Anda di halaman 1dari 6

IMPIAN SEORANG GADIS MISKIN

Hari ini kita akan membahas tentang impian. Ucap bu Tya, guru Bahasa Indonesiaku.
Tuliskan apa impian kalian serta beberapa alasan kenapa kalian ingin menjadi seperti itu
pada satu lembar kertas. Mengerti?
Kami semua mengangguk. Satu hal yang muncul dalam pikiranku, menjadi seorang
penulis. Menjadi seseorang yang akan dikenal banyak orang, yang akan dikenang banyak
orang karena karya-karyanya. Pasti menyenangkan.
Aku ingin menjadi penulis.
Alasanku menjadi seorang penulis; Pertama, karena menurutku, menulis sangat
menyenangkan. Kedua, aku bisa meluapkan perasaanku lewat rangkaian cerita, perasaan
yang mungkin tidak bisa aku ungkapkan pada kebanyakan orang. Ketiga, aku ingin hasil
karyaku dijadikan sebuah buku. Alangkah bahagianya jika aku bisa melihat hasil karyaku
berjejer rapi di rak beberapa toko buku terkemuka. Intinya, menjadi seorang penulis
adalah impian yang harus aku wujudkan! Tidak peduli bagaimana keadaanku sekarang,
aku akan terus berjuang meraihnya.
Cukup. Aku tersenyum puas dengan tulisan yang ada di selembaran kertas ini. Penulis
Suatu saat, semua itu akan terwujud. Setelah selesai, aku segera mengumpulkan kertas itu
pada Bu Tya.
Keesokan harinya, saat bu Tya kembali memasuki kelasku, beliau membagikan lembaranlembaran yang berisi impian itu pada kami.
Aliya. Ucap bu Tya.
Dengan senyum yang lebar, aku berjalan menghampiri beliau, dan mengambil selembar
kertas milikku. Tapi, alangkah terkejutnya aku saat melihat sebuah tulisan dengan tinta
merah di bawahnya.
Impianmu terlalu tinggi. Ingat, kamu hanya anak seorang pemulung, mana mungkin bisa
menjadi seorang penulis terkenal? aku menelan ludah dengan susah payah. Aku
pandangi wajah guru yang sebelum ini sangat aku hormati. Begitukah beliau? Pantaskah
seorang guru merendahkan impian sang murid? Tidak pantaskah seorang anak pemulung
sepertiku memiliki cita-cita sebagai seorang penulis?
Sebaiknya kamu ganti saja pola pikirmu. Kamu ada di antara orang-orang yang tidak
mampu. Sekolah saja tanpa biaya, mana bisa membayar mahal untuk menerbitkan buku?
ucap Bu Tya, yang lagi-lagi merendahkanku.

Dengan penuh emosi, aku memukul meja di hadapanku keras, lalu berjalan ke luar dari
ruangan kelas. Aku tidak butuh guru seperti itu!
Lihat saja, suatu saat nanti, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi seorang
penulis! Anak miskin sepertiku akan sukses menjadi penulis!
Ya, aku memang terlahir di antara puluhan, bahkan ratusan manusia yang kurang
beruntung. Tinggal di pinggir sungai, tidak memiliki rumah mewah, tidak punya barangbarang yang bagus, dan semua serba biasa. Sangat biasa. Beginilah hidup di Ibu Kota.
Tidak banyak orang yang peduli dengan orang-orang sepertiku. Mereka hanya melihatku
dengan sebelah mata. Alasannya karena mereka tidak pernah menjadi aku! Menjadi gadis
berumur enam belas tahun yang harus bekerja keras untuk sesuap nasi, tinggal di sebuah
gubuk di samping hotel berbintang, berteman dengan sampah dan aroma menyengatnya,
juga hidup dalam rasa was-was apabila sungai meluap, aku harus pergi untuk sementara
karena rumah kecilku tenggelam.
Hidup sebatang kara di Ibu Kota memang tidak mudah. Kalian pasti bertanya di mana
orangtuamu? jawabannya adalah; kedua orangtuaku pergi. Entah di mana mereka
sekarang, masih hidupkah, masih ingatkah padaku, kenapa mereka tega membuangku
saat aku bayi, dan Terlalu banyak tanda tanya yang selama ini belum aku pecahkan
jawabannya.
Aku tidak pernah berniat untuk mencari kedua orangtuaku. Mungkin saat ini mereka
sudah bahagia, tanpaku tentunya. Kadang, aku merasa takdir tidak pernah adil. Kenapa
harus aku yang merasakan semua ini? Kenapa aku tidak bisa merasakan kasih sayang
orangtua? Kenapa aku hanya bisa merasakan susahnya berjuang di tengah hiruk-pikuknya
Ibu Kota? Sedangkan aku ingin seperti mereka. Hidup layak, makan tiga kali sehari,
bersekolah yang tinggi, memiliki banyak impian, memiliki rumah yang besar, memiliki
kedua orangtua yang amat menyayanginya, memiliki banyak barang mewah, dan banyak
hal lainnya.
Tapi aku selalu sadar. Perjalanan hidup semua orang tak pernah sama. Inilah perjalanan
hidup yang harus aku jalani. Aku hanya perlu berjuang lebih keras lagi, jika ingin citacitaku tercapai. Aku tidak bisa seperti mereka, yang dengan santainya meminta uang pada
kedua orangtua untuk membeli barang-barang yang tidak penting, pergi ke sana-kemari
dengan supir pribadi, malas bersekolah karena dia tahu, kedua orangtuanya kaya, jadi dia
tidak perlu bersusah payah, dan banyak hal lain yang biasa orang-orang kaya lakukan.
Dan soal perkataan bu Tya tadi, aku berjanji akan membayarnya lunas dengan kerja

kerasku yang akan menjadikan aku seorang penulis! Tidak ada yang boleh mengejekku!
Tidak ada yang boleh merendahkan impianku! Akan aku buat semua orang yang
meremehkanku menyesal telah melakukan itu padaku! Aku berjanji!

Sepulang dari menjual barang-barang rongsokan, aku segera pulang dan mulai
menghitung uang hasil penjualan hari ini.
Seribu Dua ribu Ditambah dua puluh ribu, ditambah sepuluh ribu. Aku menghela
napas puas.
Alhamdulillah, tiga puluh tiga ribu. Dengan cepat aku pergi menuju Bang Joko, penjual
majalah di dekat rumahku.
Bang, beli majalah terbaru yang ada audisi lomba nulis cerpen. Ucapku saat bertemu
Bang Joko di lapaknya.
Waduh Majalah apa ya, Al? Abang nggak pernah buka-buka majalah, sih. Jawab
Bang Joko. Tumben cari majalah yang begituan, Al?
Iya nih, bang. Aku pengen ikutan lomba cerpen gitu. Siapa tahu aja menang terus
beneran jadi penulis terkenal.
Wah .. Kalau udah jadi penulis yang terkenal jangan lupa ajak Bang Joko makan yang
enak-enak ya, Al?
Pasti bang! Doain aja deh semoga semuanya lancar.
Bang Joko mengangguk dan mencari-cari majalah yang aku maksud.
Kayaknya ini majalah yang kamu cari, Al.
Berapa harganya, bang? tanyaku sembari meraih majalah itu.
Buat calon penulis sih gratis aja. Toh kalau nanti kamu sukses kan Bang Joko ditraktir
juga. Bang Joko nyengir lebar. Semangat ya, Al!
Aku mengangguk semangat. Yang bener, bang? Beneran gratis, nih? Asyik
Iya, buat Aliya mah nggak apa-apa deh gratis.
Makasih ya, bang! teriakku senang. Aku janji deh nggak bakal ngecewain abang. Aku
bakal usahain jadi juara, bang!
Setelah kembali dari lapak Bang Joko berjualan, aku segera membuka-buka majalah itu.
Dan tepat di halaman delapan, terdapat pengumuman lomba menulis cerpen tentang
kehidupan. Aku membaca syarat-syarat itu dengan sungguh-sungguh. Setelah mengerti
bagaimana alur ceritanya, aku segera pergi ke tempat internet terdekat untuk membuat
cerpen itu. Maklum saja, aku tidak mempunyai laptop atau komputer yang bisa

digunakan untuk membuat cerpen.


Aku bersumpah, aku akan terus berjuang menjadi seorang penulis!

Gimana, Al? tanya Bang Joko.


Aku menghela napas dan menggeleng pelan. Gagal, bang.
Nggak apa-apa. Bang Joko mengusap punggungku. Sukses itu nggak harus berjuang
satu kali, Al. Masih banyak kesempatan kok. Ini, ada majalah baru. Sekilas Abang baca,
ada lomba cerpen juga.
Nggak deh. Aku menatap tanah sambil menggigit bibir. Kalau kalah lagi, gimana?
Kok gitu? Nggak boleh patah semangat dong, Al. Katanya pengen jadi penulis yang
sukses?
Aku menatap Bang Joko beberapa detik. Bang Joko memang baik. Dia sudah seperti
Kakak untukku. Selalu mendukung segala hal yang aku lakukan, selalu memberi
semangat dan tidak pernah meremehkanku.
Semangat, Al! teriak Bang Joko. Ini majalah buat kamu gratis deh. Asalkan kamu mau
usaha lebih keras lagi.
Aku mengangguk. Bang Joko kembali membuat semangatku terpacu. Bagaimana pun
juga, aku harus berhasil!
Lomba membuat cerpen pertama, aku gagal. Di lomba pembuatan cerpen kedua, aku juga
gagal. Tapi kali ini aku tidak patah semangat. Aku terus mencari informasi lomba. Aku
bahkan rela menahan lapar, karena uang hasil penjualan barang-barang rongsokan itu aku
buat untuk pergi ke internet. Tidak masalah, karena aku yakin, pengorbananku akan
membuahkan hasil maksimal. Lomba membuat cerpen ketiga, keempat dan kelima,
semuanya gagal. Semangatku mulai hilang, tapi Bang Joko selalu memberiku nasihatnasihat yang berhasil memacu semangatku. Di lomba membuat cerpen keenam, tentang
impian, aku menulis tiap kata demi kata dengan sungguh-sungguh. Tentang impianku
yang menggebu-gebu sebagai seorang penulis.
Satu bulan lamanya aku menunggu pengumuman lomba itu. Dan tidak sia-sia! Sepulang
dari menjual barang-barang bekas, aku mendapat kiriman surat. Aku berlari menuju lapak
Bang Joko dan membaca surat itu di sana.
Selamat, kamu menjadi salah satu pemenang dari lomba menulis cerpen tentang Impian.
Tulisan kamu akan dibukukan. Setelah buku itu terbit, kamu akan mendapat royalti dari
setiap penjualan. Jika setuju, kami tunggu kehadirannya di kantor kami, jalan Merpati

nomer 23, Jakarta Selatan. Aku membaca surat itu sembari tersenyum cerah.
Bang!! teriakku. Aku menang! Impianku terwujud, bang!
Bang Joko tersenyum lebar, dia maju selangkah dan memelukku erat.
Selamat, ya, Al! Akhirnya aku bisa ditraktir sama penulis hebat kayak kamu.
Makasih banyak ya, bang. Ini semua juga berkat Abang. Aku mencium surat itu
berkali-kali.
Tuhan, terima kasih untuk hadiah terindah ini. Akhirnya aku berhasil membuktikan pada
semua orang, termasuk bu Tya, bahwa aku bisa menjadi seorang penulis. Perjuanganku
selama delapan bulan terakhir membuahkan kebahagiaan. Batinku.
Aku membuka amplop berwarna putih yang siang tadi diberikan oleh beberapa orang dari
penerbit.
Dua juta. Desisku pelan. Baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini, Tuhan.
Terima kasih atas segalanya.
Akhirnya Jadi, mau traktir di mana, nih? tahu-tahu Bang Joko nongol di
belakangku.
Abis acara meet and greet, ya, bang. Jawabku. Ini bukan mimpi kan, bang? Aku
Seneng banget.
Ini kenyataan yang selama ini kamu pengen, Al.
Sejak tadi, tak habis-habisnya aku tersenyum. Hari ini, cerpen karyaku resmi dibukukan.
Dan aku harus menghadiri meet and greet di sebuah mall. Ini seperti sebuah mimpi yang
selama ini aku impi-impikan dan akhirnya terwujud. Berkat kerja kerasku, aku berhasil
mewujudkan mimpiku.
Setelah sampai di mall itu, aku segera berjalan menuju lantai tiga bersama Bang Joko,
menuju toko buku. Setelah sampai di depan toko buku, mendadak aku kaget. Tempat itu
mendadak seperti lautan manusia. Aku menelan ludah dan berjalan pelan menuju
beberapa orang yang aku kenal di atas panggung. Ternyata, puluhan orang itu adalah
pembaca yang menyukai karyaku. Betapa bangganya aku. Aku terus mengumbar senyum.
Sungguh, ini benar-benar menakjubkan.
Impian saya menjadi seorang penulis sangatlah besar. Saya selalu berusaha keras
menjual barang-barang bekas agar bisa pergi ke warnet untuk mengetik. Maklum saja,
orang miskin seperti saya tidak memiliki barang mewah seperti laptop atau komputer.
Mataku menyapu beberapa orang di sisi kiri. Bu Tya, beliau datang!
Awalnya saya juga tidak yakin, apakah orang kecil seperti saya bisa menjadi seorang

penulis hebat atau tidak. Tapi aku menoleh ke arah Bang Joko.
Bang Joko yang selalu memberi semangat saya. Dia selalu memberi saya majalah gratis
asal saya terus berusaha menjadi penulis. Itu dia, orang yang paling berharga untuk saya
lanjutku sambil menunjuk Bang Joko. Kini, semua mata memandangnya.
Tapi, tidak semua orang mendukung saya. Ucapku lagi. Ada satu orang, yang sampai
saat ini ucapannya sangat saya ingat. Ya, beliau tidak yakin bahwa saya bisa menjadi
penulis yang hebat. Mungkin karena keadaan saya yang miskin. Aku tersenyum ke arah
bu Tya, beliau menunduk.
Awalnya saya memang marah, saya sakit hati. Tapi nyatanya saya salah. Semua katakata itu justru yang membuat saya seperti ini.
Satu hal yang perlu kalian tahu. Aku kembali tersenyum. Jangan anggap kata-kata
yang menjatuhkanmu benar-benar akan menjatuhkanmu. Justru, kata-kata itu harus kalian
anggap sebagai motivasi. Anggap kata-kata itu sebagai penyemangat. Seperti yang saya
lakukan. Aku berdehem pelan.
Terimakasih, bu Tya. Berkat kata-kata Ibu saat itu, semangat saya bertambah. Saya
selalu bertekad untuk menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, saya berhasil. Ternyata,
impian tinggi seorang gadis berusia enam belas tahun itu benar-benar terwujud, bu.
Semua bertepuk tangan. Ada juga beberapa orang yang menitikkan air mata. Aku bangga.
Aku bersyukur. Ternyata ada hikmah di balik takdir yang aku anggap sebagai mala petaka
ini.

Anda mungkin juga menyukai