Anda di halaman 1dari 146

Hoshizora no Shita, Kimi no Koe Dake ga

Dakeshimeru

Ditulis Oleh : Takahashi Bisui


Diilustrasikan Oleh : Miwano Rag

Alih Bahasa Indonesia Dipersembahkan Oleh :


Penerjemah : Kaito Novel & Uebu Novel
Editor : Uebu Novel
Pembuat PDF : Kaito Novel

Dilarang keras memperjual belikan hasil karya ini atau


mengomersilkan hasil karya ini tanpa sepengetahuan Hak Cipta
secara legal.

E-Book ini semata-mata dibuat untuk peminat seri ini dan


mendukung translasi novel di Indonesia.

Kritik dan Saran di,

Kaito Novel & Uebu Novel


Chapter 1 – Eina

Ponselku yang berada di atas meja berdengung. Kujatuhkan tatapanku untuk


melihatnya, dan terpampang „Kau mempunyai satu pesan baru‟ pada layar.
Itu adalah text chat dari aplikasi di jejaring sosial. Kuketuk layarnya, dan
membuka pesannya.

Eina : 4 September. Cuacanya cerah. Aku menumpahkan jus dan menodai


karpetnya. Gawat nih, aku harus menyembunyikannya....

Rupanya, pesan tersebut dikirim oleh „Eina‟. Aku enggak tahu sama nama
itu. Kau bisa memasang namamu sesuai yang kau inginkan, tapi aku enggak
punya kenalan yang akan menggunakan nama sebagus itu.

"Pesan spam, ya?" Gumamku dengan pelan. Rasanya agak aneh, nih.
Biasanya pesan spam itu bakalan seperti „Anda memenangkan sepuluh miliar
yen! Anda dapat menerimanya di sini→‟ dan berjuntaian uang ada di
hadapan Anda. Atau akun dengan nama perempuan akan mengirimkan
sesuatu dengan kata-kata „Aku bersenang-senang di karaoke kemarin‟,
menggodamu buat membalas sebelum dengan cermat dibujuk untuk
mendaftar ke situs kencan, dan membayar biaya pendaftaran yang enggak
masuk akal.

Tapi apa-apaan dengan yang „4 September. Cuacanya cerah‟ ini? Bukannya


ini mah sesuatu yang kau masukkan ke dalam buku harian?

Vzzzt.

Pesan kedua pun tiba selagi aku memerhatikannya.

Eina : Menutupinya berhasil! Tetehku tidak menyadarinya, horre!

Lagi, itu kayak catatan buku harian. Apa yang diinginkannya dariku?

Eina : Aku menemukan cara untuk menghilangkan noda di internet! Akan


kucoba besok, ah♪ waktunya buat tidur, zzz.
Aku juga memutuskan untuk segera tidur, bagaimanapun juga besok
sekolah.

*****

Besoknya, aku seperti biasa berada di ruang Klub Literatur sehabis sekolah.
Pintunya dibuka lebar supaya memudahkan yang mau mendaftar atau
pendatang masuk. Enggak terlihat ada yang minat, sih.

Enggak ada yang bisa kuperbuat soal itu.

Lalu tiba-tiba, aku teringat soal pesan spam kemarin. Kulihat ponselku, dan
ada banyak pesan dari akun yang sama. Tiga pesan sekaligus, dan semuanya
itu saat sore.

Eina : Ujian Kanji Bahasa Jepang. Pelajaran yang mudah♪.

Eina : Kami berlari di Pelajaran Olahraga. Aku tidak mengerti mengapa


mereka harus tetap memeringkatkannya. Memangnya tidak bisa ya,
membiarkan orang-orang yang sudah menyelesaikannya merasa senang
bahwa itu sudah beres?

Eina : Aku melihat beberapa gadis yang bertengkar di pintu masuk. Aku
bukan bagian dari kelompok mana pun, jadi aku hanya pergi begitu saja.
Aku tidak ingin terlibat.

Aku agak memahami status si pengirim ini. Pertama, Dia ini seorang gadis.
Avatar-nya adalah sepatu kaca yang seperti di Cinderella, dan nama Eina
juga kelihatan feminim. Usianya mungkin sekitaran anak SMP atau SMA.

Dia mahir dalam pelajaran Bahasa Jepang, dan kurang mahir dalam
Pelajaran Olahraga. Ia juga enggak masuk kelompok mana pun, jadi
mungkin bukan tipe orang yang suka berkelompok.

Di benakku, aku samar-samar mulai menggambarkan gadis yang disebut


Eina itu.
Di saat yang sama, aku pun merenungkan apa yang enggak kuketahui.
Seperti berapa tingginya? Seberapa panjang rambutnya? Apa ia mempunyai
lipatan kelopak mata ganda atau malah tidak punya lipatan?

Aku ingin melihat ekspresinya kalau kubalas, tapi bagian diriku yang
berpikiran tenang membuatku urung untuk membalasnya.

Dari awal aku enggak tahu apa ia itu beneran seorang gadis. Bisa saja om-om
yang berpura-pura. Kau pernah dengar hal semacam itu, om-om yang
berpura-pura jadi wanita yang mau menerima lelaki.

Kalau kubalas, nanti bakalan jadi „gimana.....

"Klub Literatur, aku masuk."


Kumendongak saat mendengarnya. Seseorang yang enggak kuharapkan
tengah berjalan masuk, seorang gadis dari angkatanku.

Kulitnya putih, hidung halus, dan rambut panjang yang mengkilap. Sosoknya
juga mengagumkan. Penampilannya lumayan bagus hingga ia bisa
membayangi kata „cantik‟ itu sendiri.

Namanya adalah Minekawa Yukino, Ketua OSIS sekolah kami.

"Ketua? Tumben, apa jangan-jangan ada yang mau daftar?"

Rasanya suaraku agak heboh, tapi sama sekali bukan karena ketua cantik.
Klub Literatur saat ini sedang mencari anggota baru. Sekarang sudah bulan
September, jadi sudah bukan musimnya, tapi klub kami belum mempunyai
satu pendaftar pun semenjak April, jadinya kami masih mencari anggota
baru.

Hanya aku sajalah kelas dua saat ini, sehingga masa depan kami terancam.
Sebentar lagi aku harus fokus untuk menghadapi ujian universitas, jadi aku
juga harus meninggalkan klub.

Tentunya, bilamana kami enggak mendapatkan anggota baru yang


bergabung di tahun ini, aku sudah memutuskan akan menarik lebih banyak
orang tahun depan, tapi aku masih akan bersyukur kalau bisa lebih cepat
mendapatkan anggota yang banyak.

"Tentu saja bukan, mana ada kelas dua yang baru mau bergabung di
sepanjang tahun ini."

Namun, ketua mengerutkan alisnya hingga merengut dan menyangkalku


dengan ketus.

Di saat dia membuka mulutnya, dia menunjukkan intimidasi ketua-iblisnya.


Cara bicaranya yang terus terang membuatmu merasa sedang berbicara
dengan senior atau guru.

"Meski kelas dua juga aku enggak keberatan, kok? Sekarang ini, aku akan
menerima siapa pun." Aku mencoba untuk tetap teguh, dengan senyuman
lara di wajahku. Dia bukannya kasar atau apa, hanya berkata apa adanya
saja. Setengah tahun yang kami habiskan sebagai teman sekelas membuatku
tahu banyak hal.

"Kau juga suka buku, „kan? Kalau begitu, kegiatan kami bakalan coc—"

"Aku tak punya waktu untuk oborolan yang tak ada gunanya, jadi aku akan
langsung ke intinya saja," Sela ketua yang menyela perkataanku dengan
dingin. Lalu, mengatakan sesuatu yang mengejutkan dan tak bisa dipahami,
"Kemas segera barang-barangmu dan angkat kaki dari sini."

"Hah?"

"Hasil rapat OSIS baru-baru ini memutuskan untuk mengambil kembali


ruangan ini dari Klub Literatur."

"Seenaknya sekali!"

"Ada banyak hal yang akan ada gunanya di ruangan klub. Ketimbang
memberikan ruangan pada klub sepertimu yang nyatanya tak berbuat apa
pun, kami memutuskan bahwa akan lebih baik untuk memberikan ruangan
pada klub yang mempunyai banyak anggota dan benar-benar akan
melakukan berbagai hal. Penasehatmu juga sudah menyetujuinya."
"Oi, tunggu sebentar, kami juga melakukan banyak hal, kok. Sekarang aja
aku sedang mencari anggota baru."

"Kau hanya duduk di sana saja."

"Yah, hari ini enggak ada yang berkunjung."

Aku mencoba membuatnya agar terlihat seperti memang kebetulan enggak


ada yang berkunjung hari ini. Sejujurnya, sudah enggak ada yang datang
semenjak liburan musim panas terakhir. Tapi saat ini, kurasa aku hanya bisa
menggertak. Mengingat kemalangan kami yang sedang mencari anggota
baru, maka itu semua bakalan berakhir kalau kami juga kehilangan ruangan
klub.

"Hmm. Meski kau kelihatan kehilangan buku untuk menyambut anggota


baru?"

"Ah, itu....”
Itu „ngena banget. Tiap tahunnya, Klub Literatur mempublikasikan sebuah
antologi yang mereka sebut „Edisi Menyambut Anggota Baru‟ tapi kami
belum membuatnya tahun ini. Enggak ada naskah apa pun.

Alasannya sederhana.

Aku enggak bisa menulisnya.

Dengan enggak adanya kelas tiga dan kelas satu yang bergabung, hanya
menyisakan aku seorang yang melakukan kegiatan. Dan karena aku enggak
bisa menulis naskah, jadi mana mungkin aku bisa mempublikasikan buku
itu.

"Kau juga belum mempublikasikan apa pun sebelum liburan, apa kau masih
bisa menyebut itu melakukan kegiatan klub?" Aku enggak bisa
menimpalinya. Ketua sudah menyimpulkannya, dia datang karena
memahami semua keadaannya. Kami sudah enggak punya alasan apa pun
lagi. "Sekarang cepat kemasi barang-barangmu. Kalau kau meninggalkan
barang-barang yang tak kau inginkan, OSIS akan membuangnya."

Dia membeberkan pernyataannya tanpa mengernyitkan alisnya sekali pun.


Aku berdiri dalam dilema.

Tapi aku juga punya alasan tersendiri.

Ruang klub ini sangat berarti bagiku. Aku datang ke mari tiap hari
semenjak April saat kelas satu.

Selain itu, para alumni dan seniorku mempunyai kenangan-kenangan yang


mengisi tempat ini juga.....

Aku enggak boleh membiarkan kami sampai diusir.

"Melakukannya secara tiba-tiba itu keterlaluan," Aku mencoba melawan


semampuku, "Ada barang-barang yang ditinggalkan anak-anak kelas dua
dan tiga, jadi kami enggak tahu apa yang harus dibuang, beri aku sedikit
waktu lagi."
"Yah, kurasa ada benarnya juga." Angguknya.

Aku mengangkat tinju kemenangan dalam hati.

Beginilah strategiku. Akan ada festival budaya di awal Oktober. Itu adalah
tradisi untuk mempublikasikan edisi buat festival budaya, tapi itu
membuatku bisa mendapatkan catatan. Aku berencana untuk
mendapatkannya dari kelas tiga yang sudah meninggalkan klub supaya
memberikan catatan untuk masa-masa terakhir kehidupan pelajar mereka.
Kalau aku bisa mempublikasikan buku, mereka enggak bakalan bisa lagi
mengatakan klub yang enggak melakukan apa pun.

"Kalau begitu, bisa kau melakukannya dalam dua minggu? Kalau kita
membersihkan ruangannya dengan sungguh-sungguh sebelum festival
budaya dimulai, maka takkan ada masalah."

"Eh....."

Aku enggak bisa berkata apa pun. Itu adalah waktu terburuk buatku. Apa dia
sengaja melakukannya.....?

Namun, dia memintaku dengan ekspresi sungguh-sungguh, bukan dengan


senyuman jahat. Dia memang ketat, tapi bukan tipe yang membuat orang
lain menderita.

"Bukannya dua minggu mah kecepetan?"

"Lah? Kurasa kau akan mulai menghubungi mereka hari ini, kau bisa
menyelesaikannya tepat waktu dengan mudah. Kau hanya tinggal
memposkan barang-barangnya."

"Ah, tapi, um....."

"Ah, jangan khawatirkan soal biaya pengirimannya, kami akan menanggung


setengah dari biayanya. Karena ruangannya diambil secara sepihak darimu,
setidaknya kami bisa mengakomodasinya sebanyak itu."
"Pokoknya begitulah, jadi tolong lakukan."

Sesudah memberitahuku segala sesuatu yang penting, ketua berbalik, dan


dengan langkah teguhnya yang ringan dia meninggalkan ruangan dengan
senang, sedangkan aku hanya bisa ambruk di meja.

.*****
Aku sudah mencoba menulis novel sendiri. Itulah alasan awalku bergabung
dengan klub, aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan
menikmati novel, aku ingin menulisnya sendiri.

Akan tetapi, tiap kali aku memutuskan untuk menulis sesuatu dan duduk di
hadapan laman kosong atau layar komputer, aku enggak bisa menulis satu
huruf pun.

Lalu kumulai membaca lusinan buku seperti Cara Menulis Novel! Tapi itu
enggak membantu. Aku mencoba melakukan apa yang disarankan buku, tapi
enggak ada yang membantu.

Mungkin ada orang-orang yang menanyakan apa yang dilakukan orang


sepertiku ini di klub, karena aku bahkan enggak bisa menulis. Beberapa
teman sekelasku sebenarnya ada yang menanyakan itu.

Secara kasarnya mah, pekerjaanku ini mengerjakan banyak hal ketimbang


sekedar menulis saja. Contohnya, aku membaca naskah-naskah yang sudah
diajukan dan menunjukkan persoalan-perosalan mengenai bahasa dan plot-
nya, dan tergantung keadaan juga, aku pun mempertimbangkan cara untuk
meningkatkan banyak hal bersama si penulis, dan membantu mencari
bahan-bahan.

Jadi singkatnya, pekerjaanku ini untuk membuat tempat yang bisa membuat
para kreator makin mahir.

Kedengarannya memang lebih keren, tapi tanpa adanya pengajuan, enggak


ada yang bisa kulakukan.
Tanpa bisa menulis sepatah kata pun dan enggak adanya yang mendaftar,
hari pun akhirnya berakhir seperti biasanya. Aku sudah membuka buku
catatan dan berusaha mencari ide, tapi itu pun enggak membantu.

Ponsel di sakuku bergetar selagi aku berada di tengah-tengah kekecewaanku


saat sedang berjalan pulang.

Eina : Aku punya senjata untuk melawan noda. Aku akan menang
sekarang!

"Kelihatannya dia lagi bersenang-senang," Aku menghela napas. Tapi


kemudian aku melihat pesan berikutnya, dan mengatupkan hatiku.

Eina : Semuanya sudah berakhir. Aku ingin mati.

Aku terkejut karena tipisnya antara kegembiraan dan kurangnya gairah yang
muncul hingga sekarang.

Mati?

Mengapa?

Pesan-pesan itu pun terhenti di sana. Sesampainya di rumah, aku makan


malam, lalu pergi ke kamarku, dan masih belum ada lagi pesan.

Harusnya enggak aneh buat seorang gadis yang di masa remaja sepertinya
mengirim pesan dalam kurun waktu tersebut.

Mungkinkah dia menyerah karena aku enggak membalas?

Atau apa dia beneran mati?

Atau mungkin..... dia lagi bersiap-siap.....

Shuu : Jangan mati.

Aku enggak bermaksud melakukannya.


Aku membalas dan sadar kalau ini sendiri adalah cara yang digunakan oleh
seorang penipu. Mereka akan mengirim beberapa pesan menggembirakan,
lalu tiba-tiba beralih ke sesuatu yang berat....
Indikasi tersebut akan membuat penasaran apa yang telah terjadi dan
dengan wajar membalasnya....

Tapi sekarang sudah sangat terlambat.

Aku akan menerima nasibku.

Kucoba mengirim pesan lainnya.

Shuu : Kau enggak boleh mati. Apa terjadi sesuatu? Aku akan memberimu
saran.

Sudah kubalas sekali, dan kini aku mulai terlibat makin jauh. Kurasa, bisa
dibilang ini meneladani pepatah „untuk satu sen, untuk satu pond‟ mungkin?

Selain itu, aku juga penasaran spam macam apa ini, jadi ini bakalan berhasil.

Eina : Eh, ini siapa?

Dia langsung membalasnya. Sekarang buat penipuannya.

Eina : Seharusnya tidak ada komentar di aplikasi buku harian ini.

Tapi aku benar-benar kurang paham dengan apa yang dimaksudnya.

Shu : Buku harian? Ini aplikasi chat, „kan?


Eina : Aku memakainya sebagai aplikasi buku harian, sih.... jadi, bukan
ya? Umm, apa selama ini kau menerima pesan-pesan itu?
Shuu : Y-yah.
Eina : Ma-Maafkan aku karena mengganggumu!

Aku langsung bisa melihat seorang gadis yang meminta maaf menundukkan
kepalanya dengan panik. Dia kelihatannya aktor yang bagus.

Shuu : Eh, enggak apa-apa, kok. Jadi, kenapa kau ingin mati?
Kuputuskan untuk meneruskannya, berbicara dengan seorang gadis yang
ingin bunuh diri, setidaknya seperti itulah pengaturannya. Lalu aku pun
menunggu balasan, pasti alasannya akan serupa seperti anak gadis yang
ditolak.

Lalu.....

Eina : Aku tak bisa menemukan alasan untuk tetap hidup.

Alasan.... untuk hidup.....?

Ini pesan spam yang amat filosofis.

Eina : Hidup terasa menyakitkan, tak ada alasan yang meyakinkan buat
hidup, jadi kurasa mending mati saja.

Shuu : Tapi ada banyak hal juga yang menyenangkan, bukan?

Eina : Tak ada sama sekali. Kurasa, membaca memang sedikit


menyenangkan tapi.... masih ada banyak lagi rasa sakit.

Shuu : Tapi kalau kau mati, orang-orang akan merasa sedih, seperti teman
dan keluargamu.....

Eina : Mereka, takkan sedih sama sekali.

Napasku tersendat ditenggorokanku.

Aku bisa merasakan kesepian dari kata-katanya.

Mungkin aku sudah menyinggungnya, aku enggak kenal sama gadis yang
menyebut dirinya Eina ini, atau situasinya, jadi aku enggak boleh bicara
sembarangan.

Aku berpikir begitu dan tersenyum erat. Kurasa aku sudah mendapat kesan
bahwa dia ini memang seorang gadis.
Dengar Shuu, ini cuman salah satu akal-akalan mereka aja. Bagian diriku
yang berpikiran tenang mendesakku. Tapi bagaimana kalau satu dari sejuta
peluang itu benar, dan memang ada seorang gadis yang mempertimbangkan
untuk bunuh diri? Haruskah aku berbuat sesuatu?

Enggak masalah kalau aku kena tipu juga.

Kalau itu enggak benar, yah enggak apa. Kalau ini lelucon pun, juga enggak
apa. Tertawakan saja aku sesukamu.

Pokoknya, aku memutuskan untuk terus menganggap Eina adalah seorang


gadis biasa yang berisiko melakukan bunuh diri.

Shuu : Kalau kau mati dan berubah pikiran, kau enggak akan bisa kembali,
apa kau yakin?

Tapi apa yang terpikirkan itu menyedihkan dan aku sedikit merosotkan
tubuhku. Aku ragu kata-kata yang dangkal itu akan menghentikan seseorang
yang sedang berpikir untuk bunuh diri.

Eina : Kalau mati pun aku takkan berubah pikiran. Aku hanya akan jadi
mayat.

Tepat seperti yang kupikirkan, balasan Eina mendukung perkataannya.

Sendirian, aku menyilangkan tanganku dan berpikir.

Bagaimana caranya kau menghentikan seseorang dari bunuh diri? Dia


enggak punya alasan untuk hidup, enggak ada yang akan meratapinya, dan
enggak ada yang akan menyesalinya setelah....

Dia menikmati membaca, tapi ada terlalu banyak rasa sakit dalam hidup—

Seandainya dia bisa menemukan alasan untuk hidup, itu sudah cukup, tapi
menemukan satu alasan dalam waktu yang singkat akan—

"Tunggu sebentar....."
Dia suka membaca?

Itu ide yang bagus.

Kalau dia enggak punya alasan untuk hidup, aku akan membuatnya.

Shuu : Aku ganti topiknya, apa kau pernah merasa ingin menulis buku?

Eina : Bukankah pergantian topiknya agak kejauhan?

Shuu : Itu penting. Klub Literatur-ku enggak punya banyak penulis, sehingga
kami enggak bisa mempublikasikan apa pun. Aku sedang mencari seseorang
yang mau menulis buat kami. Kau tertarik? Kau suka membaca, bukan?

Eina : Uh, tertarik sih, tapi aku belum pernah menulis cerita.

Bagus, dia „ngikut. Kukirim pesan untuk mendesaknya.

Shuu : Sejauh ini kau sudah menulis dengan begitu baik, aku yakin kau akan
baik-baik saja. Kalau kau mencoba dan engggak berhasil juga enggak apa,
kok.

Eina : Tapi beneran boleh, nih? Aku bukan anggota atau apa pun, dan aku
bahkan bukan murid sekolahmu.

Shuu : Secara teknis mungkin masalah, tapi akan kulakukan sesuatu soal itu.
Kupikir menggunakan nama pena enggak akan jadi masalah. Aku akan
memikirkan beberapa alasan seperti salah satu anggota menulisnya dengan
tanpa nama atau semacamnya. Selain itu, bagiku ini hidup dan mati juga.
Kalau aku enggak bisa mempublikaskan sesuatu dalam waktu dua minggu,
OSIS akan mengambil ruang klub kami.

Eina : Itu gawat sekali! Baiklah! Aku akan mencobanya!

Dia kelihatan benar-benar menyukainya. Apa soal kehilangan ruangan klub


memang ampuh? Dia ternyata baik. Yang jelas, dia sepertinya lupa soal
bunuh diri.
Dan seandainya aku bisa mendapatkan naskahnya dan mempublikasikan
sebuah buku, maka kemungkinan aku bisa mempertahankan ruang klub.

Benar-benar membunuh dua burung dengan satu batu.

Eina : Umm, apa ada syarat-syaratnya?


Shuu : Enggak juga. Tulis saja apa yang kau suka. Atau bakalan jadi mudah
kalau ada syarat-syaratnya?
Eina : Ya, itu akan memudahkan! Bagaimanapun juga, ini pertama
kalinya buatku!
Shuu : Kalau begitu, mengenai gadis SMA yang jadi protagonisnya. Isinya
enggak akan dipersoalkan.
Eina : Aku mengerti!

*****
Keesokan harinya, terdapat pesan tunggu dari Eina dengan melampirkan
berkas teks.

Kurasa itu adalah plot atau latar pada umumnya, dan saat membukanya aku
pun terkejut.

Itu adalah naskah.

Aku enggak bisa menahan diri untuk bergumam dengan kaget.

"Beneran, nih?"

Ada sekitar lima ribu kata, sempurna untuk sebuah cerita pendek.

Shuu : Terima kasih buat naskahnya! Naskahnya bagus, apa kau menulis itu
semua semalam?

Selagi masih mengenakan piyama, aku mengirimi Eina pesan. Seketika itu
juga, balasannya pun tiba.

Eina : Aku begadang semalaman.


Shuu : Ini pertama kalinya kau menulis, „kan? Itu luar biasa.
Eina : Ehehe.
Shuu : Akan kubaca secepatnya dan kuberitahukan pendapatku. Aku akan
periksa kesalahan pengetikan dan kelalaiannya, serta memeriksa plot dan
berbagai hal lainnya juga.
Erina : Silahkan lakukan!

Selagi berangkat ke sekolah, aku bertanya-tanya, siapa sih dia sebenarnya?

Ampe bisa menulis sebanyak itu dalam semalam.....

Kupikir dia itu anak SMP atau SMA, tapi apa mungkin dia itu Mahasiswi?

Atau bahkan, mungkin saja seorang karyawan? Mungkin aku harus


menanyakannya saja.....

Selagi menunggu di ruangan klub seperti biasanya, aku mulai membaca


naskah Eina di ponselku.

Itu adalah novel anak muda.


Ringkasannya kurang lebih begini :

Seorang gadis SMA bertemu dengan hantu seorang gadis di atap


sekolahannya. Hantu itu meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dan
meminta untuk meminjam tubuh si protagonis sehari karena ada seseorang
yang ingin ditemuinya, dan ingin memberitahukan perasaan dia
terhadapnya. Orang itu adalah anak lelaki yang disukai si protagonis....

Si protogonis mengalami sesuatu seperti merasakan keluar dari tubuh,


mengikuti hantu itu dan anak lelaki yang kencan sembari melayang di udara.
Melihat kebahagiaan mereka, dia pun dengan ikhlas membiarkan dirinya
lenyap dan memenuhi cinta mereka.

Itu adalah kisah yang cukup menyedihkan, tapi ditulis dengan begitu baik
hingga membuat hatiku tersentuh.

Bahkan, ini lebih baik dari yang kuharapkan.


"Ini agak sulit dipahami, jadi aku harus membantu merevisinya... Aku juga
ingin tahu lebih banyak soal motivasinya, juga ada sedikit yang enggak bisa
kau tuturkan mengenai apa yang ia pikirkan...."

Aku mencatat pendapat-pendapatku selagi bergumam pada diri sendiri.

Aku mungkin berkata begitu untuk menghargainya, tapi kurasa itu adalah
tulisan yang mengagumkan. Kalau kau tanya mengapa aku mencatat cara
untuk memperbaikinya jika itu sudah mengagumkan, karena aku yakin itu
akan jadi lebih mengagumkan.
Semua penulis pun bilang, bahwa sulit untuk bisa menulis naskah komplet
sekaligus. Contohnya, sekalipun seorang penulis merasa apa yang sudah
ditulisnya itu masuk akal, enggak semua orang bisa membacanya dengan
jelas dan mungkin ada kesalahan yang enggak terduga dalam ungkapan.
Adanya orang lain yang memeriksa sangatlah efektif untuk meningkatkan
pekerjaan.

Tapi di saat yang sama, diperlukan seseorang yang handal. Saat


menyerahkan naskahnya, para penulis akan menyerahkan yang terbaik, dan
rasanya kurang mengenakkan ketika ada poin-poin yang ditunjukkan pada
mereka untuk diperbaiki. Terlebih lagi, aku ini hanyalah sekedar penggemar
novel yang merupakan bagian dari Klub Literatur sekolah, bukan seorang
editor profesional. Aku sendiri mungkin membuat kesalahan.

Bisakah aku menyampaikan pendapatku tanpa menyakiti si penulis, dan


memintanya untuk memeriksanya dengan teliti....

Hingga kini, aku sudah berbicara secara langsung dengan para penulis di
ruang klub, tapi.... Dengan Eina, kami enggak bisa bertemu.

Aku masih curiga dia itu penipu, aku bahkan enggak tahu usianya atau
apakah dia itu sebenarnya memang seorang perempuan. Bahkan, mungkin
saja dia itu orang yang berbahaya. Selain itu, aku juga enggak tahu tempat
tinggalnya. Kalau dia tinggal di Hokkaido atau Okinawa, maka kami enggak
akan bisa bertemu dengan mudah karena aku tinggal di Chiba.

"....."
Dengan berpikiran begitu, kulihat naskah pada layar ponselku lagi.

Aku yang termenung, berpikir bahwa kami enggak bisa bertemu, tapi dalam
lubuk hatiku, aku ingin menemuinya.

Aku hanya ingin bertemu dan berbicara dengan orang yang sudah menulis
sesuatu yang mengagumkan.

"Nah, itu enggak bakalan terjadi."

Gumamku pada diriku, memupus harapanku untuk bertemu dengannya.


Saat kupikirkan itu dengan tenang, enggak mungkin aku bisa bertemu
dengannya. Tapi kalau enggak bisa bertemu, bagaimana aku akan
memberikan kesanku...

Aku akan menempatkan banyak koreksi dalam berkasnya semampuku.

Kukeluarkan salah satu laptop milik klub, dan menghubungkan ponselku


untuk memindakan berkas-nya.

"Hmm, yang ini?"

Enggak tahu kenapa, tapi aku langsung merasa enggak nyaman dan segera
menyadari tanda-waktunya aneh.

Tanda-waktu pada berkas yang dikirm Eina adalah xx/09/2013.

Sekarang ini sudah tahun 2018, jadi tepat lima tahun yang lalu.

Apa dia bohong soal begadang semalaman dan mengirimkan yang sudah dia
tulis sebelumnya?

Jadi, dia emang beneran mencoba menipuku?

Tapi mau diapakan pencapaiannya itu? Selain itu, hasil akhirnya juga
kelewat bagus....

Aku mulai mencatatkan komentar-komentar pada berkasnya.


*******

Sehabis pulang dan makan, aku mengirim pesan ke Eina.

Shuu : Aku sudah baca, naskahnya bagus.

Balasan pun datang dalam hitungan detik.

Eina : Beneran?

Shuu : Bener. Meski ceritanya kurang mengenakkan, aku merasa begitu


sudah sehabis membacanya. Kupikir itu novel yang bagus.

Eina : Kau terlalu memujiku.

Rupanya dia pemalu.

Shuu : Sudah kutunjukkan beberapa kesalahan pengetikan dan masalah-


masalahnya, tapi....

Eina : Ah, benar.


Shuu : Aku menambahkan komentar-komentar pada berkas-nya, maukah
kau memeriksanya?

Aku melampirkan berkas dan mengirimkannya ke Eina.

Eina : Sudah terkirim.

Shuu : Bisa kau buka?

Eina : Sudah kubuka. Ahhhhhhhh.

Shuu : Ada apa?

Eina : Maafkan aku! Aku sungguh minta maaf!

Eina terus meminta maaf.


Sial. Mungkin aku kebanyakan mengkoreksi. Aku sudah mencobanya seteliti
mungkin, tapi kurasa koreksi pada pekerjaan pertamamu mempunyai
dampak yang nyata.

Shuu : Enggak usah minta maaf. Hal seperti ini wajar, kok.

Eina : Tapi, tapi.... aku sudah menghabiskan waktumu, dan....

Percuma, itu enggak muncul lewat teks. Kalau „gini, itu enggak bakalan
terselesaikan.

"Apa yang harus kulakukan?.... Hmm?"


Aku menyadari sesuatu pada layarku. Aplikasi ini mempunyai panggilan
suara gratis. Kuketuk tombolnya, sebagian besar karena refleks.

Kuletakkan ponselku ke telinga dan mendengarkan nada panggilan.

Lalu—itu terhubung.

《Halo?》

Sopran dari ponselku membuatku terkagum. Suaranya indah.

Suaranya sedikit lebih tinggi dari yang kubayangkan saat kami mengobrol,
dan terdengar jelas.

《Halo, ini Shuu. Um.... Salam kenal.》

《Salam kenal juga.》

Dia terasa cukup dekat hingga aku bisa mendengar napasnya.

"....."

《.....》

"Jadi."
《Umm.》

Berbicara di saat yang sama, kami pun berhenti bicara.

《..... Silahkan duluan.》

"Maaf. Ini soal naskahnya."

《Y-ya.....》

Meski lewat ponsel, aku tahu dia sangat gugup. Mungkin dikiranya aku ini
marah?

Karenanya, aku bicara seramah mungkin.

"Naskahnya benar-benar bagus."

《Eh? Tapi ada banyak koreksinya....》

"Justru karena adanya koreksi membuat naskahnya bagus. Aku yakin


naskahnya pasti bisa lebih baik. Maaf, mungkin kesannya agak kasar, tapi
aku enggak mau bicara buruk soal naskahnya."

《Akulah orang yang seharusnya minta maaf. Naskah semacam itu....


semuanya berantakan.》

"Ini baru pertama kalinya buatmu. Kalau kau enggak mau merevisinya, kau
bisa memeriksa kesalahan pengetikan dan mencetaknya apa adanya. Aku
enggak menemukan sesuatu yang mencolok, kok."

《Tidak! Kau sudah berupaya keras untuk meyuntingnya, aku akan berusaha
keras untuk merevisinya!》

Suaranya jauh lebih semangat dari sebelumnya, dan aku tenang. Bicara
sebenarnya sangat penting.
《Umm, boleh aku mengajukan beberapa pertanyaan?》

"Tentu saja!"

《Apa yang dimaksud dalam komentar pertamamu..... saat kau bilang ingin
lebih banyak gambaran dari keadaan psikologis si protagonis?》

"Ah, yang itu. Kurasa mungkin bakalan lebih baik lagi kalau kau mengatakan
lebih banyak soal alasan mengapa dia membiarkan hantu itu meminjam
tubuhnya. Dengan begitu, akan lebih banyak empati, „kan?"

《Begitu, ya! Lalu, di halaman selanjutnya—》

Dan begitulah percakapan itu berlalu dengan lancar, hingga kami selesai.

"Apa itu enggak apa? Kau enggak punya pertanyaan?”

《Tidak apa!》

"Aku sendiri mungkin membuat kesalahan, jadi tolong tunjukkan."

《Kurasa tidak ada, deh!》

Lalu kami pun membahas naskahnya beberapa kali selama akhir pekan, dan
novelnya Eina pun rampung.

*****

"Shuu-kun, ada apa dengan naskah ini?" Tanya Ruka-senpai sehabis


membaca naskah yang dicetak itu.

Hari itu adalah hari Senin, dan kami berada di ruang klub.

Dia adalah anak kelas tiga di Klub Literatur. Dia adalah seorang wanita
dengan rambut penuh gelombang, dan senyum ramah yang mempesona. Dia
tenang dan berbicara dengan santai, sehingga bersamanya terasa agak
tenteram.
"Aku mendapatkannya dari seorang kenalan." Jawabku pada Ruka-senpai
yang menyimpan tatapan penuh tanya.

"Kenalan? Siapaaa?"

"Itu rahasia. Namanya enggak ingin dikenal."

"Mgh."
Ruka-senpai benar-benar ingin tahu soal si penulis, namun aku enggak bisa
bilang „Aku mendapatkannya dari seseorang yang kutemui di aplikasi.‟ Aku
enggak mau membuatnya khawatir, bahwa aku mungkin ditipu.
"Ini agak mendadak, tapi bisakah kamu buatkan sampul ilustrasi dan
desainnya?"

Ruka-senpai juga enggak menulis. Malahan, dia menggambar ilustrasi, dan


mendesain sampul. Tentu saja dia menyukai buku, tapi bukan tipe yang ingin
menulisnya sendiri, dia ingin mendesain buku-buku sebenarnya. Bisa
dibilang, menempatkan orang tepat dalam bidangnya.

Ada dua anggota kelas tiga lainnya yang sebagian besarnya menulis.
Kebetulan, mereka termasuk orang-orang yang sudah berhenti untuk fokus
pada ujian mereka.

"Boleh, hari Jumat aja, ya?"

Angguk Ruka-senpai yang tersenyum padaku.

"Ya. Terimakasih banyak sudah mau melakukannya selagi kamu sibuk


belajar."

"Enggak apa, kok. Selain ingin membantumu, aku juga akan sedih kalau kita
kehilangan ruangannya."

Kebaikannya membuatku tersentuh.

Sampulnya sudah dipilah. Aku akan mendapatkannya hari Jumat, lalu


mencetaknya hari Sabtu, dan mempublikasikannya hari Senin.

Biarpun aku harus meminta OSIS untuk meminjamkan ruang pencetakan.


Rasanya agak menyusahkan hati karena di sana ada Ketua Minekawa juga,
dan aku benar-benar enggak mau melihatnya.
Tapi aku mesti pergi, jadi aku pamitan pada Ruka-senpai dan pergi ke
ruangan mereka.

"Permisi."
Kuketuk pintu, dan masuk ke dalam. Semua anggotanya sedang bekerja di
mejanya. Kelihatannya mereka semua sibuk, jadi enggak ada yang datang
buat mengurusiku.

Aku juga enggak lagi buru-buru, jadi kutunggu saja dengan nyantai di pintu.

"Baik. Aku akan pergi dan bicara pada Klub Bisbol dan...."

Ketua lagi bekerja di meja bagian dalam. Aku enggak bisa menahan diri
untuk menatap ke tempat tersebut.

Kelihatannya dia lagi mengurusi klub olahraga.

Senyuman lembut terpampang di wajahnya dan agak tampak seperti salah


satu lukisan orang-orang suci barat.

Dia benar-benar fotogenik.

"Klub Literatur?"

Dia menyadariku dan melihat ke arahku, mengerutkan kedua alisnya


bebarengan.

Dia selalu terlihat kesal saat melihatku.


Kupasang senyum tegang di wajahku.

"Ada perlu apa? Saat ini kami rada sibuk."

Ucapnya sambil berdiri dan berjalan ke arahku.

"Aku ingin meminjam ruang pencetakan hari sabtu, apa kosong?"

"Ya, kosong."

Dia berputar dengan tumitnya, dan mengambil buku catatan dari rak-rak.

"Tuliskan kelas dan namamu di sini, dan kapan kau akan menggunakannya."
Kutuliskan seperti yang dikatakannya.

"Apa yang kau cetak, sih?"

"Buku murid baru."

"Kau menulis sesuatu?"

"Tidak, kok."

Berhubung aku lagi berbicara dengannya, kuputuskan untuk bertanya soal


ruang klub.

"Gini, ketua, kalau kami benar-benar melakukan sesuatu, kami enggak


bakalan diusir dari ruangan kami, „kan?"
"Aku tak bisa memutuskannya secara sepihak, tapi kalau kau terus
mempublikasikan buku, aku bisa membahasnya kembali saat rapat."

"Aku janji, kami bakalan terus mempublikasikan."

"Baiklah. Aku akan membahasnya saat rapat besok. Tapi ada satu syarat
lagi."

"Syarat?"

"Beri juga aku bukunya satu."

"Kami memberikannya secara gratis, sih?"

Kami selalu menempatkannya pada kotak-kotak di setiap lantai dengan


papan pemberitahuan „Silahkan ambil satu‟ pada kotak.

"Bawakan aku satu."

"Kenapa?"

"Tidak ada ruginya buat usaha sebanyak itu, bukan? Bagaimanapun juga,
aku sudah bilang akan merusak sesuatu yang sudah diputuskan."
Kurasa itu malah menambah beban kami, tapi kalau bisa memenuhi syarat
itu, kami bisa mempertahankan ruang klub kami, aku bisa langsung
menjawabnya.

Saat kami selesai, dia pun kembali ke mejanya tanpa „pamit‟ dan karenanya,
aku bahkan enggak sempat berterima kasih padanya.
Dia selalu begitu terus terang. Aku tahu dia adalah orang yang realistis, tapi
setidaknya dia tersenyum pada orang-orang yang lagi di hadapinya, tapi dia
masih terlihat sangat jengkel padaku.

"Kurasa dia benar-benar membenciku...."

Gumamku sambil berjalan melewati koridor. Aku enggak bisa menahan diri
untuk memikirkan kembali pertemuanku dengannya.



Saat itu adalah hari pertama sekolah. Kuakui kalau aku ini adalah seorang
kutu buku dan penasaran dengan buku-buku di sekolah yang kumasuki, jadi
kupergi ke perpustakaan saat hari berakhir. Aku suka membaca di ruangan-
ruangan dan di perpustakaan, keduanya mempunyai kesan yang bagus saat
dipenuhi dengan buku-buku. Bau debu dari buku-buku lama membuatmu
seperti tengah diselimuti buku-buku, sehingga mempunyai pesona yang
berbeda dari toko buku.

Aku melihat ke sepanjang rak-rak buku mulai dari sudut.

"Oh!"

Aku menemukan salah satu buku Sci-Fi kesukaanku, dan secara enggak
sadar mengulurkan tanganku pada buku tersebut.

Itu adalah buku Sci-Fi yang berurusan dengan waktu, yang disebut The Door
Into Summer.

Tanganku terhenti, karena adanya tangan lain yang juga menggapai buku
tersebut.
"Silahkan."

Kutarik kembali tanganku.

"Apa kau yakin?"

"Ya, aku sudah membacanya.... lumnya."

Aku melihat tangan orang itu dan kehilangan kata-kata.

Dia sangat cantik hingga aku harus menenggak.

Itu adalah Ketua Iblis, Minekawa Yukino.

"Kau Yagi Shuu-kun dari kelas A, „kan?"

"Ya," Aku berhasil berucap saat dipanggil olehnya.

Kenapa dia tahu namaku? Aku baru saja masuk sekolah.....

"Aku Minekawa Yukino dari Kelas B. Salam kenal."

"Y-ya, salam kenal juga."

"Apa kau.... suka buku?"

"Ya, kau juga?"

"Ya."

"Jadi, apa kau masuk Klub Literatur?"

"Aku sedikit bingung. Ada begitu banyak yang ingin kulakukan...."

"Begitu, ya. Aku bergabung dengan Klub Literatur, jadi mari kita teruskan
kalau kau bergabung."
"..... Akan kuingat."

Aku masih belum melupakan senyuman lembut dan ramahnya itu. Pada
akhirnya, dia enggak bergabung dengan Klub Literatur dan aku sering
kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya. Bisa dibilang, hari itu
adalah hubungan pertama dan terakhir kami.

Lalu, saat di mana kami bertemu lagi adalah saat kelas dua di kelas yang
sama, dia nampak memperlakukanku dengan kasar. Kami hampir enggak
pernah bicara, jadi aku enggak tahu kenapa dia tiba-tiba membenciku. Hidup
teh bener-bener penuh misteri.

*****

Aku mencetak seratus buklet.

Biarpun buklet-buket tersebut dibagikan secara gratis, enggak semua murid-


murid menyukai buku, jadi itu jumlah yang wajar. Tapi saat mengerjakannya
sendiri, jumlahnya cukup banyak.

Hari ini adalah hari Sabtu, dan aku bisa mendengar para anggota klub
olahraga dari luar.

Seberesnya di ruang pencetakan, aku membawa cetakan tersebut ke ruang


klub dan mulai menjilidnya.

Pekerjaannya itu sendiri mudah. Lipat setiap lembaran B4 menjadi dua,


menumpukkannya, lalu menstaplernya. Dikarenakan aku kurang tidur, jadi
hanya membawa bahan-bahannya saja sudah melelahkan.

Ruka-senpai sudah mengirimkan ilustrasinya saat Jumat pagi, dan aku pun
sudah menata cetak semuanya dari sehabis sekolah hingga pagi ini. Teks-nya
sendiri sudah rampung, tapi itu memerlukan waktu hingga pagi.

Aku sudah tidur sejenak sebelum pergi ke ruang pencetakan, jadi sekrang
sudah tengah hari.
Aku menyantap makan siang yang sebelumnya kubeli di toko, lalu mulai
bekerja dengan sungguh-sungguh.

Kumelipat kertas tanpa kata selagi mendengarkan musik yang dimainkan


dari ponselku.

Printer-printer terbaru akan membaca data dan menjilid hasilnya ke dalam


buku-buku itu sendiri, tapi sekolahku enggak punya barang semalah itu.
Karenanya, kami harus melakukannya dengan tangan... tapi hanya aku
sajalah anggota yang aktif.

"Aku harus mengerjakannya."

Ucapku dengan sombong untuk memotivasi diri sendiri, sungguh gambaran


pahlawan yang mengenaskan.

Agak terasa seperti semangat larut malam.

Lalu,

Vrr vrr.

Ponselku pun berdengung.

Eina : Halo, apa kabar?


Shuu : Baik.
Eina : Hari ini kamu lagi ngapain?
Shuu : Menjilid buku-buku.
Eina : Hari ini kamu ada kegiatan klub?
Shuu : Iya, sendirian.
Eina : Tidak ada yang bantu?! Kejamnya!
Shuu : Murid-murid kelas tiga sudah berhenti, jadi cuman aku seorang yang
aktif.
Eina : Begitu, ya.... jadi kau menjilidnya sendirian? Berapa banyak?
Shuu : Seratus.
Eina : Waah, banyak sekali. Maaf, ya... aku tidak bisa bantu.
Shuu : Enggak apa, kok. Ada orang yang bisa diajak bicara saja sudah
memudahkan.
Eina : Ya sudah, kalau memang tidak mengganggu, akan kutelepon.

Seketika, panggilan pun langsung datang sehabis aku membacanya, dan


kujawab dengan speaker telepon.

《Halo, Shuu-san?》

"Halo."

《Berjuanglah. Aku akan menyorakimu.》

"Makasih."

《.....》

"....."

《Sebenarnya, aku tak tahu harus membicarakan apa.》

"Karena kita saling enggak tahu apa-apa, jadi mari kita saling mengenalkan
diri. Eina suka buku yang seperti apa?"

《Hmm.... Selain kisah romantis, aku juga suka yang berbau-bau fantasi,
seperti dongeng. Kamu sendiri?》

"Aku hampir suka semuanya, terutama Sci-Fi."

《Makanan apa yang kamu suka?》

Kali ini, Eina lah yang mengajukan pertanyaan.

"Ramen, katsudon, makanan-makanan yang seperti itu."

《Itu mah kesukaan banyak laki-laki.》

"Eina sendiri?"
《Aku suka yang manis-manis! Kue, crim, choux, dorayaki, anmitsu....》

Kurasa makanan-makanan manis barusan itu memang gadis banget.

《Pertanyaan berikutnya! Apa kau punya pacar?》

"Enggak, tuh."

《Kalau orang yang kamu suka?》

Tiba-tiba, wajah ketua muncul di benakku, dan aku pun langsung tersenyum
masam.

Dia memang cantik, tapi dia itu di luar jangkauanku. Aku cuman bisa
mengaguminya dari jauh. Kalau mungkin, aku bener-bener kagak ingin
berbicara dengannya.
Rasanya sulit buat melihat tingkahnya yang seakan membenciku saat kami
saling berbicara berhadapan.

"Kurasa, aku punya."

《Eh, eh. Orang yang kayak „gimana.》

"Orang yang kayak „gimana? .... Hmm, aku kurang tahu. Aku hampir enggak
tahu apa-apa mengenainya."

《Ah, jadi bertepuk sebelah tangan......》

"Kayaknya begitu. Kamu sendiri? Apa kamu punya pacar?"

《Kamu pikir aku akan benar-benar punya?》

Kayaknya enggak, lalu kutanya.

"Kalau orang yang kau suka?"

《Umm. Ada seseorang yang kukagumi tapi,》


Dia kelihatan ingin menghindari pertanyaan itu,

《bagiku itu bertepuk sebelah tangan juga, mungkin.》

Mendengar dia yang agak kesepian membuat hatiku sakit. Cinta bertepuk
sebelah tangan ya.... memang berat.

"Kalau butuh saran, mungkin aku bisa bantu?"

《Terima kasih. Buat saat ini aku baik-baik saja, kok. Tapi saat itu terjadi,
mohon bantuannya.》

Enggak terasa, waktu pun berlalu dengan cepat saat aku meneruskan obrolan
yang enggak jelas itu dengan Eina, dan buku-bukunya juga sudah dijilid
sepenuhnya saat aku enggak sadar matahari sudah terbenam.

*****

Hari itu adalah hari Senin, buku-bukunya pun sudah di tempatkan di sebelah
papan pemberitahuan dengan aman. Aku langsung menuju ke ruang OSIS
begitu mereka sudah mulai bekerja.

Ketua duduk sendirian, tengah bekerja.

“Ketua, aku membawanya sesuai janjiku."

"Terima kasih, kami juga takkan mengambil ruang klubmu seperti yang
sudah kujanjikan."

"Ya! Aku berhutang padamu."

"Sebagai gantinya, lakukanlah kegiatanmu dengan benar meskipun terlihat


membosankan, oke?"

"Baik."
Aku pun meninggalkan ruangan OSIS dengan keberhasilan.
*****

Karena terlambat, buklet murid baru pun meyebabkan kepopuleran yang


tentram di sekolah. Klub Literatur kami punya tradisi mempublikasikan
sesuatu menggunakan nama asli kami, tapi „Eina‟ jelas-jelas merupakan
nama samaran. Terlebih, enggak ada banyak orang yang menulis cerita
seperti Eina.

Semua orang ingin tahu siapa orang yang sudah menulisnya, dan nampaknya
banyak orang yang membaca ketimbang biasanya. Contohnya, Sakai Keisuke
sang andalan Klub Surat Kabar yang mengampiriku selagi aku makan siang
pas hari Rabu.

Sakai dan aku sudah melakukan banyak hal bersama karena kami sudah
sekelas semenjak kelas satu, tapi sebelumnya dia belum menunjukkan
batang hidungnya di ruang klub.

"Eina itu siapa? Anggota baru? Nama samaran kakak kelas? Atau malah
kamu sendiri?"

Sakai enggak kerepotan membenarkan kacamatanya yang bergeser, dan


menghujaniku dengan pertanyaan.

"Aku enggak bisa bilang."

Malahan, aku enggak bisa bilang meskipun aku ingin, karena aku hampir
enggak tahu apa-apa mengenainya.
"Ayolah, kita ini teman, „kan? Bos mengancamku untuk kemari dan
menanyakan siapa orangnya!"

Sakai berlutut memohon padaku. Terlihat agak menyedihkan, tapi kalau aku
enggak bisa bilang, ya enggak bisa.

"Maaf, enggak bisa."

"Dasar kejam."

"Aku punya situasi tersendiri, begitu pula dengan Eina."


"Ahhhh, aku bakalan dipecaaaaaaat!"

Sulit buat nenangin Sakai yang nangis, tapi aku senang buklet-nya populer.

Aku ingin memberitahu Eina sekarang juga, jadi kuusir Sakai dan
mengiriminya pesan.

Shuu : Semua orang menyukai ceritamu!

Balasan pun tiba sesampainya aku di rumah.

Eina : Yang bener?!

Biasanya aku enggak mendapatkan pesan dari Eina selagi dia sekolah, jadi
mungkin dia mengirimnya saat dia sudah pulang ke rumah. Mungkin di
sekolanya ponsel dilarang.

Shuu : Beneran! Klub Surat Kabar datang buat meliputnya. Mereka ingin
tahu siapa yang menulisnya! Aku mengelaknya, sih.
Eina : Itu berjalan lancar?!

Aku bisa merasakan kegembiraaanya dari layar. Lalu, aku teringat sesuatu
yang penting.

Shuu : Oh iya, aku lupa. Harus kuapakan sama buku yang sudah jadinya ini?
Mau aku poskan saja?
Eina : Diposkan.... mungkin agak bermasalah.
Shuu : Kayaknya kau enggak mau memberithukan alamatmu.

Tentulah dia enggak mau. Sejauh yang diketahuinya, aku ini cuman orang
yang enggak dikenal.

Eina : Bukan begitu, aku sendiri memang tidak keberatan.... tapi


keluargaku mungkin tak suka dikirimi sesuatu oleh seseorang yang tak
dikenalnya....
Shuu : Begitu, ya.
Eina U-umm... kalau bisa.... maukah... kau memberikannya padaku secara
pribadi?

Hatiku terasa melompat begitu melihat pesan itu. Aku akan ketemuan sama
Eina—

Eina : Ah! Maafkan aku! Aku belum sempat tanya tempat tinggalmu.

Eina mengirim pesan lainnya selagi aku enggak tahu harus balas apa.

Eina : Aku tinggal di Chiba, jadi kalau di sekitaran Kanto harusnya bisa.

"Ehh?!"

Aku enggak bisa menahan diri untuk berteriak karena terkejut. Eina juga
tinggal di Chiba?!

Apa kebetulan semacam itu beneran ada? Untuk suatu alasan, jantungku
berdegup kencang.

Eina : Shuu-san, kamu tinggal di mana?


Shuu : Aku juga tinggal di Chiba, di Kota C.

Karena dari tadi hanya Eina yang terus mengirimi pesan, jadi dengan
terburu-buru kubalas saja dengan tempat tinggalku.

Eina : Ya sudah, kita ketemuan di station C aja, ya?


Shuu : Oke, siap .
Eina : Baiklah, terima kasih. Sampai ketemu hari Sabtu!

****

Mungkin karena hari Sabtu, stasiun itu pun ramai. Tempatnya bersih dan
teratur karena sudah direparasi dua tahun yang lalu, dan pas buat
mengamati orang-orang.

Aku sampai di pembatas tiket sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan.
Shuu : Aku sampai sedikit lebih awal, nih. Aku ada di depan tiang, pake
mantel hitam dan celana jengki, aku masih remaja.
Eina : Aku juga. Eh, tiang....? Umm, di mana?
Shuu : Di depan pembatas tiket. Tepat di sebelah kananmu di jalan keluar.
Eina : Yang bener.... coba angkat tanganmu?

Kuangkat tanganku seperti yang dimintanya.

Shuu : Sudah, nih.


Eina : Lah, kamu di mana?
Shuu : Kau pake apa?
Eina : Kemeja rajut terang, sepasang kulot, dan sandal. Rambutku lurus
dan masih remaja.

Kulihat ke sekeliling. Ada banyak gadis remaja, tapi enggak ada yang lagi
mencari-cari.

Shuu : Ini aneh. Bukan stasiun pribadi, „kan?


Eina : Bukan~
Shuu : Iya juga, sih. Ya sudah, pergi aja ke mesin tiket, aku juga akan ke sana.
Eina : Baik, aku sudah di sini.

Dia enggak ada di sana.

Eina : Susah untuk menemukan orang saat sedang direnovasi.

Aku merengut.

Shuu : Direnovasi? Bukannya itu sudah beres?


Eina : Eh? Mereka bilang akan memerlukan waktu tiga tahun lagi, bukan?
Shuu : .....
Eina : .....

Dia mungkin main-main denganku, atau berada di tempat lain dengan nama
yang sama. Hanya ada satu Stasiun C di Chiba, sih.

Lalu kuteringat tanda-waktu pada filenya, xx/09/2013. Sekarang sudah


tahun 2018, jadi tepat lima tahun yang lalu. Renovasi sudah beres dua tahun
yang lalu, jadi waktunya pas dengan yang dibilang Eina yang bakalan
memerlukan waktu „tiga tahun lagi‟.

Shuu : Coba kirimkan gambar bagian depan stasiun.


Eina : Baik.

Ponselku berdenting saat pesannya sampai. Bagin depan stasiun dilingkupi


pembatas bangunan, jadi tepat disaat tengah-tengah renovasi.

Aku ditipu.

Kau bisa dengan mudah memalsukan hal semacam ini. Contohnya, kalau
mengambil pesan awal padaku seperti „seorang gadis yang tinggal di tahun
2013‟, dari sana bakalan mudah untuk mengikutinya.

Tapi untuk suatu alasan, aku enggak bisa meragukan Eina. Apa dia beneran
seseorang yang bakalan berbohong begitu? Jadi—

Shuu : Eina, tahun berapa sekarang?


Eina : Eh? Kenapa?

Dia membalas dengan pertanyaan yang wajar.

Shuu : Akan kujelaskan nanti, beritahu saja aku?


Eina : Tahun 2013.....

Aku berulang kali membaca „2013‟. Enggak ada kesalahan. Bisa saja itu
bohong. Tapi aku ingin mempercayainya, jadi.... aku berbicara dengan jujur.

Shuu : Jangan terkejut, buatku sekarang ini tahun 2018.

Enggak ada balasan untuk beberapa saat.

Eina : Itu.... aku tak bisa mempercayainya.


Shuu : Sama, aku juga.

****
Aku pergi ke taman terdekat dan menelepon Eina selagi duduk di bangku.
Rasanya makin menjengkelkan bicara lewat teks.

《Halo, ini Eina.》

"Ini Shuu. Apa buatmu beneran tahun 2013? Kau enggak menipuku, „kan?”
Tanyaku dengan terus-terang.

《Memang apa untungnya menipumu?》

Dia terdengar kesal. Aku bisa membayangkan seorang anak SMA yang
cemberut padaku.

"Bisa saja kau ini teman sekelas yang harus mengerjaiku karena semacam
hukuman."

《Kau terlalu banya berpikir. Selain itu, aku sudah berteriak „penipu‟ dan
yang lainnya akan muncul sekarang, „kan?Aku tak perlu melanjutkan, „kan?

Memang benar.

《Kupikir kamu juga mungkin menipuku, tapi aku tak bisa memikirkan
alasan kamu melakukannya, jadi kurasa aku harus menerimanya sebagai
kebenaran.》

"Memangnya mungkin „gitu buat bicara dengan seseorang dari lima tahun
yang lalu?"

《Mau itu mungkin atau tidak, setidaknya kita tak bisa bertemu dan
berbicara.》

Kukeluarkan buku itu dari tasku dan menatapnya. Aku enggak bakalan bisa
memberikannya pada Eina.
Ini memang memalaukan... aku bisa membuatnya menjadi PDF dan
mengirimkannya? Mungkin enggak seperti punya yang asli, tapi masih lebih
baik daripada enggak sama sekali.

Saat pemikiran-pemikiran itu terlintas di benakku, aku menyadari sesuatu.

“Tidak, kita bisa bertemu."

《Eh, tapi kita tinggal di waktu yang berbeda?》

"Aku bisa bertemu dengan dirimu di lima tahun mendatang. Maaf, tentunya
kau harus menunggunya."

Memang enggak sampai seratus atau dua ratus tahun, tapi hanya lima tahun.
Dalam lima tahun, tentu saja anak SMA sepertiku akan menjadi orang
dewasa, jadi itu waktu yang lama, tapi enggak sebegitu lamanya hingga kami
harus menyerah untuk bertemu. Atau enggak harus begitu juga, tapi untuk
suatu alasan, Eina terdiam.

"Eina?"

Setelah beberapa saat, Eina pun kembali bicara dengan tenang.

《..... Kalau kubilang untuk berhenti, akankah kau membenciku?》

"Eh, tentu saja enggak...."

《Maaf, aku jadi egois.》

Dia nampak merosotkan tubuhnya di telepon.

Aku panik karena perubahan sikapnya dari yang bisanya riang.

"Kau enggak berbuat salah apa-apa, kok. Maafkan aku karena sudah
membicarakan soal itu."

《Tidak, akulah yang salah. Aku benar-benar ingin bertemu denganmu.》


Jantungku berdegup kencang saat dia berkata begitu.

《Tapi aku takut. Takut untuk mengetahui masa depanku. Maksudku.....》

Suara Eina memelan, dan dia berbisik.

《Bagaimana kalau di lima tahun mendatang aku sudah meninggal?》

Rasanya seperti ditikam dengan kata-kata tenangnya.

Eina.... sekarat?

"Apa kau.... sakit?"

《Eh? Tidak, aku tidak sakit, kok. Ini cuman seumpamanya saja. Kalau aku
mati, ya tak apa. Mungkin itu sudah nasib burukku. Ada banyak hal yang
lebih buruk ketimbang kematian.》

Dia bilang hanya seumpamanya saja. Dia enggak salah, kehidupan


seseorang memang bisa berubah drastis tiap harinya. Tapi kebanyakan orang
hidup dengan perasaan yang enggak jelas apa mereka masih akan berada di
sini esoknya, lusanya... dan bahkan lima atau sepuluh tahun mendatang.

Orang bisa hidup dengan normal karena mereka enggak meragukan hal itu.
Tapi Eina bilang dia mungkin akan mati.

Mengapa?

Apa yang membuatnya sampai berkata begitu....?

《Pasti kalau sesuatu yang buruk sudah terjadi padaku di masa depan, kamu
akan menyembunyikannya. Tapi aku mungkin bisa tahu dari suaramu, jadi
aku takut. Maafkan aku.》

Namun aku enggak menanyakan bagaimana situasinya, atau mengapa dia


begitu pesimis.
Dia beneran berpikir soal bunuh diri saat kita pertama kali bicara.

Mungkin itu enggak ada hubungannya. Tapi aku enggak bisa bertanya, masih
ada jarak yang terlalu jauh di antara kami. Aku enggak tahu apa aku bisa
mengajukan semacam pertanyaan yang mengusut seseorang yang belum
pernah kulihat sebelumnya.

"Ya sudah, ayo kita terus mengobrol aja, Eina."

《Ya! Ayo!》

Mungkin karena aku bicara seceria yang kubisa, suara Eina kembali
bersemangat

Aku menghela napas.

****

Sebuah pesan pun tiba dari Eina selagi aku tengah rebahan di kamarku
semalamnya.

Eina : Boleh aku meneleponmu sekarang?


Shuu : Boleh.

Panggilan pun tiba.

"Halo."

《Halo, Shuu-san?》

Enggak hanya mengatakannya dengan begitu saja, itu nampak seperti


dirinya.

"Enggak usah khawatir. Besok libur, kok. Jadi, ada apa?"

《Kupikir kita harus punya beberapa aturan karena aku berasal dari lima
tahun yang lalu.》
"Aturan?" Aku merengut.

《Ya, supaya tak mempengaruhi masa lalu. Demi yang terbaik, kupikir kita
jangan terlalu banyak mengubah masala lalu. Itu sering muncul di Sci-Fi,
„kan?》

"Ya, itu benar. Jadi kau enggak mau berbicara denganku sesering ini?"

《Begitulah maksudku. Pengaruh kecil seharusnya baik-baik saja, tapi


perubahan besar bisa membuat alam semesta meledek atua semacamnya.》

Aku pernah dengar hal semacam itu sebelumnya.

《Pertama-tama, sebisa mungkin jangan beritahu aku soal masa depan.》

Yah, itu cukup mendasar.

Hmm? Tunggu sebentar.

"Kalau aku memberitahumu perusahaan-perusahaan mana saja yang


berjalan dengan baik, bukannya kau bisa menjadi kaya? Lalu kita bisa
membagi hasilnya nanti...."

《Shuu-san! Itu perkataan terburuk yang bisa kau katakan!》

"Cuman bercanda."

《Mgh!》

Aku tertawa, tapi sepertinya dia cemberut saat percakapan di ponsel lain
berakhir.

"Maafkan aku."

《Ini bukan persoalan yang patut ditertawakan. Kita harus berhati-hati


dengan hal-hal yang bisa menghasilkan uang. Bahkan, aku ingin kamu tak
memberitahuku produk apa yang populer dalam lima tahun.》
"Baik."

《Juga.... kita seharusnya tak boleh terlalu banyak bicara mengenaiku.》

"Kenapa?"

《Kalau kamu tahu banyak hal mengenaiku, ada kemungkinan kamu bisa
mengubah masa depanku, „kan》

"Benar juga. Aku enggak akan terlalu banyak bertanya, deh."

《Setelah dipikir-pikir, kebanyakan aku hanya memberitahumu untuk


berhati-hati, maafkan aku.》

"Mau bagaimana lagi, karena aku orang yang ada di masa depan."

《Harusnya aku bisa memberitahumu soal masa lalu, jadi kalau ada yang
ingin kau ketahui, beritahu saja aku.》

"Seperti apa?"

《Umm, seperti apa Chiba lima tahun yang lalu?》

"Aku ragu itu bakalan berubah banyak dalam lima tahun."

《Ya, itu benar.》

Dia terdengar agak putus asa.

"Enggak usah khawatir. Akulah orang yang ada di masa depan, jadi kau
enggak bisa mengubahnya."

《Kamu memang baik, terima ka—》

Beeeep.
Tiba-tiba, panggilan terputus.

"Eina?"

Kutelepon balik, tapi enggak terhubung. Usai sepuluh menit, ada panggilan
datang darinya.

《Maafkan aku, Shuu-san》

"Enggak apa, kok. Apa yang terjadi?"

《Sepertinya ponselu agak rusak....》

Dia mengatakannya dengan canggung, kalau memang enggak ada masalah


dengan tranmisi-nya, maka seharusnya memang ponselnya, tapi Eina seperti
enggak mau menjelaskannya, jadi kubungkam saja mulutku.

《Udah dulu, ya.》

"Ya, selamat malam."

Tiba-tiba panggilan terputus lagi. Apa yang terjadi?

Saat aku memikirkannya, aku menyadari sesuatu. Aku enggak mau tahu soal
masa lalu. Masa lalu tidak terlalu penting. Tapi, Aku ingin tahu lebih banyak
soal Eina.
Selingan 1 - Kamar Eina

Sepupuku membukakan pintu, dan berteriak padaku.

"Berisik!"

Aku menutup panggilan Shuu-san, dan menyembunyikan ponselku di bawah


futon.

"Aku lagi baca buku dengan suara yang keras, ini PR-ku."

"Bacanya yang pelan saja. Kau pikir kau ini siapa? Kau ini penumpang! Nanti
mama marah!"

Dia menutup pintu dengan membantingkannya hingga membentur dengan


amat keras. Aku menghela napas dan mengeluarkan ponselku kembali,
memuji diri sendiri karena bisa menyembunyikannya seketika itu juga. Aku
tak ingin membuatnya marah, tapi aku senang bisa menjaga rahasiaku.

Seandainya dia tahu aku barusan mengambil smartphone yang sudah


dibuangnya, dia akan sangat marah dan mengambilnya.

Aku berbaring di futon sambil membuai ponselku, saling menatap dengan


langit-langit rendah.

Ini adalah lemari di bawah tangga, dan kurang lebih, merupakan kamarku.

Tak ada kamar untuk seorang penumpang sepertiku ini, jadi sebagai
gantinya, aku diberikan tempat ini. Mengingat penampilannya, anehnya
kamar ini terasa nyaman. Kamarnya berada jauh dari sinar matahari
sehingga tidak panas saat musim panas, dan saat musim dingin juga masih
tetap hangat karena kamarnya kecil.

Ada kabel sambungan dari kamar sebelah untuk daya-nya, jadi tak ada
masalah.
Dan yang tepenting, bagiku, ini adalah kastilku. Tempat di mana tak ada
seorang pun yang menggangguku, dunia yang hanya untukku sendiri.

Di sini aku membaca buku-buku, menulis novel, dan mengobrol dengan


Shuu-san.

Aku memakai bekas-bekas dari sepupuku. Aku belajar dengan buku


pelajaran bekas dan membaca buku yang kupinjam dari perpustakaan
sekolah. Aku ingin meminjam buku dari perpusatakaan kota juga, tapi kau
takkan bisa mendapatkan kartu perpustakaan tanpa walimu, jadi sulit untuk
meminjamnya.

Tapi itu bukan masalah, karena membaca semua buku di sekolah akan
membutuhkan waktu yang agak lama. Aku bisa menggunakan ponselku juga
untuk membaca buku di internet.

Tentunya, ponselnya tidak mempunyai kontrak, tapi aku masih bisa


menggunakannya karena ada Wi-Fi di rumah, dan di luar pun masih ada
jaringan Wif-Fi gratis.

Atau aku bisa menggunakan hotspot portable sehingga tak ada masalah juga.
Begitulah caraku menggunakan ponsel saat aku ingin bertemu Shuu-san.

Aku akan senang andai bisa mendapatkan kontrak, tapi kalau aku
mengatakannya, aku bahkan takkan diizinkan masuk ke rumah untuk
sementara waktu.

Sangat menyedihkan untuk memikirkan situasi yang kuhadapi.

Aku harus memikirkan sesuatu yang menyenangkan.

Seperi buku-buku.

Atau Shuu-san.

Benar juga, aku harus meneleponnya. Aku tiba-tiba menutupnya tadi, jadi
dia pasti curiga.
Chapter 2 – Festival Budaya Bersama Eina

"Ada saran lain?"

Seru perwakilan kelas dari depan meja guru. Berbagai saran seperti kafe,
drama, rumah hantu, dan arkade sudah tercatat di papan tulis.

Festival budaya sudah hampir tiba, namun ada kemungkinan bahwa kelas
kami belum mengambil keputusan tepat pada waktunya, sehingga
perundingan yang kurang niat ini pun diadakan seusai jam Wali Kelas.

Aku dengan tenang menyimak kegiatan yang tengah berlangsung itu.


Anggota-anggota Klub Humanitas di sekolah kami enggak begitu peduli
dengan pementasan kelas karena mereka sudah disibukkan dengan klubnya
sendiri.

Berbeda dengan beberapa sekolah lainnya, di sekolah kami enggak ada


pementasan dari klub-klub olahraga, sehingga pementasan kelas lebih
terpusat pada para anggota Klub Olahraga dan Klub Pulang Sekolah.
Karenanya, murid-murid yang berasal dari kedua klub tersebutlah yang
paling sibuk. Namun, biarpun bukan pilihan utama, kami Klub Humanitas
juga akan turut membantu.

"Putusan akhirnya akan kuambil dari usulan-usulan ini saja, jadi angkat
tangan untuk pilihan yang paling kau inginkan."

Kuangkat tanganku pada pilihan kafe, namun seisi kelas kebanyakan


memilih drama.

"Drama, ya?"

"Kayaknya sulit."

"Tapi bakalan seru."

"Aku akan jadi penduduk A saja."


Teman-teman sekelasku mulai membicarakan soal drama tersebut.

"Nah, selanjutnya kita putuskan drama apa yang akan kita tampilkan."

Supaya beberapa hal bisa lekas ditetapkan, biasanya bakalan menggunakan


sesuatu untuk dijadikan inspirasi, seperti Cinderella, Putri Salju, atau
dongeng-dongeng lainnya. Drama lengkap rasanya bakalan terlalu sulit
karena selain semua murid amatiran, mereka juga harus berusaha menghafal
dialognya.

Sibuk memikirkan banyak hal, aku diam membisu. Paling ujung-ujungnya


juga aku bakalan memainkan peran kecil, dan semuanya memilih membantu
apa yang mereka bisa. Akan tetapi—

"Akan bagus kalau punya naskah asli."

Perhatian seisi kelas pun teralihkan pada naskah asli begitu mendengar
usulan gadis itu. Kurasa karena festival budaya hanya berlangsung setahun
sekali, mereka semua jadi bersemangat. Tapi menurutku naskah asli bakalan
terlalu sulit, jadi aku khawatir apa ini bakalan berjalan dengan lancar.
Lagian, apa yang bakalan kita lakukan dengan pembuatan keseluruhan
ceritanya?

Namun, tentunya aku tetap bungkam. Aku enggak mau merusak kesenangan
mereka sebelum kita memutuskan apa pun, karena semuanya berhak
mengutarakan pendapatnya.

"Tapi siapa yang akan menulisnya?"

"Aku belum pernah menulis."

"Di sini ada yang dari Klub Drama?"

"Tidak ada."

"Terus, siapa, dong...."


Apaan ini?

Semua murid menoleh ke belakang. Tatapannya terasa ditujukan padaku…

"Benar juga, kita punya Yagi-kun!"

Gadis yang bicara padaku itu mungkin menunjukku tiga kali.

"Aku? Aku enggak bisa nulis, tahu?"

"Lah, kau ini masuk Klub Literatur, „kan?"

"Ada di Klub Literatur bukan berarti aku bisa menulis."

Seisi kelas mulai memperolokku, sementara Sakai tergelak-gelak di pojok


karena tahu aku ini enggak bisa menulis cerita.

Aku melirik ke tempat duduk di sebelahku, dan Ketua Minekawa


memelototiku sambil mengerutkan keningnya. Eh, dia juga berpikir begitu.

"Aku enggak bisa melakukannya."

Aku menolaknya, sehingga hari itu pun kami sudahi karena telah
memutuskan untuk mementaskan drama, dan masing-masing dari kami pun
paham harus mempertimbangkan cerita yang seperti apa yang kami
inginkan. Ini harapan yang kurang jelas.

*****

Eina : Malam, Shuu-san. Sedang apa?


Shuu : Aku lagi menyunting.
Eina : Ah, buat edisi festival budaya? Kali ini kamu berhasil dapat
pengajuan.
Shuu : Berhubung ini kesempatan terakhir anak kelas tiga, jadi mereka selalu
ikut andil.
Eina : Huh, Shuu-san, kamu kelihatan murung hari ini.

Aku tertegun. Perasaanku tertuliskan? Apa benar?


Shuu : Enggak, cuman sedikit jengkel aja, sih.

Kuceritakan soal perundingan kelas sehabis sekolah.

Eina : Diolok karena tak mau menulis naskahnya? Kejamnya!


Shuu : Harusnya aku enggak kasih mereka harapan.
Eina : Kamu tidak salah, kok.
Shuu : Makasih. Tapi aku bingung, kalau kami memakai naskah asli dengan
mengambil ide-ide dari teman-teman sekelas, kayanya enggak bakalan
keburu…

Hanya menulisnya saja sudah lumayan sulit, apalagi menghafalkan


dialognya dan berlatih. Kami juga harus membuat peralatan buat pentas dan
kostum-kostumnya...

Eina : Shuu-san, ini hanya saran, tapi…


Shuu : Apa?
Eina : Naskahnya… boleh aku… yang tulis.
Shuu : … Beneran?
Eina : Ya, akan kucoba!
Shuu : Tapi kau pasti sibuk, „kan?

Ujarku, tapi aku sadar enggak tahu apa-apa soal kehidupan sehari-harinya.

Eina : Tidak, kok. Malah tiap hari aku senggang karena tak masuk klub
atau pun ikut Bimbel, jadi kupikir menulis akan jauh lebih bermanfaat.
Shuu : Beneran?! Bagus, deh!

******

"Semuanya, dengarkan sebentar."

Besoknya, aku berdiri di depan meja guru usai jam sekolah.

"Oh, Yagi, jadi kau mau menulis naskahnya?"


Ucap salah seorang anak lelaki padaku.
"Enggak, tapi aku tahu siapa orang yang mau. Eina, orang yang menulis
cerita buat Klub Literatur."

Waktu kubilang begitu, seisi kelas langsung ribut.

"Aku sudah membacanya, ceritanya memang menarik."

Orang yang menulis cerita tersebut harusnya bisa menuliskan sesuatu yang
bagus buat kita, „kan?

"Kalau begitu, siapa yang setuju Eina-san menulis naskahnya…"

Perwakilan kelas memungut suara, seisi kelas pun kebanyakan memilihnya.

"Makasih. Nah, kalau misalnya ada yang kalian inginkan dari ceritanya,
kasih tahu saja, biar nanti menulis ceritanya jadi gampang." Tanyaku.

"Aku ingin yang romantis."

"Akhir yang bahagia!"

"Ada sedikit bumbu misterinya."

Kucatat apa yang diutarakan mereka semua.

"Nanti ceritanya akan seperti apa, ya?!"

"Kuharap ceritanya bakalan menarik!"

Harapan seisi kelas terlihat semakin meningkat, begitu pun denganku. Aku
sendiri menantikannya karena bakalan bisa baca karya selanjutnya Eina, tapi
karena itu diperuntukkan buat pentas drama kelas, jadinya aku enggak bisa
berharap banyak.

Rasanya tahun ini aku banyak membantu kelas deh, pikirku.

Klub Literatur punya banyak anggota, sehingga aku bisa fokus pada
pementasan kelas begitu mereka memberikanku bahan-bahannya. Anak-
anak kelas tiga bakalan bergabung bersama kelas mereka sendiri karena
harus belajar buat ujian juga, jadinya ini hubungan yang saling
menguntungkan.

Oleh sebab itu, aku punya keleluasaan sendiri untuk mengatur persiapan
Klub Literatur. Klub harus mencetak buklet, menjilidnya, dan
mendistribusikannya. Namun itu enggak masalah, karena aku bisa
menyuntingnya di rumah dan menjilidnya di ruang klub sesudah
membereskan pekerjaan kelas. Terus kalau sehari sebelumnya aku berusaha
sebaik mungkin, aku juga bisa menyelesaikan pendekorasiannya.

"Shuu, sini bentar," bisik Sakai padaku, "Apa Eina-san sekelas dengan kita?"

"Memangnya kenapa?"

"Maksudku, mana ada „kan orang yang mau menuliskan naskah untuk kelas
lain?"

Sakai membusungkan dadanya terhadap penilaiannya.


"Entahlah,"

Aku menghindari pertanyaannya.

Ya atau tidak bukanlah jawaban yang bagus buat pertanyaan semacam itu,
karena jawabannya itu sendiri akan memberinya informasi. Setidaknya
biarkan saja dia tahu kalau Eina enggak ada di kelas kita.

"Sial, kau tidak terkecoh, ya?"

"Ya iyalah."

Sakai berseru dengan jengkel.

"Untuk punya sahib di Klub Surat Kabar, mulutmu ini kelewat rapat, Shuu."

"Bahaya buat jadi temanmu kalau mulutku ember, apa pun bisa kau
tuliskan."
"Aku juga tahu mana yang harus kutulis dan mana yang tidak."

Dia melirik ke arahku, tapi aku enggak ada niat bicara soal Eina. Lagian,
enggak ada apa pun yang bisa kuberitahukan soalnya. Tiba-tiba, hatiku
terasa sakit. Perasaan apa ini....

*****

Esok harinya

Eina : Shuu-san, bagaimana kegiatanmu hari ini?


Shuu : Menyunting, menerima ilustrasi dan desain sampul dari Ruka-senpai
hingga menyusun datanya.
Eina : Oh! Berjuanglah!
Shuu : Kau sendiri? Gimana naskahnya?
Eina : Aku lagi menyiapkan skemanya!
Shuu : Baiklah, mari kita sama-sama berjuang!

Tiga hari kemudian,

Eina : Shuu-san, kerja bagus.


Shuu : Kau juga.
Eina : Apa kabarmu hari ini?
Shuu : Sama seperti biasa, berangkat sekolah, lalu menyunting. Sekarang ini
aku ingin membereskan pekerjaan Klub Literatur supaya bisa bantu-bantu
kelas sebelum festival budaya.
Eina : Kamu ini pekerja keras, ya?
Shuu : Enggak juga, aku hanya mengerjakan apa yang kusuka saja.
Eina : Tetap saja hebat.
Shuu : Makasih, jadi naskahya gimana?
Eina : Ah, sudah hampir beres.
Shuu : Aku dan yang lainnya menantikannya, jadi berjuanglah.

Seminggu kemudian…..

Sudah tiga hari terakhir ini aku belum mendapatkan pesan apa pun dari
Eina, jadi sepulang sekolah kukirimi dia pesan.
Shuu : Hai, apa kabar?

Enggak ada balasan.

Biasanya aku bakalan langsung dapat balasan, aku penasaran, ada apa, ya.
Apa mungkin dia sibuk dengan festival sekolahnya sendiri? Waktu berpikir
begitu, ponselku pun berdengung.

Eina : Hai, apa kabarmu hari ini?


Shuu : Aku sudah membereskan data buat bukletnya, jadi sekarang tinggal
membeli kertas dan mencetaknya saja.
Eina : Wah, cepat sekali!
Shuu : Ya, dan sekarang harusnya aku bisa membantu kelas dengan benar.
Jadi, soal naskahnya…
Eina : Eng, ah, eng… sedang kuusahakan.
Shuu : Kira-kira kapan beresnya.

Balasannya sempat terhenti lagi, dan baru dibalas lagi pas malamnya
sebelum aku tidur.

Eina : Kurasa masih agak lama.


Shuu : Begitu, ya.....

Kurasa menulis naskah sama cerita beda banget. Tadinya kupikir hanya akan
memerlukan waktu sekitar seminggu karena dia bisa menulis cerpen hanya
dalam semalam, tapi mungkin itu agak sulit.

Tapi, festival hanya tinggal dua minggu lagi. Kalau kami enggak segera
membuat alat-alat buat pentas dan kostum-kostumnya, nantinya enggak
bakalan keburu. Para pemerannya juga perlu latihan…

Sebenarnya, kami harus memutuskan pemeran-pemerannya juga.

Shuu : Bisa kau kirimkan saja dulu seadanya? Jadi kami bisa membuat alat-
alat buat pentas dan kostum-kostumnya, dan bisa memutuskan pemeran-
pemerannya juga.
Eina : Eng, eng… sebenarnya…
Lalu, Eina mengirimkan pesan yang mengejutkan.

Eina : Aku masih belum menulis sepatah kata pun.

"Apa?!" Teriakku di kamarku.

Belum sepatah kata pun? Kenapa?

Enggak, aku enggak punya waktu buat cari tahu alasannya.

Ini gawat. Waktunya tinggal dua minggu lagi, aku enggak yakin dia bakalan
bisa menyelesaikannya. Mataku berputar saat aku kebingungan.

Aku akan bicara sama Ruka-senpai. Dia mungkin kenal sama seseorang
yang kelasnya juga mementaskan drama. Kalau kami bisa meminjam
naskahnya dan mementaskannya… Selain itu, naskahnya bakalan
disiapkan oleh seisi kelas…

Eina : Shuu-san? Shuu-san?

Ada pesan lainnya lagi dari Eina, dan aku sadar belum membalasnya.

Shuu : Maaf, Eina. Aku lupa balas. Enggak apa, akan kuberitahukan saja
sama yang lainnya kalau itu kebanyakan dan terlalu sulit buat
menyelesaikannya tepat waktu, aku akan cari yang lain saja.
Eina : Eh!!
Shuu : Enggak apa, mereka bakalan ngerti, kok. Dari awal kau hanya sukwan.

Vzzzzt, vzzzzt.

Ponselku bergetar lama sebanyak dua kali. Itu telepon dari Eina.

《Shuu-san.... aku akan berusaha, aku akan berusaha, jadi…》

"He-Hei…"
Eina nangis. Suaranya gemetar, dan menangis tersedu-sedu berulang kali.
Aku gelagapan, mungkin harusnya aku enggak tiba-tiba menolaknya begitu.
Mungkin dikiranya aku ini marah.

"Eina, aku sama sekali enggak marah, kok. Kau enggak usah khawatir, lagian
kami sendirilah yang memaksamu, enggak apa kok kalau kau memang
melakukannya sesuai dengan kecepatanmu sendiri."

《Shuu-san, jangan bilang begitu.... Kumohon, biarkan aku menulis


naskahnya!》

"Tapi...."

《Bicara denganmu adalah satu-satunya alasan hidupku. Aku tak mau


memutuskannya, tolong jangan mengakhirinya, aku akan berusaha lebih
keras…》

Aku merengut. Dia salah paham. Rasanya hampir seperti....

"Eina. Aku enggak bicara dengamu karena kau menulis novel atau drama,
lo?"

《Eeeh?》

"Tentunya yang kau lakukan itu memang hebat, tapi kalau enggak juga
enggak apa-apa. Lagian, aku sendiri enggak bisa menulis."

《Kamu tidak kecewa.》

"Kenapa harus kecewa? Mau kamu menulis atau enggak, kau ya kau, yang
berharga—"

"Berharga?"

Yang berharga apa?

Aku enggak bisa menemukan kata yang tepat.


"Pokoknya, kau enggak usah memaksakan diri."

《Terus, kenapa kamu bicara denganku?》

"Karena menyenangkan.... kurasa."

Kali ini aku berhasil mengucapkannya. Itu sungguh niat sejatiku. Berbicara
dengan Eina sangat menyenangkan. Makanya, aku merasa sedih sewaktu
enggak ada kabar darinya selama tiga hari lalu. Sampai-sampai mengobrol
dengannya sudah menjadi bagian dari hidupku.

《Shuu-san.....!!》

Eina terdengar seperti ingin berteriak dan menangis saat telepon di pihak
lain berakhir.

"Ada apa?! Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?!"

《Tidak. Malahan aku senang, karena… sudah begitu lama…semenjak


seseorang berkata begitu padaku…》

"Begitu lama?"

《Shuu-san, boleh aku.... langgar peraturannya? Boleh aku… bicara soal


diriku?》

Aturan, supaya aku enggak tahu banyak soal Eina. Jadi, aku enggak bisa
mengira siapa dia. Tapi…

"Ya," Anggukku. Aku juga ingin tahu soal dia.

《Aku sudah tak punya ibu dan ayah, mereka sudah meninggal.》

Napasku tersendat di tenggorokanku.


《Sekarang ini aku tinggal bersama saudari ibuku, bersama bibi dan
pamanku, tapi kami tidak akur. Bahkan Tetehku saja, sepupuku,
menindasku… kamu ingat sewaktu aku tiba-tiba menutup telepon? Saat itu
dia membentakku karena berisik.》

"Apa sekarang enggak apa?"

《Ya, aku menyelimuti kepalaku dengan selimut.》

Aku bisa membayangkannya, seorang gadis yang bersembunyi di dalam


selimut dengan ponsel.

《Aku… tidak punya teman. Di sekolah pun aku menyendiri.》

"….…"

《Aku suka sendirian. Susah rasanya untuk terus-menerus bersama semua


orang di sekolah, tapi sewaktu kubilang begitu, tidak ada yang mau jadi
temanku… sendirian di sekolah rasanya agak menyedihkan. Ibu dan ayah
tidak memaksaku untuk sekolah, tapi bibi dan pamanku akan marah kalau
aku tidak sekolah.》

Dia suka merenung.

Dia lain dari orang-orang di sekitarnya, namun di sekolah, perbedaan kecil


saja bisa diperlakukan sebagai penyeleweng. Bisa dibilang itu nasib buruk,
karena di sekolah enggak ada seorang pun yang memahami Eina.

Jadi begitu, ya.

Dia selalu sendiri.

Kucengkram erat smartphone-ku hingga bekertak. Aku ingin menemuinya


dan memeluknya. Tapi enggak bisa. Ada jarak lima tahun yang memisahkan
kami. Tapi seenggaknya, aku bisa membuatnya mengerti.

"Aku akan selalu mendukungmu selamanya."


《Hiks! Terima kasih!》

Dia nangis lagi.

Dia bear-benar banyak nangis.

Tapi… membiarkannya menangis mungkin adalah yang terbaik. Enggak ada


salahnya buat menangis saat kau bahagia, „kan?

Aku ingat dia pernah bilang, „Bagaimana kalau aku mati setelah lima tahun?‟

Eina paham betul kalau enggak bakalan ada yang tahu kapan
kebahagiaanmu akan hancur.

Makanya, hargailah kebahagiaan yang kau miliki.

*****

《Eng, Shuu-san?》

Bisik Eina padaku yang sudah berhenti menangis.

"Ya?"

《Soal naskahnya.》

"Oh iya, kita lagi bicarain itu."

《Boleh.... aku menulis mengenaimu?》

"Eh?"

《Dengan menggunakan kebahagianku atas apa yang kamu katakan serta


betapa menyenangkan rasanya mengobrol sebagai inspirasi, kurasa aku akan
bisa menulisnya sekarang.》
"Baiklah. Akan kusuruh yang lainnya untuk menunggu sedikit lebih lama
lagi. Jangan memaksakan diri, ya? Kalau ada masalah, jangan sungkan untuk
membicarakannya denganku."

《Tidak ada, kok.》

Aku enggak bisa melihat wajahnya. Namun, rasanya aku bisa melihat
senyumannya.



Waktu kubangun paginya, aku mendapatkan pesan dari Eina. Pesan tersebut
berisikan naskahnya. Sekujur tubuhku memerah karena bersemangat.

Shuu : Makasih, sekarang dramanya sudah mulai bisa disiapkan. Maaf sudah
memburu-buru.
Eina : Aku hanya tak bisa berhenti begitu aku mulai menulis!
Shuu : Eina, kau benar-benar punya bakat menulis.

Anehnya, aku enggak merasa cemburu. Malah, aku senang bisa membaca
apa yang ditulisnya.

Kulangsung pindahkan berkas itu ke laptopku dan mencetak salinannya.


Membaca di kertas bisa jauh lebih fokus. Kutaruh naskahnya pada tasku, dan
lekas berangkat ke sekolah. Sesampainya di kelas, aku langsung duduk di
kursiku, dan segera membacanya.

Saat teman-teman sekelasku tiba, mereka mengucapkan salam dan mulai


mengobrol. Namun, suara mereka berasa terdengar dari kejauhan.

Naskahnya menarik.

Mungkin karena dia sadar naskahnya buat drama, jadi genrenya benar-benar
fantasi, atau juga bisa dibilang dongeng.

Sang protagonis ialah seorang gadis remaja yang ditindas oleh ibu dan
tetehnya, tidak punya teman, dan hidup dalam keputusasaan. Putus asa akan
hidupnya sendiri, dia pun ingin mengakhirinya.
Namun, di hadapannya tiba-tiba muncul seorang iblis yang terluka. Iblis
tersebut dianiaya oleh manusia, dan si gadis yang baik hati itu pun hatinya
tergerak untuk menyembuhkannya.

Si iblis berkata akan mengabulkan permintaannya sebagai rasa terima


kasihnya, namun harus melewati tiga cobaan.

Cobaan pertama, pergi sendirian ke suatu gua di pegunungan dan membawa


balik peti harta karun.

Cobaan kedua, mencuri kunci di kamar ibunya yang menakutkan.

Dan cobaan terakhir, gunakan belati di peti harta karun tersebut dan
menyerahkan tumbal pada para dewa.

Saat itu, si iblis menawarkan hidupnya sendiri demi mengabulkan keinginan


si gadis, dan berkata :

"Aku akan selalu mendukungmu selamanya."

Dan menempatkan belati di tangannya. Namun, si gadis menolak.

"Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku ingin


bersamamu."

"Kalau begitu, tak ada pilihan lain."


Dengan menggunakan sihir, si iblis pun mengendalikan tangan si gadis
supaya menikam dadanya.

Si gadis yang meratap pun berpikir untuk menghidupkan kembali si iblis.


Andai kata dia berhasil menghidupkannya kembali, maka hidupnya akan
sama seperti sebelumnya. Tidak, mungkin hidupnya malah semakin buruk,
tapi biarpun begitu… si gadis tetap memilih untuk menghidupkan kembali si
iblis. Begitu si iblis bangkit dari kematiannya, dia pun berubah jadi manusia.
Sejatinya dia adalah seorang pangeran terkutuk, dan kebaikan hati serta
perasaan keduanya telah membuat keajaiban hingga bisa merusak kutukan
tersebut.

Keduanya pun bersumpah untuk saling mencintai selamanya, dan saling


bertukar ciuman…

".... Yagi."

"Ya?"

Kuangkat kepalaku dan guru bahasa Inggris menatapku. Aku sama sekali
enggak menyadarinya mendekat. Aku bisa dengar murid-murid lainnya
tertawa, rupanya pelajaran sudah dimulai.

"Tidak ada salahnya mengerjakan pekerjaan klubmu, tapi perhatikan juga


pelajaranmu."

"Maafkan aku!"

Dengan terburu-buru kukeluarkan bukuku. Tapi, apa yang harus kulakukan?

"Halaman sembilan puluh, terjemahkan baris kedua," Terdengar suara di


sampingku.

Itu adalah Ketua. Dia agak memelototiku dengan tampang dingin. Aku
menggigil dan membuka buku pelajaran.

Untungnya, aku bisa menerjemahkannya karena bahasa Inggris enggak


susah-susah amat. Guru pun beralih ke murid berikutnya, dan aku kembali
ke naskahnya Eina. Kali ini dengan pulpen merah buat mengoreksinya.

Alhasil, aku seenggaknya sudah membaca dua kali.

"Ahem."

Waktu kuangkat kepalaku, aku bersabung mata dengan guru matematika di


jam ketiga.
"Yagi, apa pekerjaan sampinganmu itu sudah selesai? Kalau sudah, jawab
pertanyaan ini."

Seisi kelas pun larut dalam gelak tawa.

"Dasar, kau ini memang tipe orang yang asik sendiri, ya?"

"Aku?"

Tanya balikku.
"Kau tidak menyadarinya?" Sakai mengangkat bahu.

"Kau tidak sadar yang lain menyapamu pagi ini? Mereka ada yang bilang
„hebat, jadi ini naskahnya!‟ atau „kita harus berterima kasih sama Eina‟. Dan
kau hanya mengabaikan mereka semua."

"Eh, beneran? Aku harus minta maaf nanti...."

"Tidak usah, yang lainnya juga tahu kau lagi membaca naskahnya dengan
serius."

Selagi kami mengobrol, perwakilan kelas muncul di depan meja guru, dan
perundingan kelas pun dimulai. Naskahnya sudah ada, sehingga kami mulai
betul-betul mempersiapkan dramanya. Saat istirahat makan siang nanti akan
kucetak naskahnya dan membagikannya pada yang lainnya.

Hari ini kami akan merundingkan pembagian tugas-tugasnya. Tentu saja itu
juga termasuk pada tokoh-tokohnya, tapi bakalan ada juga yang ditugaskan
buat kostum, peralatan pentas, dan penyetelan. Semuanya harus punya tugas
masing-masing. Memberikan tanggung jawab tetaplah penting, jadi orang-
orang yang masih nganggur bakalan ikut membantu beberapa hal yang
belum beres.

Para murid akan mengutarakan pendapatnya masing-masing, dan


peranannya pun akan diputuskan. Yang bertugas buat kostum, peralatan
pentas, penyetelan, hingga pemeran pembantu pun semuanya sudah
ditentukan.
Aku kebagian membantu bagian penyetelan. Aku enggak terlalu mahir
dengan pekerjaan semacam itu, tapi aku masih bisa bantu pekerjaan fisik.

Yang tersisa tinggal pemeran utama dan lawannya, si pangeran iblis.


Mungkin karena adanya hubungan asmara dalam naskahnya, semuanya
merasa malu dan enggak mau melakukannya. Bahkan ada adegan ciuman.
Jelas mereka enggak ingin melakukannya beneran.
.
Lalu, aku mendengar suara derikkan kursi yang dipundurkan di sebelahku.
Ketua berdiri tegak dan dia pun berkata.

"Kalau tak ada yang mau, aku akan memainkan pemeran utamanya."

Seisi kelas pun mulai ribut.

"Ketua memainkan pemeran utama...."

"Dia sangat cocok,‟kan?"

"Bagus, tuh!"

Sarannya pun disetujui. Kurasa dia memang cocok, kesan seorang gadis fana
sangat cocok dengan kecantikannya.

"Tapi ada syaratnya," Tuntutnya, sebelum mengatakan sesuatu yang


mengejutkan, "Aku mengusulkan Klub Literatur untuk pemeran
pangerannya."

Seisi kelas pun mulai gempar.

"Yagi jadi lawannya?"

"Kenapa?"

"Apa dia punya pengalaman berakting?"


Terdengar celotehan dari seluruh ruangan. Aku sadar semuanya menatapku,
dan aku terkejut sampai-sampai enggak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

"Dialah satu-satunya orang yang berbicara dengan si penulis, jadi di kelas ini
dialah yang paling memahami dramanya. Makanya, peran pangeran harus
dimainkan olehnya," Ucap Ketua yang menatapku dengan mata dingin.
Nyaris seperti bilang kalau itu adalah tugasku.

"Ya sudah, kenapa tidak?"

"Apa yang dikatakannya memang masuk akal."

"Berjuanglah, Yagi-kun!"

Seisi kelas mulai seiya-sekata dengan pendapatnya, sedangkan aku hanya


bisa mengangguk tanpa bisa menolaknya.

******

"Yo, Casanova."

Sakai menepuk punggungku sewaktu kami berjalan keluar gerbang sekolah.

"… Hentikan."

Sakai berjingkrak, sedangkan aku berjalan dengan lesu.

"Tapi memang benar „kan Ketua sendiri yang mengusulkanmu?"

"Apa sih yang dipikirkannya?" Ucapku, sebelum menghela napas lelah.

"Seperti apa katanya, dia itu „kan tipe orang yang bicara apa adanya."

"Ya, dia selalu punya argumen yang adil."

Itulah yang kukhawatirkan, karena enggak semua orang bisa menerimanya.

"Aku sih khawatir kau dimanfaatkan untuk membuat orang lain cemburu."
"Jangan lebay, deh."

"Bukannya lebay, tapi dia itu orang yang paling populer di sekolah kita,
„kan?"

"Eh, dia paling populer?"

Memang sih dia itu cantik, tapi aku enggak nyangka dia sepopuler itu.

"Wajar sih kalau kau tidak tahu, lagian kau ini bukan tipe orang yang menilai
gadis-gadis," Ujarnya sembari tersenyum kambing, "Selain tampangnya,
menjadi Ketua OSIS saja sudah cukup membuatnya populer. Kalau kita
mengadakan kontes kecantikan, dia pasti akan memenangkannya dengan
mudah."

"Tapi dia agak menakutkan, iya „kan?"

"Iya sih, kebanyakan orang, apalagi yang sok keren saja pernah bilang kalau
keterusterangannya itu memang menakutkan, tapi secara keseluruhan
kupikir orang-orang memandangnya dengan iri."

Aku malah semakin tertekan. Andai aktingku benar-benar jelek, maka


berakhir sudahlah kehidupan sekolahku…

"Pokoknya, berjuanglah. Aku mendukungmu, kok. Dan kau juga punya


sesuatu padanya, „kan?"

"Enyah kau."

Kuharap mukaku yang memanas ini cuman perasaanku saja.

Sesampainya di rumah, kukirim pesan pada Eina soal kejadian hari ini. Soal
bagaimana naskahnya yang diterima, dan soal bagaimana aku yang bisa
mendapatkan peran pangeran…

Eina : Kamu yang jadi pangerannya! Uwaaah, itu cocok banget!


Dari teksnya saja aku bisa tahu kalau dia kegirangan, tapi aku gagal paham
dengan apa yang dimaksudnya.

Shuu : Tapi aku ini cuman anak SMA biasa?


Eina : Tetep cocok, kok. Maksudku, aku membuat pangeran berdasarkan
dirimu, jadi aku sangat senang karena yang memerankannya adalah
orang yang sebenarnya.

Kalau Eina sampai segitunya, aku akan berjuang, deh, pikirku.


Segera kukeluarkan naskahnya dan membacanya dengan lantang. Aku
menggunakan ponselku untuk merekamnya agar tahu apa aku ini
melakukannya dengan benar atau enggak.

Usai membacanya, kuperiksa rekamannya…

"Ini… parah banget."

Aku kelewat jelek sampai enggak pantas dibilang pemain sandiwara yang
jelek.

"Aku akan pergi membeli buku akting."

Aku bersepeda ke toko buku yang masih buka di malam itu.

Besoknya, kami melakukan latihan pertama seusai jam sekolah. Belajarku


sia-sia dan aktingku masih menyedihkan. Sebenarnya, masih selevel dengan
peran pendukung, jadi rasanya wajar buat seseorang tanpa pengalaman.

Tapi yang kuperankan ini peran utama, jadinya ini parah banget.

"Masih ada waktu, kau pasti bisa mengatasinya, „kan? Ucap Sakai padaku,
tapi itu enggak menghibur.

Ketua enggak hadir karena harus mengurusi beberapa pekerjaan buat festival
budaya. Aku pun pergi ke ruang Klub Literatur dengan rasa kecewa. Sudah
hampir waktunya buat pulang, tapi aku masih ingin mengerjakan persiapan
buat Klub Literatur. Rencananya kami akan membukakan ruangan dan
mendistribusikan buku pada hari H, jadi aku harus mendekorasi
ruangannya.

Namun, aku terus kepikiran soal akting dan enggak bisa berbuat banyak.
Lalu..

"Klub Literatur." Aku terkejut karena tiba-tiba ada yang bicara.

Ketua berdiri di depan pintu.

"Maaf, aku akan pulang sekarang."

Aku minta maaf secara spontan. Jam sekolah sudah lama berakhir.

"Apa aku memang semenakutkan itu," Keluh Ketua. Dia tampak murung,
dan aku merasa agak bersalah.

"Enggak, aku hanya takut kehilangan ruangan kami lagi."

"Yang seperti ini masih bisa kuabaikan. Aku tak mentaati peraturan sampai
segitunya. Aku tahu kau sudah mengerjakan persiapan untuk kelas dan
klubmu."

"Memang."

Mungkin aku sudah salah paham akan orang macam apa dia ini.

"Hei, Klub Literatur. Kalau ada waktu, maukah kau berlatih bersamaku
sebentar sekarang?"



Gimana, nih?
Berjalan berduaan bersama Ketua di kala senja, kami pergi ke taman
terdekat karena enggak bisa berlama-lama di sekolah.

Kami enggak banyak mengobrol karena dia hanya mengatakan apa yang
ingin diucapkannya saja.
Rasanya amat kurang nyaman.

Sekilas kulirik dia, dan masih merengut seperti biasanya. Dia beneran hebat
masih bisa tetap terlihat cantik meski dengan ekspresi begitu.

Dengan suasana yang begini emangnya kita bakalan bisa latihan? Ibarat
dilemparkan sebuah pelampung penolong, ponselku bergetar karena pesan
dari Eina sewaktu kami tiba di taman.

Eina : Sore, bagaimana persiapan festival budayanya?


Shuu : Kebetulan banget! Kalau kamu lagi senggang, kutelepon, ya?
Eina : Boleh, tapi kenapa?
Shuu : Sebenarnya, aku mau latihan sama Ketua, tapi… rasanya kurang
nyaman.
Eina : Kurang nyaman? Kenapa?
Shuu : Soalnya, Ketua kayak membenciku.
Eina : Kau latihan bersamanya meski dia membencimu?
Shuu : Iya. Aku enggak jago berakting, dan dia sibuk dengan pekerjaan OSIS-
nya. Dia juga bukan tipe orang yang mencampuradukkan perasaan pribadi
dengan urusannya.
Eina : Kedengarannya seperti orang yang serius.
Shuu : Memang, tapi dia enggak bisa menyembunyikan suasana hatinya yang
buruk, jadi kami bakalan terbantu kalau kau mau mendengarkan kami
berlatih dan memberikan komentar.
Eina : Baiklah!

"Klub Literatur, sedang apa kau?"

"Aku lagi bicara sama si penulis, dia mau mendengarkan latihan kita. Hanya
lewat telepon sih, enggak apa, „kan?

"Ya, aku juga ingin mendengar pendapat objektifnya." Kutelepon Eina dan
memasangkannya pada mode speaker.

《Selamat malam. Salam kenal, Ketua.》

"Salam kenal juga, Eina-san. Kurasa itu berfungsi?"


《Ya! Kuharap kita bisa akrab!》

Kutaruh barang bawaan dan ponselku di bangku, dan menghadap Ketua


dengan naskah di tangan.

"Kita mulai dari atas saja, pertama adalah penampilan si gadis…"

Tiba-tiba, ekspresinya berubah.

"Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku
mati…"

Ekspresinya berubah menjadi seseorang yang masygul. Dia seolah mau


menangis, namun dengan putus asa menahan air matanya.
Dia nampak sedih dan mengucapkan kalimatnya dengan terhenti-henti,
namun kesedihan dan penderitaannya benar-benar tersampaikan.

《Kali ini giliranmu, Shuu-san.》

Suara Eina dari telepon menyadarkanku kembali.

"Ah, maaf. Nona muda, boleh kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau
pinjami aku lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak mampu berdiri."

Seberesnya adegan itu, Ketua menatapku dengan teguh.

"Enggak usah bilang, yang tadi itu memang parah."

《Tidak, malah kupikir itu bagus! Berasa kamu sekali!》

Kebaikan Eina malah terasa lebih menyakitkan.

"Kerja bagus. Kau sudah mempelajari kalimat tersebut dengan baik, begitu
pula dengan pemikiranmu soal gesturnya. Sekarang hanya tinggal berlatih
dan diperhalus lagi."

Perkataan Ketua sedikit membuatku tenang.


《Tapi kau memang hebat, Ketua.》

"Apa kau punya pengalaman berakting?" Tanyaku, tapi dia menggelengkan


kepalanya. "Kalau begitu, apa kau ini jenius?"
"… Aku hanya sering berlatih saja."

Dia membuang muka.

Apa dia begadang semalaman? Jelang festival budaya, dia pasti sangat sibuk.

"Mari kita bahas setiap adegannya. Aku akan memberimu contoh, jadi
pergunakanlah sebagai referensi."

Satu jam kemudian…..

"Kita istirahat dulu," Saranku, "Aku mau beli minuman, kau mau apa?"

"Cola," Jawabnya dengan lirih.

"Oke."

Kutinggalkan ponselku di bangku, dan pergi ke toko terdekat. Karena sudah


waktunya makan malam, kasirnya pun ramai sehingga memerlukan waktu
yang lebih lama dari yang kukira. Sehabis membelinya, aku pun langsung
kembali ke taman dengan berlari.

Ketua duduk di bangku sambil mengobrol dengan ponselku.

"Aku tahu dia bukan orang yang buruk. Dia itu orangnya pekerja keras, jadi
aku hanya gugup saja saat berbicara dengannya."

Berbeda dari biasanya yang selalu berwibawa, ini pertama kalinya aku
melihat Ketua yang nampak seperti gadis biasa.

《Nah, Shuu-san. Aku mesti pergi sekarang.》

"Latihannya enggak dilanjut?"


《Maaf, ada urusan mendesak. Maafkan aku! Pastikan kamu antar pulang
Ketua, ya?》

"Eh?"

Tunggu sebentar, pulang bareng? Sama Ketua?

Bukannya itu sangat enggak mengenakkan? Tapi Eina sudah menutup


teleponnya.

"Gimana nih, Ketua? Masih mau lanjut?"

"Aku juga harus pulang. Aku punya jam malam."

"Baiklah."

"Apa kau benar-benar akan mengantarku pulang?"

"Ya, lagian ini sudah larut."

"… Terima kasih," Gumamnya.

Lantas kami pun pergi sambil meminum minuman dari kaleng kami sendiri.

"Apa yang kau bicarakan dengan Eina?"

"Sekolah dan macam-macam."

"Begitu, ya."

Kami pun terdiam. Sial, ini memang sangat enggak nyaman. Aku enggak
tahu apa yang harus dibicarakan, dan seperti biasa, dia pun enggak terlihat
bakalan segera bicara padaku.

Kenapa Eina menyuruhku untuk mengantarnya pulang. Kami ini bukan


pacar atau apa pun. Percakapan kami selanjutnya berakhir sewaktu kami
tiba di rumahnya.
"Huh, ini…"

Aku enggak bisa menahan diri untuk bertanya. Kami tiba di suatu panti
asuhan. Itu adalah bangunan kecil yang depannya nampak seperti sekolahan
kecil.

"Apa kau terkejut?" Tanyanya.

"Sedikit."

"Jangan membuat wajah seperti itu." Wajah seperti apa yang kubuat? "Ini
pilihanku sendiri. Aku punya masalah di rumah. Aku lebih suka dengan gaya
hidup ini. Bohong sih kalau tak ada yang tak kusukai, tapi masih lebih baik
ketimbang sebelumnya."

"Terus soal universitas nanti gimana?"

"Rencananya aku mau mengambil ujian universitas terdekat. Semisalnya aku


lulus, maka aku bisa terbebas dari biaya sekolah karena pendapatan rumah
tangga, aku juga harus bisa mendapatkan beasiswa. Berhubung universitas
punya asrama, harusnya aku bisa mengatasi biaya hidup. Aku akan bekerja
untuk menutupinya dan berusaha hingga lulus. Memang akan sulit untuk
menggantinya, tapi aku benar-benar ingin masuk universitas."

Ucap Ketua selagi melihat ke arah panti asuhan. Wajahnya menunjukkan


ketegasan, kewibawaan, dan yang paling utama, cantik.

Aku sama sekali enggak tahu apa pun soalnya.

"Klub Literatur, berjuanglah saat festival nanti," Ujar Ketua, dengan wajah
yang lebih lemah lembut dari biasanya.

"Tentu saja."

"Dan… terima kasih, sudah mengantarku pulang.”


Ketua pun memasuki pintu. Kata-kata terakhirnya nyaris enggak kedengar.
Aku tersenyum selagi berpikir ingin tahu lebih banyak soalnya.



Seusia makan dan mandi malamnya, ada pesan dari Eina sewaktu aku lagi
bersantai di kamarku.

Eina : Shuu-san, kamu tahu tidak? Fufufu…


Shuu : Soal apa?
Eina : Soal Ketua yang sebenarnya tak membencimu?
Shuu : Huh?
Eina : Kami membicarakan banyak hal sewaktu kamu pergi membeli
minuman, tapi kelihatannya Ketua bersikap kasar padamu itu karena dia
gugup. Haha, jadi populer memang sulit, ya!

Wajahku memerah.

Eina : Ini adegan pernyataan cinta! Sewaktu kamu pulang dari festival
atau semacamnya! Itu sangat bagus, bukan? Berasa seperti terikat takdir
dengan lawan mainmu.

Perasaan apa ini…

Aku mulai panik dan bingung sewaktu dikasih tahu kalau sebenarnya Ketua
mungkin enggak membenciku, tapi mungkin menyukaiku.

Lalu kusadar kalau aku panik bilamana Eina menyalah pahami perasaanku.
Mungkin dipikirnya aku ini menyukai Ketua dan dengan tulus
mendukungku. Tapi buatku itu malah terlihat kesepian.

Aku terkejut, mengapa aku berpikir begitu? Melihat wajahnya saja bahkan
aku belum pernah, dan dia pun hidup di lima tahun silam, sehingga kami
bahkan enggak bisa bertemu…

Shuu : Aku cuman mengagumi Ketua saja. Memang sih dia cantik, tapi
kurasa aku enggak menyukainya, jadi aku enggak bakalan menyatakan cinta.
Eina : Eh? Be-Begitu, ya… baguslah.
Shuu : Bagus?
Eina : Ah, bukan apa-apa, kok.

Untuk sesaat, kami berdua pun berhenti mengirim pesan.

Shuu : Mending kita tidur saja.


Eina : Ya, benar. Selamat malam.
Shuu : Malam.



Dua minggu pun berlalu. Aku berangkat ke sekolah pagi-pagi buat latihan
drama. Di sepanjang pelajaran aku setengah tidur, dan kami pun berlatih lagi
sehabis jam sekolah. Di saat kami berlatih, teman-teman sekelas kami
membuat peralatan buat pentas dan kostum-kostumnya.

Tiba-tiba, terdengar suara benturan keras bersamaan dengan suara kaca


pecah. Kelompok suara tengah memilih musk dan efek-efek suaranya.

Bahkan ada orang yang membuat lampu sorot dengan lampu senter dan
kertas kaca.

Kegaduhan semacam ini terjadi di seluruh sekolah karena semuanya sudah


mulai mempersiapkan festival budaya.

Perkataan umumnya mah, mereka sedang memuaskan hari-harinya. Entah


kenapa, rasanya ada yang kurang.

Aku enggak tahu alasannya, tapi aku merasa kurang senang, seperti ada
lubang kecil terbuka di hatiku.

Namun, banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan membuatku enggak


punya waktu buat memikirkannya. Waktu luangku dipakai menjilid buku-
buku Klub Literatur.

Dan hari jumat pun tiba, sehari sebelum festival berlangsung. Seusai jam
sekolah, kurasa aku bisa pergi sebentar ke ruang klub untuk mendekorasi
ruangannya. Di luar sudah benar-benar gelap, namun para guru memberikan
pengecualian hanya untuk hari ini saja kami bisa berada di sekolah hingga
larut.

Sewaktu aku tiba, Ruka-senpai sudah berada di sana.

"Kebetulan sekali! Shuu-kun, bisa kau pasangkan ini?"

Dia ada di atas meja, berusaha menggantungkan dekorasi pada papan tulis,
namun enggak kejangkau. Dia sudah berusaha sekuat mungkin hingga
terlihat seperti bakalan jatuh.

"Serahkan saja padaku, Senpai."

Aku bertukar tempat dengannya dan menggantungkan dekorasinya.

"Dua orang lainnya mana?"


"Mereka sudah pergi. Mereka ada sekolah persiapan. Kuharap sekolah
persiapannya bisa baca suasana, sih."

"Apa boleh buat, ujian enggak bakalan nunggu. Senpai sendiri bagaimana?"

"Eng, sebenarnya sebentar lagi aku juga ada sekolah persiapan."

"Ya sudah, pergi saja. Sisanya serahkan saja padaku."

"Kau yakin? Aku boleh pergi…"

"Enggak apa, lagian hanya tinggal dekorasi saja."

Dia enggak terlihat senang, mungkin dia mengharapkan aku memberinya


dalih untuk pergi.

"Ya, makasih. Oh, iya. Besok aku pasti akan nonton dramanya! Semoga
berhasil!"

"Terima kasih, tapi di sini nantinya bagaimana?"


"Aku akan meminta Kobayashi-sensei untuk menggantikannya, lagian dia
penasehat kita, jadi tidak akan ada masalah! Sampai jumpa!"

Ruka-senpai pun pergi dengan menjatuhkan langkah kakinya.

"Nah, sekarang mari cepat-cepat bereskan."

Yang lainnya sudah hampi beres, hanya tinggal membuat tempatnya.


Kusatukan beberapa meja hingga seperti sebuah bar, memasangkan kain di
atas mejanya, dan menata buku-buku yang sudah di jilid di atasnya. Enggak
hanya sebatas buku-buku buat festival saja, kami juga mengeluarkan buku-
buku lama buat siapa pun yang minat.

Begitu sudah beres, aku menghela napas panjang dan melihat keluar jendela.
Sekolah sudah makin sepi, kebanyakan murid mungkin sudah pulang. Langit
gelap gulita dihiasi dengan bintang-bintang.

Apa Eina juga melihat bintang yang sama, pikirku dengan santai.

Eina yang kubicarakan ini adalah Eina dari lima tahun silam, jadi mana
mungkin dia bisa melihat bintang-bintang ini. Tapi… bagaimana dengan
Eina yang ada di masa kini?

Apa dia, di planet yang sama dan di waktu yang sama pula, sedang menatap
bintang-bintang ini.

Kukeluarkan ponselku. Enggak ada pesan satu pun. Aku sangat sibuk saat ini
dan enggak bisa sering balas, sehingga belakangan ini kami enggak banyak
bicara. Kugulirkan jariku pada layar sentuh, dan meneleponnya.

Ponselnya berbunyi sekali dan dia mengangkatnya.

《Halo, ini Eina.》

"Ini Shuu."

《Selamat malam. Besok hari H-nya, apa kamu sudah pulang?》


"Belum, aku masih di sekolah."

《Wah, pasti sulit.》

"Yah, aku baru mau pulang."

《Kedengarannya seperti memuaskan kehidupan sekolah!》

Eina memang benar. Belakangan ini, herannya hidupku terasa memuaskan.

"Ya, benar. Latihan drama dan mempersiapkan Klub Literatur terasa


menyenangkan tapi," Usai mendengar suara Eina, aku tahu mengapa aku
agak merasa sedih, "Pasti bakal lebih menyenangkan kalau kau juga ada di
sini."

Eina enggak ada di sini. Aku enggak tau wajahnya, namanya, atau bahkan
umurnya, tapi aku tetap merasa dia harusnya ada di sampingku. Aku ingin
bertemu dengannya. Karena dia hidup di lima tahun silam…

Andai kita hanya terpisahkan oleh jarak yang jauh, kita masih bisa
bertemu. Aku bisa menaiki kereta, atau bahkan pesawat.

Tapi terpisahkan oleh waktu enggak bisa diatasi.

《… Kalau bisa, aku juga ingin bertemu denganmu,》soprannya yang jelas


memasuki telingaku, tenang dan kesepian, 《Aku ingin mempersiapkan
festival budaya dan berlatih bersamamu.》

Mungkin Eina juga merasakan hal yang sama denganku, dan dengan tenang
kudekap suaranya di hatiku.

"Terima kasih, Eina."

《Tidak masalah.》

Kami terdiam untuk beberapa saat, benar-benar terdiam tanpa kata. Tapi
hatiku terasa tenang, mungkin karena aku tau sedang terhubung dengannya
lewat ponselku. Dia memang enggak ada di sampingku, tapi sedikit pun aku
enggak merasa sendirian.

"Begini."

《Umm…》Kami bicara bersamaan sebelum kembali terdiam untuk


menunggu pihak lain melanjutkan.

"Kau duluan."

《Eng, kapan ulang tahunmu?》

"Sabtu depan."

《Eh, sebentar lagi, dong?! Gimana, nih…》

"Gimana?"

《Eng, ah, aku hanya bicara sendiri. Ah, benar juga, kita pergi bersama saja
Sabtu depan?》

"Pergi bersama?"

Aku enggak paham apa yang dimaksudnya.

《Kita memang tidak akan bisa bertemu. Tapi kalau kita pergi ke tempat
yang sama, berasa seperti kita pergi bersama.》

"Ah, ayo kita lakukan."

Kuperiksa jamku. Aku benar-benar harus segera pulang.

"Teleponnya kututup, ya, aku harus pulang."

《Baik.》

"…"
《… Eng, kamu tidak menutupnya.》

"Aku nunggu kamu."

Kami berdua tertawa.

《Kalau begitu, dalam hitungan ketiga?》

"Tiga."

《Satu.》

"Dua."

《"Tiga."》

Suara kami berbaur dengan nada elektronik saat kami menutup teleponnya.
Bahkan setelah menutupnya pun, sejenak pandanganku masih tertuju pada
ponselku.



Di hari berlangsungnya festival, aku mengerjakan beberapa persiapan klub


dan segera menuju ke kelas.

Ruang kelas diriuhi suara orang-orang yang sibuk melakukan tata rias, yang
menyiapkan kostum-kostum, dan yang mengatur tata cahaya. Aku enggak
bisa menemukan Ketua, padahal masih ada beberapa hal yang ingin kubahas
sekali lagi.

"Apa Ketua masih bersama OSIS" Tanyaku pada Sakai.

Enggak biasanya dia membuat wajah serius saat menjawab.

"Dia masih belum datang ke sekolah. Aku juga sudah tanya ke anggota OSIS,
tapi mereka juga belum melihatnya."
Aku merasa kaget sekaligus was-was.

"Bukannya dia sudah menghubungimu? Tanyanya.

"Enggak, aku enggak punya nomornya…"

Aku jatuh lemas. Lalu..

"Ketua! Kau sedikit telat!"

Teriak seorang gadis dari pintu. Aku melihat Ketua yang memasuki ruangan
dengan lamban. Tapi dia hanya melirik gadis itu dan enggak menjawab.

Enggak, dia menjawab, mulutnya bergerak. Namun, suaranya enggak


menjangkauku. Aku punya firasat buruk, nih.

"Ketua, apa kau baik-baik saja?"

"Ya, aku baik-baik saja."

Dia mendekat dan suaranya nyaris enggak terdengar. Itu bukanlah suara
soprannya yang jelas, suaranya serak, dan kalau saja aku enggak melihatnya
bicara, mungkin aku enggak bakalan tahu suara siapa itu.

Matanya sembap dan pipinya merah. Sudah jelas kalau dia demam. Bahkan
cara berjalannya saja terlihat diseret.

"Baik-baik saja apanya."


"Maaf, aku lelah dan tidak tidur semalam. Aku juga sepertinya pilek,"
Ungkapnya.

"Kau tidak tidur, kenapa?"

"Aku gugup sewaktu memikirkan pementasan hari ini."

"Jadi kau juga gugup…"

"Kau pikir aku ini robot apa?"


Merasa enggak senang, dia mengerutkan dahinya, dan mengembungkan
pipinya.

"Enggak, hanya saja kau selalu tenang bicara pada semua orang selama
perkumpulan dan semacamnya."

"Aku bisa karena selalu berusaha sebaik mungkin," Dia berhasil


mengucapkannya, sebelum terbatuk kering lagi.

Gimana, nih? Dia kelihatannya enggak bisa bicara, tapi bakalan sulit
berakting dengan suaranya yang begitu.

"Kita harus menggantinya. Apa ada yang…" Saat kumulai bicara, semua gadis
langsung membuang muka, "Oi, ini darurat."

"Sudah jelas tak ada yang mau," Salah seorang gadis melangkah maju
mewakili yang lainnya, "Salah satu dari kami harus menggantikan Ketua?
Semua orang datang untuk melihatnya, iya, „kan? Seandainya salah satu dari
kami yang maju, mereka akan berkata „apaa-apaan dengan pemeran jelek ini‟
atau semacamnya, jadi tidak mungkin."

"Benar, tuh! Orang-orang hanya akan menyoraki kita kalau gadis lain yang
memerankannya!" Tambah Sakai.

Seketika itu pun dia langsung digusur oleh gadis-gadis tersebut.

"Mau tak mau kita harus membuatmu melakukannya, tapi dengan suara
seperti itu pasti sulit."

"Hei, Klub Literatur, bisa kau hubungi Eina-san?" Tanya Ketua dengan suara
serak.

"Karena hari ini Sabtu, jadi harusnya sih bisa."

"Kalau begitu, tolong."

Kutelepon Eina seperti yang dimintanya.


《Halo, ini Eina.》

"Eina-san?"

《… Siapa ini?》

"Itu Ketua," Ujarku padanya.

《Ehh?!》Teriaknya dengan bingung. 《Suaramu kenapa?!》

"Aku pilek. Jadi, aku punya permintaan…"

《Selama aku bisa, beritahu saja!》

Kata-kata Eina seolah membuat Ketua tenang. Lalu,

"Terima kasih. Kalau begitu, maukah kau menyuarakan peran utamanya?"


Ucapnya dengan ekspresi tenang.

《Ehh?》

"Huh?"

Kata kami dengan serempak.

"Tunggu sebentar, maksudmu dia melakukannya lewat ponsel?"

"Begitulah."

"Bukannya sudah jelas bakal ketahuan?"

"Tidak apa. Buat begini saja, si protagonisnya bisu karena terluka, jadi si iblis
menggunakan sihir supaya kita bisa mendengarnya?"

《Kalau memang seperti itu, kurasa terdengar masuk akal…》


Kalau penulis aslinya bilang begitu, maka dalam fiksi mungkin bisa.

"Terima kasih. Kalau begitu, kita akan buat narator mengatakannya nanti."

《Benar juga, bukan itu masalahnya! Aku tidak bisa berakting!》

"Bukannya sewaktu di taman dengan Klub Literatur sudah kusuruh untuk


mencoba berlatih juga?"

《Iya sih, tapi aku benar-benar tidak mahir…》

"Kau pasti bisa, kok. Malah, hanya kaulah yang bisa melakukannya.
Protagonisnya adalah kau, „kan? Kau tidak usah berakting, cukup
mengucapkan kata-katanya saja."

《Tapi… nantinya aku malah bicara dengan monoton…》

"Tidak apa. Si gadis dalam ceritanya memang kurang dalam perasaan dan
kesengsaraan. Aku yakin kau pasti bisa," Ujar Ketua, sebelum mulai
tersedak.

"Eina, kau bisa dengar sendiri kondisinya, „kan? Jadi mau, ya?"

《Baiklah, aku akan berusaha!》

******

"Nah, sudah beres. Kau terlihat keren, Yagi-kun."

Gadis yang bertanggung jawab atas kostum dan tata rias menampar bahuku.

"… Makasih."
"Kau gugup?"

"Ya iyalah."

"Dasar, contoh Ketua, tuh."


Kulirik ke samping padanya. Dia didandani layaknya gadis lusuh dan
nampak fana, seakan bisa lenyap kapan pun. Meski mengenakan pakaian
robek sekali pun, dia masih memikat.

Dengan mata yang terpaku pada naskah, dia melakukan pemeriksaan


terakhir dengan tenang.

"Eina, sebentar lagi mulai, apa kau siap?" Ucapku pada ponselku yang
dipasangkan dalam sistem suara.

《Ya! Serahkan padaku!》

Dia penuh semangat kembali tanpa merasa gugup sedikit pun.

Aku enggak boleh jadi satu-satunya orang yang gugup. Kutegakkan


tubuhku dan tarik napas dalam-dalam.

"Nah, sekarang giliran kita!” Seru perwakilan kelas sewaktu Ketua pergi ke
atas panggung. Sorakan menyambutnya di atas panggung. Perkataan Eina
bergema di seluruh aula.

《Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku
mati…》

Suaranya masih tetap indah sekali pun lewat sistem suara. Sopran yang
teramat jelas nan indah yang enak di dengar.

Lalu aku menuju ke atas panggung.

Ruangan kelas sudah ditata ulang menjadi aula dan sudah terisi sepenuhnya,
sehingga aku kewalahan oleh banyaknya penonton dari yang kukira.

"Nona muda, boleh kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau pinjami aku
lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak mampu berdiri."

Aku pun berada di atas panggung selama sisa dramanya. Di sepanjang


cobaan pertama dan kedua, Kami memainkan peran kami… tanpa adanya
kesalahan besar.
Dan terakhir, adalah cobaan ketiga.

"Aku akan selalu mendukungmu selamanya."

Saat kuucapkan dialogku, kuserahkan belati bohongan pada si gadis, yakni


Ketua.

Mulutnya Ketua terbuka.

Namun, aku enggak bisa dengar suaranya Eina.

Seisi aula pun terhening.

Kulirik ke bagian sisi panggung, dan teman sekelas kami pun panik. Para
penonton sepertinya belum menyadari adanya kesalahan.

Ada apa, Eina? Kenapa kau diam saja…?

Aku mau bicara begitu tapi langsung menyerah. Bukan perasaan Eina lah
yang harusnya kupikirkan, melainkan perasaan tokoh di panggung.

Apa yang akan dipikirkan si gadis?

Dia akan bahagia, bukan? Akan perasaan cintanya.

Lalu ia pun bersatu. Saking bahagianya, dia sampai enggak bisa meluapkan
perasaannya.

"Aku… mendukungmu."

Enggak lama setelah kuulangi dialog itu, mata Ketua berlinangkan air mata.
Air mata tersebut mungkin hanya sekedar perasaanku saja, seolah Eina
berada di depanku, berdiri bersamaku di atas panggung.

Aku merasa bersalah pada Ketua karena sudah berkata begitu, tapi aku
melihat Ketua sebagai Eina.
《Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku ingin
bersamamu. 》

Kini kami pun langsung menuju akhir yang bahagia.


*****

"Oi, tadi itu keren sekali."

Seberesnya drama, Sakai melompat dari sisi panggung.

"Yang bener?"

"Ya, para penonton juga sangat menyukainya. Oh iya, nih rekamannya."


Sakai memberikan kartu SD.

"Makasih, kau memang penyelamat."

Sakai merekam drama tersebut dengan ponselnya. Karena sebagai reporter


Klub Surat Kabar dia harus menontonnya sendiri, aku pun menyuruh dia
untuk sekalian merekamnya.

"Oh iya, kenapa tidak kau suruh Eina-chan datang saja? Akan lebih bagus
kalau dilakukan sendiri, „kan?" Tanya Sakai. Dia mungkin menanyakan
pertanyaan yang sangat penting begitu karena ingin tahu siapa orangnya.

"Entahlah."

"Mulutmu memang rapat seperti biasanya, ya."

"Ya iyalah."

Sekalipun aku mau, aku enggak tahu apa-apa soal dia.

"Aku mau pergi dulu ke Klub Literatur," Ucapku dan meninggalkan Sakai.

Aku pun bergegas ke ruang klub untuk menghilangkan kesepian yang


memilukan hati. Di jalan, aku mengirim rekamannya ke Eina.
Usai beberapa saat, aku mendapat balasan.

Eina : Itu mengagumkan, aku sangat terkesan! Rasanya sulit dipercaya


bisa melihat sesuatu yang kutulis dipentaskan! Aku sedikit malu karena
suaraku juga ada, sih…
Shuu : Apa itu enggak persis dengan yang kau bayangkan?
EIna : Persis, kok! Tidak, malahan lebih bagus! Karena…
Shuu : Karena?
Eina : Aku bisa melihat rupamu.

Benar, ini pertama kalinya dia melihat rupaku.

Shuu : Apa aku menghancurkan kesanmu?


Eina : Tidak, kok! Malah… terasa seperti… persis seperti yang kukira!

Mendengar komentarnya Eina, hatiku terasa hangat.

******

Hari terakhir festival.

Di sekolah kami ada acara pra-festival yang hanya diperuntukkan para siswa-
siswi saja. Mereka menggunakan panggung gimnasium, menampilkan band
sukwan dan pertunjukkan gulat profesional di aula.
Aku bukan tipe orang yang suka berpesta, jadi hanya menyesap minuman
saja di aula tanpa menyaksikan perayaan. Ada banyak orang juga yang
berbuat begitu, jadi aku enggak merasa terasingkan.

"Klub Literatur," Seseorang menepuk bahuku, itu adakah Ketua.

"Enggak apa nih, bukannya OSIS yang mengurus ini?"

"Bukan berarti aku melakukan semua pekerjaan," Balasnya sekeras mungkin.


Aku merasa kasihan padanya karena suara band menggelera di seluruh aula.

Kuberi isyarat untuk pergi keluar dengan lirikan, dan dia pun mengangguk.
Lantas kami pun pergi keluar ke belakang aula.
Angin malam terasa menyejukkan.

"Maafkan aku," Ketua duluan bicara selagi kami berjalan, "Harusnya aku
menjaga kesehatanku dengan lebih baik."

"Enggak usah khawatir, lagian kau ini sibuk. Selain itu, kau berhasil
memerankan dramanya meski dalam kondisi begitu, kau memang hebat."

Ketua tampil dua kali, pagi dan sore. Saat tampil kedua kalinya, suaranya
makin membaik, jadi dialognya pun diucapkan sendiri olehnya.

"A-Aku…?"

"Ya. Kau enggak nyusahin siapa pun, dan bahkan Eina juga merasa senang."
Bagi Ketua mungkin itu enggak adil, tapi aku senang bisa berpartisipasi
dalam festival budaya bersama Eina, dan dia juga turut senang. Itu adalah
keberuntungan kami. Tentunya aku enggak bilang begitu pada Ketua, mana
mungkin aku bisa bilang bahwa aku bersyukur dia terkena pilek, dan bakal
berasa enggak sopan juga terhadap aktingnya. Tapi aku sungguh ingin dia
tahu bahwa dia enggak membuat masalah apa pun.

"Terima kasih buat aktingmu yang mengagumkan, kau benar-benar


memerankannya dengan baik," Ujarku, dan dia membuang muka, wajahnya
sedikit merah.
"Kau juga sama. Apa kau juga akan berterima kasih pada Eina? Aku akan
pergi sekarang!"

Ketua pergi begitu saja seolah menyembunyikan wajahnya.

Dia terkadang manis juga, pikirku.

Aku enggak balik ke aula dan malah berdiri di angin malam untuk sejenak.
Selingan 2 – Persiapan Menuju Pesta Dansa

Bisa menjadi bagian dari drama saja rasanya sudah seperti mimpi. Dan aku
bisa berakting bersama Shuu…

Memang sih bukan aku sendiri yang berakting, tapi bisa menembus jarak
lima tahun di antara kami kurasa merupakan hal yang penting. Untungnya,
di hari Sabtu semuanya sedang keluar. Mereka baru pulang besoknya, tapi
saat itu Ketua kelihatannya sudah sembuh.

Nah, berhubung sekarang adalah hari Senin, sudah waktunya untuk


menjalankan misi yang mestinya kulakukan kemarin lusa.

Aku mengambil hotspot Wi-Fi punya sepupuku.

Ponselku tak punya kontrak, sehingga saat di luar aku tak bisa terhubung ke
internet dan karenanya, aku pun tak bisa pergi bersama Shuu-san. Hanya
pergi ke suatu tempat yang ada Wi-Fi gratisnya saja rasanya akan
membosankan, jadi kupinjam hotspot tersebut.

Aku tak mencurinya, hanya meminjamnya. Dia hampir tak pernah


menggunakannya, padahal dia sampai menangis ke ibunya supaya
mendapatkan kontrak.

Kenapa aku tak meminta untuk meminjamnya, karena dia takkan pernah
mengizinkannya, apalagi kalau aku yang minta.
Hari itu aku berangkat dari rumah sedikit lebih awal. Teteh sedang ada
kegiatan dengan klubnya, sedangkan bibi dan pamanku sedang bekerja. Jadi
akan baik-baik saja.

Sebelumnya, aku pernah menggunakannya sewaktu pergi menemui Shuu-


san di Stasiun C, dan saat itu aku diam-diam meminjamnya dan belum
ketahuan. Kali ini juga pasti takkan ketahuan.

Aku pulang dan menyelinap ke dalam kamarnya sambil membawa tasku.


Dia punya gorden dan meja yang cantik, boneka mainan yang banyak,
poster-poster idol…

Kamarnya punya semua yang tak kumiliki. Sekilas kupandang barang-


barangnya saat menempatkan kepalaku ke dalam lemari pakaian. Hotspot
itu dilemparkan sehingga berantakan dalam kantung kertas.

Aku tidak butuh kamar yang cantik. Selama aku punya Shuu-san, aku bisa
hidup. Semuanya akan baik-baik saja.

Aku menyembunyikan hotspot berserta charger di sakuku dan


meninggalkan kamar.

Inilah kereta labuku.


Chapter 3 – Lonceng Tengah Malam

《Maaf menelepon malam-malam begini,》ada telepon dari Eina saat malam


Sabtu, malam sebelum ulang tahunku, 《Ada yang mau kubicarakan soal
besok.》

"Boleh."

《Pertama-tama, barang yang perlu kamu bawa…》

"Lah, bukannya ponsel saja cukup?"

《Sekop juga sama pentingnya.》

"Kenapa?"

《Fufufu, ini rahasia. Untuk ketemuannya, sore saja, ya?》

"Boleh, berangkatnya sesudah makan saja."

《Makan sambil teleponan akan terasa kurang sopan,》kami berdua


tertawa, 《Tempatnya… di Stasiun C saja, ya? Tidak terlalu jauh darimu,
„kan? 》

"Iya, tapi sekopnya buat apaan?"

《Sudah kubilang, itu rahasia.》

"Malah jadi tambah penasaran."

《Kamu juga akan paham bes… Ah, selamat ulang tahun!》

"Eh?" Saat kutengok, jarum jamnya sudah melewati tengah malam, "Terima
kasih."
Baru kali ini aku bicara dengan seseorang saat ulang tahunku tiba. Biasanya,
aku berbaring terlelap di kamarku sewaktu tanggal berganti.

Dadaku terasa hangat.

Dengan begitu, aku pun berumur tujuh belas tahun.

*****

Besoknya, ponsel yang kugenggam berdengung sewaktu berdiri di depan


Stasiun C.

"Halo," ucapku pada mikrofon headset.

《Halo, Shuu-san.》

Jantungku mulai berdegup kencang sewaktu mendengar suaranya


dari earphone. Aku sudah terbiasa dengan suaranya, tapi mendengarnya
langsung lewat telingaku nampak seolah saling berdempetan.

"… Hei," kutenangkan diriku supaya suaraku enggak kedengaran gugup dan
menyapanya.

Kami pun berangkat dan pergi ke toko buku terlebih dahulu, lalu memilih
tempat yang terkenal, di lantai atas pasaraya.

"Eina, kau suka baca dongeng, „kan?"

《Ya, aku sangat menyukainya!》

"Apa ada yang kau sarankan?"

《Apa ya, buku yang kusuka yang masih akan dijual dalam lima tahun…》dia
membacakan nama buku gambar dongeng yang terkenal, 《Tapi kamu sudah
membacanya, „kan?》
"Mungkin aku sudah membacanya sewaktu masih kecil. Tapi, mumpung
sudah di sini, aku akan membelinya."

《Kalau begitu, apa kamu sendiri punya saran?》

"Mungkin The Door into Summer?" saranku.

《Ah, aku belum pernah membacanya! Baru kali ini aku mendengarnya,》
enggak disangka, 《Di perpustakaan ada tidak, ya…》

"Pasti ada, soalnya itu cerita yang terkenal."

Aku heran, kenapa dia enggak membelinya saja.

《Ah, memang lebih baik untuk membelinya, tapi, eng... aku tak punya
banyak uang yang bisa kugunakan semena-mena…》

"Ah, enggak apa, „kan?"

Kondisi tiap orang beda-beda, sehingga aku enggak bisa tanya lebih jauh.
Kami pun lanjut pergi dan melihat pakaian.

《Kita pergi ke Proca, yuk!》

Proca adalah deretan butik-butik fesyen yang sudah menyebar ke seluruh


negeri. Tapi…

"Eh, Proca…?"

Aku memiringkan kepalaku, menanyakan apa ada Proca di sekitar sini dan
segera tersadar, bahwa itu ada di masanya Eina, bukan di masaku.

"Ahh, agak sulit bilangnya, tapi di sini enggak ada Proca."

《Eh, tidak ada? Mereka sudah ditutup?!》

"Ya."
《Tidak mungkin… padahal aku mengimpikan pergi ke Proca untuk membeli
sesuatu bersama teman-temanku… 》

"Maaf."

Enggak ada yang bisa kuperbuat selain merasa iba karena menghancurkan
harapannya.

《Tidak apa kok, aku bisa ke kota lain untuk pergi ke Proca. Tapi… sungguh
disayangkan… padahal aku ingin pergi ke Proca bersamamu dan melihat-
lihat pakaian, minum teh di kafe-nya, dan melakukan banyak hal…》

"Ya, sayang sekali… sekarang mending kita minum teh saja."

Aku agak khawatir kalau kafe tersebut juga bakalan enggak ada.

Kami pun pergi ke deretan kafe yang cocok. Kami pergi ke tempat yang sama,
tapi namanya sudah berubah. Aku pun membeli kopi dan duduk di alun-alun
terdekat.

"Dalam lima tahun sudah banyak yang berubah, ya?"

《Semuanya serba berubah, rasanya jadi agak sedih.》

"Ada beberapa hal juga yang belum berubah, kok."

《Seperti apa?》

"Eng, nama Stasiun C?"

《Perubahan itu mah tidak terlalu berarti.》

"Benar juga."

《Oh, iya. Bicara soal hal yang tidak berubah… Shuu-san, kenapa coba
sepatu kaca Cinderella ketinggalan?》Aku enggak tahu betul apa yang
ditanyakannya, jadi aku enggak sempat menjawabnya, lantas Eina pun
menjelaskan, 《Itu karena mantranya akan patah saat berbunyinya lonceng
tengah malam, „kan? Cinderella selalu mengenakan pakaian yang jelek, jadi
bukankah sepatu kacanya juga akan kembali menjadi sepatu biasa?》

Itu memang benar.

"Aku enggak pernah memikirkannya."

《Aku selalu penasaran soal itu. Firasatku bilang, bahwa itu bukanlah suatu
kebetulan.》

"Mungkin perasaannya si pangeran menyimpan sihir? Itulah buah pikiran


pertamaku yang amat sederhana, "Dari sudut pandangnya si pangeran,
hilangnya Cinderella akan menjadi suatu tragedi, iya, „kan? Satu-satunya
orang yang dipikirkannya telah menghilang, sehingga perasan ingin bertemu
lagi dengannya mungkin telah menjangkau sepatu kaca itu?"

Namun, seusai kumengatakannya, aku mulai berpikir kalau itu mungkin saja
benar-benar terjadi. Maksudku, kalau pangerannya adalah aku… maka Eina
lah yang akan jadi Cinderella-nya.

Kuyakin rasanya menyakitkan. Andai aku enggak bisa mengirim pesan dan
berbicara dengan Eina, aku enggak yakin bakalan bisa pulih.

《Tak disangka kamu bisa romantis juga, ya?》

"Kecewa?"

《Tidak, malahan sangat bagus. Eng, perasaan pangeran, ya? Cinderella


akan senang bertemu dengan seseorang yang sangat mencintainya.》

Kami keluyuran di sekitaran kota untuk beberapa saat. Jalan-jalan dan


ngobrol sama Eina memang menyenangkan, tapi akhirnya aku pun kepikiran
apa yang akan terjadi kalau kami beneran ketemu…

Kami ketemuan di depan stasiun, kubilang „Hai,‟ dan dijawab „Hai juga‟
olehnya. Lalu kami pun pergi bersama, berkeliling kota sebentar, dan pergi
ke kafe. Eina suka makanan-makanan manis, jadi dia mungkin memesan
parfait atau semacamnya. Mungkin bagusnya pergi ke karaoke setelah itu.
Lagu apa yang akan dinyanyikannya, ya?

Aku ingin pergi ke toko buku dan membicarakan soal buku-buku yang
populer bersamanya. Bukan lewat telepon, melainkan dengan gadis di
hadapanku.

Semua itu terlalu jauh bagi kita, sih.

《Shuu-san? Ada apa, kok diam terus.》

Suara Eina menyadarkanku kembali. Kami datang ke tempat yang tinggi dan
melihat pemandangan dari atas sana.

"Ah, maaf, barusan aku melamun."

《Duh, jangan melamun sendiri, aku jadi merasa kesepian,》dia berlagak


marah, tapi sama sekali enggak menakutkan, 《Nanti tidak akan kukasih
hadiah.》

"… Hadiah?"

《Pengin tahu?》

"Ya… tunggu, gimana caranya?"

《Fufufu, gali agak dalam di bahwa pohon itu.》

Kuturuti perintahnya dan menggunakan sekop untuk menggali. Sekop itu


pun membentur sesuatu dengan suara tung.

Kupindahkan tanahnya ke samping dan menemukan sesuatu yang tampak


seperti kaleng manisan. Kuambil dan kubuka, lantas kumelihat gantungan
ponsel dengan sesosok boneka kecil di dalamnya.

Boneka itu adalah tokoh iblis yang kuperankan.


"Ini kau buat sendiri?"

《Iya. Aku ini orangnya kikuk, jadi maaf kalau tak begitu bagus, tapi…》

Dia seperti bicara sambil nunduk. Bonekanya agak cacat dan jahitannya
kasar. Tapi aku tahu ini adalah hadiah yang tulus.

"Enggak, aku sangat senang, kok. Terima kasih, aku akan menjaganya."

《Ehehe.》

Ada jarak lima tahun di antara kami. Tapi biarpun begitu, kami masih hidup
di planet yang sama.



"Shuu-kun, gantungannya lucu, ya?"

Sudah sekitar seminggu berlalu. Di hari Jumat ini aku sedang duduk sambil
membaca dengan lamban, menunggu para pendaftar baru yang enggak akan
kunjung datang. Di hadapanku, ada Ruka-senpai yang lagi belajar.

Sudah sekitar satu jam kami berada di sini. Tiba-tiba, dia melihat ponselku
yang ada di atas meja, dan menanyakannya.

"Itu hadiah, dari Eina."

"Maksudmu si penulis itu? Aku mengangguk, "Kamu sering ketemu


dengannya?"

Dia meletakkan pensilnya dan mencondongkan diri ke depan, benar-benar


dalam mode gosip. Kuletakkan bukuku dan menatapnya.

"Sebenarnya, kami belum pernah betemu."

"Lah, terus bagaimana bisa kamu mengenalnya? Lewat media sosial?"


"Ya, semacam itulah," akuku.

"Aduh, anak zaman sekarang memang pada hebat, ya. Si Tante ini sampe
terkejut banget."

"Apanya yang „si tante ini‟, kamu cuman setahun lebih tua dariku!"

"Ahaha. Cuman bercanda, kok… pernah kepikiran pengin bertemu


dengannya? Soalnya kau terlihat akrab dengannya, jadi bukannya akan lebih
menyenangkan kalau bisa bicara langsung?

"Karena suatu alasan, kami… enggak bisa bertemu."

"Jadi intinya, kamu pengin bertemu."

"Eh?"

Dia memperdayaiku, bagaimana bisa dia mengetahuinya?

"Kalau tidak, kamu tidak akan bilang enggak bisa bertemu, „kan?" Dia
tersenyum lembut.

"… Ya, kalau bisa, aku memang ingin bertemu dengannya."

Sebenarnya, kami sudah mencobanya, namun enggak bisa. Sebelum sempat


bertanya, dia memiringkan kepalanya dengan suara penuh pertimbangan.

"Shuu-kun, kau menyukainya, „kan?"

Dia bicara begitu saja, seolah hanya melanjutkan percakapannya. Tapi pas
aku mendengar perkataannya, hatiku terasa membeku.

Apa aku…. suka ama Eina…?

Begitu aku memikirkannya, aku sadar akan segala sesuatu mengenai dirinya,
dan pikiranku pun langsung kosong. Sepatah kata pun enggak bisa
kuucapkan. Ruka-senpai menatapku dengan geli, lalu menghela napas kecil.

"Begitu ya, jadi aku kalah ama orang yang belum pernah kautemui."
"… Kalah?" Aku berusaha mengatakan sesuatu, namun aku enggak bisa
memahami makna dibalik perkataannya itu.
"Tidak usah merisaukannya, aku hanya berbicara sendiri. Hei, kalau kau
menyukainya, kau harus menemuinya dan ungkapkan perasaanmu. Kalau
tidak, kau pasti akan menyesalinya."

"Ada banyak alasan mengapa kami enggak bisa bertemu."

"Tapi kau menyukainya, „kan?"

"… Ya," akuku.

Kurasa akan menyenangkan bila dia ada di sisiku sewaktu aku tengah
mempersiapkan festival budaya. Sewaktu kami mengobrol di hari ulang
tahunku, aku sungguh ingin dia berada di sampingku, dan sewaktu aku
menerima hadiahku, aku sungguh ingin dia memberikannya padaku secara
langsung. Pasti aku berpikir begitu karena aku memang menyukainya.

"Kamu pengin memastikan siapa dia sebenarnya, „kan?"

"… Ya," ucapku lagi, usai terhenti lama kali ini.

"Kalau begitu, Senpai-mu yang baik ini aka membantumu. Jadi, apa
alasannya?"

"Jangan ketawa, ya? Aku… akan mengatakan sesuatu yang kedengarannya


sulit dipercaya," Aku menyerah dan akan memberitahukan semuanya.
Mungkin aku sudah kehilangan penilaian normalku, tapi dorongan hati
adalah suatu bagian penting dari kehidupan, "Sebenarnya, Eina bukan
berasal dari masa sekarang, dia berasal dari lima tahun silam. Aku enggak
tahu bagaimana caranya, tapi ponselku terhubung ke masa tersebut dan aku
bisa berbicara dengannya."

Tampangnya sedikit terkejut usai mendengar perkataanku, mulutnya sedikit


menganga dan pikirannya nampak terhenti.

"Maaf, bisa kaukatakan sekali lagi?"

"Akan kukatakan berulang-ulang, Eina hidup di masa lalu. Aku hidup di


masa kini, jadi kami enggak bisa bertemu."

"Aku hanya ingin memastikannya saja, tapi itu bukan hanya sekedar alasan
yang kau berikan padaku, iya, „kan?"
"Tuh „kan, kamu enggak percaya."

"Oi, jangan merajuk begitu. Memangnya siapa orang yang akan langsung
percaya! Ah! Bukan berarti aku tak memercayaimu, biar kupikir sebentar,"
ujarnya, dan melipatkan tangannya. "… Yah, kurasa itu memang sesuai. Kau
menyembunyikan kebenaran soal Eina karena kaupikir takkan ada yang
memercayaimu sekali pun kau mengatakannya?"

"Itu benar."

"Oke. Aku memercayaimu. Lagian kamu ini bukan orang yang suka
mengada-ngada," ujarnya dan tersenyum padaku, dan rasanya seperti beban
di punggungku telah diangkat, "Terus, kenapa kau tidak bisa bertemu
dengannya sekarang? Meskipun itu artinya membuat dia menunggu selama
lima tahun."

"Itu karena Eina enggak mau bertemu denganku di lima tahun dari masanya,
dia enggak ingin tahu masa depannya."

"Eng, aku jadi pengin tahu apa yang terjadi padaku di masa depan."

"Eina orangnya pesimis, jadi dia pikir masa depannya mungkin lebih buruk
dan takut mengetahuinya. Dia pikir aku enggak bakalan
menyembunyikannya bilamana ada suatu hal yang buruk menimpanya, jadi
dia minta untuk enggak bertemu."

"Jadi, begitu."Angguknya.

"Jadi, aku benar-benar menghargainya, tapi…."

"Tapi kau pengin bertemu dengannya, „kan?"

"Benar."

"Kalau begitu, tujuan kita adalah untuk mengetahui siapa Eina tanpa
sepengetahuannya, dan pergi menemuinya," lalu dia merosotkan diri, "Tapi
bagaimana caranya?'

"Aku juga enggak tahu."

"Kita butuh bantuan."


Aku hanya tahu seorang yang punya pengetahuan mengenai hal-hal itu.
Andalan Klub Surat Kabar, Sakai. Dia ahli dalam mengumpulkan informasi,
jadi dia pasti bisa menemukannya.



"Menemukan seseorang? Serahkan saja padaku," angguk Sakai begitu kami


menjelaskan padanya di ruang klub-nya, "Tapi ada syaratnya, aku mau
mencetak hasil interviu dengan Eina-chan."

"Eh, aku enggak bisa menyetujuinya tanpa seizin orangnya."

"Itu mustahil, „kan? soalnya kami lagi mencari dia tanpa sepengetahuannya,"
Ruka-senpai membantuku.

Sebelum melanjutkan, Sakai sempat terhenti sejenak untuk berpikir.

"Kalau begitu, kau harus janji padaku untuk membujuknya. Tentu saja, aku
tak mau kau terlalu memakasanya, dia tidak usah memberikan gambar,
cukup interviu saja, kok. Bagaimanapun juga, dia sangat terkenal, debut
pekerjaannya menimbulkan desas-desus di sekolah dan sandiwaranya
membuat festival budaya jadi sukses! Kalau kami bisa menginterviunya
secara khusus, kami akan dikenal di seluruh dunia!"

Saking semangatnya mulut Sakai sampe hampir berbusa dan aku merasa
enggak berdaya. Interviu mah tergantung Eina sendiri, jadi…

"Shuu-kun, setujui saja untuk saat ini," Ruka-senpai tersenyum kaku


padaku, "Kau ini orangnya terlalu serius, jadi kau mungkin merisaukannya."

"Oke, aku akan mencoba membujuknya."

"Nah, mumpung sudah sepakat, mari kita mulai," Sakai menaruh tablet di
atas meja, "Eina bisa pake internet, „kan?"

"Iya, kayaknya."
"Kalo begitu, coba kita cari di Twitter."

Aku terkejut karena enggak kepikiran sama sekali. Aku kebelet pengin
bertemu dengannya, tapi aku sendiri enggak pernah memikirkan banyak hal.

Sakai memasukkan kata „Eina‟ pada kolom pencarian dan sekitar sepuluh
akun pun muncul di layar.

"Huh, ada banyak juga," gumam Ruka-senpai dengan heran.

"Sekitar setengahnya kira-kira adalah orang asing, jadi mungkin salah satu
dari kedua itu," selagi berbicara, Sakai membuka tab baru untuk melihat lini
masa keduanya, "Gimana? Ada yang kaukenali? Atau apa pun yang cocok
dengan yang dikatakannya?"

"Ah!" Aku menunjuk pada yang satunya, "Bisa jadi yang ini. Soalnya dia
menulis tentang minggu kemarin."

Eina@eina002

Aku akan pergi bersama S-san besok.

Eina@eina002

Aku sudah menyiapkan hadiah untuknya.

Eina@eina002

Akusangatgugup!

"S-san itu kau?"


"Bisa jadi…."

Kugulirkan lagi sedikit ke bawah.

Eina@eina002

Aku tidak bisa… menulis naskahnya… berakhir su dah.

Eina@eina002

S-san memujiku karena naskahnya! Aku senang sekali!

Eina@eina002

Aku melihat dramanya! S-san keren sekali!

"Eina-chan manis sekali."

"Aku sedikit cemburu."

Ujar Sakai dan Ruka-senpai yang ada di sampingku, dan aku juga tahu
mukaku sudah memerah.

"Yang jelas, kemungkinan besar ini akun miliknya. Selanjutnya gimana?"


Tanyaku sembari berlagak tenang.

"Kita teliti tweet-nya dan cari informasi pribadinya," Sakai menggulirkan


layarnya ke samping dengan jarinya, "Oh, dia juga menggunakan blog biasa,
coba kita lihat."

Dia membukanya pada window terpisah dan beberapa entri yang lebih detail
ketimbang tweet di tampilkan di layar.
"Bergembiralah, Yagi. Eina-chan benar-benar awam internet."

"Kenapa juga aku harus gembira?" Aku makin gelisah.

"Ini kabar baik untuk bisa menemukannya. Misalnya, coba lihat gambar
ini…" dia memperluas gambar pohon sakura, itu adalah gambar yang indah,
pohon yang mekar penuh dengan bunga merah muda, "Masih ada data GPS
pada gambarnya. Dan judulnya „Jepretan dari dekat rumah‟. Kita jadi bisa
tahu bahwa dia tinggal dekat pohon sakura itu. Alamatnya di…" Dia menarik
lokasinya di peta, letaknya satu stasiun dari Stasiun C, dan sepertinya agak di
pedalaman.

"Jadi „gini caranya penguntit mencari seseorang…" Ruka-senpai menjauh


darinya.

"Hei, Ruka-senpai! Aku tidak menyalahgunakan ini! Iya, „kan, Yagi?"

"Maaf, aku juga sependapat dengannya."

"Kejamnya! Kalau begitu, kau juga sama."

"Shuu-kun mah beda! Mereka sedang jatuh cinta!"

"Kuh… apa-apaan diskriminasi ini?! Sakai menggertakkan giginya. "Ini


takkan menghentikanku… ini semua demi interviu dengan Eina-chan…!"

Dia benar-benar berusaha keras, dan kuputuskan juga untuk berusaha


sekeras mungkin supaya Eina bersedia di interviu.

"Ada banyak foto, ayo kita telaahi tweet-tweet-nya… Oh, pekan olahraga SD?
Hanya ada satu sekolah yang ada pekan olahraganya, jadi… oh! Dia
mengunggah gambar dari jendela!!" untuk sementara Sakai tak
mengindahkan kami, terlena sendiri pada internet, lalu…

"Mungkin di sinilah tempat tinggalnya," tunjuknya pada suatu rumah pada


aplikasi street view. Butuh sekitar setengah jam untuk sampai ke sana, kita
mungkin bisa memeriksanya. "Rasanya itu kayak rumah Keluarga Yokota.
Lima tahun yang lalu, mereka punya anak SMP dan SD. Kalo sekarang mah
aku tidak tahu, sih. Eina-chan tidak punya postingan-postingan apa pun
semenjak Oktober lima tahun yang lalu, jadi aku tidak bisa
mempersempitnya lagi. Mungkin dia punya rutinitas yang lebih baik setelah
itu."
"Ini… rumahnya Eina…" Aku gemetar saat melihat foto itu, "Terima kasih.
Enggak disangka kau akan menemukannya secepat ini."

"Aku pengin jadi seorang jurnalis, jadi hal segini mah cuman masalah
sepele," ujarnya dengan bangga.

"Hati-hati aja supaya jangan sampe terbunuh kalau kauikut campur terlalu
dalam pada beberapa kasus korupsi politisi…"

"Aku akan senang bisa terlibat dalam sesuatu yang sangat besar!"

Ruka-senpai sepertinya benar-benar khawatir, tapi Sakai menepis


kekhawatirannya dengan keberhasilan.

"Jadi, selanjutnya ngapain?" tanyaku.

"Kita pergi dan periksa. Lagian kita tak melakukan sesuatu yang salah."

Pungkas Sakai dengan percaya diri.

Enggak, tadi kita sudah berbuat salah, pikirku dengan cemas.



Besoknya, kami bertiga pun pergi ke kediaman Yokota. Aku membeli


beberapa manisan di depan Stasiun C.

"Kau ini beli apaan, sih?" tanya Sakai.

"Eina suka yang manis-manis, jadinya aku beli dorayaki." jawabku.

"Kau ini benar-benar mencintainya," ujar Ruka-senpai, dan pipiku memerah.

Kami turun dari kereta di stasiun berikutnya dan berjalan selama lima menit
menyusuri daerah pinggiran kota yang sunyi sebelum tiba di kediaman
Yokota.
Kuberdiri di hadapan interkom dan mengambil napas dalam-dalam.

Ruka-senpai dan Sakai melangkah mundur dan menungguku, enggak


mendesakku untuk menekan tombol.

Pelan-pelan, kujulurkan jariku pada tombol itu.

Rupanya seperti apa, ya?

Bentuk alisnya kayak gimana?

Apa warna matanya?

Kulitnya pucat atau kecokelatan?

Dia tinggi atau pendek?

Seberapa panjang rambutnya?

Apa warna rambutnya?

Dia selalu tersenyum, senyumannya kayak gimana?

Kutekan tombolnya.

Suara yang terdengar nyaman pun terdengar.

《Ya?》

Terdengar jawaban dari seorang wanita dewasa.

"Apa di sini ada yang bernama Eina-san."

《Eina…?》

Wanita itu nampak bingung.

Apa enggak ada gunanya usai mengusutnya? Dia mungkin enggak


memberitahu keluarganya nama yang dia gunakan.
Atau apa kita mengunjungi tempat yang salah? Bisa jadi dia sudah pindah
karena lima tahun sudah berlalu.

《Apa dia menulis cerita?》

"Ya, benar!"

Aku mencondongkan diri ke depan.

Akan tetapi, pengeras suara tersebut senyap. 《Maaf, tapi dia tidak ada di
sini.》

"Tidak ada? Apa dia pindah?"

《Eng, tunggu sebentar.》

Pengeras suara tersebut berdengung saat dimatikan, dan setelah beberap


saat, seorang wanita keluar. Dia terlihat berumur dua puluhan. Tatapannya
tajam, dan dia nampak seperti wanita yang agak dingin.

Dia sedikit membungkuk.

"Aku sepupunya Eina. Senang bisa bertemu dengan teman-temannya."

"Senang bertemu denganmu juga."

Kusapa balik, bertanya-tanya pada diri sendiri apa ini sepupu yang sudah
menindasnya itu.

"Mari kita bicara di dalam."

Dia mengajak kami masuk, dan kami bertiga pun memasuki rumahnya, dia
mengantarkan kami ke ruang tamu dan kami pun duduk di sofa.

"Terus terang saja, sebenarnya Eina sudah meninggal."

Apa yang dia…?

Kucoba untuk bertanya padanya, tapi yang keluar hanyalah suara pertanyaan
yang tersendat.
Tenggorokanku tersumbat karena terkejut, sehingga aku enggak bisa bicara.

"Eina mendaki bukit yang ada di belakang rumah kami sewaktu terjadi badai
lima tahun lalu dan tak kunjung kembali. Dia masih hilang. Karena sudah
lima tahun berlalu, mungkin sudah tidak ada harapan lagi, sehingga kami
pun menyerah," ucap sepupunya dengan tampang serius.

Aku hanya terperanjat, menatap wajahnya.

"Kalau dipikir-pikir lagi, kurasa aku sudah berbuat hal yang mestinya tak
kulakukan. Aku selalu memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya
selalu mengurung diri di kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang
orang lain. Lalu ada juga perselisihan dengan mama dan papa, dan
kekhawatirannya…"

Dia mulai menangis selagi bicara.

Ruka-senpai berkata sesuatu padanya, dan Sakai memberikan tanggapan


juga.

Kumenyaksikan semua ini dengan bingung, suara mereka kedengaran jauh.

Hanya satu ucapan yang terulang di kepalaku.

Eina sudah meninggal.

Meninggal…

Meninggal!

《Tapi aku takut. Takut mengetahui masa depanku. Maksudku…


Bagaimana kalau aku mati setelah lima tahun?》

Kuteringat kata-kata Eina.

"Itu pasti salah…" kata-kata tersebut langsung keluar dari mulutku. "Itu pasti
salah…!!"
Selingan 3 – Mantra yang Patah

"Kau mengambil hotspot-ku!!"

Teteh bergegas masuk ke kamarku. Aku ketahuan. Aku sudah


mengembalikannya, sih…!

Pikiranku kosong karena rasa takut. Apa yang akan terjadi sekarang?

"Apa yang kaulakukan, dasar penumpang?! Papa dan Mama akan marah.
Aku tahu kausudah berbuat sembunyi-sembunyi dengan smartphone,"
ucapnya, merenggut ponsel yang kugenggam.

Kumencoba sekuat tenaga untuk melawan, tapi anak SD jauh lebih lemah
ketimbang anak SMP.

Dia pun dengan mudah mengambilnya.

"Kembalikan, kembalikan!"

"Ehh, memangnya ini sangat penting? Oh, apa ini? Chattingan sama laki-
laki? Dasar bocah SD kurang ajar."

Dia melihat ke layar ponselnya dan mengejek.

"Pengin kukembalikan? Hmph, kalau begitu, mungkin dengan kehilangan ini


akan memberimu pelajaran."

Udara dingin menjalar ke tulang punggungku.

Apa yang akan dilakukannya?

Hanya ponsel itulah penghubung antara Shuu-san dan aku.

Apa dia akan merusaknya?

"Tolong… kumohon… akan kuturuti apa pun yang kaukatakan, jadi


hentikanlah," kumemohon padanya.
Tapi dia menatapku dengan dingin dan lari keluar kamar.

Aku mengejarnya.

Tapi aku tak bisa menangkapnya.

Lalu, dia melemparkan ponselku ke beton pintu masuk tepat di hadapanku.

Ponselnya retak.

"Sekarang kau tak bisa berbuat hal buruk," ketusnya.

Aku dengan panik mengambil ponselnya. Ponselnya tak bisa dinyalakan.

"Teteh, kenapa…?" kumendongak padanya selagi menggenggam ponselnya,


memelototinya, "Aku membencimu!!"

Kulari keluar.

"Oi, mau pergi ke mana, bahaya!" teriaknya dari pintu, tapi aku tak
mengindahkannya. Aku tak ingin berada di sini lagi.

Aku takkan pernah kembali. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, di
mana tak ada seorang pun yang akan menemukanku.

Tanpa payung guna melindungi diri dari hujan lebat, kuberlari di sepanjang
jalanan.
Chapter 4 – Pintu Menuju Eina

"Lima tahun yang lalu terjadi topan besar di bulan Oktober, dan di hari itu ada
bencana longsor sewaktu Eina pergi dari rumah malamnya. Kau ingat bencana
longsor itu, ‘kan?"
"… Ya, aku ingat."
"Bencana tersebut diberitakan juga di koran, dan seorang gadis telah dinyatakan
hilang. Dinilai dari situasinya, kemungkinan besar dia tertimbun longsor tersebut."
"Jadi, begitu.."
"Maafkan aku, Shuu."
"Makasih atas semuanya. Aku… senang bisa mengenalnya. Senpai juga, makasih."
"Shuu-kun…"
Dia kelihatan enggak bisa mencari kata-kata yang tepat. Itu bisa dimaklumi.
Aku juga sudah bersemangat, mengatakan sesuatu seperti ‘Dia itu gadis seperti apa,
ya.’ atau ‘Aku ingin membicarakan soal buku-buku kesukaan kita sebertemu
dengannya nanti’.
Aku merasa enggak enak karena mengabaikan perasaan mereka.
Sepulang dari rumahnya, kami pergi ke perpustakaan dan memeriksa koran-koran
lama untuk memastikan apakah yang dikatakan sepupunya Eina itu memang benar
adanya.
Sekalipun kejadian itu memang benar karena sepupunya sendirilah yang
memberitahukannya, aku belum menyerah.
Tanpa berkata apa pun, Sakai dan Ruka-senpai membantuku.
"Aku mau pulang."
"Aku antar," tawar Ruka-senpai.
"Makasih, aku baik-baik saja, kok."
"Tapi…"
"Untuk sementara ini aku ingin sendirian. Maaf sudah melibatkanmu seperti ini,"
ucapku, dan dia enggak menimpalinya.
Sendirian, aku berjalan pulang. Air mata memenuhi mataku sewaktu kami berpisah.
Eina sudah meninggal?
Aku enggak bisa memercayainya, aku enggak mau memercayainya. Tapi memang
itulah kenyataannya.
Manusia hidupnya sangat singkat. Itu adalah kenyataan mengejutkan yang kejam.
Enggak ada yang namanya keajaiban.
Enggak ada yang namanya sih—
"Enggak, itu ada."
Kukeluarkan ponselku. Ada sihir dalam genggamanku. Ponselku ini terhubung ke
lima tahun lalu.
Aku tinggal memberitahu Eina.
Kuyakin pasti berhasil.
Kubuka aplikasi dan meneleponnya, tapi…
Enggak ada nama Eina di daftar temanku. Meski dicari nama akunnya juga sama.
Riwayat pesanku juga hilang.
"Ini aneh."
Kuotak-atik ponselnya dengan kekalutan. Lewat aplikasi, dan lewat berkas-berkasku
juga. Namun, aku enggak bisa menemukan cara untuk menghubunginya.
Mantranya akan patah seberbunyi lonceng tengah malam.
Perginya ke rumah Eina seakan merupakan suatu pertanda, kini ponselku hanyalah
sekedar ponsel biasa.

*****

Aku enggak ingat betul apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas, aku masih ada di
kotanya Eina.
Aku keluyuran di tempat yang ada pada foto yang dipostingnya. Mencari-cari jejak
dirinya.
Kuterus melanjutkan pencarian yang sia-sia ini, bertanya-tanya apakah mungkin dia
masih hidup.
Pohon sakuranya benar-benar belum mekar. Gimnasium di SD-nya juga sudah dicat
ulang.
Sedikit demi sedikit, kota ini mulai berubah selama lima tahun terakhir.
Postingannya Eina juga tiba-tiba terhenti lima tahun lalu. Andai kata si penulis
meninggal, maka tentu saja postingannya akan terhenti.
Lalu, aku pun sampai.
Di TKP terjadinya longsor.
Terdapat jejak seekor binatang di sepanjang bukit. Pepohonan pada tumbang seolah-
olah lereng tersebut sudah digunduli. Masih ada bekas-bekas pergeserannya. Bekas-
bekasnya tersebut menjalar di kedua sisi jalan.
Tempat ini masih tetap sama semenjak lima tahun lalu.
Kalau kau tertimbun di sini, kau enggak akan bisa selamat.
"Eina…" seruku. Dia terkubur di sini, karena dia belum pulang.
"Eina!"
Dia pasti terluka dan merasa sakit. Bagaimana rasanya? Ataukah kejadian itu terjadi
tiba-tiba tanpa sepengetahuannya?
Kucengkram erat ponselku.
Gantungan yang dia berikan padaku sudah dipasangkan.
Mengapa aku enggak bisa menyelamatkannya?
Mengapa…?
Mengapa?!
"Eina!!"
Bukit kembali hening usai kuberteriak, suaraku bergema sia-sia. Lalu…
Vzzzt, vzzzt.
Ponsel yang kugenggam bergetar. Getarannya cukup keras hingga bisa kudengar.
Meski kubertanya pada diri sendiri siapa yang meneleponku di saat seperti ini, aku
tetap melihat layarnya karena sudah kebiasaan.
Itu nomor yang enggak dikenal.
Perasaan enggak enak menetap dalam dadaku. Atau mungkin itu adalah harapan.
Meskipun merasa takut dikhianati, walaupun enggak mau terluka lagi, aku enggak
sanggup menghentikan tanganku untuk menjawabnya.
Panggilannya pun tersambung.

《Shuu-san?!》
Itu adalah suara soprannya yang indah dan merdu.
"Eina?!"
Enggak mungkin aku salah dengar, tapi aku harus tanya.

《Tidak mungkin! Berhasil tersambung!!》


Dia enggak menjawab pertanyaanku, tapi itu jelas Eina. Cucuran hujan terdengar
lewat speaker, dia lagi hujanan.
Aku pun teringat sepupunya ada bilang dia mendaki bukit di belakang rumahnya saat
terjadi badai, dan perasaan dingin pun menjalar ke punggungku.
"Eina, apa kau lagi di luar?! Kalau iya, cepetan pulang!"

《Shuu-san? Itu kamu, ‘kan? Maaf, aku tidak bisa mendengarmu.》


Beep.
Teleponnya terputus.
"Sial, kenapa harus sekarang."
Kutelepon lagi.
"Kumohon, tersambunglah…" tapi enggak ada tanda-tanda tersambung, "Eina!
Semoga kau selamat, Eina!"
Hanya sekedar memanggil namanya lah yang bisa kulakukan.
Lalu, aku menyadari gantungan ponselku bersinar redup.
Itu adalah maskot versi iblis yang kuperankan. Aku mengerutkan kening dan
melihatnya.
Cahayanya semakin tambah terang, saking terangnya hingga membuatku sulit untuk
membuka mataku.
Suatu kilauan pun melandaku dan seketika itu juga, dunia menjadi gelap.
******

Ada suatu sosok di hadapanku.


Sosok itu kecil, layaknya sosok seorang gadis.
Tingginya bahkan enggak sampai sedadaku.
Dia basah kuyup, demikian juga dengan rambutnya. Dia menggenggam erat ponsel
di depan dadanya.
"Shuu-san!"
Seru… gadis itu.
"Eina… apa itu kau?"
"Ya! ini aku!"
Gadis itu berlari menghampiriku selagi bicara, mendekapku. Kurangkul dia dalam
pelukanku.
Kami saling peluk di tengah-tengah hujan deras dan deruan angin.
"Shuu-san, kamu hangat…"
"Syukurlah, kau masih hidup."
"Oh iya, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya.
"Aku juga enggak tahu, aku meneriakkan namamu di tempat terjadinya bencana, dan
entah bagaimana aku berakhir di sini. Oh iya, bencananya!" Aku agak memisahkan
diri darinya dan menatap matanya, "Eina, di sini berbahaya, kalau kau tetap di sini,
kau akan terkubur dalam longsor dan mati."
"Eh…?"
"Aku pergi menemui dirimu di lima tahun mendatang. Maaf, aku melanggar janjiku.
Tapi aku sangat ingin bertemu denganmu. Lalu sepupumu bilang, bahwa kau sudah
meninggal dan akan hilang dalam topan ini."
Wajahnya memucat dan kugenggam tangannya.
"Tenang saja," ucapku, selembut mungkin, "Aku pasti akan menyelamatkanmu."
Saat itu, tampang kaku Eina pun menjadi sedikit tenang.
Aku yang merasa lega pun bersumpah pada diriku sendiri, bahwa aku akan
menyelamatkannya.
"Baiklah. Ayo kita cepat per—"
Mendengar suara gemuruh yang membenamkan suaraku, secara spontan kutarik dia
kebelakangku. Segera setelahnya, tanah di hadapanku pun roboh. Tulang
punggungku langsung menggigil.
"… Nyaris saja." suara Eina gemetaran.
"Pokoknya, ayo kita pulang… Eina, kau ke sini dari arah mana tadi?"
Dia menunjuk ke daerah yang baru saja ditutupi lumpur sembari gemetaran.
"Kita enggak bisa lewat sana, terlalu bahaya."
Aku menghubungi 119 untuk meminta bantuan, tapi enggak bisa.
Wajar sih, lagian ponselku ini dari lima tahun mendatang.
"Maaf Eina, bisa kau hubungi 119 untuk minta bantuan?"
"Ponselku dirusak Teteh," ucapnya dengan meminta maaf sembari menunjukkannya
padaku. Terdapat retakan besar yang menjalar pada layar dan bodi ponselnya,
"Ponselnya sudah tidak nyala lagi, rasanya sudah seperti sebuah keajaiban saja aku
bisa meneleponmu sebelumnya."
Jadi itu yang dimaksud ia ada masalah yang enggak berjalan dengan baik di antara
mereka, dan sekarang aku paham kenapa kami enggak bisa bicara lagi.
"Kalau begitu, ayo kita turun."
Kami mulai berjalan sambil hujanan. Aku menggenggam tangan kiri Eina dengan
tangan kananku. Tangannya dingin karena hujan, dan lambat laun aku juga bakalan
sama sepertinya, aku bisa merasakan suhu tubuhku yang menurun. Langit sudah
gelap, dan hujan yang deras membuatnya jadi sangat sulit melihat.
Kuharap kita bisa menemukan tempat untuk berteduh dan menunggu bantuan, tapi
enggak ada apa pun yang bisa berguna.
Selangkah demi selangkah, kami terus melangkah maju dengan hati-hati.
Terus terang saja, aku ketakutan. Eina juga pasti sama. Tanganku digenggam erat
oleh tangan mungilnya yang gemetaran, dan itu bukan hanya sekedar karena
kedinginan. Akan tetapi…
Berulang kali, kumenatapnya.
Berulang kali juga, dia menatapku.
Tiap kali kami saling memandang, kami sedikit tersenyum.
… Situasinya mungkin mengenaskan.
Tapi kami enggak sendirian, kami bertemu dengan orang yang ingin kami temui. Itu
sendiri sudah memberi kami keberanian.
Lalu…
"Eina! Lihat! Ada cahaya!"
Kami pun turun ke jalan di sisi tebing.
"Kita berhasil!"
Secara spontan kami pun saling lompat ke pelukan masing-masing. Sekarang kita
hanya perlu mengikuti turunan jalan ini ke kota.
Lalu, aku menyadari sesuatu yang mendekat dengan cepat.
Untuk sesaat, cahaya putih terang memenuhi pandanganku. Itu adalah truk. Sampe
sekarang aku enggak menyadarinya karena hujan. Ditambah, truk itu juga datang
dari tikungan, jadi aku enggak melihat adanya cahaya.
Sewaktu kumenyadarinya, truk itu sudah sangat dekat. Sopirnya sama sekali enggak
menyadari kami, tapi itu wajar karena betapa buruk jarak pandangnya.
Enggak ada waktu buat berpikir.
Kupegang Eina dan melompat mundur.
Entah bagaimana, aku pun berhasil mendarat.
Truk itu tepat melewati tempat di mana kami berada barusan.
"Nyaris saja… makasih, Shuu-san."
"Ya, syukurlah kau sela—"
Di saat itu jugalah aku kehilangan keseimbangan dan mundur selangkah.
Akan tetapi, enggak ada pijakan di bawah kakiku.
Rentangan duniaku, dan hal terakhir yang kulihat adalah Eina, yang melihatku
terjatuh dengan mata terbelalak.
Aku terguling menuruni tebing, tubuhku terbentur berkali-kali, bahkan aku enggak
bisa menggertakkan gigiku saat terguling.
"Shuu-san!!"
Kumendegar teriakan sedih Eina dari jauh, lalu aku pun pingsan.
*****

Aku terbaring, melihat ke atas langit.


"Dimana… aku?"
Gumamku dengan suara serak.
Sudah enggak hujan, aku bisa lihat matahari lewat celah-celah pepohonan.
"Apa aku sudah kembali… ke masaku sendiri?"
Kucoba berdiri, namun aku enggak bisa menggerakkan tubuhku karena sakit. Aku
enggak bakalan bisa pulang sendiri, nih.
Aku harus minta bantuan.
Kupaksa tanganku yang babak belur ini untuk mencari ponsel di kantungku, namun
enggak ada.
Lalu, aku melihat benda berbentuk segi empat di hadapanku.
"Haha, yang benar saja."
Kutertawa. Ponselku ternyata sudah rusak. Layarnya hancur dan bodinya bengkok.
Hanya gantungan iblisnya saja yang enggak rusak, jadi itu pasti ponselku.
Aku enggak bisa minta bantuan.
Aku enggak bisa gerak.
Tubuhku kedinginan karena hujan.
Jadi, aku bakalan mati.
Cukup anehnya, aku enggak merasa putus asa.
Hanya Eina yang kupikirkan, bertanya-tanya apa dia sudah berhasil pulang.
Dia mah pasti bisa, soalnya dia pintar. Dia mah tinggal pergi ke suatu tempat dan
meminta bantuan. Sayangnya, mereka enggak bakalan bisa menemukanku, sebab
aku sudah kembali ke masaku.
Kejadian ini enggak membahagiakan, tapi juga bukan akhir yang buruk. Setidaknya,
aku sudah bisa menyelamatkan Eina.
Aku pun menutup mataku.
Sewaktu kumembuka mata lagi, langit-langit lah yang pertama kulihat.
Kurasa langit-langitnya amat rendah.
Ruangannya itu sendiri berguncang.
"Di mana…"
"Kamu ada di ambulan," terdengar suara dari sampingku.
Jantungku berdebar kencang. Itu adalah Ketua. Kusadar dia menggenggam tanganku
sewaktu merasakan kehangatannya.
"… Kau menyelamatkanku? Kenapa?"
"Sudah jangan bicara dulu."
Seperti yang dibilangnya, aku pun menutup mulutku, kelopak mataku jadi terasa
berat, dan aku pun pingsan kembali.

Sewaktu kusadar, aku sudah berada di rumah sakit, berbaring di tempat tidur dan
benar-benar dibaluti perban. Seluruh tubuhku terasa nyeri.
"Shuu! Syukurlah…!" Ibuku mengamati wajahku dan mendesah lega. Ayahku ada di
belakangnya, "Terima kasih banyak Minekawa-san."
Karena yang bicara adalah ibuku, jadinya perlu sedikit waktu untuk menyadari
bahwa yang dimaksudnya Minekawa itu adakah Ketua.
"Apa maksudnya… terima kasih banyak?"
"Minekawa-san lah yang sudah menyelamatkanmu," ucap ayah padaku.
"Nampaknya dia mendengar kau pergi ke tempat terjadinya longsor dan dia tidak
mendapat kabar darimu, jadi dia pikir pasti sudah terjadi sesuatu. Kemudian dia
mendapatimu terjatuh dari tebing dan tak bisa bergerak, lalu dia pun meminta
bantuan."
Dalam hati aku mempertanyakan penjelasannya.
Bagaimana bisa dia tahu aku ada di sana? Apa dia dengar dari Ruka-senpai atau
Sakai?
Enggak, aku enggak ada bilang apa pun sama mereka.
Selain itu, aku enggak meneleponnya. Lagian, aku enggak tahu nomor teleponnya.
Dia berbohong.
Tapi kenapa?

Besoknya, banyak orang yang menjengukku.


Yang pertama adalah Sakai, dia bolos. Untuk sejenak, aku merasa tersentuh dia
mengkhawatirkanku, tapi kemudian:
"Jadi kau jatuh dari tebing? Gimana rasanya, sakit?"
Sakai memasuki mode reporternya. Karenanya aku sedikit marah, namun juga
sedikit terhibur.
"Ya iyalah sakit."
"Beritahu aku semua yang kau ingat. Akan kujadikan sebuah artikel."
"Aku enggak terlalu ingat. Itu terjadi tiba-tiba, dan aku segera pingsan."
"Ah, sungguh disayangkan. Tapi, syukurlah kau selamat."
Dia memang enggak pernah berubah.
Orang yang menjenguk selanjutnya adalah Ruka-senpai. Sepertinya dia berkunjung
tepat seusai pulang sekolah.
"Shuu-kuuuuuun, kau masih hiduuuuuuup!"
Teriaknya begitu melihatku.
"Maaf sudah membuatmu khawatir."
"Tak apa selama kau baik-baik saja… Eng, aku mau tanya sesuatu yang aneh," dia
menyeka air matanya dan menatapku dengan tatapan serius, "Kau tidak melompat,
‘kan?"
Rupanya, dia pikir aku ini berusaha bunuh diri.
"Enggaklah! Itu murni kecelakaan!"
"Syukurlah. Jangan coba-coba berpikir begitu, ya?"
"Iya, aku juga enggak sebodoh itu, kok."
Aku berusaha untuk tersenyum dan menyembunyikan kegelisahanku. Rasanya aku
sudah melihat Eina, tapi apa itu mimpi? Kalau aku baru saja terjatuh dari terbing
memang beneran…
Sepertinya mungkin sekali.
Tapi aku segera kepikiran lagi, itu enggak mungkin, aku masih bisa mendengar suara
dan merasakan kehangatan dirinya.
Aku masih bisa melihat matanya, masih melihatnya…
Itu mah hanya kecenderungan orang-orang di rumah sakit saja untuk berpikiran
buruk. Aku harus segera menemuinya begitu sudah dipulangkan.
Di hari-hari berikutnya, teman-teman sekelasku lainnya, beserta dua anggota klub
lainnya juga datang menjenguk. Hanya seorang saja yang belum, Ketua.
Biarpun dialah orang yang paling ingin kuajak bicara.
"Mungkin dia memang benar-benar membenciku…"
Tepat saat kumulai merasa sedih memikirkan itu, dia pun menjenguk di hari kelimat
semenjak aku dirawat.
"Ketua!"
Seruku dengan senang, karena sempat menyerah.
"Apa ada orang yang datang hari ini?"
"Enggak."
"Kalau yang berencana datang? Seperti teman-teman sekelas kita, atau klubmu?"
"Aku belum dengar apa pun. Kurasa semuanya sudah menjengukku."
"Begitu, ya. Baguslah."
Apanya yang bagus?
Dia menarik bangku dan duduk di samping tempat tidur.
"Maafkan aku, sebenarnya aku ingin segera menemuimu. Tapi selalu saja ada orang
lain di sini, jadinya aku tidak bisa bicara empat mata denganmu. Ada yang ingin kau
tanyakan juga, bukan, Klub Literatur?"
"Ya, aku enggak memberitahu siapa pun ke mana aku pergi, jadi kenapa kau bisa
tahu?"
"Karena kau memberitahuku, lima tahun yang lalu, ‘kan? Kau meneriakkan namaku
dan entah bagaimana bisa jadi bersamaku."
Lima tahun lalu?
Memanggilnya?
"Jangan-jangan…"
"Benar," dia sedikit tersenyum, "Aku Eina."

Dia menyatakannya dengan soprannya yang indah. Aku hanya menatapnya dengan
mata terbelalak, dan terdiam membisu karena terkejut.
"Sewaktu kamu terjatuh dari tebing, aku melihatmu menghilang, Shuu-san." Ketua,
Eina, bicara padaku seperti biasanya, menggunakan namaku ketimbang ‘Klub
Literatur’ dan bicara sopan, "Kamu benar-benar menghilang. Hujannya sedikit reda,
jadi untuk berjaga-jaga aku pergi untuk memastikan, dan kamu tidak ada di sana,
jadi kurasa kamu sudah kembali ke masamu sendiri."
Ketua, yang biasanya seperti bilah tanpa sarung, sekarang nampak seperti gadis
biasa. Rasanya seperti enggak nyata, tapi sisi feminimnya ternyata manis juga, dan
membuatku merasa senang juga.
"Aku khawatir. Aku tidak tahu apakah kamu pergi ke tempat yang sama, atau
terjatuh ke tebing di sana juga. Kalau kamu tak memberitahu siapa pun, kamu tidak
akan ditemukan, jadi kuputuskan untuk menghubungimu pada hari itu."
"Kau mengingatnya selama lima tahun?"
"Ya, sedetik pun takkan pernah kulupakan."
Eina mengangguk dengan mantap, dan aku yang keheranan pun ingin menanyakan
sesuatu padanya, ingin bertanya apakah dia sebegitunya memikirkanku.
"Jadi aku berusaha menggunakan jaringan kelas supaya bisa menghubungimu, tapi
seperti yang kukira, aku tidak bisa…" dia melanjutkan penjelasannya saat aku tetap
terdiam, "Jadi aku pergi ke tebing itu, dan meminta bantuan."
"Jadi itu yang terjadi… Kau sudah menyelamatkan hidupku, Eina, terima kasih
banyak."
"Ehehe," dia tergelak malu.
"Tapi kalau hari itu kamu tidak datang, aku akan tertimbun longsor. Terima kasih
banyak." Dia menundukkan kepalanya padaku.
"Tapi tunggu dulu, namamu bukan Yokota Yukino, tapi Minekawa Yukino…? Apa
rumah yang kami kunjungi itu bukan rumahmu?"
"Itu rumahnya bibi dan pamanku. Bukannya aku sudah pernah bilang? Kedua
orangtuaku sudah meninggal dan aku tinggal bersama saudari ibuku dan suaminya."
Rasanya aku memang sudah pernah mendengarnya.
"Huh? Tapi bukannya kau tinggal di panti asuhan?"
Aku pun dibuat bingung dengan keadaan yang rumit itu.
"Ujung-ujungnya, hubungan kami jadi tambah buruk dan aku pergi ke panti asuhan.
Atau lebih tepatnya, aku sudah tak tahan lagi. Karena aku berhasil selamat, aku pergi
mencari tempat agar bisa hidup sesuai kenginanku. Aku sudah tak punya wali lagi
karena kedua orangtuaku sudah meninggal, jadi aku mendapatkan izin setelah sedikit
pemeriksaan."
"Jadi begitu…"
"Banyak yang berubah dalam lima tahun ini."
Kami saling mengangguk dengan mantap. Rasanya semuanya sudah terselesaikan,
tapi aku menyadari sesuatu yang penting.
"Tunggu, kalau kau Eina, maka selama ini kau masih hidup, ‘kan? Tapi gadis yang
bernama Yokota, sepupumu itu, bilang kau sudah meninggal?"
"Ahh, itu mah…" Dia sempat terhenti karena suatu alasan. Lalu membungkuk
dalam-dalam. "Maafkan aku! Aku menyuruh Teteh untuk berbohong padamu!"
"Huh? Berbohong?"
"Kamu bilang lima tahun lalu saat bencana, ‘kan? Kamu ada bilang padaku, bahwa
kamu dengar darinya kalau aku ini hilang dan meninggal saat terjadinya topan."
"Ya, benar."
"Kalau dia bilang ‘Eina adalah Minekawa Yukino’, kamu tidak akan kembali ke
masa lalu, ‘kan? Kalau begitu, kemungkinan aku akan mati. Aku tak
menginginkannya, aku ingin bertemu denganmu, jadi aku minta tolong pada Teteh."
"Be-Benar juga."
Aku kelewat senang karena dia ingin bertemu denganku, dan aku enggak peduli soal
kebohongannya.
"Yah, aku senang karena bisa menyelamatkanmu, jadi enggak masalah."
"Terima kasih."
"Tapi kurasa hubunganmu enggak berjalan dengan baik?" tanyaku, dan Eina
tersenyum erat.
"Saat itu… kami tidak, saat itu memang parah. Tapi saat kami mulai hidup terpisah,
aku jadi mengerti bahwa dia bukan hanya ingin sekedar menindasku, dia
memikirkan banyak hal dengan caranya tersendiri, dan dia mungkin sudah
merenungkannya, sehingga dia sudah jadi lebih ramah sekarang."
Kuingat kata-kata sepupunya.
"Aku selalu memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya selalu mengurung
diri di kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang orang lain. Lalu ada
juga perselisihan dengan mama dan papa, dan kekhawatirannya…"
Itu bukan hanya sekedar sandiwara, dia benar-benar membicarakan mengenai apa
yang telah terjadi saat itu, pikirku saat hatiku terasa hangat.
"Ahh, tapi aku sungguh bersyukur semuanya berjalan dengan baik," Eina tiba-tiba
menghela napas, senang rasanya melihat kerenggangan pada wajah Ketua yang
biasanya sempurna, "Kalau aku ketahuan, semuanya akan berakhir, jadi aku benar-
benar ketakutan."
"Begitu ya, sewaktu kutahu kau adalah Eina, aku akan tahu kau masih hidup, dan
enggak kembali ke masa lalu," terus Eina akan tertimbun longsor dan mati. Dari
sudut pandang tersebut, dia memang selalu berjuang demi hidupnya, "Apakah sulit?
Harus berpura-pura enggak mengenalku?"
Akan tetapi, dia enggak kelihatan sedih, dan hanya sedikit cemberut.
"Apa kamu ingat saat pertama kali kita bertemu? Aku ragu kamu mengingatnya."
"Ingatlah, di perpustakaan, ‘kan?"
Napas Eina tersendat karena terkejut.
"Ya, aku bicara terlalu akrab denganmu, ‘kan? Aku merenungkannya dan menyadari
itu semua akan berakhir kalau kami bersama, jadi aku tak bisa bergabung dengan
Klub Literatur, dan bahkan ketika kita akhirnya berada di kelas yang sama, aku
menjaga jarak sejauh mungkin."
"Jadi itu alasan kenapa kau bersikap sangat dingin? Kupikir kau membenciku?"
"Mana mungkin aku bisa membencimu!"
"Be-Benarkah…?" Aku enggak begitu bisa bicara dengan senang, tapi perilaku
dinginnya terlintas dalam benakku dan aku enggak bisa langsung memercayainya.
"Tapi kau mengambil ruangan klub kami tanpa ampun…"
"Aku mesti bertindak seperti iblis untuk melakukannya, itu sangat sulit, lo! Aku tak
bisa menunjukkan sikap pilih kasih."
"Dan kau selalu kelihatan enggak senang saat bersamaku."
"Itu karena aku berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan ekspresiku. Hanya
berbicara denganmu saja sudah membuatku ingin tersenyum, jadi aku gugup karena
takut ketahuan…"
Mukanya mulai memerah. Aku juga mungkin sama.
Kami saling pandang untuk sejenak.
"Begini, Eina."
"Eng, Shuu-san…"
Kami berdua terhenti bareng sebelum tertawa bersama.
"Kalau begitu, aku duluan…" ucapnya, tapi kutikung dia.
"Maaf, di saat seperti ini harus laki-laki duluan."
"… Baiklah."
Eina membenarkan duduknya dengan agak formal.
"Eina… " kuambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku mencintaimu. Sebenarnya
aku sudah mencintaimu semenjak pertama kali bertemu denganmu, saat aku bertemu
denganmu di perpustakaan sebagai Minekawa Yukino. Kupikir kau membenciku,
jadi sewaktu Eina mengirimiku pesan, aku semmpat melupakanmu, tapi aku selalu
mencintaimu."
Wajahnya memerah, tapi pandangannya tetap tertuju padaku. Air mata berkilau di
matanya.
"Aku sangat senang, karena kini kutahu bahwa Eina dan Minkewa Yukino itu adalah
orang yang sama, dan orang yang kucintai. Karena akhirnya aku tahu, bahwa aku ini
jatuh cinta pada orang yang sama."
"Aku…" ucapnya dengan gemetaran, "Aku juga selalu mencintaimu, Shuu-san.
Bahkan dari semenjak lima tahun lalu hingga sekarang! Selalu…"
Saat dia bicara, dia mendekatiku. Kurangkul dan kepeluk dia.
"Ini bukan mimpi, ‘kan?"
"Aku juga ingin tahu, tapi kurasa bukan. Kita benar-benar bersama," ucapnya,
tersenyum dalam pelukanku, membuatku tersenyum juga.

Kupikir kami terpisah sangat jauh, tapi ternyata dia ada tepat di sampingku…
Dia ada tepat di depan mataku. Ada begitu banyak yang ingin kubicarakan
dengannya. Ada begitu banyak tempat yang ingin kukunjungi bersamanya.
Mungkin akan menyenangkan untuk saling tukar buku.
Tapi untuk saat ini, aku hanya memeluknya, menikmati kebahagiaan yang kurasakan
karena dia ada di sisiku.

Tamat.

Anda mungkin juga menyukai