Anda di halaman 1dari 3

Pelangi Sehabis Hujan

Oleh: Fransiskus Xaverius Ritti Reda

XI IPA I

G emercik air hujan perlahan-lahan jatuh membasahi bumi, seolah-olah hendak


menari di tengah sepinya suasana waktu itu. Jalan-jalan yang biasanya ramai pada
saat seperti ini menjadi begitu sepi. Satu dua kendaraan melaju dengan buru-buru
menerobos hujan, sesekali menggilas genangan air sehingga tumpah ke sisi jalan lainnya.
Sedari tadi aku berdiri di emperan toko, memperhatikan hujan yang kali ini nampak
sedikit berbeda bagiku. Entah kenapa, hawa dingin yang merasuk dan perlahan
menyelimutiku tak begitu terasa. Bahkan suara air yang jatuh pun seperti bunyi dengan
irama yang mengalun secara teratur. Perlahan-lahan, hujan mulai reda dan matahari mulai
menampakkan diri sembari menyebarkan kehangatan dari sinarnya. Namun, aku terpaku
saat aku mendongkakkan kepalaku. Aku membuka mataku lebar-lebar, merasa tak mau
kehilangan momen ini. “Pelangi. Ya, itu pelangi...” ujarku dalam hati. Pelangi itu,
mengingatkan aku pada sosok yang sangat menginspirasi hidupku. Sosok yang membantu
aku menemukan dan mengembangkan kelebihan yang kupunya.
“Kakek....” ucapku pelan. Kakek adalah sosok itu. Sosok yang terbayang saat kulihat
pelangi. Momen ini mengingatkan aku pada masa kecilku yang bermakna.
Saat itu aku sedang duduk di teras rumah. Tanganku sibuk memainkan pensil
dengan warna-warna yang lembut hendak melahirkan sebuah goresan sederhana pelipur
lara. Namun, berulang kali aku menghapusnya karena kuanggap kurang sesuai. Tiba-tiba aku
mendengar suara seperti sesuatu yang sedang terseret. Kuangkat kepalaku mencari sumber
suara. Kulihat ada seorang pria paruh baya yang berjalan gontai ke arahku. Salah satu
kakinya seperti tak dapat diangkat sehingga hanya diseretnya secara perlahan. Kerutan-
kerutan di dahinya seolah menggambarkan kerasnya hidup yang ia tempuh selama ini.
Dengan lemah ia berjalan sambil menampilkan senyum lesu namun begitu damai.
Kakek datang menghampiriku. Aku merasa sedih melihat beratnya hari tua yang
ditanggung Kakek. Penyakitnya menyerang dengan ganasnya sehingga ia kesulitan berjalan,
makan, minum, bahkan untuk tidur sekalipun. Kubalas senyuman Kakek sembari
menghampiri dan membantunya berjalan. Kakek duduk disampingku hendak menemani.
Tangannya dengan gemetar mengambil lukisan yang kubuat. Matanya tajam melihat,
kemudian dahinya berkerut, lalu kakek membuka mulutnya dan berkomentar, “Wah...
lukisanmu benar-benar unik. Tapi, sepertinya ada yang kurang. Lukisan ini terlihat seperti
sesuatu yang dipaksakan untuk menjadi indah bukan sesuatu yang disajikan dengan harapan
untuk menghibur para penikmatnya... ”. Aku menunduk. Kurasa yang Kakek katakan ada
benarnya. Aku melukis menggunakan ambisi hampa namun tak menggunakan hati. “ Tak
perlu mengejar kesempurnaan. Warnai saja secara alami, seolah sedang meresapi kesunyian
di tengah alam. Nantinya, kamu akan merasakan keharuan lewat karya yang selesai tanpa
adanya celah yang kosong. Kakek tahu, kau mempunyai bakat dalam hal seperti ini.
Kembangkan kemampuanmu. Jangan sia-siakan”. Aku mengerutkan dahi, kemudian aku
tersenyum tanda mengerti. Kuambil pewarna yang tergeletak di lantai kemudian kembali
mewarnai lukisanku. Kutuangkan perasaanku dalam setiap detail warnanya. Ada kepuasan
saat kulihat hasilnya. Benar kata Kakek. Ini lukisan yang sebenarnya, lukisan penuh makna.
Kemudian Kakek bertanya kepadaku “Nanti jika kamu sudah dewasa, kamu mau jadi
apa?”. Kupalingkan wajahku, kemudian menyahut dengan tanpa keraguan sedikitpun.
“Pelukis! Aku mau menjadi seorang pelukis, Kek”. Entah mengapa, saat itu aku benar-benar
terobsesi menjadi seorang pelukis. Kakek kembali tersenyum. “Kelak jika kamu sudah
menjadi apa yang kamu inginkan apalagi kalau kamu menjadi orang hebat, ingat... jangan
jadi orang yang tamak dan sombong. Dibalik kesuksesan setiap orang, ada orang lain yang
turut berperan sekecil apapun itu. Kita membutuhkan orang lain. Jadi, perlakukanlah
sesamamu dengan layak”. Kata-kata Kakek ini benar-benar membuatku seolah tersihir. Aku
hanya terdiam sambil mengangguk pelan tanda mengerti. “Kakek suka pelangi ini...” kata
kakek sembari menunjuk pelangi yang tergambar dengan jelas di lukisanku. “Benarkah??
Terima kasih,Kek...” kataku penuh semangat. Kakek mengangguk pelan. Aku merasa bahwa
pelangi yang berwarna-warni tersebut menggambarkan Kakek dengan sejuta warna
kehidupan yang ia bagikan kepadaku.
Seminggu kemudian, tepatnya hari sabtu sepulang sekolah, aku berjalan beriringan
dengan beberapa temanku. Kami bercerita tentang banyak hal. Lalu aku teringat, hari ini
ada arisan di rumahku. Memikirkan hal itu membuatku jengah karena aku tidak menyukai
suasana arisan yang hiruk-pikuk. Aku lebih menyukai ketenangan bila hari beranjak siang.
Setibanya di rumah, kulihat banyak kendaraan diparkirkan di halaman. “Ini pasti kendaraan
milik anggota arisan kali ini”. Dengan malas kulangkahkan kaki ke dalam rumahku. Suasana
berbeda terasa saat aku di ambang pintu masuk. Terdengar suara isakkan pelan dari dalam.
Dengan cepat aku masuk. Kulihat ada sesuatu yang tidak lain Peti Kubur menyambut
kedatanganku. Aku berlari dengan cepat untuk menengok isinya. Kulihat seseorang
terbaring kaku di dalam sana. Wajahnya pucat pasi dengan tangan terlipat di atas perutnya
seperti menggambarkan tidurnya yang lelap. Serasa pikiranku tak karuan. Seolah sesuatu
memukulku dengan begitu kuat, sehingga sakit yang kurasa seperti menyebar hingga ke
otakku. Mataku serasa panas, tak kuat menampung air mata yang mulai menggenang.
Pertahananku roboh. Airmataku mengalir deras membasahi pipiku. Nafasku terasa begitu
berat, sehingga membuatku kesulitan merasakan udara yang melewati saluran
pernapasanku. Sambil setengah berisak ku sebut berulang kali nama kakek dan berusaha
membangunkannya dari tidurnya, berharap ia kembali. Namun, hal itu sepertinya mustahil.
Tak ada harapan lagi. Aku menangis semakin menjadi-jadi. Ibu menghampiriku,
memelukku dan berusaha menenangkan ku. Berat rasanya kehilangan kakek yang sangat
aku banggakan. Kehilangan warna dalam hidupku, bagaikan pelangi yang kehilangan
sebagian warnanya. Aku berusaha menguatkan diri, merelakan kepergian Sang warna untuk
pelangiku.
Kakek hendak dimakamkan di kampung halamannya. Jadi kami membawa Kakek
kembali ke Ende. Aku ingin bersama dengan Kakek saat ini. Tapi kakek sudah tiada, kini
tinggal tubuhnya yang berbaring tak bergerak sedikitpun. Untuk menyadari akan
kehadiranku dan menegurku saja sudah tak mungkin lagi. Tiba-tiba dengan lebatnya hujan
turun mengguyurkan apapun yang ada di luar. Dengan segera bapak mengisyaratkan untuk
segera berangkat. Kami sekeluarga beserta kerabat dan tetangga mulai berangkat
mengantar kakek ke tempat peristirahatan terakhirnya di Ende. Aku merasa lelah karena
kehabisan tenaga. Seketika aku tertidur di dalam mobil yang dikendarai Bapak.
Dukk..! Kepalaku terasa sakit dan membuatku tersadar. Aku terbentur di kaca mobil
karena jalan yang berlubang. Hari semakin sore. Entah kami sudah sampai di mana sekarang.
Aku membuka kaca mobil karena kurasa aku membutuhkan pasokan oksigen. Kulihat ke luar,
ada pelangi yang begitu indah. “Kakek..” mulutku berkata dengan suara pelan. Aku merasa
seperti kakek hadir di saat itu, bersamaan dengan munculnya pelangi. Kakek lah sang warna
yang hilang dari genggaman namun tak hilang dari hati ku. Ia tetap mewarnai hidupku.
Sekarang aku hanya mempunyai bekal dari seluruh nasehat yang ia berikan.
“Kakek tahu, aku berubah pikiran sekarang. Aku mau jadi dokter, agar semua
keluargaku sehat. Aku tak mau lagi ada keluargaku yang sakit, kek. Kumohon, dukunglah
aku”.
Kehangatan terasa menyebar di dalam hatiku, beban yang sedari tadi membuatku
lelah sepertinya perlahan-lahan mulai terangkat. Aku percaya, kakek ada saat itu, di dalam
hatiku ia tinggal. Aku yakin Kakek sekarang mendengarkanku.

“Hei...!!!” suara teriakkan tepat di telingaku membawa efek kepekakkan dan


membuyarkan lamunanku. “Kamu sedang apa? Melamun di pinggir jalan seperti itu, kamu
mau ditabrak?” tegur Hans, tetanggaku yang kebetulan lewat. Dengan cepat aku
menggelengkan kepalaku. “Ayo pulang bersama, kamu seperti orang yang sedang banyak
pikiran” sambung Hans lagi. Aku kemudian mengikuti langkahnya kemudian berjalan
beriringan. Aku tersenyum, hari ini aku merasa kakek hadir lagi. Jika ada tujuh warna pelangi
di langit, tapi ada satu warna tersangkut di hatiku dan tak mau pergi. Warna kedamaian
penuh kewibawaan. Warna yang Kakek simpan untukku.

Anda mungkin juga menyukai