Anda di halaman 1dari 54

Hai.

Well, sejujurnya aku agak bingung kalau harus mengenalkan

siapa diriku. Tidak ada yang istimewa dari seorang Akira

Respati. Nah, aku tahu... kalian pasti bertanya-tanya apakah

aku blasteran Jepang setelah mendengar nama tadi? Tidak,

Kawan. Aku lahir dan besar di Depok dari kedua orang tua

yang sama-sama merantau dari Kalimantan. Lalu kenapa

Akira? Nanti kalian akan tahu seiring berjalannya kita

berkenalan. Jadi jangan pergi dulu!

Lalu apa yang membuat kalian harus mendengar kisah ini

sampai habis?

Bagaimana jika aku bilang bahwa beberapa hari lalu aku

baru saja dilamar? Oh... good, Akira. Congratulations!

Mungkin kalian akan bilang seperti itu. Tapi tunggu

sebentar! Tidak hanya itu. Aku baru saja dilamar oleh

sahabatnya sahabatku. Bukan.. kalian tidak salah dengar. Dia

bukan sahabatku. Sama sekali bukan! Aku tidak kenal dia

selain tahu namanya adalah Vincent dan sedikit racauannya

saat kami bertemu di bar bulan lalu.

1
Lalu kenapa Vincent mengajakku menikah? Dan kenapa aku

terima?

Kalau orang menyebut kisah cinta mereka sebagai roller

coaster ride, Romeo dan Juliet, kurva X dan Y, aku lebih

suka menyebut milikku sebagai jungkat-jungkit. Kami

tampak tak seimbang, timpang yang terlalu nyata sehingga

akan berat sebelah. Tidak ada yang tahu termasuk kami

berdua bahwa sebenarnya kami sudah berada di halaman

yang sama, membawa beban yang sama.

Tetap duduk di bangku kalian karena cerita ini akan segera

dimulai.

And yes, it's a romance slash slice of life story.

2
CHAPTER 1

"Hah?! Piso kecil begini hampir seratus ribu?! Damn....

kalau gak diskon mahal juga."

"Terus kita beli apa dong, Ki?"

Masih berusaha sabar, Kak Jacob mendorong pelan bahu gue

untuk berjalan ke section sebelah. Saat ini kami berdua

diutus mencari kado pernikahan Ibu bos alias Head of

Content the one and only Mbak Vriska. Berhubung Mbak

Vriska nanti bakal langsung pindah ke rumah baru, tim kami

pun sepakat untuk patungan membelikan peralatan dapur. Di

kantor bosnya boleh Mbak Vriska. Tapi soal dapur? Gue

bosnya.

"Yang esensial dan pasti kepake dulu aja kali ya, Kak? Kata

Mbak Vriska dapurnya belom keisi sama sekali. Gue juga

udah bikin sih ini list apa-apa aja yang sekiranya cocok.

Semoga budget kita cukup. Gue gak sanggup nombokin."

3
"Ck ah, neng Akira," Kak Jacob tersenyum jumawa sambil

memejamkan mata. Gaya andalannya setiap ingin flexing.

"Tenang tenang. Ada Aa."

Gue mau gak mau jadi ikut tertawa miris. Pantesan yang

diutus belanja kami berdua. Gue bertugas sebagai tukang

eksekusi dan Kak Jacob sebagai bendahara umum. Bagus lah

at least gue ada sumbangsihnya di tim ini.

Setelah memilih pisau yang paling pas, kami pun lanjut ke

bagian panci. Dari sekian banyak peralatan dapur ini lah

kelemahan terdalam gue. Mana warnanya cakep cakep lagi.

Apa gue musti kawin juga nih biar dibeliin panci sama anak-

anak sekantor?

"Ki, ini cakep nih warna pink. Mbak Vriska kan suka warna

pink," Kak Jacob mengambil salah satu pan berbahan granat

yang paling mencolok di rak tersebut. Semakin meyakinkan

gue senior satu ini kalo ngambil barang udah gak pernah liat

tag harga lagi.

"Jangan, Kak! Itu kegedean. Pilih yang maksimal 24 cm aja.

Ada pink juga tuh."

4
Kak Jacob sedikit membungkuk memperhatikan label harga

kedua barang tersebut. "Kan harganya cuma beda dikit, Ki?"

"Buat newlyweds gue saranin 24 cm. Nih, coba lo pegang!

Gampang di-handle kan? Sekarang bandingin sama yang 28

cm. Abis itu dua-duanya lo goyang-goyangin."

Gue seperti sedang disiram sinar matahari jam 8 pagi

melihat senyum Kak Jacob merekah secara perlahan. Kaget

sekaligus senang karena mendapat pengetahuan baru.

"Eyyy?! Ki, kok bisa?! Whoa... gue baru ngeh lho rasanya

bener-bener beda. Oke oke gue paham. 28 ini bikin

pergelangan tangan sakit apalagi kalo dipake lama."

"Satu juta rupiah~" gue menjentikkan kedua jari di depan

wajah Kak Jacob. Pengennya sih joget tapi malu lagi di

supermarket. "Kalo pancinya gede, pake minyaknya juga

makin banyak. Sayang kan."

"Kalo gitu kita beli yang kecilan lagi aja biar makin hemat?"

"Jangan terlalu kecil juga, Kak. Nanti apinya bisa nyamber

ke bagian pinggir pan trus jadi item angus gitu. Panci kecil

5
khusus pemakaian api kecil. Atau kita beli dua? Tapi jangan

yang pink ini lah gila mahal banget. Tapi granite sih... duh,

padahal buat orang tapi kok gue yang galau."

"Eh iya kita aja baru dapet pisau, tatakan dua, sutil kayu,

sama serbet. Belom beli blender."

"Astaga blender juga, Kak? Kita patungan berdelapan sih

tapi dapet gak ya blender di bawah 500?"

"Kalo gak cukup, hmmm.. gue tambahin deh. Tapi lo gak

usah bilang ke anak-anak."

"Yah jangan dong. Kan atas nama bareng-bareng masa lo

yang keluar paling gede. Dah, gampang. Blender gue cari di

E-commerce kalo nanti kita gak nemu yang harganya pas.

Mbak Vriska paling dipake buat ngejus aja kan? Bisa lah."

Kak Jacob mengangguk sambil menyipitkan mata. Hafal

banget gue mah ini pasti mau muji tapi sarkas.

"Udah cocok jadi ibu rumah tangga lo, Ki. Laki lo nanti pasti

beruntung banget istrinya jago belanja."

6
"Kalo orang lain denger pasti dikiranya gue orang yang

sangat hemat ya. Gue tau lo nyindir gue kan? Gue udah gak

boros kok sekarang."

Ketebak. Dia langsung nyengir.

"Enggak boros, cuma belom tau prioritas trus masih pengen

feeding ego."

"Ih gue udah kapok kok! Udah gak ada check out-check out

barang gak penting. Suwer!" jawab gue sok tenang ngeliat-

liat section gelas padahal sedang menghindari di-judge

langsung lewat mata. Temen gue gak banyak, apalagi orang

yang bisa gue ceritakan tentang kelakuan-kelakuan bodoh

gue. Kak Jacob salah satunya.

"Udah gak belanja printilan barang-barang murah dari

Batam lagi? Abis berapa kemaren? 800 ribu?"

"Astagaaaa, Kak. Dibahas mulu. Udah enggak gue. Udah ya

lo jangan bawelin gue soal perduitan! Cukup nyokap aja

yang gue ajak perang dingin gara-gara ini."

"Hah? Masih? Itu kan udah lama banget bukan?"

7
Tau sendiri AC supermarket di mall itu seadem-ademnya

ruangan. Gara-gara pembahasan ini gue jadi gerah

mendadak.

"Ya menurut lo orang sekere Akira nekatin nge-kost di

Jakarta padahal bisa PP Depok-Tanah Abang itu gara-gara

apa kalau bukan males sama orang rumah? Anjir gue baru

inget lagi listrik gue naik. Makin boncos gue."

Kak Jacob ikut melihat-lihat ke rak piring. Kami saling

memunggungi tapi gue tahu saat ini ia sedang all ears.

Pembicaraan ini selalu sukses membuat gue seperti sedang

ditarik ke kejadian empat tahun lalu. Sebelum perdebatan

tidak penting anak dan Ibu ini terjadi.

"Berantem kenapa lagi sih, Ki?" tanya Kak Jacob lebih

seperti berbisik.

"Masih soal yang lama kok. Yah.. biasa lah. Kalo deket

berantem, kalo jauh kangen. Mana sama-sama susah

dibilangin. Dari pada berantem bikin stres dan seisi rumah

gak nyaman, mendingan gue yang cabut."

8
"Tapi... lo sering balik ke rumah kan? Eh, kalau gak mau

jawab juga gak apa-apa lho."

Obrolan kami terhenti sejenak saat ada Ibu-ibu lewat di

lorong ini. Refleks kami merapatkan diri ke rak, memberi

celah untuknya lewat. Setelah dipikir-pikir padahal kan bisa

ya gue geser biar gak perlu nempel gini.

"Lumayan sering balik. Tepatnya tiap gajian doang.

Pokoknya kalo gak ada duit gue gak mau balik."

Kami lanjut ngobrol lagi tapi kali ini berdiri sebelahan. Pura-

pura sibuk ngeliat serat-serat di gelas.

"Konsep ya, Ki. Biasanya kalo gak punya duit justru orang-

orang pada balik?"

"Orang tua gue taunya hidup gue di sini settle, Kak.

Makanya tiap balik pasti bisa jajanin adek-adek atau beliin

nyokap apa kek. Gue gak pernah benar-benar terbuka soal

keuangan gue ke mereka."

"Astaga. Termasuk yang kemaren lo dihipnotis?"

9
"Yah apalagi itu. Udah lah, mereka taunya gue seneng aja.

Gak usah tau susahnya gue."

"Gue sebagai senior cuma bisa mendukung keputusan lo,"

Kak Jacob menepuk bahu kanan gue sambil tersenyum

simpul. Menampilkan kedua lesung pipi kecilnya di dekat

bibir. "Tapi sebagai temen, kalo butuh apa-apa jangan diem

ya! Bilang ke gue."

"Siap, Kak," gue menempelkan tangan ke ujung alis,

memberikan gerakan hormat sambil menahan haru. "Doain

aja cicilan-cicilan gue cepet lunas biar gue bisa punya

tabungan sendiri, trus bisa DP rumah sendiri, bikin dapur,

punya kebun, bercocok tanam, jadi deh gue harvest moon."

"Lho, nikahnya kapan?"

"Yeee. Hilalnya aja belom keliatan boro-boro dipikirin."

"Gue kira lo pengen nikah cepet lho. Melihat lo udah cukup

ahli mengurus rumah. Enggak, sumpah, kali ini gue gak

sarkas. Tulus dari hati ini."

10
Buat yang baru kenal Kak Jacob pasti akan mengira Aa

sunda satu ini memang paling jago bikin orang merasa

terharu. Tapi buat yang udah kenal lama pasti langsung siap-

siap pasang parasut kalau dipuji Kak Jacob. Biar pas

diterjunin ke tanah gak sampe nyusruk-nyusruk amat.

"Kalo nama belakang calon gue bukan Bakrie kayaknya gue

gak nikah cepet deh. Gue mau settle sama diri sendiri dulu.

Biar gak ketergantungan juga sama suami."

"Anjir hahahaha," segera ia letakkan kembali gelas ke rak

sebelum menyenggol barang pecah belah lainnya karena

mau fokus tertawa. "Bakrie lagi. Hey, jangan lupa ya. Nama

belakang Anda Respati, bukan Ramadhani."

Nah, kalau sekarang gak cuma jatuh ke tanah. Tapi sekalian

gali lubang kuburan sendiri.

*****

Pernikahan Mbak Vriska diadakan di salah satu hotel di

Jakarta Selataan. Jujur rasanya udah pusing banget milih

outfit apa yang cocok untuk tempat se-wah itu. Pilihan pun

11
jatuh ke dress brokat selutut warna putih yang sekarang

lebih seperti gading. Ini dress pertama yang gue beli dengan

gaji sendiri, bukan hasil lungsuran dari sepupu atau Mamah.

Ada untungnya juga badan gue dari dulu segini-gini aja jadi

masih muat sampai sekarang.

Sebagai tim nebeng, gue udah beres dandan dari siang

padahal acara mulai sore. Bela-belain gak makan dulu biar

puas nambah zuppa soup dua kali. Berkebalikan dengan Kak

Jacob yang dari rumah sampe di mobil sibuk ngemil coklat

supaya pas acara nanti bisa keliling venue. Ngapain? Minta

foto bareng artis yang juga diundang Mbak Vriska. Gue baru

inget suami bos gue ini adalah sutradara film. Ya Tuhan..

semoga penampilan gue udah cukup pantas atau gak

jomplang-jomplang amat sama tamu lain di sana.

Kalau dibilang jomplang ternyata ya gak juga nih. Tadinya

Kak Jacob mau nemenin gue antre kambing guling dulu

sebelum dia hunting foto bareng. Tapi pas abis isi buku

tamu, dia bilang dia lihat Melly Goeslaw. Langsung deh gue

ditinggalin. Untung udah ketemu sama anak-anak dari divisi

kreatif jadi gue gak bingung-bingung amat. Sialan emang.

12
"Gila gila. Tadi gue liat Reza Rahadian dong, Kak! Tau

banyak artis yang dateng gue ke salon dulu deh," komen

Putri, anak baru di divisi kreatif sambil memperhatikan

pantulan wajahnya dari kamera depan.

"Emang mau ngegebet siapa sih, Put kalo udah cetar?" balas

Haruna, senior Putri di kantor dan seangkatan sama gue

masuknya.

"Siapa tahu ya kan Afgan, Iqbaal, Jefri Nichol atau siapa kek

artis artis cakep yang dateng masa gak ada satu aja yang

nyantol?"

"HAH? ADA AFGAN, PUT?" gue segera memutar

pandangan mencari sesosok pria berlesung pipi manis dan

berkacamata yang barusan disebut Putri. "Duh.. kalo acara

private gini dia mau diajak ngobrol gak ya?"

"Lo suka Afgan, Ki? Gue pikir lo fansnya Jimin," sahut

Haruna si paham. Enggak sih, Haruna gak salah. Soalnya

yang tahu gue punya semua album Afgan tuh cuma Kak

Jacob. Sama Jimin.

13
Iya, Jimin Nareswara. Penyanyi yang lagi naik daun dan

barusan disebut Haruna itu.

"Jimin mah sohib gue dari SMA, Har. Itu itungannya

ngefans gak? Ngefans sih. Tapi suka musiknya aja gak

sampe hati berdebar gitu lho."

"Saelahh Kak Akira bilang hati berdesir kayak pernah naksir

orang aja."

Walaupun Putri itungannya 3 tahun lebih muda dari gue dan

Haruna, mulutnya udah langsung lemes sejak sebulan kami

kerja bareng. Tipe-tipe junior yang enak dijitak gusinya.

"Gue masih normal ya. Enak aja!"

"Hahahaha canda, Kakakku. Abis minggu lalu gue nguping

anak AE ngomongin lo di toilet kantor, Kak. Katanya lo

sama Kak Jacob pacaran gitu. Pada gak tahu aja orang-orang

lo lebih sayang tanaman sama panci dari pada cowok."

"Anjir lo, Put!" seasem-asemnya Putri tetep aja kami gak

bisa marah. Ya kayak gini. "Doain ya guys rezeki gue lancar

14
biar suatu hari nanti gue bisa beli satu set panci Debellin.

Abis itu baru deh gue bisa mikirin nikah."

"Jadiin seserahan aja kalo enggak," celetuk Haruna sembari

maju beberapa langkah. Gak berasa juga kami udah hampir

sampai di depan piring kambing guling.

"Cari dulu aja calonnya, Kak. Debellin mah cincai. Bisa

dicicil 12 bulan."

Kami bertiga terlalu asik ngobrol sambil antre sampai gak

ngeh ada yang sedang berjalan mendekat. Bukan, bukan mau

nyerobot antrean.

"Hahahahaa ya lagian lo, Kak ada-ada aja masa mau nikah

kudu beli Debel—AAAAAA JIMIN?!"

Jeritan kecil Putri sontak membuat kambing guling tak lagi

dilirik. Beralih ke pria yang sejak tiga menit lalu ternyata

sudah berdiri di belakang gue.

"Hai, temen-temennya Akira," sapanya tak lupa

menyunggingkan senyum. "Astaga, Ki. Gue sampe harus

15
nyamperin buat ngecek langsung ini bener Akira Respati

atau bukan. Ke mana aja lo?"

"Jimin?! LHO BENERAN JIMIN?"

Yang gue sebut-sebut namanya langsung merentangkan

tangan lalu memeluk gue erat. Membuat rekan-rekan kantor

gue dan tamu undangan lain mulai berbisik tidak enak.

"Hey, long time no see!" Segera gue dorong pelan bahu

Jimin, berbincang seperti teman pada umumnya. Kalo ini

gak di tempat umum pastinya gue juga udah melakukan hal

yang sama. Cuma kan gak lucu kalau pulang dari kondangan

trus gue masuk lambe turah.

"Gila.. udah selama itu kita gak ketemu. Akira, lo ke mana

aja? Kata nyokap gue lo udah gak tinggal di Depok ya?"

Seingat gue terakhir kami kontekan itu sekitar dua tahun lalu

sebelum Jimin debut sebagai penyanyi solo dan gue baru

banget naik jadi senior di kantor sekarang.

16
"Put, Har, kalian duluan aja! Nanti gue antre lagi," titah gue

lalu segera menarik Jimin menjauh dari kerumunan. Gak

nyaman banget lagi reuni dilihatin banyak mata.

Setelah melipir ke sudut hall, Jimin memeluk gue sekali lagi.

Kali ini gue balas mendekap lebih erat. Gak bohong rasanya

kangen banget sama anak baik satu ini.

"Gue seneng banget deh ketemu lo lagi, Ki. Lo baik-baik

kan?"

Jimin tidak berhenti tersenyum. Matanya naik turun melihat

gue dari atas sampai bawah. Memastikan gue betul baik-baik

aja. Secara penampilan Jimin jauh lebih karismatik sekarang.

Rambut diwarnai coklat gelap, softlens yang juga berwarna

coklat, sedikit make up untuk membuat wajah lelahnya

tampak segar, dan setelan yang gue yakin harganya lebih

mahal dari gaji gue sebulan sebagai Community Specialist.

Anehnya gue sama sekali tidak merasa terintimidasi berada

di dekat Jimin. Bisa gue pastikan hangatnya masih sama

seperti saat menjadi teman sebangku gue selama 3 tahun di

SMA.

17
"Yah.. panjang lah kalau bahas hidup gue. Lo gimana, Jim?

Lagi padet banget ya sekarang? Oh iya, dapet salam dari

Mamah katanya dia suka pamerin lo ke temen-temen

arisannya karena dulu sering belajar kelompok di rumah

gue."

"Oh yaa? Ya ampun gue kangen banget bakwan jagung

bikinan nyokap lo,” Jimin masih tersenyum. Tapi auranya

kenapa sedih? “Sekali-kali dateng dong kalo gue manggung.

Lo belom pernah liat gue live perform kan?"

"Ini lo gak mau nyanyi di sini aja? Apa lagi jadi tamu juga?"

"Ah, udah banyak penyanyi yang dateng. Mereka aja lah

yang nyanyi. Lo kenal sama pengantin pria atau wanita?"

"Mbak Vriska bos gue. Trus banyak artis ya di sini."

"Iya. Ada Afgan juga, Ki. Mau gue kenalin?"

Jimin beneran udah siap narik tangan gue tapi langsung gue

tahan. "GILA LO JANGAN LAH!"

18
"Punya temen artis tuh dimanfaatkan sebaik mungkin lah,

Ki. Beneran gak mau? Mumpung orangnya di sini lho."

"Enggak enggak. Gue udah cukup bangga punya sahabat

penyanyi kayak lo. Nama lo di hp gue aja Jimin Artis."

"Si kampret," umpat Jimin, tentu sambil tertawa renyah. "Iya

deh, Akira sahabatnya Jimin Artis. Beneran nih kapan-kapan

nonton dong gue perform!"

"Ya udah iya kapan lo manggungnya?"

"Lusa di SCBD. Jam 9. Kemaleman gak?"

"Gue nge-kost di Jakarta kok sekarang jadi aman. Baliknya

gak jauh."

"Ahh, gitu. Bagus deh. Udah lama banget kita gak catch up.

Please datang ya, Ki! Nomor hp lo masih yang lama? Kita

udah dua tahun banget lho gak ngobrol sama sekali."

Jimin gak salah apa-apa. Sama sekali gak ada. Yang salah

adalah gue. Tiba-tiba menghilang dari seluruh circle dan

reuni sekolah. Menutup komunikasi dari lingkungan selain

19
kerja, termasuk menarik diri dari pergaulan. Jika ada yang

harus disalahkan itu adalah gue dan rasa insecure menahun

ini.

"Masih kok, Jim. Nanti gue kontak lo ya."

"Janji?"

Gue gak suka bohong apalagi sama orang sebaik Jimin.

Well, mungkin memang udah saatnya gue gak kabur lagi.

"Iya, Jimin. Janji."

20
CHAPTER 2

Udah hampir seminggu gue pulang lewat jam 11 malam.

Sebenarnya bisa-bisa aja kerjaan dibawa ke kost-an. Tapi

gue kapok deh. Kebiasaan bertahun-tahun laptopan di atas

kasur bikin gue jadi gak tenang saat tidur. Badan kayak

otomatis tetap terjaga walau udah jamnya istirahat. Mau

pake meja belajar tapi kamar gue kecil. Jadi mulai beberapa

bulan lalu gue biasakan untuk menyelesaikan semua

pekerjaan di kantor supaya sampai kost-an bisa langsung

tidur atau sekadar rebahan. Konsekuensinya ya.. gue harus

pulang larut.

Dalam keadaan setengah mengantuk, bisa gue rasakan hp

gue bergetar satu kali. Tak gue hiraukan dan kembali asik

tenggelam dalam lautan file di google drive. Sekarang hp

gue bergetar lagi. Kali ini agak lama.

Mamah Simpati

Ah.. here we go again.

"Iya, Mah?"

21
"Halo, Kak. Kak Akira masih kerja?"

Pertanyaan nyokap paling pertama pasti itu. Saking tiap

nelpon pasti guenya lagi laptopan.

"Iya. Masih di kantor."

"Jam berapa pulang?"

"Bentar lagi."

"Kakak sehat kan?"

"Iya."

Gue kembali diam. Sibuk mengetik di deck pitching yang

sedang gue garap.

"Kak, katering Mamah. Kayaknya lagi berat deh."

"Ha? Maksudnya?"

Gerakan jari gue di atas keyboard terhenti. Harusnya gue

paham kalau nyokap nelpon di jam-jam gak normal berarti

lagi ada apa-apa. Tapi semoga bukan hal yang gawat.

22
"Kamu tahu kan Asta sama Astu bisa kuliah dari hasil

katering. Sekarang orderan lagi gak banyak. Gaji Papah

juga cuma cukup untuk kebutuhan sehari-hari, mana bentar

lagi mau pensiun. Bentar lagi adik-adikmu harus bayar

semesteran. Mamah bingung mesti pinjam ke siapa."

Oh, mudah sekali menyentil ego seorang Akira.

"Butuh berapa? Aku transfer."

"Kamu udah punya tabungan, Kak? Katanya masih ada

cicilan."

"Ya terus sekarang Mamah mau minjem siapa? Sama Om

Reno? Enggak deh. Gapapa aku aja yang transfer. Aku gak

ikhlas Mamah dateng ke rumahnya lagi."

"Kak, gak boleh gitu," oh please.. Bisa gak Nyokap sekali

aja nurut. "Gitu-gitu Om Reno kan om kamu. Adik Mamah.

Mungkin waktu itu lagi khilaf jadi sikapnya begitu ke kita."

Gue mengacak rambut kasar, berusaha untuk gak teriak

mengingat di lantai ini masih ada designer dan anak konten

23
yang juga lembur. Paham kan kenapa gue males pulang?

Ngobrol sama nyokap tuh gak pernah gak bikin emosi.

"Mah, gak ada orang khilaf yang bentak-bentak Kakak

kandungnya di acara besar keluarga cuma gara-gara

kakaknya ini lupa bawa duit arisan. Setan aja minder, Mah

ngeliat kelakuan Om Reno. Udahlah, Mamah gak usah

hubungin orang itu lagi. Akira bisa kok."

"Nanti kamu utang lagi ke bank? Kapan selesainya dong,

Kak?"

"Paling nggak ngutang di bank gak dimaki-maki depan

umum sih, Mah."

Aneh banget memang. Gue sama nyokap mungkin banyak

perbedaan. Banyak banget. Sejujurnya bukan perbedaan itu

yang bikin kita jadi punya konflik lalu perang dingin hingga

sekarang. Tapi ketidaksukaan gue dengan kebaikan hati

Mamah yang sering disalahgunakan orang-orang bikin gue

capek harus jadi tumbal. Sikapnya itu gak cuma bikin

Mamah menderita, tapi juga kedua adik gue. Oleh karena itu

24
gue memilih untuk menjauh. Pengecut? Gak apa-apa. Lebih

baik dari durhaka kan.

"Kak, tapi bener kan kamu lagi pegang uang? Buat makan

sampe gajian?"

"Totalnya berapa? Aku transfer sekarang tapi mungkin baru

masuk besok. Udah mau jam 12 soalnya."

"Maaf ya, Kak," suara Mamah semakin melemah. "Enam

juta berdua."

Ya Tuhan, dapet enam juta dari mana lagiiii gueee tanggal

seginiiii.

"Oke. Mah, aku lanjut kerja ya biar pulangnya gak larut

banget. Besok bisa cek rekening Papah."

"Iya, Kak. Jangan tidur subuh lagi ya. Istirahat."

"Dah, Mah."

Semoga kalian juga paham ya kalau gue gak ada maksud

kurang ajar. Lebih baik obrolan ini selesai sebelum gue

marah-marah. Gue ngerasa gagal banget jadi anak karena

25
bagaimanapun juga kejadian nyokap dimaki-maki itu gak

akan terjadi kalau aja gue dulu lebih bijak dalam

menggunakan uang. I’m the one to blame.

Bagus. Nambah lagi aja kan utang gue.

*****

Akira: Jim, sorry kayaknya gue gak bisa dateng deh. Next

ya gue pasti samperin lo di manapun lo manggung!

Setelah berpikir cukup lama akhirnya gue memberanikan

diri mengirim pesan tersebut ke Jimin saat jam makan siang.

Setelah dihitung-hitung pulang pergi ke tempat Jimin

manggung tuh bisa habis minimal 50 ribu. Belum lagi

jajannya. Minimal orange juice atau cola deh. Ditambah

kalau ternyata harus pulang larut dan gue susah dapet ojek,

berarti harus spend uang lagi untuk naik taksi. Aduh, nggak

deh. Mikirin harus keluar duit dalam jumlah banyak bikin

gue gak nafsu ngapa-ngapain termasuk makan.

Ternyata balasan pesan dari Jimin lebih cepat dari durasi gue

misuh-misuh. Aduh, deg-degan. Semoga Jimin gak marah.

26
Jimin Artis: Lo lembur?

Walau udah lama gak kontekan dia masih inget ciri khas

gue. Kerja dan lembur. Bukan hal yang bisa dibanggakan

memang cuma terharu aja dia masih inget.

Akira: Nggak sih. Hari ini lagi santai. Tapi next gue janji!

Atau lo ada acara lagi setelah tanggal 25 gak? Janji deh

gue bakal dateng!

Balasan Jimin kali ini agak lama. Mungkin udah sibuk lagi.

Setelah menunggu lima belas menit hp gue kembali bergetar.

Tapi notifikasi yang muncul justru bikin gue harus

mengucek mata dulu.

JIMIN NARESWARA mengirimkan dana sebesar

Rp500.000 melalui aplikasi OVO

Akira: JIMIN!!!

Belum sempat gue mengetik lanjutannya, Jimin kembali

mengirim pesan.

Jimin Artis: Gak ada alasan. Jam 9 gue tunggu.

27
Aduh, ngutang lagi kan gue.

*****

Kepala gue dari tadi udah kayak kipas angin—muter-muter

ngeliat sekitar. Gue baru ke sini tiga kali sih. Tapi bisa gue

pastikan tempat ini lebih ramai dari biasanya.

Selain karena jumat malam gue yakin 30% dari pengunjung

kafe adalah penggemar Jimin. Salah satunya karena di meja-

meja depan sudah dipenuhi segerombolan gadis muda yang

memesan juice dan kentang goreng. Di situ sound-nya paling

berisik dibanding bagian lain di ruangan ini. Jadi jelas tujuan

mereka datang pasti bukan untuk mengobrol atau sekadar

mimik mimik cantik.

Kontras sekali dengan gue yang baru tiga puluh menit duduk

udah ngabisin 2 gelas beer. Tuh kan. Katanya mau hemat.

Begitu ada duit dikit langsung boros.

Sesuai poster acara yang diposting Jimin tadi sore, pukul 9

lebih sedikit sorot lampu mengarah seutuhnya ke atas

panggung. Berdiri di sana sahabat baik gue, gagah

28
mengenakan kemeja dan kedua tangan menangkup di

standing mic. Ya ampun, Jimin... terharu akhirnya bisa lihat

dia nyanyi secara profesional. Siapa yang nyangka sih Jimin

yang waktu sekolah disuruh nyanyi depan kelas aja malu, eh

sekarang nyanyi di depan ratusan bahkan ribuan orang.

Gue mulai merasa serba salah. Di satu sisi gue senang Jimin

berhasil mewujudkan mimpinya. Di sisi lain gue merasa

bersalah karena tidak di sampingnya saat ia melewati

obstacle sebelum menjadi sesukses sekarang. Semoga

kesempatan ini bisa gue manfaatkan untuk menebus seluruh

dosa gue ke Jimin.

Dan entah karena lirik yang tepat dengan keadaan atau

performa Jimin begitu memukau, tanpa sadar gue

menitikkan air mata sembari menyeruput pelan gelas ketiga.

Beer memang pahit, tapi kalo diingat-ingat lagi hidup gue

masih jauh lebih pahit.

Sekarang gue ingat kenapa gue sempat menjauhi Jimin.

Selain kami bersahabat, orang tua kami juga saling

mengenal sejak lama. Gue tahu Jimin tumbuh besar tanpa

29
ekspektasi banyak baik dari lingkungan maupun dari dirinya

sendiri. Berkebalikan dengan gue yang sejak kecil sudah

dituntut ini itu. Anak perempuan pertama, sanak saudara

pertama yang bisa masuk universitas bergengsi, cucu

pertama yang tidak bekerja sebagai pegawai negeri sipil.

Semua ekspektasi itu selalu membayang-bayangi sampai

rasanya bisa mencekik gue hidup-hidup.

Asik tenggelam dalam lamunan sendiri, ternyata Jimin sudah

menghilang dari panggung.

Lho, mana dia? Udah selesai nyanyi?

Great! Selain jago overthinking, keahlian gue sekarang

bertambah jadi jago mengosongkan pikiran selama 2 jam

straight.

"AKIRA!!! AAAK! HOW'S LIFE?"

Tiba-tiba kursi di sebelah gue terisi seseorang yang tadi gue

lihat di atas panggung. Ia berteriak berusaha melawan

kerasnya sound system yang kini ganti memutar lagu dari

DJ. Gue sontak berdiri menyambutnya. Namun sebelum

30
kami berpelukan, teriakan dari arah samping membuat gue

mengurungkan niat.

"Kak Jimin! KAAAK!! Kak, boleh foto bareng?"

"Ki, sorry. Bentar ya!" pamit Jimin kini melipir sedikit

menjauhi meja. Dengan ramah ia meladeni satu persatu

fansnya yang tadi gue lihat duduk di barisan depan. Senyum

itu masih ia sematkan walau gue tahu Jimin sekarang sedang

super lelah.

Karena Jimin udah bisa diajak ngobrol, gue panggil waitress

dan memesan tequila shot. Gue gak berencana mabuk

malam ini sih. Tapi beer gak cukup membuat otot-otot di

sekitar leher melemas untuk bisa curhat seutuhnya. Badan

gue masih terlalu tense.

Jimin kembali ke meja. Senyum itu sudah hilang tergantikan

hembusan napas berat. Gue lega Jimin bisa jadi diri sendiri

sekarang. Pasti capek memenuhi ekspektasi semua orang.

"If you ask me how my life is," Jimin duduk di samping gue

sambil meletakkan hp. Merk terbaru. Gue yakin harganya

31
masih belasan juta. "Ya ini. Lelah tapi happy. Tapi ya tetep

capek."

"Btw itu tadi fans lo gak ngamuk apa lo semeja sama gue?"

"Lho, kenapa harus ngamuk?"

"Cemburu mungkin?"

Ia tertawa kecil. "Mereka tau lo siapa. Nama lo kan selalu

ada di thanks to album gue. Justru mereka lebih ngamuk

kalo gue manggung sama penyanyi lain."

"Jim, di saat dunia rasanya jahat sama gue, cuma lo yang

masih baik."

Jimin menatap bingung. "Emangnya dunia ngapain lo?"

Nah. Pas banget minuman gue dateng. Sekali teguk, alkohol

dalam slot kecil itu mengalir cepat di kerongkongan. Ada

rasa tingling yang menurut gue lebih mirip terbakar. Cepat-

cepat gue seruput lemon yang tersedia untuk mengurangi

pahit di lidah. Sebenarnya gue gak suka. Tapi tequila bikin

cepat naik. Dan itu yang gue butuhkan sekarang.

32
"Jim, gue kurang ajar gak kalo dateng-dateng malah curhat?"

"Eh iya tapi nanti ada temen-temen gue dateng. Gapapa?

Mau curhat sekarang aja? Takutnya lo gak nyaman kalo

cerita pas ada temen-temen gue.”

Tuh kan. Malaikat banget emang temen gue satu ini.

“Bentar, Ki gue pesenin beer dulu. Mau makan sekalian?”

Dengan cepat gue menggeleng. Selain udah makan di kantor,

gak mungkin gue membiarkan alkohol lolos ke masuk ke

tubuh kalau perut belum terisi.

"Oke. Gue pesenin kentang aja ya just in case lo pengen

ngemil. Kita ngobrolnya masih lama kan?"

"Kalo lo gak keberatan."

"Justru gue nunggu-nunggu nih. Lo tiap ditanya jawabnya

gapapa. Baik-baik aja. Trus gak pernah cerita lagi ada

masalah. Gitu-gitu terus sampe lost contact dua tahun.

Mudah-mudahan karena lagi sibuk kerja aja ya."

33
"Well," gue merapatkan kursi ke Jimin supaya gak perlu

keras-keras bicara. "Itu juga sih, Jim. Oh God, ini bakalan

panjang banget."

"Ya monggo. We have all night."

"Oke. Phew.... gue kan baru memulai karir tepat setelah

lulus. Kayak sekitar... empat tahun lalu? Setahun pertama

kerja gue merasa kayak balas dendam. Kerja, lembur, tiap

gajian merasa deserve buat treat diri sendiri. Yang ternyata

spend gue itu justru ya buat membeli ego gue. Bukan

kebutuhan. Lo tau kan keluarga gue dari dulu adalah

keluarga yang biasa-biasa aja. Jadi begitu megang duit lebih

sedikit, punya sendiri pula, rasanya kalap. And I have to

confess, manajemen keuangan gue separah itu."

Matanya memang gak selalu ngeliat ke gue. Tapi gue tahu

Jimin sedang pasang telinga.

"Gue boros banget, Jim. Jangan tanya gue belanja apa.

Pokoknya tau tau tanggal belasan gue harus hemat sampai

ketemu gajian lagi. Selama empat tahun terakhir gue merasa

34
gak gaining apa-apa. Tabungan gak ada. Cicilan jalan terus.

Barang gede juga gak punya."

"Hmmm, jadi ajang balas dendam ya setelah punya duit

sendiri. Aren't we all?"

"Nah. Semua terasa masih bisa gue lalui. Gapapalah gue

hidup kayak gini yang penting hidup. Lalu mulailah masalah

muncul. Lo inget adek-adek gue? Mereka masuk kuliah

tahun lalu. Syukurnya sama-sama di negeri. Trus kemarin

nyokap telpon. Bokap udah mau pensiun jadi guru. Katering

nyokap gak berjalan baik belakangan ini. Harapannya

memang cuma gue buat bayarin mereka kuliah selama 4

tahun ke depan. Itupun kalo adek gue gak molorin waktu.

Hahhh.... Gini ya rasanya jadi sandwich generation."

"Eh bentar. Si kembar? Udah kuliah?!"

"Mantap kan. Sekali bayar langsung dua. Mana gue gak

punya tabungan. Kost-an gue baru aja naik perbulannya.

Bayar listrik juga gak tahu kenapa jadi mahal banget. Belum

cicilan. Gue mau nyari side job-an tapi kerjaan utama aja

udah sibuk banget. Dunia kayak runtuh deh, Jim.”

35
"Sorry tapi bukannya kerjaan lo cuannya juga oke? Yang

gue denger mah. Ceunah. Maaf ya agak sotoy. Lo agensi kan

dan udah empat tahun?”

“Engga, Jim. Lo gak sotoy. Ada benernya juga. Tapi seperti

yang gue ceritakan tadi kalo manajemen keuangan gue

sangat-sangat payah. Walau gak sampe minjem ke orang tapi

gue setiap bulannya jadi kayak hidup dari cicilan ke cicilan

lain. Gajian satu ke gajian berikutnya. Lama-lama capek.”

Jimin mengangguk. “Gue bisa bantu apa, Ki?”

“Oh. Kalo lo pikir gue dateng untuk pinjem duit, no, enggak

sama sekali, Jim. Gue malah gak enak karena tadi lo

ngirimin gue duit. Gue rasa gue bisa melewati ini seperti gue

melewati masalah-masalah gue yang lain. Tapi kali ini…

sekali ini aja gue pengen ngeluh. Dan pas gue cek ke

belakang, gue gak tahu harus ngadu ke siapa.”

“Yang di kondangan kemarin? Itu temen-temen lo bukan?

Yang pas antre makan."

36
“Putri sama Haruna? Ya.. dibilang deket ya deket. Tapi ga

sedeket itu buat cerita masalah keuangan gak penting gue

ini. Ada sih satu yang bisa gue ceritain. Senior gue namanya

Kak Jacob. Tapi… gue takut diomelin. Dia yang dari awal

ngingetin kalo cara gue spend duit udah mulai gak wajar. Ya

itu tadi. I’m buying my ego, bukan kebutuhan atau

kebahagiaan. Trus kita berdua ketemu lah kan kemarin. Gue

tahu lo gak bakal nge-judge. Tapi please, Jim jangan jadiin

ini sebagai beban lo ya. Gue cuma butuh temen cerita aja.

Sampai saat ini gue masih optimis. Gak tahu kalau

besok….”

“Hahahaha lo tuh ya kebiasaan. Apa-apa dipendem sendiri.

Diusahain sendiri. Ya udah, karena gue cuma bisa jadi

pendengar, malam ini lo harus have fun! Nanti kalo temen-

temen gue dateng lo pesen deh mau minum apa. Bottles on

me!”

Gue mencomot kentang Jimin yang mulai dingin. Inget kan

tadi gue bilang gak berniat mabuk? Tapi setelah dipikir-pikir

tawaran dari Jimin sayang dilewatkan.

37
Kami masih asik mengobrol tentang kesibukan Jimin

sebagai public figure saat seseorang menghampiri meja

kami. Lampu yang agak remang membuat gue tidak bisa

melihat wajahnya dengan jelas. Cuma kalo gak salah liat sih,

ganteng banget.

"EEEYYY YOOO JIMIIIIIN. Udah selesai manggungnya?"

"Lho, Kiku. Kirain V sama Juna aja yang dateng. Sini sini

gue pesenin beer dulu atau mau langsung minum? Udah

makan?" seperti yang punya rumah, Jimin langsung

mempersilahkan orang yang dipanggil Kiku duduk di

sebelahnya.

"Eh, halo," sapa pria bermata bulat itu malu-malu saat

menyadari ada orang lain di meja ini. "Gue Kiku. Temennya

Jimin."

"Oh hai! Akira," gue menyambut tangan putih Kiku yang

dipenuhi tato. Gila keren banget ni orang. "Temennya Jimin

juga tapi pas SMA."

38
"Btw kalian semua tumben-tumbenan mau nonton gue

perform," sela Jimin setelah ia selesai memesan untuk Kiku.

"Si Vincent kenapa tuh di grup? Tiba-tiba pengen nikah."

"Gue baru dapet brief sedikit dari dia kemaren. Ada

hubungannya sama rumah warisan yang di Jati Padang. Tapi

gak tahu deh kalo soal nikah. Lo pura-pura gak tahu aja ya

biar dia jelasin sendiri semuanya."

Saat botol pertama mulai berkurang setengah, yang

ditunggu-tunggu pun datang. Gue salah. Tempat ini memang

remang tapi gak begitu sulit menemukan dua pria tampan di

sudut ruangan. Aura idola Jimin dan karisma Kiku punya

pembangkit tenaga listrik sendiri. Gue? Ya jelas lah gak

terlacak.

"Yaelah udah mulai aja," sapa teman Jimin yang baru datang

sambil merangkul leher kedua sahabatnya. Aduh sumpah

temen Jimin artis semua apa gimana deh kok cakep cakep.

"Eh, halo."

"Akira," gue refleks mengulurkan tangan. Ternyata gue

terdeteksi di mata dia. "Nama gue Akira. Temennya Jimin."

39
"Hai, halo," ia pun menyambut tangan gue. Tapi mikir dulu.

"Nama gue panjang banget btw. Lo bisa panggil gue Juna."

"Sorry, Tuna?" gue memajukan wajah untuk mendengar

lebih jelas. Membuat si Tuna ikut mendekatkan bibir ke

telinga gue.

"JUNA."

"Ahhh. Sorry sorry."

"Kok sendiri, Jun? Vincent mana?" Kiku memutar tubuh

cepat mencari sosok lain di ruangan ini.

"Pelit dia gak mau valet. Jadi masih nyari parkiran. Lo tau

lah Vincent Matari. Si niat."

Gue tadinya gak masalah dengan kehadiran teman-teman

Jimin. Toh selama ngobrol masih nyambung-nyambung aja.

Namun kekhawatiran gue muncul saat bintang utama malam

ini duduk di antara kami.

Vincent Matari. Kita panggil dia V.

40
Orangnya asli deh beda banget. Gak seramah temen Jimin

yang lain. Saat gue mengenalkan diri, V tampak tak tertarik

dan langsung duduk di depan gue di antara Juna dan Kiku.

Sialan. Bete sih bete. Tapi gak punya sopan santun banget.

Jimin, Juna, dan Kiku mulai bertukar pandangan saat empat

puluh menit mereka mengobrol namun tidak sekalipun

Vincent membuka mulut. Matanya agak kosong. Yang ia

lakukan hanya pelan-pelan mengisi gelas, meneguk pelan,

menyesap jeruk nipis, meneguknya kembali sampai botol

pertama habis.

"Coba coba. Kenapa nih sahabatku?" Kiku yang duduk

paling dekat diam-diam menarik gelas menjauh dari tangan

Vincent. Gak lucu dong udah susah susah cari waktu buat

ketemu, eh yang mau curhat malah gak sober.

"Gue harus nikah."

"HAH?" "HEEE???" "BOONG LU?!" jerit Jimin, Juna, dan

Kiku bersamaan.

41
Di saat yang sama rasanya gue pengen sembunyi di bawah

meja aja lalu pergi dari sini. Sekarang gue paham kenapa

Vincent tampak dingin. Ya iya lah, Ki.. orang mau curhat

serius kok malah ada outsider.

"Eh, temennya Jimin!" panggil Vincent. Kali ini sambil

menunjuk ke arah gue. "Lo jangan pergi dulu! Gue butuh

advice dari orang asing juga."

Gue tahu, dia tahu, kami semua tahu yang dikatakan Vincent

tidak salah. Tapi kok... nyelekit ya?

"Coba coba. Jelasin dari awal dulu!" Juna menengahi.

"Kalian pernah liat salah satu aset orang tua gue yang di

Pasar Minggu? Jati Padang?"

"Yang kita pernah nginep? Sama Suga?" Jimin berusaha

mengingat-ingat. Agak sulit karena tampaknya alkohol

mulai mengambil alih kesadarannya.

"Harusnya kan itu jadi punya gue karena punya abang udah

yang di Duren Tiga. Eh, sama bokap mau dilelang masa."

42
"Lho, kenapa gitu?" pancing Kiku lagi. Sedikit banyak mulai

mengerti arah pembicaraan.

"Bokap masih mau gue nurutin permintaan dia. Nikah.

Berkeluarga. Kayak orang-orang gitu lah. Bilangnya sih ini

terakhir. Tapi tetep aja bikin gue pusing."

"Hoalaaa. Kirain nyokap lo udah berhasil ngeyakinin bokap

kalau lo gak mau nikah, at least sampai lima tahun lagi."

"Please, Kiks. Gue masih terlalu muda untuk mikirin itu

sekarang. Kerjaan gue juga lagi banyak-banyaknya. Eh,

enggak. Enak aja lima. Sepuluh tahun lah minimal. Itu juga

kalo bisa mau gue ulur-ulur lagi sampe Bokap lupa pernah

minta."

"Emangnya harus nikah sekarang, V? Masih ada waktu buat

nyari. Kan Kakak lo juga baru setahunan nikah."

"Juna, gak gitu,” wajah kuyuk itu semakin asam. “Gue gak

mau nikah. Jadi sekarang atau nanti ya sama aja."

"Lo udah sebulat itu sama keputusan lo, V? Bukan impulsif?

Bukan karena sakit hati sama yang sebelumnya juga?" suara

43
Jimin kali ini terdengar lebih serius. Bahkan saat gue tadi

cerita itungannya Jimin masih lembut.

"Gue cuma pengen hidup bebas tanpa terikat apapun, Jim.

Udah cukup lah 25 tahun terakhir kayak gini."

Mendengar lirih nada suara Vincent, teman-temannya pun

melunak. Mulai sadar ini bukan masalah kecil.

"Gue happy banget pas abang gue, Jin, nikah. Akhirnya gue

lepas dari bayang-bayang dia. Ya masa abis ini gue malah

terikat sama istri yang gue bahkan gak tahu cara dapetinnya

gimana?"

"What if," karena hening yang terlalu lama, gue pun

memberanikan diri angkat suara. "What if, lo relain aja gak

dapetin rumah itu. Berjuang dari awal sendiri mungkin?

Jadinya lo gak ada kewajiban untuk nikah."

"Enggak. Itu lebih gak bisa!" tegasnya. "Kalo perlu gue

pura-pura nikah deh biar rumah itu bisa atas nama gue. At

any cost."

44
Karena canggung yang masih mengelilingi, cepat-cepat gue

isi gelas mereka satu persatu. Termasuk gelas Vincent yang

sudah kosong.

"Yuk yuk, biar gak pusing kita cheers dulu! Karena gue

cewek sendiri, gue yang mulai duluan."

Gue mengangkat gelas cukup tinggi. Semua kecuali Vincent

mengikuti gerakan gue.

"Cheers untuk single terbaru Jimin!" ucap gue penuh

semangat.

Jimin tertawa kecil sebelum melanjutkan, "Cheers untuk

Kiku yang baru aja resign dan sekarang jadi full-time

photographer!"

Kiku pun dengan senang hati ambil bagian. "Cheers untuk

Juna yang baru putus. WOOHOO!"

"Anjing lo, Kiks!" Juna menggeleng sabar melihat kelakuan

sahabatnya. "Cheers untuk V yang disuruh nikah demi

rumah."

45
Karena yang mengenal gue di meja ini hanya Jimin, bagian

gue gapapa gue sebutin sendiri aja. Aku kuat aku mandiri.

"Cheers buat... hhhhh. Cheers buat gue yang pusing harga

kosan naik, listrik naik, pengeluaran naik tiap 6 bulan sekali,

dan pengen punya tempat tinggal sendiri. CHEERS!"

Kami saling membenturkan gelas satu sama lain. Di saat gue

memajukan gelas untuk tos dengan Vincent yang akhirnya

mau mengangkat gelas, mata kami bertemu.

Tiba-tiba kayak ada yang bisikin gue kalau ini bukan kali

terakhir kami berhubungan. Tapi entah untuk apa dan kapan.

*****

46
Gue bukan tipe netizen yang suka mengeluh di social media.

Tapi boleh ya sekali ini aja gue melampiaskan semua

kefrustasian ini via Twitter lewat tweet di atas.

Penyebabnya ya ini lagi ini lagi. Gue baru tidur jam 4 subuh

dan udah di kantor lagi jam 9 untuk meeting WIP. Beres

meeting gue harus buru-buru balesin DM dan comment yang

masuk di akun social media brand-brand yang gue pegang

sebelum makan siang. Satu dibalas, dua pesan baru masuk.

Lalu yang udah dibalas, membalas lagi. Gitu-gitu aja terus

sampai komplain selesai. Dan selama itu juga gue harus

menelan semua kekesalan gue terhadapan makian netizen.

Gue bales marah-marah? Ya kali. Gue masih butuh gajinya.

Empat tahun menjalani pekerjaan ini benar-benar melatih

gue yang tadinya cengeng dan baperan jadi lebih berhati

baja. Cuma kalo badan lagi lelah disenggol dikit aja udah

bikin drained kan.

Tangan dan otak gue bener-bener gak dikasi istirahat sampai

akhirnya gue bisa agak napas di jam 7 malam. Sumpah. Gue

sampe bingung harus makan malem atau langsung tidur atau

47
nangis dulu. Kalau bisa pengen ngelakuin tiga itu sekaligus

deh biar capeknya udahan.

Lagi ngerebahin punggung di kursi, tiba-tiba Mang Asep,

office boy kantor menghampiri gue. Perasaan gue tadi gak

nitip nasi bungkus.

"Mbak Akira, ini ada minuman dari sore lho buat Mbak,"

ujarnya seraya menaruh segelas Chatime ukuran large di atas

meja. "Kirain Mbak mau ambil sendiri ke bawah. Untung

belum pulang jadi bisa saya anterin ke atas."

"Hah? Saya gak pesan minuman kok, Mang. Beneran buat

saya?" cepat-cepat gue mengecek keterangan di gelasnya.

Heru? Siapa tuh Heru?

"Bener kok. Kata mas ojolnya atas nama Akira. Satu-satunya

Akira yang saya kenal cuma Mbak."

"Hmm ya udah. Makasih ya, Mang."

Heru... Heru... gue gak punya temen yang namanya Heru.

Tapi kok gak asing. Eh, bentar. Kayaknya pernah baca di

twitter.

48
Saat membuka aplikasi burung biru, gue kaget notif yang

masuk kok banyak banget. Rata-rata retweet dan likes.

Aduh, gue gak ada nge-tweet yang aneh aneh kan? Gue

scroll notifikasi sampai agak ke bawah. Astagaaa kayaknya

gue tahu Heru siapa. Bener aja pas gue klik username

bercentang biru yang ada di tab mention, gue langsung

diarahkan ke profile seseorang dengan bio ‘SERENDIPITY

is out now! ✨ CP: Heru +62 812 5000 0000.’ Iya, bener.

Heru manajernya Jimin.

'Ckck. Udah gue pesenin Chatime ke kantor ya. Semangat

ketak-ketiknya! Stream Serendipity✨'

Dan tweet tersebut banyak menuai RT dan reply dari fans-

fans Jimin yang juga ingin dikirimi Chatime. Astagaaa baru

aja bulan lalu kita kontak-kontakan lagi. Jasa Jimin ke gue

udah banyak banget.

Selain mendapat tweet manis dari Jimin, gue juga dapet satu

DM nih. Waduh semoga bukan fansnya Jimin yang jealous.

Pas gue cek, hmm bener sih bukan fansnya Jimin. Tapi

sahabatnya yang waktu itu menyebut gue sebagai stranger.

49
@vimatari: Ini temen Jimin yang kemaren kan?

Wow sebuah peningkatan. Kemarin bilang gue stranger, hari

ini bilang temennya Jimin.

Bener kan firasat gue waktu itu. Dalam waktu dekat kami

akan berurusan lagi. Perasaan gue kok gak enak.

Gue tulis namanya di kontak sebagai Vincent M Padahal

nama itu cuma disebut Juna sekali tapi masih nempel sampai

sekarang. Nama belakang yang unik. Bukan Matahari atau

Mentari tapi Matari. Kalau udah lumayan akrab gue mau

tanya artinya apa.

50
Masih ingat dong waktu pertama kami ketemu lampunya

agak remang. Yang bisa gue lihat benar-benar jelas

wajahnya cuma Jimin itupun pas dia di panggung. Barusan

di-DM sama Vincent avatarnya anjing, mungkin peliharaan.

Pas gue save kontaknya... LAH YANG NUNJUK-NUNJUK

MUKA KEMARIN SEGANTENG INI?!

Vincent yang asli separoh mabok vs Vincent di chat sumpah

gak jauh beda. Sama-sama kaku dan agak sengak. Dia bilang

di chat dia butuh bantuan gue. Oke lah kalau ini. Tapi kata-

kata dia selanjutnya sukses membuat gue memutar mata.

Gue? Juga akan butuh bantuan dia? Yang gue butuhin

sekarang cuma kasur dan selimut. Oh sama hari libur. Jelas

Vincent bukan lah ketiganya dan tidak bisa memberikan

ketiganya.

Eh bentar, dia bisa ngasih kasur dan selimut sih. Ini dia gak

lagi ngajak get laid kan? Emang gue keliatan kayak perawan

desperate ya?

Gue balas pesannya meminta penjelasan sebelum memaki

Vincent seperti hari ini Netizen memaki gue. Tapi Vincent

51
tetap beralasan tidak bisa memberitahu via chat. Semakin

membuat gue penasaran karena tidak ada yang boleh tahu

pertemuan rahasia ini termasuk Jimin. Tahu gue khawatir,

Vincent meyakinkan kalau niatnya hanya untuk ngobrol,

bukan mau menculik. Hih, enak aja! Gue gak selemah itu

juga sih. Yang bikin gue makin bingung, ungkapan defensif

tersebut justru dibalas dengan kata-kata ‘satu poin sudah

tercentang’. Maksudnya apa? Dia punya list kriteria terus

gue cocok gitu? Ini lagi ngomongin apa sih? Beneran gue

mau dibungkus?

Ah sialan Vincent. Udahlah waktu tidur gue dikit, jadi makin

gak bisa tidur nungguin besok karena penasaran sama apa

yang mau dibahas.

52
CHAPTER 2 cukup sampai disini ya, sudah pada punya

gambaran kan gimana kisah mereka selanjutnya???? dan

pastinya sudah bisa nentuin untuk membeli versi full

ebooknya. Yuk nabung dari sekarang dan pastikan kalian

pantengin terus akun twitter @rancangrenjana dan

instagram @nexterday.publisher, karena semua info dan

spoiler-spoiler yang berkaitan dengan ebook Seesaw akan

kami posting disana.

See you di versi Full Ebook Seesaw by Scha !!!!!!

Ps : banyak adegan baru yang gak kalah seru !!!!!

53

Anda mungkin juga menyukai