buku-bukuan, yang
dikerjakan dengan
penuh kesungguhan,
seperti anak rajin
yang mengerjakan
hasta karya, tapi
Anda tidak usah
menanggapinya
secara serius. Santai
sajalah. Janji, ya?
2 Antyo Rentjoko
Kedai Merahh i
Kedai Merahh:
Kumpulan Karangan
Gombal
Penulis
Antyo Rentjoko
Perancang sampul
Rentjoko
© Gambar-gambar asli sumber
kolase belum diketahui kecuali
foto rokok CCCP dan rokok
Che oleh perancang sampul.
Diterbitkan oleh
Ahagia Entosa Ejahtera
dan Rasakertas
ii Antyo Rentjoko
Kedai Merahh iii
Untuk pembaca yang sudah meluangkan waktu,
tenaga, mata, setrum, dan bandwidth – juga tinta dan
dluwang misalkan mencetaknya.
iv Antyo Rentjoko
PER MISI
Mengarang-ngarang
si Hidung Belang
Kedai Merahh v
paham sastra dan bukan penikmat (su)sastra. Yang saya
buat adalah seolah-olah sketsa sosial, dengan tuturan linier
dan datar, pun hehehe... menjemukan sebagai perjamuan
kata, dan tidak mengantarkan Anda kepada pengalaman
maupun pemahaman baru tentang kehidupan. Malah ada
yang ceritanya saya biarkan ngelantur.
Saya lakukan ini untuk menjemput kembali
kegembiraan mengarang. Tapi, eh... padahal, waktu masih
sekolah nilai mengarang saya buruk. Memang tidak merah
karena dalam mengarang tak ada nilai merah kecuali
kertasnya hanya berisi judul. Maksud saya, karangan saya
tidak pernah dibahas oleh guru. Artinya karangan saya
tidak menarik karena kemampuan menulis saya buruk.
Lebih buruk lagi: saya hanya mengarang kalau ada tugas –
tapi menikmatinya dan tak peduli akan dinilai berapa.
Meskipun begitu kegembiraan mengarang itu
sebetulnya tidak menguap lalu lenyap. Kalau tenggelam
memang, bahkan lama, tapi kali ini saya coba munculkan
lagi agar mengambang.
Untuk apa? Iseng.
Murah atau mahal, keisengan tetaplah sebuah
kemewahan. Layak dirayakan dengan suka cita.
Salam,
vi Antyo Rentjoko
Senarai
Karangan 1 Pensiunan 1
Karangan 2 Teman-teman Cina 9
Karangan 3 Kedai Merahh 17
Karangan 4 Sensus Akhir Pekan 23
Karangan 5 Ketua RT 29
Karangan 6 Undangan Pernikahan 37
Karangan 7 Tonggak ke-39 43
Karangan 8 Anak-anak Jakarta itu... 51
Karangan 9 Sang Doktor 59
Karangan 10 Mister Blogger 71
Karangan 11 Busana Ibadah 81
Karangan 12 Kamar Kontrakan 89
Karangan 13 Gang Amoy 99
Karangan 14 Sang Purnawirawan 111
Karangan 15 Well Updated 125
Karangan 16 Psikologi Uang 135
Karangan 17 Spiker Dinding 143
Karangan 18 Nama-nama Sialan 155
Pensiunan
1) Dari kata tholé, panggilan untuk anak lelaki. Konon kata tholé berasal dari
(maaf) "kontholé", artinya penis(nya). Hal sama berlaku untuk "wuk", panggilan untuk
anak perempuan, yang berasal dari kata gawuk dan kemudian bawuk – belum jelas
kedua kata itu berarti vulva atau vagina, pokoknya kemaluan perempuan. Tapi untuk
vulva, orang Jawa punya istilah sendiri, yaitu (maaf, ya) "turuk". :)
Kedai Merahh 1
sehat dari jarak empat meter itu. Kalender seukuran dua
kali kuarto, berbahan HVS, tanpa gambar. Selasa, minggu
kedua saban bulan, kecuali tanggal merah, selalu dilingkari
spidol merah. Kalender dekat meja makan itu. Sejak dulu
posisi meja dan kalender tak berubah.
Dan aku tahu di buku agenda ibu, seukuran separo
novel supaya bisa masuk tas – tapi untuk membacanya harus
dengan melepas dan memasang kacamata berulangkali –
tanda yang sama juga melekati tanggal tertentu, disertai
keterangan. Termasuk tanggal arisan pensiunan kelompok
Melati, arisan RT, arisan keluarga Jayengmanukan, dan
tanggal angsuran ke penagih keliling dari koperasi dan
bank perkreditan rakyat.
Ada dua hal yang aku kurang sreg. Mengambil pensiun
sendiri dan utang ke koperasi serta BPR Profita Warga itu.
Untuk utang aku tak mempersoalkan pokok dan
bunganya, toh aku tahu itu tak memberatkan Ibu. Aku
kurang sreg karena utang itu bukan untuk Ibu, tapi untuk
Yu Jiyem, pembantu setia kami, dan entah untuk siapa
lagi karena setiap kali lunas langsung diperbarui secara
otomatis untuk kepentingan yang lain lagi.
“Ndak apa-apa, Ibu masih bisa ngangsur dan sejauh ini
ndak pernah ada masalah, Lé. Orang BPR kenal Ibu semua.
Waktu Ibu ulang tahun itu dikirimi lapis legit dari Toko
Bahagia...”
“Ya, Bu...”
“Kalau Koperasi Rakjat Sedjahtera itu kan bagus,
2 Antyo Rentjoko
Ibu ngutang malah dapat
deviden. Yang koperasi itu
Ibu sudah ikut empat puluh
tahun, Lé. Dulu untuk
keperluan sekolahmu juga
dari sana. Kalau BPR,
yah kamu tahu, kan baru
lima tahun ini. Kebetulan
yang mimpin anaknya Pak
Bambang Brewok, yang
rumahnya di pertigaan
itu.”
“Ya, Bu...”
Bukan informasi baru.
Aku selalu menyimak lagu
lama itu. Dan mengangguk,
tersenyum. Ibu juga.
Tapi soal mengambil
uang pensiunan ke kantor
pos itu, kali ini aku sangat
tidak sreg. Kenapa tak suruhan dengan memberi surat
kuasa?
Memang dalam umur 76 Ibu masih sentosa untuk
ukuran usianya, lagi pula belum terlalu pikun karena
rajin mengisi teka-teki silang. Becak langganan tinggal
menjemput pukul tujuh seperempat, mengantar ke kantor
pos sejauh dua kilometer dari rumah, kemudian menjelang
Kedai Merahh 3
pukul dua belas menjemput, lalu mengantar Ibu mengudap
di Soto Ayam Sadremo dekat Balai Kota, dan sekeluar dari
warung sudah meneteng rantang berisi soto untuk Pak
Bagong, tukang becak itu. Orang warung sudah hapal.
Beberapa teman lama, yang juga anak pensiunan, tahu
rutinitas bulanan itu.
Memang begitu. Jadi apa masalahnya?
Aku takut Ibu tersambar sepeda motor. Terutama
saat menyeberangi jalan. Dalam lima tahun terakhir aku
rasakan setiap kali pulang: jumlah sepeda motor terus
bertambah, dan para penunggangnya semakin liar. Inilah
akibatnya jika SIM dapat dibeli, dan urusan tilang dapat
diselesaikan di bawah pohon peneduh jalan.
Ibu pun pernah mengeluhkan kelakuan para pemotor
itu, “Apa mereka ndak diajari nunggang dengan bener ya,
Lé? Bapaknya bisa belikan pitmontor2) tapi ndak ngajari
soal budi pekerti dan cara nunggang yang bener.”
Kalau sudah begitu keluarlah jurusku agar Ibu suruhan
orang saja. Intinya adalah agar Ibu tak keluar sampai jalan
raya, jauh dari rumah. Kota kecil ini sudah berubah. Sepeda
motor semakin banyak. Bahkan yang lewat depan rumah
pun selalu ngebut.
Lagi-lagi setiap sampai ke masalah itu jawaban Ibu
2) Berasal dari kata serapan "pit" (sepeda, dari bahasa Belanda fiets; adapun
sepeda dari kata velocipide) dan "montor" (mobil). Di kemudian hari sebagian orang
Jawa terbelah, ada yang masih mengartikan montor sebagai mobil, di sisi lain ada
yang mengartikan montor sama dengan sepeda motor dan menyebut mobil ya sebagai
mobil.
4 Antyo Rentjoko
juga tetap. Misalnya, “Lé, Ibu kan juga butuh bergaul,
bermasyarakat. Datang pagi sebelum loket buka itu ketemu
teman-teman, dapat kabar siapa yang sakit, malah siapa
yang meninggal...”
“Ya, Bu...”
“Bukan hanya itu, Lé. Setelah Ibu ngambil di loket lalu
ketemu lagi sama yang lainnya, duduk di bangku angkringan
ronde, di bawah pohon kelengkeng kantor pos itu lho, iya...
yang dulu buat parkir sepeda, untuk saling tukar kabar."
“Ya, Bu...”
“Sekarang ini teman ibu ngajar dulu di SMP, tinggal
tiga. Padahal lima tahun lalu masih sepuluh orang. Empat
yang bapak-bapak sudah pada kapundhut3) duluan, Lé.
Lainnya nyusul. Dari yang tinggal tiga orang itu, yang satu
selalu pakai suruhan keponakannya. Dia itu, Bu Sri, itu
lho... yang dulu ngajar bahasa Indonesia, stroke sejak empat
bulan lalu...”
Bukan alasan baru. Masih sama. Hanya jumlah yang
hidup yang kadang berkurang selama cerita yang sama,
selama bertahun-tahun setiap kali aku pulang tiga bulan
sekali selama dua malam.
Kepulangan aku jadikan selingan supaya berjarak dari
Jakarta. Pulang ke rumah, sejauh 413 kilometer menurut
odometer mobil, tapi aku selalu naik pesawat lalu disambung
taksi ke ke kotaku, juga berarti menikmati perjalanan
3) Arti harfiahnya diambil, terambil. Kata ini juga berarti meninggal, diambil
kembali oleh Tuhan.
Kedai Merahh 5
waktu yang normal, tak sebergegas Ibu Kota. Di kotaku
waktu berjalan normal, tanpa pagi lalu tiba-tiba sore, dan
aku selalu punya kemewahan bernama tidur siang.
Kepulanganku juga berarti pagi mengudap ke soto
ayam di warung Pak Witono, siang ke lotek Mbok Darmi,
lalu malamnya ke nasi cap jay Oom Njoo. Oh ya, di kotaku,
orang-orang Cina pun menyebut cap jay, bukan cap
cay. Ketika aku bekerja di Jakarta 25 tahun lalu selalu
ditertawakan setiap kali menyebut “cap jay” – mungkin
juga karena aku melafalkannya “cap jahé”.
Kepulanganku sebagai anak tunggal ya tetap bertemu
topik tentang uang pensiun itu, terutama sejak dua tahun
terakhir. Sebuah percakapan tanpa kesimpulan karena
salah satu pihak, yaitu Ibu, tidak menganggapnya sebagai
masalah. Dan terbukti sejauh ini tak ada masalah. Aku
kalah. Kekhawatiranku patah. Alasanku lemah.
Kepulanganku juga akan berujung ke topik yang
selalu mencuat beberapa jam sebelum mobil carteran
menjemputku untuk mengantar ke bandara di ibu kota
provinsi. Biasanya sekitar dua jam sebelum penjemput
tiba.
“Kamu masih tahan sendirian to, Lé? Apa ndak bosen?
Mosok ndak ada perempuan yang mau sama anak lanangku
yang bagus ini?”
Jawabanku juga cuma senyum, kadang tertawa kecil,
lalu disambung canda, dan belakangan semakin semaunya.
Tak ada kesimpulan. Dan sejak aku tolak dengan uring-
6 Antyo Rentjoko
uringan, soal penjodohan delapan tahun lalu itu, Ibu tak
berani lagi melakukannya.
Kepulangan tiga bulan sekali, dengan topik bahasan
yang itu-itu juga, bagiku bukan soal. Atau jangan-jangan
semacam ritual? Jika ya, maka yang terucap seperti
mantra, apapun makna kata demi kata tak penting, karena
yang utama yang mendatangkan rasa nyaman bagi masing-
masing pihak karena merasa telah saling memperhatikan.
•••••
Kedai Merahh 7
karangan itu. Nama karangan untuk duda kerempeng,
dulunya pegawai dinas pertanian. Seingatku dia tak pernah
berkunjung ke rumah, tapi sejak SMP aku sudah mendengar
bahwa Ibu ada hubungan khusus dengan dia. Sindiran
tentang janda beranak satu, yang ditinggal suaminya
berlayar tanpa berita, lalu si janda menggoda suami orang,
bisa membuatku meradang dan mengajak berkelahi siapa
saja meskipun kalah.
Dia, lelaki yang kunamai Bejo Bajul itu, setahuku tak
pernah berkunjung ke rumah. Tapi di kota kecil ini, yang
cuma 26 kilometer persegi dalam satu kecamatan, orang
bisa saling tahu meski tak mengenal. Bahkan bisa tahu
rumahnya, atau setidaknya kampung tempat dia berdiam.
Topik tentang Bejo Bajul tak pernah kami bahas dalam
setiap kepulanganku yang tiga bulan sekali sejak 25 tahun
sejak aku bekerja di Jakarta itu. Aku dan Ibu sama-sama
menjaga diri. Menjaga perasaan.
Bejo Bajul kian dekat. Berjalan tertatih, berhenti
sebelum keset rajutan kawat, dengan agak terengah.
Aku berdiri. Kami bertatapan sejenak. Lalu aku
masuk.
8 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 2
Teman-teman Cina
Kedai Merahh 9
kemungkinan dia temanku semasa SMP atau SMA. Bukan
semasa SD, karena aku ingat nama-nama teman SD-ku
yang hanya satu kelas.
Aku mengerahkan ingatan. Tak ada nama Rahmat
dalam blok ingatanku. Yang ada Rahmat lain, kakaknya
Didik, temanku sekelas, anak bintara polisi militer yang
tinggal di asrama depan penjara.
Rahmat Anwar Husodo. Domisili Blora. Oh, mungkin
teman kuliah. Tapi aku tak dapat mengingat nama teman
kuliah, terutama yang berbeda jurusan dan berlainan
angkatan. Yang pasti tak ada teman SMA-ku yang berasal
dari Blora. Memang di SMA dulu banyak anak dari luar
kota, bahkan yang jauh, dari Bagansiapiapi nun di Sumatra
Utara, dan dari Palangkaraya di Kalimantan Tengah pun
ada.
Tak ada Blora. Tak ada Rahmat. Kukirim pesan, “Halo.
Maaf boleh tahu Anda siapa?”
Pesan itu kukirim lima bulan lalu, sebelum tahun
berganti. Pagi tadi ada e-mail notifikasi di kotak masukku.
Balasan dari Rahmat, dalam bahasa Jawa halus, “Punapa
panjenengan kesupèn marang kula to, kanca lami ing
Salatiga? Kula panci boten kaétang déning sinten
kémawon, punpa malih déning priyagung ingkang
misuwur kados panjenenganipun...”
Artinya, “Apakah Anda lupa terhadap saya, teman lama
dari Salatiga? Saya memang tak dianggap oleh siapapun,
apalagi oleh orang tenar seperti Anda...”
10 Antyo Rentjoko
dan 5 video." / GALERI NASIONAL
© FOtO PRAOLAH: REPRO DARI KARYA ANDREAS
HARSONO "Yang Dihapus Kutulis Ulang, 2009.
Instalasi dengan perabot, kertas, tinta cina,
Kedai Merahh 11
Bahwa bakal segera datang SMS balasan, malah
disusul panggilan masuk, berisi umpatan, itu sudah
kuduga. Yang penting dalam umpatan ada pembukaan diri
siapa dia. Setelah itu aku menelepon, menyapa, minta maaf,
bercanda, bertukar kabar, dan saling ledek – bila perlu
saling memaki.
Tapi yang ini tidak. Aku tak tega. Dan jujur saja aku
penasaran karena dalam profilnya di Facebook tak ada foto
diri maupun info lainnya. Hanya ada foto rantang.
Akhirnya aku balas Rahmat dengan bahasa Jawa
halus, yang berarti ini: “Maaf ingatan saya sudah meluntur
dikarenakan usia dan penyakit keturunan.” Terlalu juga,
untuk hal sepele aku membawa-bawa dan menyalahkan
leluhur di alam baka.
Tak aku sangka, balasan dari dia cepat. Sorenya
langsung masuk, “Kalau soal usia, kita sama, malah saya
lebih tua. Tak ada alasan untuk pikun.”
Aku lekas membalas agar tak bertele-tele. “Oh ya? Gini
aja, siapa sebetulnya Anda.” Kusertakan nomor ponselku
yang ketiga.
Malamnya, serampung aku rapat di kedai, ponselku
bergetar. Ada panggilan masuk. “Assalamualaikum, Dul! Ini
aku yang di Facebook ngirim pesen ke kamu. Alhamdulillah
akhirnya teleponku bisa masuk, dari tadi ketolak terus.
Lupa ya sama Hwa Djay?”
Astaga! Hwa Djay! Lengkapnya Liem Hwa Djay. Itu
nama teman lama. Nama itu tak kulupakan.
12 Antyo Rentjoko
Dia anak IPA, aku IPS, tapi kami cukup dekat. Meski
tak sering, belum tentu tiga bulan sekali, tapi kadang kami
saling berkunjung. Aku ke rumahnya, bangunan kolonial
yang berhalaman depan luas, lalu masuk lewat lorong
samping, nah di dekat gudang tembakau ada kamar ukuran
empat kali lima meter persegi, itu kamar dia. Kamar dengan
banyak buku dan piringan hitam.
Tak banyak teman bertandang ke situ karena Hwa
Djay memang tak banyak kawan. Kalaupun menerima
kunjungan, bahkan dari sesama keturunan Cina, dia hanya
menerimanya di teras depan rumah yang berkursi kayu-
dan-rotan. Atau di bawah pohon rambutan – “pohon acé”,
kami menyebutnya.
Aku beringsut menjauhi keramaian dan kepulan asap
rokok meja kedai, sekalian mencari sinyal yang lebih baik
dan hawa segar di dekat parkiran. Kami saling bertukar
ingatan dan canda. Dan akhirnya terjawablah pertanyaanku
di awal perbincangan ponsel, sejak kapan Liem Hwa Djay
menjadi Rahmat Anwar Husodo. Tadi dia hanya menjawab,
“Ceritanya nanti.”
Dulu dalam buku presensi pun namanya Liem Hwa
Djay. Teman-teman tahunya juga Hwa Djay, si culun alim
anak juragan tembakau, yang rumahnya dekat perempatan
pangkalan dokar.
Sebetulnya kepanglingan nama itu bukan hal baru
bagiku, terutama sejak ada Facebook. Nama lama teman-
teman Cina sudah berubah. Tapi dengan melihat info, foto,
Kedai Merahh 13
dan jaringan pertemanan, aku segera mengenali siapa
saja mereka. Apalagi jika ada ajakan berkawan kembali –
inilah keanehan Facebook: orang sudah berteman diajak
berkawan – dengan menyebut nama lama.
Misalnya, “Dul, ini aku Hoo Liong.” Atau, “Pasti situ
masih inget Siu Lan sing ayu banget bikin klepek-klepek
itu.”
Hoo Liong jadi Albert Ongkowijaya. Siu Lan jadi
Cecilia Indah Tanujaya, dan akhirnya ditambahi Gunawan,
nama belakang suaminya.
Ada juga yang tiba-tiba nyelonong melalui SMS karena
nomor utama ponselku beredar di kalangan teman lama
dan terus beredar. Misalnya ini, “Halo, dul. Pakabar? Ini
aku, hwie tjoen. Tp namaku di fb teddy raharja.” Juga ini,
“Alooo dul, ini aku siok lan. Nama lama, kalo skrg ya lanny
salim. Pakabar? Msh inget?”
Misalkan bersua, dalam lingkup bersama orang luar,
aku tahu diri untuk tidak memanggil lama nama mereka
di luar yang tertulis kartu nama. Beberapa kawan menjadi
petinggi perusahaan di Jakarta, dan kantornya beberapa
kali menggelar perjamuan bisnis.
Foto bersama di Facebook, termasuk reuni teman-
teman di Salatiga, membuatku lega. Masalah Cina dan non-
Cina tidak penting bagi kami. Sejak dulu. Bahkan beberapa
teman enak saja meledek sesamanya, “Dia memang masih
Cina banget. Pelitnya minta ampun! Hahaha!” Ada juga,
“Dasar Jawa, kebatinan melulu, apa-apa dibatin. Hehehe!”
14 Antyo Rentjoko
Bahkan ketika Soen Yen menikah dengan Cina Makassar,
yang berkulit gelap, seorang teman Jawa meledek, "Ah
bohong kamu. Bojomu bukan Cina. Jauh-jauh dapat bojo,
eh item. Kalo cuma item, di sini banyak. Jawa ganteng yang
ndak gosong juga banyak."
Perihal Hwa Djay ini berbeda. Dia tak punya kawan.
Hanya satu temannya di Facebook, dan akan bertambah
lagi satu yaitu aku. Sulit untuk mengenali. Tahu-tahu
menjadi Rahmat Anwar Husodo dari Blora. Padahal seperti
banyak kawan, dia dulu masih WNA. Ini bukan pilihan tapi
akibat politik dan birokasi Orde Baru yang masih berbuntut
hingga sekarang.
Itulah Hwa Djay yang sejak lima tahun lalu menjadi
mualaf. Sekarang membuka toko elektronik di Blora.
Istrinya seorang Cina muslimah. Mereka belum dikaruniai
anak.
Memang sebuah cerita biasa. Ingatanku masih ke
nama-nama lama mereka, nama yang diberikan oleh
tradisi leluhur, tapi perkembangan zaman, yang mungkin
juga dengan sejumlah ketidakenakan, akhirnya membuat
kawan-kawanku memiliki nama baru. Nama-nama baru
dengan pola yang mudah ditebak karena jarang dipakai
oleh orang Jawa.
Dini hari ini, pukul satu serepermpat setelah aku
matikan komputer, sebuah SMS masuk, “Halo, dul kampret
abdulhadi sugimantoro joyomartono. Ini aku, tjeuw kwie
lan. Dl di sl3. Msh ingat? 2 jam lg kl blh aku yg nelp km.
Kedai Merahh 15
Ini sdh mau take off. Sorry. Kl telp gak km angkat aku gak
kntk lg, km jg gak bisa kntk aku.”
Tjeuw Kwie Lan? Nama yang lengkap, menyertakan
she atau marga. Siapa dia?
Ingatanku sudah pol dan buntu. Tapi aku yakin belum
pernah dengar nama itu. Aku ingat nama temanku sejak TK
sampai SMA – untuk yang masa TK sampai SD, aku ingat
nama lengkap mereka.
Adapun jukukan lengkap Dul Kampret hanya teman
sekolah yang tahu. Ini akibat sejak TK sampai SMA aku
bersekolah di yayasan yang sama, dalam satu kompleks.
Nama terus melekat. Tapi Abdulhadi Soegimantoro
Djojomartono? Nama ini tak ada dalam rapor, terutama
dua nama terakhir dari ramaku dan eyang kakungku.
Kini malu rasanya kalau harus menanya kepada
teman-teman tentang Tjeuw Kwie Lan. Khawatir dianggap
sombong, dan lebih khawatir lagi aku akan dipermainkan
dengan merujuk ke nama toko, bengkel, dan restoran yang
salah. Memang nama-nama usaha keluarga menjadi salah
satu identifikasi untuk menggali ingatan.
Dua jam lagi. Tapi kantukku semakin membuai.
16 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 3
Kedai Merahh
Kedai Merahh 17
Dua bulan lalu, tabloid bisnis Wirausaha
Indonesia juga menyisipkan kata-kata manis:
“Jackie, demikian Joko dipanggil kalangan
dekatnya, yang bekas aktivis pers mahasiswa
itu, menghias kafenya dengan tokoh-tokoh
revolusioner.”
Aku enggan menyebutkan nama univer-
sitasku. Cukup kota saja: Yogyakarta. Yang
penting adalah citraku sebagai orang kreatif yang
dulunya aktivis. Citra itu perlu justru perlu karena
pelanggan Kedai Merahh di Jakarta BizSquare
adalah orang-orang kantoran biasa yang menurut
kesanku apolitis, bukan bekas aktivis.
Dalam wawancara aku selalu berlagak
menghindar ketika reporter menanyakan
selentingan masa laluku. Selentingan itu mereka
petik dari kekeliruan beberapa blog anak-anak
muda yang menyebutku “mantan aktivis 80-an”. Mereka
mendengarnya dari obrolan di warung.
Aku menyukai citra baruku. Baru? Entah. Tapi aku
sudah berbeda. Setelah dua lalu mengambil pensiun dini
dalam usia 50, maka kutinggalkan kemapanan sebagai art
director beberapa majalah di lingkungan sebuah kelompok
penerbit besar.
Dengan pesangon yang bagus, dan ditambah warisan
istri, kubuka Kedai Merahh. Pakaian harianku berubah.
Dari dulu aku selalu berbusana santai, tapi sekarang lebih.
18 Antyo Rentjoko
© FOTO ASLI CANGKIR PRAOLAH OLEH Julian Cenkier (SXC.HU)
Celana pendek, sneakers, kadang boots, dan kaos.
Kaosku pun bertema perjuangan. Yang sering kupakai
adalah kaos produk Kedai Merahh. Ada yang bergambar
Che (wajib!), Lenin (harus), Mao (kudu), Tan Malaka (hasil
pencarian di internet menunjukkan dia hebat), dan Bob
Marley (dengar-dengar selain musiknya asyik dia juga
pejuang). Lalu ada yang usul gambar John Lennon. Lalu
ada yang usul gambar Samaoen dan Darsono – entah siapa
mereka, tapi anak-anak sering menyebutnya.
Aku bangga akan tema kafeku. Serbamerah.
Dindingnya. Mejanya. Kaos polo pramusajinya. Untuk
cangkir dan cawan pakai hitam saja. Yang penting merah.
Kedai Merahh 19
Apalagi tema visualnya. Yang terbaru adalah olahan
grafisku terhadap bungkus rokok CCCP dan Che. Yang
pertama kudapatkan di Rusia, yang kedua di Jerman, dalam
kunjungan wisata bonus kesetiaan dari kantor lama.
Aku senang ketika seorang cewek kantoran, berstoking
hitam, menanya, “Ini kafe kiri ya, Mas?”
“Itu kan menurut Anda. Kanan atau kiri sama saja
kok,” kataku.
Aku semakin bergairah karena fanpage kafeku di
Facebook sudah diikuti 1.200 penggemar dalam dua
bulan – padahal aku yakin sebagian besar belum pernah
singgah. Kubiarkan penggemar membesar-besarkan kata
“perjuangan”, “revolusioner”, dan “kiri” – juga “kekiri-
kirian”.
Aku bangga ketika seorang pensiunan letnan jenderal,
oom dari temanku, singgah di kafeku lalu mengernyitkan
kening sambil berkata, “Apa? Cuma buat lucu-lucuan? Di
mana lucunya? Kalau dulu kafe kayak gini sudah membuat
sampeyan diambil, nginep di markas.”
Aku bangga karena lima anak muda menyaksikan
itu lalu menyiarkannya melalui Twitter. Salah satunya,
“@jackiexxx80 si @kedaimerahh kena damprat mantan
jenderal. dia tetap cool.”
Kemudian pekan lalu, datanglah rombongan pemesan
buka puasa bersama itu. Mereka sebaya aku. Beberapa
orang tak puasa, hanya datang untuk silaturahmi dengan
kawan-kawan lama saja, dan merokok sebelum jam buka
20 Antyo Rentjoko
tiba. Satu dari mereka itu memperkenalkan diri. Namanya
Alex Purnomo.
Kartu namanya menunjukkan bahwa Alex adalah
seorang kepala SMA swasta. “Saya baca di mana lupa,
Mas Jackie bikin tema kafe ini cuma buat lucu-lucuan
ya? Alasannya angkot dan truk juga sering pake gambar
Che. Malah kaos Che dijual di Pasar Projo Ambarawa, tuh
fotonya dipasang di sana,” katanya sambil menunujuk foto
dekat lorong menuju toilet.
“Iya.”
Kerumunan kecil tujuh orang, termasuk aku, itu
tertawa bersama.
Seorang teman Alex menyergah, “Omong-omong, Anda
dulu aktivis ya? Juga di pers mahasiswa? Di mana, Mas?”
“Ah nggak. Itu kan kata media. Bukan kata saya.”
Satu orang lagi mendesak, menanyakan sejumlah
nama. Mungkin nama aktivis di Yogya tahun 80-an. Aku
hanya angkat bahu dan akhirnya mengatakan, “Sudahlah,
itu kata media.”
“Mas Jackie dulu kuliah di mana?” tanya orang yang
lainnya lagi.
“Ah nggak penting. Sekolah saya kan kacau. Ya
kampusnya, ya sayanya. Hahaha...”
Jam buka puasa pun tibalah. Mereka asyik bersantap
dan bergurau. Beberapa orang meninggalkan tempat untuk
salat di musala milik mal.
Di toilet aku bersua salah satu dari pengerumun tadi.
Kedai Merahh 21
“Mas kenal Mbak Nancy Suganda, yang notaris kan?
Juga kenal Oom Bambang Gajah?” tanyanya.
Aku kaget. Tentu kenal. Mereka teman lama. “Anda
kenal mereka di mana?’
“Nggak kenal langsung sih. Saya dulu kan di majalah
Kabar Indonesia, Mas”
Hmmm... majalah yang kemudian disingkat Kabin
itu yang sepuluh tahun lalu, akhir 90-an, memuat petikan
kisah pergermoan di kalangan mahasiswi Yogya tahun
awal 80-an. Akulah salah satu mucikari amatir itu. Nancy
adalah primadona. Bisnis yang laku. Adapun Bambang
adalah koordinator. Bos. Dia sekarang jadi corporate
secretary sebuah perusahaan pertambangan. Nama-nama
kami disamarkan.
“Oh ya Mas, dapat salam dari Pak Budiarto Sudirdjo. Itu
oom saya. Beliau sekarang menikmati hari tua di Cipayung,
dekat Taman Mini. Katanya senang melihat perkembangan
bisnis Mas sekarang.”
Budiarto Sudirdjo. Dulu masih kapten. Pensiun sebagai
mayor jenderal. Kariernya tak bagus, padahal teman
seangkatannya melejit, ada yang jadi panglima segala.
Kepadanya, dulu, aku harus menyampaikan sejumlah
informasi kampus. Sesuai perintah, setara proteksi. Suatu
hal yang aku selalu ingin mengenyahkannya dari ingatan
karena ada sejumlah korban. Diciduk aparat. Kuliahnya
terhenti. Termasuk kangmasnya pacarku saat itu. Karier
kepegawainegerian keluarga mereka terganggu.
22 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 4
Kedai Merahh 23
ini pelabuhan terakhirku. Untuk selamanya. Semoga inilah
yang namanya cinta senyatanya, bukan hanya syahwat
semata.
Apa lagi yang kusuka dari dia? Kreatif. Sering
meluangkan waktu untuk corat-coret di buku khusus.
Bisa berjilid-jilid sketsanya. Mestinya yang cat air itu
dikemas sebagai album terpisah. Serial sketsa terbingkai,
ada delapan, tentang dunia sekitar, yang diambil dari unit
aparteman ini bagus banget.
Tapi ada yang lebih bagus. Paling bagus. Bergambar
sudut trotoar dengan sepeda terparkir. Kondisi asli sih
tanpa sepeda. Lalu dia menambahkan sepeda. Mirip
sepedaku. Lukisan cat air 30 x 40 cm, terbingkai lis hitam,
dengan passepartout putih dari karton katun, itu memang
istimewa. Itu sebagai hadiah untuk setahun perayaan
hubungan kami.
Pagi mendung. Sisa hujan semalam pastilah masih
meninggalkan genangan. Kalau ditambahi gerimis jadilah
kemacetan bertambah. Ah, dia bisa terjebak macet lalu sia-
sialah usaha untuk memasuki kantor paling dini.
Coba kulihat TV. Ingin tahu apa berita kota pagi ini.
Tak ada yang menarik. Gonta-ganti channel sama saja.
Lebih baik baca berita kemarin. Koran pagi masih terlipat
rapi. Yang kucari adalah iklan display tentang big sale dan
diskon untuk bersantap malam akhir pekan.
Ponsel bernyanyi. Dari dia. “Aku udah nyampe. Nggak
kena macet kok,” katanya. Lalu dia langsung ngopi katanya.
24 Antyo Rentjoko
© sumber foto gillete, dior fahrenheit, dan bvlgari after shave tidak diketahui
Kedai Merahh 25
usia 45 itu tidak terasa sebagai serangan.
Jumat ini sebetulnya kami berencana mencoba ke
Pluit, tepatnya Pantai Mutiara. Jauh memang. Dari Selatan
ke Utara, mepet batas peta daratan. Sebelum ke The Icon
mampir dulu ke kafe dekat dermaga, menikmati sore. Tapi
itu baru rencana. Tapi ya sudahlah. Masih banyak waktu
untuk menjalani kebersamaan.
Kebersamaan? Misalnya sama-sama tidak bisa
memasak. Tapi bagusnya mulai ada perkembangan bagus.
Dia mulai belajar memasak. Dari buku dan internet.
Hasilnya, untuk sementara, bisa membuat kami tertawa
bersama. Yang pasti belanja bersama menjadi tambah
menyenangkan. Memilih kebutuhan dapur menjadi sarana
belajar bersama. Memilih dan berdebat kecil akan jajan di
mana untuk berguru soal rasa juga mengasyikkan.
Rampung membaca koran, tepatnya tiga koran, aku
mandi. Tak ada kegiatan penting di kantor. Tapi aku harus
datang supaya solidaritas korps terjaga. Sekadar datang,
nongol, dan sesekali menampung curhat. Biarlah Jumat
menjadi hari yang tak terlalu berat bagi anak-anak kantor.
Senin saja yang berat, dengan serangkaian pelaporan dan
rapat.
•••••
26 Antyo Rentjoko
api. Besok Minggu saja merakitnya.
Dia sibuk dengan mainan barunya. Sibuk mengedit
gambar hasil bidikan Olympus PEN-2 yang dibelinya dua
minggu lalu dengan harga murah, mengoper milik teman di
kantornya yang membeli dari katalog kartu kredit.
Aku mendekat ke meja. Berdiri di belakangnya,
tanganku kuletakkan di bahunya. Kulihat layar monitornya.
Kebanyakan gambar daun, yang diambilnya tadi pagi di
taman seberang yang ada jogging track-nya.
“Aku lebih suka daun daripada bunga. Daun itu
lambang kehidupan. Butuh pengetahuan buat menebak
gambar daun itu dari pohon apa,” katanya sambil tangan
kirinya memegang tangan di bahu kanannya.
“Itu yang kecoklatan, di atas paving block, daun apa?”
“Itu dia! Belum aku pelajari. Hehehe!”
Sebelum daun, dengan kamera lama, DSLR Nikon jenis
pemula, dia memotreti seluruh perkakas kerjaku. Termasuk
obeng-obeng kecil untuk hobiku. Juga alat bor.
“Perkakas itu cerminan man at work. Benda mati
yang menyimbolkan pekerjaan dan upaya manusia
memperpanjang tangannya,” katanya suatu kali.
“Lagian sangat manly, hehehe...” katanya lagi.
Tritttttt. Telepon dari satpam berdering. Menanyakan
apakah kami ada janji dengan petugas sensus. Tentu saja
aku iyakan.
Sebetulnya bukan kami, tapi aku, yang kemarin
menyanggupi melalui manajemen apartemen. Lantas
Kedai Merahh 27
aku bilang kepadanya, “Udah, santai aja. Mereka nggak
nyampurin urusan pribadi kita.”
“Civil status kita apa?“
“Cohabitation. Hahahaha!”
Beberapa hari sebelumnya sudah ada titipan
pemberitahuan dari petugas, dan secuil kertas informasi
jumlah penghuni di unitku.
Tidak ada yang mendadak. Kasihan kalau mereka
ditolak. Secuek apapun aku terhadap kebrengsekan negeri
ini aku masih berharap bahwa data hari ini akan berguna
untuk menyiapkan hari esok.
Dua orang datang. Berbatik. Berbasa-basi sebentar
– dan sempat terucap, “Nggak semua penghuni di sini
bersedia” – orang yang jangkung berpeci itu pun memulai
tugasnya. Ini kunjungan pertama sebelum verifikasi,
katanya.
“Maaf, kalau kepala rumah tangga siapa, Pak?”
“Saya dong, Pak.”
“Lalu, maaf, kalau adik ini siapa?”
“Pasangan saya, Pak.”
Oh, “adik ini”. Hohoho! Aku suka sapaan petugas
sensus itu.
Si “adik ini” sedikit gelisah. Mengusap dagu kasarnya.
Sudah dua hari dia belum mencukur kumis, cambang, dan
jenggotnya. Tapi hanya aku yang tahu, selalu ada after
shave lotion di dagu dan pipinya, saban pagi. After shave
lotion yang berbeda dari punyaku.
28 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 5
Ketua RT
Kedai Merahh 29
“Ada apa, Pak?” sahut saya, sambil menengok ke dalam
mobil. Istri dan kedua anak saya masih tertidur pulas
setelah seha rian beredar.
“Iya deh, Bapak masukin mobil dulu. Biar Ibu dan
anak-anak masuk ke rumah, entar saya jelasin.”
Mobil saya masukkan. Istri dan anak turun dengan
terkantuk-kantuk. Saya menghambur ke jalan, tepatnya
pertigaan depan rumah, untuk bergabung.
Sebagian besar isi kerumunan tak saya kenal tapi
saya tahu mereka warga sekitar. Saya mengangguk kepada
mereka. Perbincangan mereka yang seperti dengung tawon
itu terhenti.
Pak Jufri, yang kami sapa Pak RT itu, meneruskan
percakapan, “Gini Pak Theo. Bapak emang bukan warga
resmi sini karena ngontrak, tapi yang jelas Bapak lapor ke
kami, lagian bayar ini dan itu selayaknya warga, malah ikut
siskamling segala, padahal Pak Theo ini sibuk, kadang pagi
baru pulang. Nah ada baiknya tahu persoalan juga, apalagi
rame-rame ini kan di depan rumah Bapak.”
“Ya, Pak Jufri...”
Saya memang hanya sementara bermukim di situ,
untuk mengungsi karena sedang membongkar dan
membangun rumah, di kompleks yang sama, tepatnya di
RT sebelah. Di sanalah domisili saya selama sepuluh tahun
terakhir.
Pak Jufri melanjutkan, “Gini, kita ini lagi rapat
darurat. Maaf aja kalo tempatnya di depan rumah Bapak,
30 Antyo Rentjoko
kayak laron ngerubung lampu, huehehehehehehhhhh...
Habis udah malem gini. Jam berapa coba, hampir jam dua
belas, nggak mungkinlah di rumah kita-kita.”
Mereka sedang rapat karena hasil rapat pertama sore
tadi, di rumah Pak Jufri, belum dapat dieksekusi.
Rapat sore tadi adalah pemilihan ketua RT. Secara
aklamasi, demikian Pak Jufri tegaskan, warga memilih Pak
Kamso sebagai ketua RT yang baru. Tata tertib pemilihan,
yang disepakati sebulan sebelumnya, membolehkan
memilih calon yang tidak datang.
“Gitu Pak ceritanya...,” kata Pak Tetangga Kanan yang
merokok seperti lokomotif.
Saya hanya diam. Tak berani beropini karena tak
berwenang.
“Masalahnya, Pak,” kata Pak Jufri lagi, “Pak Kamso
Kedai Merahh 31
nggak mau.”
Pak Kamso belum pulang dari acara kantor. Kata
istrinya dia tak berani pulang. Pak Kamso dan istrinya
sudah tegas menolak.
Bahkan Pak Kamso, melalui istrinya, sudah
menegaskan kepada delegasi RT yang tadi ke rumahnya
bahwa dirinya tetap tak merasa dan tak bersedia sebagai
ketua RT 09 / RW 14.
Karena diajak bicara terus, bukan hanya oleh Pak Jufri
tapi juga beberapa tetangga, maka saya pun tergerak untuk
menanggapi. Apalagi beberapa kalimat ditutup dengan, “Ya,
nggak?” atau “Ya kan, Pak?” dan itu ditujukan kepada saya.
Saya bertanya, penuh kehati-hatian, “Maaf saya
nimbrung. Pak Erwe sudah tahu kan hasil rapat ini?
Juga maaf apakah setiap orang yang dicalonin dimintai
kesanggupan?”
Entah siapa yang menjawab, pokoknya lebih dari dua,
bahwa ketua RW tadi menyaksikan dan mengesahkan
pemilihan lalu pulang.
Adapun soal kesanggupan si tercalonkan, Pak Jufri
menyatakan, “Tata tertib hasil musyawarah membuat
semuanya jadi amanah.”
Dia lanjutkan, "Hampir semua orang, sejak kompleks
ini berdiri dua puluh tahun lalu, udah kebagian njabat
pengurus erte. Cuma Pak Kamso yang belum. Harapan kita-
kita sih setelah jadi ketua erte dia jadi lebih bermasyarakat,
mau bergaul sama warga lain, nggak cuma sibuk nyari duit
32 Antyo Rentjoko
di luar, ngurusi keuangan tempat dugem."
Saya mengangguk tanpa memahami apa yang saya
setujui. Lalu kerumunan kembali berdengung lagi, ngalor-
ngidul.
“Deadlock nih!” celetuk seorang pria muda, menantu
Mbah Barjiman, tetangga kiri seberang rumah.
“Makanya kita bikin sidang umum istimewa di bawah
tiang lampu ini! Gimana sih ente?” sahut Pak Jufri.
"Gimana dong solusinya? Keburu subuh, nih!" kata
seorang bapak yang tinggalnya di sebelah Pak Jufri.
“Gini, bapak-bapak. Mohon perhatian. Saya ada ide,”
kata Pak Jufri.
Lalu dia lanjutkan, “Kita minta bantuan Pak Theo buat
ngebujuk Pak Kamso. Pak Theo ini kan obyektif, justru
karena bukan warga resmi makanya Pak Theo ini bisa
berjarak. Gimana Bapak-bapak?”
“Akuuuurrrr! Amiiiinnn!”
“Wah saya jangan dilibatin dong, saya kan...” kata
saya.
“Bukan soal, Bos!”
Pak Jufri terus nyerocos, “Bahkan kalo Pak Kamso
kagak bisa dibujuk, sehingga kita perlu pemerintahan
sementara, buat transisi barang nem bulan, maka Pak Theo
bisa bantu! Maksudnya ya Pak Theo yang pegang kendali.
Kalo warga setuju, urusan ke Pak Erwe saya yang beresin.
Ke kelurahan juga gampang diatur...”
“Tapi...,” saya menyahut, dengan suara agak tercekat.
Kedai Merahh 33
“Buat Pak Theo, ini amanah. Pindah jadi warga resmi
bisa diatur. Lagian sori Bos, itu rumah di sono kayaknya
brenti ngebangunnya. Artinya paling tidak masih setahun
tinggal di erte kita sebelum kembali ke erte asal. Urusan
operasional kan entar dipegang sekretaris erte. Tinggal
ditunjuk.”
Gumam, atau apa, saya tak tahu. Dengungnya kian
padat dan ramai. Sempat terdengar, ”Ini baru solusi, supaya
kita-kita nggak repot, tetep bisa kerja.”
“Sebentar, sebentar...,” saya menukas.
Tangkas nian Pak Jufri, ”Ah apanya yang sebentar,
Bos? Lagian Pak Theo ini kan wartawan, koneksinya
luas, gampang nyari sponsor kalo ada tujuh belasan,
huhehehehehe... Gimana, Bapak-bapak?”
Tak perlu saya jelaskan apa isi dengung yang berubah
jadi paduan suara. Dari jauh tampak lampu mobil
mendekati.
Yang pasti sudah terbukti, setiap kali Pak Jufri
menyebut saya “Bos”, secara sok akrab, maka ada maunya.
Misalnya minta sumbangan.
“Tuh Pak Kamso dateng,” kata seseorang.
Malam semakin berat. Malah hari sudah berganti.
Saya lihat arloji. Pukul 01.15.
Saya belum pernah bertemu apalagi berbicara dengan
Pak Kamso. Kami sama-sama orang yang pulang selewat
tengah malam.
Kerumunan terurai. Sebagian menyongsong Pak
34 Antyo Rentjoko
Kamso.
Sempat saya dengar ucapan pelan seseorang yang
membelakangi saya kepada orang di sebelahnya, “Sampeyan
yang sedari tadi nge-SMS dia kan? Hape saya low batt sih.”
Mereka berdua bergegas, mendahului yang lain,
menyongsong mobil yang kian dekat.
Kedai Merahh 35
36 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 6
Undangan
Pernikahan
Kedai Merahh 37
“Bukan gitu, Non!” kata Nita.
“Iya, emang bukan soal orang tahu apa nggak. Ini soal
kawinan, urusan non-akademis, Mar,” kataku.
“Oh ya, denger-denger dulu itu kalo sarjana sini
nerusin Es Dua ke Belanda dapetnya cuma De-er-es ya?
Rugi dong?” Mariska menanya. Kami hanya tertawa.
Ketika kami pulang, Mariska mengantarkan kami
hingga ke mobil yang kami parkir di depan ruko sebelahnya.
“Pihak keluarga sudah tahu soal nama yang nggak pake
embel-embel ini?”
Kami tertawa. Nita nyeletuk, “Kita kan bukan orang
Jerman yang suka masang doktor di segala kesempatan.”
•••••
38 Antyo Rentjoko
putra-putrinya, atau keponakannya, atau anak tetangga,
atau anak siapapun yang berminat. Judul buku itu adalah
Ani dan Kucing Terbang.
Mockup yang bagus. Persis seperti yang kami mau.
Undangan terbatas, untuk seratus terundang – artinya
yang datang bisa dua ratus orang – tinggal diteruskan
produksinya. Tiga minggu mendatang undangan sudah jadi
dan siap disebarkan.
Tapi namanya juga keluarga, maka urusan dua orang
menjadi urusan puak. Orangtua Nita mengatakan undangan
itu unik dan bagus.
Perihal gelar, papanya berkata, “Memang pesta
pernikahan ini kalian yang urus, dibantu organizer.
Ibaratnya Papa dan Mama tinggal datang. Tapi karena
Kedai Merahh 39
kalian dapet gelar itu bukan dengan membeli, pakai
perjuangan, nggak ada jeleknya dipasang.”
Nggak ada jeleknya. Bukan keharusan. Semacam
seyogianya. Tapi bagiku ini seperti perintah. Harus dilalui
dengan debat – tapi itu nanti.
Untunglah maminya dengan ringan mengatakan,
“Itu sih nggak prinsip. Kalo kalian nggak punya gelar tapi
masang gelar itu namanya lelucon. Itu bisa membuat yang
punya gelar beneran kesinggung, apalagi kalo gelar itu
menyangkut profesi. Go ahead!”
Kami lega. Tinggal urusan dengan orangtuaku.
Bapak hanya tersenyum, “Sebelum emeritus, Bapak itu
sudah jadi promotor untuk delapan doktor sosiologi. Tapi
bagi Bapak, urusan gelar hanya berlaku untuk kepentingan
akademis. Jelas kan?”
Duh, leganya.
Kemudian Ibu menimpali, “Kalau Ibu nggak bisa
menghindar. Gelar kan soal profesi, dan itu dipasang di
papan depan pagar kita. Hanya yang bergelar dan berizin
praktik yang boleh masang. Itu soal tanggung jawab kepada
masyarakat dan sumpah profesi. Tapi soal gelar Bapak sama
Ibu nggak dipasang di undangan, itu nggak masalah. Gitu
juga gelar kalian. Terserah.”
“Apalagi,” kata Bapak, “zaman sekarang sudah inflasi
gelar. Hahaha...”
Ibu menyahut, “Ah jadi inget baliho waktu kampanye
pemilu kemarin. Ada tuh yang gelarnya rangkep-rangkep
40 Antyo Rentjoko
tapi kayaknya belum pernah nulis di jurnal. Baca jurnal aja
mungkin nggak pernah. Hihihi...”
Beres semuanya.
•••••
Kedai Merahh 41
42 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 7
Tonggak ke-39
Kedai Merahh 43
perempuan dan olah spiritual orang urban yang di dalamnya
ada olah fisiknya.
Aku tersenyum. Aku memahami dan mengenal dia
karena akulah pegawai terlama selain sopir direktur
utama.
Orang lain tak berani memberikan buku itu karena
takut dianggap melecehkan perempuan lajang matang. Dan
aku tahu dia tak ada niat itu.
Sudah kukatakan tadi bahwa aku mengenalnya
dengan baik. Mengenal istrinya. Mengenal kedua anaknya,
cowok dan cewek, kini sudah remaja, yang sejak kecil
memanggilku Miss.
Sore tadi kujalani hari tanpa kekhususan. Tonggak
ke tiga puluh sembilan hadir di apartemenku sebagai
sahabat sejati. Tak diajak bicara pun bukan soal karena
masing-masing tahu kapan harus berbicara tanpa saling
mengganggu.
Seharian tonggak itu menemaniku tanpa mengganggu.
Di ranjang, di karpet, di sofa, di meja rias, di meja makan, di
kamar mandi... Juga dalam laptop, ponsel, dan BlackBerry.
Puluhan SMS datang sejak pagi. Masih datang lagi.
Kuintip Facebook. Dindingku penuh ucapan. Kutengok
Twitter, ramai kicauan demi kicauan. Aku hanya membalas
SMS. Yang lainnya besok, atau besoknya.
Kapankah SMS, bahkan panggilan telepon dari
seseorang, yang kunantikan itu menyapa, mengucapkan
selamat?
44 Antyo Rentjoko
Dalam hati aku bertanya kepada
tonggak tak berwujud. Jawabannya
seperti kata hatiku. Malu rasanya
menanyakan apalagi menantikan itu.
Tapi tonggak juga membesarkan
hatiku melalui bisikan yang seperti
kata batinku. Ini bukan soal usia,
karena kerinduan yang mendayu, juga
menggebu, bukan hanya milik remaja
dan mereka yang pantas dianggap atau
menganggap diri belia.
Sudah pukul sembilan malam.
Kuambil white wine, kutuang perlahan
penuh khidmat, kubaui aromanya, lalu
kececap lembut. Bukan, bukan. Aku
bukan penikmat anggur. Yang putih
aku pilih karena adanya hanya itu. Hanya itu, karena itu
Kedai Merahh 45
teman-teman cewek yang memuliakan anggur Prancis, dan
juga cerutu Kuba, sesungguhnya tak paham benar.
Tonggak tak tampak itu ikut menikmati. Mencecapi.
Tentu tanpa terlihat. Tanpa membuat isi gelas maupun botol
berkurang. Tak perlu bersulang tapi aku dan tonggak sama-
sama merasakan kehangatan yang nyaman.
Kubiarkan waktu merambat dalam alir kesadaranku.
Aku tak ingin mengkhianati alir waktu dengan kesibukan
yang kucari-hari, misalnya membaca dan menonton TV,
dengan harapan kantuk akhirnya menjemput.
Pada hari-hari lain, malam-malam lain, memang
pernah begitu. Tapi tidak untuk malam ini. Malam khusus
ini biarlah kunikmati sendiri penuh kesantaian dan
kesadaran. Itu sebabnya ponsel sudah kumatikan dua puluh
menit lalu.
Hangat anggur membuatku ringan, nyaman. Oh,
sialan, tadi terlintas soal cerutu. Aku bukan perokok, tak
tahu nikmatnya, dan aku bukan pula pencerutu, bukan
penikmat asap tanpa menelan.
Aku tak becermin tapi aku tahu wajahku memerah saat
teringat cerutu. Dalam kebersamaan di tempat tersembunyi,
suatu kali cerutu menjadi bagian dari kenakalanku dan dia.
Kutirukan yang pernah kulihat di Zeedijk, Amsterdam.
Tonggak seperti terkikik-kikik nakal kegelian dan
mencubitku. Aku menengok. Kudengar tawanya, tak keras.
Pasti dia melihat rona tersipuku yang berhias senyum.
Baru setengah sepuluh malam. Aku berdiri, mendekati
46 Antyo Rentjoko
jendela, menutup tirai. Tak menarik melihat keluar untuk
mengamati pembangunan apartemen dan mal baru di
sebelah. Kemarin-kemarin, lima menit melihat crane
bekerja malam hari itu adalah selingan bagiku. Kadang
aku merasa operator crane di ketinggian itu seperti aku:
sendirian, dan mungkin kesepian, di tengah ingar bingar.
Tirai tertutup. Meski di luar hitam terasa juga bahwa
tertutupnya tirai membuat ruang kecilku jadi agak terasing.
Bukan bagian dari geliat kota. Mungkin karena TV mati.
Mungkin karena radio mati. Mungkin karena mini-hifi
mati. Tapi aneh, aku menikmati sepi ini.
Sepi yang terus merambat bersama jarum jam.
Kurasakan tonggak, yang hadir setahun sekali, itu mulai
dibuai kantuk.
Bisikan hatiku kian kuat, berwujud tanya, kenapa dia,
yang kunantikan ucapanya, tak menyapa walau sekadar
melalui SMS?
Kubenamkan tanya itu sebisanya ke dalam kantong
gelap diriku. Berulangkali akhirnya berhasil. Lalu aku ke
kamar. Ganti baju. Aku kenakan yang baru kubeli pekan
lalu tapi belum aku anyari, si hitam terawang baby doll
three piece lingerie. Untung tonggak sudah tidur. Aku malu
jika dia menanya kenapa lagi-lagi ada crotchless thong,
ibarat pintu yang mempersilakan itu.
Aku juga malu jika tonggak melihat aku tak segera
menghapus rias tipisku dan mencuci muka.
Belum, belum terlalu malam. Pergantian hari masih
Kedai Merahh 47
jauh. Tapi kantong gelap tak lagi sanggup menahan isi.
Apakah aku menangis karena kurasakan mataku basah?
Dia tak kunjung mengirimkan ucapan meski hanya SMS
sekali kirim dan mestinya malah bisa lebih dari sekadar
SMS misalnya menelepon barang semenit.
Aku tak ke kamar. Aku memilih di sofa jingga saja. Lalu
beranjak, ke jendela, membuka lagi tirai dengan harapan
tak lama lagi ada sinar Mentari. Lampu sudut berbalut linen
yang diperlengkapi dimmer dan tadi aku redupkan, satu-
satunya yang masih menyala, pun aku matikan.
Biarlah aku menjemput diriku sendiri, untuk
kuterbangkan ke langit malam, meraih gumpal demi gumpal
mendung, meremasnya agar menjadi gerimis, dan akhirnya
nanti akan kurenggut halilintar yang membakar semuanya,
sampai aku tak tersadar barang sejenak, sehingga aku tak
tahu apakah hanya melenguh atau menjerit kecil.
Aku baru menjemput diri, masih awal, belum
menyapa mendung penggerimis, masih jauh dari petir.
Seperti malam-malam lain, di luar hari jadiku, aku akan
menjalaninya sepenuh rasa.
Lengan crane di luar jendela bergerak pelan,
terprogram, dengan lampu-lampu halogennya, seperti
mencoreti malam di sebuah kota yang tak pernah tidur.
Akalku masih berbisik, mengingatkanku untuk
memaklumi. Malam ini dia merayakan ulang tahun kedua
puluh perkawinannya.
Aku tak ingin mengusik kehidupan keluarganya. Ada
48 Antyo Rentjoko
wilayah tak berpagar yang aku jaga bersamanya, sejak
enam tahun silam. Tetapi tahun depan aku empat puluh,
masihkah jalinan tanpa kejelasan ini berlangsung? Jalinan
tak jelas namun setara, karena aku bukan simpanan, bukan
bagian dari pos penting pengeluarannya, tapi aku dan dia
selalu bersembunyi. Di depan khalayak seperti teman akrab
biasa. Tanpa kemesraan. Demi keluarganya.
Lipatan tersembunyi dalam kantong gelapku akhirnya
tak tahan. Khazanah umpatan di dalam terlontar, tapi
bukan menyumpahi siapapun, dan yang tabu terucapkan
sehari-hari, bukan kata-kata klinis yang ensiklopedis,
mulai menguar liar. Overtur pun terbangun.
Malam ini, seperti sejumlah malam-malam lain
sebelumnya, aku ingin membebaskan diri dan memanjakan
diri. Biarlah tonggak tertidur, karena memang itu yang
kuharapkan.
Crane di luar jendela, yang kadang bergerak tertegun-
tegun itu, akan mengiringi perjalananku menjemput diri,
membakar diri, sampai akhirnya tinggal arang beku yang
tercelup ke dalam telaga kelegaan. Semuanya di tengah
kesendirian.
Kedai Merahh 49
50 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 8
Anak-anak
Jakarta itu...
Kedai Merahh 51
Kembali ke soal cucu, ya. Saya tak tahu apakah
nanti saya juga menyebut cucu buyut saya sebagai anak-
anak, tepatnya anak-anak Jakarta, seperti saya menyebut
orangtua dan kakek-nenek mereka. Salah satu nenek
mereka adalah saya, yang mendapat nama baru akibat cucu
ketiga saya, empat tahun silam, belum dapat mengeja Mbah
Putri melainkan Mbah Uti. Jadilah saya Mbah Uti. Itulah
panggilan anak-anak Jakarta untuk saya, tapi bagi saya
bukan soal.
Saya menyebut mereka sebagai anak-anak Jakarta
ketika saya berbicara dengan pembantu saya, ngobrol
dengan tetangga saya, berbincang saat arisan, dan saat
rewang1) kalau ada perhelatan.
Saya sebut mereka anak-anak Jakarta karena tinggal di
Jakarta. Hanya jika menyangkut anak per anak maka saya
menyebutnya anak-anak Gandaria, anak-anak Kemayoran,
anak-anak Kelapa Gading, anak-anak Serpong, dan anak-
anak Pondokgede.
Untuk saya, semuanya itu di Jakarta; sama seperti
umumnya kami, orang Temanggung, kota yang jauh dari
lapangan terbang di Yogya maupun Semarang, menyebut
semua wilayah di Jabodetabeksertangsel sebagai Jakarta,
kecuali yang jelas-jelas kentara sebagai wilayah Kota
1) Artinya membantu. Dalam masyarakat tradisional Jawa juga berarti kegiatan
membantu dapur keluarga lain yang sedang punya hajat, misalnya menikahkan
anak. Biasanya dilakukan oleh ibu-ibu, yang masing-masing berbekal pisau sendiri.
Kegiatan sosial ini cenderung menyusut seiring penetrasi katering (jasa boga) dan
gedung sewaan.
52 Antyo Rentjoko
Bogor.
Maaf saya bertutur terlalu banyak, mungkin karena
saya pensiunan guru, tepatnya guru IPS di SMP.
Saya menyebut mereka anak-anak Jakarta juga karena
kami, tepatnya saya, membutuhkan pembeda berdasarkan
kediaman. Tiga anak saya, bawaan almarhum suami dari
istri pertama yang sudah lebih dahulu berpulang, tetap
tinggal di Temanggung; yang dua menjadi guru dan yang
satu menjadi pegawai pemerintah kabupaten.
Di manakah saya sekarang?
Dalam usia 67 saya masih dikaruniai kesentosaan
yang lumrah untuk perempuan seusia saya. Maka selama
seminggu ini saya di Serpong. Dua hari sebelum hijrah ke
Serpong, saya di Kelapa Gading.
Kedai Merahh 53
Kami, maksud saya termasuk anak-anak dan menantu,
cukup terbuka mendiskusikannya. Tak mungkin saya
berlama-lama di apartemen anak keempat, kakak dari si
bungsu (putri saya itu adalah anak yang terakhir menikah ),
yang anak perempuannya baru dua tahun. Saya tidak tahan
di pagupon2) yang tak punya halaman, karena rasanya
seperti tinggal berlama-lama dalam hotel, atau malah
rumah sakit, dan ketika membuka pintu yang tampak
hanyalah koridor.
Saya lebih nyaman tinggal di rumah kecil tapi punya
halaman, ketika membuka pintu disambut sepetak latar
(isinya hanya pot bunga, tak mungkin menanam pohon
mangga atau jambu), dan langsung ikut merubung gerobak
penjual sayur yang setiap pagi berhenti di depan tetangga
kiri. Dulu rumah si sulung, yang sekarang di Gandaria,
kecil seperti itu, di Tangerang sana.
Maafkan saya, terlalu banyak yang saya katakan.
Tetapi anak-anak saya maklum, begitu pula menantu saya.
Hanya sebagian dari sebelas cucu, termasuk yang belum
bisa bicara, yang sering kurang sabar, sehingga sering
memotong, misalnya, “Terus gimana dong, Mbah Uti? Tadi
masalahnya apa? Hayooo... lupa ya?”
Ah, namanya juga anak-anak Jakarta, maunya
serbaringkas dan cepat, tapi tahan berjam-jam di depan
komputer.
2) Rumah burung dara yang bersusun, setiap dek memiliki beberapa lubang.
54 Antyo Rentjoko
Jadi, saya ulangi supaya jelas, saya sedang di Serpong,
di rumah anak saya yang kedua. Kemudian nanti pindah ke
rumah anak berikutnya supaya merata.
Bisa satu setengah bulan saya di Jakarta. Semoga tahun
depan saya masih kuat untuk kembali lagi ke kota yang
orangnya terburu-buru, mudah gusar, dan sibuk dengan
urusan masing-masing ini. Oh ya, Jakarta yang maju ini
melemparkan warganya ke masa lalu, seperti di luar kota-
kota kawedanan di Jawa, karena orang-orangnya berangkat
kerja kota utama sangat pagi, kadang sebelum Matahari
menampakkan diri. Bedanya, Jakarta lebih mentereng dan
makmur.
Di Jakarta, satu setengah bulan kunjungan saya
berlangsung singkat karena waktu seperti berlari estafet
penuh gegas tanpa kesudahan, sehingga kalender lekas
disobek.
Di Temanggung itu waktu berjalan wajar, tidak cepat
tidak lambat, karena Matahari, misalkan langit cerah,
tahu diri seberapa lama pantasnya menghangati Bumi. Di
Temanggung tak ada pagi lalu tiba-tiba malam.
Meskipun begitu, selama sepuluh tahun terakhir,
dengan setahun sekali ke Jakarta, dan seiring perkembangan
kesejahteraan anak-anak maupun pertumbuhan cucu,
maka kunjungan saya pun makin lama, dan saya dapat
lebih mengakrabi Jakarta. Salah satunya adalah tidak bisa
mendadak bertamu ke rumah orang, termasuk anak sendiri,
Kedai Merahh 55
tanpa kangsèn 3).
Tentu akhirnya saya juga paham kenapa umumnya
rumah-rumah orang Jakarta kurang mengutamakan
ruang tamu karena jarang menerima tamu. Akhirnya saya
paham, menerima banyak tamu di rumah itu tak hanya
merepotkan dalam urusan dapur dan cuci piring (padahal
ada pembantu), tetapi juga merepotkan tetangga karena
mobil para tetamu akan memenuhi jalan, menghalangi
regol mereka.
Hanya kalangan dekat dan terbatas yang bisa bertamu
lebih dari tiga puluh menit. Tamu yang dekat tidak ngobrol
di ruang tamu tetapi di meja makan. Padahal anak-anak
saya, ya anak-anak Jakarta itu, tumbuh di Temanggung,
dari TK sampai SMA. Jarang sekali ada tamu yang ngobrol
di meja makan. Meja makan dengan taplak batik, atau
kain sulaman, yang dilapisi plastik itu, hanya dipakai saat
makan. Peruntukan sesuai nama, yakni meja makan.
Ketika anak-anak masih bersama saya, mereka saya
larang menonton TV dari meja makan. Tentu kalau salah
satu anak ingin belajar atau mengerjakan tugas sekolah,
misalnya membuat peta atau hasta karya, maka meja makan
boleh dipakai karena nyatanya setelah semua makan maka
meja itu bersih.
Ah lagi-lagi saya bercerita terlalu panjang. Maafkan
saya.
56 Antyo Rentjoko
Maka baiklah, sekarang saya coba bercerita secara
ringkas saja. Sore ini, hari Sabtu, masih pukul empat, saya
sudah bersiap. Sebentar lagi berangkat.
Barusan Hanny, menantu saya, memastikan pesanan
tempat melalui handphone ke rumah makan baru, khusus
menu vegetarian, di... mana ya? Saya lupa. Pokoknya di
tengah kota, sejauh 30 kilometer dari Serpong. Anak-anak
sudah mengatur jadwal dua hari lalu agar kami dapat
makan malam bersama.
Hanny memang menantu yang cakap, cekatan, dan
tangkas. Pantaslah karier dan peruntungannya sebagai
sekretaris bagus.
”Sudah beres semua, Bu. Paling lima menit lagi si Joko
datang pakai motor, lalu kita berangkat,” katanya. Lalu dia
minum air putih.
Oh, lupa saya jelaskan. Joko adalah sopir pocokan
keluarga Hadi dan Hanny. Si Hadi, anak saya, masih ada
tugas ke Cayman Island. Katanya sih mengurusi duit
orang-orang kaya yang dipakai selayaknya mainan oleh si
empunya. Ah, bukan urusan saya. Yang penting anak saya
tidak akan dikecrèk4) oleh KPK.
Dua teguk air segar telah menyegarkan Hanny. Lalu
dia duduk di samping saya, memegang pergelangan saya,
“Ibu beneran?”
Saya tersenyum, “Lha nyatanya barang-barangnya Ibu
Kedai Merahh 57
sudah kamu masukin mobil kan?”
“Iya tapi...”
“Kenapa kok tapi...”
“Aneh aja rasanya, tapi kalau ibu sudah bulat ya anak-
anak bisa apa? Masa sih Bu, serah terima kepindahan Ibu
di resto? Waktu berangkat Ibu sama kami, lantas di tengah
perjalanan Ibu dioper. Kok kayak naik bus aja.
“Tadi barusan teleponan dan SMS-an sama anak-anak
lain, dan kami sepakat kalau kepindahan bisa ditunda
kapan saja, yang penting malam ini ketemuan, makan
bersama, senang-senang.
“Bisa di-cancel kan, Bu? Wandi memang sudah siap
menyambut Ibu, benang-benang wol impor buat nyulam
sudah dia pesankan via internet, tapi dia yang ngotot kalau
minggu depan bisa njemput ke sini, bukan serah terima di
resto setelah makan malam selesai, Bu.”
Saya lihat harap dan pinta, dan terlebih lagi ketulusan
dalam sorot matanya. Saya memercayai anak-anak saya
dan menantu-menantu saya. Termasuk Wandi dan Jenny,
anak dan menantu saya yang di Pondokgede.
Saya terharu sambil menahan tawa. Saya merasa amat
santai; kalau menirukan perkataan cucu-cucu maka saya
enjoy, tanpa beban.
“Gimana, Bu?”
“Lho bukannya kalian mestinya senang karena Ibu
malah lebih rasional, tahu mana yang praktis dan efisien,
sesuai dengan kehidupan Jakarta?”
58 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 9
Sang Doktor
Kedai Merahh 59
“Teja ‘Teddy’ Turangga Jayusman Basiwan Garingan.”
Kami terbahak-bahak. Rima sampai tersedak.
Mas Marwan, orang yang sedang dibahas itu, tertawa
berkepanjangan sampai keluar air matanya dan kian tipis
suaranya. “Untung Basiwan, bukan Basiyo,” katanya.
“Siapa itu Basiyo, Pak?” tanya Teddy.
Seperti biasa, jika menyangkut masa lalu, apalagi untuk
hal yang dikuasainya, Mas Marwan bisa menjelaskan secara
ringkas dan sekaligus bernas. Apalagi cara dia mengutip
lelucon Basiyo, yang naif dan garing untuk ukuran sekarang
(Mas menyebutnya “dhagelan kéré”), memang pas banget.
Padahal mungkin ngarang. Misalnya, “Lha wong saya ndak
nyuri sapinya, cuma ngambil talinya.”
“Jadi, kesimpulannya, nama Bapak sekarang Doktor
Basiyo,” kataku, setelah tanpa aba-aba berbagi tugas
memberesi meja.
“Dan ibu kalian jadi Bu Basiyo. Sayang benar nama
indah Ratri Wulandari itu.”
Yah, pagi yang menyenangkan. Karena doktor jarang
di rumah. Dua bulan setelah dia keluar dari pekerjaaannya
pada perusahaan penerbit yang dia renangi selama tujuh
belas tahun itu, dengan alasan soal hati, Mas Marwan
bertemu beberapa teman baru dan membuat perusahaan
jasa komunikasi. Sudah dua tahun dia mencoba berbisnis
sendiri.
Karena masih merintis usaha maka satu orang
menjalani multitugas. Mas Marwan tak punya waktu untuk
60 Antyo Rentjoko
pulang. Demi kesehatan, karena paginya harus presentasi
ke calon klien, bahkan sesekali mengajar hal ihwal media
di bekas kantornya, maka dia memilih tak menempuh jalur
pulang sepanjang 37 kilometer.
Aku sih memaklumi. Meski pendapatan jauh
berkurang, amat sangat jauh nian, dia tampak bergairah.
Lebih hidup.
Kelihatan betul kalau dia menikmatinya. Seakan dia
kembali masa mahasiswa ketika kreativitasnya masih
meluap-luap, begitu pula nafsunya untuk selalu belajar hal
baru secara otodidak.
Semangat hidup itu yang melegakan. Wajahnya
bersinar. Seperti bocah yang mendapatkan sepaket mainan
baru model rakitan yang kompleks tapi mengasyikkan,
Kedai Merahh 61
hingga terus berasyik diri selama berbulan-bulan.
Jika bicara soal kesepian, terutama diriku, ah...
pastilah. Tapi ini semua toh tidak mendadak. Karena dulu,
ketika masih menjadi jurnalis, dia juga kadang tak pulang,
atau tiba di rumah ketika loper koran sudah berkeliling
membagikan peristiwa kemarin.
Tidak mendadak. Aku sudah terbiasa dan harus
lebih membiasakan lagi karena sekarang kian mendoktor,
memiliki laboratorium pribadi yang jauh dari rumah.
Semuanya itu proses. Kami pacaran sejak usia lima
belas (benar!), lalu menikah pada usia dua puluh lima. Aku
dan dia merasa sudah saling mengenal dengan baik.
Sekarang kami berempat. Rima sudah menjadi gadis
dewasa dua puluh tahun. Tapi Teddy masih ABG tiga belas
tahun dengan pita suara yang mulai meleset dari trek.
•••••
62 Antyo Rentjoko
Rima lahir, ingin agar anak-anaknya hanya memanggil
bapaknya sebagai Marwan atau Wan saja. Tentu saja aku
tolak.
“Mungkin karena kita hidup di Jakarta, waktu berjalan
cepat.”
“Sudah gitu Mas jadi doktor pula. Buat Mas semuanya
jadi cepat.”
Dia menumpangkan tangan di bahuku. Seperti memijit
dengan lembut. Lalu sambil menoleh ke arahku dia katakan,
“Rasanya baru kemarin potong kuku, eh udah panjang lagi.
Rasanya baru tadi pagi cukur kumis ama jenggot, eh udah
kasar lagi sorenya.”
Kami bertatapan. Sama-sama tersenyum. “Kalo
buatmu,” katanya, “mungkin kayak dulu, rasanya baru
minggu kemarin dapet eh udah dapet lagi.”
“Hush! Sembarangan! Itu buatmu, bukan buatku.
Perempuan selalu sadar kalender, Mas!”
Dia juga tertawa.
Tapi aku langsung menyela, “Bentar, yang Mas maksud
dapet itu siapa? Aku atau... ya itu tuh?”
“Kamu dong. Mana tahu aku jadwal orang lain. Eh, itu
tuh? Siapa?”
“Bo’ong.”
“Ngapain bo’ong?”
“Nggak percaya.”
“Aku kan laki-laki. Nggak peduli jadwal. Kalau diajak
berarti yang ngajak lebih ngerti kapan saat yang tepat
Kedai Merahh 63
buat...”
“Buat apa?”
“Nggak.”
“Iya!”
“Siapa sih mau sama aku? Gigi tambah jelek, rambut
makin tipis, perut tambah maju. Tenang sajalah, Ndhuk...”
Sempat terlintas seleret kilat dalam ingatanku tentang
seseorang yang sempat aku anggap faktor pengganggu.
Perempuan yang aku kenal baik, tujuh tahun di bawahku,
bahkan kami dulu sering pergi berdua, termasuk ketika
belanja pakaian dalam, dan ketika tiba di indekosan kami
tanpa canggung membuka belanjaan di depan Mas Marwan.
Perempuan yang mulanya tak aku cemburui, bahkan ketika
di kamar ganti bisa dia bercanda, “Kalo liat aku pake ini,
Mas Marwan bisa lupa diri. Hihihi...” Kuakui tanpa iri
apalagi dengki, tubuhnya memang bagus. Proporsional.
Lehernya jenjang. Rambut lurus panjang, sejengkal di atas
pinggang. Punggungnya mulus. Putih bersih.
Mmmm... ingatan sekilas itu. Terang seperti kilat di
kejauhan. Tak terlampau menyilaukan.
Sama kilatnya dengan ingatan tentang apa saja yang
membuatku cemburu karena dia, perempuan itu, secara
tersamar mengaku sudah beberapa kali (apa? beberapa?
bukannya sering?) menuntaskan apa yang pernah menjadi
fantasinya sebagai gadis muda, setelah meminjam
serangkaian buku dan majalah, dan juga video, milik Mas
sebelum era internet. Aku tahu fantasinya: memetik bunga
64 Antyo Rentjoko
kedewasaan di taman hijau berkolam jernih, merasakan
segarnya embun pagi rerumputan, membaui aroma cemara,
terpijat telapak kakinya oleh kerikil-kerikil bersih, dan
memunguti daun kekuningan yang gugur padahal belum
kering. Huh, pendeknya serangkaian hal yang mestinya
hanya aku yang menempuhnya bersama seorang Mas
Marwan.
Apalagi saat itu, saat belum punya anak, bahkan
sebelum aku menikah, Mas Marwan masih gagah dan tegap,
karena dia rajin jogging dan suka basket – suatu hal, yang
oleh perempuan berkulit putih bersih karena asal muasal
itu, dikatakan sebagai sosok pejal berkulit tembaga yang
kian memikat karena peluh berkilat.
Dia. Perempuan yang jujur mengakui galau malamnya
saat tak dapat tidur karena aroma jantan sore hari yang
menguar dari pejal berkulit tembaga setelah basket. Bau
yang disebutnya khas dan aneh tapi mendesakkan sesuatu
yang asing dan menggelisahkan, pun melenakan, dari ruang
terdalam di tubuh sesosok betina.
Tapi waktu menyembuhkan luka. Mungkin aku wanita
tradisional, yang menenggang apapun yang dilakukan
suami di luar rumah. Atau mungkin aku sengaja membius
diri, lebih baik tidak tahu daripada tahu akhirnya hanya
menyakiti diri?
Sekarang aku memaafkannya. Bukan sekarang. Sudah
lama. Lama sekali. Bahkan kini aku kangen kepadanya.
Sudah lima belas tahun tak berjumpa. Tapi aku yakin Mas
Kedai Merahh 65
Marwan beberapa kali berjumpa.
Lamunan sekilas selalu berjalan cepat dengan jejalan
ribuan kata yang melebihi hajaran juru ketik tercepat
manapun, atau berondongan robot perangkai kata
manapun.
Meski sebentar, Mas Marwan tahu apa yang terlintas
di benakku. Tapi dia diam, melihat ke arah jendela, sambil
membelai rambutku.
“Dia sekarang gimana kabarnya, Mas?”
“Dia siapa, Ndhuk?”
“Halah, pake pura-pura. Itu... anggrekmu,” kataku lalu
menjulurkan lidah.
“Masih tetep melajang. Nggak pengin kawin. Dia cuma
pacaran saja.”
“Masih cantik kan? Dia nggak ada di Facebook sih,
jadinya aku nggak tahu.”
“Masih. Juga tetep seksi. Slim, firm, fit. Apalagi setelah
jadi vegetarian dan instruktur yoga. Bulan kemaren dia
muncul di majalah wanita STW... Pake foto segala.”
“Mas suka dong?”
•••••
66 Antyo Rentjoko
perlu aku tindak lanjuti dengan investigasi.
Aku mengenal Mas dengan baik sejak aku masih
memanggilnya Wan saja. Sedari pacaran aku tahu dia
kadang terpeleset. Karena tergoda. Padahal dia bukan
playboy, tak gampang membuai wanita dengan kemesraan
dan kehangatan karena masih banyak cowok yang lebih
menarik bagi cewek-cewek. Bahaya hanya muncul jika ada
lawan jenis kian akrab dan kagum. Aku tahu kelemahan
perempuan. Pada tahap kesekian, tak perlu jauh, pesona
ragawi pria bukan lagi urutan pertama daya tarik – hanya
bonus yang sebisa mungkin dirawat dan diawasi agar tak
dicicipi oleh pesaing.
Tentang naluri, aku merasa bahwa angin, bukan kabar
angin yang ditiupkan orang-orang, telah berbaik hati dengan
mengirim getar lembut isyarat. Tak dapat kuperikan apa
isyarat itu tapi aku merasakannya. Bukan yang pertama.
Dulu-dulu selalu terbukti benar meskipun tak sampai ke
rincian.
Sekarang? Mondok di kantor. Lalu pindah sebentar
ke hotel, atau motel, atau guest house, atau apartemen,
atau paviliun, atau malah kamar kos, adalah sesuatu yang
mudah dan sederhana. Toh aku juga jarang mengecek ke
telepon kantornya karena aku lebih sering mengontak
ponselnya, dan kadang juga melalui Yahoo! Messenger, atau
pesan pribadi di Twitter – oh ya, kami jarang menggunakan
Facebook untuk berkomunikasi.
Angin pembawa isyarat tak pernah kutunggu,
Kedai Merahh 67
tak pernah kucegat. Tapi ketika dia melintas aku tak
menjauhinya apalagi menghalaunya, tak juga menahannya
berlama-lama apalagi memenjarakannya. Alami saja.
Ini soal bahasa hati. Dan mungkin juga kelonggaran
seorang istri yang lahir dari lingkungan abangan keluarga
batik di Solo, yang mengenal kata-kata bersayap, “Ngono ya
ngono ning aja ngono.”
Begitu ya begitu, silakan saja, asal jangan sampai
keterlaluan. Sebuah ketidakjelasan yang justru menjadi
ujian penimbang rasa dan penakar nalar dari masing-
masing pihak dan setiap pasangan.
Aku tidak cemburu. Tapi tadi sore Rima bertanya,
“Bu, apa Bapak punya pacar? Kok rasaku gitu ya. Maaf, Ibu
jangan marah... Ini kelepasan kok. Becanda aja. Kangen
ama Bapak...”
Aku hanya tertawa kecil. Seingatku aku menegur
lembut, “Ah kamu. Ada-ada saja. Ibu kenal Bapak kok,
Rim...”
Aku ingat satu hal meskipun ini bukan buah
kesepakatan. Mas katakan sejak pacaran bahwa lebih baik
nakal selagi muda ketimbang nakal saat tua; jangan sampai
ketika anak-anak sudah besar, bapaknya masih nakal
karena waktu muda sok alim. Apalagi nakal dengan cewek
sebaya anaknya.
Besok, tepatnya seperempat jam lagi, sudah hari
Kamis. Mas masih di kantor. Besok dia genap berusia lima
puluh. Anak-anak sudah besar.
68 Antyo Rentjoko
Kubuang pandanganku dari TV. Kuraih cordless phone
di ujung sofa. Dia sendiri yang memasukkan hotline di meja
kantornya ke dalam memori pada handset. Seingatku belum
ada sepuluh kali, malah mungkin cuma enam kali selama
dua tahun, aku menghubunginya dari telepon rumah. Tapi
tak pernah, tepatnya belum pernah, aku meneleponnya
menjelang pergantian hari – saat dia masih beruap penuh
gagasan atau justru sudah tertidur pulas untuk kemudian
terbangun pukul setengah empat pagi.
Oh! Saat aku tak mau mengganggunya itu. Adakah dia
selalu di kantor? Se-la-lu?
Ini bukan soal aku diperdayai oleh kepercayaanku
sendiri lalu aku sesali. Ini soal desakan dari bilik di sudut
hati yang sekian lama pintunya aku gembok rapat-rapat,
atas nama akal sehat dan juga kecongkakan diri. Di dalam
bilik ada boneka imut bernama rasa ingin tahu.
Handset masih aku pegang. Kutatap lagi layar TV yang
aku lupa sejak kapan tayangannya berpindah ke saluran
olahraga yang tak pernah kutonton itu.
Kedai Merahh 69
70 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 10
Mister Blogger
Kedai Merahh 71
Itulah yang saya tulis. Pendek.
Saya menolak tawarannya untuk membuat posting
bagi kepentingan kliennya, yang isinya adalah menjelek-
jelekkan kompetitor.
Saya tak bertanya apakah jenis produknya apalagi
mereknya. Bukan urusan saya. Biarlah itu jadi jalan rezeki
dia.
Tapi tetap saja aneh bagi saya. Orang bukannya
menitipkan produk untuk ditulis secara positif – artinya ya
memuji-muji, syukur kalau tak kentara – tapi orang minta
seorang blogger, dalam hal ini saya, untuk menyerang
pihak lain.
Saya pikir persoalannya selesai. Ternyata tidak.
Dia mengirim e-mail lagi, tetap dengan akun berdomain
kantornya, sebuah perusahaan komunikasi pemasaran
yang kurang dikenal, bahkan sayup terdengar pun belum.
“Oh gitu ya, Bos? Mentang2 udah top lantas gak mau
terima order. Padahal ini baru langkah awal. Kalo
kerja sama kita ini oke, proyek berikutnya mengalir.
Asal tahu aja, beberapa bloggers lain sudah bekerja
sama dengan kami. Kalo pengin tahu siapa aja
mereka, kita bisa kopdar sembari ngopi.”
72 Antyo Rentjoko
“Terima kasih. Namun dengan menyesal saya katakan
lagi bahwa saya tidak dapat menerima tawaran
Anda. Salam.”
Kedai Merahh 73
maaf, sampai kini kapling banner di blog saya masih
penuh, lagi pula saya kurang paham soal cepat kaya
dari blog. Coba hubungi bloggers lain.”
Balasannya,
Jawaban saya,
Balasannya,
74 Antyo Rentjoko
Petikan e-mail itu lolos ke lima milis komunitas
blogger. Komentarnya macam-macam. Misalnya,
Ada lagi,
Kedai Merahh 75
kedai tiga bulan lalu mengabarkan temuan sejenis di mail-
archive.com, saya pun tak tertarik untuk melongoknya.
Temuan sejenis. Artinya serupa dengan yang dulu. Tak
ada yang baru. Biarin aja.
Saya tetap menulis di blog-blog saya. Isinya sesuka
saya. Dengan syarat kalau saya sedang sempat dan niat.
Saya tak peduli berhala bernama Page Rank. Saya hanya
tahu cara menambah bandwitdth kalau blog saya tiba-tiba
kering karena menjadi bak air yang diserbu penimba.
Saya tetap punya pembaca setia. Sebagian dari pembaca
setia adalah penanggap setia, yang selalu meninggalkan
komentar.
Sebagian besar dari pemberi komentar adalah
bloggers juga. Hanya sedikit, mungkin dua dari sepuluh,
yang bukan bloggers, atau tak mau menyebutkan blognya
dalam tautan.
Dari yang sedikit itu ada satu yang istimewa. Dia
lebih sering mengirim pesan secara japri. Isinya pendek.
Misalnya,
“Nah yang soal SPBU itu keren.”
Bisa juga,
Ada juga,
76 Antyo Rentjoko
“Mana nih kok belum ditulis? Udah dilompati tiga
posting lain lho.”
Atau ini,
•••••
Kedai Merahh 77
Pagi yang biasa tadi itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya:
alarm pembangun harus bersitegang dengan selimut untuk
memperebutkan kesadaran saya.
Saya bangun. Karena kebelet pipis. Lalu tidur lagi.
Saya bangun, ya barusan ini, sudah pukul dua belas
kurang lima. Saya raih dan nyalakan BlackBerry untuk
melihat agenda hari ini. Tumben ingatan saya cocok dengan
kenyataan. Hari ini tak ada janji. Saya bisa menjemput
anak-anak dan istri, lalu mengajaknya ke tempat baru yang
mereka belum pernah mendatangi.
Setelah menutup agenda saya pun memeriksa e-mail
yang masuk ke dalam lima akun saya. Busyet, banyak
banget. Ada tujuh puluhan. Baiklah, nanti saja saya periksa
di desktop.
Tapi nanti dulu, saya ingin memeriksa akun e-mail
yang itu, akun khusus yang tak dibanjiri pesan masuk.
Mailbox yang itu memang untuk menampung pesan yang
ditulis di halaman kontak saya.
Dulu mailbox itu kerap menerima pesan. Tapi setelah
pengguna Facebook kian banyak, makin sedikit pembaca
yang mengirim pesan melalui halaman kontak.
Tadi saya bilang nanti dulu. Benar, ada satu e-mail
masuk. Dari itu, pembaca setia blog saya tadi, yang saya
kategorikan sebagai orang khusus karena dia sering
membuat memo khusus tentang posting saya.
Mau tahu isinya? Baca ya.
78 Antyo Rentjoko
“Mas, jangan keterlaluan kalo prei ngeblog.
Masalahnya saya kan udah transfer untuk pesanan
sepulun topik. Mas kan tahu begitu saya pesan maka
selalu transfer padahal Mas belum nulis. Rp 2-3 jt per
pesanan di blog utama Mas tuh nggak bisa dibilang
sedikit lho, apalagi kalo Mas lagi rajin, seminggu bisa
sepuluh posting.”
Kedai Merahh 79
dirinya. Langsing, putih, bermata lebar untuk etnisitasnya,
rambut lurus, tinggi hampir 170 cm (saya bandingkan
dengan sebelahnya, pria yang saya tahu siapa), dan... cantik.
Kakinya indah. Lebih penting lagi: lajang. Usianya baru 37.
Pujian saya terhadap kecantikannya tidak dia tanggapi.
Apa pekerjaannya, saya tidak tahu. Yang pasti, foto-
foto yang disodorkan oleh mesin pencari selalu bersuasana
sama: pembukaan pameran seni rupa. Dia selalu hadir
dengan gaun atau atasan berbahu terbuka. Sebuah tebar
keindahan di ruang publik. Itu amal, bukan kejahatan
sosial.
Penutup e-mail-nya,
80 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 11
Busana Ibadah
Kedai Merahh 81
bidangku. Aku berada dalam gereja itu untuk memotreti
sakramen pernikahan kedua sahabatku yang menjadi
mempelai. Bukan atas permintaan tetapi atas niat. Sebuah
kejutan kecil karena mereka tahu aku khusus datang dari
luar kota, sejauh 300-an kilometer. Mereka mengira aku
hanya datang ke resepsi – itu pun kalau aku bisa datang.
Gereja yang ini sebenarnya tak asing bagiku. Aku
mengenal beberapa gembalanya. Beberapa bekas aktivis
Mudika2)-nya pun aku kenal. Aku pernah kuliah dan bekerja
di sini.
Maka setelah acara usai, dan aku tak menyusul
mempelai ke rumah pihak perempuan karena nanti sore
pasti berjumpa lagi di gedung resepsi, aku ngobrol dengan
beberapa orang.
Romo Astono, yang aku kenal likuran tahun sehingga
sampai sekarang aku memanggilnya sebagai Mas Romo,
hanya tersenyum ketika aku tanya kenapa anak sekarang
berangkat misa dengan pakaian yang aneh.
Ya, dia tersenyum karena kenal aku. Perbedaan gereja
bukan masalah. Jangankan soal aliran, aku tahu pastor
Jawa alumnus Universitas Santo Thomas Aquinas, Roma,
ini berkawan lintas-agama. Minggu depan dia berdiskusi
dengan beberapa anak muda Islam di Yogyakarta.
“Saya tahu, njenengan itu selalu berpakaian santai,
kadang cuma bersandal dan bercelana pendek. Tapi saya
82 Antyo Rentjoko
juga tahu, njenengan itu kalau ke gereja njenengan –
© hak cipta gambar jins: girlsgonegod.com
Kedai Merahh 83
anak-anak dari luar paroki sini, Mas Romo?”
Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Saat itu beberapa
cewek remaja melintas, mengucap salam kepada Romo.
Anak-anak itu memakai pants dan tank tops – padahal
kota ini bukan termasuk kota gerah pemeras peluh. Maka
aku pun hanya bisa membelokkan masalah, “Iya, ya, gereja
terdekat adalah parokiku.”
Kami tertawa bersama, tapi pelan. “Gereja yang Kudus
dan Am,” guraunya, sambil mengedipkan mata. Kami
menahan tawa sambil menutupi mulut masing-masing.
Gereja-gereja Protestan menggunakan kata “am” dalam
sahadat atau kredo atau Pengakuan Iman Rasuli, sedangkan
gerejanya Romo ini menggunakan “Gereja Katolik yang
Kudus”.
Romo masih ingat gurauanku dua puluh tahun silam,
“Am juga berarti banyak denominasi. Setiap Minggu ada
gereja baru gara-gara setiap orang menemukan kebenaran
baru. Maka lihatlah di warung-warung yang dikunjungi
orang sepulang dari gereja: Alkitab orang Protestan itu
kumal, dan penuh coretan Stabilo.”
Dengan Mas Romo aku bebas berdiskusi. Dengan cepat
dia menggunakan kata "jemaat" jika menyangkut gereja
Protestan, dan aku pun secara otomatis memakai kata
"umat" jika menyangkut gereja Katolik.
Denominasi. Sesungguhnya aku tak paham benar.
Apalagi tadi Romo bergurau, “... dulu dan semoga sekarang
masih...”. Romo tahu aku abangan. Apalagi sekarang.
84 Antyo Rentjoko
Tapi dengan segala keabanganku aku tahu selera
busana sudah berubah. Ikut kebaktian hanya memakai jins
dan oblong bukan hal baru. Sejak tahun 80-an sudah ada
dan kian menjadi sejak awal 90-an. Tapi dulu jarang cewek
beroblong. Sekarang ibu-ibu pun beroblong saat ke gereja.
Sedangkan aku, ketika masih tergerak bergereja,
bahkan ketika singgah di kota lain, tak berani ikut kebaktian
jika baju yang kupenatukan di hotel belum diantar ke
kamar.
Kaos oblong, apalagi dengan celana pendek, bagiku
hanya cocok untuk anak-anak Sekolah Minggu. Bahkan
ketika aku masih SMA, dan mengajar Sekolah Minggu, aku
selalu berkemeja, dan aku masukkan – segerah apapun
cuacanya.
Aku jarang mempersoalkan ini karena belum-belum
khawatir akan datangnya dua tanggapan, yang sebetulnya
belum pernah aku dengar. Pertama: “Memangnya Tuhan
mempersoalkan pakaian?” Kedua: “Yang penting ke gereja,
kan?”
Misalkan kedua jawaban itu muncul, aku tak punya
bahan penyanggah.
Anehnya, sudah lama sih, aku pernah bereaksi
terhadap rasan-rasan di dekatku, di teras gereja, oleh
seorang ibu, “Pakaian yang nggak sopan itu dipelopori oleh
gereja-gereja yang mayoritas jemaatnya, nuwun sèwu ya
Jeng, keturunan Chinese.”
Aku segera menyergah, “Jangan rasis to, Bu. Ini bukan
Kedai Merahh 85
soal Cina!”
Ibu pemuka wanita jemaat itu merah padam,
menatapku, lalu menjauh. Teman-teman bincangnya juga.
Aku merasa sebagai si kusta dalam Injil.
Setelah berpisah dari Romo, dan meninggalkan gereja,
aku melamun dalam taksi. Sebagai bujang lapuk 47 tahun
aku teringat para keponakanku. Yang cewek juga pakai kaos
kalau ke gereja. Apalagi yang cowok – malah ada yang pakai
celana 7/8, dan tampil di depan saat mengisikan musik
akustik. Lima dari tujuh cowok itu memakai anting. Yang
dua bertato di lengannya karena lengan kemejanya digulung,
bahkan lengan baju itu punya kancing agar gulungan tak
melorot sehingga menampakkan lengan kencang.
Zaman sudah berubah. Aku ingat simbah kakungku saat
ke gereja, tiga puluh tahun silam. Kalau bukan berbusana
rapi – dengan setelan khaki tersetrika licin (bajunya seperti
safari lengan panjang, dengan pengetat pinggang) dan
peci ala Bung Karno – Mbah Kakung memakai kain batik,
surjan, dan blangkon.
Ke gereja itu seperti berdinas, katanya. Harus rapi
melebihi sehari-hari, katanya lagi. Dulu, ketika aku masih
semester pertama dan di gereja duduk di sebelahnya, Mbah
Kakung melihat Puma putihku dan berbisik, “Kamu ini mau
olahraga atau kebaktian?”
Oh, zaman! Aku semakin tua! Aku mulai gagap melihat
perubahan.
Tak terasa taksi tiba di depan lobi hotel. Saat petugas
86 Antyo Rentjoko
pintu membukakannya untukku, sebuah pesan masuk ke
ponselku. Ehm, dari dia yang aku semakin dekat denganku
itu, nun hampir sejam terbang dengan pesawat dari bandara
terdekat dari kota ini. Dialah wanita usia 31 yang mau
mencoba memahamiku.
“Mas, aku jg lg di grj nih. Ngurusin bazaar habis
kebaktian. Liat dong mas jualanku. Lucu2, sbntr lg laris
manis.”
Kubuka foto terlampir itu. Dia sedang menjaga stan
pernak-perniknya, memakai pants dari denim, low rise,
dan tank top bukan jenis bertali spaghetti. Oh, doktor
sastra Jawa dengan disertasi tentang Wulangrèh3) itu!
3) Karya Paku Buwono IV (1768 – 1820), berisi piwulang atau ajaran tentang
kehidupan, yang dikemas sebagai tembang.
Kedai Merahh 87
88 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 12
Kamar Kontrakan
•••••
Kedai Merahh 89
Baru sebulan setelah kepergian Mas Andri aku
mendapatkan informasi itu. Dari si induk semang, seorang
ibu yang dua puluh tahun di atasku, datang diantar
sopir, setelah tadi pagi menelepon meminta waktu untuk
bertemu.
“Jadi begitu itu, Jeng. Saya berkewajiban melaporkan
keberadaan harta benda almarhum di rumah saya. Kalau
soal sewa, seperti tadi Jeng katakan, nggak ada masalah.
Malah mau saya kembaliin aja sisanya yang tiga bulan,
soalnya Mas Andri kan bayarnya buat enam bulan.”
Aku mencoba tenang padahal bingung, dan tak berani
menanyakan banyak hal.
Sebagai istri aku harus tampak memaklumi, tidak
boleh terkaget-keget, dan yang jauh lebih penting dari itu
adalah jangan sampai pertemuan ini membuatku limbung
gara-gara aku mendapatkan informasi yang tak kuharapkan
sekaligus aku takutkan tentang seorang suami yang diam-
diam mengontrak kamar tanpa setahu istrinya.
Ibu itu mengatakan baru tahu kabar suamiku kemarin
sore, dari salah satu anak kos yang berteman dengan
seorang karyawati di lingkungan Mas Andri tapi beda unit.
Yang aku ingat sebelum Ibu itu pulang adalah
mengulangi untuk keempat kalinya, “Saya nggak nyangka
lho, Jeng. Mas Andri itu sehat, gagah. Orangnya baik nggak
rewel, nggak macam-macam. Memang sih dia pendiam,
tapi pada saat yang tepat bisa bertindak hebat...”
Yang hebat? Yang aku ingat dari kesaksian Ibu itu
90 Antyo Rentjoko
adalah “ngusir anak mabuk” dan “membetulkan menara
air”.
Sejak kapan Mas Andri mau ribut-ribut kecuali
membelaku, seperti saat pacaran dulu?
Juga sejak kapan dia mau buang waktu untuk
memanjat menara air kecuali di rumah sendiri dan tak ada
tukang yang bisa dipanggil?
Ternyata aku kurang mengenal suamiku.
•••••
Kedai Merahh 91
rumahnya.
Tadi aku menyetir sendiri. Sudah minta izin khusus
dari kantor, dan bos mempersilakan saja.
Jadi inilah kamar itu. Kamar di sudut bangunan L,
menghadap ke taman dan pelataran parkir dengan grass
block yang cukup untuk empat mobil.
Dengan cepat, sebelum masuk kamar, aku amati sudut
latar, tempat jemuran. Pakaian wanita semua. Tidak ada
daster kumal. Di teras peranginan jemuran aku lirik celana
dalam dan bra di sana – terutama celana dalam. Dari
desainnya aku tahu isi pondokan itu wanita-wanita muda.
Ada beberapa G-strings.
Kumasuki kamar itu.
“Ini Jeng,” kata Ibu itu.
Dia membuka pintu lebar-lebar. Juga jendelanya yang
terdiri atas dua daun berengsel kupu-kupu. Hmm... kamar
yang luas: 5 x 4 meter. Kamar mandi di lorong luar sebelah
pintu.
“Setiap hari dibersihin tapi si Rusman saya ingatin
jangan ngubah apapun dan jangan ngambil apapun. Dia
bisa dipercaya kok, Jeng,” katanya tentang pembantu, bocah
usia di bawah 20, yang sedari tadi berdiri di luar pintu itu.
“Ini kamar paling gede, Jeng. Delapan kamar lainnya
cuma ukuran tiga kali tiga. Gimana kalau saya di luar dulu,
di rumah induk? Sumangga. Kalau ada apa-apa tinggal
panggil saya, atau langsung masuk. Saya lagi nonton acara
masak di TV...” katanya lagi.
92 Antyo Rentjoko
Kamar pangeran! Paling besar dari yang lain. Hanya
satu-satunya pria di pondokan itu.
Baiklah kuceritakan hal yang mengagetkanku. Tata
ruang perabot di sini seperti ruang kerjanya di rumah.
Bedanya di sini ada bed lipat. Hanya bed lipat model
tenaga paramedis di lapangan. Aku sempat terganggu oleh
lamunan sesaatku... misalkan di situ ada spring bed berarti
ada kemungkinan.... Ah sudahlah!
Tiga rak buku itu mirip yang di rumah – tepatnya di
ruang kerja, belum seberapa bila dibandingkan rak-rak
lain yang menurupi dinding rumah. Bahkan buku-bukunya
pun sebagian besar sama. Kulirik meja ukuran setengah
biro tanpa laci. Buku yang tergeletak di atas meja pun sama
dengan yang di rumah: Southeast Asia: An Introductory
History, karya Milton Osborne.
Buku-buku lain tak kuhapal judulnya tapi aku ingat
di rumah juga ada. Aku ingat desainnya, terutama rupa
punggung bukunya. Banyak yang bagus. Malah ada
serial buku yang kalau dijejer maka punggungnya akan
membentuk gambar. Mirip jigsaw puzzle memanjang.
Di atas lantai kayu kamar itu aku seperti berjengket,
lalu membuka lemari. Oh, jadi ini rupanya kalau kadang dia
tak pulang beberapa hari dan membawa bekal pakaian, lalu
beralasan, “Aku titipin di laundry kiloan deket kantor. OB
yang ngurus.”
Sebentar aku lega. Tak ada pakaian wanita.
Semuanya rapi. Kubuka laci. Perlahan. Berdebar.
Kedai Merahh 93
Siapa tahu ada jejak kehadiran orang lain. Stok pembalut,
misalnya. Perhiasan etnis yang bukan emas, misalnya.
Atau, oh semoga tidak, kondom atau test pack.
Ohhh... melegakan. Hanya ada struk belanja kecil dan
kuitansi pembayaran kamar untuk Ibu itu.
Kenapa dia harus indekos di belakang kantornya, yang
harus dicapai dengan memutar sejauh lima kilometer dari
kantornya, tapi nyatanya tak ada orang kantor yang tahu,
atau pura-pura tidak tahu, bahkan Ruri, sekretarisnya,
kemarin aku tanya malah menjawab dengan bersumpah
segala, “Mbak karena ini bukan menyangkut rahasia
perusahaan, lagi pula hubungan kita baik, maka misalnya
saya tahu dia indekos pasti saya beritahukan kepada ahli
waris karena Pak Andri sudah tidak ada lagi. Tapi saya
nggak tahu, Mbak. Bener!”
Yo wis! Terserah!
Biar akhir pekan nanti aku angkuti semuanya.
Ketika aku pamit, sempat kutanyakan, “Maaf Bu, saya
tidak memaksa. Misalnya Ibu nggak keberatan, apakah bisa
kasih tahu saya siapa saja tamunya?”
Ibu itu tersenyum. Sorot matanya hangat. Sebagai
sesama perempuan dia tahu maksudku. Dia pegang
lenganku, “Jeng, saya berkata sejujurnya. Setahu saya yang
jarang keluar kota ini, Mas Andri nggak pernah terima
tamu. Sampai di kamar dia nggak keluar. Kadang kalau
saya cari angin malam di taman dan lewat kamar dia, saya
cuma dengar musik pelan, ya bangsanya jazz gitu deh...
94 Antyo Rentjoko
atau instrumental, dan saya liat dia lagi baca karena gorden
nggak ditutup. Sama itu lho, maaf ya Jeng, asap rokok
ngepul terus...”
Rokok jahanam! Ketika Mas Andri di unit perawatan
intensif karena stroke, perusahaan rokok yang terdaftar
di bursa saham itu, yang serial iklannya di TV selalu
mengedepankan pesan persaudaraan dan kepedulian itu,
tidak mengirim karyawannya untuk mem-bezoek. Ketika
dia diperabukan, tak ada karangan bunga dari pabrik rokok
favoritnya. Pabrik jahanam haram jadah itu! Aku yakin
juragannya dan para eksekutifnya tak semuanya perokok.
Juga tidak ada karangan bunga dari toko-toko buku
langganannya. Tidak pula dari toko-toko CD langganannya.
Padahal untuk buku, atau CD, sekali belanja bisa habis Rp
2 juta!
Dalam perjalanan pulang aku ingat cekcok terakhir.
Kalimat itu terngiang-ngiang terus. Diucapkan pada suatu
Sabtu sore, dengan marah tapi jelas, tanpa berteriak, dan
puanjaaannnngggg... Padahal dia jarang berceramah
kecuali diminta.
“Aku tahu Nur, kamu tuh nggak suka baca selain
majalah fashion yang banyak gambarnya. Yang kamu suka
tuh ngobrol sama nonton TV, atau muter DVD. Makanya
kamu nggak puas kita punya lima pembantu karena supaya
ada saja orang yang kamu ajak ngobrol ngalor ngidul nggak
penting. Aku beliin buku tapi kamu nggak baca. Kamu
hanya menikmati buku sebatas ngeliat rak kita yang banyak
Kedai Merahh 95
bukunya, puas bisa banggain ke mana-mana, dapet pujian
dari temen-temenmu itu.
“Kamu membenci buku karena dengan buku aku bisa
tenggelam dalam duniaku. Tapi di sisi lain kamu juga butuh
aku, butuh informasiku, untuk mendapatkan jawaban ini
dan itu. Tapi secara umum kamu tuh nyemburuin buku,
membencinya, nganggep seteru.
“Aku tahu Nur, kamu udah nyobekin beberapa buku
lamaku. Kalo hanya nyebut sepuluh judul, lengkap dengan
nama pengarang dan penerbitanya, sekarang juga aku
bisa!”
Aku menyalak, “Emang iya! Trus kenapa, Mas?! Di
rumah ini nggak ada momongan, cuma ada delapan kucing,
lantas siapa yang aku jadikan teman selain suami? Aku
memang nggak suka baca dari kecil soalnya kalo baca jadi
pusing, ngantuk, tapi bangga karena rumah kita banyak
buku, dulu bangga punya pacar yang luas pengetahuannya.
“Sekarang, sana cari cewek seksi yang kutu buku!
Kalian bisa making love di atas tumpukan buku! Sana! Di
luaran banyak pecun yang doyan baca! Itu cewek-cewek
terpelajar yang ingin menggoda seorang editor sontoloyo
dan novelis semprul! Cewek-cewek seksi tapi nggak jelas
masih kuliah atau kerja, yang pasti duitnya cekak, suka
ngamatin pria matang belanja, kayak yang sering main
mata denganmu di Aksara dan Times. Taik!”
Dia diam, menghela napas, dan tenang saja menanggapi,
“Akhirnya setelah sepuluh puluh tahun menikah, dan
96 Antyo Rentjoko
sebelumnya lima tahun pacaran, kamu akui itu. Nggak suka
buku. Selama ini kamu jaga gengsi, termasuk ketika belanja
bareng temen-temenmu, lantas kamu mampir toko buku...”
Sejak itu kami tak saling berbicara.
Sejak tiga bulan lalu sampai dia koma dan pergi.
Dia tampak lega dengan keterusteranganku dan bisa
menikmati hari-harinya.
Tapi aku tidak. Semua sudah kulontarkan penuh
kesumat tapi malah membuatku meradang dan makin
meradang.
•••••
Kedai Merahh 97
lajang sekarang, tidak mau sendirian di rumah apalagi
indekosan.
Ternyata tidak. Ada satu cewek yang tetap di kamar
karena sedang flu berat.
•••••
“Gimana, Mbak?” tanya ajun inspektur polisi satu yang
juga bernama Andri itu.
“Tunggu pengacara saya dulu,” jawabku. Lalu kusedot
minuman dari gelas plastik.
Itu gelas ketiga.
98 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 13
Gang Amoy
Kedai Merahh 99
Telepon masuk menghentikan percakapan.
Jawabannya standar, “Maaf Pak Bawono sedang meeting.
Mungkin Ibu bisa meninggalkan pesan?”
Memang sepuluh menit lagi aku rapat di lantai
enam, selantai di atas kantorku. Urusan gedung, tak ada
hubungannya dengan tenggat kerja majalahku, yang akan
padat mulai sore nanti.
•••••
•••••
1) Ada blok permukiman di sekitar Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada,
Jakarta Kota, yang menggunakan nama jalan berawalan "ke" dan berakhiran "an".
Misalnya Kejayaan, Kemurnian, Kebahagiaan, Kemenangan, dan Kerajinan. Nama
Kemajuan? Tidak ada. :) Saya belum tahu toponimi jalan-jalan itu.
2) Karena dulunya kawasan sekitar Museum Bank Mandiri adalah pusat kota
Jakarta. Sebelum ada kode pos, pertengahan 80-an, alamat bisnis di kawasan Glodok
dan sekitarnya adalah "Jakarta Kota".
3) Tentang Hokkian, nama salah satu suku Cina di Indonesia, ada yang
menuliskannya Hokkien, tapi umumnya orang melafalkannya "hokkian". Adapun
Khek, yang berindukkan suku Han, sering disebut sebagai Hakka. Ada beberapa
perhimpunan Khek di Indonesia, bahkan di Jakarta ada beberapa gereja Kristen
yang menggunakan ibadah dalam bahasa Khek, termasuk GIPB Sion Hakka di Jalan
Jayakarta, sebagai kelanjutan Gereja Kristen Tionghoa (Chung Hua Ja She Kauw Fie).
4) Sebutan untuk wanita koordinator gadis penghibur (anggap saja gadis) di tempat
hiburan pria. Jika koordinatornya pria gagah gemulai, tetap saja panggilannya mami.
5) Dupa cina, umumnya berbentuk batang lidi. Ada juga yang berupa spiral, seperti
obat nyamuk, untuk digantungkan.
6) Dalam perjalanan penggunaan, kata "amoy" (artinya adik) untuk menyebut
gadis keturunan Cina dalam suatu situasi komunikasi atau penyampaian pesan
tertentu kadang dianggap pejoratif, apalagi jika diucapkan oleh kalangan non-Cina.
Sang Purnawirawan
sendiri.
•••••
Kami sama-sama
tahu kehadiran masing-
masing. Kami juga sama-
sama menghindar. Jangan
sampai terjebak dalam
situasi harus bercakap-
cakap dan bersalaman.
Sebisanya jangan sampai...
Jangan.
Apakah aku harus
mengatakan bahwa semua
luka telah sembuh?
Kaki kananku pin-
cang, sejak 44 silam. Remuk
tulang keringku tidak ada yang dapat menyembuhkan.
Kedua kupingku tak dapat mendengar dengan jelas, kecuali
aku pakai alat bantu dengar. Rabun di mata kiriku sudah
terlalu telat untuk disembuhkan dikarenakan penundaan
oleh tiadanya biaya dan pertambahan usia.
Film lama dalam diriku itu sudah banyak gores bahkan
lapisan kimianya mengelupas, tidak jelas lagi gambarnya
maupun suaranya, paling tidak di mata dan telinga orang
1) Dari bahasa Belanda, dibaca "door-slah". Kertas tipis, seperti kertas untuk
layangan, lebih tipis daripada kertas HVS 60 gram.
2) Singkatan lama untuk tuberkulosis yang sekarang disebut TB. Sampai akhir
tahun 70-an TB sering dihubungkan dengan nestapa dan derita batin, dan bahkan
kemiskinan.
3) Tingkat kedua dan ketiga, kalau lulus menjadi sarjana muda (B.A. atau B.Sc.).
Tingkat sebelum itu disebut propadeuse. Strata satu (S1) di perguruan tinggi baru bisa
berlaku hingga tuntas pada awal 1980-an, sehingga mahasiswa beberapa universitas
hingga 1983 masih memiliki ijazah sarjana muda.
4) Lagu karya Mochtar Embut (1934-1973). Pada masa itu, tahun 1960-an, belum
berlaku Ejaan yang Disempurnakan (EyD, Agustus 1972), sehingga penulisan judul
lagu pun tak membedakan "di" sebagai awalan maupun sebagai kata depan.
•••••
Well Updated
Psikologi Uang
1) Dari bahasa Jawa: artinya ketat sekali dalam memegang barang berharga, bakan
cenderng tak mau melepaskan.
2) Bahasa Jawa: sayang, menyayangi sesuatu, dan menimbulkan sesal jika
dilepaskan.
4) Bojo bisa berarti suami, bisa juga istri. Dari bahasa Jawa.
6) Dari bahasa Jawa, lengkapnya "panjenengan", berarti Anda. Ini cara yang sopan
untuk menyebut orang kedua.
8) Dari bahasa Jawa, "ndhas" untuk menyebut kepala tapi kasar. Biasanya
diterapkan untuk binatang dan benda.
Spiker Dinding
1) Sebutan untuk pembuat grafiti dan mural yang menggunakan cat semprot.
2) Beberapa sumber menyebutkan lagu ini diciptakan oleh Oei Yok Siang,
salah satu penggerak gambang Semarang pada 1930-an. Tentang judul, ada yang
mengatakan tajuk lagu ini adalah Empat Penari, bukan Gambang Semarang.
3) Bahasa Jawa: tladhung adalah serangan berupa patukan ayam terhadap
makhluk lain. Babon adalah induk ayam.
4) Salah satu merek lokal untuk radio transistor rakitan Indonesia yang laris pada
awal Orde Baru. Radio penerima ini dirakit dengan onderdil buatan Philips, Belanda.
Selain itu ada pula pesawat radio Tjawang, rakitan PT Transistor Radio Mfg. Co.
(M. Thayeb Gobel), sejak 1950-an. Transistor membuat pemilikan radio kian meluas
karena harganya menjadi lebih terjangkau bila dibandingkan radio tabung. Sebelum
ada radio transistor, pemilik radio tabung di sebuah kampung harus merelakan
pesawatnya menjadi kebutuhan publik (tetangga), baik untuk mendegarkan berita
maupun penanda waktu karena tak setiap keluarga memiliki jam.
5) Batu baterai dari kelas termurah, apapun mereknya. Di atas itu ada yang
berwarna hijau, biru, merah, dan seterusnya. Baterai hitam (heavy duty) baru muncul
akhir 70-an.
6) Bahasa Jawa: suara bulat dan penuh tapi empuk, seperti bunyi spiker yang
dihadapkan ke dalam mulut gentong
Nama-nama Sialan
1. Astuti Wiraguna
Aku mengartikan Astuti sebagai singkatan “Asli
Tukang Tipu”. Untuk ringkasnya, apalagi di depan Abang,
aku menyebutnya “penipu” – dengan “p” kecil kalau ditulis.
Bukan urusanku apakah dia pernah menipu, tapi aku puas
menamai dia begitu.
Kesalahan terbesar dia adalah membuat Abang
2. Gracia Sukoco
Aku menyebutnya, Miss Kampret. Aku tahu Abang
menyukainya, menyayanginya, mengaguminya, memujinya
3. Clara Tjahjadi
Singkat saja, aku menyebutnya lonte. Maaf kalau kasar,
tapi aku puas bisa menjuluki begitu.
Kesalahan utama dia adalah menyusup ke hati Abang
selama dua puluh tahun lebih, dan mendekam terus di
sana.
Abang bilang belum pernah pacaran, kali lain bilang
nggak ada hubungan khusus, terus bilang hanya sayang
selayaknya kakak terhadap adik (apa? sayang? maksudnya
syahwat?), tapi naluriku mengatakan mereka dulu sering
tidur bareng, mempersatukan fantasi jalang masing-
masing.
4. Rina Dorodjatun
Aku menyebutnya Miss Piggy karena avatarnya di
Twitter bergambar celengan. Di Facebook juga gonta-ganti
profil dengan gambar celengan.
Dia suka bergenit-genit, misalnya di Facebook
menyebut Abangku dengan kata “sayang”, lalu ditambahi
embel-embel menjijikkan seperi “peluk-peluk”, “pengin
nyender”, dan “kangen”. Dasar babi betina! Padahal dia
sudah bersuami dan punya anak remaja. Hih! Jijay!
Terhadap pria matang lain dia juga begitu. Dasar!
5. Happy
Hanya dua bulan kubenci setengah mati karena sering
disebut ketika aku chatting di Y!M dan ngobrol via telepon
dengan Abang. Ternyata dia lelaki, nama lengkapnya Happy
Sulistiarto. Tapi namanya kadung aku ganti Miss Veggie
– bukan karena dia vegetarian tapi aku mengikuti cara
majalah sini menyebut vagina. Dia manajer IT di kantor
Abang.
flavors.me/antyo