Anda di halaman 1dari 10

JAHARU

BY; CUTU

Altaf lelaki tampan yang dilahirkan di sebuah desa. Semenjak kecil ia sudah
bergelut dalam dunia hitam penuh sandiwara mematikan. Sorot matanya yang
tajam bagai mata elang sedang menukik menangkap ular, menerbangkan ke
udara lalu membawa dalam semak belukar. Begitulah cara ia melewati segala
pergulatan hidup.
Ayahnya seorang buruh tani lepas, yang hidup serba kekurangan. Kepercayaan
diri Altaf membuatnya harus melewati semua rintangan itu. Mampukah ia
melakukan semua itu? Sepanjang perjalanan perang melanda negerinya sampai
damai berlangsung, hidup Altaf berseliwaran sepanjang jalan.
Rusli menutup mata saat anak lelakinya meminta uang. Sudah menjadi barang
tentu baginya yang miskin, bahwa uang bagai dewa yang disembah. Tanpa uang
sekeliling menjadi gelap. Saat itu kampung kami masih sangat sedikit yang
memakai listrik. Di rumah-rumah belum ada penerang sepenuhnya, kecuali
orang-orang kaya yang sudah memiliki dengan cara disubsidi.
"Ayah, aku butuh uang sekolah Yah." Ujarnya. Dengan lantang Rusli menolak
keinginan anaknya. Altaf punya cita-cita yang tinggi, setinggi puncak gunung
yang hendak didakinya. Namun uang menjadi salah satu pembatas.
Hingga saat itu…
Hari ini kita akan membahas tentang impian.” Ucap bu Tya, guru Bahasa
Indonesiaku.
“Tuliskan apa impian kalian serta beberapa alasan kenapa kalian ingin menjadi
seperti itu pada satu lembar kertas. Mengerti?”
Kami semua mengangguk. Satu hal yang muncul dalam pikiranku, menjadi
seorang penulis. Menjadi seseorang yang akan dikenal banyak orang, yang akan
dikenang banyak orang karena karya-karyanya. Pasti menyenangkan.
Aku ingin menjadi penulis.
Alasanku menjadi seorang penulis; Pertama, karena menurutku, menulis sangat
menyenangkan. Kedua, aku bisa meluapkan perasaanku lewat rangkaian cerita,
perasaan yang mungkin tidak bisa aku ungkapkan pada kebanyakan orang.
Ketiga, aku ingin hasil karyaku dijadikan sebuah buku. Alangkah bahagianya
jika aku bisa melihat hasil karyaku berjejer rapi di rak beberapa toko buku
terkemuka. Intinya, menjadi seorang penulis adalah impian yang harus aku
wujudkan! Tidak peduli bagaimana keadaanku sekarang, aku akan terus
berjuang meraihnya.
Keesokan harinya, saat bu Tya kembali memasuki kelasku, beliau membagikan
lembaran-lembaran yang berisi impian itu pada kami.
“Altaf.” Ucap bu Tya.
Dengan senyum yang lebar, aku berjalan menghampiri beliau, dan mengambil
selembar kertas milikku. Tapi, alangkah terkejutnya aku saat melihat sebuah
tulisan dengan tinta merah di bawahnya.
“Impianmu terlalu tinggi. Ingat, kamu hanya anak seorang pemulung, mana
mungkin bisa menjadi seorang penulis terkenal?” aku menelan ludah dengan
susah payah. Aku pandangi wajah guru yang sebelum ini sangat aku hormati.
Begitukah beliau? Pantaskah seorang guru merendahkan impian sang murid?
Tidak pantaskah seorang anak pemulung sepertiku memiliki cita-cita sebagai
seorang penulis?
Dengan penuh emosi, aku memukul meja di hadapanku keras, lalu berjalan ke
luar dari ruangan kelas. Aku tidak butuh guru seperti itu!
“Lihat saja, suatu saat nanti, aku akan membuktikan bahwa aku bisa menjadi
seorang penulis! Anak miskin sepertiku akan sukses menjadi penulis!”
Hidup sebatang kara di Ibu Kota memang tidak mudah. Kalian pasti bertanya
“di mana orangtuamu?” jawabannya adalah; kedua orangtuaku pergi. Entah di
mana mereka sekarang, masih hidupkah, masih ingatkah padaku, kenapa
mereka tega membuangku saat aku bayi, dan … Terlalu banyak tanda tanya
yang selama ini belum aku pecahkan jawabannya.
Aku tidak pernah berniat untuk mencari kedua orangtuaku. Mungkin saat ini
mereka sudah bahagia, tanpaku tentunya. Kadang, aku merasa takdir tidak
pernah adil. Kenapa harus aku yang merasakan semua ini?
Tapi aku selalu sadar. Perjalanan hidup semua orang tak pernah sama. Inilah
perjalanan hidup yang harus aku jalani. Aku hanya perlu berjuang lebih keras
lagi, jika ingin cita-citaku tercapai. Aku tidak bisa seperti mereka, yang dengan
santainya meminta uang pada kedua orangtua untuk membeli barang-barang
yang tidak penting, pergi ke sana-kemari dengan supir pribadi, malas
bersekolah karena dia tahu, kedua orangtuanya kaya, jadi dia tidak perlu
bersusah payah, dan banyak hal lain yang biasa orang-orang kaya lakukan. Dan
soal perkataan bu Tya tadi, aku berjanji akan membayarnya lunas dengan
kerja kerasku yang akan menjadikan aku seorang penulis! Tidak ada yang
boleh mengejekku! Tidak ada yang boleh merendahkan impianku! Akan aku
buat semua orang yang meremehkanku menyesal telah melakukan itu padaku!
Aku berjanji!
Sepulang dari menjual barang-barang rongsokan, aku segera pulang dan mulai
menghitung uang hasil penjualan hari ini. “Alhamdulillah, tiga puluh tiga ribu.”
Dengan cepat aku pergi menuju Bang Joko, penjual majalah di dekat rumahku.
“Bang, beli majalah terbaru yang ada audisi lomba nulis cerpen.” Ucapku saat
bertemu Bang Joko di lapaknya.
“Waduh … Majalah apa ya, Al? Abang nggak pernah buka-buka majalah, sih.”
Jawab Bang Joko. “Tumben cari majalah yang begituan, Al?”
“Iya nih, bang. Aku pengen ikutan lomba cerpen gitu. Siapa tahu aja menang
terus beneran jadi penulis terkenal.”
“Wah .. Kalau udah jadi penulis yang terkenal jangan lupa ajak Bang Joko
makan yang enak-enak ya, Al?”
“Pasti bang! Doain aja deh semoga semuanya lancar.”
Bang Joko mengangguk dan mencari-cari majalah yang aku maksud.
“Kayaknya ini majalah yang kamu cari, Al.”
“Berapa harganya, bang?” tanyaku sembari meraih majalah itu.
“Buat calon penulis sih gratis aja. Toh kalau nanti kamu sukses kan Bang Joko
ditraktir juga.” Bang Joko nyengir lebar. “Semangat ya, Al!”
Aku mengangguk semangat. “Yang bener, bang? Beneran gratis, nih? Asyik …”
“Iya, buat Altaf mah nggak apa-apa deh gratis.”
“Makasih ya, bang!” teriakku senang. “Aku janji deh nggak bakal ngecewain
abang. Aku bakal usahain jadi juara, bang!”

Setelah kembali dari lapak Bang Joko berjualan, aku segera membuka-buka
majalah itu. Dan tepat di halaman delapan, terdapat pengumuman lomba
menulis cerpen tentang kehidupan. Aku membaca syarat-syarat itu dengan
sungguh-sungguh. Setelah mengerti bagaimana alur ceritanya, aku segera pergi
ke tempat internet terdekat untuk membuat cerpen itu. Maklum saja, aku tidak
mempunyai laptop atau komputer yang bisa digunakan untuk membuat cerpen.
Aku bersumpah, aku akan terus berjuang menjadi seorang penulis!
--
“Gimana, Al?” tanya Bang Joko.
Aku menghela napas dan menggeleng pelan. “Gagal, bang.”
“Nggak apa-apa.” Bang Joko mengusap punggungku. “Sukses itu nggak harus
berjuang satu kali, Al. Masih banyak kesempatan kok. Ini, ada majalah baru.
Sekilas Abang baca, ada lomba cerpen juga.”
“Nggak deh.” Aku menatap tanah sambil menggigit bibir. “Kalau kalah lagi,
gimana?”
“Kok gitu? Nggak boleh patah semangat dong, Al. Katanya pengen jadi penulis
yang sukses?”

Aku menatap Bang Joko beberapa detik. Bang Joko memang baik. Dia sudah
seperti Kakak untukku. Selalu mendukung segala hal yang aku lakukan, selalu
memberi semangat dan tidak pernah meremehkanku.
“Semangat, Al!” teriak Bang Joko. “Ini majalah buat kamu gratis deh. Asalkan
kamu mau usaha lebih keras lagi.”
Aku mengangguk. Bang Joko kembali membuat semangatku terpacu.
Bagaimana pun juga, aku harus berhasil!

Lomba membuat cerpen pertama, aku gagal. Di lomba pembuatan cerpen


kedua, aku juga gagal. Tapi kali ini aku tidak patah semangat. Aku terus
mencari informasi lomba. Aku bahkan rela menahan lapar, karena uang hasil
penjualan barang-barang rongsokan itu aku buat untuk pergi ke internet. Tidak
masalah, karena aku yakin, pengorbananku akan membuahkan hasil maksimal.
Lomba membuat cerpen ketiga, keempat dan kelima, semuanya gagal.
Semangatku mulai hilang, tapi Bang Joko selalu memberiku nasihat-nasihat
yang berhasil memacu semangatku. Di lomba membuat cerpen keenam, tentang
impian, aku menulis tiap kata demi kata dengan sungguh-sungguh. Tentang
impianku yang menggebu-gebu sebagai seorang penulis.

Satu bulan lamanya aku menunggu pengumuman lomba itu. Dan tidak sia-sia!
Sepulang dari menjual barang-barang bekas, aku mendapat kiriman surat. Aku
berlari menuju lapak Bang Joko dan membaca surat itu di sana.
“Selamat, kamu menjadi salah satu pemenang dari lomba menulis cerpen
tentang Impian. Tulisan kamu akan dibukukan. Setelah buku itu terbit, kamu
akan mendapat royalti dari setiap penjualan. Jika setuju, kami tunggu
kehadirannya di kantor kami, jalan Merpati nomer 23, Jakarta Selatan.” Aku
membaca surat itu sembari tersenyum cerah.
“Bang!!” teriakku. “Aku menang! Impianku terwujud, bang!”
Bang Joko tersenyum lebar, dia maju selangkah dan memelukku erat.
“Selamat, ya, Al! Akhirnya aku bisa ditraktir sama penulis hebat kayak kamu.”
“Makasih banyak ya, bang. Ini semua juga berkat Abang.” Aku mencium surat
itu berkali-kali.
“Tuhan, terima kasih untuk hadiah terindah ini. Akhirnya aku berhasil
membuktikan pada semua orang, termasuk bu Tya, bahwa aku bisa menjadi
seorang penulis. Perjuanganku selama delapan bulan terakhir membuahkan
kebahagiaan.” Batinku.

Aku membuka amplop berwarna putih yang siang tadi diberikan oleh beberapa
orang dari penerbit.
“Dua juta.” Desisku pelan. “Baru kali ini aku memegang uang sebanyak ini,
Tuhan. Terima kasih atas segalanya.”
“Akhirnya … Jadi, mau traktir di mana, nih?” tahu-tahu Bang Joko nongol di
belakangku.
“Abis acara meet and greet, ya, bang.” Jawabku. “Ini bukan mimpi kan, bang?
Aku … Seneng banget.”
“Ini kenyataan yang selama ini kamu pengen, Al.”
Sejak tadi, tak habis-habisnya aku tersenyum. Hari ini, cerpen karyaku resmi
dibukukan. Dan aku harus menghadiri meet and greet di sebuah mall. Ini
seperti sebuah mimpi yang selama ini aku impi-impikan dan akhirnya terwujud.
Berkat kerja kerasku, aku berhasil mewujudkan mimpiku.

Setelah sampai di mall itu, aku segera berjalan menuju lantai tiga bersama
Bang Joko, menuju toko buku. Setelah sampai di depan toko buku, mendadak
aku kaget. Tempat itu mendadak seperti lautan manusia. Aku menelan ludah
dan berjalan pelan menuju beberapa orang yang aku kenal di atas panggung.
Ternyata, puluhan orang itu adalah pembaca yang menyukai karyaku. Betapa
bangganya aku. Aku terus mengumbar senyum. Sungguh, ini benar-benar
menakjubkan.

“Impian saya menjadi seorang penulis sangatlah besar. Saya selalu berusaha
keras menjual barang-barang bekas agar bisa pergi ke warnet untuk mengetik.
Maklum saja, orang miskin seperti saya tidak memiliki barang mewah seperti
laptop atau komputer.”

Mataku menyapu beberapa orang di sisi kiri. Bu Tya, beliau datang!


“Awalnya saya juga tidak yakin, apakah orang kecil seperti saya bisa menjadi
seorang penulis hebat atau tidak. Tapi …” aku menoleh ke arah Bang Joko.
“Bang Joko yang selalu memberi semangat saya. Dia selalu memberi saya
majalah gratis asal saya terus berusaha menjadi penulis. Itu dia, orang yang
paling berharga untuk saya …” lanjutku sambil menunjuk Bang Joko. Kini,
semua mata memandangnya.
“Tapi, tidak semua orang mendukung saya.” Ucapku lagi. “Ada satu orang,
yang sampai saat ini ucapannya sangat saya ingat. Ya, beliau tidak yakin bahwa
saya bisa menjadi penulis yang hebat. Mungkin karena keadaan saya yang
miskin.” Aku tersenyum ke arah bu Tya, beliau menunduk.

“Awalnya saya memang marah, saya sakit hati. Tapi nyatanya saya salah.
Semua kata-kata itu justru yang membuat saya seperti ini.”
“Satu hal yang perlu kalian tahu.” Aku kembali tersenyum. “Jangan anggap
kata-kata yang menjatuhkanmu benar-benar akan menjatuhkanmu. Justru,
kata-kata itu harus kalian anggap sebagai motivasi. Anggap kata-kata itu
sebagai penyemangat. Seperti yang saya lakukan.” Aku berdehem pelan.
“Terimakasih, bu Tya. Berkat kata-kata Ibu saat itu, semangat saya bertambah.
Saya selalu bertekad untuk menjadi seorang penulis. Hingga akhirnya, saya
berhasil. Ternyata, impian tinggi seorang gadis berusia enam belas tahun itu
benar-benar terwujud, bu.”

Semua bertepuk tangan. Ada juga beberapa orang yang menitikkan air mata.
Aku bangga. Aku bersyukur. Ternyata ada hikmah di balik takdir yang aku
anggap sebagai mala petaka ini.
“Bukan perpisahan “Kita adalah
yang menyakitiku,
pernah, bukan
tetapi indahnya
kenangan yang punah, bukan
memgguncangkan menyerah, hanya
hatiku” sudah”
By Cua
By: Cua

"Orang bijak akan merasa


Melihat keatas untuk malu jika tindakannya
motivasi, tidak lebih baik dari
kata-katanya."
Bukan untuk bikin iri.

By Cua
By Cua

“Terkadang, diam lebih


bijak dalam menyikapi
keadaan daripada
"Kok bisa ya? Dulu
bersikeras memaksa
sedekat nadi, sekarang
orang lain untuk
sejauh matahari." sekadar memahami”

By Cua By Cua

“ jangan pernah menjadi


penikmat cerita tanpa
tema”

~SangPejuangKeadilan
HARI SANTRI 2022
By cua

Tema hari santri 2022 kali ini adalah Berdaya menjaga martabat bangsa. Al
Multazam merayakannya dengan berbagai macam keseruan. Pada malam hari Jumat
tanggal 21 Oktober, setelah sholat isya’ para santri Al Multazam disajikan acara
nobar bersama yang bertempat di aula dengan film
yang bertajuk rindu shubuh yang bergenre
romantis dan motivasi.Hingga kebanyakan santri
berteriak heboh saat adegan romantic. Film ke dua
adalah the doll 3 yang bergenre horror. Film ini
benar benar mengerikan. Dan untuk santri yang
takut memilih berada di luar aula. Film ini selesai
pada pukul 12.00. setelah itu, para santri
diperkenankan meninggalkan tempat dan beristirahat.
--
Acara dilanjut pada tanggal 22 Oktober
paginya. Jam 07.00 pagi hari, para santri
melaksanakan apel dengan menggunakan
sarung, sesuai ciri khas para santri
biasanya. Dengan sedikit pidato dari Ustadz
Qomar sebagai Pembina apel. Lalu di lanjut
dengan menyanyikan lagu hari santri oleh
seluruh santri sambil bertepuk tangan. Apel
pagi yang seru untuk menghangatkan
badan.
Setelah melaksanakan apel, terdapat perlombaan voli dengan ketentuan perwakilan
perkamar 1 tim berisi 6 orang. Untuk para santri yang mengikuti lomba, langsung
berganti baju dan bersiap siap. Sorak riuh pendukung yang mengunggulkan tim nya
membuat para pemain menjadi lebih semangat. Acara pun selesai pada jam 12 siang.
Santri pun beristirahat sebelum masuk waktu sholat dzuhur berjama’ah.
Masih dalam rangka hari santri, pada malam harinya hari santri Al Multazam di
meriahkan dengan melaksanakan mbak bro an (majelis bersholawat kubro). Yang
dilaksanakan selepas isya’.Para santri sangat bersemangat dengan mbak bor an ini.
Dengan membawa beberapa camilan dan minum minuman. Para santri juga
diperkenankan untuk membawa diba’ masing masing.Penutupan hari santri malam
ini, yaitu dengan mengumumkan pemenang lomba voli pagi tadi dan pengumuman
lomba kebersihan kamar yang telah di mulai beberapa hari sebelumnya. Pemenang
lomba voli juara pertama adalah kamar 6 dan juara kedua dari kamar 17 dan kamar 3
menjadi juara kebersihan kamar kali ini.

Anda mungkin juga menyukai