondisi batinmu, Bening. Kamu tau? Kunang saat ini sangat membencimu.
Karena dia pikir kamu adalah pembawa musibah yang bikin Dion meninggal!" 

Kugeleng-gelengkan kepala seakan tak percaya apa yang dikatakan Pak dokter tentang suamiku yang
telah membenciku. Walau pernikahan di awal begitu hambar. Masak iya Pak Kunang sangat
membenci istrinya?

"Tidak mungkin! Pak Kunang memang tidak pernah mencintai saya. Tapi apa mungkin dia membenci
saya dan menyalahkan semua musibah ini pada saya? Jawab Pak! Jawab!" Menggoncangkan tubuh
Pak dokter secara kasar. Sambil menatap bibirnya yang akan berucap.

"Sabar Bening! Istigfar Bening! Mana mungkin saya bohong? Dia yang bilang sendiri didepan Mama
dan saya. Dia tidak bisa memaafkan pelenyap Dion. Dia sangat mantap bahwa sumber pembawa
petaka itu kamu," titah Pak dokter. Matanya seakan menunjukkan kebenaran. Dia sepertinya jujur.

Napasku terengah-engah padahal aku tidak lari. Tubuhku mulai melemas. Ada apa dengan diriku ya
Allah? Dunia seakan sudah tidak indah lagi.

"Sepertinya kamu sangat sok Bening. Tunggu sini, saya akan ambilkan air minum. Kamu jangan ke
mana-mana." 

Pak dokter tersenyum dan meninggalkanku. Dia bilang aku jangan ke mana-mana? Mau kemana
gimana? Berdiri saja seakan susah. Mengapa hidupku penuh derita seperti ini ya Allah?

Srek!!!

"Kamu pasti haus ya Mbak?"

Suara seseorang yang sama sekali tidak kukenal menghampiriku. Dia menyodorkan sebotol minuman.
Wajahnya tidak jelas kelihatan karena dia memakai masker serta memakai tudung jaket.

"Si--siapa kamu?"

"Mbak tidak perlu tahu siapa saya! Yang jelas Mbak harus minum, ini dari Pak dokter loh!" Gadis ini
berkata.

"Bukannya Pak dokter menyuruh aku untuk tetap disini? Dimana sekarang Pak dokter?" tanyaku
memastikan bahwa minuman itu memang dari Pak dokter.
"Minumlah Mbak. Kalau Mbak tidak percaya yasudah, saya akan bawa minuman ini kepada Pak
dokter lagi!" ucapannya membuat aku segera merebut botol minuman yang ia pegang dan
menghabiskannya.

"Makasih ya, Dek!" Kusunggingkan senyum karena ia sangat baik mengantarkan minuman untukku.

Tiba-tiba kepala terasa berdenyut hebat. Mataku berkunang serta rasa pusing ini tak kuasa kutahan.
Ada apa denganku? Apa aku mau pingsan? 

"Jangan panggil saya adek! Panggil saya Tiara! Paham! Namaku Tika!" Gadis itu berbisik
ditelingaku. Apa maksud dia berucap Tiara?

"Tiara si--siapa?" Saat aku bertanya tiba-tiba semua pandangan rabun dan semua menjadi gelap.

Bersambung.

Bab 14 (Ternyata dia)

Membuka mata perlahan sambil memegangi kepala. Kucoba mengumpulkan sel otak dan mengingat
mengapa sampai mendadak pusing dan pingsan? Puing-puing secercah ingatan kembali dan
mengingat dimana ada sesosok gadis yang memberiku air putih. Entah siapa gadis itu yang
menyebutkan dirinya adalah Tiara.

"Kau sudah bangun, Tuan putri?" Suara seseorang yang mengagetkan. Tampak perempuan berambut
pirang memakai baju bewarna putih, dan di lehernya ia pakai dasi warna hitam. Gadis ini fix mirip
artis korea. Tapi kalau semuanya serba putih bisa jadi mirip Mbak kunti, hihi.

Aku akui perempuan itu terlihat sangat elegan, dan memukau. Bahkan aku saja menganga dibuatnya.
Ada keperluan apa dia denganku? 

"Si-siapa Kau? Dan kenapa aku berada di tempat tertutup seperti ini?" Aku mulai memberanikan
bertanya.

"Kau akan tahu aku setelah melihat foto -foto ini!" Ia melemparkan foto sekitar berukuran 4r, foto itu
berhamburan ke mana-mana bak sedang bermain mainan anak kecil. Benar-benar lagaknya udah
seperti di film-film. Bisakah dia sedikit sopan?
Kucobabberusaha meraih foto yang tengkurep didekatku. Namun aku baru sadar kalau kakiku tak bisa
berdiri. Ada apa dengan kaki ini? Setelah melihat ternyata kakiku diikat. Pasti ini ulah perempuan
yang bernama Tiara. Ia tersenyum menyeringai lalu memperlihatkan foto-foto tersebut di depan
mataku.

Astagfirullah, astagfirullah! Betapa mualnya aku saat melihat foto kebersaman suami dengan dia. Ya
Allah mengapa menjadi tambah rumit? Apa cuma karena masalah Dion. Pak Kunang langsung
selingkuh? Mengapa walau aku belum mengutarakan isi hatiku pada Pak Kunang. Tapi batin dan raga
ini tak rela melihat pemandangan tak lazim di foto tersebut.

"Sabarlah Bening! Hahaha!" Ia tertawa melengking seperti kuntilanak di siang bolong. Ya dia
memanglah pantas disebut kuntilanak. Sebab dia beraninya bemesraan dengan suamiku.

"Beraninya Kau bemesraan dengan suami halalku!"

"Lucu! Disini justru Kau perebut pacar orang!"

Apa maksudnya dia bilang kalau aku perebut pacar orang? Sepertinya perempuan ini sudah hilang
akal atau bisa dikatakan dia lebih pantas berada di rumah sakit jiwa.

"Aku adalah Tiara orang yang sangat dicintai oleh Kunang! Kau pasti tau tentang diriku?" Ia
mencengkram daguku.

JEDUAR! Seperti ada petir yang menyambar hebat dalam uluh hati. Benarkah Tiara masih hidup?
Memangnya dia bangkit dari kubur? Dih mengerikan sekali Tiara ini. 

"Pasti Kau tambah pusing ya? Biar aku ceritakan semua. Aku sebenarnya mengetes sejauh mana
Kunang mencintaiku. Karena pada saat itu ada yang bilang kalau Kunang itu selingkuh ...." Ia
menjeda kalimatnya dengan santai. Sementara aku disini deg-degan. Bagaimana mungkin manusia
yang telah meninggal bisa hidup kembali dan tidak ada cacat sedikitpun. Apakah dia bangkit lagi?
Meremas ujung jilbab sambil menenangkan hati dan membaca istigfar dalam hati.

"Aku memalsukan jazad! Saat kecelakaan itu, beruntunglah aku dan Kunang selamat. Aku
memanfaatkan kesempatan itu. Menaruk tubuh Kunang diluar mobil dan aku membeli tengkorak kw
manusia. Kemudian kubakar mobil tersebut. Pasti semua orang mengira bahwa Tiara sudah
meninggal! Hahahahhh Tiara sudah meningal hahaha." Ia berbicara melenggak-lenggokkan tubuhnya
bak sedang mengikuti kompetesi fashion show. Tega sekali dia sudah membohongi Tante Jessi dan
suami tercintaku.
"Jahat sekali kau Tiara? Kau membohongi semua orang!"

"Jahat katamu? Kau yang jahat! Bening!"

Benar-benar tidak waras. Bisa-bisanya dia bilang kalau aku jahat.

"Setelah itu aku berangkat ke Jerman untuk refreshing. Tapi aku malah mendengar kabar tentang
pernikahan Kunang. Aku terlambat. Kalian pun sudah menikah ... Kau perebut pacar orang Bening!
Kalau Kau menolak pernikahan itu, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Hiks!" kata Tiara
sambil menangis meraung-raung.

Ia juga berteriak histeris melemparkan apa saja yang ada di gudang ini. Oh gudang? Aku baru sadar
kalau aku berada di dalam gudang.

"Apa maumu?" Sebenarnya pertanyaan ini salah. Seharusnya aku menanyakan kapan dia
membebaskanku dari gudang yang pengap dan penuh debu.

Hening. Apakah dia meniru gaya Pak Kunang? Pasti kalau ditanya selalu mikir atau dia memang
terpukau akan kecantikanku?

"Aku sudah memiliki apa yang aku mau! Lihat dirimu dan kamu lihat juga diriku di cermin! Lihatlah
perbedaan kita sangatlah jauh!"

Gadis ini aneh. Dia menyuruhku untuk melihat dirinya dan membandingkannya denganku. Memang
dia sangat memukau. Ah kenapa aku jadi minder. Ini tidak boleh dibiarkan.

"Lihat aku! Aku cantik, elegan dan sempurna. Siapa sih cowok yang mau nolak nikah sama aku?" Ia
mengibas-ngibaskan rambutnya, sampai tak sadar ada upil dihidungnya. Ah orang ini jorok sekali.

"Iya kamu memang sangatlah cantik!" jawabku santai.

"Sukurlah Kamu sadar!"

"Tapi secantiknya dirimu tak akan pernah bisa menjadi istri Kunang! Karena apa? Karena aku istri
Kunang Damasta. Sedangkan kamu? Kamu hanyalah bayang-bayang masalalunya!" Segera
kusadarkan dia dari mimpi indahnya.

Ia terlihat gelisah sambil menggigit ibu jari. Gadis berambut pirang itu berjalan bak setrikaan. Ia
berjalan ke kanan dan ke kiri. Sementara upil dihidungnya masih belum jatuh. Menyedihkan.
"Kau salah! Aku tahu Kunang sekarang membencimu. Aku akan pergi ke rumah dia. Aku akan
mengambil hatinya!"

Percaya diri sekali dia.

"Tunggu!"

"Apalagi, sih, Bening? Kamu takut Kunang akan meninggalkanmu dan lebih memilih aku cinta
pertamanya?"

Aku menggeleng mantap. Buat apa takut sama gadis sok kepedean dan sok kecakepan kayak dia

"Aku hanya mengingatkan kalau upil Kamu mau jatuh tuh!"

Seketika raut wajah Tiara menjadi pucat pasi. Pasti dia bingung mau narok tu muka dimana.
Sementara malunya sangat besar. Mangkanya jadi orang jangan sombong dulu.

Hahaha aku ketawa dalam hati. Tiara seperti frustasi.

Bersambung.

Bab 15 (Siasat pelakor)

Gadis itu menarik paksa tanganku dengan kuat sampai aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh
beringsut digedung tanpa keramik. Lutut berdarah berceceran dimana-mana. Sedangkan ia
menyeretku tanpa ampun.

Mata nanar Tiara seakan menyembul penuh amarah. Seakan kepalanya benar mengeluarkan asap bak
kerbau, hehe. Padahal aku baik kan? Memberi tahu bahwa hidungnnya terdapat upil yang hampir
jatuh. Mungkin perempuan ini pasti mempunyai gangguan mental. Kalau tidak untuk apa dia berubah
ganas dan menyeramkan?

Tidak ada jalan lain selain berteriak meminta pertolongan. Mau melawan pun percuma. Kakiku diikat
dengan tali yang membuat kakiku sakit.

"STOP! Apa yang Kau lakukan ini sama sekali tidak berguna Tiara!"
Ingatan kembali pada Pak Kunang. Bisa-bisanya memiliki kekasih seperti Tiara. Aku juga sebenarnya
takut kalau dia bisa meluluhkan Pak Kunang.

"Hihahahihaaa ...." Benar-benar perempuan setengah waras di tertawa melengking. Sepertinya ia puas
menyakitiku.

"Kau benar Bening! Ayo ikut aku!" 

Dia melepaskan ikatan dikakiku. Entah rencana apalagi yang ada diotaknya. Yang pasti itu tak baik
bagiku.

Setelah dia melepas ikatan. Kumencoba menuruti perintahnya. Namun otakku mulai bekerja. Saat dia
membuka gudang aku berlari secepat mungkin. Berlari menuju suamiku. Akan kuadukan semua
tingkah konyol dan kejahatannya.

Setelah setengah jam berlari. Aku bersembunyi di semak-semak dan dilihat sudah aman aku pun
langsung berlari lagi. Tidak ada tanda-tanda Tiara mengejarku.

Apakah dia capek, terus langsung pulang?

Mencium aroma bunga di sekitar taman. Sukurlah dengan perjuangan berlarian setengah mati serta
kabur dari kejaran iblis wanita itu. Akhirnya sampai juga dirumah Pak Kunang. Rumah yang sangat
Kurindukan.

Satpam di depan tersenyum ramah padaku. Tak luput memperlihatkan gigi ratanya. Semoga Pak
Kunang menerimaku kembali.

Terdengar samar suara percakapan seseorang dengan Pak Kunang. Hati ini sangat penasaran siapa
yang bercakap di sana. Langsung saja dengan langkah terseok-seok mengirim tubuh untuk masuk ke
dalam.

"Baiklah aku akan jadikan dia pembantu di rumah ini!"

"Tapi Kunang kasian dia." Tante Jessi mengelak.

"Kunang akan memberikan hukuman buat dia Ma. Lagipula supaya Mama bisa tetap terjaga dan
selalu sehat ...."

Mataku membola saat mendapati Tiara dan Tante Jessi ngobrol dengan Pak Kunang. Ternyata aku
terlambat. Tiara mungkin saat itu tidak mengejarku, tapi dia langsung ke rumah Pak Kunang.
Bagaimana kalau Tiara mencoba menghasut mereka?

Tangan mendadak gemetar. Sekujur tubuh pun menegang. Terdengar saat Pak Kunang ingin
menjadikan seseorang pembantu? Ya Allah entah siapa yang akan dijadikan pembantu. Kubaca
istighfar beberapa kali di dalam hati. 

"Bagus Kau datang Bening! Darimana saja Kau?" Miris mendengar perkataan suami yang begitu
kasar.

"Saya ...."

"Kemarilah."

Kuteguk ludah untuk membasahi tenggorokan yang tercekat. Bagaimana kalau Tiara sudah
menghasut mereka dan kata-kataku tidak dipercaya oleh suami sendiri?

Berjalan perlahan. Pak Kunang memberi isyarat menggunakan jemarinya supaya aku duduk. Aku
duduk secara lemas tanpa tulang sembari menahan getaran dalam hati yang berdag-dig-dug bak
ditabuh. Kemudian Tiara si pelakor duduk berusaha mendekatkan diri pada suamiku.

Panas rasanya disini walau ada kipas angin. Inginku bogam muka sok cantik itu. Lebih panas lagi si
Tiara meraih tangan Pak Kunang dan menempelkan kepalanya dibahu.

Hening seketika beberapa menit. Pak Kunang memainkan jemari-jemarinya di atas meja seperti orang
mau menari tarian bali saja.

"Oke tanpa basa-basi lagi. Kamu sekarang memang tetap jadi istri saya, tapi kamu tidak lebih dari
asisten rumah tangga disini. Understand?"

APA! Ingin berteriak dan memaki tuan raja di depanku ini. Begitu tega dia membuatku menjadi
pembantu di rumah suami sendiri? Dimana letak prikemanusiaanmu Tuan Kunang? 

Ah dia sudah tidak pantas dipanggil tuan ataupun raja. Dia pantasnya dipanggil pengkhianat!

Ada yang berdesir perih dilubuk hatiku yang paling dalam. Sakit bertubi-tubi. Setelah dia berniat
menceraikanku. Sekarang malah dia ingin menjadikan aku budak!

"Oh jadi karena Tiara, Bapak ingin menjadikanku budak? Hah!"

Mulutku terbuka sempurna sehingga membentuk huruf 'o' besar. Sengaja sih aku lebarkan, dan
jarakku dengan Pak Kunang hanya terbatas meja.

Seketika raut wajah Pak Kunang dan Tiara berubah menjadi pucat pasi, sedangkan ibu mertua masih
tegang. Pasti Tante Jessi tidak tahu lagi ingin membelaku bagaimana.
"Kenapa Pak? Bapak ketakutan? Bapak nyesel sudah berencana untuk memperbudak wanita berparas
cantik sepertiku. HAH?!"

Lagi lagi kubuka lebar mulutku. Tak tahan dengan muka polos Pak Kunang dan raut wajahnya yang
pucat tanpa kata.

"Uekkkkk." Mendadak Pak Kunang mual, biasanya yang mual kan perempuan? Aneh sekali.

"Ueeeekkk ...." Suara Tiara tak kalah nyaring dengan Bapak. Apakah dua-duanya hamil?

"Bening Kau makan pete? Bau sekali!" bentak Pak Kunang mengibas-ngibaskan tangannya.

"Ia sumpah bau banget!" Si perusak rumah tanga orang itu menimpali.

Seketika aku tersenyum puas dan tidak merasa malu sedikitpun. Ternyata bau mulutku sedikit
memberi boom atom pada mereka. Aku terkekeh sembari memegangi perut yang bergetar. Tanpa
sadari seseorang menggebrak meja.

Saat membuka mata. Pak Kunang kembali dengan mata penuh amarah.

Sebegitu bencinya kamu padaku?

"Loh Mama kok diem saja. Emang Mama gak mencium bau mulut Bening?" tanya Pak Kunang.

"Kamu tau 'kan' Kunang? Mama kebetulan suka banget pete, dan menurut Mama bau mulut Bening
itu merupakan bau surga buat Mama. Jangan lupa Kunang dia istrimu, anggaplah dia surgamu ...."

Penuturan dari wajah bermata teduh seperti Tante Jessi mengingatkanku pada Ibu. Dia sangat sayang
sekali padaku. Perasaanku saat ini campur aduk, antara bahagia, bangga mempunyai mertua baik, dan
malu karena berbuat memalukan sudah membuka lebar mulutku.

Sepertinya Tante Jessi ingin aku dan Pak Kunang rukun. Namun, kalau masih ada Tiara disini,
bagaimana bisa? Semuanya mungkin hanya mimpi. Mimpi mendapatkan keluarga yang sakinah
mawaddah warohmah.
"Mama mulut Bening tadi bau sekali loh!"

"Tapi Bau pete kan Kunang?"

Pak Kunang mengangguk pelan.

"Bukannya kamu suka pete dan bau pete?" tanya Tante.

"Iya Ma, tapi gak dari mulut Bening juga!"

Seketika ada yang menggelitik perutku. Ternyata suamiku suka pete. Sesudah menemukan taxi dan
lari dari kejaran Tiara. Aku menyempatkan diri mengisi perutku di warung sahabatku. Lupa sampai
gak bawa uang.

Sahabatku membuka usaha. Dia baik sampai suruh menghabiskan pete. Saat aku enak mengunyah
baru ingat kalau aku harus segera pulang. Mungkin karena mampir di warung itu aku jadi terlambat
kerumah dan keduluan Tiara.

Anganku sadar sampai liat muka Tiara yang memonyongkan bibirnya bak bebek kecebur got. Melihat
Pak Kunang masih berdebat masalah bau mulutku dengan pete bersama Mamanya lucu sekali.

Eh ini bahas bau mulut atau apa sih? Kok muter-muter?

Bersambung.

Bab 16 (Masakan rasa tangisan istri)

Tidak tahu harus berkata apa pada suami sendiri. Tak bisa juga melawan kata-katanya, karena aku
masih punya kewajiban sebagai istri untuk mematuhinya. Walaupun diri ini muak dengan tipu
muslihat Tiara.

Sebenarnya aku curiga dengan bagaimana Tiara bisa menghasut Pak Kunang? Dia wanita yang
cerdas. Bisa merubah segalanya seperti membalikkan telapak tangan. Namun, hidup bukanlah
semudah itu. Ini pasti cinta Pak Kunang yang masih melekat dihati, sampai secepat itu luluh dihasut
wanita seperti dia.

"Aww!"
Tanpa sadar pisau yang aku gunakan untuk memotong sayuran ini mengenai jari indahku. Sampai
lupa kalau sekarang lagi masak. Teledornya kamu Bening! Rutukku. Meniup tangan yang mulai
mengucurkan darah. Serasa gerimis hati mulai berdesir. Aku tersenyum miris.

Ini tak sesakit ketika suami sudah berpaling pada wanita lain. Ya itu yang lebih sakit.

"Bening?"

Suara tebal serta agak berat itu membuatku tersentak. Tak mau membuatnya gelisah bahkan khawatir.
Ini luka kecil. Ya, aku tidak perlu manja terhadap dia. Segera tangan yang berdarah langsung
kusembunyikan.

Ingat Bening! Bersikaplah seperti tidak terjadi apa-apa, ucapku dalam hati.

"Apa yang Kau sembunyikan dibelakang pinggangmu?"

Duuuh kenapa rasanya tubuhku menegang? Apa yang harus kujawab?

"A--anu, sa--sayur. Iya sayur yang aku sembunyikan kok, Pak," jawabku dengan segala rasa gugup.

Dahinya mengernyit dan berkata, "Kenapa suaramu jadi gagap? Pasti ada yang Kamu sembunyikan,
kan?"

Aku menggeleng sambil berjalan mundur. Karena si pria yang katanya phobia wanita ini mulai
mendekat. Setiap langkah majunya membuatku malah mundur. Degup jantungku seakan berirama
dengan suara setiap langkahnya.

Apa yang ada diotaknya? Apa penting sesuatu yang aku sembunyikan ini?

Sialnya sekarang tubuh pria sedikit kekar dan brewok tipis-tipis ini semakin mendekatiku. Ah sialnya
aku terpojokkan. Sekarang aku tidak bisa berjalan mundur ataupun maju bahkan diri ini seperti sudah
menjadi patung.

"Apa mau Anda?


Hening dan hanya tatapan yang menyiratkan tanda tanya. Ah dia seperti mengintrogasiku saja.
Wajahnya semakin mendekat dan ... apakah dia mau menciumku? Astaga pikiranmu malah kemana-
mana Bening! Tapi wajahnya semakin jelas.

Mata seakan terkatup sendiri. Jantung berdetak sangat kencang membuatku begitu sesak. Apa yang
harus aku lakukan ya Allah?

"Aw!" Setelah membuka mata dan kusadari dia penasaran dengan apa yang aku sembunyikan.
Sekarang dia mencengkram tanganku dan melihat sesuatu yang aku sembunyikan.

Bisa-bisanya tadi aku berpikir kalau dia akan menciumku? Astagfirullah! Bagaimana kalau Bapak
tahu pikiran kotor yang sempat bersarang di kepala ini?

"Darah?" tanyanya sambil menimang tanganku.

Biarlah dia melihat darah yang bercucuran di tanganku. Mau disembunyikan juga percuma karena dia
memaksa.

"Tidak usah pedulikan saya! Pergi dan nikahi saja Tiara!" bentakku sembari ingin melepaskan
cengkraman tangannya yang begitu kuat. Tapi apalah dayaku yang jauh kekuatannya dibanding
dengan lelaki tegap ini.

Suppp!!

Pemandangan yang sangat mengejutkan netra batin dan raga. Bagaimana tidak? Dia mengisap jariku
yang berceceran darah. Dada terasa sesak dan mengundang desihan air. Entah mengapa perlakuannya
kali ini membuat hati sejuk bagai berada di bunga sakura. Seandainya aku dan Pak Kunang
dipertemukan lebih dulu, mungkin kami akan hidup bahagia tanpa gangguan makhluk mirip astral
seperti Tiara itu.

Benar-benar tak tahan atas perlakuan manis Pak kunang yang sangat mengundang gerimis di dada ini.
Segera ingin melepas genggamannya dan menghentikan ia mengisap jariku. Namun ia seperti tak
memperbolehkan. Aku harus segera menyelamatkan jantung yang mau copot ini.

"Hentikan!"

Suara nyaring perempuan yang kukenal adalah Tiara itu menghampiri kami. Pak Kunang terkejut
sampai melepas dan berhenti mengisap jariku yang berdarah.

"Kunang! Ngapain kamu deket-deket sama si buluk Bening?" tanya Tiara yang penuh amarah. Dia
pasti cemburu melihat Pak Kunang denganku. Ah biarkan saja dia cemburu, lalu apa masalahnya?
Toh Pak Kunang adalah suamiku.
Hening. Pak Kunang tak merespon jawaban Tiara. Ia mematung bak terkena listrik.

"Kau tak apa?"

Deg! Hati ini serasa dicubit. Mengapa dia terlihat begitu khawatir? Apakah ada secercah harapan
untuk bisa meraih cintanya? Apakah aku mulai jatuh cinta pada suami sendiri? 

Ah beribu pertanyaan ingin kulontarkan padanya. Ingin menanyakan tentang rasa ini, penjelasan Tiara
kenapa masih disini. Terus apakah dia masih menganggapku istri? 

"KUNANG! Ingat kau berjanji tidak akan pernah meninggalkanku. Jadi jangan pernah kamu dekati
dia, lagi!" Tiara menarik paksa lengan Pak Kunang. Lalu Pak Kunang menepisnya. Perlakuannya
pada Tiara itu seperti memberi secercah harapan padaku.

"Diamlah! Jangan bertingkah aneh seperti anak kecil! Aku sudah dewasa, aku tahu mana yang harus
aku lakukan!"

"Ta--tapi Kunang?" 

Pak Kunang memberi kode supaya Tiara berhenti ngerocos. Ya, wanita itu memang banyak bicara
dan menghasut.

"Bening! Kamu juga jangan bengong! Siapkan semua menu makanan pagi ini. Kasian Mama kalau
sampai telat makan!"

Lagi lagi dan lagi dia memerintahku seperti asisten rumah tangga. Kupikir dia akan berubah. Namun,
semua harapan itu sirna. Mungkin tak ada harapan lagi bagiku.

Daripada bersusah payah memikirkan hal-ha yang tidak penting. Aku harus melanjutkan memasak
sop ayam ini. Hati yang tadinya tercubit manis, kini berubah seperti tanaman yang disiram air panas.

Kulihat Tiara pergi dari dapur. Kemudian disusul beruang kutub bin aneh itu keluar. Kalau ibu tahu
aku tersiksa berada di sini, ibu pasti menjemputku.

Sesak didada ini kukeluarkan lewat air mata. Sayur mayur fix semua tercampur dengan tangisanku.
Tangisan istri.

Bersambung.
 Bab 17 (Rasa yang mendalam)

"Ini makanan special buat Tiara." Kusunggingkan senyum dari sudut bibir. Mata dibuat berbinar
padahal hati sangat sakit saat Tiara merebut kursi untuk lebih dekat dengan Pak Kunang.

Makanan sengaja kubagikan. Tak luput untuk suami tercinta. Rasa makanan ini fix rasa tangisan istri
yang mendalam. Kuakui aku menangis tiada henti di dapur. Sambil membayangkan bagaimana jika
aku tersingkirkan dari rumah ini.

"Hei pembantu! Masih suka berdiri? Hahahah!" ucap Tiara dengan sombong.

"Tiara tidak baik ketawa macam orang gila seperti itu tauk!"  Tante Jessi menimpal. Membuat wajah
Tiara berubah drastis. Itu lucu sekali.

"Tiara, kenapa sikapmu berubah? Jaga bicaramu!"

Aku sedikit menganga mendengar perkataan Pak Kunang. Apakah dia tidak suka dengan perkataan
kasar Tiara? Entahlah sifatnya begitu membingungkan.

Byurrrr!

"Edtdahhh Kamu sengaja, ya!" Tiara menunjuk diriku sambil mengibaskan tangannya. Hahaha rasain
dia kayaknya kepedesan. Akhirnya aku bisa puas tertawa dalam hati.

"Bening? Apakah Kau sengaja?" tanya Tante Jessi.

"Emm ...." Aku bingung mau menjawab apa. Sementara aku tidak enak kalau bohong.

"Sudahlah pasti dia merencanakan ini Tan!" sahut Tiara.

Pak Kunang menggebrak meja dengan keras, membuat jantung ini mau copot. Matanya mengarah
padaku. Ia langsung menyeretku. Aku takut sekali, apakah aku akan dihukum atas perbuatanku?

"Kunang! Mau Kau bawa kemana dia, hah!:


"KUNANG, STOP!!!"

"KUNANNNG KUNANNNG"

Tiara berteriak histeris.

Pak Kunang membalikkan badan dan memandang tajam ke arahnya, serta berkata ; "Ini urusanku!"

Tiara langsung mendekap Pak Kunang dengan erat, dan kulihat dia membisikkan sesuatu. Entah apa
yang dibisikkan pelakor itu padanya.

Jangan tanya kesehatan dada ini. Sudah remuk redam. Badan seakan terbujur kaku melihat
pemandangan tak lazim. Memang cintaku pada Pak Kunang belum begitu besar, bahkan aku tidak
tahu cinta ini sebesar apa. Tapi, yang pasti setiap istri pasti tidak rela kalau suami dipeluk mesra oleh
mantan kekasihnya. Apalagi mantan kekasihnya itu penipu. Menipu semuanya.

**

Seperti biasa dia duduk dengan hening. Tak ada suara. Tak ada bentakan. Ada apa dengannya?
Sementara aku dibuat berdiri, mematung layaknya orang butuh belas kasih.

Kukepalkan tangan. Mengumpulkan segenap rasa takut, dan diri ini mulai memberanikan diri untuk
berbicara.

"Mengapa Bapak tidak menyuruhku duduk?"

"Suruh siapa Kamu tidak duduk?"

Cih. Omong kosong apa ini? Dia sendiri yang menyeretku ke kamar. Tapi, dia sendiri yang acuh tak
acuh.

"Bapak nyebelin!"

"Kamu yang nyebelin!"

"Ish, Pak saya serius!" jawabku mantap.

"Saya lebih serius! Benar-benar menyebalkan jawaban makhluk astral ini. Aku tidak bisa menebak isi
hatinya. Mau dia apa sih? Selalu saja menyusahkan. 

Bibirku pun mayun sepanjang 5 cm. Kubalikkan badan dan siap melangkah keluar. Ya, untuk apa
berlama-lama disini kalau pada akhirnya tidak diperlukan? Itu hanya akan menambah luka dibatin
saja. Setelah menikah dia selalu memporakporandakan hatiku. Rasa ini sungguh mendalam, sangat
dalam. Seperti gemericik air yang menetes dibebatuan kerikil tajam.

"Tunggu! Kau seenaknya pergi? Sementara saya bersusah payah menyeretmu kesini. Bisakah Kau
menghargai suamimu?"

Hahaha suami katanya? Seketika aku tertawa miris dalam hati mendengar perkataan pria
dibelakangku ini. Lebih tepatnya tertawa geli. Dia bilang aku tidak menghargainya, padahal jelas
sekali selama ini dia yang lebih percaya omongan si pelakor itu. 

Aku tidak menghiraukan perkataannya dan langkah kakiku sudah terhitung maju. Setiap langkaku
semakin cepat. Bahkan detik jam aja kalah cepat sama langkah kakiku. Hahaha.

"Kau akan menyesal jika Kau meninggalkan kamar ini!"

Ancaman. Ya, ancaman murahan yang ia lontarkan. Dia membalikkan badan layaknya anak kecil
yang sedang ngambek tidak dikasi jatah uang jajan tiap hari.

"Oke! Mau Bapak apa, sih? Saya tidak suka basa basi! Saya sudah capek disalahkan atas
meninggalnya Dion. Dengar Pak! Saya juga tidak mau Dion meninggal, dan saya pun tidak mau kalau
tahu Dion akan menyumbangkan darahnya buat saya, sampai membuatnya drop hingga meninggal."
Kuucapkan dengan nada tegas tepat dan jelas supaya ia bisa mengerti.

Kulihat Pak Kunang seperti menahan tangisan. Matanya memang tidak mengeluarkan air mata. Tapi,
dia benar-benar menahan kepedihan. Kepedihan meninggalnya Dion atau entahlah. Aku tidak bisa
menebak sifat dan watak serta karakter suami sendiri. Sungguh sampai saat ini pun aku tak tahu
hatinya buat siapa.

"Rasa ini mendalam Bening .... begitu dalam ...," ungkapnya sambil menghembuskan napas.

"Rasa masakanmu mendalam. Selama kita menikah. Rasa masakanmu ini berbeda. Aku suka,"
lanjutnya tersenyum tipis. Emangnya rasa masakanku dulu gak enak apah?! Ah bikin geram saja.

Dia sulit ditebak. Padahal jelas sekali tadi aku membahas Dion. Tapi kenapa dia malah membahas
makanan. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan

"Cepatlah kita sholat bareng, dan--dan tidurlah di kamar ini." Dengan suara terbata-bata ia ucapkan.

"Hah! Aku gak budek kan? Dia tadi menyuruhku tidur bersamanya lagi? Ini konyol!" batinku.

Bersambung ....
Bab 18 (Menyelamatkan novel bersama)

Pak Kunang mengibas-ngibas sprei dengan tangannya yang berurat seperti habis mengangkat besi
yang begitu berat. Padahal sprei ini kelihatan tidak kotor, cuma sepertinya sprei Pak Kunang terlihat
tidak diganti selama aku sakit.

"Duduklah," titahnya.

Tanpa menjawab perkataannya. Akupun menggeleng pelan, dan sedikit menjauhkan tubuh ini
beberapa langkah ke belakang. Tak mau kalau sampai dia berfikir bahwa aku terlalu berharap
padanya.

"Bening, maafkan saya ...."

Mataku membola dan mendelik. Seakan tak percaya apa yang keluar dari mulur pria dihadapanku.
Dia minta maaf padaku, dan aku pun tak mengerti tujuan apa yang membuat dia merasa bersalah.
Kucoba berusaha menenangkan diri. Setelah hati dikhianati, jangan gampang percaya omongan minta
maafnya itu. Siapa tau, dia ingin menjebakku dalam permainannya. 

Astagfirullah kenapa aku jadi suudzon pada suami sendiri? Istigfar Bening.

"Bening Kau tahu? Saya sepertinya salah dalam bertindak. Tak seharusnya saya menyalahkan kamu
atas kematian Dion." Ia menghela napas panjang dan membuang dengan embusan yang terlihat berat.
Tersirat dimatanya begitu banyak penyesalan. Air mata pun menggenangi pelupuk matanya.

"Kematian Dion adalah takdir dari Allah. Seharusnya saya tidak menyalahkan kamu atas
kematiannya, dan untuk menebus seluruh dosa-dosa saya padamu, saya mau mengajak kamu tidur di
kamar ini lagi. Kamu mau, Kan? pintanya dengan berlutut dibawah kakiku. Sungguh pemandangan
yang begitu memilukan jiwa. Mataku tetiba serasa sedang memandangi bawang. Jiwaku lemah
melihat suami berlutut. Tapi, rasa sakit itu masih berdenyut nyeri di uluh hati. Terpakasa
kukumpulkan segenap kekuatan walaupun rasanya tak kuasa.

"Tak perlu repot-repot minta maaf, Pak. Saya sudah memaafkan Bapak, saya tau kalau Bapak sangat
terpukul atas kematian Dion. Saya memaklumi itu." Begitulah yang aku lontarkan. Dia sepertinya
terlihat sangat puas dengan jawabanku. Terlihat dari matanya kalau dia benar-benar puas. Binar mata
dan senyum dari sudut bibir Pak Kunang entah mengapa membuat aku merasa tenang.

"Makasih Bening!"

"Sama-sama Pak!"

"Lalu bagaimana dengan tawaran yang saya ajukan?"

"Hah? Tawaran yang mana ya, Pak?" ungkapku bingung, sambil garuk-garuk kutu yang kayaknya
mulai berjalan dikulit kepala, haha. Urusan genting kayak gini kutu masih saja mengganggu.

"Tawaran untuk tidur di kamar ini lagi?" 

Deg! Seketika jantung terasa ingin lompat dari tempat. Mulutku menganga dan hampir saja air liurku
jatuh. Apakah dia serius mengajakku tidur disini lagi? Tapi, apa gunanya aku tidur disini kalau dia
masih menampung Tiara yang tanpa berdosa itu disini, dan bagaimana pula aku menjelaskan bahwa
dia dulu berpura-pura meninggal?

"Tidak perlu Pak! Bagaimana kalau Tiara berpikiran yang macam-macam?" Ya benar saja aku masih
khawatir atas Tiara yang mungkin saja masih ada di hatinya.

"Kamu lugu, Bening! Tiara itu bukan siapa-siapa saya. Paham!"

Sekejap aku menganga penuturannya. Namun, jangan sampai terlena sama omongan lelaki begitu
saja. Ya harus menguatkan iman agar tidak terlena. Tiupan angin tiba-tiba berhembus menerpa
jilbabku. Merasakan ada hal yang aneh. Aku langsung menyadari dan melihat jendela Pak Kunang
yang ternyata tidak ditutup.

"Pak jendelanya tidak ditutup."

"Oiya." Dia berjalan menghampiri jendela yang terbuka.

"Bening ...." Pak Kunang membalikkan badan. 

"Ya?" 

"Saya jadi penasaran kenapa Tiara dulu bisa sampai dikira meninggal."

"Hah?" Aku tak menyangka bahwa Pak Kunang belum menanyakan kenapa Tiara masih bisa hidup.

"Bapak jadi belum menanyakan kenapa Tiara meninggal?"

Dia nampak kebingungan dengan melengkungkan bibirnya ke bawah.

"Dia memang sudah menjelaskan. Penjelasannya itu saya rasa tidak masuk akal."

"Maksud Bapak?"

"Dia menjelaskan kalau dia ditolong seseorang. Namun saya lupa dengan tulang belulang itu. Siapa
yang harus menjelaskan pada saya tentang tulang dimobil yang terbakar. Apakah itu tulang orang
lain?

"Hahaha Bapak lugu."

Ups! Parah mengapa sampai keceplosan sih? Gimana kalau sampai dia memarahiku. Gawat, mata
Bapak sekarang melotot bak harimau mau menerkam mangsa. Duh kejam sekali aku seperti istri yang
pembangkang.

Tiba-tiba hati ingin mengungkapkan semua kebohongan Tiara kekasih yang amat sangat ia cintai itu. 
Langkah kaki terayun bersama detik jam yang berdenting malam ini. Dengan tekat yang kuat dan
bulat meski ada keraguan secuil menerpa. Kuyakin aku pasti bisa mengungkapkan semua kebusukan
wanita yang selama ini amat ia cintai. Dua langkah kaki sudah mulai maju untuk membela kebenaran
dan keadilan bagi diriku. Tentunya ini semua tak luput demi kebahagian keluarga Dramasta.

Saat Pak Kunang menunduk serta mengayunkan jemari dan tubuhnya membelakangiku. Aku siap.
Tanganku mulai terayun ingin menepak pundaknya. 

Aku mengurungkan untuk menepak pundaknya karena Pak Kunang berjalan menuju tempat-tempat
buku yang tertata rapi disudut kamarnya. Pemandangan ini sesekali membuatku tertegun. Bagaimana
tidak? Tempat rak buku itu adalah tempat dimana ia menyimpan sebuah novel karangannya . Tentang
bagaimana begitu besarnya ia terhadap Tiara. Judul buku itu sendiri tidaklah main-main. Cinta yang
melekat pada Pak Kunang aku yakin itulah kenapa ia bisa menciptakan judul yang sangat menyentuh.
Ya judul itu 'Kutunggu kau disurga.' Judul yang sangat menyanyat hatiku. Judul yang
memporakporandakan jiwa. Bahkan meruntuhkan hati.

"Bening?"

"Kutunggu kau disurga. Kutunggu kau disurga."

"Apa yang kamu katakan? Saya belum meninggal! Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu?" 

Astaga aku tidak meyadari lamunanku berbuah mengucapkan judul novel yang dibuat oleh Pak
Kunang.

"Maafkan saya, Pak!"

"Bening! Dengar ini adalah novel yang saya tulis untuk Tiara."

Begitu terkejutnya diriku saat Pak Kunang mengambil korek dan membakar novel itu. Aku langsung
menyelamatkan novel dengan mengorbankan tanganku.

"BENING APA YANG KAMU LAKUKAN!"

Dengan cara apapun kulakukan supaya novel buatan Pak Kunang itu tidak terbakar hangus. Sampai
menggunakan ujung jilbab untuk mematikan api ini.
Tiba-tiba Pak Kunang ikut membantu memadamkan novel yang ia habis bakar. Ia memakai baju yang
ia kenakan. Bersama-sama kita memadamkan sebuah novel. Sungguh ini seperti pemandangan yang
indah bagiku. Tersungginglah senyuman diwajah ini.Tak peduli Pak Kunang menatapku aneh. 

"Kau gila!" Dia membentak seketika aku kaget dibuatnya.

"Apa? Aku tidak gila Pak! Bapak yang gila. Mengapa Bapak sampai membakar novel ini?"

"Yang saya tahu novel ini sudah tidak ada artinya lagi. Tiara sudah hidup. Dia sudah hadir
dikehidupanku. Jadi buat apa mempertahankan novel karangan saya ini?"

"Tapi bagaimanapun itu adalah karangan Bapak. Bahkan isi dalam novel tersebut pasti adalah
kenyataan. Jangan seperti ini Pak. Bapak mengetiknya juga capek."

"Jadi walau saya membuat novel ini kamu tidak marah Bening."

Aku mengangguk.

"Benarkah kamu tidak marah? Yasudah sekarang kita tidur."

"Disini?"

"Iya dimana lagi?"

"Pak saya ingin mengatakan sesuatu yang penting mengenai Tiara." Memang sudah waktu yang tepat
untuk mengatakan semua ini. Tak ada hal yang penting selain harus mengungkap siapa sebenarnya
Tiara dan haru kubuka topengnya.

"Sudahlah Bening. Ngapain kamu mikirin Tiara? Lebih baik kau dan aku melaksanakan salat."

Perkataan pria yang sedang bersidekap di hadapanku ini membuatku cukup tertegun. Dia mengajakku
salat? Betapa bahagianya hati ini. Akhirnya aku bisa menjadi makmumnya.

Bersambung.
Bab 19 (Perhatian dari pria dingin)

Katanya cinta sejati itu akan bersatu walau beribu masalah yang menerpa. Aku sendiri tidak tahu
apakah aku dan Pak Kunang adalah cinta sejati. Dimeja makan ini terlihat kekasih dari suamiku
duduk bersebelahan tanpa rasa canggung. Bisakah wanita berparas cantik ini mengenyah dari
kehidupan kami?

Makanan yang terhidang diatas meja adalah masakan buatanku dengan penuh amarah. Kalau setiap
hari wanita tidak tahu diri itu tinggal disini, lalu bagaimana dengan nasib batinku yang tersiksa?

"Sebelum memulai memakan makanan ini. Aku ingin mengatakan sesuatu pada semuanya." Pak
Kunang mulai berbicara. Tak tahu apa yang mau ia katakan, yang jelas jangan sampai dia
menceraikanku. Bagaimana kalau ibu sampai sedih ketika aku diceraikan? Astagfirullah pikiran buruk
itu harus kubuang jauh-jauh ya Allah.

"Ya Kunang katakan! Katakanlah kalau kamu akan menceraikan Bening. Iya kan Kunang Sayang?"
Tiara menyambung seperti kabel saja. Bisa-bisanya ia berkata seenaknya.

"Tiara! Apa yang kau katakan? Dasar cewek gatau diuntung kamu ya!" 

Asik Tante Jessi membelaku. Dia sepertinya sangat membenci Tiara. Jadi pagi ini aku tidak perlu
memaki Tiara.

"Tiara kalau saya ngomong ya diem. Kenapa kamu menjadi sejahat ini?" kata Pak Kunang.

"Apa maksud kamu Kunang?" Tiara memiringkan wajah serta mengendikkan bahu sambil menatap
wajah suamiku.

"Baiklah setelah melakukan pertimbangan. Sepertinya Tiara tidak perlu berada dirumah ini ...."

"Tapi Sayang?" Tiara memotong pembicaraan Pak Kunang. Sungguh wanita yang sangat tidak tahu
malu. Ingin rasanya memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya itu.

"Dengarkan saya ngomong Tiara! Begini, kau bukan siapa-siapa. Kau hanya masa laluku yang tiba-
tiba datang lagi ...." Pak Kunang menghela napas. 
"Kau memang pernah mengisi hati saya. Tapi, tidak seenaknya kamu tinggal dirumah orang yang
sudah beristi. Kamu paham?"

Jeduaarrr! Apa ini? Hatiku berbunga-bunga mendengarnya. Sungguh Pak Kunang sangat bijaksana.
Dia bukan hanya pantas  menjadi dosen. Dia juga pantas menyelamatkan hatiku yang mulai runtuh
karena ulah Tiara.  

"Oh jadi kamu mempermainkan aku Kunang Dramasta?"

"Saya sama sekali tidak mempermainkan dirimu Tiara. Tapi ini semua takdir, dan kamu harus terima
kenyataan inj. Keluar dan jangan pernah balik lagi dikehidupanku. Paham?!"

"Oke baiklah. Sesuai permintaanmu. Tapi ingat Kunang, kau pasti menyesal dan merindukanku.
Camkan itu!"

Pak Kunang hanya geleng-geleng kepala. Dia pasti heran dengan jawaban Tiara. Sungguh kepedean
sekali Tiara itu.

Satu langkah sudah Tiara tapaki. Dan langkahnya semakin terayun bebas. Kini ia berada diambang
pintu lalu menutup pintu itu dengan sangat keras. Sampai aku, Pak Kunang dan Tante Jessi kaget
dibuatnya.

"Kunang? Kenapa kau melakukan ini pada Tiara?"

"Biarlah Ma, tidak mungkin aku membiarkan orang yang bukan muhrim berada dalam satu atap
denganku. Ya, kan Ma?"

Tante Jessi tersenyum dan mengangguk menandakan setuju atas tindakan Pak Kunang.

"Bening? Kamu jangan bengong saja ya. Kamu harus bersiap pergi ke kampus." Seketika perintahnya
bagaikan magnet yang harus kulakukan. Aku benar-benar tak menyangka akan ke kampus lagi.
Hatiku sangat gembira. Kuhentakkan kaki dikamar mumpung tidak ada Pak Kunang. Mengepal
tangan sendiri sampai memukulkan ke udara.

"Yeay!!" teriakku.

Suara ketukan menghentikan suaraku yang berteriak. Segera membuka pintu dan mendapati Tante
Jessi yang diambang pintu. Dengan raut wajah yang semringah Tante Jessi menghampiri diriku.

"Ada yang ingin Mama bicarakan, Bening!"

"Ada apa ya, Ma? Jangan lama-lama soalnya Bening hari harus kuliah ...."
"Kamu tau? Sebelum Dion meninggal. Dia mengungkapkan sesuatu kepada Kunang ...."

Hatiku dagdigdug. Aku begitu penasaran tentang hal apa yang akan Dion katakan didetik terakhirnya.
Aku berdiri dan masih menunggu jawaban Mama disini. Terlihat dari siluet wajah Mama, dia sangat
kangen Dion.

"Dion bilang dia mencintai kamu Bening. Sejak Dion waktu itu katanya tidak sengaja ingin jatuh. Dia
seperti merasakan hal yang aneh dan dia sadar bahwa dia mencintaimu Bening."

Hah? Dion mencintaiku? Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Seseorang didetik trakhirnya dia
mencintaiku.

"Lalu? Bagaimana reaksi Pak Kunang pada waktu itu?"

"Setelah Dion meninggal Kunang berubah. Dia jadi pemarah sekali. Seingit mama. Kunang
mengatakan bahwa beraninya Dion mencintai istriku. Sepertinya Kunang cemburu Bening. Jadi,
kemarahannya itu tak luput dari kecemburuannya."

Hati yang palig dalam seakan tercubit. Jadi kemarahan Pak Kunang selama ini hanyalah
kecemburuannya? Terus kebencian kata Pak dokter tentang suamiku kemaren itu ... apakah itu hanya
kebohongan Pak Kunang untuk menutupi kecemburuannya?

Tiiiiit

Suara klakson membuyarkan lamunanku. Suara klakson mobil yang bisa aku pastikan bahwa itu pasti
mobil Pak Kunang yang telah menungguku di depan untuk berangkat ke kampus. Segera
kuberpamitan pada mama dan melangkah dengan setengah berlari. Tak mau sampai yang didepan
rumah ngomel karena aku kelamaan di dalam.

Di depan pintu pria yang kuanggap suami dia menatap dengan garang. Seperti orang yang tidak
sabaran saja. Segera kuhampiri bibir manyun bak bebek kecebur got itu, hehe.

Terlihat jelas dahinya mengeryit. Walau dahi dia mengeryit, itu tidak mengurangi sedikitpun
ketampanan bahkan kehalusan wajahnya. Sungguh pria yang begitu sempurna dimataku. Benar saja
apa kata orang. Kalau dia mirip dengan aktor ganteng yang aku lupa namanya.

"Liatin apa? Cepat masuk!"

Benar saja dia masih saja kaku. Padahal kata mama dia seperti orang yang cemburu saat Dion
mengatakan bahwa dirinya mencintaiku. Dengan bibir yang manyun juga kumasuki mobil pria kaku
ini.
Setelah di dalam mobil, dia tidak menyalakan AC. Tumben sekali dia tidak menyalakan AC
mobilnya. Dengan mengggenggam jemari kuangkat bicara.

"Pak kenapa ...."

"Iya saya sengaja tidak menyalakan AC karena saya takut kamu sakit."

Sial belum saja ngomong, dia sudah menjawab pertanyaanku. Kali ini dia seperti bisa menebak isi
hatiku.

"Pak ..."

"Sutttt. Untuk saat ini tolong kamu jangan bicara. Fokus saja dengan kuliah kamu."

Tidak ada jawaban lain selain mengangguk. Dunia ini rasanya membuatku berbunga-bunga. Pria kaku
ini sudah membuktikan bahwa dirinya perhatian. Tak terasa dari sudut bibirku terangkat.

Sesampainya dikampus kami berpisah. Kulambaikan tangan pada suami sendiri. Senyuman yang
terbentuk wajahku belum memudar. Langkah demi langkah kutapaki, berjalan dikoridor kampus. Tak
peduli sepasang mata menatap aneh.

"Bening mengapa bareng Pak Kunang ya?"

"Iya ya kenapa gadis pembawa balsem itu semobil bareng Pak Kunang?"

Beberapa bisikan para mahasiswa disini membuatku kaget dan bulu kudukku merinding. Benar saja,
mereka belum mengetahui hubunganku dengan dosen phobia wanita itu. Daripada repot menjawab
pertanyaan mereka. Mending aku langsung ke ruanganku saja.

Belum sampai diruangan. Ada seseorang yang berlari menghampiriku. Napasnya terlihat terpenggal.

"BENING!" Dia berteriak. Intan menghampiri dan memelukku cukup lama. 

"Aku kangen kamu Bening!"

"Aku juga." Kubalas pelukan Intan."

Kami berdua seperti tidak bertemu berabad-abad.

Bersambung.
Bab 20 (Terungkap)

Jika engkau memiliki pilihan. Yang satu kamu harus menikah dengan orang yang sangat kau benci
namun keuntungannya kamu bisa melanjutkan kuliah tanpa memikirkan biayanya. Maka kau akan
memilih itu atau tetap bertahan pada pendirianmu? 

Kita boleh saja memilih apa yang kita inginkan. Tidak apa karena itu adalah fitrahnya manusia. Akan
tetapi semua kembali kepada takdir yang telah tertulis di lauful mahfudz.

Aku tidak tahu, bahwa apakah dipertemukan dengan Pak Kunang itu benar atau tidak. Yang jelas aku
ingin bertahan dengan apa yang aku yakini sekarang. Apa yang aku tekadkan. Semoga cinta Pak
Kunang bisa tumbuh padaku istrinya.

"Ini undangan. Kamu harus datang ya." Pak Kunang menyodorkan undangan kepadaku. Terlihat
undangan itu sangat bagus dengan pita merah yang terhias disana.  Tapi, setelah dilihat-lihat, kenapa
seperti undangan resepsi atau akad nikah?

"Ini ...."

"Ya ini adalah undangan pernikahan. Kamu mau datang kan?"

"Iya tapi ...."

"Pasti kamu penasaran dengan siapa yang akan menikah ya?" Dia terlihat tenang dan sedikit tertawa.

"Ini undangan ...."

"Ini undangan aku dan kekasihku."

Kebiasaannya. Belum saja aku bertanya ia malah memotong pembicaraan tanpa izinku, dan apa
katanya? Undangannya dengan kekasihnya? Ya Allah kekasih yang mana lagi? Apa belum cukup
kamu menyakitimu Pak?

"Pak apa belum cukup Anda menyakiti saya? Siapa kekasih Bapak?" tanyaku sambil menahan kentut.
Ah sial kenapa disaat keadaan tegang seperti ini malah mau kentut yah?
"Mau tau aja atau mau tau banget?" Dia tampakkan gigi dan giginya terlihat begitu rapi, putih, bersih.
Semakin menambah ketampanannya.

"Kunang? Ini undangan siapa?" Disisi lain ada suara dan ternyata mama menghampiri kami yang
tengah duduk disofa. Mama membawakan segelas jus untuk kami. Mama Jessi memang baik. Aku
beruntung memiliki mertua seperti Mama Jessi.

"Ini loh Ma. Ini undangan pernikahan aku dan kekasihku."

Mama menggebrak meja. Beliau seakan marah.

"Apa-apaan ini Kunang!" kata Mama Jessi.

"Iya apa-apaan ini Pak! Lebih baik Bapak talak saya dan saya akan kembali kerumah ibu saya!"

Dia cengar cengir padahal aku dan Mama Jessi sudah membentaknya. Sungguh pria tidak tahu malu.
Kukira dia akan berubah dan mau menerima aku apa adanya namun nyatanya? Sungguh memalukan.

"Sabar Bening. Gak sabaran banget kekasihku ini. Hem??"

Kekasih katanya? Cih! Beraninya dia tetap bersikap manis padahal ada udang dibalik batu.

"Maaa? Bening? Kalian jangan ngambek dong ...," ucapnya dengan santai sambil menarik tanganku
dan tangan Mama Jessi. Kulihat Mama enggan sekali menatap putranya itu. Sementara aku juga sama,
ogah sekali menatap wajahnya walau wajahnya sangat tampan.

"Dengarkan saya dulu dong ... kekasih yang saya maksud ya Bening siapa lagi? Dan ini undangan
resepsi pernikahan aku dan Bening. Setelah acara akad yang memang sederhana dan tidak dibuat
mewah. Tidak ada salahnya dong kalau saya ingin mengadakan resepsi pernikahan."

Perkataan yang dosen phobia ini membuat mama dan aku membulatkan mulut berbentuk O besar. Ya
aku harap bau mulutku tak sampai pada pangeran tanpa sayap dihadapanku ini. Eh emangnya
pangeran punya sayap ya? Hehe. Oke kembali ke laptop. Benar saja tak menyangka dan siapa yang
akan menyangka kalau dosen yang terkenal phobia wanita ini jauh lebih romantis dari yang lain.

"Gimana? Anda setuju?"

Aku langsung mengangguk secara cepat dan tangan mengepal ingin memeluk suami. Tetapi
kuurungkan.

"Lah Bening kenapa gak jadi meluk Kunang? Ayo peluk?" pinta Mama.

"Enggak," jawabku malu-malu, dan semuanya tertawa.

"Ada yang mau mendengarkan cerita Diana?"

Aku dan mama saling menoleh satu sama lain. Kami berdua heran mengapa Pak Kunang membahas
soal Diana adek Tiara itu? Daripada penasaran mending setuju dan akan kudengarkan apa yang ingin
diceritakan Diana.

"Baiklah Pak. Apa yang diceritakan Diana?"

"Iya apa Kunang?" timpal mama.

"Jadi kemaren saya bertemu dengan Diana. Dia mengatakan fakta tentang Tiara. Diana baru
mengetahui bahwa selama ini Tiara membohongi kita semua. Diana mendengar percakapan Tiara
sendirian didalam kamarnya. Tiara berkata bahwa dirinya berpura-pura meninggal dengan
memalsukan jazad. Dia juga pernah menculik Bening dan mengikat Bening digudang."

Wah Akhirnya semua indah pada waktunya. Pak Kunang mengetahui semua fakta tentang Tiara dan
kebusukannya selama ini.
"Baguslah Kunang akhirnya tidak ada orang ketiga lagi yang akan mengganggu rumah tangga kalian
lagi, karena kebusukan Tiara pun sudah terbongkar," sahut mama.

"Iya Ma, eh kamu kenapa diam?" 

"Hem iya Pak, saya sebenarnya tau semua itu ...."

"Lalu? Kenapa kamu tidak memberitahu kami, Bening?"

"Gini Pak. Menurut saya. Sangat mustahil kalau Bapak akan percaya dengan omongan saya. Karena
di novel itu Bapak sangat mencintai Tiara," ucapku gemetar. Benar saja aku berkata seperti itu. Toh
dia pasti tidak akan percaya dengan perkataanku.

"Itu kan dulu. Dulu memang iya saya mencintainya Bening. Tapi sekarang semua berubah semenjak
ada kamu ... saya akan selalu percaya dengan omonganmu ...."

"Kamu tau? Tiara hanyalah berobsesi mendapatkan saya. Tapi kamulah bidadari dirumah ini. Jadi
katakan, mana bisa saya membiarkan kamu keluar dari rumah ini? Itu tidak mungkin kan?" 

Perkataan yang sangat menyentuh dihati sungguh tak kusangka pria ini juga romantis. Dari cobaan ini
bisa kupetik hikhmahnya bahwa kita jangan selalu berprasangka buruk terhadap suami kita. Sadarkan
dia bahwa kita adalah masih istri yang sah, jangan salah sangka dulu dengan cintanya pada kita.
Untung saja Diana memberitahu tentang kebohongan Tiara. Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada
nasibku.

Istri harus mempunyai keberanian dalam hati kalau ada seseorang yang menganggu rumah tanggamu
maka jangan berdiam. Cobalah untuk melawan ketakutan. Cobalah untuk bertahan karena memang
yang tersulit itu bertahan saat hadirnya orang ketiga. Aku senang karena walau mempunyai suami
dingin seperti kulkas. Dia masih bisa romantis seperti ini.

"Oiya Nak, kamu sepertinya sudah lancar memanggil Tante dengan sebutan Mama. Jangan sampai
berubah ya. Sama seperti cinta kalian jangan sampai runtuh."

Kami berdua pun tersenyum saat mendengar perkataan mama.

The end
 BIODATA LENGKAP

Foto Penulis :

Nama Lengkap : R. Sri Astutik

Nama Pena : Tutut Pamka

Tempat & Tanggal Lahir : Pamekasan,  27 Juni 1996

Alamat Lengkap : Jl. Sersan mesrul

Nomor Hanphone/ WhattsApp : 085233150940/083853033727

Sosial Media Yang Dimiliki :

Facebook (Tutut Pamka)

Whattsap. 083853033727

Instagram tututpamka_

Motto Hidup : Teruslah mengejar impian walau beribu kegagalan yang didapat, karena sejatinya
orang sukses butuh proses untuk mencapai keinginan. Jangan menyerah dan terus melangkah.

Hobi : Membaca, menulis, dan merajut.

Cita-Cita : Ingin menjadi penulis yang tulisannya bermanfaat bagi orang banyak dan ingin
membahagiakan ibu.

Status : Belum nikah.

Anda mungkin juga menyukai