Anda di halaman 1dari 5

Surat dari Langit

Karya Irfa Fee

Hujan yang semula gerimis menjadi lebat seketika. Diiringi bunyi atap seng yang
berdentam-dentum karena diterobos derasnya hujan, suhu di kamar kos kecil nan sumpek ini
menjadi dingin bukan main. Aku tergopoh-gopoh mencapai jendela kayu lapuk di depanku.
Rintikan hujan telah merembes masuk ke dalam kamarku dan membasahi semua kertas tugasku.
Setelah berjuang melawan angin, jendela lapuk ini akhirnya menutup sempurna, walaupun
dengan susah payah ia berjuang dengan bunyi decitan disetiap aku membuka atau menutupnya.
Decitan itu tak asing lagi di telingaku, aku menyebutnya decitan kehidupan. Karena, decitan itu
dapat membuka hariku yang baru. Hari yang lebih baik.
Ting! Ting!
Terdengar suara kecil diantara derasnya hujan, aku segera meraih handphone jadul seken
yang layarnya berkedap-kedip seperti lampu diskotik. Sebuah tanda pesan masuk terlihat.
Suf, nggak ke toko? Jangan jadikan hujan sebagai alasan. Cepat kesini! Bundo mau pergi, ada
urusan.
Aku menghela napas panjang. Tugas kuliahku masih banyak, apalagi kertas hasil print tadi
basah karena hujan. Besok harus dikumpulkan, itu pun aku sudah terlambat mengumpulkan
karena sibuk mencari penghasilan untuk menghidupi diriku sendiri di sini. Tapi, mau diapakan lagi?
Jika sudah membuat keputusan, harus dijalankan.
Tanpa ba-bi-bu aku mengetik balasan untuk Bundo dan segera mengambil ember untuk
menampung tetesan air di dekatku serta kuraih jaket tebal satu-satunya yang kupunya, karena
aku tak pernah memiliki payung.
“Suf, hujan-hujan mau kemana kau?” Tanya Andi samar-samar dengan santainya duduk
dengan secangkir kopi di tangannya sambil menikmati derasnya hujan saat aku sampai di muka
pintu. Tapi dengan logat bataknya yang keras itu aku mendengarnya sangat jelas.
“Mau ke toko, Ndi!.” Balasku setengah berteriak ke arah Andi yang mengerutkan dahi di
seberangku. Kosan Andi yang berada di seberang kosanku terlihat gagah melawan derasnya
hujan. Tidak seperti kosanku yang gentengnya bocor kemana-mana. Tapi, aku punya tempat
tinggal saja sudah bersyukur.
“Ha?! Kecil kali suara kau! Tak dengar aku!”
“Ke to – ko!” Balasku kencang sampai-sampai mengalahkan suara derasnya hujan. Andi di
seberangku manggut-manggut sambil menyeruput kopi pahit kesukaannya.
“Eh eh! Tunggu sebentar, Suf! Tunggu di sana!” Teriak Andi tiba-tiba saat kakiku baru saja
ingin melangkah keluar teras. Andi meletakkan cangkir kopinya di atas kursi yang didudukinya
dan tergesa-gesa masuk ke dalam kos. Aku hanya mengikuti perintahnya untuk diam.
Setelah satu menit, Andi datang dengan langkahnya yang besar dengan payung besar hitam di
tangannya. Ia berjalan sampai di muka teras dan mengayunkan payung besar itu pelan.
“Yusuf! Tangkap, Suf!”
“Biar saya saja ke sana, Ndi! Nanti kena muka saya lagi!” Teriakku was-was, aku masih
mengingat dengan jelas, bagaimana tangan berotot Andi melempar buku tugas setebal enam
ratus halaman dari jarak sekitar lima meter dari hadapanku.
Aku berlari kesana kemari mengikuti arah datangnya buku tebal itu, tapi sialnya buku itu
malah menimpuk wajahku. Saat itu, aku langsung terjatuh dan hidungku berdarah. Semenjak itu,
aku merasa trauma setiap melihat orang melempar apapun yang berada dekat denganku.
Terutama saat melihat tangan kekar Andi, aku tiba-tiba merasa pusing.
“Ha?! Kau bilang apa? Yang jelas kalau ngomong!”
“Jangan dilem-“
“Tangkap, Suf!”
Dengan modal nekat, aku menerobos hujan dan mengikuti arah datangnya payung besar
itu. Saat payung itu di udara dan tepat di atasku, aku merasa kepalaku berkunang di atas guyuran
hujan. Saat aku terpejam sesaat, aku merasa aku memegang sesuatu. Payung! Payung itu. Aku
berhasil menangkapnya.
“Wah! Jago juga kau! Aku kira kau bakal pingsan lagi. Hahaha.”
Aku senyam-senyum seperti orang yang baru menemukan harta karun, dengan bangga
aku buka payung hitam besar itu dan segera kuberlindung di bawahnya. Walau bajuku sudah
basah, setidaknya tidak terlalu basah.
“Makasih, Ndi!”
Andi manggut-manggut dengan ekspresi datar. Mungkin dia kira aku sudah gila karena
bisa menangkap payung. Aku tak peduli. Sekarang, aku bisa melawan traumaku. Terimakasih
Payung!

“Maaf ngerepotin, Bang. Sampe basah kuyup gini. Bundo udah pergi, ada urusan
mendadak.” Baru saja sampai di minimarket yang cukup besar ini, sapaan lembut yang
memanggil aku ‘Abang’ terdengar di telingaku. Jantungku lagi-lagi naik turun, aku yang
kedinginan berusaha tenang. Setenang air mengalir.
“Kan sudah tugas Abang menjaga toko. Kalo masalah hujan-hujanan udah biasa.” Balasku
lantang, padahal hatiku berat hujan-hujan begini menjaga toko padahal bukan jadwalku dan aku
juga kedinginan bukan main.
“Nih, handuk. Udah Asmi siapin pas tau Abang ke sini.” Ucapnya malu-malu, tapi semalu-
malunya Asmi, aku yang malah makin malu dan pipiku bersemu merah. Lelaki macam apa aku ini?
“Yaudah, Asmi kedalam sebentar ya, Bang.” Aku manggut-manggut sambil menutupi
wajah merahku dengan handuk yang diberikan Asmi tadi. Asmi, kita udah saling sapa dengan
sapaan Abang-Adik, andai kita bisa memanggil panggilan itu bukan sekedar perbedaan umur
empat tahun, tapi panggilan untuk seorang suami terhadap istri, atau sebaliknya. Ah, andai kamu
tahu perasaanku, Asmi.
“Bang, ini minum teh hangat dulu.” Ucap Asmi mengagetkanku. Baru beberapa menit
detak jantungku normal, detak tak normalnya malah kembali.
“Terimakasih.” Ucapku sambil mengambil secangkir teh hangat dan segera
menyeruputnya dengan kasar. Seingat aku, sudah sebulan aku tidak menyicipi manisnya teh.
Karena uang sakuku tak mampu membeli panganan sampingan seperti ini.
“Oh, iya Bang. Asmi pengen ngomong sesuatu.” Deg!
Haduh. Kalau di sinetron, ini pasti bakal mengarah ke mengutarakan perasaan. Haduh,
jantungku, bertahanlah.
“Hm, ngomong aja, Dik. Gak usah minta izin.” Ucapku berusaha tenang. Ia mengangguk
pelan, tapi dari tatapan matanya, itu buka mengutarakan perasaan, ada sesuatu yang
mengganjal.
“Ini, ada surat untuk Abang. Dari.. ,” Deg!
Surat? Selama aku merantau ke Jakarta untuk meneruskan kuliah dengan modal beasiswa
yang aku capai mati-matian, dengan modal nekat dengan uang lima puluh ribu, aku sampai di
Jakarta. Dan selama itu, aku belum pernah menerima surat. Dari keluargaku. Terutama Bunda.
“Emm…, Maaf Bang. Asmi nggak bermaksud mau tahu, tapi pas surat ini sampai kemarin
sore, memang nggak di lem. Jadi, Asmi buka. Maaf ya, Bang.” Asmi tertunduk, aku terdiam tanpa
suara.
“Abang marah ya? Aduh, Asmi nggak sengaja, Bang. Takut surat ini dari orang nggak
bener.” Aku mengangguk pelan dan menatap mata Asmi bagai pangeran yang menemukan sang
putri tidur.
“Abang nggak marah. Cuman kepikiran siapa yang ngirim.” Asmi terlihat
menghembuskan napas lega. Ia segera menyerahkan surat lusuh itu dan meninggalkanku pergi.

Setelah menaruh ember kecil satu-satunya yang kupunya di lantai tepat di bawah genteng
yang bocor dengan perkiraan mata hati dan sedikit dibumbui rumusan kimia, aku bergegas
menutup jendela dengan kasar. Bunyi decitan jendela yang meronta tak kuhiraukan. Pikiranku
kemana-mana, fokusku entah kemana. Rasanya pusing sekali kepala ini.
Rintik-rintik hujan mulai berdatangan, baru sedetik, ia berubah menjadi derasnya hujan.
Aku tak bodoh lagi, sudah kupersiapkan agar air yang merupakan anugerah dari Tuhan yang jatuh
dari langit itu tak merusak barangku lagi.
Aku duduk di kursi dan menyandarkan badanku, aku memijat pelipisku pelan. Mungkin,
pusingku bisa berkurang. Perkataan Andi mengalun pelan namun menusuk hatiku, perkataan itu
mengalun seperti kaset rusak yang terus-menerus berputar tanpa henti, “Kalau kau sudah
mengambil keputusan, kau harus berani menerima resiko. Cita-cita memang perlu kau capai, dan
kau memang harus memperjuangkannya. Tapi, tanpa restu orangtua kau takkan jadi apa-apa.
Bunda kau pasti tau yang terbaik buat kau, mungkin dia punya jalan lain. Bunda kau pasti tak
pernah bermaksud untuk menghalangi cita-cita tinggi kau itu.”
Aku menghela napas saat teringat ucapan Andi kemarin sore, setelah aku bercerita
bahwa ada surat dari Bunda, dia banyak menanyakan prihal keluargaku. Aku memang belum
pernah bercerita kepada siapapun, baik itu Asmi atau Andi. Tapi, setelah bercerita, bukannya
lega, Andi malah menoreh luka di hatiku. Memang memeperjuangkan cita-cita salah? Aku
memang tak tau rencana Bunda, tapi ini jalan yang kupilih.
“Ya Tuhan, bagaimana ini?” Lirihku pelan. Aku terus memandangi surat yang terkulai
lemah di atas meja, ini sudah seminggu, tapi tanganku tak berani sedikitpun menyentuhnya.
Walaupun, kata hatiku sudah berkali-kali ingin membukanya.
Ting! Ting! HP bututku bergetar, aku segera meraihnya. Sebuah pesan. Dari Andi.
“Belum juga kau buka?”
Aku sudah menebak isi pesannya. Dengan malas aku ketik balasan untuk Andi. “Apa lagi
pedulimu?”. Aku tahu ini sedikit kasar, tapi sudahlah aku memang tak peduli.
Belum sempat HP ini aku banting, agar dia tamat selamanya, lagi-lagi HP ini bergetar,
getarannya mengalun mengiringi nada dering yang berputar. Ada telepon. Dari Andi.
“Apa lagi mau kamu, Ndi?” Ucapku sambil memandang HP horror. Angkat tidak? Ah,
sudahlah.
“Halo?” Ucapku dingin.
“Halo? Suf!”
“Iya kenapa?!”
“Halo?! Suf suf!”
“Iya kenapa?!!” Balasku geram. Moodku benar-benar buruk.
“Eh, maaf, sinyalnya tadi jelek.”
“Langsung aja.”
“Emm, aku minta maaf kemarin aku marah-marah ke kamu. Mungkin aku baru tau
semuanya, jadi aku belum biasa dengarnya. Emm…,”
Aku diam seribu bahasa, aneh, logat Batak Andi hilang seketika. Tutur bahasanya halus,
nada bicaranya lembut. Melebihi kembang desa di Sunda.
“Kamu belum buka suratnya?”
Senyum yang baru ingin mengembang, sekarang mengempis.
“Oh, sebenarnya itu aja tujuan kamu telfon? Aku matikan.” Sambarku dingin, tombol
merah sudah meraung-raung agar dipencet. Namun, si bawel yang berbicara tak jelas ini
menyambung lagi.
“Sebentar, Suf!!”
“Apa lagi?”
“Aku tau kamu sayang sama Bunda kamu. Suf, denger ya.”
“Iya iya!” Ada helaan napas sesaat sebelum Andi melanjutkan bicaranya.
“Emm, aku tau kamu khawatir tentang isi surat itu. Tapi, lebih khawatir Bunda kamu yang
nunggu balasan surat kamu, Suf. Bunda kamu pasti khawatir. Denger! Asmi beberapa kali nelfon
aku hanya karena nanyain apa kamu udah buka suratnya, katanya dia khawatir kalo kamu belum
tau isinya. Suf, aku udah tau apa isi surat itu. Yusuf, kamu orang kuat, Suf. Kalahkan ketakutanmu
demi Bundamu.”
Tut Tut!!
Dan si butut mati begitu saja.

Roda bus yang kunaiki berdecit, sudah beberapa kali roda bus ini seperti ingin lepas dari
tempatnya. Kami yang berada di dalam tak pernah bisa tidur nyenyak, bahkan untuk tenang pun
tidak. Bus ini pontang-panting melewati jalanan, bunyi mesinnya keras sekali, seperti bunyi
odong-odong tua. Kami hanya bisa was-was sambil berusaha tenang di dalamnya.
Sudah sekitar lima jam aku berada di bus ini, setelah menyebrangi pulau, setelah
ongkosku dibantu Andi dan Asmi, setelah sekian lama, tiga tahun lamanya, aku sadar kalau aku
akan pulang. Benar-benar pulang. Tangan kananku aku genggam agar tidak memberonta untuk
memberhentikan bus, sedari tadi pikiranku tak tenang, aku benar-benar tak ingin pulang.
Bukannya kacang lupa dengan kulitnya, tapi kacang yang takut akan keadaan kulitnya sekarang.
Dengan basmallah aku tarik napas sedalam-dalamnya, berusaha memejamkan mata
walau bayang-bayang itu selalu ada. Sambil memegang surat lusuh dari Bunda, aku menghela
napas lembut, dan mataku mulai terpejam dengan bayangan wajah wanita tua yang sedang
tersenyum jauh disana.

Plak!!
Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kananku, aku meringis dan segara
menoleh marah ke orang yang berani menamparku begitu saja. Apa salahku?
Baru satu detik menoleh, aku terdiam seribu bahasa. Di depanku, di hadapanku, berdiri
seorang gadis manis dengan rambut acak-acakan dan selendang hitam dibahunya, ia menatapku
ganas dengan mata sayu dan basahnya itu. Dia Laila, adikku satu-satunya, adikku yang
kutinggalkan, selama tiga tahun.
“Masih ingat pulang?!” Segaknya, aku menatapnya datar. Laila yang kalem dan lembut
tak nampak di hadapanku sekarang, remaja cantik di depanku telah berubah seutuhnya, buktinya
rambut keritingnya telah lurus tegang, bibirnya dipoles merah, bajunya modis, dan cara
bicaranya. Semuanya. Karena aku.
“Maafkan Kakak, Ila.” Lirihku pelan. Ia menatapku nanar dengan mata merahnya, entah
sudah berapa lama adikku ini membanjiri matanya dengan air mata.
“Kak, maksudku Yusuf. Kamu tahu seberapa susahnya hidup kami di sini?” Aku tertergun,
kepalaku yang tertunduk langsung menoleh saat adikku sudah tak sudi memanggilku dengan
sebutan ‘kakak’. Tapi, aku sadar aku pantas menerimanya.
Laila menarik napasnya sejenak, aku yang bodoh ini entah mengapa tidak bisa berkata-
kata.
“Bunda sakit karena kepikiran laki-laki tidak penting seperti kamu. Ayah sudah meninggal,
siapa lagi yang kami jadikan harapan selain kamu? Tapi apa?! Kamu dengan egoisnya pergi begitu
saja mengejar beasiswa bodoh itu tanpa memperdulikan Bunda!”
Aku tiba-tiba menangis. Kata-kata itu seperti menampar keras diriku yang jika dipikir
benar-benar bodoh. Ya Allah bagaimana ini? Aku menarik napas menatap dalam mata Laila yang
sendu namun panas. “Ila, Ka…,”
“Jangan sebut namaku lagi! Aku tidak sudi mempunyai Kakak seperti kamu! Sejak tiga
tahun aku menunggu kedatanganmu dan sudah aku sampaikan apa yang harusnya aku
sampaikan. Pergilah ke kuburan Bunda setelah itu jangan pernah kembali lagi ke sini. Aku bisa
menghidupi diri sendiri dan ada Paman yang menjagaku. Eh, untuk apa aku memberitahu? Kamu
juga tidak akan peduli.”
Dan aku benar-benar menangis sekarang, tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bisa
menggeleng dan memegang lengan adikku pelan walau dia menepisnya berkali-kali.
Ia menarik napas panjang, menatapku sejuk, berbeda dengan tatapan kasar tadi. Ia tersenyum
lirih diiringi air matanya yang terus turun, begitu juga aku. Ia sekali lagi menarik napas dan
berkata,
“Selamat tinggal, Kak. Terimakasih sudah membuat sedikit kenangan di hidup Ila.”
Dan detik ini juga, aku hanya ingin Tuhan mencabut nyawaku karena dosa besar ini sudah
tidak akan terampuni. Aku terduduk lemah di teras kayu rumah sambil menatap punggung Ila
yang semakin menjauh. Beberapa orang yang tengah sibuk di rumahku hanya melintas dan tak
mempedulikanku. Aku tertunduk, menangis dan meraung seperti orang gila. Hatiku berteriak
keras. “Bunda! Maafkan Yusuf!”
Dan aku sudah tak sadarkan diri.

Anda mungkin juga menyukai