Anda di halaman 1dari 176

INI hanyalah

buku-bukuan, yang
dikerjakan dengan
penuh kesungguhan,
seperti anak rajin
yang mengerjakan
hasta karya, tapi
Anda tidak usah
menanggapinya
secara serius. Santai
sajalah. Janji, ya?

2 Antyo Rentjoko
Kedai Merahh i
Kedai Merahh:
Kumpulan Karangan
Gombal

Penulis
Antyo Rentjoko

Penata visual dan ilustrator


Antyo

Perancang sampul
Rentjoko
© Gambar-gambar asli sumber
kolase belum diketahui kecuali
foto rokok CCCP dan rokok
Che oleh perancang sampul.

Hak cipta dilindungi hukum.


Siapapun diperkenankan menyalin
dan menyebarkan sebagian atau
keseluruhan karya ini asalkan
untuk kepentingan nirlaba dan
menyertakan informasi sumber.

Diterbitkan oleh
Ahagia Entosa Ejahtera
dan Rasakertas

Jakarta, Juli, 2010

ii Antyo Rentjoko
Kedai Merahh iii
Untuk pembaca yang sudah meluangkan waktu,
tenaga, mata, setrum, dan bandwidth – juga tinta dan
dluwang misalkan mencetaknya.

~ Biar kayak buku beneran ~

iv Antyo Rentjoko
PER MISI

Mengarang-ngarang
si Hidung Belang

Carilah di Google: “lomba mengarang” dan “sayembara


mengarang”. Yang belum ada itu lomba atau sayembara
“mengarang-ngarang”. Kata ini tak hanya berarti
menceritakan yang tidak faktual tetapi juga mengada-ada.
Mengada-ada artinya membuat cerita yang berlebihan
bahkan tak masuk akal, yang sebagai isapan jempol maupun
pelipur lara pun tidak menarik.
Hal itulah yang saya lakukan di sini. Mengada-ada,
bukan dalam arti berlebihan, tetapi menceritakan hal yang
tidak menarik. Kalaupun berlebihan, itu terlihat pada judul.
Bombastis. Biasa, meniru (sebagian) penerbit juga. Judul
keren, isi cemen.
Untuk menyebutnya fiksi saya pun tidak berani karena
fiksi berarti punya derajat sastra (oh ya?) padahal saya tidak

Kedai Merahh v
paham sastra dan bukan penikmat (su)sastra. Yang saya
buat adalah seolah-olah sketsa sosial, dengan tuturan linier
dan datar, pun hehehe... menjemukan sebagai perjamuan
kata, dan tidak mengantarkan Anda kepada pengalaman
maupun pemahaman baru tentang kehidupan. Malah ada
yang ceritanya saya biarkan ngelantur.
Saya lakukan ini untuk menjemput kembali
kegembiraan mengarang. Tapi, eh... padahal, waktu masih
sekolah nilai mengarang saya buruk. Memang tidak merah
karena dalam mengarang tak ada nilai merah kecuali
kertasnya hanya berisi judul. Maksud saya, karangan saya
tidak pernah dibahas oleh guru. Artinya karangan saya
tidak menarik karena kemampuan menulis saya buruk.
Lebih buruk lagi: saya hanya mengarang kalau ada tugas –
tapi menikmatinya dan tak peduli akan dinilai berapa.
Meskipun begitu kegembiraan mengarang itu
sebetulnya tidak menguap lalu lenyap. Kalau tenggelam
memang, bahkan lama, tapi kali ini saya coba munculkan
lagi agar mengambang.
Untuk apa? Iseng.
Murah atau mahal, keisengan tetaplah sebuah
kemewahan. Layak dirayakan dengan suka cita.

Salam,

(bukan lelaki iseng, tapi hidungnya kadang belang)

vi Antyo Rentjoko
Senarai

Karangan 1 Pensiunan 1
Karangan 2 Teman-teman Cina 9
Karangan 3 Kedai Merahh 17
Karangan 4 Sensus Akhir Pekan 23
Karangan 5 Ketua RT 29
Karangan 6 Undangan Pernikahan 37
Karangan 7 Tonggak ke-39 43
Karangan 8 Anak-anak Jakarta itu... 51
Karangan 9 Sang Doktor 59
Karangan 10 Mister Blogger 71
Karangan 11 Busana Ibadah 81
Karangan 12 Kamar Kontrakan 89
Karangan 13 Gang Amoy 99
Karangan 14 Sang Purnawirawan 111
Karangan 15 Well Updated 125
Karangan 16 Psikologi Uang 135
Karangan 17 Spiker Dinding 143
Karangan 18 Nama-nama Sialan 155

Kedai Merahh vii


viii Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 1

Pensiunan

“Masih diambil sendiri ya, Bu?”


“Iya. Ibu masih kuat kok, Lé1).”
Tiga bulan lalu hal itu juga yang kutanyakan. Tiga
bulan sebelum tiga bulan lalu juga juga kutanyakan. Tahun
sebelumnya dan tahun-tahun sebelumnya juga kutanyakan.
Jawabannya sama. Lalu ditutup dengan sama-sama
tersenyum.
Pertanyaanku selalu terlontar saat menatap kalender
besar dengan angka besar yang terbaca jelas oleh mata

1)   Dari kata tholé, panggilan untuk anak lelaki. Konon kata tholé berasal dari
(maaf) "kontholé", artinya penis(nya). Hal sama berlaku untuk "wuk", panggilan untuk
anak perempuan, yang berasal dari kata gawuk dan kemudian bawuk – belum jelas
kedua kata itu berarti vulva atau vagina, pokoknya kemaluan perempuan. Tapi untuk
vulva, orang Jawa punya istilah sendiri, yaitu (maaf, ya) "turuk". :)

Kedai Merahh 1
sehat dari jarak empat meter itu. Kalender seukuran dua
kali kuarto, berbahan HVS, tanpa gambar. Selasa, minggu
kedua saban bulan, kecuali tanggal merah, selalu dilingkari
spidol merah. Kalender dekat meja makan itu. Sejak dulu
posisi meja dan kalender tak berubah.
Dan aku tahu di buku agenda ibu, seukuran separo
novel supaya bisa masuk tas – tapi untuk membacanya harus
dengan melepas dan memasang kacamata berulangkali –
tanda yang sama juga melekati tanggal tertentu, disertai
keterangan. Termasuk tanggal arisan pensiunan kelompok
Melati, arisan RT, arisan keluarga Jayengmanukan, dan
tanggal angsuran ke penagih keliling dari koperasi dan
bank perkreditan rakyat.
Ada dua hal yang aku kurang sreg. Mengambil pensiun
sendiri dan utang ke koperasi serta BPR Profita Warga itu.
Untuk utang aku tak mempersoalkan pokok dan
bunganya, toh aku tahu itu tak memberatkan Ibu. Aku
kurang sreg karena utang itu bukan untuk Ibu, tapi untuk
Yu Jiyem, pembantu setia kami, dan entah untuk siapa
lagi karena setiap kali lunas langsung diperbarui secara
otomatis untuk kepentingan yang lain lagi.
“Ndak apa-apa, Ibu masih bisa ngangsur dan sejauh ini
ndak pernah ada masalah, Lé. Orang BPR kenal Ibu semua.
Waktu Ibu ulang tahun itu dikirimi lapis legit dari Toko
Bahagia...”
“Ya, Bu...”
“Kalau Koperasi Rakjat Sedjahtera itu kan bagus,

2 Antyo Rentjoko
Ibu ngutang malah dapat
deviden. Yang koperasi itu
Ibu sudah ikut empat puluh
tahun, Lé. Dulu untuk
keperluan sekolahmu juga
dari sana. Kalau BPR,
yah kamu tahu, kan baru
lima tahun ini. Kebetulan
yang mimpin anaknya Pak
Bambang Brewok, yang
rumahnya di pertigaan
itu.”
“Ya, Bu...”
Bukan informasi baru.
Aku selalu menyimak lagu
lama itu. Dan mengangguk,
tersenyum. Ibu juga.
Tapi soal mengambil
uang pensiunan ke kantor
pos itu, kali ini aku sangat
tidak sreg. Kenapa tak suruhan dengan memberi surat
kuasa?
Memang dalam umur 76 Ibu masih sentosa untuk
ukuran usianya, lagi pula belum terlalu pikun karena
rajin mengisi teka-teki silang. Becak langganan tinggal
menjemput pukul tujuh seperempat, mengantar ke kantor
pos sejauh dua kilometer dari rumah, kemudian menjelang

Kedai Merahh 3
pukul dua belas menjemput, lalu mengantar Ibu mengudap
di Soto Ayam Sadremo dekat Balai Kota, dan sekeluar dari
warung sudah meneteng rantang berisi soto untuk Pak
Bagong, tukang becak itu. Orang warung sudah hapal.
Beberapa teman lama, yang juga anak pensiunan, tahu
rutinitas bulanan itu.
Memang begitu. Jadi apa masalahnya?
Aku takut Ibu tersambar sepeda motor. Terutama
saat menyeberangi jalan. Dalam lima tahun terakhir aku
rasakan setiap kali pulang: jumlah sepeda motor terus
bertambah, dan para penunggangnya semakin liar. Inilah
akibatnya jika SIM dapat dibeli, dan urusan tilang dapat
diselesaikan di bawah pohon peneduh jalan.
Ibu pun pernah mengeluhkan kelakuan para pemotor
itu, “Apa mereka ndak diajari nunggang dengan bener ya,
Lé? Bapaknya bisa belikan pitmontor2) tapi ndak ngajari
soal budi pekerti dan cara nunggang yang bener.”
Kalau sudah begitu keluarlah jurusku agar Ibu suruhan
orang saja. Intinya adalah agar Ibu tak keluar sampai jalan
raya, jauh dari rumah. Kota kecil ini sudah berubah. Sepeda
motor semakin banyak. Bahkan yang lewat depan rumah
pun selalu ngebut.
Lagi-lagi setiap sampai ke masalah itu jawaban Ibu

2)   Berasal dari kata serapan "pit" (sepeda, dari bahasa Belanda fiets; adapun
sepeda dari kata velocipide) dan "montor" (mobil). Di kemudian hari sebagian orang
Jawa terbelah, ada yang masih mengartikan montor sebagai mobil, di sisi lain ada
yang mengartikan montor sama dengan sepeda motor dan menyebut mobil ya sebagai
mobil.

4 Antyo Rentjoko
juga tetap. Misalnya, “Lé, Ibu kan juga butuh bergaul,
bermasyarakat. Datang pagi sebelum loket buka itu ketemu
teman-teman, dapat kabar siapa yang sakit, malah siapa
yang meninggal...”
“Ya, Bu...”
“Bukan hanya itu, Lé. Setelah Ibu ngambil di loket lalu
ketemu lagi sama yang lainnya, duduk di bangku angkringan
ronde, di bawah pohon kelengkeng kantor pos itu lho, iya...
yang dulu buat parkir sepeda, untuk saling tukar kabar."
“Ya, Bu...”
“Sekarang ini teman ibu ngajar dulu di SMP, tinggal
tiga. Padahal lima tahun lalu masih sepuluh orang. Empat
yang bapak-bapak sudah pada kapundhut3) duluan, Lé.
Lainnya nyusul. Dari yang tinggal tiga orang itu, yang satu
selalu pakai suruhan keponakannya. Dia itu, Bu Sri, itu
lho... yang dulu ngajar bahasa Indonesia, stroke sejak empat
bulan lalu...”
Bukan alasan baru. Masih sama. Hanya jumlah yang
hidup yang kadang berkurang selama cerita yang sama,
selama bertahun-tahun setiap kali aku pulang tiga bulan
sekali selama dua malam.
Kepulangan aku jadikan selingan supaya berjarak dari
Jakarta. Pulang ke rumah, sejauh 413 kilometer menurut
odometer mobil, tapi aku selalu naik pesawat lalu disambung
taksi ke ke kotaku, juga berarti menikmati perjalanan

3)   Arti harfiahnya diambil, terambil. Kata ini juga berarti meninggal, diambil
kembali oleh Tuhan.

Kedai Merahh 5
waktu yang normal, tak sebergegas Ibu Kota. Di kotaku
waktu berjalan normal, tanpa pagi lalu tiba-tiba sore, dan
aku selalu punya kemewahan bernama tidur siang.
Kepulanganku juga berarti pagi mengudap ke soto
ayam di warung Pak Witono, siang ke lotek Mbok Darmi,
lalu malamnya ke nasi cap jay Oom Njoo. Oh ya, di kotaku,
orang-orang Cina pun menyebut cap jay, bukan cap
cay. Ketika aku bekerja di Jakarta 25 tahun lalu selalu
ditertawakan setiap kali menyebut “cap jay” – mungkin
juga karena aku melafalkannya “cap jahé”.
Kepulanganku sebagai anak tunggal ya tetap bertemu
topik tentang uang pensiun itu, terutama sejak dua tahun
terakhir. Sebuah percakapan tanpa kesimpulan karena
salah satu pihak, yaitu Ibu, tidak menganggapnya sebagai
masalah. Dan terbukti sejauh ini tak ada masalah. Aku
kalah. Kekhawatiranku patah. Alasanku lemah.
Kepulanganku juga akan berujung ke topik yang
selalu mencuat beberapa jam sebelum mobil carteran
menjemputku untuk mengantar ke bandara di ibu kota
provinsi. Biasanya sekitar dua jam sebelum penjemput
tiba.
“Kamu masih tahan sendirian to, Lé? Apa ndak bosen?
Mosok ndak ada perempuan yang mau sama anak lanangku
yang bagus ini?”
Jawabanku juga cuma senyum, kadang tertawa kecil,
lalu disambung canda, dan belakangan semakin semaunya.
Tak ada kesimpulan. Dan sejak aku tolak dengan uring-

6 Antyo Rentjoko
uringan, soal penjodohan delapan tahun lalu itu, Ibu tak
berani lagi melakukannya.
Kepulangan tiga bulan sekali, dengan topik bahasan
yang itu-itu juga, bagiku bukan soal. Atau jangan-jangan
semacam ritual? Jika ya, maka yang terucap seperti
mantra, apapun makna kata demi kata tak penting, karena
yang utama yang mendatangkan rasa nyaman bagi masing-
masing pihak karena merasa telah saling memperhatikan.

•••••

Saling memperhatikan. Itu yang membahagiakan


kami. Aku mengingatnya sambil melamun dengan rasa
senang, tanpa duka, meskipun ini peringatan empat puluh
hari wafatnya Ibu. Beliau berpulang karena serangan
jantung saat berdiri di depan loket pensiunan di kantor pos,
pada antrean ketiga dari orang terdepan.
Malam ini – tadi, maksudku – orang-orang katering
sudah memberesi semuanya.  Barusan ketua pramusajinya
pamit. Aku masih merokok di teras.   Setelah berjalan
sekitar lima langkah, punggung ketua pramusaji berbatik
itu bergeser.  Tahulah aku dengan siapa dia berpapasan.
Ah, lelaki tua itu! Berani-beraninya datang pada saat
yang tidak tepat!   Dengan tertatih-tatih dibantu tongkat,
datang dalam gelap.
Aku menyebutnya Bejo Bajul – tanpa diawali Pak.
Ibu selalu tersinggung setiap kali aku menyebut nama

Kedai Merahh 7
karangan itu. Nama karangan untuk duda kerempeng,
dulunya pegawai dinas pertanian. Seingatku dia tak pernah
berkunjung ke rumah, tapi sejak SMP aku sudah mendengar
bahwa Ibu ada hubungan khusus dengan dia.   Sindiran
tentang janda beranak satu, yang ditinggal suaminya
berlayar tanpa berita, lalu si janda menggoda suami orang,
bisa membuatku meradang dan mengajak berkelahi siapa
saja meskipun kalah.
Dia, lelaki yang kunamai Bejo Bajul itu, setahuku tak
pernah berkunjung ke rumah. Tapi di kota kecil ini, yang
cuma 26 kilometer persegi dalam satu kecamatan, orang
bisa saling tahu meski tak mengenal. Bahkan bisa tahu
rumahnya, atau setidaknya kampung tempat dia berdiam.
Topik tentang Bejo Bajul tak pernah kami bahas dalam
setiap kepulanganku yang tiga bulan sekali sejak 25 tahun
sejak aku bekerja di Jakarta itu. Aku dan Ibu sama-sama
menjaga diri. Menjaga perasaan.
Bejo Bajul kian dekat. Berjalan tertatih, berhenti
sebelum keset rajutan kawat, dengan agak terengah.
Aku berdiri. Kami bertatapan sejenak. Lalu aku
masuk.

Pondokgede, 12 Juli 2010


(final Belanda vs Spanyol; ada 5 orang di rumah, yang
4 perempuan, dan satu-satunya yang tak menonton
sepakbola adalah saya)

8 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 2

Teman-teman Cina

Rahmat Anwar Husodo. Mengajak berteman. Siapa


dia?
Kulihat di halaman profilnya di Facebook. Tidak
terkunci. Tapi temannya baru satu. Kulihat dengan siapa dia
berteman. Aku tak mengenalnya. Maksudku belum pernah
mendengar namanya.
Oh dia baru bergabung di Facebook rupanya. Sama
seperti orang-orang sebayaku. Facebook menjadi alasan
untuk berinternet, bahkan punya e-mail pun supaya
bisa mendaftar ke Facebook dan lainnya. Beberapa yang
masih kikuk, karena masih baru, tak mengirim pesan saat
mengajak berteman.
Rahmat Anwar Husodo. Masih minim info. Tapi
ada tanggal dan tahun kelahiran: 20 Januari 1960. Besar

Kedai Merahh 9
kemungkinan dia temanku semasa SMP atau SMA. Bukan
semasa SD, karena aku ingat nama-nama teman SD-ku
yang hanya satu kelas.
Aku mengerahkan ingatan. Tak ada nama Rahmat
dalam blok ingatanku. Yang ada Rahmat lain, kakaknya
Didik, temanku sekelas, anak bintara polisi militer yang
tinggal di asrama depan penjara.
Rahmat Anwar Husodo. Domisili Blora. Oh, mungkin
teman kuliah. Tapi aku tak dapat mengingat nama teman
kuliah, terutama yang berbeda jurusan dan berlainan
angkatan. Yang pasti tak ada teman SMA-ku yang berasal
dari Blora. Memang di SMA dulu banyak anak dari luar
kota, bahkan yang jauh, dari Bagansiapiapi nun di Sumatra
Utara, dan dari Palangkaraya di Kalimantan Tengah pun
ada.
Tak ada Blora. Tak ada Rahmat. Kukirim pesan, “Halo.
Maaf boleh tahu Anda siapa?”
Pesan itu kukirim lima bulan lalu, sebelum tahun
berganti. Pagi tadi ada e-mail notifikasi di kotak masukku.
Balasan dari Rahmat, dalam bahasa Jawa halus, “Punapa
panjenengan kesupèn marang kula to, kanca lami ing
Salatiga? Kula panci boten kaétang déning sinten
kémawon, punpa malih déning priyagung ingkang
misuwur kados panjenenganipun...”
Artinya, “Apakah Anda lupa terhadap saya, teman lama
dari Salatiga? Saya memang tak dianggap oleh siapapun,
apalagi oleh orang tenar seperti Anda...”

10 Antyo Rentjoko
dan 5 video." / GALERI NASIONAL
© FOtO PRAOLAH: REPRO DARI KARYA ANDREAS
HARSONO "Yang Dihapus Kutulis Ulang, 2009.
Instalasi dengan perabot, kertas, tinta cina,

Hanya itu. Bahasa menunjukkan siapa dia mestinya.


Yang pasti bukan anak usia di bawah 25 seperti sebagian
bloggers yang menjadi temanku, apalagi bloggers Jakarta
yang kebetulan keturunan Jawa. Aneh memang, di Jakarta
ini orang saling ajak berteman melalui Facebook, dan juga
Twitter, padahal masih satu kota, satu wilayah. Maksudku
Jakarta dan sekitarnya, termasuk Depok, Bekasi, dan
Tangerang – tanpa Bogor karena dalam persepsiku Bogor
sudah luar kota, sudah kota sendiri.
Biasanya main petak umpet tidak aku ladeni. Ini sudah
biasa dalam SMS oleh teman lama. Semakin aku penasaran,
dan keliru tebak, makin menjadilah mereka. Maka biasanya
balasanku lewat SMS adalah, “Anda keliru krm ke org yg
salah. Maaf. :)”

Kedai Merahh 11
Bahwa bakal segera datang SMS balasan, malah
disusul panggilan masuk, berisi umpatan, itu sudah
kuduga. Yang penting dalam umpatan ada pembukaan diri
siapa dia. Setelah itu aku menelepon, menyapa, minta maaf,
bercanda, bertukar kabar, dan saling ledek – bila perlu
saling memaki.
Tapi yang ini tidak. Aku tak tega. Dan jujur saja aku
penasaran karena dalam profilnya di Facebook tak ada foto
diri maupun info lainnya. Hanya ada foto rantang.
Akhirnya aku balas Rahmat dengan bahasa Jawa
halus, yang berarti ini: “Maaf ingatan saya sudah meluntur
dikarenakan usia dan penyakit keturunan.” Terlalu juga,
untuk hal sepele aku membawa-bawa dan menyalahkan
leluhur di alam baka.
Tak aku sangka, balasan dari dia cepat. Sorenya
langsung masuk, “Kalau soal usia, kita sama, malah saya
lebih tua. Tak ada alasan untuk pikun.”
Aku lekas membalas agar tak bertele-tele. “Oh ya? Gini
aja, siapa sebetulnya Anda.” Kusertakan nomor ponselku
yang ketiga.
Malamnya, serampung aku rapat di kedai, ponselku
bergetar. Ada panggilan masuk. “Assalamualaikum, Dul! Ini
aku yang di Facebook ngirim pesen ke kamu. Alhamdulillah
akhirnya teleponku bisa masuk, dari tadi ketolak terus.
Lupa ya sama Hwa Djay?”
Astaga! Hwa Djay! Lengkapnya Liem Hwa Djay. Itu
nama teman lama. Nama itu tak kulupakan.

12 Antyo Rentjoko
Dia anak IPA, aku IPS, tapi kami cukup dekat. Meski
tak sering, belum tentu tiga bulan sekali, tapi kadang kami
saling berkunjung. Aku ke rumahnya, bangunan kolonial
yang berhalaman depan luas, lalu masuk lewat lorong
samping, nah di dekat gudang tembakau ada kamar ukuran
empat kali lima meter persegi, itu kamar dia. Kamar dengan
banyak buku dan piringan hitam.
Tak banyak teman bertandang ke situ karena Hwa
Djay memang tak banyak kawan. Kalaupun menerima
kunjungan, bahkan dari sesama keturunan Cina, dia hanya
menerimanya di teras depan rumah yang berkursi kayu-
dan-rotan. Atau di bawah pohon rambutan – “pohon acé”,
kami menyebutnya.
Aku beringsut menjauhi keramaian dan kepulan asap
rokok meja kedai, sekalian mencari sinyal yang lebih baik
dan hawa segar di dekat parkiran. Kami saling bertukar
ingatan dan canda. Dan akhirnya terjawablah pertanyaanku
di awal perbincangan ponsel, sejak kapan Liem Hwa Djay
menjadi Rahmat Anwar Husodo. Tadi dia hanya menjawab,
“Ceritanya nanti.”
Dulu dalam buku presensi pun namanya Liem Hwa
Djay. Teman-teman tahunya juga Hwa Djay, si culun alim
anak juragan tembakau, yang rumahnya dekat perempatan
pangkalan dokar.
Sebetulnya kepanglingan nama itu bukan hal baru
bagiku, terutama sejak ada Facebook. Nama lama teman-
teman Cina sudah berubah. Tapi dengan melihat info, foto,

Kedai Merahh 13
dan jaringan pertemanan, aku segera mengenali siapa
saja mereka. Apalagi jika ada ajakan berkawan kembali –
inilah keanehan Facebook: orang sudah berteman diajak
berkawan – dengan menyebut nama lama.
Misalnya, “Dul, ini aku Hoo Liong.” Atau, “Pasti situ
masih inget Siu Lan sing ayu banget bikin klepek-klepek
itu.”
Hoo Liong jadi Albert Ongkowijaya. Siu Lan jadi
Cecilia Indah Tanujaya, dan akhirnya ditambahi Gunawan,
nama belakang suaminya.
Ada juga yang tiba-tiba nyelonong melalui SMS karena
nomor utama ponselku beredar di kalangan teman lama
dan terus beredar. Misalnya ini, “Halo, dul. Pakabar? Ini
aku, hwie tjoen. Tp namaku di fb teddy raharja.” Juga ini,
“Alooo dul, ini aku siok lan. Nama lama, kalo skrg ya lanny
salim. Pakabar? Msh inget?”
Misalkan bersua, dalam lingkup bersama orang luar,
aku tahu diri untuk tidak memanggil lama nama mereka
di luar yang tertulis kartu nama. Beberapa kawan menjadi
petinggi perusahaan di Jakarta, dan kantornya beberapa
kali menggelar perjamuan bisnis.
Foto bersama di Facebook, termasuk reuni teman-
teman di Salatiga, membuatku lega. Masalah Cina dan non-
Cina tidak penting bagi kami. Sejak dulu. Bahkan beberapa
teman enak saja meledek sesamanya, “Dia memang masih
Cina banget. Pelitnya minta ampun! Hahaha!” Ada juga,
“Dasar Jawa, kebatinan melulu, apa-apa dibatin. Hehehe!”

14 Antyo Rentjoko
Bahkan ketika Soen Yen menikah dengan Cina Makassar,
yang berkulit gelap, seorang teman Jawa meledek, "Ah
bohong kamu. Bojomu bukan Cina. Jauh-jauh dapat bojo,
eh item. Kalo cuma item, di sini banyak. Jawa ganteng yang
ndak gosong juga banyak."
Perihal Hwa Djay ini berbeda. Dia tak punya kawan.
Hanya satu temannya di Facebook, dan akan bertambah
lagi satu yaitu aku. Sulit untuk mengenali. Tahu-tahu
menjadi Rahmat Anwar Husodo dari Blora. Padahal seperti
banyak kawan, dia dulu masih WNA. Ini bukan pilihan tapi
akibat politik dan birokasi Orde Baru yang masih berbuntut
hingga sekarang.
Itulah Hwa Djay yang sejak lima tahun lalu menjadi
mualaf. Sekarang membuka toko elektronik di Blora.
Istrinya seorang Cina muslimah. Mereka belum dikaruniai
anak.
Memang sebuah cerita biasa. Ingatanku masih ke
nama-nama lama mereka, nama yang diberikan oleh
tradisi leluhur, tapi perkembangan zaman, yang mungkin
juga dengan sejumlah ketidakenakan, akhirnya membuat
kawan-kawanku memiliki nama baru. Nama-nama baru
dengan pola yang mudah ditebak karena jarang dipakai
oleh orang Jawa.
Dini hari ini, pukul satu serepermpat setelah aku
matikan komputer, sebuah SMS masuk, “Halo, dul kampret
abdulhadi sugimantoro joyomartono. Ini aku, tjeuw kwie
lan. Dl di sl3. Msh ingat? 2 jam lg kl blh aku yg nelp km.

Kedai Merahh 15
Ini sdh mau take off. Sorry. Kl telp gak km angkat aku gak
kntk lg, km jg gak bisa kntk aku.”
Tjeuw Kwie Lan? Nama yang lengkap, menyertakan
she atau marga. Siapa dia?
Ingatanku sudah pol dan buntu. Tapi aku yakin belum
pernah dengar nama itu. Aku ingat nama temanku sejak TK
sampai SMA – untuk yang masa TK sampai SD, aku ingat
nama lengkap mereka.
Adapun jukukan lengkap Dul Kampret hanya teman
sekolah yang tahu. Ini akibat sejak TK sampai SMA aku
bersekolah di yayasan yang sama, dalam satu kompleks.
Nama terus melekat. Tapi Abdulhadi Soegimantoro
Djojomartono? Nama ini tak ada dalam rapor, terutama
dua nama terakhir dari ramaku dan eyang kakungku.
Kini malu rasanya kalau harus menanya kepada
teman-teman tentang Tjeuw Kwie Lan. Khawatir dianggap
sombong, dan lebih khawatir lagi aku akan dipermainkan
dengan merujuk ke nama toko, bengkel, dan restoran yang
salah. Memang nama-nama usaha keluarga menjadi salah
satu identifikasi untuk menggali ingatan.
Dua jam lagi. Tapi kantukku semakin membuai.

*) Semua kemiripan nama di sini hanya kebetulan belaka.

16 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 3

Kedai Merahh

Anak kalimat yang disisipkan dalam tubuh berita,


sehingga seolah tak penting, itu menggembirakanku.
Tertulis di sana, “Joko, yang kabarnya mantan aktivis 80-
an, itu selalu berbusana santai. Kalau bukan jins ya celana
khaki, terkadang malah celana pendek.”
Gayaku mengelak bisa membuat terkesan reporter
majalah mingguan itu. Editornya juga tak teliti, sehingga
lupa menanya kenapa “kabarnya”, yang mestinya bisa
ditanyakan langsung saat wawancara, bisa lolos.
Tinggal menunggu lima hari maka versi online majalah
Kutub akan menayangkan aku. Google, Bing, atau lainnya,
akan menemukan tulisan itu. Lengkap dengan fotoku
berlatar dinding kafeku, Kedai Merahh (ya, “merahh” – biar
nge-brand), yang serbamerah.

Kedai Merahh 17
Dua bulan lalu, tabloid bisnis Wirausaha
Indonesia juga menyisipkan kata-kata manis:
“Jackie, demikian Joko dipanggil kalangan
dekatnya, yang bekas aktivis pers mahasiswa
itu, menghias kafenya dengan tokoh-tokoh
revolusioner.”
Aku enggan menyebutkan nama univer-
sitasku. Cukup kota saja: Yogyakarta. Yang
penting adalah citraku sebagai orang kreatif yang
dulunya aktivis. Citra itu perlu justru perlu karena
pelanggan Kedai Merahh di Jakarta BizSquare
adalah orang-orang kantoran biasa yang menurut
kesanku apolitis, bukan bekas aktivis.
Dalam wawancara aku selalu berlagak
menghindar ketika reporter menanyakan
selentingan masa laluku. Selentingan itu mereka
petik dari kekeliruan beberapa blog anak-anak
muda yang menyebutku “mantan aktivis 80-an”. Mereka
mendengarnya dari obrolan di warung.
Aku menyukai citra baruku. Baru? Entah. Tapi aku
sudah berbeda. Setelah dua lalu mengambil pensiun dini
dalam usia 50, maka kutinggalkan kemapanan sebagai art
director beberapa majalah di lingkungan sebuah kelompok
penerbit besar.
Dengan pesangon yang bagus, dan ditambah warisan
istri, kubuka Kedai Merahh. Pakaian harianku berubah.
Dari dulu aku selalu berbusana santai, tapi sekarang lebih.

18 Antyo Rentjoko
© FOTO ASLI CANGKIR PRAOLAH OLEH Julian Cenkier (SXC.HU)
Celana pendek, sneakers, kadang boots, dan kaos.
Kaosku pun bertema perjuangan. Yang sering kupakai
adalah kaos produk Kedai Merahh. Ada yang bergambar
Che (wajib!), Lenin (harus), Mao (kudu), Tan Malaka (hasil
pencarian di internet menunjukkan dia hebat), dan Bob
Marley (dengar-dengar selain musiknya asyik dia juga
pejuang). Lalu ada yang usul gambar John Lennon. Lalu
ada yang usul gambar Samaoen dan Darsono – entah siapa
mereka, tapi anak-anak sering menyebutnya.
Aku bangga akan tema kafeku. Serbamerah.
Dindingnya. Mejanya. Kaos polo pramusajinya. Untuk
cangkir dan cawan pakai hitam saja. Yang penting merah.

Kedai Merahh 19
Apalagi tema visualnya. Yang terbaru adalah olahan
grafisku terhadap bungkus rokok CCCP dan Che. Yang
pertama kudapatkan di Rusia, yang kedua di Jerman, dalam
kunjungan wisata bonus kesetiaan dari kantor lama.
Aku senang ketika seorang cewek kantoran, berstoking
hitam, menanya, “Ini kafe kiri ya, Mas?”
“Itu kan menurut Anda. Kanan atau kiri sama saja
kok,” kataku.
Aku semakin bergairah karena fanpage kafeku di
Facebook sudah diikuti 1.200 penggemar dalam dua
bulan – padahal aku yakin sebagian besar belum pernah
singgah. Kubiarkan penggemar membesar-besarkan kata
“perjuangan”, “revolusioner”, dan “kiri” – juga “kekiri-
kirian”.
Aku bangga ketika seorang pensiunan letnan jenderal,
oom dari temanku, singgah di kafeku lalu mengernyitkan
kening sambil berkata, “Apa? Cuma buat lucu-lucuan? Di
mana lucunya? Kalau dulu kafe kayak gini sudah membuat
sampeyan diambil, nginep di markas.”
Aku bangga karena lima anak muda menyaksikan
itu lalu menyiarkannya melalui Twitter. Salah satunya,
“@jackiexxx80 si @kedaimerahh kena damprat mantan
jenderal. dia tetap cool.”
Kemudian pekan lalu, datanglah rombongan pemesan
buka puasa bersama itu. Mereka sebaya aku. Beberapa
orang tak puasa, hanya datang untuk silaturahmi dengan
kawan-kawan lama saja, dan merokok sebelum jam buka

20 Antyo Rentjoko
tiba. Satu dari mereka itu memperkenalkan diri. Namanya
Alex Purnomo.
Kartu namanya menunjukkan bahwa Alex adalah
seorang kepala SMA swasta. “Saya baca di mana lupa,
Mas Jackie bikin tema kafe ini cuma buat lucu-lucuan
ya? Alasannya angkot dan truk juga sering pake gambar
Che. Malah kaos Che dijual di Pasar Projo Ambarawa, tuh
fotonya dipasang di sana,” katanya sambil menunujuk foto
dekat lorong menuju toilet.
“Iya.”
Kerumunan kecil tujuh orang, termasuk aku, itu
tertawa bersama.
Seorang teman Alex menyergah, “Omong-omong, Anda
dulu aktivis ya? Juga di pers mahasiswa? Di mana, Mas?”
“Ah nggak. Itu kan kata media. Bukan kata saya.”
Satu orang lagi mendesak, menanyakan sejumlah
nama. Mungkin nama aktivis di Yogya tahun 80-an. Aku
hanya angkat bahu dan akhirnya mengatakan, “Sudahlah,
itu kata media.”
“Mas Jackie dulu kuliah di mana?” tanya orang yang
lainnya lagi.
“Ah nggak penting. Sekolah saya kan kacau. Ya
kampusnya, ya sayanya. Hahaha...”
Jam buka puasa pun tibalah. Mereka asyik bersantap
dan bergurau. Beberapa orang meninggalkan tempat untuk
salat di musala milik mal.
Di toilet aku bersua salah satu dari pengerumun tadi.

Kedai Merahh 21
“Mas kenal Mbak Nancy Suganda, yang notaris kan?
Juga kenal Oom Bambang Gajah?” tanyanya.
Aku kaget. Tentu kenal. Mereka teman lama. “Anda
kenal mereka di mana?’
“Nggak kenal langsung sih. Saya dulu kan di majalah
Kabar Indonesia, Mas”
Hmmm... majalah yang kemudian disingkat Kabin
itu yang sepuluh tahun lalu, akhir 90-an, memuat petikan
kisah pergermoan di kalangan mahasiswi Yogya tahun
awal 80-an. Akulah salah satu mucikari amatir itu. Nancy
adalah primadona. Bisnis yang laku. Adapun Bambang
adalah koordinator. Bos. Dia sekarang jadi corporate
secretary sebuah perusahaan pertambangan. Nama-nama
kami disamarkan.
“Oh ya Mas, dapat salam dari Pak Budiarto Sudirdjo. Itu
oom saya. Beliau sekarang menikmati hari tua di Cipayung,
dekat Taman Mini. Katanya senang melihat perkembangan
bisnis Mas sekarang.”
Budiarto Sudirdjo. Dulu masih kapten. Pensiun sebagai
mayor jenderal. Kariernya tak bagus, padahal teman
seangkatannya melejit, ada yang jadi panglima segala.
Kepadanya, dulu, aku harus menyampaikan sejumlah
informasi kampus. Sesuai perintah, setara proteksi. Suatu
hal yang aku selalu ingin mengenyahkannya dari ingatan
karena ada sejumlah korban. Diciduk aparat. Kuliahnya
terhenti. Termasuk kangmasnya pacarku saat itu. Karier
kepegawainegerian keluarga mereka terganggu.

22 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 4

Sensus Akhir Pekan

“Besok Sabtu aja sekalian. Kita kan free,” kataku.


“Iya sih. Tapi gimana lagi, maunya Jumat yang buat
kita, bukan pekerjaan. Launching party rampung jam
berapa coba? Tapi namanya juga client kan kudu diservis
baguslah.”
Lalu dia berangkat. Aku suka kerena dia penuh
semangat menapaki karier. Hari masih pagi dia berangkat
sebelum three-in-one (Oh, apakah orang berbahasa Inggris
juga memakai istilah ini? Nggak, kata teman, orang kita
saja yang sok-sokan).
Aku menyukainya. Dalam usia 29, tahun kemarin,
dia mencoba mengibarkan bisnis sendiri bersama teman-
temannya. Dia pun dewasa, tak banyak merajuk dan minta
perhatian. Dia mandiri. Tekun. Gigih. Tidak manja. Semoga

Kedai Merahh 23
ini pelabuhan terakhirku. Untuk selamanya. Semoga inilah
yang namanya cinta senyatanya, bukan hanya syahwat
semata.
Apa lagi yang kusuka dari dia? Kreatif. Sering
meluangkan waktu untuk corat-coret di buku khusus.
Bisa berjilid-jilid sketsanya. Mestinya yang cat air itu
dikemas sebagai album terpisah. Serial sketsa terbingkai,
ada delapan, tentang dunia sekitar, yang diambil dari unit
aparteman ini bagus banget.
Tapi ada yang lebih bagus. Paling bagus. Bergambar
sudut trotoar dengan sepeda terparkir. Kondisi asli sih
tanpa sepeda. Lalu dia menambahkan sepeda. Mirip
sepedaku. Lukisan cat air 30 x 40 cm, terbingkai lis hitam,
dengan passepartout putih dari karton katun, itu memang
istimewa. Itu sebagai hadiah untuk setahun perayaan
hubungan kami.
Pagi mendung. Sisa hujan semalam pastilah masih
meninggalkan genangan. Kalau ditambahi gerimis jadilah
kemacetan bertambah. Ah, dia bisa terjebak macet lalu sia-
sialah usaha untuk memasuki kantor paling dini.
Coba kulihat TV. Ingin tahu apa berita kota pagi ini.
Tak ada yang menarik. Gonta-ganti channel sama saja.
Lebih baik baca berita kemarin. Koran pagi masih terlipat
rapi. Yang kucari adalah iklan display tentang big sale dan
diskon untuk bersantap malam akhir pekan.
Ponsel bernyanyi. Dari dia. “Aku udah nyampe. Nggak
kena macet kok,” katanya. Lalu dia langsung ngopi katanya.

24 Antyo Rentjoko
© sumber foto gillete, dior fahrenheit, dan bvlgari after shave tidak diketahui

Bikin sendiri. Karena office boy belum datang.


“Roti gandumnya masih kan? Habisin aja,
hehehe,”katanya.
“Ada dua malah.”
“Iya yang di tembok jangan dimakan dong. Keras.
Hehehe. Oke, aku harus mulai tune in ya.”
Yang di tembok itu lukisan dia juga. Roti gandum.
Dialah yang mengajariku hidup lebih sehat. Aku bisa
mengurangi daging. Lebih banyak sayur. Malah sudah dua
bulan aku berhenti merokok. Dia juga yang mengajakku
untuk kembali ke gym.
“Kalo bicara usia, setiap orang kan nambah. Jadi
kalau ngomong inget usia, ya berlaku buat semua orang
kan?” katanya. Sungguh cara menyatakan pendapat secara
nyaman. Basa-basi biar, tapi bagiku yang sudah memasuki

Kedai Merahh 25
usia 45 itu tidak terasa sebagai serangan.
Jumat ini sebetulnya kami berencana mencoba ke
Pluit, tepatnya Pantai Mutiara. Jauh memang. Dari Selatan
ke Utara, mepet batas peta daratan. Sebelum ke The Icon
mampir dulu ke kafe dekat dermaga, menikmati sore. Tapi
itu baru rencana. Tapi ya sudahlah. Masih banyak waktu
untuk menjalani kebersamaan.
Kebersamaan? Misalnya sama-sama tidak bisa
memasak. Tapi bagusnya mulai ada perkembangan bagus.
Dia mulai belajar memasak. Dari buku dan internet.
Hasilnya, untuk sementara, bisa membuat kami tertawa
bersama. Yang pasti belanja bersama menjadi tambah
menyenangkan. Memilih kebutuhan dapur menjadi sarana
belajar bersama. Memilih dan berdebat kecil akan jajan di
mana untuk berguru soal rasa juga mengasyikkan.
Rampung membaca koran, tepatnya tiga koran, aku
mandi. Tak ada kegiatan penting di kantor. Tapi aku harus
datang supaya solidaritas korps terjaga. Sekadar datang,
nongol, dan sesekali menampung curhat. Biarlah Jumat
menjadi hari yang tak terlalu berat bagi anak-anak kantor.
Senin saja yang berat, dengan serangkaian pelaporan dan
rapat.

•••••

Sabtu siang. Tak ada rencana masak maupun belanja.


Hanya kubuka dan melihat sekilas kit baru miniatur kereta

26 Antyo Rentjoko
api. Besok Minggu saja merakitnya.
Dia sibuk dengan mainan barunya. Sibuk mengedit
gambar hasil bidikan Olympus PEN-2 yang dibelinya dua
minggu lalu dengan harga murah, mengoper milik teman di
kantornya yang membeli dari katalog kartu kredit.
Aku mendekat ke meja. Berdiri di belakangnya,
tanganku kuletakkan di bahunya. Kulihat layar monitornya.
Kebanyakan gambar daun, yang diambilnya tadi pagi di
taman seberang yang ada jogging track-nya.
“Aku lebih suka daun daripada bunga. Daun itu
lambang kehidupan. Butuh pengetahuan buat menebak
gambar daun itu dari pohon apa,” katanya sambil tangan
kirinya memegang tangan di bahu kanannya.
“Itu yang kecoklatan, di atas paving block, daun apa?”
“Itu dia! Belum aku pelajari. Hehehe!”
Sebelum daun, dengan kamera lama, DSLR Nikon jenis
pemula, dia memotreti seluruh perkakas kerjaku. Termasuk
obeng-obeng kecil untuk hobiku. Juga alat bor.
“Perkakas itu cerminan man at work. Benda mati
yang menyimbolkan pekerjaan dan upaya manusia
memperpanjang tangannya,” katanya suatu kali.
“Lagian sangat manly, hehehe...” katanya lagi.
Tritttttt. Telepon dari satpam berdering. Menanyakan
apakah kami ada janji dengan petugas sensus. Tentu saja
aku iyakan.
Sebetulnya bukan kami, tapi aku, yang kemarin
menyanggupi melalui manajemen apartemen. Lantas

Kedai Merahh 27
aku bilang kepadanya, “Udah, santai aja. Mereka nggak
nyampurin urusan pribadi kita.”
“Civil status kita apa?“
“Cohabitation. Hahahaha!”
Beberapa hari sebelumnya sudah ada titipan
pemberitahuan dari petugas, dan secuil kertas informasi
jumlah penghuni di unitku.
Tidak ada yang mendadak. Kasihan kalau mereka
ditolak. Secuek apapun aku terhadap kebrengsekan negeri
ini aku masih berharap bahwa data hari ini akan berguna
untuk menyiapkan hari esok.
Dua orang datang. Berbatik. Berbasa-basi sebentar
– dan sempat terucap, “Nggak semua penghuni di sini
bersedia” – orang yang jangkung berpeci itu pun memulai
tugasnya. Ini kunjungan pertama sebelum verifikasi,
katanya.
“Maaf, kalau kepala rumah tangga siapa, Pak?”
“Saya dong, Pak.”
“Lalu, maaf, kalau adik ini siapa?”
“Pasangan saya, Pak.”
Oh, “adik ini”. Hohoho! Aku suka sapaan petugas
sensus itu.
Si “adik ini” sedikit gelisah. Mengusap dagu kasarnya.
Sudah dua hari dia belum mencukur kumis, cambang, dan
jenggotnya. Tapi hanya aku yang tahu, selalu ada after
shave lotion di dagu dan pipinya, saban pagi. After shave
lotion yang berbeda dari punyaku.

28 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 5

Ketua RT

Sabtu malam itu, ketika saya tiba, di depan rumah ada


kerumunan sekitar lima belas orang.
Pembantu sudah membukakan gerbang carport, tapi
saya tetap turun dulu, menghampiri kerumunan di bawah
lampu merkuri itu, lalu mengucap salam.
“Malam, Bos. Maaf menganggu,” kata Pak Jufri.
Dialah ketua RT. Jari manis kanan dan kiri cincin
berakik besar. Tinggalnya di seberang jalan, pada posisi
dua rumah setelah saya.
Beberapa kali dia membualkan masa mudanya yang
bengal. Pekan lalu, saat bertemu saya di warung rokok 24
jam dekat pangkalan ojek, dia bilang ingin membuat posko
Front Warga Asli, dan itu sudah direstui markas komando
di Cakung.

Kedai Merahh 29
“Ada apa, Pak?” sahut saya, sambil menengok ke dalam
mobil. Istri dan kedua anak saya masih tertidur pulas
setelah seha rian beredar.
“Iya deh, Bapak masukin mobil dulu. Biar Ibu dan
anak-anak masuk ke rumah, entar saya jelasin.”
Mobil saya masukkan. Istri dan anak turun dengan
terkantuk-kantuk. Saya menghambur ke jalan, tepatnya
pertigaan depan rumah, untuk bergabung.
Sebagian besar isi kerumunan tak saya kenal tapi
saya tahu mereka warga sekitar. Saya mengangguk kepada
mereka. Perbincangan mereka yang seperti dengung tawon
itu terhenti.
Pak Jufri, yang kami sapa Pak RT itu, meneruskan
percakapan, “Gini Pak Theo. Bapak emang bukan warga
resmi sini karena ngontrak, tapi yang jelas Bapak lapor ke
kami, lagian bayar ini dan itu selayaknya warga, malah ikut
siskamling segala, padahal Pak Theo ini sibuk, kadang pagi
baru pulang. Nah ada baiknya tahu persoalan juga, apalagi
rame-rame ini kan di depan rumah Bapak.”
“Ya, Pak Jufri...”
Saya memang hanya sementara bermukim di situ,
untuk mengungsi karena sedang membongkar dan
membangun rumah, di kompleks yang sama, tepatnya di
RT sebelah. Di sanalah domisili saya selama sepuluh tahun
terakhir.
Pak Jufri melanjutkan, “Gini, kita ini lagi rapat
darurat. Maaf aja kalo tempatnya di depan rumah Bapak,

30 Antyo Rentjoko
kayak laron ngerubung lampu, huehehehehehehhhhh...
Habis udah malem gini. Jam berapa coba, hampir jam dua
belas, nggak mungkinlah di rumah kita-kita.”
Mereka sedang rapat karena hasil rapat pertama sore
tadi, di rumah Pak Jufri, belum dapat dieksekusi.
Rapat sore tadi adalah pemilihan ketua RT. Secara
aklamasi, demikian Pak Jufri tegaskan, warga memilih Pak
Kamso sebagai ketua RT yang baru. Tata tertib pemilihan,
yang disepakati sebulan sebelumnya, membolehkan
memilih calon yang tidak datang.
“Gitu Pak ceritanya...,” kata Pak Tetangga Kanan yang
merokok seperti lokomotif.
Saya hanya diam. Tak berani beropini karena tak
berwenang.
“Masalahnya, Pak,” kata Pak Jufri lagi, “Pak Kamso

Kedai Merahh 31
nggak mau.”
Pak Kamso belum pulang dari acara kantor. Kata
istrinya dia tak berani pulang. Pak Kamso dan istrinya
sudah tegas menolak.
Bahkan Pak Kamso, melalui istrinya, sudah
menegaskan kepada delegasi RT yang tadi ke rumahnya
bahwa dirinya tetap tak merasa dan tak bersedia sebagai
ketua RT 09 / RW 14.
Karena diajak bicara terus, bukan hanya oleh Pak Jufri
tapi juga beberapa tetangga, maka saya pun tergerak untuk
menanggapi. Apalagi beberapa kalimat ditutup dengan, “Ya,
nggak?” atau “Ya kan, Pak?” dan itu ditujukan kepada saya.
Saya bertanya, penuh kehati-hatian, “Maaf saya
nimbrung. Pak Erwe sudah tahu kan hasil rapat ini?
Juga maaf apakah setiap orang yang dicalonin dimintai
kesanggupan?”
Entah siapa yang menjawab, pokoknya lebih dari dua,
bahwa ketua RW tadi menyaksikan dan mengesahkan
pemilihan lalu pulang.
Adapun soal kesanggupan si tercalonkan, Pak Jufri
menyatakan, “Tata tertib hasil musyawarah membuat
semuanya jadi amanah.”
Dia lanjutkan, "Hampir semua orang, sejak kompleks
ini berdiri dua puluh tahun lalu, udah kebagian njabat
pengurus erte. Cuma Pak Kamso yang belum. Harapan kita-
kita sih setelah jadi ketua erte dia jadi lebih bermasyarakat,
mau bergaul sama warga lain, nggak cuma sibuk nyari duit

32 Antyo Rentjoko
di luar, ngurusi keuangan tempat dugem."
Saya mengangguk tanpa memahami apa yang saya
setujui. Lalu kerumunan kembali berdengung lagi, ngalor-
ngidul.
“Deadlock nih!” celetuk seorang pria muda, menantu
Mbah Barjiman, tetangga kiri seberang rumah.
“Makanya kita bikin sidang umum istimewa di bawah
tiang lampu ini! Gimana sih ente?” sahut Pak Jufri.
"Gimana dong solusinya? Keburu subuh, nih!" kata
seorang bapak yang tinggalnya di sebelah Pak Jufri.
“Gini, bapak-bapak. Mohon perhatian. Saya ada ide,”
kata Pak Jufri.
Lalu dia lanjutkan, “Kita minta bantuan Pak Theo buat
ngebujuk Pak Kamso. Pak Theo ini kan obyektif, justru
karena bukan warga resmi makanya Pak Theo ini bisa
berjarak. Gimana Bapak-bapak?”
“Akuuuurrrr! Amiiiinnn!”
“Wah saya jangan dilibatin dong, saya kan...” kata
saya.
“Bukan soal, Bos!”
Pak Jufri terus nyerocos, “Bahkan kalo Pak Kamso
kagak bisa dibujuk, sehingga kita perlu pemerintahan
sementara, buat transisi barang nem bulan, maka Pak Theo
bisa bantu! Maksudnya ya Pak Theo yang pegang kendali.
Kalo warga setuju, urusan ke Pak Erwe saya yang beresin.
Ke kelurahan juga gampang diatur...”
“Tapi...,” saya menyahut, dengan suara agak tercekat.

Kedai Merahh 33
“Buat Pak Theo, ini amanah. Pindah jadi warga resmi
bisa diatur. Lagian sori Bos, itu rumah di sono kayaknya
brenti ngebangunnya. Artinya paling tidak masih setahun
tinggal di erte kita sebelum kembali ke erte asal. Urusan
operasional kan entar dipegang sekretaris erte. Tinggal
ditunjuk.”
Gumam, atau apa, saya tak tahu. Dengungnya kian
padat dan ramai. Sempat terdengar, ”Ini baru solusi, supaya
kita-kita nggak repot, tetep bisa kerja.”
“Sebentar, sebentar...,” saya menukas.
Tangkas nian Pak Jufri, ”Ah apanya yang sebentar,
Bos? Lagian Pak Theo ini kan wartawan, koneksinya
luas, gampang nyari sponsor kalo ada tujuh belasan,
huhehehehehe... Gimana, Bapak-bapak?”
Tak perlu saya jelaskan apa isi dengung yang berubah
jadi paduan suara. Dari jauh tampak lampu mobil
mendekati.
Yang pasti sudah terbukti, setiap kali Pak Jufri
menyebut saya “Bos”, secara sok akrab, maka ada maunya.
Misalnya minta sumbangan.
“Tuh Pak Kamso dateng,” kata seseorang.
Malam semakin berat. Malah hari sudah berganti.
Saya lihat arloji. Pukul 01.15.
Saya belum pernah bertemu apalagi berbicara dengan
Pak Kamso. Kami sama-sama orang yang pulang selewat
tengah malam.
Kerumunan terurai. Sebagian menyongsong Pak

34 Antyo Rentjoko
Kamso.
Sempat saya dengar ucapan pelan seseorang yang
membelakangi saya kepada orang di sebelahnya, “Sampeyan
yang sedari tadi nge-SMS dia kan? Hape saya low batt sih.”
Mereka berdua bergegas, mendahului yang lain,
menyongsong mobil yang kian dekat.

Kedai Merahh 35
36 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 6

Undangan
Pernikahan

Mariska, desainer undangan itu, bingung: “Polos


gini, nggak pake embel-embel? Bener? Enar kalo udah di-
approve gak bisa ditambahin lho. Kecuali bikin undangan
baru.”
Aku dan Nita mengangguk.
“Beneran nih?”
“Iya,” kata Nita.
“Gelar kan urusan di kampus, buat kegiatan akademis.
Bukan buat kawinan. Emang ini undangan dies natalis atau
promosi doktor?” aku mendukung calon istriku.
Mariska mengangguk-angguk. Lalu menimpali,
“Lagian yang diundang juga tahu, Mas kan doktor
antropologi dari Belanda. Dan Mbak kan doktor komunikasi
dari Amrik. Ya, kan?”

Kedai Merahh 37
“Bukan gitu, Non!” kata Nita.
“Iya, emang bukan soal orang tahu apa nggak. Ini soal
kawinan, urusan non-akademis, Mar,” kataku.
“Oh ya, denger-denger dulu itu kalo sarjana sini
nerusin Es Dua ke Belanda dapetnya cuma De-er-es ya?
Rugi dong?” Mariska menanya. Kami hanya tertawa.
Ketika kami pulang, Mariska mengantarkan kami
hingga ke mobil yang kami parkir di depan ruko sebelahnya.
“Pihak keluarga sudah tahu soal nama yang nggak pake
embel-embel ini?”
Kami tertawa. Nita nyeletuk, “Kita kan bukan orang
Jerman yang suka masang doktor di segala kesempatan.”

•••••

Lima hari kemudian proof, tepatnya mockup undangan,


itu sudah jadi. Bentuk undangannya adalah buku cerita
anak-anak yang terkemas dalam bos karton. Semuanya
berbahan kertas kertas daur ulang. Mariska memang
desainer yang bagus. Dia bekerja dengan hati, apalagi jika
gagasan klien itu menantang dari sisi kreatif dan sekaligus
sesuai dari sisi nilai-nilai yang dia pegang.
Yang membuat cerita adalah Nita, begitu juga
ilustrasinya dia yang membuat. Sudah sebelas tahun dia
menjadi penulis cerita anak-anak. Tetapi menjadi ilustrator
baru sekarang. Untuk diri sendiri.
Penerima undangan kami imbau memberikan kepada

38 Antyo Rentjoko
putra-putrinya, atau keponakannya, atau anak tetangga,
atau anak siapapun yang berminat. Judul buku itu adalah
Ani dan Kucing Terbang.
Mockup yang bagus. Persis seperti yang kami mau.
Undangan terbatas, untuk seratus terundang – artinya
yang datang bisa dua ratus orang – tinggal diteruskan
produksinya. Tiga minggu mendatang undangan sudah jadi
dan siap disebarkan.
Tapi namanya juga keluarga, maka urusan dua orang
menjadi urusan puak. Orangtua Nita mengatakan undangan
itu unik dan bagus.
Perihal gelar, papanya berkata, “Memang pesta
pernikahan ini kalian yang urus, dibantu organizer.
Ibaratnya Papa dan Mama tinggal datang. Tapi karena

Kedai Merahh 39
kalian dapet gelar itu bukan dengan membeli, pakai
perjuangan, nggak ada jeleknya dipasang.”
Nggak ada jeleknya. Bukan keharusan. Semacam
seyogianya. Tapi bagiku ini seperti perintah. Harus dilalui
dengan debat – tapi itu nanti.
Untunglah maminya dengan ringan mengatakan,
“Itu sih nggak prinsip. Kalo kalian nggak punya gelar tapi
masang gelar itu namanya lelucon. Itu bisa membuat yang
punya gelar beneran kesinggung, apalagi kalo gelar itu
menyangkut profesi. Go ahead!”
Kami lega. Tinggal urusan dengan orangtuaku.
Bapak hanya tersenyum, “Sebelum emeritus, Bapak itu
sudah jadi promotor untuk delapan doktor sosiologi. Tapi
bagi Bapak, urusan gelar hanya berlaku untuk kepentingan
akademis. Jelas kan?”
Duh, leganya.
Kemudian Ibu menimpali, “Kalau Ibu nggak bisa
menghindar. Gelar kan soal profesi, dan itu dipasang di
papan depan pagar kita. Hanya yang bergelar dan berizin
praktik yang boleh masang. Itu soal tanggung jawab kepada
masyarakat dan sumpah profesi. Tapi soal gelar Bapak sama
Ibu nggak dipasang di undangan, itu nggak masalah. Gitu
juga gelar kalian. Terserah.”
“Apalagi,” kata Bapak, “zaman sekarang sudah inflasi
gelar. Hahaha...”
Ibu menyahut, “Ah jadi inget baliho waktu kampanye
pemilu kemarin. Ada tuh yang gelarnya rangkep-rangkep

40 Antyo Rentjoko
tapi kayaknya belum pernah nulis di jurnal. Baca jurnal aja
mungkin nggak pernah. Hihihi...”
Beres semuanya.

•••••

Resepsi berlangsung meriah di sebuah rumah


peristirahatan sejuk di pinggir kota. Inilah pesta terbatas.
Semua orang riang. Apalagi mereka bisa bertemu sanak
dan sahabat yang lama tak berjumpa. Katering pun
memuaskan.
Sayang, organizer yang membekali sepuluh awaknya
dengan handy talky sehingga mirip petugas keamanan itu
alpa membekali pembaca acara. Berkali-kali MC meracau,
“Doktor Handoko Adinoto, putra tunggal dari Bapak
Profesor Doktor Slamet Sawunggaling Prawirodirjo dan
Ibu Dokter Sri Rejeki...”
Tentu dilengkapi, “Doktor Yuanita Wijaya, putri tunggal
dari Bapak Akuntan Doktorandus Chandra Wijaya dan Ibu
Apoteker Doktoranda Lindawati Oetomo Chandra...”
Tiga ucapan selamat, dalam iklan kecil pada dua koran
lokal, yaitu Getar Kota dan Kabar Warga, juga mengatakan
yang mirip, tapi lebih ringkas. Hanya gelar-gelar yang
disingkat, tanpa tambahan profesi.

Kedai Merahh 41
42 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 7

Tonggak ke-39

Jumat malam tanggal sembilan belas bulan ketujuh


ini adalah saatku memeluk tonggak. Setahun lagi aku
berkepala empat. Seberapa pentingkah tonggak usia, tahun
demi tahun?
Seperti yang kuinginkan, tak perlu ada perayaan
berlebihan, itu sebabnya aku lega ketika hari jadi jatuh pada
Jumat merah.
Aku beruntung orang kantor kemarin sudah sibuk
mempersiapkan akhir pekan panjang. Hanya atasanku yang
ingat, sore sebelum pulang dia ucapkan selamat, sehari
lebih awal katanya, dan mengecup pipiku.
Dia berikan sebuah kotak merah berpita putih. Isinya
buku, katanya. Tebal, berat, hampir seukuran kuarto. Buka
saja di rumah, katanya lagi. Ternyata dua buku. Kesehatan

Kedai Merahh 43
perempuan dan olah spiritual orang urban yang di dalamnya
ada olah fisiknya.
Aku tersenyum. Aku memahami dan mengenal dia
karena akulah pegawai terlama selain sopir direktur
utama.
Orang lain tak berani memberikan buku itu karena
takut dianggap melecehkan perempuan lajang matang. Dan
aku tahu dia tak ada niat itu.
Sudah kukatakan tadi bahwa aku mengenalnya
dengan baik. Mengenal istrinya. Mengenal kedua anaknya,
cowok dan cewek, kini sudah remaja, yang sejak kecil
memanggilku Miss.
Sore tadi kujalani hari tanpa kekhususan. Tonggak
ke tiga puluh sembilan hadir di apartemenku sebagai
sahabat sejati. Tak diajak bicara pun bukan soal karena
masing-masing tahu kapan harus berbicara tanpa saling
mengganggu.
Seharian tonggak itu menemaniku tanpa mengganggu.
Di ranjang, di karpet, di sofa, di meja rias, di meja makan, di
kamar mandi... Juga dalam laptop, ponsel, dan BlackBerry.
Puluhan SMS datang sejak pagi. Masih datang lagi.
Kuintip Facebook. Dindingku penuh ucapan. Kutengok
Twitter, ramai kicauan demi kicauan. Aku hanya membalas
SMS. Yang lainnya besok, atau besoknya.
Kapankah SMS, bahkan panggilan telepon dari
seseorang, yang kunantikan itu menyapa, mengucapkan
selamat?

44 Antyo Rentjoko
Dalam hati aku bertanya kepada
tonggak tak berwujud. Jawabannya
seperti kata hatiku. Malu rasanya
menanyakan apalagi menantikan itu.
Tapi tonggak juga membesarkan
hatiku melalui bisikan yang seperti
kata batinku. Ini bukan soal usia,
karena kerinduan yang mendayu, juga
menggebu, bukan hanya milik remaja
dan mereka yang pantas dianggap atau
menganggap diri belia.
Sudah pukul sembilan malam.
Kuambil white wine, kutuang perlahan
penuh khidmat, kubaui aromanya, lalu
kececap lembut. Bukan, bukan. Aku
bukan penikmat anggur. Yang putih
aku pilih karena adanya hanya itu. Hanya itu, karena itu

© sumber gambar-gambar asli tidak diketahui


pemberian dari dia. Buat icip-icip katanya. Ya, dia pun
bukan penilai anggur, dan tak peduli anggur putih dan
merah cocoknya untuk apa tapi dia suka yang putih.
Yang diberikan kepadaku yang putih, anggur muda
buatan 2008, tapi misalkan aku diberi anggur tua aku pun
tak dapat membedakannya. Anggur Vendange California
Chardonnay dalam wadah karton kemasan setengah liter,
mirip kemasan jus jambu Buavita seliter; ya, bukan dalam
botol – kurang chic, kurang romantis, kurang memanjakan
snobisme. Anggur Australia, bukan Prancis, tapi aku yakin

Kedai Merahh 45
teman-teman cewek yang memuliakan anggur Prancis, dan
juga cerutu Kuba, sesungguhnya tak paham benar.
Tonggak tak tampak itu ikut menikmati. Mencecapi.
Tentu tanpa terlihat. Tanpa membuat isi gelas maupun botol
berkurang. Tak perlu bersulang tapi aku dan tonggak sama-
sama merasakan kehangatan yang nyaman.
Kubiarkan waktu merambat dalam alir kesadaranku.
Aku tak ingin mengkhianati alir waktu dengan kesibukan
yang kucari-hari, misalnya membaca dan menonton TV,
dengan harapan kantuk akhirnya menjemput.
Pada hari-hari lain, malam-malam lain, memang
pernah begitu. Tapi tidak untuk malam ini. Malam khusus
ini biarlah kunikmati sendiri penuh kesantaian dan
kesadaran. Itu sebabnya ponsel sudah kumatikan dua puluh
menit lalu.
Hangat anggur membuatku ringan, nyaman. Oh,
sialan, tadi terlintas soal cerutu. Aku bukan perokok, tak
tahu nikmatnya, dan aku bukan pula pencerutu, bukan
penikmat asap tanpa menelan.
Aku tak becermin tapi aku tahu wajahku memerah saat
teringat cerutu. Dalam kebersamaan di tempat tersembunyi,
suatu kali cerutu menjadi bagian dari kenakalanku dan dia.
Kutirukan yang pernah kulihat di Zeedijk, Amsterdam.
Tonggak seperti terkikik-kikik nakal kegelian dan
mencubitku. Aku menengok. Kudengar tawanya, tak keras.
Pasti dia melihat rona tersipuku yang berhias senyum.
Baru setengah sepuluh malam. Aku berdiri, mendekati

46 Antyo Rentjoko
jendela, menutup tirai. Tak menarik melihat keluar untuk
mengamati pembangunan apartemen dan mal baru di
sebelah. Kemarin-kemarin, lima menit melihat crane
bekerja malam hari itu adalah selingan bagiku. Kadang
aku merasa operator crane di ketinggian itu seperti aku:
sendirian, dan mungkin kesepian, di tengah ingar bingar.
Tirai tertutup. Meski di luar hitam terasa juga bahwa
tertutupnya tirai membuat ruang kecilku jadi agak terasing.
Bukan bagian dari geliat kota. Mungkin karena TV mati.
Mungkin karena radio mati. Mungkin karena mini-hifi
mati. Tapi aneh, aku menikmati sepi ini.
Sepi yang terus merambat bersama jarum jam.
Kurasakan tonggak, yang hadir setahun sekali, itu mulai
dibuai kantuk.
Bisikan hatiku kian kuat, berwujud tanya, kenapa dia,
yang kunantikan ucapanya, tak menyapa walau sekadar
melalui SMS?
Kubenamkan tanya itu sebisanya ke dalam kantong
gelap diriku. Berulangkali akhirnya berhasil. Lalu aku ke
kamar. Ganti baju. Aku kenakan yang baru kubeli pekan
lalu tapi belum aku anyari, si hitam terawang baby doll
three piece lingerie. Untung tonggak sudah tidur. Aku malu
jika dia menanya kenapa lagi-lagi ada crotchless thong,
ibarat pintu yang mempersilakan itu.
Aku juga malu jika tonggak melihat aku tak segera
menghapus rias tipisku dan mencuci muka.
Belum, belum terlalu malam. Pergantian hari masih

Kedai Merahh 47
jauh. Tapi kantong gelap tak lagi sanggup menahan isi.
Apakah aku menangis karena kurasakan mataku basah?
Dia tak kunjung mengirimkan ucapan meski hanya SMS
sekali kirim dan mestinya malah bisa lebih dari sekadar
SMS misalnya menelepon barang semenit.
Aku tak ke kamar. Aku memilih di sofa jingga saja. Lalu
beranjak, ke jendela, membuka lagi tirai dengan harapan
tak lama lagi ada sinar Mentari. Lampu sudut berbalut linen
yang diperlengkapi dimmer dan tadi aku redupkan, satu-
satunya yang masih menyala, pun aku matikan.
Biarlah aku menjemput diriku sendiri, untuk
kuterbangkan ke langit malam, meraih gumpal demi gumpal
mendung, meremasnya agar menjadi gerimis, dan akhirnya
nanti akan kurenggut halilintar yang membakar semuanya,
sampai aku tak tersadar barang sejenak, sehingga aku tak
tahu apakah hanya melenguh atau menjerit kecil.
Aku baru menjemput diri, masih awal, belum
menyapa mendung penggerimis, masih jauh dari petir.
Seperti malam-malam lain, di luar hari jadiku, aku akan
menjalaninya sepenuh rasa.
Lengan crane di luar jendela bergerak pelan,
terprogram, dengan lampu-lampu halogennya, seperti
mencoreti malam di sebuah kota yang tak pernah tidur.
Akalku masih berbisik, mengingatkanku untuk
memaklumi. Malam ini dia merayakan ulang tahun kedua
puluh perkawinannya.
Aku tak ingin mengusik kehidupan keluarganya. Ada

48 Antyo Rentjoko
wilayah tak berpagar yang aku jaga bersamanya, sejak
enam tahun silam. Tetapi tahun depan aku empat puluh,
masihkah jalinan tanpa kejelasan ini berlangsung? Jalinan
tak jelas namun setara, karena aku bukan simpanan, bukan
bagian dari pos penting pengeluarannya, tapi aku dan dia
selalu bersembunyi. Di depan khalayak seperti teman akrab
biasa. Tanpa kemesraan. Demi keluarganya.
Lipatan tersembunyi dalam kantong gelapku akhirnya
tak tahan. Khazanah umpatan di dalam terlontar, tapi
bukan menyumpahi siapapun, dan yang tabu terucapkan
sehari-hari, bukan kata-kata klinis yang ensiklopedis,
mulai menguar liar. Overtur pun terbangun.
Malam ini, seperti sejumlah malam-malam lain
sebelumnya, aku ingin membebaskan diri dan memanjakan
diri. Biarlah tonggak tertidur, karena memang itu yang
kuharapkan.
Crane di luar jendela, yang kadang bergerak tertegun-
tegun itu, akan mengiringi perjalananku menjemput diri,
membakar diri, sampai akhirnya tinggal arang beku yang
tercelup ke dalam telaga kelegaan. Semuanya di tengah
kesendirian.

Kedai Merahh 49
50 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 8

Anak-anak
Jakarta itu...

Saya tetap menyebut mereka anak-anak. Dalam bahasa


Jawa tentu saya katakan "bocah-bocah". Padahal mereka,
lima anak saya itu, sudah punya anak.
Oh ya, perlu saya beritahukan bahwa cucu terkecil saya
baru tiga tahun. Malah cucu saya dari anak sulung itu tiga
bulan lagi menikah. Kalau cucu perempuan saya itu tidak
mengikuti orang lain yang menunda kehamilan, mungkin
tahun depan saya sudah punya cucu buyut.
Bisa saja Cenil, panggilan cucu saya itu, nanti seperti
anak-anak Jakarta segenerasinya yang tak ingin cepat punya
anak padahal sudah menikah karena ingin melakukan
banyak perjalanan wisata. Begitulah cerita yang sering saya
dengar.
Maaf pengantar saya terlalu panjang.

Kedai Merahh 51
Kembali ke soal cucu, ya. Saya tak tahu apakah
nanti saya juga menyebut cucu buyut saya sebagai anak-
anak, tepatnya anak-anak Jakarta, seperti saya menyebut
orangtua dan kakek-nenek mereka. Salah satu nenek
mereka adalah saya, yang mendapat nama baru akibat cucu
ketiga saya, empat tahun silam, belum dapat mengeja Mbah
Putri melainkan Mbah Uti. Jadilah saya Mbah Uti. Itulah
panggilan anak-anak Jakarta untuk saya, tapi bagi saya
bukan soal.
Saya menyebut mereka sebagai anak-anak Jakarta
ketika saya berbicara dengan pembantu saya, ngobrol
dengan tetangga saya, berbincang saat arisan, dan saat
rewang1) kalau ada perhelatan.
Saya sebut mereka anak-anak Jakarta karena tinggal di
Jakarta. Hanya jika menyangkut anak per anak maka saya
menyebutnya anak-anak Gandaria, anak-anak Kemayoran,
anak-anak Kelapa Gading, anak-anak Serpong, dan anak-
anak Pondokgede.
Untuk saya, semuanya itu di Jakarta; sama seperti
umumnya kami, orang Temanggung, kota yang jauh dari
lapangan terbang di Yogya maupun Semarang, menyebut
semua wilayah di Jabodetabeksertangsel sebagai Jakarta,
kecuali yang jelas-jelas kentara sebagai wilayah Kota

1)   Artinya membantu. Dalam masyarakat tradisional Jawa juga berarti kegiatan
membantu dapur keluarga lain yang sedang punya hajat, misalnya menikahkan
anak. Biasanya dilakukan oleh ibu-ibu, yang masing-masing berbekal pisau sendiri.
Kegiatan sosial ini cenderung menyusut seiring penetrasi katering (jasa boga) dan
gedung sewaan.

52 Antyo Rentjoko
Bogor.
Maaf saya bertutur terlalu banyak, mungkin karena
saya pensiunan guru, tepatnya guru IPS di SMP.
Saya menyebut mereka anak-anak Jakarta juga karena
kami, tepatnya saya, membutuhkan pembeda berdasarkan
kediaman. Tiga anak saya, bawaan almarhum suami dari
istri pertama yang sudah lebih dahulu berpulang, tetap
tinggal di Temanggung; yang dua menjadi guru dan yang
satu menjadi pegawai pemerintah kabupaten.
Di manakah saya sekarang?
Dalam usia 67 saya masih dikaruniai kesentosaan
yang lumrah untuk perempuan seusia saya. Maka selama
seminggu ini saya di Serpong. Dua hari sebelum hijrah ke
Serpong, saya di Kelapa Gading.

Kedai Merahh 53
Kami, maksud saya termasuk anak-anak dan menantu,
cukup terbuka mendiskusikannya. Tak mungkin saya
berlama-lama di apartemen anak keempat, kakak dari si
bungsu (putri saya itu adalah anak yang terakhir menikah ),
yang anak perempuannya baru dua tahun. Saya tidak tahan
di pagupon2) yang tak punya halaman, karena rasanya
seperti tinggal berlama-lama dalam hotel, atau malah
rumah sakit, dan ketika membuka pintu yang tampak
hanyalah koridor.
Saya lebih nyaman tinggal di rumah kecil tapi punya
halaman, ketika membuka pintu disambut sepetak latar
(isinya hanya pot bunga, tak mungkin menanam pohon
mangga atau jambu), dan langsung ikut merubung gerobak
penjual sayur yang setiap pagi berhenti di depan tetangga
kiri. Dulu rumah si sulung, yang sekarang di Gandaria,
kecil seperti itu, di Tangerang sana.
Maafkan saya, terlalu banyak yang saya katakan.
Tetapi anak-anak saya maklum, begitu pula menantu saya.
Hanya sebagian dari sebelas cucu, termasuk yang belum
bisa bicara, yang sering kurang sabar, sehingga sering
memotong, misalnya, “Terus gimana dong, Mbah Uti? Tadi
masalahnya apa? Hayooo... lupa ya?”
Ah, namanya juga anak-anak Jakarta, maunya
serbaringkas dan cepat, tapi tahan berjam-jam di depan
komputer.

2)   Rumah burung dara yang bersusun, setiap dek memiliki beberapa lubang.

54 Antyo Rentjoko
Jadi, saya ulangi supaya jelas, saya sedang di Serpong,
di rumah anak saya yang kedua. Kemudian nanti pindah ke
rumah anak berikutnya supaya merata.
Bisa satu setengah bulan saya di Jakarta. Semoga tahun
depan saya masih kuat untuk kembali lagi ke kota yang
orangnya terburu-buru, mudah gusar, dan sibuk dengan
urusan masing-masing ini. Oh ya, Jakarta yang maju ini
melemparkan warganya ke masa lalu, seperti di luar kota-
kota kawedanan di Jawa, karena orang-orangnya berangkat
kerja kota utama sangat pagi, kadang sebelum Matahari
menampakkan diri. Bedanya, Jakarta lebih mentereng dan
makmur.
Di Jakarta, satu setengah bulan kunjungan saya
berlangsung singkat karena waktu seperti berlari estafet
penuh gegas tanpa kesudahan, sehingga kalender lekas
disobek.
Di Temanggung itu waktu berjalan wajar, tidak cepat
tidak lambat, karena Matahari, misalkan langit cerah,
tahu diri seberapa lama pantasnya menghangati Bumi. Di
Temanggung tak ada pagi lalu tiba-tiba malam.
Meskipun begitu, selama sepuluh tahun terakhir,
dengan setahun sekali ke Jakarta, dan seiring perkembangan
kesejahteraan anak-anak maupun pertumbuhan cucu,
maka kunjungan saya pun makin lama, dan saya dapat
lebih mengakrabi Jakarta. Salah satunya adalah tidak bisa
mendadak bertamu ke rumah orang, termasuk anak sendiri,

Kedai Merahh 55
tanpa kangsèn 3).
Tentu akhirnya saya juga paham kenapa umumnya
rumah-rumah orang Jakarta kurang mengutamakan
ruang tamu karena jarang menerima tamu. Akhirnya saya
paham, menerima banyak tamu di rumah itu tak hanya
merepotkan dalam urusan dapur dan cuci piring (padahal
ada pembantu), tetapi juga merepotkan tetangga karena
mobil para tetamu akan memenuhi jalan, menghalangi
regol mereka.
Hanya kalangan dekat dan terbatas yang bisa bertamu
lebih dari tiga puluh menit. Tamu yang dekat tidak ngobrol
di ruang tamu tetapi di meja makan. Padahal anak-anak
saya, ya anak-anak Jakarta itu, tumbuh di Temanggung,
dari TK sampai SMA. Jarang sekali ada tamu yang ngobrol
di meja makan. Meja makan dengan taplak batik, atau
kain sulaman, yang dilapisi plastik itu, hanya dipakai saat
makan. Peruntukan sesuai nama, yakni meja makan.
Ketika anak-anak masih bersama saya, mereka saya
larang menonton TV dari meja makan. Tentu kalau salah
satu anak ingin belajar atau mengerjakan tugas sekolah,
misalnya membuat peta atau hasta karya, maka meja makan
boleh dipakai karena nyatanya setelah semua makan maka
meja itu bersih.
Ah lagi-lagi saya bercerita terlalu panjang. Maafkan
saya.

3)   Janji untuk bertemu atau melakukan kegiatan bersama.

56 Antyo Rentjoko
Maka baiklah, sekarang saya coba bercerita secara
ringkas saja. Sore ini, hari Sabtu, masih pukul empat, saya
sudah bersiap. Sebentar lagi berangkat.
Barusan Hanny, menantu saya, memastikan pesanan
tempat melalui handphone ke rumah makan baru, khusus
menu vegetarian, di... mana ya? Saya lupa. Pokoknya di
tengah kota, sejauh 30 kilometer dari Serpong. Anak-anak
sudah mengatur jadwal dua hari lalu agar kami dapat
makan malam bersama.
Hanny memang menantu yang cakap, cekatan, dan
tangkas. Pantaslah karier dan peruntungannya sebagai
sekretaris bagus.
”Sudah beres semua, Bu. Paling lima menit lagi si Joko
datang pakai motor, lalu kita berangkat,” katanya. Lalu dia
minum air putih.
Oh, lupa saya jelaskan. Joko adalah sopir pocokan
keluarga Hadi dan Hanny. Si Hadi, anak saya, masih ada
tugas ke Cayman Island. Katanya sih mengurusi duit
orang-orang kaya yang dipakai selayaknya mainan oleh si
empunya. Ah, bukan urusan saya. Yang penting anak saya
tidak akan dikecrèk4) oleh KPK.
Dua teguk air segar telah menyegarkan Hanny. Lalu
dia duduk di samping saya, memegang pergelangan saya,
“Ibu beneran?”
Saya tersenyum, “Lha nyatanya barang-barangnya Ibu

4)   Dari kata kecrèk, artinya borgol

Kedai Merahh 57
sudah kamu masukin mobil kan?”
“Iya tapi...”
“Kenapa kok tapi...”
“Aneh aja rasanya, tapi kalau ibu sudah bulat ya anak-
anak bisa apa? Masa sih Bu, serah terima kepindahan Ibu
di resto? Waktu berangkat Ibu sama kami, lantas di tengah
perjalanan Ibu dioper. Kok kayak naik bus aja.
“Tadi barusan teleponan dan SMS-an sama anak-anak
lain, dan kami sepakat kalau kepindahan bisa ditunda
kapan saja, yang penting malam ini ketemuan, makan
bersama, senang-senang.
“Bisa di-cancel kan, Bu? Wandi memang sudah siap
menyambut Ibu, benang-benang wol impor buat nyulam
sudah dia pesankan via internet, tapi dia yang ngotot kalau
minggu depan bisa njemput ke sini, bukan serah terima di
resto setelah makan malam selesai, Bu.”
Saya lihat harap dan pinta, dan terlebih lagi ketulusan
dalam sorot matanya. Saya memercayai anak-anak saya
dan menantu-menantu saya. Termasuk Wandi dan Jenny,
anak dan menantu saya yang di Pondokgede.
Saya terharu sambil menahan tawa. Saya merasa amat
santai; kalau menirukan perkataan cucu-cucu maka saya
enjoy, tanpa beban.
“Gimana, Bu?”
“Lho bukannya kalian mestinya senang karena Ibu
malah lebih rasional, tahu mana yang praktis dan efisien,
sesuai dengan kehidupan Jakarta?”

58 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 9

Sang Doktor

“Doctor, are you going home tonight? Hihihi...,”


kudengar Rima menelepon bapaknya sambil cekikan.
Doctor. Tepatnya doktor, bukan dokter, justru
terlontar dari bapaknya anak-anak. Itu singkatan “mondok
di kantor”.
“Ah, guyon jayus,” kataku enam bulan lalu, sambil
menahan tawa, saat kami sarapan hari Minggu, kesempatan
langka, cukup seminggu sekali.
“Oke. Panggil aja aku Doktor Jayusman, hahaha...,”
sahutnya.
“Namaku aku ganti jadi Rima Kenanga Jayusman aja,”
kata si sulung.
“Kalo aku lebih lengkap” kata adiknya. Serentak kami
bertanya, “Apa?”

Kedai Merahh 59
“Teja ‘Teddy’ Turangga Jayusman Basiwan Garingan.”
Kami terbahak-bahak. Rima sampai tersedak.
Mas Marwan, orang yang sedang dibahas itu, tertawa
berkepanjangan sampai keluar air matanya dan kian tipis
suaranya. “Untung Basiwan, bukan Basiyo,” katanya.
“Siapa itu Basiyo, Pak?” tanya Teddy.
Seperti biasa, jika menyangkut masa lalu, apalagi untuk
hal yang dikuasainya, Mas Marwan bisa menjelaskan secara
ringkas dan sekaligus bernas. Apalagi cara dia mengutip
lelucon Basiyo, yang naif dan garing untuk ukuran sekarang
(Mas menyebutnya “dhagelan kéré”), memang pas banget.
Padahal mungkin ngarang. Misalnya, “Lha wong saya ndak
nyuri sapinya, cuma ngambil talinya.”
“Jadi, kesimpulannya, nama Bapak sekarang Doktor
Basiyo,” kataku, setelah tanpa aba-aba berbagi tugas
memberesi meja.
“Dan ibu kalian jadi Bu Basiyo. Sayang benar nama
indah Ratri Wulandari itu.”
Yah, pagi yang menyenangkan. Karena doktor jarang
di rumah. Dua bulan setelah dia keluar dari pekerjaaannya
pada perusahaan penerbit yang dia renangi selama tujuh
belas tahun itu, dengan alasan soal hati, Mas Marwan
bertemu beberapa teman baru dan membuat perusahaan
jasa komunikasi. Sudah dua tahun dia mencoba berbisnis
sendiri.
Karena masih merintis usaha maka satu orang
menjalani multitugas. Mas Marwan tak punya waktu untuk

60 Antyo Rentjoko
pulang. Demi kesehatan, karena paginya harus presentasi
ke calon klien, bahkan sesekali mengajar hal ihwal media
di bekas kantornya, maka dia memilih tak menempuh jalur
pulang sepanjang 37 kilometer.
Aku sih memaklumi. Meski pendapatan jauh
berkurang, amat sangat jauh nian, dia tampak bergairah.
Lebih hidup.
Kelihatan betul kalau dia menikmatinya. Seakan dia
kembali masa mahasiswa ketika kreativitasnya masih
meluap-luap, begitu pula nafsunya untuk selalu belajar hal
baru secara otodidak.
Semangat hidup itu yang melegakan. Wajahnya
bersinar. Seperti bocah yang mendapatkan sepaket mainan
baru model rakitan yang kompleks tapi mengasyikkan,

Kedai Merahh 61
hingga terus berasyik diri selama berbulan-bulan.
Jika bicara soal kesepian, terutama diriku, ah...
pastilah. Tapi ini semua toh tidak mendadak. Karena dulu,
ketika masih menjadi jurnalis, dia juga kadang tak pulang,
atau tiba di rumah ketika loper koran sudah berkeliling
membagikan peristiwa kemarin.
Tidak mendadak. Aku sudah terbiasa dan harus
lebih membiasakan lagi karena sekarang kian mendoktor,
memiliki laboratorium pribadi yang jauh dari rumah.
Semuanya itu proses. Kami pacaran sejak usia lima
belas (benar!), lalu menikah pada usia dua puluh lima. Aku
dan dia merasa sudah saling mengenal dengan baik.
Sekarang kami berempat. Rima sudah menjadi gadis
dewasa dua puluh tahun. Tapi Teddy masih ABG tiga belas
tahun dengan pita suara yang mulai meleset dari trek.

•••••

“Hmmhhhh... cepet banget waktu berjalan ya, Rat.


Tahu-tahu anak sudah besar. Butuh biaya lebih dan makin
lebih,” katanya suatu malam, kira-kira sebulan setelah
penganugerahan gelar doktor di meja makan itu.
“Emang iya, Mas. Wajar kan?”
Aku memanggilnya Mas setelah kami menikah.
Tepatnya tujuh hari setelah menikah. Itu karena
keinginanku, bukan atas kemauannya. Dia sih tetap
memanggilku Rat, dan kadang Ndhuk. Malah dia, sebelum

62 Antyo Rentjoko
Rima lahir, ingin agar anak-anaknya hanya memanggil
bapaknya sebagai Marwan atau Wan saja. Tentu saja aku
tolak.
“Mungkin karena kita hidup di Jakarta, waktu berjalan
cepat.”
“Sudah gitu Mas jadi doktor pula. Buat Mas semuanya
jadi cepat.”
Dia menumpangkan tangan di bahuku. Seperti memijit
dengan lembut. Lalu sambil menoleh ke arahku dia katakan,
“Rasanya baru kemarin potong kuku, eh udah panjang lagi.
Rasanya baru tadi pagi cukur kumis ama jenggot, eh udah
kasar lagi sorenya.”
Kami bertatapan. Sama-sama tersenyum. “Kalo
buatmu,” katanya, “mungkin kayak dulu, rasanya baru
minggu kemarin dapet eh udah dapet lagi.”
“Hush! Sembarangan! Itu buatmu, bukan buatku.
Perempuan selalu sadar kalender, Mas!”
Dia juga tertawa.
Tapi aku langsung menyela, “Bentar, yang Mas maksud
dapet itu siapa? Aku atau... ya itu tuh?”
“Kamu dong. Mana tahu aku jadwal orang lain. Eh, itu
tuh? Siapa?”
“Bo’ong.”
“Ngapain bo’ong?”
“Nggak percaya.”
“Aku kan laki-laki. Nggak peduli jadwal. Kalau diajak
berarti yang ngajak lebih ngerti kapan saat yang tepat

Kedai Merahh 63
buat...”
“Buat apa?”
“Nggak.”
“Iya!”
“Siapa sih mau sama aku? Gigi tambah jelek, rambut
makin tipis, perut tambah maju. Tenang sajalah, Ndhuk...”
Sempat terlintas seleret kilat dalam ingatanku tentang
seseorang yang sempat aku anggap faktor pengganggu.
Perempuan yang aku kenal baik, tujuh tahun di bawahku,
bahkan kami dulu sering pergi berdua, termasuk ketika
belanja pakaian dalam, dan ketika tiba di indekosan kami
tanpa canggung membuka belanjaan di depan Mas Marwan.
Perempuan yang mulanya tak aku cemburui, bahkan ketika
di kamar ganti bisa dia bercanda, “Kalo liat aku pake ini,
Mas Marwan bisa lupa diri. Hihihi...” Kuakui tanpa iri
apalagi dengki, tubuhnya memang bagus. Proporsional.
Lehernya jenjang. Rambut lurus panjang, sejengkal di atas
pinggang. Punggungnya mulus. Putih bersih.
Mmmm... ingatan sekilas itu. Terang seperti kilat di
kejauhan. Tak terlampau menyilaukan.
Sama kilatnya dengan ingatan tentang apa saja yang
membuatku cemburu karena dia, perempuan itu, secara
tersamar mengaku sudah beberapa kali (apa? beberapa?
bukannya sering?) menuntaskan apa yang pernah menjadi
fantasinya sebagai gadis muda, setelah meminjam
serangkaian buku dan majalah, dan juga video, milik Mas
sebelum era internet. Aku tahu fantasinya: memetik bunga

64 Antyo Rentjoko
kedewasaan di taman hijau berkolam jernih, merasakan
segarnya embun pagi rerumputan, membaui aroma cemara,
terpijat telapak kakinya oleh kerikil-kerikil bersih, dan
memunguti daun kekuningan yang gugur padahal belum
kering. Huh, pendeknya serangkaian hal yang mestinya
hanya aku yang menempuhnya bersama seorang Mas
Marwan.
Apalagi saat itu, saat belum punya anak, bahkan
sebelum aku menikah, Mas Marwan masih gagah dan tegap,
karena dia rajin jogging dan suka basket – suatu hal, yang
oleh perempuan berkulit putih bersih karena asal muasal
itu, dikatakan sebagai sosok pejal berkulit tembaga yang
kian memikat karena peluh berkilat.
Dia. Perempuan yang jujur mengakui galau malamnya
saat tak dapat tidur karena aroma jantan sore hari yang
menguar dari pejal berkulit tembaga setelah basket. Bau
yang disebutnya khas dan aneh tapi mendesakkan sesuatu
yang asing dan menggelisahkan, pun melenakan, dari ruang
terdalam di tubuh sesosok betina.
Tapi waktu menyembuhkan luka. Mungkin aku wanita
tradisional, yang menenggang apapun yang dilakukan
suami di luar rumah. Atau mungkin aku sengaja membius
diri, lebih baik tidak tahu daripada tahu akhirnya hanya
menyakiti diri?
Sekarang aku memaafkannya. Bukan sekarang. Sudah
lama. Lama sekali. Bahkan kini aku kangen kepadanya.
Sudah lima belas tahun tak berjumpa. Tapi aku yakin Mas

Kedai Merahh 65
Marwan beberapa kali berjumpa.
Lamunan sekilas selalu berjalan cepat dengan jejalan
ribuan kata yang melebihi hajaran juru ketik tercepat
manapun, atau berondongan robot perangkai kata
manapun.
Meski sebentar, Mas Marwan tahu apa yang terlintas
di benakku. Tapi dia diam, melihat ke arah jendela, sambil
membelai rambutku.
“Dia sekarang gimana kabarnya, Mas?”
“Dia siapa, Ndhuk?”
“Halah, pake pura-pura. Itu... anggrekmu,” kataku lalu
menjulurkan lidah.
“Masih tetep melajang. Nggak pengin kawin. Dia cuma
pacaran saja.”
“Masih cantik kan? Dia nggak ada di Facebook sih,
jadinya aku nggak tahu.”
“Masih. Juga tetep seksi. Slim, firm, fit. Apalagi setelah
jadi vegetarian dan instruktur yoga. Bulan kemaren dia
muncul di majalah wanita STW... Pake foto segala.”
“Mas suka dong?”

•••••

Tentang dia, si anggrek itu, bukan lagi soal bagiku.


Juga tentang anggrek lain, ungu atau putih tak penting,
yang aku dengar, aku tahu tanpa sengaja, atau ehmmm...
karena prasangkaku yang aku yakini sebagai naluri tapi tak

66 Antyo Rentjoko
perlu aku tindak lanjuti dengan investigasi.
Aku mengenal Mas dengan baik sejak aku masih
memanggilnya Wan saja. Sedari pacaran aku tahu dia
kadang terpeleset. Karena tergoda. Padahal dia bukan
playboy, tak gampang membuai wanita dengan kemesraan
dan kehangatan karena masih banyak cowok yang lebih
menarik bagi cewek-cewek. Bahaya hanya muncul jika ada
lawan jenis kian akrab dan kagum. Aku tahu kelemahan
perempuan. Pada tahap kesekian, tak perlu jauh, pesona
ragawi pria bukan lagi urutan pertama daya tarik – hanya
bonus yang sebisa mungkin dirawat dan diawasi agar tak
dicicipi oleh pesaing.
Tentang naluri, aku merasa bahwa angin, bukan kabar
angin yang ditiupkan orang-orang, telah berbaik hati dengan
mengirim getar lembut isyarat. Tak dapat kuperikan apa
isyarat itu tapi aku merasakannya. Bukan yang pertama.
Dulu-dulu selalu terbukti benar meskipun tak sampai ke
rincian.
Sekarang? Mondok di kantor. Lalu pindah sebentar
ke hotel, atau motel, atau guest house, atau apartemen,
atau paviliun, atau malah kamar kos, adalah sesuatu yang
mudah dan sederhana. Toh aku juga jarang mengecek ke
telepon kantornya karena aku lebih sering mengontak
ponselnya, dan kadang juga melalui Yahoo! Messenger, atau
pesan pribadi di Twitter – oh ya, kami jarang menggunakan
Facebook untuk berkomunikasi.
Angin pembawa isyarat tak pernah kutunggu,

Kedai Merahh 67
tak pernah kucegat. Tapi ketika dia melintas aku tak
menjauhinya apalagi menghalaunya, tak juga menahannya
berlama-lama apalagi memenjarakannya. Alami saja.
Ini soal bahasa hati. Dan mungkin juga kelonggaran
seorang istri yang lahir dari lingkungan abangan keluarga
batik di Solo, yang mengenal kata-kata bersayap, “Ngono ya
ngono ning aja ngono.”
Begitu ya begitu, silakan saja, asal jangan sampai
keterlaluan. Sebuah ketidakjelasan yang justru menjadi
ujian penimbang rasa dan penakar nalar dari masing-
masing pihak dan setiap pasangan.
Aku tidak cemburu. Tapi tadi sore Rima bertanya,
“Bu, apa Bapak punya pacar? Kok rasaku gitu ya. Maaf, Ibu
jangan marah... Ini kelepasan kok. Becanda aja. Kangen
ama Bapak...”
Aku hanya tertawa kecil. Seingatku aku menegur
lembut, “Ah kamu. Ada-ada saja. Ibu kenal Bapak kok,
Rim...”
Aku ingat satu hal meskipun ini bukan buah
kesepakatan. Mas katakan sejak pacaran bahwa lebih baik
nakal selagi muda ketimbang nakal saat tua; jangan sampai
ketika anak-anak sudah besar, bapaknya masih nakal
karena waktu muda sok alim. Apalagi nakal dengan cewek
sebaya anaknya.
Besok, tepatnya seperempat jam lagi, sudah hari
Kamis. Mas masih di kantor. Besok dia genap berusia lima
puluh. Anak-anak sudah besar.

68 Antyo Rentjoko
Kubuang pandanganku dari TV. Kuraih cordless phone
di ujung sofa. Dia sendiri yang memasukkan hotline di meja
kantornya ke dalam memori pada handset. Seingatku belum
ada sepuluh kali, malah mungkin cuma enam kali selama
dua tahun, aku menghubunginya dari telepon rumah. Tapi
tak pernah, tepatnya belum pernah, aku meneleponnya
menjelang pergantian hari – saat dia masih beruap penuh
gagasan atau justru sudah tertidur pulas untuk kemudian
terbangun pukul setengah empat pagi.
Oh! Saat aku tak mau mengganggunya itu. Adakah dia
selalu di kantor? Se-la-lu?
Ini bukan soal aku diperdayai oleh kepercayaanku
sendiri lalu aku sesali. Ini soal desakan dari bilik di sudut
hati yang sekian lama pintunya aku gembok rapat-rapat,
atas nama akal sehat dan juga kecongkakan diri. Di dalam
bilik ada boneka imut bernama rasa ingin tahu.
Handset masih aku pegang. Kutatap lagi layar TV yang
aku lupa sejak kapan tayangannya berpindah ke saluran
olahraga yang tak pernah kutonton itu.

Kedai Merahh 69
70 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 10

Mister Blogger

Seorang kawan mengabarkan itu. Saya ingat itu


disampaikan awal tahun ini, kira-kira pertengahan Januari.
Dia katakan bahwa ketersesatannya di mail-archive.
com memberikan temuan menarik. Entah penerusan
dari mana, seorang anggota milis menimpakan teks yang
disalin dari e-mail saya ke dalam sebuah thread yang
mempergunjingkan bloggers.
Saya lupa siapa yang balasi e-mail waktu itu, tiga tahun
lalu, tapi saya ingat itu memang tolakan saya.

“Terima kasih atas kepercayaan dan harapan Anda.


Tetapi mohon maaf keinginan Anda tak dapat saya
penuhi. Salam, Mister Blogger.”

Kedai Merahh 71
Itulah yang saya tulis. Pendek.
Saya menolak tawarannya untuk membuat posting
bagi kepentingan kliennya, yang isinya adalah menjelek-
jelekkan kompetitor.
Saya tak bertanya apakah jenis produknya apalagi
mereknya. Bukan urusan saya. Biarlah itu jadi jalan rezeki
dia.
Tapi tetap saja aneh bagi saya. Orang bukannya
menitipkan produk untuk ditulis secara positif – artinya ya
memuji-muji, syukur kalau tak kentara – tapi orang minta
seorang blogger, dalam hal ini saya, untuk menyerang
pihak lain.
Saya pikir persoalannya selesai. Ternyata tidak.
Dia mengirim e-mail lagi, tetap dengan akun berdomain
kantornya, sebuah perusahaan komunikasi pemasaran
yang kurang dikenal, bahkan sayup terdengar pun belum.

“Oh gitu ya, Bos? Mentang2 udah top lantas gak mau
terima order. Padahal ini baru langkah awal. Kalo
kerja sama kita ini oke, proyek berikutnya mengalir.
Asal tahu aja, beberapa bloggers lain sudah bekerja
sama dengan kami. Kalo pengin tahu siapa aja
mereka, kita bisa kopdar sembari ngopi.”

Saya pun membalasnya tetap dengan cara yang


santun:

72 Antyo Rentjoko
“Terima kasih. Namun dengan menyesal saya katakan
lagi bahwa saya tidak dapat menerima tawaran
Anda. Salam.”

Ada-ada saja cara orang berjualan. Empat bulan lalu


saya menerima tawaran agar memasang spanduk digital
di blog saya dan membuat advertorial tentang cara meraup
uang melalui blog. Kemudian si pengirim bertanya,

"Kalau boleh tahu berapa tarif di blog Bapak?"

Dengan sopan saya tolak permintaan itu:

“Terima kasih atas kepercayaan Anda. Hanya saja

Kedai Merahh 73
maaf, sampai kini kapling banner di blog saya masih
penuh, lagi pula saya kurang paham soal cepat kaya
dari blog. Coba hubungi bloggers lain.”

Balasannya,

“Boleh tahu tarif tertinggi yang pernah Bapak


terima? Berapa harga setiap banner per posisi di blog
Bapak sekarang? Saya tidak mempersoalkan trafik
Bapak tapi saya akan membayar dua kali dari yang
tertinggi itu. Ini bisnis, jadi biasa saja kalau Bapak
menulis artikel sponsor tentang produk dan layanan
yang kurang Bapak pahami.”

Jawaban saya,

“Terima kasih. Maaf saya tidak bisa. Tentang tarif,


dari banner yang terpasang, semuanya gratis karena
sebagian milik sendiri dan sebagian milik teman. Ada
juga yang gratis padahal saya tak kenal siapa pemilik
produknya, dan mereka tak minta diiklankan. Saya
memasangnya karena suka. Itu saja. Salam.”

Balasannya,

“Apa benar Anda mematok harga semauanya, hanya


ada gratis dan mahal semahal-mahalnya?”

74 Antyo Rentjoko
Petikan e-mail itu lolos ke lima milis komunitas
blogger. Komentarnya macam-macam. Misalnya,

“Biasa, blogger sok idealis. Sombong. Cuma nurutin


ati.”

Ada lagi,

“dia emang sok kaya. padahal duitnya cekak. kalahlah


duit dia sama kita yang players ini.”

Yang ini juga ada,

“Orangnya emang sok nyeniman. Tapi tengil.


Ngeselin.”

Mau tahu komentar lain? Ini dia:

“...halah sok aja dia. jangan2 dia piara banyak blog


tuyul juga. emang kita tau?”

Setelah itu tak saya lihat lagi mail-archive.com. Hanya


menambahi pekerjaan kalau saya terlalu sering mencari
tahu apa kata orang tentang saya di internet. Bisa-bisa
waktu saya habis untuk menikmatinya sampai tak sempat
membuat posting.
Ketika kawan saya yang satunya lagi, dalam obrolan di

Kedai Merahh 75
kedai tiga bulan lalu mengabarkan temuan sejenis di mail-
archive.com, saya pun tak tertarik untuk melongoknya.
Temuan sejenis. Artinya serupa dengan yang dulu. Tak
ada yang baru. Biarin aja.
Saya tetap menulis di blog-blog saya. Isinya sesuka
saya. Dengan syarat kalau saya sedang sempat dan niat.
Saya tak peduli berhala bernama Page Rank. Saya hanya
tahu cara menambah bandwitdth kalau blog saya tiba-tiba
kering karena menjadi bak air yang diserbu penimba.
Saya tetap punya pembaca setia. Sebagian dari pembaca
setia adalah penanggap setia, yang selalu meninggalkan
komentar.
Sebagian besar dari pemberi komentar adalah
bloggers juga. Hanya sedikit, mungkin dua dari sepuluh,
yang bukan bloggers, atau tak mau menyebutkan blognya
dalam tautan.
Dari yang sedikit itu ada satu yang istimewa. Dia
lebih sering mengirim pesan secara japri. Isinya pendek.
Misalnya,
“Nah yang soal SPBU itu keren.”

Bisa juga,

“Yang soal lingerie itu bikin gemes. Bulan depan


diulang ya. ;)”

Ada juga,

76 Antyo Rentjoko
“Mana nih kok belum ditulis? Udah dilompati tiga
posting lain lho.”

Atau ini,

“Kalo yang soal PLN kurang sinis. Ayo dong, nulis


lagi, yang lebih nendang.”

Beberapa kali itu terjadi. Saya harus membuat


penjelasan, dan tentu disertai permintaan maaf. Misalnya
karena saya sibuk, tapi ketika sudah sempat menulis tak
mungkin saya paksakan karena topiknya sudah basi.
Mestinya dia tahu, saya ngeblog sesuka saya. Bisa setiap
hari, bahkan sehari lima posting (malah pernah sepuluh
posting di blog yang berbeda), bisa tiga bulan sekali. Saya
orang merdeka.
Saking merdekanya, bahkan ketika sedang malas
ngeblog maka saya pun tidak menjenguk blog saya.
Akibatnya spams pun bertumpuk.
Oh, kapan ya saya terakhir posting tahun ini, padahal
dua minggu lagi sudah tahun baru? Kalau tak salah ingat 21
Juni lalu. Ah biarin aja.
Biarin. Saya malas menengok blog saya. Bahkan kalau
terlalu lama prei saya lupa password saya.

•••••

Kedai Merahh 77
Pagi yang biasa tadi itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya:
alarm pembangun harus bersitegang dengan selimut untuk
memperebutkan kesadaran saya.
Saya bangun. Karena kebelet pipis. Lalu tidur lagi.
Saya bangun, ya barusan ini, sudah pukul dua belas
kurang lima. Saya raih dan nyalakan BlackBerry untuk
melihat agenda hari ini. Tumben ingatan saya cocok dengan
kenyataan. Hari ini tak ada janji. Saya bisa menjemput
anak-anak dan istri, lalu mengajaknya ke tempat baru yang
mereka belum pernah mendatangi.
Setelah menutup agenda saya pun memeriksa e-mail
yang masuk ke dalam lima akun saya. Busyet, banyak
banget. Ada tujuh puluhan. Baiklah, nanti saja saya periksa
di desktop.
Tapi nanti dulu, saya ingin memeriksa akun e-mail
yang itu, akun khusus yang tak dibanjiri pesan masuk.
Mailbox yang itu memang untuk menampung pesan yang
ditulis di halaman kontak saya.
Dulu mailbox itu kerap menerima pesan. Tapi setelah
pengguna Facebook kian banyak, makin sedikit pembaca
yang mengirim pesan melalui halaman kontak.
Tadi saya bilang nanti dulu. Benar, ada satu e-mail
masuk. Dari itu, pembaca setia blog saya tadi, yang saya
kategorikan sebagai orang khusus karena dia sering
membuat memo khusus tentang posting saya.
Mau tahu isinya? Baca ya.

78 Antyo Rentjoko
“Mas, jangan keterlaluan kalo prei ngeblog.
Masalahnya saya kan udah transfer untuk pesanan
sepulun topik. Mas kan tahu begitu saya pesan maka
selalu transfer padahal Mas belum nulis. Rp 2-3 jt per
pesanan di blog utama Mas tuh nggak bisa dibilang
sedikit lho, apalagi kalo Mas lagi rajin, seminggu bisa
sepuluh posting.”

Huh. Sombong banget sih. Bukannya nanya kabar dulu


tapi langsung menagih. Mentang-mentang...
Saya tidak kenal dia secara pribadi. Kopdar pun belum
pernah. Selalu kontak via e-mail – dia selalu dari Gmail.
Kami tak punya nomor ponsel masing-masing.
Tentang kemasan visual dia, selama satu setengah
tahun saya sempat terkecoh oleh satu-satunya foto yang dia
kirimkan. Sosok seorang wanita berat, misalkan tingginya
150 cm maka bobot dia 98 kg. Kulitnya hitam, wajahnya
berminyak, brocel karena jejak jerawat. Rambutnya ikal,
sebahu. Usia sekitar 40. Jauh dari selera saya.
Nama dia dalam catatan transfer menggiring
keisengan saya untuk mencari tahu. Namanya punya
banyak kembaran karena saking generiknya, tapi akhirnya
saya pastikan setelah menanya via e-mail dengan sebuah
pemancing, "Gimana Mbak, Henry sudah sembuh?" Henry
itu nama seekor doberman piaraannya.
Perlu saya katakan, dan akui, dari giringan mesin
pencari akhirnya saya mendapatkan beberapa foto tentang

Kedai Merahh 79
dirinya. Langsing, putih, bermata lebar untuk etnisitasnya,
rambut lurus, tinggi hampir 170 cm (saya bandingkan
dengan sebelahnya, pria yang saya tahu siapa), dan... cantik.
Kakinya indah. Lebih penting lagi: lajang. Usianya baru 37.
Pujian saya terhadap kecantikannya tidak dia tanggapi.
Apa pekerjaannya, saya tidak tahu. Yang pasti, foto-
foto yang disodorkan oleh mesin pencari selalu bersuasana
sama: pembukaan pameran seni rupa. Dia selalu hadir
dengan gaun atau atasan berbahu terbuka. Sebuah tebar
keindahan di ruang publik. Itu amal, bukan kejahatan
sosial.
Penutup e-mail-nya,

“Semua bukti transfer, termasuk dari HP, selalu saya


buatin screenshots-nya.”

Sudah saatnya saya pensiun sebagai blogger. Tinggal


mencari-cari alasan saja.

80 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 11

Busana Ibadah

Setiap kali dia membungkuk, celana dalam gadis di


depanku itu mengintip keluar, bersamaan dengan belah
atas dari pantatnya. Aku hanya khawatir kalau-kalau dia
kentut, misalnya karena salah sarapan, sehingga gambar
Betty Boop di celana dalam itu akan menutup hidung.
Buang gas sembarangan jelas mengganggu misa.
Memang sih, sejauh aku tahu belum ada petikan dari serial
surat Paulus yang secara khusus mengatur kentut dalam
kegiatan komunal, khususnya ibadah. Tata gereja dan
liturgi1) pun tidak mengaturnya.
Hanya itu yang menjadi urusanku. Selebihnya bukan

1)   Tata ibadah gereja.

Kedai Merahh 81
bidangku. Aku berada dalam gereja itu untuk memotreti
sakramen pernikahan kedua sahabatku yang menjadi
mempelai. Bukan atas permintaan tetapi atas niat. Sebuah
kejutan kecil karena mereka tahu aku khusus datang dari
luar kota, sejauh 300-an kilometer. Mereka mengira aku
hanya datang ke resepsi – itu pun kalau aku bisa datang.
Gereja yang ini sebenarnya tak asing bagiku. Aku
mengenal beberapa gembalanya. Beberapa bekas aktivis
Mudika2)-nya pun aku kenal. Aku pernah kuliah dan bekerja
di sini.
Maka setelah acara usai, dan aku tak menyusul
mempelai ke rumah pihak perempuan karena nanti sore
pasti berjumpa lagi di gedung resepsi, aku ngobrol dengan
beberapa orang.
Romo Astono, yang aku kenal likuran tahun sehingga
sampai sekarang aku memanggilnya sebagai Mas Romo,
hanya tersenyum ketika aku tanya kenapa anak sekarang
berangkat misa dengan pakaian yang aneh.
Ya, dia tersenyum karena kenal aku. Perbedaan gereja
bukan masalah. Jangankan soal aliran, aku tahu pastor
Jawa alumnus Universitas Santo Thomas Aquinas, Roma,
ini berkawan lintas-agama. Minggu depan dia berdiskusi
dengan beberapa anak muda Islam di Yogyakarta.
“Saya tahu, njenengan itu selalu berpakaian santai,
kadang cuma bersandal dan bercelana pendek. Tapi saya

2)   Muda-mudi Katolik. Nama wadah kepemudaan di setiap paroki.

82 Antyo Rentjoko
juga tahu, njenengan itu kalau ke gereja njenengan –
© hak cipta gambar jins: girlsgonegod.com

maksud saya dulu dan semoga sekarang masih – selalu


berpakaian rapi.”
Kemudian dia melanjutkan, sambil menengok sepatu
sandalnya, “Saya kalah rapi lho dari njenengan.”
Aku tertawa, “Hahahaha! Dulu Taman Siswa dan
seminari punya persamaan di sepatu sandal.”
Dia pun tertawa. Lalu dia meraba kemeja linenku yang
berkerah separo, “Bagus ini. Keren lho. Saya punya dua
yang seperti ini, dikasih adik saya.”
Selebihnya dia membicarakan hal lain yang ringan,
ramah, dan kocak. Tapi karena aku tak puas maka
kelancanganku bertambah takaran, “Apa karena tadi itu

Kedai Merahh 83
anak-anak dari luar paroki sini, Mas Romo?”
Lagi-lagi dia hanya tersenyum. Saat itu beberapa
cewek remaja melintas, mengucap salam kepada Romo.
Anak-anak itu memakai pants dan tank tops – padahal
kota ini bukan termasuk kota gerah pemeras peluh. Maka
aku pun hanya bisa membelokkan masalah, “Iya, ya, gereja
terdekat adalah parokiku.”
Kami tertawa bersama, tapi pelan. “Gereja yang Kudus
dan Am,” guraunya, sambil mengedipkan mata. Kami
menahan tawa sambil menutupi mulut masing-masing.
Gereja-gereja Protestan menggunakan kata “am” dalam
sahadat atau kredo atau Pengakuan Iman Rasuli, sedangkan
gerejanya Romo ini menggunakan “Gereja Katolik yang
Kudus”.
Romo masih ingat gurauanku dua puluh tahun silam,
“Am juga berarti banyak denominasi. Setiap Minggu ada
gereja baru gara-gara setiap orang menemukan kebenaran
baru. Maka lihatlah di warung-warung yang dikunjungi
orang sepulang dari gereja: Alkitab orang Protestan itu
kumal, dan penuh coretan Stabilo.”
Dengan Mas Romo aku bebas berdiskusi. Dengan cepat
dia menggunakan kata "jemaat" jika menyangkut gereja
Protestan, dan aku pun secara otomatis memakai kata
"umat" jika menyangkut gereja Katolik.
Denominasi. Sesungguhnya aku tak paham benar.
Apalagi tadi Romo bergurau, “... dulu dan semoga sekarang
masih...”. Romo tahu aku abangan. Apalagi sekarang.

84 Antyo Rentjoko
Tapi dengan segala keabanganku aku tahu selera
busana sudah berubah. Ikut kebaktian hanya memakai jins
dan oblong bukan hal baru. Sejak tahun 80-an sudah ada
dan kian menjadi sejak awal 90-an. Tapi dulu jarang cewek
beroblong. Sekarang ibu-ibu pun beroblong saat ke gereja.
Sedangkan aku, ketika masih tergerak bergereja,
bahkan ketika singgah di kota lain, tak berani ikut kebaktian
jika baju yang kupenatukan di hotel belum diantar ke
kamar.
Kaos oblong, apalagi dengan celana pendek, bagiku
hanya cocok untuk anak-anak Sekolah Minggu. Bahkan
ketika aku masih SMA, dan mengajar Sekolah Minggu, aku
selalu berkemeja, dan aku masukkan – segerah apapun
cuacanya.
Aku jarang mempersoalkan ini karena belum-belum
khawatir akan datangnya dua tanggapan, yang sebetulnya
belum pernah aku dengar. Pertama: “Memangnya Tuhan
mempersoalkan pakaian?” Kedua: “Yang penting ke gereja,
kan?”
Misalkan kedua jawaban itu muncul, aku tak punya
bahan penyanggah.
Anehnya, sudah lama sih, aku pernah bereaksi
terhadap rasan-rasan di dekatku, di teras gereja, oleh
seorang ibu, “Pakaian yang nggak sopan itu dipelopori oleh
gereja-gereja yang mayoritas jemaatnya, nuwun sèwu ya
Jeng, keturunan Chinese.”
Aku segera menyergah, “Jangan rasis to, Bu. Ini bukan

Kedai Merahh 85
soal Cina!”
Ibu pemuka wanita jemaat itu merah padam,
menatapku, lalu menjauh. Teman-teman bincangnya juga.
Aku merasa sebagai si kusta dalam Injil.
Setelah berpisah dari Romo, dan meninggalkan gereja,
aku melamun dalam taksi. Sebagai bujang lapuk 47 tahun
aku teringat para keponakanku. Yang cewek juga pakai kaos
kalau ke gereja. Apalagi yang cowok – malah ada yang pakai
celana 7/8, dan tampil di depan saat mengisikan musik
akustik. Lima dari tujuh cowok itu memakai anting. Yang
dua bertato di lengannya karena lengan kemejanya digulung,
bahkan lengan baju itu punya kancing agar gulungan tak
melorot sehingga menampakkan lengan kencang.
Zaman sudah berubah. Aku ingat simbah kakungku saat
ke gereja, tiga puluh tahun silam. Kalau bukan berbusana
rapi – dengan setelan khaki tersetrika licin (bajunya seperti
safari lengan panjang, dengan pengetat pinggang) dan
peci ala Bung Karno – Mbah Kakung memakai kain batik,
surjan, dan blangkon.
Ke gereja itu seperti berdinas, katanya. Harus rapi
melebihi sehari-hari, katanya lagi. Dulu, ketika aku masih
semester pertama dan di gereja duduk di sebelahnya, Mbah
Kakung melihat Puma putihku dan berbisik, “Kamu ini mau
olahraga atau kebaktian?”
Oh, zaman! Aku semakin tua! Aku mulai gagap melihat
perubahan.
Tak terasa taksi tiba di depan lobi hotel. Saat petugas

86 Antyo Rentjoko
pintu membukakannya untukku, sebuah pesan masuk ke
ponselku. Ehm, dari dia yang aku semakin dekat denganku
itu, nun hampir sejam terbang dengan pesawat dari bandara
terdekat dari kota ini. Dialah wanita usia 31 yang mau
mencoba memahamiku.
“Mas, aku jg lg di grj nih. Ngurusin bazaar habis
kebaktian. Liat dong mas jualanku. Lucu2, sbntr lg laris
manis.”
Kubuka foto terlampir itu. Dia sedang menjaga stan
pernak-perniknya, memakai pants dari denim, low rise,
dan tank top bukan jenis bertali spaghetti. Oh, doktor
sastra Jawa dengan disertasi tentang Wulangrèh3) itu!

3)   Karya Paku Buwono IV (1768 – 1820), berisi piwulang atau ajaran tentang
kehidupan, yang dikemas sebagai tembang.

Kedai Merahh 87
88 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 12

Kamar Kontrakan

“Gimana Mbak kalau kita bekerja sama saja? Sama-


sama mudah, Mbak nggak capek, saya juga,” kata ajun
inspektur polisi satu yang ganteng itu.
Wajahnya bersih. Terbaui olehku aroma after shave
lotion segar. Rambutnya basah. Sorot matanya agak
kekanakan, jauh dari kesan penggoda wanita. Dia berkemeja
biru dengan dasi kuning bergambar pesawat capung.
“Pengacara saya belum datang,” kataku.
“Itu nanti. Tapi sebelumnya kita bersepekat dulu
supaya semuanya lebih mudah buat kita Mbak...”
Sejak awal dia memanggilku "mbak", bukan "bu". Aku
suka.

•••••

Kedai Merahh 89
Baru sebulan setelah kepergian Mas Andri aku
mendapatkan informasi itu. Dari si induk semang, seorang
ibu yang dua puluh tahun di atasku, datang diantar
sopir, setelah tadi pagi menelepon meminta waktu untuk
bertemu.
“Jadi begitu itu, Jeng. Saya berkewajiban melaporkan
keberadaan harta benda almarhum di rumah saya. Kalau
soal sewa, seperti tadi Jeng katakan, nggak ada masalah.
Malah mau saya kembaliin aja sisanya yang tiga bulan,
soalnya Mas Andri kan bayarnya buat enam bulan.”
Aku mencoba tenang padahal bingung, dan tak berani
menanyakan banyak hal.
Sebagai istri aku harus tampak memaklumi, tidak
boleh terkaget-keget, dan yang jauh lebih penting dari itu
adalah jangan sampai pertemuan ini membuatku limbung
gara-gara aku mendapatkan informasi yang tak kuharapkan
sekaligus aku takutkan tentang seorang suami yang diam-
diam mengontrak kamar tanpa setahu istrinya.
Ibu itu mengatakan baru tahu kabar suamiku kemarin
sore, dari salah satu anak kos yang berteman dengan
seorang karyawati di lingkungan Mas Andri tapi beda unit.
Yang aku ingat sebelum Ibu itu pulang adalah
mengulangi untuk keempat kalinya, “Saya nggak nyangka
lho, Jeng. Mas Andri itu sehat, gagah. Orangnya baik nggak
rewel, nggak macam-macam. Memang sih dia pendiam,
tapi pada saat yang tepat bisa bertindak hebat...”
Yang hebat? Yang aku ingat dari kesaksian Ibu itu

90 Antyo Rentjoko
adalah “ngusir anak mabuk” dan “membetulkan menara
air”.
Sejak kapan Mas Andri mau ribut-ribut kecuali
membelaku, seperti saat pacaran dulu?
Juga sejak kapan dia mau buang waktu untuk
memanjat menara air kecuali di rumah sendiri dan tak ada
tukang yang bisa dipanggil?
Ternyata aku kurang mengenal suamiku.

•••••

Sesuai kesepakatan maka Selasa pagi itu, sekitar pukul


sepuluh, dua hari setelah dia bertamu, aku sudah tiba di

Kedai Merahh 91
rumahnya.
Tadi aku menyetir sendiri. Sudah minta izin khusus
dari kantor, dan bos mempersilakan saja.
Jadi inilah kamar itu. Kamar di sudut bangunan L,
menghadap ke taman dan pelataran parkir dengan grass
block yang cukup untuk empat mobil.
Dengan cepat, sebelum masuk kamar, aku amati sudut
latar, tempat jemuran. Pakaian wanita semua. Tidak ada
daster kumal. Di teras peranginan jemuran aku lirik celana
dalam dan bra di sana – terutama celana dalam. Dari
desainnya aku tahu isi pondokan itu wanita-wanita muda.
Ada beberapa G-strings.
Kumasuki kamar itu.
“Ini Jeng,” kata Ibu itu.
Dia membuka pintu lebar-lebar. Juga jendelanya yang
terdiri atas dua daun berengsel kupu-kupu. Hmm... kamar
yang luas: 5 x 4 meter. Kamar mandi di lorong luar sebelah
pintu.
“Setiap hari dibersihin tapi si Rusman saya ingatin
jangan ngubah apapun dan jangan ngambil apapun. Dia
bisa dipercaya kok, Jeng,” katanya tentang pembantu, bocah
usia di bawah 20, yang sedari tadi berdiri di luar pintu itu.
“Ini kamar paling gede, Jeng. Delapan kamar lainnya
cuma ukuran tiga kali tiga. Gimana kalau saya di luar dulu,
di rumah induk? Sumangga. Kalau ada apa-apa tinggal
panggil saya, atau langsung masuk. Saya lagi nonton acara
masak di TV...” katanya lagi.

92 Antyo Rentjoko
Kamar pangeran! Paling besar dari yang lain. Hanya
satu-satunya pria di pondokan itu.
Baiklah kuceritakan hal yang mengagetkanku. Tata
ruang perabot di sini seperti ruang kerjanya di rumah.
Bedanya di sini ada bed lipat. Hanya bed lipat model
tenaga paramedis di lapangan. Aku sempat terganggu oleh
lamunan sesaatku... misalkan di situ ada spring bed berarti
ada kemungkinan.... Ah sudahlah!
Tiga rak buku itu mirip yang di rumah – tepatnya di
ruang kerja, belum seberapa bila dibandingkan rak-rak
lain yang menurupi dinding rumah. Bahkan buku-bukunya
pun sebagian besar sama. Kulirik meja ukuran setengah
biro tanpa laci. Buku yang tergeletak di atas meja pun sama
dengan yang di rumah: Southeast Asia: An Introductory
History, karya Milton Osborne.
Buku-buku lain tak kuhapal judulnya tapi aku ingat
di rumah juga ada. Aku ingat desainnya, terutama rupa
punggung bukunya. Banyak yang bagus. Malah ada
serial buku yang kalau dijejer maka punggungnya akan
membentuk gambar. Mirip jigsaw puzzle memanjang.
Di atas lantai kayu kamar itu aku seperti berjengket,
lalu membuka lemari. Oh, jadi ini rupanya kalau kadang dia
tak pulang beberapa hari dan membawa bekal pakaian, lalu
beralasan, “Aku titipin di laundry kiloan deket kantor. OB
yang ngurus.”
Sebentar aku lega. Tak ada pakaian wanita.
Semuanya rapi. Kubuka laci. Perlahan. Berdebar.

Kedai Merahh 93
Siapa tahu ada jejak kehadiran orang lain. Stok pembalut,
misalnya. Perhiasan etnis yang bukan emas, misalnya.
Atau, oh semoga tidak, kondom atau test pack.
Ohhh... melegakan. Hanya ada struk belanja kecil dan
kuitansi pembayaran kamar untuk Ibu itu.
Kenapa dia harus indekos di belakang kantornya, yang
harus dicapai dengan memutar sejauh lima kilometer dari
kantornya, tapi nyatanya tak ada orang kantor yang tahu,
atau pura-pura tidak tahu, bahkan Ruri, sekretarisnya,
kemarin aku tanya malah menjawab dengan bersumpah
segala, “Mbak karena ini bukan menyangkut rahasia
perusahaan, lagi pula hubungan kita baik, maka misalnya
saya tahu dia indekos pasti saya beritahukan kepada ahli
waris karena Pak Andri sudah tidak ada lagi. Tapi saya
nggak tahu, Mbak. Bener!”
Yo wis! Terserah!
Biar akhir pekan nanti aku angkuti semuanya.
Ketika aku pamit, sempat kutanyakan, “Maaf Bu, saya
tidak memaksa. Misalnya Ibu nggak keberatan, apakah bisa
kasih tahu saya siapa saja tamunya?”
Ibu itu tersenyum. Sorot matanya hangat. Sebagai
sesama perempuan dia tahu maksudku. Dia pegang
lenganku, “Jeng, saya berkata sejujurnya. Setahu saya yang
jarang keluar kota ini, Mas Andri nggak pernah terima
tamu. Sampai di kamar dia nggak keluar. Kadang kalau
saya cari angin malam di taman dan lewat kamar dia, saya
cuma dengar musik pelan, ya bangsanya jazz gitu deh...

94 Antyo Rentjoko
atau instrumental, dan saya liat dia lagi baca karena gorden
nggak ditutup. Sama itu lho, maaf ya Jeng, asap rokok
ngepul terus...”
Rokok jahanam! Ketika Mas Andri di unit perawatan
intensif karena stroke, perusahaan rokok yang terdaftar
di bursa saham itu, yang serial iklannya di TV selalu
mengedepankan pesan persaudaraan dan kepedulian itu,
tidak mengirim karyawannya untuk mem-bezoek. Ketika
dia diperabukan, tak ada karangan bunga dari pabrik rokok
favoritnya. Pabrik jahanam haram jadah itu! Aku yakin
juragannya dan para eksekutifnya tak semuanya perokok.
Juga tidak ada karangan bunga dari toko-toko buku
langganannya. Tidak pula dari toko-toko CD langganannya.
Padahal untuk buku, atau CD, sekali belanja bisa habis Rp
2 juta!
Dalam perjalanan pulang aku ingat cekcok terakhir.
Kalimat itu terngiang-ngiang terus. Diucapkan pada suatu
Sabtu sore, dengan marah tapi jelas, tanpa berteriak, dan
puanjaaannnngggg... Padahal dia jarang berceramah
kecuali diminta.
“Aku tahu Nur, kamu tuh nggak suka baca selain
majalah fashion yang banyak gambarnya. Yang kamu suka
tuh ngobrol sama nonton TV, atau muter DVD. Makanya
kamu nggak puas kita punya lima pembantu karena supaya
ada saja orang yang kamu ajak ngobrol ngalor ngidul nggak
penting. Aku beliin buku tapi kamu nggak baca. Kamu
hanya menikmati buku sebatas ngeliat rak kita yang banyak

Kedai Merahh 95
bukunya, puas bisa banggain ke mana-mana, dapet pujian
dari temen-temenmu itu.
“Kamu membenci buku karena dengan buku aku bisa
tenggelam dalam duniaku. Tapi di sisi lain kamu juga butuh
aku, butuh informasiku, untuk mendapatkan jawaban ini
dan itu. Tapi secara umum kamu tuh nyemburuin buku,
membencinya, nganggep seteru.
“Aku tahu Nur, kamu udah nyobekin beberapa buku
lamaku. Kalo hanya nyebut sepuluh judul, lengkap dengan
nama pengarang dan penerbitanya, sekarang juga aku
bisa!”
Aku menyalak, “Emang iya! Trus kenapa, Mas?! Di
rumah ini nggak ada momongan, cuma ada delapan kucing,
lantas siapa yang aku jadikan teman selain suami? Aku
memang nggak suka baca dari kecil soalnya kalo baca jadi
pusing, ngantuk, tapi bangga karena rumah kita banyak
buku, dulu bangga punya pacar yang luas pengetahuannya.
“Sekarang, sana cari cewek seksi yang kutu buku!
Kalian bisa making love di atas tumpukan buku! Sana! Di
luaran banyak pecun yang doyan baca! Itu cewek-cewek
terpelajar yang ingin menggoda seorang editor sontoloyo
dan novelis semprul! Cewek-cewek seksi tapi nggak jelas
masih kuliah atau kerja, yang pasti duitnya cekak, suka
ngamatin pria matang belanja, kayak yang sering main
mata denganmu di Aksara dan Times. Taik!”
Dia diam, menghela napas, dan tenang saja menanggapi,
“Akhirnya setelah sepuluh puluh tahun menikah, dan

96 Antyo Rentjoko
sebelumnya lima tahun pacaran, kamu akui itu. Nggak suka
buku. Selama ini kamu jaga gengsi, termasuk ketika belanja
bareng temen-temenmu, lantas kamu mampir toko buku...”
Sejak itu kami tak saling berbicara.
Sejak tiga bulan lalu sampai dia koma dan pergi.
Dia tampak lega dengan keterusteranganku dan bisa
menikmati hari-harinya.
Tapi aku tidak. Semua sudah kulontarkan penuh
kesumat tapi malah membuatku meradang dan makin
meradang.

•••••

Malam itu, menjelang kedai kopi tutup, ketika last


order sudah dicangkan dua puluh menit sebelumnya,
seruputan terakhir hot lemon tea-ku membuatku agak
segar.
Patrick, si hitam legam keriting bekas komandan
satpam kantorku, yang lima tahun lalu secara otomatis
dipecat karena terlibat kecil dan jauh dalam suatu kasus
pembunuhan, tapi tetap kontak denganku untuk minta
uang, bisa mengatur agar rumah itu dijilat api. Maksudku
kamar-kamar kontrakan di belakang. Tabungan Mas Andri
cukup untuk mengongkosi proyek ini.
Tapi aku salah perhitungan.
Aku kira setiap akhir pekan, tepatnya Sabtu sore,
semua penghuni menginap di luar – namanya juga wanita

Kedai Merahh 97
lajang sekarang, tidak mau sendirian di rumah apalagi
indekosan.
Ternyata tidak. Ada satu cewek yang tetap di kamar
karena sedang flu berat.

•••••
“Gimana, Mbak?” tanya ajun inspektur polisi satu yang
juga bernama Andri itu.
“Tunggu pengacara saya dulu,” jawabku. Lalu kusedot
minuman dari gelas plastik.
Itu gelas ketiga.

98 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 13

Gang Amoy

“Gara-gara info dari Mas, akhirnya aku iseng juga


ke sana. Kemarin sore. Nanya-nanya soal kos, Mas,” kata
Melati, sekretarisku.
“Dapet nggak, Mel?”
“Nggak, Mas. Ada satu, kamarnya bagus, bersih, kamar
mandi di dalem, tapi sebulan minta dua setengah. Bisa jadi
termiskin di dunia aku, hihihi...”
“Rumah yang mana tuh, Mel. Gue apal lho...”
“Kalo apal kenapa nanya?” sahutnya disusul tertawa
kecil, lalu pandangannya kembali ke layar komputernya.
“Nggak sopan lu, Mel! Terlaluhhh...”
“Emang Mas mau ngekos di sana? Atau... udah ada
inceran ya?” serampung ngoceh dia menengok ke arahku,
mengedipkan mata, dan tersenyum.

Kedai Merahh 99
Telepon masuk menghentikan percakapan.
Jawabannya standar, “Maaf Pak Bawono sedang meeting.
Mungkin Ibu bisa meninggalkan pesan?”
Memang sepuluh menit lagi aku rapat di lantai
enam, selantai di atas kantorku. Urusan gedung, tak ada
hubungannya dengan tenggat kerja majalahku, yang akan
padat mulai sore nanti.

•••••

Aku sempatkan ke jendela ujung dekat perpustakaan.


Brengos, orang dokumentasi, masih asyik dengan
komputernya tapi sempat menyapa, “Ada yang bisa saya
bantu, Mas?”
“Nggak, Ngos. Cuma mau melongok dunia luar aja dari
sini.”
“Tumben nggak motreti, Mas. Kapan itu saya dengar
dari security kalo Mas motreti sekitar dari atap di atas
lantai tujuh. Hasilnya bagus nggak?”
Kujawab sekenanya. Aku sudah menempel di lis logam
krom pembatas kaca. Aku lihat lorong itu. Lorong sempit.
Lorong yang kuceritakan ke Melati, tapi tak kuduga dia pun
akhirnya masuk ke sana dengan alasan mencari kos.
Ah, anak itu! Pasti Melati penasaran dengan yang
kuceritakan. Dari lorong labirin, sejauh seratus meter dari
perempatan di depan kantor, ada lorong sempit yang sulit
sekali untuk berpapasan.

100 Antyo Rentjoko


© hak cipta gambar-gambar praolah tidak diketahui

Kebiasaanku jalan-jalan di sekitar kantor memberikan


temuan menarik.
Dari mulut lorong itu, setiap pagi antara pukul
setengah delapan sampai pukul delapan, selalu muncul
gadis-gadis putih seperti tamatan Pond's Institute. Gadis-
gadis berambut lurus. Gadis-gadis langsing, kencang,
cantik, dengan mata segaris, sebagian besar berpakaian
kantor, rapi, yang cara berjalannya agak berjingkat dan
penuh gegas, seolah kawasan itu berisi begal dan binatang
buas. Bukan hanya betis bersih yang kulihat, kadang kalau
sepatunya terbuka kulihat tumit halus kemerahan tidak

Kedai Merahh 101


kapalan apalagi pecah-pecah seperti ampelas yang terbuka
dari lipatan lama.
Itulah lorong sempit yang mulutnya menghadap ke
jalan sepi sepanjang 200 meter karena sisi kanan dan kiri
hanya berisi tembok dan beberapa mobil terparkir.
Lorong tak bernama. Alamat di sana, kata Acan,
komandan hansip, juga menggunakan nama Jalan
Kemajuan1) tapi nomornya ratusan, padahal rumah lain di
Jalan Kemajuan tak sampai ratusan.

•••••

Setelah dua minggu (pada hari kerja) mengamati maka


pada suatu pagi pukul enam (ya! aku kadang tiba di kantor
sebelum anak-anak cleaning service!), sebelum gadis-gadis
dewasa itu berangkat, kubulatkan tekat masuk ke lorong.
Pagi ini.
Dari mulut lorong, sepanjang seratus meter, dengan
dua kali belok menyiku ke kanan dan kiri, hanya ada tembok
yang sebagian berlumut. Tak ada mural yang menarik selain
grafiti membosankan yang hanya bertuliskan nama orang
dan lema kamus bordil. Tidak kreatif.
Aku tak berpapasan dengan anak kecil, padahal ini

1)   Ada blok permukiman di sekitar Gedung Arsip Nasional, Jalan Gajah Mada,
Jakarta Kota, yang menggunakan nama jalan berawalan "ke" dan berakhiran "an".
Misalnya Kejayaan, Kemurnian, Kebahagiaan, Kemenangan, dan Kerajinan. Nama
Kemajuan? Tidak ada. :) Saya belum tahu toponimi jalan-jalan itu.

102 Antyo Rentjoko


termasuk kawasan padat di Kota2), pecinannya Jakarta.
Hanya sekali berpapasan dengan seorang anak, pengasong
koran. Kubeli dua koran, supaya ada alasan bercaka-cakap.
Tapi dia hanya menjawab singkat, "Nggak tahu, Oom."
Pernah kutanyakan kepada para pemilik warung di
sekitar kantor tentang lorong sempit itu. Ternyata mereka
tak dapat bercerita. Tukang-tukang parkir juga tak banyak
tahu isi lorong itu.
Kutanya Ahong, pemilik warung di ujung jalan, 50
meter dari kantor, yang merangkap agen gas dan Aqua. "Ya
isinya rumah-rumah, Bos. Emang napa?"
Akhirnya kemarin kutanya Kemin, anak liar
bersosok dan bertampang usia 10 tahunan dengan sedikit
kerterbelangan mental yang gemar merokok itu. Dia sering
beredar di sekitar situ, dan mendapatkan uang ataupun
makanan dari warung-warung, karena dia bisa disuruh
melakukan pekerjaan sederhana misalnya memindah
bangku dan melipat meja.
Tentang lorong itu, Kemin menjawab sambil
mengepulkan rokok tanpa memegang, dia letakkan kedua
telapak tangan dada seperti memegang bola, lalu setelah
tangan kirinya selesai memperagakan buah dada maka jari
tangannya membentuk formasi jempol diapit telunjuk dan
jari tengah. Lalu merenges.

2)   Karena dulunya kawasan sekitar Museum Bank Mandiri adalah pusat kota
Jakarta. Sebelum ada kode pos, pertengahan 80-an, alamat bisnis di kawasan Glodok
dan sekitarnya adalah "Jakarta Kota".

Kedai Merahh 103


Uh! Sok tau! Dasar Kemin! Jorok!
Begitulah, maka pagi ini, barusan, pukul enam lebih
sedikit, aku sudah melewati tikungan ketiga. Mulai tampak
rumah. Macam-macam modelnya tapi tidak bisa disebut
mewah, yang pasti bersih terawat. Rata-rata rumah punya
halaman kira-kira sedalam dua hingga tiga meter ke arah
rumah. Ada yang berumput tapi sebagian besar ditutupi
paving block. Tak ada pohon. Hanya pot tanaman dan sulur
maupun belitan tanaman rambat.
Berapa lampu teras masih menyala, pertanda
kehidupan harian untuk menyambut Matahari belum
dimulai.
Apa? Matahari? Dalam lorong sempit ini hanya nanti
mulai pukul sepuluh Matahari menyapa halaman dan
tembok rumah-rumah yang tak bertingkat itu.
Rumah-rumah itu sebagian besar berpagar. Ada juga
yang tidak. Tak ada sepeda motor yang terparkir. Tapi
bagiku menarik, ini di derah pecinan kenapa tak ada pagar
tinggi, rapat, dengan ujung pagar berupa tombak runcing
membengkok ke arah luar?
Hmmm... aku tak mendengar kesibukan pagi. Tak ada
suara TV. Tak suara radio. Tak ada suara lagu Mandarin –
untuk gampangnya sebut saja Mandarin, padahal mungkin
Canto-pop meskipun di kawasan ini banyak orang Hokkian
dan Khek 3).

3)   Tentang Hokkian, nama salah satu suku Cina di Indonesia, ada yang
menuliskannya Hokkien, tapi umumnya orang melafalkannya "hokkian". Adapun

104 Antyo Rentjoko


Di sini juga tak kudengar suara anjing rumahan.
Anjing-anjing kecil yang cerewet. Tak juga kupergoki tikus
melintas seperti di blok lain.
Terlalu pagi untuk mendapati jemuran di halaman. Tapi
mestinya ada orang menyapu. Aha, setelah lima kali belok,
dari ruas ke ruas yang masing-masing sepanjang 30 meter,
kulihat dari kejauhan seorang wanita beruban, dengan
rok lusuh kembang-kembang tanpa lengan model 70-an,
rambutnya pendek, sedang menyapu. Kami bertatapan
ketika jarak kami sudah sepuluh meter. Aku mengangguk,
tersenyum. Dia juga.
Ketika sampai di depannya aku menyapa, “Pagi,
Tante...”
Dia hanya mengangguk, tersenyum, kemudian berbalik
badan, dengan membawa sapu, membuka pintu, masuk ke
rumah.
Tak sempat kuintip isi rumah karena gelap dan cepat
sekali pintu kayu bercat hijau rak piring itu ditutup.
Aku terus berjalan. Sambil melamun tapi juga sekalian
mempertajam pengamatan. Gadis-gadis itu mungkin
barusan bangun. Atau sudah mandi. Bisa jadi ada yang
sedang menyetrika baju karena kemarin sore atau kemarin
malam tak sempat. Aku tak tahu kapan mereka pulang

Khek, yang berindukkan suku Han, sering disebut sebagai Hakka. Ada beberapa
perhimpunan Khek di Indonesia, bahkan di Jakarta ada beberapa gereja Kristen
yang menggunakan ibadah dalam bahasa Khek, termasuk GIPB Sion Hakka di Jalan
Jayakarta, sebagai kelanjutan Gereja Kristen Tionghoa (Chung Hua Ja She Kauw Fie).

Kedai Merahh 105


ke rumah karena tak sempat mengamati saat sore hingga
malam sekitar pukul setengah malam – itulah saat gadis-
gadis kawasan ini pulang kerja, tapi bukan gadis-gadis
lorong ini, dan malam nanti mulai pukul setengah malam
ada pula gadis-gadis lain yang sudah berdandan hendak
masuk kerja ke tempat hiburan, dan selalu pulang pagi. Aku
kenal mami-mami4) mereka di tempat kerjanya.
Oh, lorong sempit ini. Ada yang berbeda. Gotnya tidak
berbau seperti blok lain. Padahal di Kota semua got berair
hitam, mampet, dan berbau busuk – tapi kalau malam
menjadi pemantul neon warna-warni penanda rumah
hiburan, termasuk panti pijat. Kutengok got di sini, hanya
ada sedikit air. Mengalir.
Aku berpikir bagaimana cara mereka memasukkan
perabot rumah, dari spring bed, kulkas baru, sofa baru, TV
baru?
Aku tak ingat berapa kelokan yang sudah aku lalui. Tapi
tetap sepi. Tampaknya aku mulai melewati rumah-rumah
yang sama karena kuingat rumah nomor 239 menggunakan
kapur untuk menomori kepingan tripleks yang ditempelkan
pada dinding teras, berdampingan dengan dudukan hio5)
berbahan seng merah karatan.
Ya! Hio! Terlalu lama berkantor di Kota membuat

4)   Sebutan untuk wanita koordinator gadis penghibur (anggap saja gadis) di tempat
hiburan pria. Jika koordinatornya pria gagah gemulai, tetap saja panggilannya mami.

5)   Dupa cina, umumnya berbentuk batang lidi. Ada juga yang berupa spiral, seperti
obat nyamuk, untuk digantungkan.

106 Antyo Rentjoko


hidungku terbiasa. Lorong sempit ini beraroma hio. Sama
seperti blok lainnya.
Sudah berapa lama aku di sini?
Masih sepi. Tapi keramaian di Jalan Gajah Mada dan
Hayam Wuruk, yang mulai memasuki jam three-in-one,
mulai mengalirkan getar kebisingan.
Untuk mencapai Jalan Gajah Mada, dari mulut lorong
yang kumasuki tadi, hanya butuh waktu paling banyak lima
menit. Oh ya, suara bajaj dari jalan sekitar juga terdengar
sejak tadi.
Sudah berapa lama aku berputar-putar?
Mestinya tak terlalu lama. Terobosan Matahari belum
sampai di sini.
Aku terus berjalan. Menyusuri lorong. Dan kurasakan
gelombang kebisingan Jalan Gajah Mada dan Hayam
Wuruk yang makin terasa di gendang telinga. Klakson
makin ramai. Three-in-one sudah usai.
Aku terus berjalan dan tak menjumpai orang. Tak ada
sua dengan gadis-gadis itu. Apakah mereka libur serentak
meskipun kantornya berlainan?
Aku tak memakai arloji sejak dua hari lalu karena
dijambret di Grogol. Aku tak membawa ponsel karena
masih aku charge di kantor. Aku tak membawa kamera
sakuku sehingga tak dapat mengintip jam.
Tak terasa hari kian gelap padahal aku belum
merasakan Matahari.
Aku terus berjalan. Bosan. Segera mencari jalan ke

Kedai Merahh 107


arah mulut lorong. Perutku lapar, sangat lapar. Bibirku
kering didera dahaga.
Tak juga kudapatkan jalan keluar. Makin lama semua
rumah bertampang seragam. Lampu-lampu teras sudah
menyala. Hari cepat sekali berjalan tapi sejak pagi aku tak
bersirobok dengan tukang sayur atau penjual daging babi
pikulan.
Waktu memang cepat berlalu dan ingatan manusia kian
pendek. Jika bercampur dengan impuls untuk melakukan
apa saja maka bekal ingatan di benak seperti tertendang
keluar.
Mestinya lima menit lagi aku keluar dari labirin
sempit yang untuk berpapasan saja salah satu orang harus
memiringkan badan, apalagi jika berlainan kelamin.
Lima menit lagi pasti aku sudah di luar, di Jalan
Kemajuan, dan tiga menit setelahnya tinggal menyeruput
es jeruk peras lalu menyantap nasi campur dengan irisan
daging babi merah ditambah setusuk sate babi di emper
toko kimia Bahagia Jaya, Jalan Gajah Mada.
Tapi aku tak kunjung keluar.
Ah, cara tubuh bekerja memang aneh. Dalam haus
dan lapar keterlaluan ingatan itu merayapi bagian dalam
kepalaku. Tentang peristiwa dua belas tahun silam di bulan
Mei. Apakah tempat-tempat yang dijarah, dibakar, dengan
sejumlah wanita Cina dinistakan secara biadab itu, sejauh
satu setengah kilometer dari sini, juga memakan korban
dari penghuni lorong ini tetapi kejadiannya di tempat kerja

108 Antyo Rentjoko


mereka?
Tiba-tiba aku ingat lontaran tanpa sengaja dari Pak
Maing, komandan satpam yang sebulan lalu pensiun, tapi
ketika kutanya apa maksudnya dia tak mau menjawab
selain, “Ah sudahlah.” Aku ingat dari mulutnya sempat
terucap, “Sono noh, di Gang Amoy6)...”
Dua belas tahun silam, Pak Maing yang jagoan silat
itu menjadi komandan keamanan wilayah secara dadakan.
Kejohanannya dikenang orang-orang Cina di sini. Aku tahu,
pos hansip dekat kantor masih menyetor rokok kepadanya,
kecuali setelah pensiun.
Hari sudah malam. Aku belum bisa keluar. Aroma
hio makin terasa, bahkan seperti menyumbat lubang
hidungku.

6)   Dalam perjalanan penggunaan, kata "amoy" (artinya adik) untuk menyebut
gadis keturunan Cina dalam suatu situasi komunikasi atau penyampaian pesan
tertentu kadang dianggap pejoratif, apalagi jika diucapkan oleh kalangan non-Cina.

Kedai Merahh 109


110 Antyo Rentjoko
K A R A NGA N 14

Sang Purnawirawan

Sungguh merupakan ulang tahun daripada sebuah


gereja yang ramai penuh semangat persaudaraan yang
penuh akan keguyuban. Perlu saya nyatakan bahwasanya
perayaan 20 tahun daripada sebuah gereja di pinggirannya
Jakarta ini, yang mana sebetulnya sudah di luar kota
DKI, sangatlah kaya akan warna. Tua dan muda terlibat
di dalamnya kegiatan melalui pelbagai acara, dari lomba
ketangkasan, balap karung, sampai pertunjukan musik dan
lawak.
Di dalam pendopo sebelahnya gereja saya duduk
melihat ke seantero pandang. Melihat anak-anak sekolah
Minggu yang riang memanjati pohon rambutan dari kebun
seluas 800 meter persegi yang sudah dibeli oleh gereja,
dan tetap menjadi kebun, hanya saja lebih rapi, karena ada

Kedai Merahh 111


rumput yang terawat dan jalan setapak melingkar.
Puas sekali rasanya saya dapat mengantarkan gereja
ini sampai menjadi dewasa, bukan lagi sekadar cabang
daripada gereja pusat di kota. Saya lakukan semuanya
semenjak awal, dan proses demi proseslah yang menjadikan
saya sebagai anggota gereja yang aktif, tidak hanya menjadi
penetua secara resmi tetapi juga yang tidak resmi sehingga
sering dimintai pertimbangan dan saran untuk aneka
permasalahan, termasuk di dalamnya sudah barang
tentu sebagai bagian daripada panitia pemandirian dan
pembangunan gereja.
Kalau boleh saya katakan dengan jujur dan penuh
puji syukur, inilah berkah dalam sisa usia saya, khususnya
dalam mewujudkan kehidupan beriman, yakni bersekutu,
bersaksi, dan melayani.
“Salaman dulu sama Eyang Wito, sayang,” ujar
Menuk, putrinya Pak Markus Haryanto itu, kepada anak
perempuannya yang berusia empat tahun, ketika mereka
berdua menghampiri saya.
Tidak lama kemudian melintaslah Agung Budianto,
pria muda gagah 30 tahunan, putranya Pak Ngadimin, yang
dengan tergopoh-gopoh mendatangi dan menyalami saya
dengan sepenuh takzim, “Apa kabar Pakde Wito? Masih
seger aja padahal sudah usia tujuh lima. Malu lho saya yang
muda ini...”
Puji Tuhan! Ini sungguh sebuah karunia besar. Saya
dikelilingi orang-orang terkasih yang kadang menganggap

112 Antyo Rentjoko


saya sebagai orangtuanya
© gambar tangan: Albrecht Dürer | gambar sepatu: wholesalearmysurplus.com

sendiri.

•••••

Kami sama-sama
tahu kehadiran masing-
masing. Kami juga sama-
sama menghindar. Jangan
sampai terjebak dalam
situasi harus bercakap-
cakap dan bersalaman.
Sebisanya jangan sampai...
Jangan.
Apakah aku harus
mengatakan bahwa semua
luka telah sembuh?
Kaki kananku pin-
cang, sejak 44 silam. Remuk
tulang keringku tidak ada yang dapat menyembuhkan.
Kedua kupingku tak dapat mendengar dengan jelas, kecuali
aku pakai alat bantu dengar. Rabun di mata kiriku sudah
terlalu telat untuk disembuhkan dikarenakan penundaan
oleh tiadanya biaya dan pertambahan usia.
Film lama dalam diriku itu sudah banyak gores bahkan
lapisan kimianya mengelupas, tidak jelas lagi gambarnya
maupun suaranya, paling tidak di mata dan telinga orang

Kedai Merahh 113


lain.
Memang kadang potongan film itu masih terputar
dalam proyektor diriku, melalui proyeksi di alam mimpiku,
termasuk saat tidur siang dan terlebih lagi tidur malam.
Seiring perjalanan waktu, karena aku mencoba
berdamai dengan diri sendiri, gangguan tidur itu pun
berkurang.
Tapi sejak tahun lalu, tepatnya semenjak aku pindah
ke Rawakangkung ini, dan akhirnya menemukan gereja
terdekat, setiap kali melihat Wito maka rekaman itu
terputar lagi dengan cepat, renteten gambar menjadi jelas
kembali, tetapi terputar dalam empat-lima kali kecepatan
normal; hanya saja isinya tetap 24 bingkai per detik.
Serentetan gambar, suara, dan rasa yang memang singkat
namun sungguh menyiksa. Membuat aku tersengal lalu
sesak napas.
“Si-apa na-ma-mu? Sia-pa?”
Pertanyaan yang terus diulang-ulang.
Kadang selagi tidur kelelahan pun aku dibangunkan
hanya untuk menjawab nama, dan soal lain semisal tempat
lahir, nama orang tua, kakek-nenek, pernah sekolah di
mana, dan apa saja pekerjaan maupun kegiatanku, untuk
dicocokkan dengan kertas doorslag1) berisi tiktikan kabur
hasil tembusan karbon rangkap.
Diulang-ulang. Dengan bentakan. Sesekali dengan

1)   Dari bahasa Belanda, dibaca "door-slah". Kertas tipis, seperti kertas untuk
layangan, lebih tipis daripada kertas HVS 60 gram.

114 Antyo Rentjoko


halus bersahabat, lantas mendadak sontak suasana nyaman
itu dikoyak oleh bentakan, pukulan, sundutan rokok,
tendangan, bahkan penyetruman. Yang namanya kata
“kamu” terucapkan kepada siapa saja tanpa pandang usia
baik oleh prajurit maupun atasannya.
Pertanyaan yang terus diulang-ulang, tentang banyak
hal yang aku tak tahu, sejak urusan partai, revolusi,
perjuangan buruh sedunia, dan ah sudahlah. Pokoknya
banyak. Bahkan di sana pula aku baru mendengar lagu
Internationale versi Belanda yang dinyanyikan penuh
keterpaksaan, ketakutan, dan keputusasaan dalam derita,
mirip ratapan penuh getar, oleh seorang insinyur yang
sebelumnya tak kukenal tapi kami dipertemukan oleh
nasib.
Di sana itu yang kumaksudkan adalah bekas sekolah
Cina yang kemudian menjadi tempat penampungan kami
44 tahun lalu selama empat tahun sebelum dipindah ke
tempat lain, lalu dilepaskan tanpa rehabilitasi kecuali bagi
yang sudi meminta, tapi biar meminta pun bukan jaminan
mudah dan lekas mendapatkannya. Meminta surat sama
saja mewajibkan diri untuk melapor dua kali lebih kerap.
Di sana bekas ruang kelas menjadi kaleng sarden
berjejal manusia; ada yang asma, ada yang TBC2), yang pasti
kami semua akhirnya berpanu, berkadas, dan berkudis.

2)   Singkatan lama untuk tuberkulosis yang sekarang disebut TB. Sampai akhir
tahun 70-an TB sering dihubungkan dengan nestapa dan derita batin, dan bahkan
kemiskinan.

Kedai Merahh 115


Itu belum seberapa.
Neraka jahanam ada di bekas ruang perpustakaan.
Di sana ada meja besar dari kayu jati berpelitur, seukuran
meja pingpong; kap lampu yang bisa digerakkan, dengan
bolam 100 Watt lebih, lalu didekatkan ke wajah kami ketika
ruang digelapkan. Di sana tersedia bentakan, dan hinaan,
dan cacian, dan siksaan, dan ancaman bahwa istri dan
anak-anak perempuan kami akan mengalami hal yang
mengerikan.
Kami juga yang setiap hari mengepel tegel warisan
Belanda di ruang perpustakaan dengan menggunakan
karbol seperti membersihkan kamar mandi dan WC
petugas, terutama tegel-tegel berwarna kuning berhias
kembang merah dan hijau yang menjadi garis penghias
hamparan lantai. Itulah petak demi petak tegel terang yang
menampung ludah dan dahak si pembentak dan penyiksa,
air liur dan ingus si teraniaya, serta tetesan darah...
Yang lebih dari itu tak perlu aku ceritakan. Tak perlu
kupaparkan luka yang bukan ragawi. Pendeknya terlalu berat
untukku yang saat itu masih bujangan 20 tahun, sedang
senang-senangnya kuliah di tingkat awal baccalauréat3)
sambil magang di bagian pembukuan kantor cabang sebuah
perusahaan perkebunan di kota dingin, hanya tahu politik

3)   Tingkat kedua dan ketiga, kalau lulus menjadi sarjana muda (B.A. atau B.Sc.).
Tingkat sebelum itu disebut propadeuse. Strata satu (S1) di perguruan tinggi baru bisa
berlaku hingga tuntas pada awal 1980-an, sehingga mahasiswa beberapa universitas
hingga 1983 masih memiliki ijazah sarjana muda.

116 Antyo Rentjoko


dari koran dan obrolan kawan-kawan.
Di bekas sekolah Cina itu ada kepala sekolah baru.
Seorang perwira pertama di tataran bawah, tinggi-kurus,
usia 30-an, berkumis tipis, sisa kuncungnya rapi tersisir
tahan embusan angin, bibirnya tak pernah lepas dari rokok
cap Anggur, pakaian dinasnya selalu tersetrika licin, sepatu
kulitnya selalu berkilau; kesemuanya itu membungkus
kebengisan yang menggerinda nyali, bahkan bisa membuang
kesadaran si teraniaya bahwa dirinya manusia.
Kekejaman itu terkadang diiringi nyanyian
Diwadjahmu Kulihat Bulan , dengan suara mirip kaleng
4)

pastiles Wybert dibalikkan lalu digesekkan ke lantai, tapi


si pelantun dengan penuh aksi merasa setara Sam Saimun,
sementara saat yang sama seorang terperiksa hampir
pingsan oleh setruman.
Perwira itu adalah Wito. Lengkapnya Soewito. Tanda
tangannya pada sebuah dokumen di atas meja, ketika
sebelah mataku belum lamur, terbaca jelas olehku: "S.
Wito" – dalam huruf latin miring, bergaris bawah dengan
imbuhan koma dan strip, seperti penutup angka rupiah,
setelah huruf "o" .
Dia sekarang agak tambun, dengan sisa rambut
beberapa helai. Pernah kulihat tanda tangannya dalam
selebaran panitia pembangunan gereja. Belum berubah.

4)   Lagu karya Mochtar Embut (1934-1973). Pada masa itu, tahun 1960-an, belum
berlaku Ejaan yang Disempurnakan (EyD, Agustus 1972), sehingga penulisan judul
lagu pun tak membedakan "di" sebagai awalan maupun sebagai kata depan.

Kedai Merahh 117


•••••

Sudah barang tentu saya tahu itu orang, lelaki pincang


usia 64 tahun dengan alat bantu dengar yang sebelah
matanya agak rabun, yang menjadi bagian dari jemaat
ini sejak tahun lalu itu. Daya ingat saya cukuplah bagus,
mungkin dikarenakan saya terus menerus mengasahnya
dengan berorganisasi, yang mana di dalamnya harus
mencatat dan mengingat isi rapat, termasuk kemudian
dalam urusan yang berkenaan dengan gereja. Hanya berkat
Tuhanlah yang memungkinkan itu semua terjaga sesuai
tingkat usia.
Pun begitulah ingatan saya terhadap cara berjalannya
yang tegak, dagu sedikit terangkat, tapi semua dapat saya
runtuhkan selama dalam pembinaan di bekas sekolah Cina
itu.
Lagak angkuh itu hampir menjadi gaya umumnya
tahanan yang berasal dari kaum yang merasa dirinya
terpelajar, yang seolah dalam hatinya menyepelekan kami,
anak-anak petani, bukan anak priyayi.
Sekarang dia sudah renta, tidak lagi tampak sentosa,
akan tetapi sisa keangkuhannya masihlah punya jejak.
Berusaha tetap tegak biarpun tulang punggung kurang
mendukung, dagu diupayakan tetap terangkat kendatipun
tulang dan otot leher telah berkurang dayanya. Ini ciri khas
mereka, orang-orang kiri itu, dengan maupun tanpa ada

118 Antyo Rentjoko


sangkutan dengan komunisme khususnya PKI.
Pernah sekali kami terjebak di dalam situasi di mana
kami tanpa sengaja saling menatap. Sekilas, oh tidak,
maksudnya saya hanya sekejap saja, namun demikian
saya dapat merasakan adanya tatapan angkuhnya yang
seakan-akan menegaskan satu hal utama yakni, "Saya tidak
bersalah."
Maka baiklah saya pun dapat pula mengatakan
bahwasanya saya juga tiada bersalah sama sekali. Saya
menjalankan tugas daripada korps dan daripada negara,
tiada yang lebih luhur daripada itu semua. Oleh karenanya
sama sekali tidak ada yang perlu disesalkan karena tugas
adalah tugas, dan sebagaimana layaknya seorang prajurit
terhormat yang namanya tugas negara itu mulia adanya,
demi kehormatan dan martabat bangsa maupun negara.
Saya ada ingatan penuh tentang dia punya nama,
yaitu R.M. Abimanyu. Kami memanggilnya Cikrak, kadang
Raden Mas Cikrak. Keangkuhannya untuk tidak menoleh
manakala mendapatkan nama baru yang lebih sesuai
dengan keadaannya itulah yang menjadi awal daripada
rusaknya daya pendengarannya. Kemudian waktu demi
waktu anak buah sayalah yang membuatnya menjadi
semangkin parah dikarenakan oleh kebebalannya, dan
tentu saja keangkuhannya. Orang koppig5) tak tahu diri
sudah pantas menuai akibatnya.

5)   Dari bahasa Belanda, dibaca "kop-pêkh", artinya keras kepala.

Kedai Merahh 119


Sekarang hidup saya untuk Tuhan, tetapi sesungguhnya
sejak dulu hidup saya juga untuk Tuhan. Yang saya lakukan
adalah demi Kerajaan Surga.
Sejak dulu, bahkan dalam keadaan bertugas di mana-
mana tempat terpencil, saya selalu berusaha sedapat-
dapatnya untuk mengikuti ibadah Minggu di tempat
terdekat. Saya yakin Roh Kudus akan senantiasa menyertai
saya dalam mengemban tugas negara.
Saya tidak ingin kedamaian di hari tua saya sekarang
dirongrong oleh ingatan yang berlebihan sekaligus tidak
perlu terhadap hari-hari tugas pada sebuah rentang dinas
di kurun lampau.

•••••

Hari Minggu ini sudah menjemput awal sore. Jemaat


mulai berkurang, puas dan lelah oleh perayaan. Aku masih
membenahi stan yang menjual mebel dari besi tempa yang
berpadu dengan anyaman rotan hasil rakitan bengkelku.
Kulihat Wito berkeliling dari stan ke stan yang sedang
mengemasi barangnya. Menyalami pemilik dan penjaga
stan, mengucapkan terima kasih, dan bersenda gurau.
Aku tahu, di depan banyak orang maka dia mau
tidak mau akan berlaku serupa di stanku, stan terakhir
dalam urutan edar, yang bernaung di bawah pohon kecapi
ini. Apalagi Pak Pendeta menyertainya. Begitu pula dua
anggota majelis gereja. Tak mungkin dia akan berbalik atau

120 Antyo Rentjoko


berbelok langkah.
Semuanya sudah diberesi oleh anak buahku, apalagi
aku sudah lelah, maka aku duduk saja di atas kursi seng hijau
kebiruan yang disewa panitia, kaki kiriku aku tumpangkan
pada kardus berisi tali dan perkakas.
Penuh penghayatan aku keluarkan kantong kulit lipat
Savinelli, lalu sejumput tembakau Erinmore Balkan Mixture
aku susupkan ke mulut pipa Svenborg; kesemuanya itu
kiriman rutin dari anak tiriku di Belgia, satu dari tiga anak
bawaan istriku, dan mereka semua tetaplah anakku, terlebih
karena aku dan Marni, istriku, tak dikaruniai anak.
Setelah semuanya siap maka aku nyalakan dan hisap.
Kepulan pertama yang nikmat, dan pasti melebihi rokok
cap Anggur.
Meski tidak kunantikan akhirnya Wito tiba juga di
stanku, stan terakhir ini, ketika aku sedang menikmati
pipaku sambil melamun.
Kudengar Pak Pendeta menyapa, “Waduh enjoy sekali
kayaknya Pak Abimanyu ini...”
Kuperbaiki dudukku. Kaki kiriku aku turunkan dari
kardus. Kusambut uluran salaman Pak Pendeta dan kedua
anggota majelis. “Sumangga, silakan tetap lenggah6) saja,
Pak Abimanyu...”
Pak Adinoto, salah satu anggota majelis, menimpali,
“Aromanya itu lho, wahhh... Untung saya sudah berhenti

6)   Dari bahasa Jawa halus, artinya duduk.

Kedai Merahh 121


merokok lima belas tahun lalu...”
Adapun Pak Agusman, anggota majelis satunya,
berkata, “Saya sih nggak ngerokok, tapi bisa menikmati
asap tembakau yang enak. Maklumlah bapak saya dulu kan
pendeta model lama, masih merokok...”
Aku, Pak Pendeta, dan dua anggota majelis itu tertawa.
Canda yang akrab membuat lebih sering tertawa sampai
akhirnya kami sama-sama kehabisan bahan dan diam
sejenak.
Kami, lima orang ini, sama-sama tahu sejak tadi
ada satu yang tidak terlibat dalam obrolan, bahkan tidak
salaman, dengan posisi berdiri di belakang lainnya, dan
ekor mataku tahu dia berusaha menyembunyikan wajah di
antara kepala orang lain.
Dalam sekian detik diam kehabisan bahan canda
itu aku melihat tatapan sekilas Pak Pendeta kepada dua
anggota majelis. Segi tiga saling tatap sekilas itu mudah
terbaca, yaitu antara heran dan sungkan karena satu orang
yang mereka hormati tidak mau melibatkan diri.
“Bagaimana kalau kami mohon diri dulu, Pak Abi?
Silakan dilanjutkan santainya. Matur nuwun sanget Pak
Abi sudah berkenan meramaikan kegiatan perayaan,” ujar
Pak Pendeta.
Kedua anggota majelis kemudian mengucapkan
kalimat berpamitan. Tetapi mereka tidak lekas beranjak.
Bahasa tubuh mereka bertiga jelas menampakkan
kecanggungan untuk bergerak. Masing-masing dari ketiga

122 Antyo Rentjoko


orang itu mencoba mengatasi kekikukan dengan menatap
ke arah yang berbeda. Pak Agusman merogoh ponsel dari
celananya, lalu menelepon istrinya, “Gimana Ma, masih
belum rampung urusan di konsistori?”
Kuraih korek api. Bara dalam pipaku ternyata padam.
Pipa kembali kuisap. Asap aku embuskan. Semua
masih diam. Wito sejak sebelum Pak Pendeta pamit sudah
memutar tubuh, membelakangi kami dengan arah hadap
agak ke kiri dari posisiku, kedua tangan di belakang,
kepalanya mendongak mengamati pohon rambutan.
Berbahagialah manusia, karena tak hanya memiliki
bahasa yang terkatakan tetapi juga bahasa yang tak
terucapkan. Cukup aku mengangguk pelan, ketiga orang
itu perlahan menyingkir, menjauhiku dan Wito yang masih
memandangi pohon rambutan sambil membelakangiku.
Kuangkat lagi kaki kiriku lalu kuletakan di atas kardus.
Pipa kunyalakan lagi.
Sore semakin berat. Tapi aku merasa santai sekali,
amat nyaman, melebihi hari-hari lain di gereja. Aku merasa
telah menggenggam hari, lantas nanti setelah terurai
menjadi serbuk maka isi genggaman akan kutaburkan ke
atas luka masa lalu.
Dalam diam mematungnya, punggung dan tungkai
depan-belakang orang di depanku itu masih mengirimkan
sinyal kepercayaan diri dan kejumawaan seorang bekas
brigadir jenderal. Sisa kewibawaannya masih melapisi
badan. Endapan penguasaan dirinya masih memancar.

Kedai Merahh 123


Bongkah kebengisannya yang tersimpan rapi di dalam tak
dapat sepenuhnya tertutupi dari mata orang yang tahu. Tapi
aku merasa nyaman sekali. Sore yang belum gelap sudah
kumasukkan ke dalam pipa. Belum pernah aku mengalami
ini. Begitu ringan, begitu imbang.
Kucabut pipa dari jepitan bibir dan gigiku. Aku
bersenandung, “Di wajahmu...” Hanya sepotong, dua kata
kalau mengikuti ejaan sekarang, tak perlu sampai sebait
komplet apalagi bait berikutnya.

124 Antyo Rentjoko


K A R A NGA N 15

Well Updated

“Lho nanti dulu. Ini soal apa? Siapa?” tanya saya, di


tengah obrolan warung.
“Ngabdul. Lagi demen sama istri orang,” jawan Melati,
satu dari enam orang di meja.
“Terus?”
“Terus? Kok aneh nanyanya? Kalo nganggep nggak
penting nggak usah nanya, Mas!”
“Lho kok aku kayak dimarahin?”
“Gini, Mas,” kata Barjiman menenangkan, ”ini
ngomongin yang tadi lagi rame di Twitter...”
“Ooooo...”
“Makanya punya Twitter account tuh dipake, minimal
buat monitoring. Itu BB dipake, jangan cuma buat BBM dan
ngemail,” sahut Bambang.

Kedai Merahh 125


“Ooooo...” saya pun hanya bisa bilang begitu sambil
manggut-manggut karena nggak tahu harus bilang apa.
Makin lama saya makin bingung. Ketika sejumlah
orang bertemu, maka masing-masing berceloteh, minta
perhatian, tapi sambil memainkan BlackBerry, iPhone, dan
ponsel pintar masing-masing. Apa topik utama mereka?
Apa yang tadi dan sekarang sedang ramai di Twitter.
Jadi inilah perkembangan zaman. Yang namanya
berita dan memenuhi kelayakan verita adalah kabar yang
ada di Twitter. Biarpun dilansir oleh media bereputasi,
kalau belum disebarkan di Twitter maka belum layak
berita. Maksud saya, kalau sebuah berita tidak menarik
bagi kawan-kawan di Twitter, maka berita itu belum layak
dibaca.
Apakah tautan ke halaman web berita yang dikomentari
juga dibaca? “Kalo pake mobile ya maleslah, Mas – kecuali
pake iPad. Yang penting kita tahu apa isinya. Entar kan ada
orang lain yang nyebutin isinya, kayak ringkesan, gitu. Yang
penting kita well updated,” kata Tuti, dalam kesempatan di
luar meja warung.
Baiklah, saya sudah mendapatkan kuliah menarik.
Well updated!
Ada satu hal yang penting: setiap orang menjadikan
dirinya sebagai sumber berita selayaknya pesohor yang
urusan remeh pribadinya menarik bagi orang lain.
Inilah demokrasi, pikir saya. Informasi menarik tidak
bergantung dari media semacam koran, majalah, radio dan

126 Antyo Rentjoko


TV.
“Kalo masalahnya
cuma lagi laper, atau lagi
makan di kafe, atau lagi
jatuh cinta, itu kan bukan
cuma urusan artis. Kita
juga bisa. Malah justru
yang dari kita-ita sendiri
yang penting karena
orang lain kan kenal
kita,” kata Murni, yang
kartu nama barunya
bertuliskan “social media
specialist”.
Memang menye-
nangkan mendapatkan
kuliah dari kelas besar
bernama kehidupan
nyata. Fakta dan gejala
dulu, baru kemudian
kita teorikan. Ngawur pun
bukan soal.
Tapi dari hari ke hari saya makin bingung. Merasa
tertinggal oleh hiruk-pikuk, mungkin karena faktor usia.
Memakai desktop berlayar 21,5 inci, sambil membiarkan
BlackBerry menyala, tidak bisa membuat saya bermulti-
tugas. Bolak-balik ke dua peranti hanya membuat capek.

Kedai Merahh 127


Tapi di sisi lain, mendayagunakan layar 21,5 inci untuk
pelbagai urusan juga tidak mungkin karena hambatan
bukan ada pada komputer dan internet melainkan saya
sendiri. TweetDeck menyala, dan terus mengabarkan
kicauan, tapi tak sempat saya baca.
Ya, saya kian menua.
Saya semakin terseok untuk terlibat, tapi di sisi lain juga
semakin tak paham ketika apa yang saya andaikan terlalu
pribadi dengan mudah diungkap oleh yang bersangkutan
sendiri. Misalnya seorang calon janda usia 45 yang memuat
luapan asmaranya dengan seorang pemuda 21. Komentar
orang lain yang meledek di Twitter, juga di Facebook, karena
updating dilakukan serentak, akan dia tanggapi dengan,
“Reseh! Napa sih kalian nggak bisa liat orang lain seneng?”
Sebuah bahan kuliah lagi yang menarik, pikir
saya. Tapi sebetulnya tidak baru. Kecenderungan pamer
ada sejak dulu, sebelum ada internet. Dan adab sosial
mengajarkan kita agar jangan mengganggu keriangan hati
orang lain. Tapi adab sosial juga mengajarkan kalau tidak
mau mendapatkan tanggapan di luar yang diinginkan, ya
jangan terlalu gampang mengumumkan diri.
Meskipun begitu janganlah menganggap saya benci
orang pamer apalagi menganggap saya bukan eksibisionis.
Bagi saya kecenderungan pamer adalah bukti bahwa
seseorang memiliki kesadaran sosial, masih membutuhkan
orang lain untuk mendapatkan peneguhan. Artinya orang
macam itu masih normal.

128 Antyo Rentjoko


Itulah lamunan saya selagi duduk di atas kloset tapi
koran tak saya baca karena tidak ada kabar maupun iklan
menarik.
Siang setelah paginya melamun itu, saya mendapatkan
penjelasan, padahal si penjelas tidak sedang merasa sebagai
dosen.
Partinah memberi kuliah, “Gini lho Mas, kalo kita
nggak update di Twitter, dan sesekali di Facebook, maka
kita nggak dianggap ada. Orang bisa lupa sama kita. Kalo
kita nggak dianggap ada, maka ketika ada orang buka
lowongan, kita tuh nggak diinget, akibatnya peluang bisnis
hilang. Kalo kita nggak dianggep, nggak bakal ada tiket
konser gratis, nggak ada kiriman product samples, nggak
ada ajakan makan-makan buat nambah relasi.”
“Jadi,” katanya lagi, “minimal lima kali sehari kita
ngoceh, apa isinya nggak penting, yang penting ocehan kita
bisa bikin orang lain ngerespon. Misalnya ngucapin selamat
pagi, nanya kabar.”
Maka saya pun menjadi paham mengapa Partinah
selalu menghadiri acara ini dan itu, tepatnya hanya datang
menengok, terutama acara yang dihadiri para pengguna
Twitter.
Dia harus selalu kelihatan hadir, melalui updating
status di Twitter dan to be mentioned oleh orang lain, syukur
kalau selalu di-retweet. Apa isi acara tidak penting, apalagi
kalau isinya diskusi, lukisan aneh, dan musik keriting.
Saya teringat beberapa orang yang isi kicauannya

Kedai Merahh 129


selalu sama setiap kali tidak bisa menghadiri sebuah acara.
Intinya menyesal karena tidak bisa bertemu orang-orang
yang mereka kenal. Ketemu teman, bukan acaranya maupun
tempatnya, itulah yang perlu bahkan utama.
Selalu terkabarkan ada bersama kalangannnya. Itulah
sosialita yang harus terfoto dalam setiap pesta. Bedanya,
media sosial bisa menjadikan setiap orang sebagai
sosialita – sepanjang lingkungannya bisa menenggang dan
menerima.
Yah, saya semakin memahami dunia baru ini. Saya
sudah mendapatkan pencerahan. Lantas sorenya saya
kembali merasa gagap dalam gelap ketika tiba-tiba empat
puluhan orang datang ke kantor. Kata mereka akan ada
diskusi tentang klepon setelah magrib nanti. Tempatnya ya
di pelataran kantor saya, seperti acara-acara sebelumnya –
yang tentu saja tersiarkan secara langsung melalui Twitter
oleh para hadirin.
Maka saya pun menanya teman saya di kantor, “Lho,
acara apa lagi ini? Kapan ngumuminnya? Kapan kita
ngebahasnya kok tahu-tahu orang pada datang? Aku juga
nggak dapet notice via e-mail.”
Pardiman, teman saya, menoleh sebentar kepada
saya lantas melanjutkan kesibukannya ber-BlackBerry,
“Barusan aku umumkan di Twitter. Rapatnya ya mulai tiga
puluh menit lalu di Twitter sama teman-teman yang datang
itu. Sampeyan nggak buka Twitter, to?”
Akhirnya saya terbiasa dengan itu semua. Juga terbiasa

130 Antyo Rentjoko


jika balasan saya di Twitter tidak ditanggapi oleh banyak
orang karena selalu telat, bahkan sampai seminggu, malah
bisa lebih. Kicauan saya dianggap basi, tapi orang sungkan
mengatakannya, mungkin karena saya tua, sehingga cara
paling sopan adalah mendiamkan saya.
Akhirnya saya tahu diri. Respon basi saya itu dianggap
tak menghargai orang lain, lagi pula merusak public
timeline.
Ada juga hal lain yang membuat saya dimarahi
seseorang. Dia selalu mempersoalkan kenapa saya punya
waktu untuk berbalas kicauan di Twitter, padahal jarang,
dan selalu punya waktu menanggapi komentar di Facebook,
padahal juga ringkas dan tidak setiap saat, tapi tidak
menyisihkan waktu untuk membalas SMS-nya yang bisa 40
pesan per hari, ditambah 20 pesan pribadi via Facebook,
plus sepuluh missed calls dari dia.
Apakah saya sibuk atau tidak, bukan soal baginya.
Soal utama adalah mengapa saya tak membuka pintu
japri 24 jam sehari untuknya, lantas media sosial dan
pengisinya dia kambinghitamkan.
Malam ini, seperempat jam sebelum pergantian hari,
selagi masih di kantor, saya mendapatkan telepon dari
Murni, sang social media specialist dengan 5.000-an
pengikut di Twitter, dan di Facebook sudah menambah
akun karena akun pertama sudah melewati kuota jumlah
teman, “Cepetan datang ke rumahku, Mas.”
Ada suara bingung di seberang sana, tapi bukan dalam

Kedai Merahh 131


nada orang sedang terancam.
Dalam sepuluh menit bersepeda saya tiba di rumah
yang dia kontrak bersama dua teman.
Di kamarnya dia tampak kusut, hanya memakai
celana pendek dan kaos lusuh, rambutnya berantakan,
tampaknya sudah dua hari tidak mandi, dan sudah sehari
tidak makan.
Laptop masih tercolok listriknya, layarnya hanya
menampilkan screensaver berupa slide show foto sneakers.
iPhone tergeletak di dekat bantal. BlackBerry masih
diganduli kapasitor daya.
Saya duduk. Diam. Tidak bertanya. Saya menunggu
dia yang bercerita.
Setelah menyelesaikan rokoknya, dia bilang, “Aku
harus gimana? Capek rasanya!”
“Kalo capek ya istirahat, Ndhuk. Makan yang banyak
lalu tidur. Atau refreshing ke luar kota.”
“Nggak mungkin.”
“Kenapa?”
“Aku lagi pegang lima clients, semuanya harus aku
rawat komunikasinya di Twitter dan Facebook. Emang
sih ngelibatin beberapa teman, kayak Agung, Noni, sama
Tuti. Tapi aku capek! Emang sih client yang permen cicak
itu menyatakan puas, terus client yang Zegerh Juice juga
puas, tapi yang rokok Ampuh Lights malah kecewa karena
eksposnya kegedean padahal maksudnya nggak boleh
terlalu tebal mainnya. Kalo yang Qeren MusicFezt itu cuma

132 Antyo Rentjoko


bilang not bad tapi kontrak diperpanjang...”
“Terus?”
“Jenuh! Capek! Di sisi lain aku juga harus terus nge-
tweet supaya nggak dianggep nge-tweet kalo ada maunya.
Jadinya aku bisa kehabisan bahan. Kayak ngulang-ngulang.
Cuma ngelempar business wisdom, online marketing tips,
atau new info juga nggak diklik orang karena mereka
bacanya di mobile. Yang terakhir, lima kali aku komen
diketawain orang-orang congkak itu. Dibilangnya aku gak
paham sejarah, yah nggak eksplisit sih, misalnya soal Orde
Baru dan Koes Plus. Padahal aku lagi nyoba naikin mutu
supaya tetep diperhatiin, diikutin orang...”
“Cuek aja kenapa sih? Orang-orang sok ilmiah itu juga
nggak tahu semua hal, kan? Harga cabe aja mereka nggak
ngerti, tapi suka ngoceh soal ekonomi. Rileks aja, Ndhuk...”
“Tapi waktu aku nanggepin, secara becanda yang udah
biasa sih, bahwa aku belum lahir, misalnya soal kejayaan
Koes Plus, sama pidato Soeharto soal antikorupsi, eh malah
si Anggurbijaxbajix bilang itulah cara berkilah orang yang
gak paham sejarah. Aku ngerasa dipermalukan.”
“Biarin aja. Nggak semua orang peduli apa yang kamu
lontarin, lagian besok udah pada lupa kok, Ndhuk. Aku juga
pernah salah waktu nanggepin ini-itu karena aku emang
nggak tahu banyak hal. Kalo nggak ditunjukin teman,
sampe hari ini aku ngira Keong Racun itu hama sawah,
makanya aku sempat penasaran kenapa koran-koran nggak
melaporkan.”

Kedai Merahh 133


“Aku capek tapi aku juga pengin tambah beken,
dianggep keren, tambah teman, banyak followers, selalu
keliatan ceria, punya banyak ide, lucu, nakal, bikin gemes...
Aku pengin kayak dulu lagi, bisa sesukaku, tanpa beban,
online bukan buat bisnis tapi buat suka-suka, nambah
teman...”
Saya diam. Lalu membuka Twitter di BlackBerry saya,
suatu hal yang sudah lima minggu tak saya lakukan, karena
saya memilih desktop.
Ternyata public timeline sedang riuh menanggapi
kicauan Partinah, yang aku anggap dosen media sosialku
dan punya 8.000-an pengikut itu. Khalayak pengicau
tersengat oleh lontarannya sepuluh menit lalu, "Twitter
sucks! F**k u tweeps! Good bye!!!"
Satu lagi orang bermasalah.
Kali ini saya updated banget.

134 Antyo Rentjoko


K A R A NGA N 16

Psikologi Uang

Istilah gagah ini tercipta secara spontan. Ternyata


dianggap keren oleh beberapa teman saya yang sering
berkonsultasi. Istilah itu adalah “psikologi uang”.
Kata itu terucapkan ketika saya dimintai pendapat
oleh Panjul yang mengeluhkan perilaku istrinya. Intinya,
si istri hanya tahu beres sehingga tak peduli bagaimana
suaminya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan.
Kenapa bisa?
Selama 15 tahun menikah, Panjul dan Mari, istrinya,
memegang rekening masing-masing. Karena gaji Panjul
sebagai jurnalis penerbitan besar lebih menggembung
(ditambah nyambi mengurusi NGO), padahal istrinya
hanya pegawai puskesmas, maka sebagian pengeluaran
ditanggung oleh Panjul.

Kedai Merahh 135


Jangan ditanya soal pengeluaran rutin, semisal listrik,
telepon, air, cicilan mobil, cicilan rumah, asuransi, dan
biaya pendidikan kedua anaknya. Semuanya pasti beres
karena suami.
“Akibatnya,” kata Panjul, “Mari itu nggak peduli nilai
uang. Uang bulanan dia cepat habis untuk hal-hal yang
nggak jelas. Bolak-balik aku nombok. Malah tombokan
tambah gede aja. Sampai akhirnya aku cuma seperti pegang
uang saku harianku sendiri.”
Begitulah keluh kesah Panjul tiga tahun lalu. Lantas
saya mengatakan, “Itulah yang namanya psikologi uang.”
“Apa itu, Mas?”
“Ya kasus kalian itu. Nah mulai akhir bulan ini,
transferlah biaya rutin dan lainnya ke rekening Mari.
Biarkan dia yang membayar. Tapi jangan kamu transfer
semua biaya. Cukup yang rutin dan mendadak saja. Misalnya
biaya perjalanan keluarga, yang mendadak, ke luar kota.”
“Kenapa, Mas?”
“Sudahlah, kamu coba saja.”
Sebulan berikutnya saya mendapatkan laporan dari
Panjul, semua tagihan yang uangnya sudah dititipkan ke
istrinya ternyata tak dibayarkan.
Kata Panjul, “Mari owel1) banget buat ngelepas duit.

1)   Dari bahasa Jawa: artinya ketat sekali dalam memegang barang berharga, bakan
cenderng tak mau melepaskan.

136 Antyo Rentjoko


Katanya éman-éman2).
Masih pake ngeluh
pula kok apa-apa mahal
ya?”
Saya hanya
tertawa kecil. Dia pun
mengaku bahwa dirinya
akhirnya paham kenapa
saya memintanya
mentransfer uang
secara pas sesuai nilai
tagihan.
Empat bulan
kemudian Panjul
mampir ke kantor
sambil membawakan
sawo dan nangka
kupasan, buah
kesukaan saya. Dia bilang, “Mas, ekonomi rumah sudah
mulai agak stabil, terkendali. Mari nggak menggampangkan
uang. Sudah mulai berhitung ketat.”
Saya tersenyum dan memuji istrinya, “Beruntung
kamu dapat Mari yang cepat belajar dan mau ngerti.”
Sejak kasus tiga tahun lalu itu, istilah ngawur “psikologi
uang” makin ber-edar dan cepat menyebar. Teman-teman

2)   Bahasa Jawa: sayang, menyayangi sesuatu, dan menimbulkan sesal jika
dilepaskan.

Kedai Merahh 137


saya yang sering berkonsultasi mulai paham maknanya.
Yang juga ikut paham, tentu saja, mayoritas dari mereka
yang menyerahkan seluruh pendapatannya, termasuk
bonus dan uang kaget, kepada istrinya.
Mereka semakin paham kenapa istri-istri mereka
cenderung ketat mengeluarkan uang. Karena mereka
memegang uang. Menjadi kasir besar. Bendahawati negara.
Bukan sekadar dititipi uang lewat.
Lama kelamaan istilah “psikologi uang” menjadi basi,
tak layak diperbincangkan lagi, sampai kemudian pada
suatu malam, enam bulan lalu, Hardiman datang dengan
bersungut-sungut.
“Maaf Mas, psikologi uang itu ternyata ngaco.”
“Kok bisa, Har?”
“Sudah enam bulan aku terapkan ternyata hasilnya
hanya azab.”
“Azab knalpot?”
“Jangan guyon to, Mas...”
“Lha apa?”
“Kerjaku semakin keras supaya pendapatan dobel. Si
Tuti tetap nggak bisa ngontrol duit. Dulu ketika aku pegang
sebagian, sampai gajian bulan berikutnya semua terkendali.
Setelah aku nyerahkan ke dia, eh tagihan nggak dibayar,
malah buat entah apa yang ndak penting, akibatnya jadi
utang. Tabunganku habis buat nutupin utang sama nalangin
tagihan yang nunggak.”
“Ohhh...”

138 Antyo Rentjoko


“Apanya yang oh? Psikologi uang nggak jalan gitu
kok?”
“Hmmmm... namanya juga teori, Har. Tepatnya teori-
teorian. Lha wong teori beneran saja belum tentu berlaku
universal, kecuali untuk fisika dan kimia...”
“Pokoké ngrekaos3), Mas. Jadi ginilah kondisiku, punya
istri kerja tapi aku cilaka. Saben bulan aku nunggu duit dari
kantor dan seminggu sekali nunggu duit dari bojo4) tapi
penerimaanku nggak dobel. Teori matematika nggak jalan!
Lha buat apa aku kerja? Kéré ndomblé! Clèrèt gombèl!”
“Sebelumnya istrimu tahu take home pay-mu nggak,
termasuk sabetan kanan-kiri?”
“Nggak!”
“Kamu tahu pendapatan dia?”
“Nggak! Itu privasi masing-masinglah, komitmen sejak
pacaran, sejak hidup bareng sebelum nikah.”
“Terus...”
“Setelah tahu gajiku gara-gara mulut bocor ibu lain
di arisan, bojoku satu ini nganggep punya piutang ke aku.
Ngerasa selama ini diuriki5). Lalu dia mempertanyakan
ke mana uang lainnya, dan sampailah dia pada suatu
kesimpulan ngawur bahwa uang itu ngalir ke perempuan

3)   Bahasa Jawa, artinya, "Pokoknya berat"

4)   Bojo bisa berarti suami, bisa juga istri. Dari bahasa Jawa.

5)   Bahasa Jawa, artinya dicurangi

Kedai Merahh 139


lain. Makanya dia sekarang semaunya pakai uangku dengan
alasan saatnya nagih hak!”
“Gini, Har...”
“Halah, pasti njenengan6) mau kasih saran aku buka
rekening baru, terus ngasih tahu bagian keuangan supaya
ditransfer ke situ. Udah, Mas! Mentok. Bojoku ngadep
atasanku, sekantor jadi tahu.”
“Mmmm... kamu kan bisa jelaskan ke Tuti ke mana
saja uang yang dia curigai itu?”
“Sudah, Mas. Uang itu ya untuk pengeluaran orang
rumah, dari jalan-jalan, jajan, nyumbang keluarga,
ngasih sangu adik-adiknya Tuti kalau datang, ngirim ke
orangtuanya kalau disambati7). Aku ini yatim piatu, mau
nyumbang diam-diam ke mana coba? Tapi bojoku tetap
nggak mau nggak terima alasan itu. Kéré tenan! Pingin
rasanya aku manjat BTS dekat rumah buat bunuh diri.”
“Jangan cari perhatian dan milih cara nggak praktis
kalau mau bunuh diri. Minjem pistolku kan bisa, Har. Lalu
tembak sendiri kepalamu itu!”
“Habis gimana lagi?”
“Itu kan bukti bahwa psikologi uang itu bener. Kalo
sejak awal kamu serahin duit ke istri, semuanya, pasrah
bongkokan, pasti nggak akan gini jadinya, terlepas dari

6)   Dari bahasa Jawa, lengkapnya "panjenengan", berarti Anda. Ini cara yang sopan
untuk menyebut orang kedua.

7)   Dari kata"sambat", artinya mengeluh.

140 Antyo Rentjoko


kamu leluasa atau tidak, Har. Anggap saja itu sisi buruk
perkawinan bagi pria.”
“Huh! Mumet ndhasku8)! Utang kartu kredit sudah
pol. Asuransi macet karena premi telat terus. Bulan depan
kalo nggak menuhi kewajiban, orang leasing mau narik
mobilku.”
“Gini, Har. Mulai besok kamu ajukan resign. Paling
lama sebulan sesudah besok kamu sudah merdeka. Jadi
pengangguran, tanpa pesangon. Uang rokokmu dan
kebutuhan pribadimu, bukan keluarga, aku yang nanggung.
Itu penting untuk mendidik istrimu yang aneh. Berani?”
Itu enam bulan lalu. Karena tiada kabar kelanjutan
maka saya anggap Hardiman, pegawai perpustakaan kantor
penerbit majalah itu, sudah memberesi persoalannya. Saban
bulang saya mentransfer uang setara biaya hidup bujangan
lega dan bahagia sebagaimana mestinya pria muda.
Lima menit yang lalu, Tuti, istri Hardiman, datang ke
kantor saya. Langsung datang, menyeruak ke ruang kerja
saya, padahal tanpa janji, sehingga sekretaris saya panik,
nyaris memanggil security.
Sorot mata Tuti, wanita keriting gemuk hitam 35
tahun dengan wajah berminyak dan taburan marning
bekas jerawat, itu seperti menyemburkan api biru las listrik
bahkan dengan percikan menyilaukan.
Katanya, “Saya nggak nyangka di balik kekacauan

8)   Dari bahasa Jawa, "ndhas" untuk menyebut kepala tapi kasar. Biasanya
diterapkan untuk binatang dan benda.

Kedai Merahh 141


ini adalah njenengan, Mas. Tapi saya nggak mau minta
cerai dari Hardiman karena pasti enak di dia sebagai
pengangguran. Kasihan anak-anak. Nah, sebagai bujang
lapuk merdeka setengah abad yang banyak uang, juragan
galeri dan kafe laris, selalu gonta-ganti pacar tanpa mau
menikahi, tugas Mas adalah menanggung pengeluaran
keluarga saya. Apakah Mas masih nanggung Hardiman
atau stop, itu bukan urusan saya. Adil kan?”
“Iya, Mas. Adil... Hehehehe!”
Saya tengok asal suara yang saya kenal itu.
Hardiman berdiri di luar pintu ruang kerja saya,
memakai baju putih rapi dan dasi merah tua bergaris hitam,
dengan celana halus warna hitam, tapi beralas kaki sandal
gunung.
Sorot matanya seperti orang lain yang belum saya
kenal.

142 Antyo Rentjoko


K A R A NGA N 17

Spiker Dinding

Kantor baru. Sudah semestinya bersuasana baru.


Sebelumnya, di kantor lama, rumah kontrakan tiga lantai
yang kami pakai sebagai kantor, kami tak leluasa mengatur
ruang. Harus mengalah kepada desain bangunan.
Di kantor baru, sejak enam bulan lalu, di lantai 18
dari sebuah gedung berlantai 22 ini, saya ingin semuanya
berubah.
Desainer interior memahami kemauan saya dan tim.
Anak-anak kantor juga senang karena ada kebebasan
berekspresi, setiap orang boleh menghiasi bilik dan dinding
sesukanya sepanjang temannya tidak keberatan. Mau
dibikin seperti los pasar pun tak soal – tapi, hehehe..., saya
yang keberatan.
Acil, karyawan termuda, masih 23, sudah kegirangan

Kedai Merahh 143


membayangkan cat semprot. Sebagai bekas bomber1), dia
ingin kembali ke suasana lama: dunia mural jalanan, tapi
yang ini nantinya bukan di ruang publik.
Tumi, karyawati usia 28, tamatan sekolah seni rupa
yang sempat menjadi dekorator toserba selama tiga tahun,
membayangkan instalasi dari manekin yang setiap minggu
berganti kemasan.
“Terserah kalian saja,” kata saya. Tujuh belas karyawan
di biro iklan ini bertepuk tangan semua.
Tentang lalu lintas kantor, mereka tak
mempermasalahkan meskipun yah... ada juga celetukan,
“Nggak enak nih kalo ruang bos di pojok, saben hari bos
atau tamu harus ngelewatin kita-kita sepanjang tiga puluh
meter, dari resepsionis sampai ruang bos.”
“Lho bukannya kita suka keterbukaan dan kolaborasi?”
tanya saya.
Lalu saya lanjutkan, “Biar saja semua proses kreatif
kita menjadi etalase. Lagian biar tamu-tamu kita belajar
egaliter, datang maupun pulang harus say hello sama
kalian.”
Akhirnya hari besar kami itu tiba. Jumat kami tutup,
karena hari itu sampai Minggu untuk pindahan.
Perusahaan jasa pemindahan yang kami sewa
menjalankan tugas dengan baik. Minggu siang semuanya
sudah terletakkan seperti rencana set. Bahkan tak sampai

1)   Sebutan untuk pembuat grafiti dan mural yang menggunakan cat semprot.

144 Antyo Rentjoko


© sumber gambar asli tidak diketahui

sore, celengan lempung berupa ayam jago, milik Benny,


art director, sudah nangkring di meja baru dengan penuh
wibawa.
Hari Senin sangat ceria. Kiriman bunga untuk
meja berdatangan, isinya ucapan selamat. Anak-anak
menikmatinya. Makan siang menjadi satu dengan selamatan
kantor baru.
Hari Selasa keceriaan itu berkurang. Selepas makan
siang, milis kantor dipadati protes. Saya tetap diam,
meminta mereka menahan diri sampai Jumat. Saya katakan
lama-lama akan terbiasa.
Tapi hari Rabu pukul sepuluh mereka, termasuk
beberapa anak yang mestinya lagi tugas keluar buat urusan
klien, memadati ruang saya. Masing-masing dengan

Kedai Merahh 145


headphones atau earphones-nya.
“Bos, nggak bisa dong kalo otoriter gini. Kita jadi nggak
happy. Kenapa nggak diganti semuanya pake lagu mars aja?
Atau tambahi CCTV aja sekalian?”
Baiklah saya jelasan kepada Anda, para pembaca.
Ada satu hal yang ketika kami akan pindah tidak saya
beritahukan kepada mereka. Saya menginstalasi sistem
audio, bukan di langit-langit melainkan di dalam partisi.
Ada 40 spiker kecil khusus yang saya tanam dalam partisi
ruang. Sekali lagi: di dalam partisi, bukan spiker yang
ditanam di dinding dengan corong menghadap keluar.
Spiker ini tidak kelihatan. Ada di dalam rongga dinding,
kecuali di ruang saya.
Spiker ini seukuran tiga per empat kepalan saya,
beratnya hampir satu kilogram. Bikinan Taiwan dengan
teknologi Jerman. Memang dirancang untuk ditaruh di
tempat khusus. Misalkan ditaruh di ujung meja panjang,
tanpa volume pol, maka orang di ujung lain bisa merasakan
getaran auditifnya dengan jelas.
Ketika deretan spiker saya tanam dalam partisi
berbahan gypsum, tanpa diisi glass wool, maka aliran
suaranya akan menggenangi ruang. Ini berbeda dari spiker
khusus untuk langit-langit yang suaranya terasa sebagai
tumpahan dari atas.
Posisi spiker dinding ini saya letakkan setinggi kepala,
maksud saya sih setinggi telinga orang duduk. Sama seperti
staging untuk spiker stereo model rak buku pada umumnya:

146 Antyo Rentjoko


tinggi tweeter setara kuping orang dewasa duduk.
Jadi meskipun volume yang dipompakan oleh power
amplifer 300 Watt (ada di ruang saya) tanpa subwoofer
itu hanya ambient, bahkan empat puluh persen dari batas
normal, tapi misalkan terhalang cubicle pun getarannya
terasa. Tidak bising tapi terdengar. Saya ngawur saja, tidak
berkonsultasi dengan audiophile manapun. Saya malas
menanya teman-teman di What Hi-Fi Indonesia.
Anak-anak kantor merasa terjajah oleh selera dan
pilihan musik sayayang gado-gado: Pat Metheny, Trilok
Gurtu, MGMT, Radiohead, Spock's Beard, Didi Kempot,
bahkan lagu anak-anak waktu Sherina dan Agnes Monica
masih bocah.
Saya merindukan masa-masa indah tapi juga
mengesalkan itu. Waktu saya masih SD di sebuah kota kecil
di Jawa Tengah, saya harus jalan kaki empat kilometer,
tapi kalau memilih potong kompas melalui kampung demi
kampung, maka jaraknya tinggal dua setengah kilometer.
Saya tak punya arloji. Melewati rumah demi rumah
membuat saya sadar waktu. Kenapa? Radio yang diputar
masing-masing rumah adalah stasiun yang itu-itu saja.
Kalau bukan Radio Kartika YDA7C5 (milik Kodim) ya Radio
Chusus Pemerintah Daerah YDA7C2.
Isinya hampir sama. Pukul 06.30 merelai RRI
Semarang, dengan station ID berupa sepenggal lagu

Kedai Merahh 147


Gambang Semarang2), instrumental pada “Empat
penari...” sehingga anak-anak memelesetkannya sebagai
lagu “setengah pitu” (=setengah tujuh) dengan nada yang
sama.
Pada pukul 07.00 semua stasiun merelai RRI Jakarta,
dengan petikan lagu Rayuan Pulau Kelapa, dengan
insrumental pada refrain, “Melambai lambai, nyiur di
pantai, berbisik bisik...” lalu fade out dengan dibarengi
suara tutu-tut-tut modulasi radio seperti timer. Mungkin
aneh, sekolah saya masuk pukul 07.30, bukan pukul 07.00,
sehingga ketika Warta Berita berkumandang saya masih di
jalan.
Bahkan saya ingat lagu untuk Varia Nusantara, dengan
suara kemeresek tebal piringan hitam yang tak saya ketahui
judul lagunya selain kira-kira begini, “mi... fa... sol-siiiii...
do-si-sol-fa-mi...”
Sekecil itu, kelas tiga sampai kelas enam SD, 1970-1973,
saya merasakan sebuah derita karena harus mendengarkan
apa yang orang lain mainkan, tepatnya putarkan.
Kebosanan itu membuat saya bisa menulikan diri. Tapi
sering gagal juga. Menyusuri lorong yang diapit pohon pace
(dengan buah berbusa dan mblenyèk di atas tanah, saat itu
pace belum memiliki nilai komersial) dan pohon lamtoro,
perjalanan saya diiringi oleh siaran sialan – selain sesekali

2)   Beberapa sumber menyebutkan lagu ini diciptakan oleh Oei Yok Siang,
salah satu penggerak gambang Semarang pada 1930-an. Tentang judul, ada yang
mengatakan tajuk lagu ini adalah Empat Penari, bukan Gambang Semarang.

148 Antyo Rentjoko


ditladhung babon3) yang merasa anak-anaknya terganggu
oleh langkah saya, dan beberapa kali nyaris disosor angsa.
Siaran sialan. Sumbernya sama. Isinya juga sama.
Hanya ada tiga rumah, berlainan kampung, jaraknya
berjauhan, yang menyetel radio berbeda. Yang pertama
rumah kayu berlantai semen tanpa halaman dari sebuah
keluarga Ambon, di Margosari. Sekeluarga senang
bernyanyi dengan iringan gitar di teras (papinya selalu
memainkan ukulele). Saya tak tahu pekerjaan si Papi, tapi
putra-putrinya yang remaja tampaknya tak bersekolah
karena selalu di rumah. Keluarga ini sering menyetel radio
luar negeri, tapi saya tak tahu bahasa apa. Mungkin siaran
Hilversum atau Bonn.
Yang kedua, di Leyongan. Ada sebuah rumah kayu yang
terawat, dengan lantai ubin gaya Belanda, jendela kacanya
bertirai renda, punya dua anak perempuan cantik, kira-
kira empat dan enam tahun di atas saya, selalu berangkat
pagi, dilepas oleh ibunya yang berkebaya di pintu pagar.
Penampilan ibu itu meskipun sederhana menyiratkan
sosok priyayi. Begitu pula sang ayah, kalau pagi masih
berpiyama, membaca buku (kenapa bukan koran, ya?),
dan ya itu tadi: menyetel radio asing yang bersiaran dalam
bahasa Indonesia. Sempat saya dengar suara penyiarnya,
“...masih bersama Radio Australia.”
Yang ketiga di Jangkungan, rumah tanpa halaman,

3)   Bahasa Jawa: tladhung adalah serangan berupa patukan ayam terhadap
makhluk lain. Babon adalah induk ayam.

Kedai Merahh 149


milik seorang bapak usia 45-an yang selalu bersarung
batik dan berkaos oblong putih. Setiap pagi dia hanya
berjemur di tepi gang depan rumah sambil mendengarkan
radio transistror, mungkin Ralin4), warna abu-abu yang
diletakkan di tangga teras. Saya tidak tahu siaran asing apa
yang dia dengar. Yang saya tahu putri sulungnya adalah
guru TK.
Suara radio mereka timbul tenggelam. Namun saya
mendapati sebuah gairah semasa: setiap orang senang
dengan radionya.
Bukan hanya setiap orang tetapi juga setiap keluarga.
Radio menjadi jendela informasi, termasuk informasi
tentang lagu baru, yang hadir di rumah sendiri, bukan
rumah tetangga. Ernie Djohan masuk ke rumah-rumah.
Onny Sujono dan Tuty Subardjo juga. Tapi S. Warno dengan
Sapu Tangan Merah Djambu tetaplah kampiun. Begitu juga
Tjondro Ireng yang meratapi nasib karena Tanpa Titel.
Masuknya radio transistor menghadirkan peman-
dangan serupa di perkampungan: pagi hari saya lihat
sejumlah rumah menjemur baterai kuning,5) dengan

4)   Salah satu merek lokal untuk radio transistor rakitan Indonesia yang laris pada
awal Orde Baru. Radio penerima ini dirakit dengan onderdil buatan Philips, Belanda.
Selain itu ada pula pesawat radio Tjawang, rakitan PT Transistor Radio Mfg. Co.
(M. Thayeb Gobel), sejak 1950-an. Transistor membuat pemilikan radio kian meluas
karena harganya menjadi lebih terjangkau bila dibandingkan radio tabung. Sebelum
ada radio transistor, pemilik radio tabung di sebuah kampung harus merelakan
pesawatnya menjadi kebutuhan publik (tetangga), baik untuk mendegarkan berita
maupun penanda waktu karena tak setiap keluarga memiliki jam.

5)   Batu baterai dari kelas termurah, apapun mereknya. Di atas itu ada yang

150 Antyo Rentjoko


harapan setrum akan dipulihkan, untuk mendorong biduan
dan biduanita berdendang.
Tapi ada yang lebih penting: sekecil itu oleh
lingkungan saya sudah diracuni ilmu intelijen kelas kacang
bawang dalam mengidentifikasi orang. Kalau ada orang
terpelajar, bisa bahasa asing dan senang membaca, apalagi
suka berdiskusi, bukan dalam usia pensiun tapi sudah
menganggur, maka besar kemungkinan mereka itu “orang
kiri” yang berarti “tersangkut PKI”. Maka otak bocah saya
pun terpengaruh, melabeli mereka sebagai PKI.
Perjalanan bersama siaran radio sepanjang dua
seperempat kilometer sangat membekas dalam diri saya.
Memang tak semuanya berisi berita. Tapi siaran beritalah
yang sangat menguasai ingatan saya, termasuk suara
penyiarnya yang saya duga masuk ke kolong meja agar
suaranya berat dan gemlenggeng6) berwibawa, padahal isi
beritanya tidak saya ingat. Kalau tidak bergaya kolong meja,
cara mereka membaca siaran seperti berpidato di podium
alun-alun.
Mereka, para penyiar itu, seperti bus dan truk: siapa
penumpangnya, apa muatannya, tidak saya ketahui, tidak
saya ingat, tapi suara kendaraannya saya kenali.
Tapi mereka itu, kadangkala, mengilustrasi mimpi

berwarna hijau, biru, merah, dan seterusnya. Baterai hitam (heavy duty) baru muncul
akhir 70-an.

6)   Bahasa Jawa: suara bulat dan penuh tapi empuk, seperti bunyi spiker yang
dihadapkan ke dalam mulut gentong

Kedai Merahh 151


saya hingga dewasa. Stasiun radio ibarat guru tidak
menyenangkan yang harus saya jumpai setiap hari.
Ketika saya duduk di SMP dan SMA, kenangan aneh
atau buruk dengan radio itu tak begitu terasa, karena
rumah-rumah yang saya lewati sudah memiliki pemutar
kaset – mono, belum stereo. Saya hanya ingat, Koes Plus
adalah favorit semua rumah. Ketika saya SMA, Rafika Duri,
Betharia Sonata dan Iis Sugianto mendekam dalam kaset
beberapa rumah dan setiap pagi suara mereka dilepaskan.
Hanya satu-dua rumah yang memiara Chrisye.
Kemudian ketika saya kuliah di Yogyakarta, sekitar
100 kilometer dari kota asal saya, pengalaman mirip
radio terulang. Dari TVRI. Hanya ada satu stasiun negara,
dengan beberapa cabang di beberapa deerah. Malam pukul
sembilan ke atas, semuanya TVRI. Semuanya Golkar.
Ketika saya menyusur lorong demi lorong, dalam
perjalanan ke rumah sepulang dari nonton bioskop, dolan,
atau pameran atau konser, suara yang keluar dari setiap
rumah sama. Kalau belum lama dari pukul sembilan
malam ya Dunia dalam Berita. Kemudian setelah itu, pada
hari tertentu, ya Kamera Ria dan Aneka Ria Safari. Dari
setiap rumah. Oh ya, tentu ditambahi Thomas Cup dan All
England – kalau lagi ada.
Masa-masa itu saya jadi membenci televisi tapi kadang
merindukannya ketika saya terlalu lama menyepi ke sebuah
rumah di desa yang belum berlistrik dan tidak bertelevisi.
Kerinduan bertemu apa yang saya benci adalah alasan

152 Antyo Rentjoko


untuk pamit kepada Sibu, sang pemilik rumah di pinggir
sawah, sekitar 45 kilometer dari rumah saya.
Pesawat TV multikanal, tapi hanya bisa diset untuk
menampung siaran TVRI pusat maupun daerah, serasa
menjadi pengejek ketidakberdayaan rakyat. Seolah leluasa
memilih saluran tapi hasilnya sama.
Sesak rasanya hidup tanpa pilihan dan digiring oleh
sebuah corong besar milik penguasa. Lebih sesak lagi, tak
sampai seminggu setelah acara musik di tertayang TVRI
(misalnya Aneka Ria Safari dan Selecta Pop) maka bus Solo-
Yogya memutar play list yang sama, dengan salah satu hit
teratas lagu entah apa dari Endang S. Taurina, Dian Pisesha,
atau Hedi Diana. Kaset diputar secara auto reverse. Awak
bus menjadi diktator selama hampir dua jam perjalanan.
TVRI sangat membosankan. Seringkali teks yang
dibacakan selama Dunia dalam Berita, terutama jika
menyangkut berita luar negeri, sama dengan koran.
Mungkin karena sumbernya sama, dari Antara yang menjadi
penghubung kantor berita luar negeri. Cara bertutur untuk
media tulis dipindahkan begitu saja ke dalam tuturan lisan.
Jika ditambah siaran langsung acara kepresidenan, maka
semakin lengkaplah kebosanan kita – sama bosannya
dengan ketika Anda membaca tururan ini. Bertele-tele, tak
menukik ke pokok persoalan, bahkan klise.
Ke mana arah cerita ini?
Pada 1999, saya membaca majalah D&R yang salah
satu edisinya mengikuti Seno Gumira Ajidarma dalam

Kedai Merahh 153


suatu hari. Di sana diceritakan, ketika mengajar penulisan
kreatif di IKJ, Cikini, Jakarta, Seno memutar Wynton
Marsallis. Mahasiswa protes, merasa tertekan oleh musik
yang tak cocok. Jawaban Seno, kurang lebih, “Pram di Pulau
Buru menerima tekanan yang jauh lebih besar tapi itu tak
menindas daya ciptanya.”
Latar belakang itulah yang menjadi alasan saya
memasang spiker dinding di kantor.
Celakanya saya tidak mampu memaparkan semua itu,
selain jawaban ringkas, “Ini adalah cara supaya kalian tetap
kreatif, seberat apapun tekanan yang kalian terima. Dalam
beberapa hal, otoriter itu perlu.”
MP3 dari desktop dan iPod hanya boleh didengarkan
dengan headphones atau earphones. Hanya peralatan
audio-visual di ruang rapat yang boleh merdeka, itu pun
saat presentasi. Di luar jadwal harus wireless headphone.
Saya yakin kebijakan ini tepat. Meneruskan dan
melembagakan apa yang saya lakukan di kantor lama:
suara keras dari pemutar musik hanya boleh ada dari audio
di ruang saya.
Pekan berikutnya setelah penjelasan itu sebelas
anak mengajukan permohonan diri dan semuanya sudah
mendapat calon tempat baru. Untung saya mendapatkan
pengganti.
Spiker dinding itu tetap tertanam di sana, tapi tidak
saya bunyikan lagi sejak sebulan terakhir. Selama masa
jaya spiker, satu anak (cewek) saya keluarkan tanpa ampun
karena membobol gypsum dan memotong kabel.

154 Antyo Rentjoko


K A R A NGA N 18

Nama-nama Sialan

Nama-nama. Bukan hanya nama sebenarnya. Karena


jika menyangkut nama maka satu nama bisa mencakup
banyak orang. Seperti kita membuka buku telepon, ada
banyak Ali di dalamnya.
Maka yang kumaksudkan adalah sejumlah pribadi
yang tentu saja bernama. Mereka itulah yang menjadi paku
berkarat dalam hatiku.
Mereka membuatku tak dapat tidur nyenyak karena
membuat Abang tertarik, bahkan terpikat, malah tampaknya
ada yang membuat hati Abang senantiasa menjadi pot subur
yang setiap hari diisi bunga mekar.
Kalau harus kukatakan dengan jujur maka aku sangat
tidak menyukai mereka, bahkan sampai membencinya. Aku
tak pernah menyebut nama mereka di depan Abang. Aku

Kedai Merahh 155


© sumber gambar asli tidak diketahui

selalu menggunakan sebutan pengganti. Puas rasanya bisa


mengecilkan orang lain sambil seolah-olah tak mengakui
jati diri mereka.
Apakah kalian ingin tahu siapa mereka?
Maaf kalau yang kutuliskan kasar.
Aku sudah mencoba mengeditnya berulangkali,
menghaluskannya, tetapi tetap saja gagal. Bahkan sepuluh
nama sudah aku coret, padahal masing-masing adalah
binatang pengganggu.
Maka kupilih beberapa saja yang utama.

1. Astuti Wiraguna
Aku mengartikan Astuti sebagai singkatan “Asli
Tukang Tipu”. Untuk ringkasnya, apalagi di depan Abang,
aku menyebutnya “penipu” – dengan “p” kecil kalau ditulis.
Bukan urusanku apakah dia pernah menipu, tapi aku puas
menamai dia begitu.
Kesalahan terbesar dia adalah membuat Abang

156 Antyo Rentjoko


mencium kedua pipinya selayaknya sahabat padahal aku
yakin Abang baru bertemu langsung dua kali – ketiga di
depanku. Selama ini mereka hanya bersua di blogosfer.
Dasar Abang playboy! Tapi ada sepersekian detik
pemandangan yang menyiksaku. Ketika wajah Abang
mendekat, penipu itu langsung memiringkan wajah,
memasang posisi pipi kiri sebagai tempat pendaratan
kecupan. Kalau dia wanita baik-baik mestinya punya waktu
untuk menghindar, atau minimal jangan sampai terkecup
tapi hanya gesekan pelan pipi. Dasar gatel!
Ih, perempuan tak tahu malu! Murahan! Tidak cantik,
tapi tubuhnya bagus, payudaranya membusung karena pad,
suka pakai baju berbelah rendah, karena dia tahu lelaki
akan tertarik.

2. Gracia Sukoco
Aku menyebutnya, Miss Kampret. Aku tahu Abang
menyukainya, menyayanginya, mengaguminya, memujinya

Kedai Merahh 157


sejak sepuluh tahun silam.
Abang katakan si kampret ini cantik, padahal
menurutku tidak cantik. Hanya kebetulan kulitnya terang
kerena cetakan etnis. Abang katakan si kampret ini
seksi, padahal menurutku tidak, apalagi sekarang setelah
usianya menapaki kepala empat. Memang tubuhnya
proporsional, dan kencang, tapi dari foto-foto dia media aku
menganggapnya standar. Memang sih, harus akui wajahnya
memancarkan keyakinan diri yang tinggi.
Dia desainer interior dan aku yakin dia menapaki
sukses dengan memanfaatkan pesona fisik meskipun aku
tak menganggapnya memesona. Tetapi lelaki mana yang
nggak doyan sama perempuan yang suka memamerkan
tubuh?

3. Clara Tjahjadi
Singkat saja, aku menyebutnya lonte. Maaf kalau kasar,
tapi aku puas bisa menjuluki begitu.
Kesalahan utama dia adalah menyusup ke hati Abang
selama dua puluh tahun lebih, dan mendekam terus di
sana.
Abang bilang belum pernah pacaran, kali lain bilang
nggak ada hubungan khusus, terus bilang hanya sayang
selayaknya kakak terhadap adik (apa? sayang? maksudnya
syahwat?), tapi naluriku mengatakan mereka dulu sering
tidur bareng, mempersatukan fantasi jalang masing-
masing.

158 Antyo Rentjoko


Dia tidak cantik tapi Abang bilang cantik. Dia tidak
seksi tapi Abang bilang seksi. Dia biasa saja tapi Abang
katakan smart. Perempuan tanpa kelebihan istimewa tapi
bisa membuat lelaki terpikat berarti punya keunggulan di
ranjang bahkan menjadikannya sebagai jalan kehidupan.
Maka layak disebut sebagai, maaf, lonte. Aku tak sudi
memaparkan info lain yang aku yakin valid.

4. Rina Dorodjatun
Aku menyebutnya Miss Piggy karena avatarnya di
Twitter bergambar celengan. Di Facebook juga gonta-ganti
profil dengan gambar celengan.
Dia suka bergenit-genit, misalnya di Facebook
menyebut Abangku dengan kata “sayang”, lalu ditambahi
embel-embel menjijikkan seperi “peluk-peluk”, “pengin
nyender”, dan “kangen”. Dasar babi betina! Padahal dia
sudah bersuami dan punya anak remaja. Hih! Jijay!
Terhadap pria matang lain dia juga begitu. Dasar!

5. Happy
Hanya dua bulan kubenci setengah mati karena sering
disebut ketika aku chatting di Y!M dan ngobrol via telepon
dengan Abang. Ternyata dia lelaki, nama lengkapnya Happy
Sulistiarto. Tapi namanya kadung aku ganti Miss Veggie
– bukan karena dia vegetarian tapi aku mengikuti cara
majalah sini menyebut vagina. Dia manajer IT di kantor
Abang.

Kedai Merahh 159


6. Ambar
Selama sebulan dia kubenci, sehingga kunamai
Ambyar. Ternyata seperti halnya Happy, dia itu lelaki,
komandan satpam di kantor Abang. Dulu kalau aku telepon
atau di aku tanya di Y!M, malam-malam di kantor sama
siapa, Abang menjawab “Sama si Ambar.” Ternyata Ambar
Sulaksono. Dulu sempat aku ubah jadi Ambyar Sontoloyo.

Nama-nama lain masih ada, tapi ah... malas


menuliskannya. Kasus Happy dan Ambar aku contohkan
sebagai bukti bahwa Abangku tersayang tidak bisa
dipercaya, senang merahasiakan informasi, membiarkan
hatiku terpanggang, sampai aku meradang, dan ujung-
ujungnya aku jadi tampak bodoh. Jadi bukan karena aku
mengada-ada.
Salah satu hal yang paling tidak kusukai dari Abang
adalah ucapannya ketika hatiku tertusuk dan terbakar
seperti sate kiloan: “Aku aja nggak mempermasalahkan
siapa teman priamu tapi kenapa kamu ngerecokin aku?
Aku juga nggak pengin mengaturmu harus bergaul dengan
siapa, tapi kenapa kamu jadi seperti ibuku?”
Aku membenci kata-kata itu karena tidak bisa
menjawabnya selain, “Biarin!”
Dasar lelaki! Maunya setiap sikap dan tindakan
memiliki alasan yang dipaparkan secara masuk akal, bukan
sekadar “Biarin!”

160 Antyo Rentjoko


Huh, kenapa aku belum lega ya, padahal sudah
menumpahkan ini semua?
Aku sudah memasukkan dua kipas angin bertenaga
besar tapi tetap saja rongga dada dan perutku panas. Sisa
arang pembakar sate sulit padam baranya. Malah sekarang
aku mulas dan gatal-gatal. Gara-gara mereka yang keparat
terkutuk itu. Pasti sebentar lagi jerawatku nongol.
Orang yang tak tahu persoalan dan membaca ini pasti
menganggap aku kolokan, tidak rasional. Padahal, ohhh...
bagaimana mengatakannya... persoalannya nggak sesimpel
itu. Ini soal hati. Hati. Ngerti nggak sih?
Mungkin inilah kehidupan, banyak orang tak dapat
bersikap adil terhadap perasaan orang lain karena
menganggap hal yang rumit dapat disederhanakan.
Baiklah, kalau masalahnya adalah penyederhanaan
persoalan, maka yang aku sampaikan tadi adalah
penyederhanaan. Tapi tetap saja menyakitkan, karena apa
yang aku sederhanakan malah membuat aku tampak bodoh,
tidak dewasa, bahkan ganjil, dan bisa juga mengerikan.
Kalian tahu nggak sih, ini soal hati! Bukan soal otak!
Sekali lagi: ha-ti!
Uh, bagaimana membuat paparan ini lebih jernih,
bukan hanya sebagai nampan berisi kue bantat panas yang
isinya bara?
Aku sudah lelah, tercemari oleh racun yang sengaja
diteteskan Abang ke dalam hatiku. Apapun yang aku
nyatakan menjadi konyol, mengundang cemooh, bahkan

Kedai Merahh 161


menjadi bahan tertawaan.
Kalau sudah begini kadang aku ingin punya senapan
mesin, memberondongkan peluru panas dan tajam ke tubuh
perempuan-perempuan sialan itu. Perempuan-perempuan
terkutuk itu, tak hanya sebatas mereka yang namanya
sudah aku sebutkan – pengecualian berlaku untuk Happy
dan Ambar.
Tapi, tentu, aku takkan menembuskan pelor ke tubuh
Abang karena aku membutuhkannya. Lagian terlalu enak
bagi Abang kalau dia mati duluan, lantas di neraka reuni
sama perempuan-perempuan gatal yang kepanasan dan
kegerahan lalu buka baju itu.
Apa lagi yang bisa kukatakan, karena aku sudah blak-
blakan?
Izinkan aku mengambil napas panjang dulu, minum
seteguk air putih – ini juga meniru cara Abang.
Uh lumayan lega, nggak sesak napas lagi. Aku
mulai tenang. Kubuka jendela saja, supaya angin malam
menyusup. Sejuk. Menyegarkan. Keringat di kulit kepala
dan tengkuk mulai terembus.
Tiba-tiba aku pengin ngerokok, meniru the ganjens
yang gatal itu ketika pada menenangkan diri. Tapi sudah
terlalu malam. Masa ke Circle K seberang rumah cuma pakai
daster dan kardigan, lantas lampu mobil akan menembus
dasterku dan payudaraku yang nobra? Uh, enak aja! Emang
aku perempuan ganjen gatal murahan kayak mereka?
Lagian aku kan bukan perokok. Hanya karena kebaikan

162 Antyo Rentjoko


hatikulah maka Abang bisa berkepul-kepul di depanku.
Oh ya, masih ada yang akan kuceritakan tapi tidak
meledak-ledak, toh aku sudah tenang sekarang. Akan
kujelaskan seringan tisu melayang yang diterbangkan kipas
angin.
Maka kuakui saja, ada satu perempuan lain yang aku
tak punya alasan apapun untuk tidak menyukainya apalagi
membencinya. Dia pun bukan ancaman bagiku meski
sebetulnya bisa digolongkan sebagai penghambat.
Tak perlu kusebutkan namanya maupun caraku
menyebutnya.
Dia adalah istri Abang, ibu dari dua putra dan dua
putri.
Puas?

Kedai Merahh 163


164 Antyo Rentjoko
TENTANG PENULIS

Saya tidak tahu bagian


ini harus diisi apa seperti
umumnya buku. Jadi lebih
baik Anda cari saja di
Google "antyo rentjoko".
Bukan karena saya merasa
penting atau tenar, tapi
sekarang nama orang yang
tidak berurusan dengan
internet pun bisa terendus
oleh mesin pencari.
Semoga di sana Anda
mendapatkan temuan yang
memuaskan Anda maupun
saya. Lho? Bisa saja
temuan Anda malah tidak
saya sukai. :)

flavors.me/antyo

Kedai Merahh 165


Buku yang mengesalkan.
Padahal saya belum
membacanya, dan tidak akan.
Ndoro Kangkung
jurnalis, ahli akupunktur, Tangerang

Apaan sih? Idih!


Simboké Tholé
pengusaha dendeng & abon, Cileungsi, Bogor

Endorsement ini pasti dummy


tapi dibiarkan.
Slamet Katro
tukang jilid fofokopian, Gandaria, Jakarta

Daripada sampul belakang ini kosong


maka saya isi saja. Sampul ini saya
kerjakan ketika saya menyelesaikan
karangan berjudul Kedai Merahh.
Kenapa judulnya itu, selain buat
gagah-gagahan juga karena judul
berikutnya belum ada – maklumlah
naskahnya belum saya tulis. Memang
pemuatan karangan di sini diurutkan
sesuai kerampungan. Saya malas
kalau harus menata ulang halaman
demi keselarasan kompilasi.

166 Antyo Rentjoko

Anda mungkin juga menyukai