Dakeshimeru
Rupanya, pesan tersebut dikirim oleh „Eina‟. Aku enggak tahu sama nama
itu. Kau bisa memasang namamu sesuai yang kau inginkan, tapi aku enggak
punya kenalan yang akan menggunakan nama sebagus itu.
"Pesan spam, ya?" Gumamku dengan pelan. Rasanya agak aneh, nih.
Biasanya pesan spam itu bakalan seperti „Anda memenangkan sepuluh miliar
yen! Anda dapat menerimanya di sini→‟ dan berjuntaian uang ada di
hadapan Anda. Atau akun dengan nama perempuan akan mengirimkan
sesuatu dengan kata-kata „Aku bersenang-senang di karaoke kemarin‟,
menggodamu buat membalas sebelum dengan cermat dibujuk untuk
mendaftar ke situs kencan, dan membayar biaya pendaftaran yang enggak
masuk akal.
Vzzzt.
Lagi, itu kayak catatan buku harian. Apa yang diinginkannya dariku?
*****
Besoknya, aku seperti biasa berada di ruang Klub Literatur sehabis sekolah.
Pintunya dibuka lebar supaya memudahkan yang mau mendaftar atau
pendatang masuk. Enggak terlihat ada yang minat, sih.
Lalu tiba-tiba, aku teringat soal pesan spam kemarin. Kulihat ponselku, dan
ada banyak pesan dari akun yang sama. Tiga pesan sekaligus, dan semuanya
itu saat sore.
Eina : Aku melihat beberapa gadis yang bertengkar di pintu masuk. Aku
bukan bagian dari kelompok mana pun, jadi aku hanya pergi begitu saja.
Aku tidak ingin terlibat.
Aku agak memahami status si pengirim ini. Pertama, Dia ini seorang gadis.
Avatar-nya adalah sepatu kaca yang seperti di Cinderella, dan nama Eina
juga kelihatan feminim. Usianya mungkin sekitaran anak SMP atau SMA.
Dia mahir dalam pelajaran Bahasa Jepang, dan kurang mahir dalam
Pelajaran Olahraga. Ia juga enggak masuk kelompok mana pun, jadi
mungkin bukan tipe orang yang suka berkelompok.
Aku ingin melihat ekspresinya kalau kubalas, tapi bagian diriku yang
berpikiran tenang membuatku urung untuk membalasnya.
Dari awal aku enggak tahu apa ia itu beneran seorang gadis. Bisa saja om-om
yang berpura-pura. Kau pernah dengar hal semacam itu, om-om yang
berpura-pura jadi wanita yang mau menerima lelaki.
Kulitnya putih, hidung halus, dan rambut panjang yang mengkilap. Sosoknya
juga mengagumkan. Penampilannya lumayan bagus hingga ia bisa
membayangi kata „cantik‟ itu sendiri.
Rasanya suaraku agak heboh, tapi sama sekali bukan karena ketua cantik.
Klub Literatur saat ini sedang mencari anggota baru. Sekarang sudah bulan
September, jadi sudah bukan musimnya, tapi klub kami belum mempunyai
satu pendaftar pun semenjak April, jadinya kami masih mencari anggota
baru.
Hanya aku sajalah kelas dua saat ini, sehingga masa depan kami terancam.
Sebentar lagi aku harus fokus untuk menghadapi ujian universitas, jadi aku
juga harus meninggalkan klub.
"Tentu saja bukan, mana ada kelas dua yang baru mau bergabung di
sepanjang tahun ini."
"Meski kelas dua juga aku enggak keberatan, kok? Sekarang ini, aku akan
menerima siapa pun." Aku mencoba untuk tetap teguh, dengan senyuman
lara di wajahku. Dia bukannya kasar atau apa, hanya berkata apa adanya
saja. Setengah tahun yang kami habiskan sebagai teman sekelas membuatku
tahu banyak hal.
"Kau juga suka buku, „kan? Kalau begitu, kegiatan kami bakalan coc—"
"Aku tak punya waktu untuk oborolan yang tak ada gunanya, jadi aku akan
langsung ke intinya saja," Sela ketua yang menyela perkataanku dengan
dingin. Lalu, mengatakan sesuatu yang mengejutkan dan tak bisa dipahami,
"Kemas segera barang-barangmu dan angkat kaki dari sini."
"Hah?"
"Seenaknya sekali!"
"Ada banyak hal yang akan ada gunanya di ruangan klub. Ketimbang
memberikan ruangan pada klub sepertimu yang nyatanya tak berbuat apa
pun, kami memutuskan bahwa akan lebih baik untuk memberikan ruangan
pada klub yang mempunyai banyak anggota dan benar-benar akan
melakukan berbagai hal. Penasehatmu juga sudah menyetujuinya."
"Oi, tunggu sebentar, kami juga melakukan banyak hal, kok. Sekarang aja
aku sedang mencari anggota baru."
"Ah, itu....”
Itu „ngena banget. Tiap tahunnya, Klub Literatur mempublikasikan sebuah
antologi yang mereka sebut „Edisi Menyambut Anggota Baru‟ tapi kami
belum membuatnya tahun ini. Enggak ada naskah apa pun.
Alasannya sederhana.
Dengan enggak adanya kelas tiga dan kelas satu yang bergabung, hanya
menyisakan aku seorang yang melakukan kegiatan. Dan karena aku enggak
bisa menulis naskah, jadi mana mungkin aku bisa mempublikasikan buku
itu.
"Kau juga belum mempublikasikan apa pun sebelum liburan, apa kau masih
bisa menyebut itu melakukan kegiatan klub?" Aku enggak bisa
menimpalinya. Ketua sudah menyimpulkannya, dia datang karena
memahami semua keadaannya. Kami sudah enggak punya alasan apa pun
lagi. "Sekarang cepat kemasi barang-barangmu. Kalau kau meninggalkan
barang-barang yang tak kau inginkan, OSIS akan membuangnya."
Ruang klub ini sangat berarti bagiku. Aku datang ke mari tiap hari
semenjak April saat kelas satu.
Beginilah strategiku. Akan ada festival budaya di awal Oktober. Itu adalah
tradisi untuk mempublikasikan edisi buat festival budaya, tapi itu
membuatku bisa mendapatkan catatan. Aku berencana untuk
mendapatkannya dari kelas tiga yang sudah meninggalkan klub supaya
memberikan catatan untuk masa-masa terakhir kehidupan pelajar mereka.
Kalau aku bisa mempublikasikan buku, mereka enggak bakalan bisa lagi
mengatakan klub yang enggak melakukan apa pun.
"Kalau begitu, bisa kau melakukannya dalam dua minggu? Kalau kita
membersihkan ruangannya dengan sungguh-sungguh sebelum festival
budaya dimulai, maka takkan ada masalah."
"Eh....."
Aku enggak bisa berkata apa pun. Itu adalah waktu terburuk buatku. Apa dia
sengaja melakukannya.....?
"Lah? Kurasa kau akan mulai menghubungi mereka hari ini, kau bisa
menyelesaikannya tepat waktu dengan mudah. Kau hanya tinggal
memposkan barang-barangnya."
.*****
Aku sudah mencoba menulis novel sendiri. Itulah alasan awalku bergabung
dengan klub, aku sudah menghabiskan banyak waktu untuk membaca dan
menikmati novel, aku ingin menulisnya sendiri.
Akan tetapi, tiap kali aku memutuskan untuk menulis sesuatu dan duduk di
hadapan laman kosong atau layar komputer, aku enggak bisa menulis satu
huruf pun.
Lalu kumulai membaca lusinan buku seperti Cara Menulis Novel! Tapi itu
enggak membantu. Aku mencoba melakukan apa yang disarankan buku, tapi
enggak ada yang membantu.
Jadi singkatnya, pekerjaanku ini untuk membuat tempat yang bisa membuat
para kreator makin mahir.
Eina : Aku punya senjata untuk melawan noda. Aku akan menang
sekarang!
Aku terkejut karena tipisnya antara kegembiraan dan kurangnya gairah yang
muncul hingga sekarang.
Mati?
Mengapa?
Harusnya enggak aneh buat seorang gadis yang di masa remaja sepertinya
mengirim pesan dalam kurun waktu tersebut.
Shuu : Kau enggak boleh mati. Apa terjadi sesuatu? Aku akan memberimu
saran.
Sudah kubalas sekali, dan kini aku mulai terlibat makin jauh. Kurasa, bisa
dibilang ini meneladani pepatah „untuk satu sen, untuk satu pond‟ mungkin?
Selain itu, aku juga penasaran spam macam apa ini, jadi ini bakalan berhasil.
Aku langsung bisa melihat seorang gadis yang meminta maaf menundukkan
kepalanya dengan panik. Dia kelihatannya aktor yang bagus.
Shuu : Eh, enggak apa-apa, kok. Jadi, kenapa kau ingin mati?
Kuputuskan untuk meneruskannya, berbicara dengan seorang gadis yang
ingin bunuh diri, setidaknya seperti itulah pengaturannya. Lalu aku pun
menunggu balasan, pasti alasannya akan serupa seperti anak gadis yang
ditolak.
Lalu.....
Eina : Hidup terasa menyakitkan, tak ada alasan yang meyakinkan buat
hidup, jadi kurasa mending mati saja.
Shuu : Tapi kalau kau mati, orang-orang akan merasa sedih, seperti teman
dan keluargamu.....
Mungkin aku sudah menyinggungnya, aku enggak kenal sama gadis yang
menyebut dirinya Eina ini, atau situasinya, jadi aku enggak boleh bicara
sembarangan.
Aku berpikir begitu dan tersenyum erat. Kurasa aku sudah mendapat kesan
bahwa dia ini memang seorang gadis.
Dengar Shuu, ini cuman salah satu akal-akalan mereka aja. Bagian diriku
yang berpikiran tenang mendesakku. Tapi bagaimana kalau satu dari sejuta
peluang itu benar, dan memang ada seorang gadis yang mempertimbangkan
untuk bunuh diri? Haruskah aku berbuat sesuatu?
Kalau itu enggak benar, yah enggak apa. Kalau ini lelucon pun, juga enggak
apa. Tertawakan saja aku sesukamu.
Shuu : Kalau kau mati dan berubah pikiran, kau enggak akan bisa kembali,
apa kau yakin?
Tapi apa yang terpikirkan itu menyedihkan dan aku sedikit merosotkan
tubuhku. Aku ragu kata-kata yang dangkal itu akan menghentikan seseorang
yang sedang berpikir untuk bunuh diri.
Eina : Kalau mati pun aku takkan berubah pikiran. Aku hanya akan jadi
mayat.
Dia menikmati membaca, tapi ada terlalu banyak rasa sakit dalam hidup—
Seandainya dia bisa menemukan alasan untuk hidup, itu sudah cukup, tapi
menemukan satu alasan dalam waktu yang singkat akan—
"Tunggu sebentar....."
Dia suka membaca?
Kalau dia enggak punya alasan untuk hidup, aku akan membuatnya.
Shuu : Aku ganti topiknya, apa kau pernah merasa ingin menulis buku?
Shuu : Itu penting. Klub Literatur-ku enggak punya banyak penulis, sehingga
kami enggak bisa mempublikasikan apa pun. Aku sedang mencari seseorang
yang mau menulis buat kami. Kau tertarik? Kau suka membaca, bukan?
Eina : Uh, tertarik sih, tapi aku belum pernah menulis cerita.
Shuu : Sejauh ini kau sudah menulis dengan begitu baik, aku yakin kau akan
baik-baik saja. Kalau kau mencoba dan engggak berhasil juga enggak apa,
kok.
Eina : Tapi beneran boleh, nih? Aku bukan anggota atau apa pun, dan aku
bahkan bukan murid sekolahmu.
Shuu : Secara teknis mungkin masalah, tapi akan kulakukan sesuatu soal itu.
Kupikir menggunakan nama pena enggak akan jadi masalah. Aku akan
memikirkan beberapa alasan seperti salah satu anggota menulisnya dengan
tanpa nama atau semacamnya. Selain itu, bagiku ini hidup dan mati juga.
Kalau aku enggak bisa mempublikaskan sesuatu dalam waktu dua minggu,
OSIS akan mengambil ruang klub kami.
*****
Keesokan harinya, terdapat pesan tunggu dari Eina dengan melampirkan
berkas teks.
Kurasa itu adalah plot atau latar pada umumnya, dan saat membukanya aku
pun terkejut.
"Beneran, nih?"
Ada sekitar lima ribu kata, sempurna untuk sebuah cerita pendek.
Shuu : Terima kasih buat naskahnya! Naskahnya bagus, apa kau menulis itu
semua semalam?
Selagi masih mengenakan piyama, aku mengirimi Eina pesan. Seketika itu
juga, balasannya pun tiba.
Kupikir dia itu anak SMP atau SMA, tapi apa mungkin dia itu Mahasiswi?
Itu adalah kisah yang cukup menyedihkan, tapi ditulis dengan begitu baik
hingga membuat hatiku tersentuh.
Aku mungkin berkata begitu untuk menghargainya, tapi kurasa itu adalah
tulisan yang mengagumkan. Kalau kau tanya mengapa aku mencatat cara
untuk memperbaikinya jika itu sudah mengagumkan, karena aku yakin itu
akan jadi lebih mengagumkan.
Semua penulis pun bilang, bahwa sulit untuk bisa menulis naskah komplet
sekaligus. Contohnya, sekalipun seorang penulis merasa apa yang sudah
ditulisnya itu masuk akal, enggak semua orang bisa membacanya dengan
jelas dan mungkin ada kesalahan yang enggak terduga dalam ungkapan.
Adanya orang lain yang memeriksa sangatlah efektif untuk meningkatkan
pekerjaan.
Hingga kini, aku sudah berbicara secara langsung dengan para penulis di
ruang klub, tapi.... Dengan Eina, kami enggak bisa bertemu.
Aku masih curiga dia itu penipu, aku bahkan enggak tahu usianya atau
apakah dia itu sebenarnya memang seorang perempuan. Bahkan, mungkin
saja dia itu orang yang berbahaya. Selain itu, aku juga enggak tahu tempat
tinggalnya. Kalau dia tinggal di Hokkaido atau Okinawa, maka kami enggak
akan bisa bertemu dengan mudah karena aku tinggal di Chiba.
"....."
Dengan berpikiran begitu, kulihat naskah pada layar ponselku lagi.
Aku yang termenung, berpikir bahwa kami enggak bisa bertemu, tapi dalam
lubuk hatiku, aku ingin menemuinya.
Aku hanya ingin bertemu dan berbicara dengan orang yang sudah menulis
sesuatu yang mengagumkan.
Enggak tahu kenapa, tapi aku langsung merasa enggak nyaman dan segera
menyadari tanda-waktunya aneh.
Sekarang ini sudah tahun 2018, jadi tepat lima tahun yang lalu.
Apa dia bohong soal begadang semalaman dan mengirimkan yang sudah dia
tulis sebelumnya?
Tapi mau diapakan pencapaiannya itu? Selain itu, hasil akhirnya juga
kelewat bagus....
Eina : Beneran?
Shuu : Enggak usah minta maaf. Hal seperti ini wajar, kok.
Percuma, itu enggak muncul lewat teks. Kalau „gini, itu enggak bakalan
terselesaikan.
Lalu—itu terhubung.
《Halo?》
Suaranya sedikit lebih tinggi dari yang kubayangkan saat kami mengobrol,
dan terdengar jelas.
"....."
《.....》
"Jadi."
《Umm.》
《Y-ya.....》
Meski lewat ponsel, aku tahu dia sangat gugup. Mungkin dikiranya aku ini
marah?
"Ini baru pertama kalinya buatmu. Kalau kau enggak mau merevisinya, kau
bisa memeriksa kesalahan pengetikan dan mencetaknya apa adanya. Aku
enggak menemukan sesuatu yang mencolok, kok."
《Tidak! Kau sudah berupaya keras untuk meyuntingnya, aku akan berusaha
keras untuk merevisinya!》
Suaranya jauh lebih semangat dari sebelumnya, dan aku tenang. Bicara
sebenarnya sangat penting.
《Umm, boleh aku mengajukan beberapa pertanyaan?》
"Tentu saja!"
《Apa yang dimaksud dalam komentar pertamamu..... saat kau bilang ingin
lebih banyak gambaran dari keadaan psikologis si protagonis?》
"Ah, yang itu. Kurasa mungkin bakalan lebih baik lagi kalau kau mengatakan
lebih banyak soal alasan mengapa dia membiarkan hantu itu meminjam
tubuhnya. Dengan begitu, akan lebih banyak empati, „kan?"
Dan begitulah percakapan itu berlalu dengan lancar, hingga kami selesai.
《Tidak apa!》
Lalu kami pun membahas naskahnya beberapa kali selama akhir pekan, dan
novelnya Eina pun rampung.
*****
Hari itu adalah hari Senin, dan kami berada di ruang klub.
Dia adalah anak kelas tiga di Klub Literatur. Dia adalah seorang wanita
dengan rambut penuh gelombang, dan senyum ramah yang mempesona. Dia
tenang dan berbicara dengan santai, sehingga bersamanya terasa agak
tenteram.
"Aku mendapatkannya dari seorang kenalan." Jawabku pada Ruka-senpai
yang menyimpan tatapan penuh tanya.
"Kenalan? Siapaaa?"
"Mgh."
Ruka-senpai benar-benar ingin tahu soal si penulis, namun aku enggak bisa
bilang „Aku mendapatkannya dari seseorang yang kutemui di aplikasi.‟ Aku
enggak mau membuatnya khawatir, bahwa aku mungkin ditipu.
"Ini agak mendadak, tapi bisakah kamu buatkan sampul ilustrasi dan
desainnya?"
Ada dua anggota kelas tiga lainnya yang sebagian besarnya menulis.
Kebetulan, mereka termasuk orang-orang yang sudah berhenti untuk fokus
pada ujian mereka.
"Enggak apa, kok. Selain ingin membantumu, aku juga akan sedih kalau kita
kehilangan ruangannya."
"Permisi."
Kuketuk pintu, dan masuk ke dalam. Semua anggotanya sedang bekerja di
mejanya. Kelihatannya mereka semua sibuk, jadi enggak ada yang datang
buat mengurusiku.
Aku juga enggak lagi buru-buru, jadi kutunggu saja dengan nyantai di pintu.
"Baik. Aku akan pergi dan bicara pada Klub Bisbol dan...."
Ketua lagi bekerja di meja bagian dalam. Aku enggak bisa menahan diri
untuk menatap ke tempat tersebut.
"Klub Literatur?"
"Ya, kosong."
Dia berputar dengan tumitnya, dan mengambil buku catatan dari rak-rak.
"Tuliskan kelas dan namamu di sini, dan kapan kau akan menggunakannya."
Kutuliskan seperti yang dikatakannya.
"Tidak, kok."
"Baiklah. Aku akan membahasnya saat rapat besok. Tapi ada satu syarat
lagi."
"Syarat?"
"Kenapa?"
"Tidak ada ruginya buat usaha sebanyak itu, bukan? Bagaimanapun juga,
aku sudah bilang akan merusak sesuatu yang sudah diputuskan."
Kurasa itu malah menambah beban kami, tapi kalau bisa memenuhi syarat
itu, kami bisa mempertahankan ruang klub kami, aku bisa langsung
menjawabnya.
Saat kami selesai, dia pun kembali ke mejanya tanpa „pamit‟ dan karenanya,
aku bahkan enggak sempat berterima kasih padanya.
Dia selalu begitu terus terang. Aku tahu dia adalah orang yang realistis, tapi
setidaknya dia tersenyum pada orang-orang yang lagi di hadapinya, tapi dia
masih terlihat sangat jengkel padaku.
Gumamku sambil berjalan melewati koridor. Aku enggak bisa menahan diri
untuk memikirkan kembali pertemuanku dengannya.
Saat itu adalah hari pertama sekolah. Kuakui kalau aku ini adalah seorang
kutu buku dan penasaran dengan buku-buku di sekolah yang kumasuki, jadi
kupergi ke perpustakaan saat hari berakhir. Aku suka membaca di ruangan-
ruangan dan di perpustakaan, keduanya mempunyai kesan yang bagus saat
dipenuhi dengan buku-buku. Bau debu dari buku-buku lama membuatmu
seperti tengah diselimuti buku-buku, sehingga mempunyai pesona yang
berbeda dari toko buku.
"Oh!"
Aku menemukan salah satu buku Sci-Fi kesukaanku, dan secara enggak
sadar mengulurkan tanganku pada buku tersebut.
Itu adalah buku Sci-Fi yang berurusan dengan waktu, yang disebut The Door
Into Summer.
Tanganku terhenti, karena adanya tangan lain yang juga menggapai buku
tersebut.
"Silahkan."
"Ya."
"Begitu, ya. Aku bergabung dengan Klub Literatur, jadi mari kita teruskan
kalau kau bergabung."
"..... Akan kuingat."
Aku masih belum melupakan senyuman lembut dan ramahnya itu. Pada
akhirnya, dia enggak bergabung dengan Klub Literatur dan aku sering
kehilangan kesempatan untuk berbicara dengannya. Bisa dibilang, hari itu
adalah hubungan pertama dan terakhir kami.
Lalu, saat di mana kami bertemu lagi adalah saat kelas dua di kelas yang
sama, dia nampak memperlakukanku dengan kasar. Kami hampir enggak
pernah bicara, jadi aku enggak tahu kenapa dia tiba-tiba membenciku. Hidup
teh bener-bener penuh misteri.
*****
Hari ini adalah hari Sabtu, dan aku bisa mendengar para anggota klub
olahraga dari luar.
Ruka-senpai sudah mengirimkan ilustrasinya saat Jumat pagi, dan aku pun
sudah menata cetak semuanya dari sehabis sekolah hingga pagi ini. Teks-nya
sendiri sudah rampung, tapi itu memerlukan waktu hingga pagi.
Aku sudah tidur sejenak sebelum pergi ke ruang pencetakan, jadi sekrang
sudah tengah hari.
Aku menyantap makan siang yang sebelumnya kubeli di toko, lalu mulai
bekerja dengan sungguh-sungguh.
Lalu,
Vrr vrr.
《Halo, Shuu-san?》
"Halo."
"Makasih."
《.....》
"....."
"Karena kita saling enggak tahu apa-apa, jadi mari kita saling mengenalkan
diri. Eina suka buku yang seperti apa?"
《Hmm.... Selain kisah romantis, aku juga suka yang berbau-bau fantasi,
seperti dongeng. Kamu sendiri?》
"Eina sendiri?"
《Aku suka yang manis-manis! Kue, crim, choux, dorayaki, anmitsu....》
"Enggak, tuh."
Tiba-tiba, wajah ketua muncul di benakku, dan aku pun langsung tersenyum
masam.
Dia memang cantik, tapi dia itu di luar jangkauanku. Aku cuman bisa
mengaguminya dari jauh. Kalau mungkin, aku bener-bener kagak ingin
berbicara dengannya.
Rasanya sulit buat melihat tingkahnya yang seakan membenciku saat kami
saling berbicara berhadapan.
"Orang yang kayak „gimana? .... Hmm, aku kurang tahu. Aku hampir enggak
tahu apa-apa mengenainya."
Mendengar dia yang agak kesepian membuat hatiku sakit. Cinta bertepuk
sebelah tangan ya.... memang berat.
《Terima kasih. Buat saat ini aku baik-baik saja, kok. Tapi saat itu terjadi,
mohon bantuannya.》
Enggak terasa, waktu pun berlalu dengan cepat saat aku meneruskan obrolan
yang enggak jelas itu dengan Eina, dan buku-bukunya juga sudah dijilid
sepenuhnya saat aku enggak sadar matahari sudah terbenam.
*****
Hari itu adalah hari Senin, buku-bukunya pun sudah di tempatkan di sebelah
papan pemberitahuan dengan aman. Aku langsung menuju ke ruang OSIS
begitu mereka sudah mulai bekerja.
"Terima kasih, kami juga takkan mengambil ruang klubmu seperti yang
sudah kujanjikan."
"Baik."
Aku pun meninggalkan ruangan OSIS dengan keberhasilan.
*****
Semua orang ingin tahu siapa orang yang sudah menulisnya, dan nampaknya
banyak orang yang membaca ketimbang biasanya. Contohnya, Sakai Keisuke
sang andalan Klub Surat Kabar yang mengampiriku selagi aku makan siang
pas hari Rabu.
Sakai dan aku sudah melakukan banyak hal bersama karena kami sudah
sekelas semenjak kelas satu, tapi sebelumnya dia belum menunjukkan
batang hidungnya di ruang klub.
"Eina itu siapa? Anggota baru? Nama samaran kakak kelas? Atau malah
kamu sendiri?"
Malahan, aku enggak bisa bilang meskipun aku ingin, karena aku hampir
enggak tahu apa-apa mengenainya.
"Ayolah, kita ini teman, „kan? Bos mengancamku untuk kemari dan
menanyakan siapa orangnya!"
Sakai berlutut memohon padaku. Terlihat agak menyedihkan, tapi kalau aku
enggak bisa bilang, ya enggak bisa.
"Dasar kejam."
Sulit buat nenangin Sakai yang nangis, tapi aku senang buklet-nya populer.
Aku ingin memberitahu Eina sekarang juga, jadi kuusir Sakai dan
mengiriminya pesan.
Biasanya aku enggak mendapatkan pesan dari Eina selagi dia sekolah, jadi
mungkin dia mengirimnya saat dia sudah pulang ke rumah. Mungkin di
sekolanya ponsel dilarang.
Shuu : Beneran! Klub Surat Kabar datang buat meliputnya. Mereka ingin
tahu siapa yang menulisnya! Aku mengelaknya, sih.
Eina : Itu berjalan lancar?!
Aku bisa merasakan kegembiraaanya dari layar. Lalu, aku teringat sesuatu
yang penting.
Shuu : Oh iya, aku lupa. Harus kuapakan sama buku yang sudah jadinya ini?
Mau aku poskan saja?
Eina : Diposkan.... mungkin agak bermasalah.
Shuu : Kayaknya kau enggak mau memberithukan alamatmu.
Tentulah dia enggak mau. Sejauh yang diketahuinya, aku ini cuman orang
yang enggak dikenal.
Hatiku terasa melompat begitu melihat pesan itu. Aku akan ketemuan sama
Eina—
Eina : Ah! Maafkan aku! Aku belum sempat tanya tempat tinggalmu.
Eina mengirim pesan lainnya selagi aku enggak tahu harus balas apa.
Eina : Aku tinggal di Chiba, jadi kalau di sekitaran Kanto harusnya bisa.
"Ehh?!"
Aku enggak bisa menahan diri untuk berteriak karena terkejut. Eina juga
tinggal di Chiba?!
Apa kebetulan semacam itu beneran ada? Untuk suatu alasan, jantungku
berdegup kencang.
Karena dari tadi hanya Eina yang terus mengirimi pesan, jadi dengan
terburu-buru kubalas saja dengan tempat tinggalku.
****
Mungkin karena hari Sabtu, stasiun itu pun ramai. Tempatnya bersih dan
teratur karena sudah direparasi dua tahun yang lalu, dan pas buat
mengamati orang-orang.
Aku sampai di pembatas tiket sepuluh menit sebelum waktu yang dijanjikan.
Shuu : Aku sampai sedikit lebih awal, nih. Aku ada di depan tiang, pake
mantel hitam dan celana jengki, aku masih remaja.
Eina : Aku juga. Eh, tiang....? Umm, di mana?
Shuu : Di depan pembatas tiket. Tepat di sebelah kananmu di jalan keluar.
Eina : Yang bener.... coba angkat tanganmu?
Kulihat ke sekeliling. Ada banyak gadis remaja, tapi enggak ada yang lagi
mencari-cari.
Aku merengut.
Dia mungkin main-main denganku, atau berada di tempat lain dengan nama
yang sama. Hanya ada satu Stasiun C di Chiba, sih.
Aku ditipu.
Kau bisa dengan mudah memalsukan hal semacam ini. Contohnya, kalau
mengambil pesan awal padaku seperti „seorang gadis yang tinggal di tahun
2013‟, dari sana bakalan mudah untuk mengikutinya.
Tapi untuk suatu alasan, aku enggak bisa meragukan Eina. Apa dia beneran
seseorang yang bakalan berbohong begitu? Jadi—
Aku berulang kali membaca „2013‟. Enggak ada kesalahan. Bisa saja itu
bohong. Tapi aku ingin mempercayainya, jadi.... aku berbicara dengan jujur.
****
Aku pergi ke taman terdekat dan menelepon Eina selagi duduk di bangku.
Rasanya makin menjengkelkan bicara lewat teks.
"Ini Shuu. Apa buatmu beneran tahun 2013? Kau enggak menipuku, „kan?”
Tanyaku dengan terus-terang.
Dia terdengar kesal. Aku bisa membayangkan seorang anak SMA yang
cemberut padaku.
"Bisa saja kau ini teman sekelas yang harus mengerjaiku karena semacam
hukuman."
《Kau terlalu banya berpikir. Selain itu, aku sudah berteriak „penipu‟ dan
yang lainnya akan muncul sekarang, „kan?Aku tak perlu melanjutkan, „kan?
》
Memang benar.
《Kupikir kamu juga mungkin menipuku, tapi aku tak bisa memikirkan
alasan kamu melakukannya, jadi kurasa aku harus menerimanya sebagai
kebenaran.》
"Memangnya mungkin „gitu buat bicara dengan seseorang dari lima tahun
yang lalu?"
《Mau itu mungkin atau tidak, setidaknya kita tak bisa bertemu dan
berbicara.》
Kukeluarkan buku itu dari tasku dan menatapnya. Aku enggak bakalan bisa
memberikannya pada Eina.
Ini memang memalaukan... aku bisa membuatnya menjadi PDF dan
mengirimkannya? Mungkin enggak seperti punya yang asli, tapi masih lebih
baik daripada enggak sama sekali.
"Aku bisa bertemu dengan dirimu di lima tahun mendatang. Maaf, tentunya
kau harus menunggunya."
Memang enggak sampai seratus atau dua ratus tahun, tapi hanya lima tahun.
Dalam lima tahun, tentu saja anak SMA sepertiku akan menjadi orang
dewasa, jadi itu waktu yang lama, tapi enggak sebegitu lamanya hingga kami
harus menyerah untuk bertemu. Atau enggak harus begitu juga, tapi untuk
suatu alasan, Eina terdiam.
"Eina?"
"Kau enggak berbuat salah apa-apa, kok. Maafkan aku karena sudah
membicarakan soal itu."
Eina.... sekarat?
《Eh? Tidak, aku tidak sakit, kok. Ini cuman seumpamanya saja. Kalau aku
mati, ya tak apa. Mungkin itu sudah nasib burukku. Ada banyak hal yang
lebih buruk ketimbang kematian.》
Orang bisa hidup dengan normal karena mereka enggak meragukan hal itu.
Tapi Eina bilang dia mungkin akan mati.
Mengapa?
《Pasti kalau sesuatu yang buruk sudah terjadi padaku di masa depan, kamu
akan menyembunyikannya. Tapi aku mungkin bisa tahu dari suaramu, jadi
aku takut. Maafkan aku.》
Mungkin itu enggak ada hubungannya. Tapi aku enggak bisa bertanya, masih
ada jarak yang terlalu jauh di antara kami. Aku enggak tahu apa aku bisa
mengajukan semacam pertanyaan yang mengusut seseorang yang belum
pernah kulihat sebelumnya.
《Ya! Ayo!》
Mungkin karena aku bicara seceria yang kubisa, suara Eina kembali
bersemangat
****
Sebuah pesan pun tiba dari Eina selagi aku tengah rebahan di kamarku
semalamnya.
"Halo."
《Halo, Shuu-san?》
《Kupikir kita harus punya beberapa aturan karena aku berasal dari lima
tahun yang lalu.》
"Aturan?" Aku merengut.
《Ya, supaya tak mempengaruhi masa lalu. Demi yang terbaik, kupikir kita
jangan terlalu banyak mengubah masala lalu. Itu sering muncul di Sci-Fi,
„kan?》
"Ya, itu benar. Jadi kau enggak mau berbicara denganku sesering ini?"
"Cuman bercanda."
《Mgh!》
Aku tertawa, tapi sepertinya dia cemberut saat percakapan di ponsel lain
berakhir.
"Maafkan aku."
"Kenapa?"
《Kalau kamu tahu banyak hal mengenaiku, ada kemungkinan kamu bisa
mengubah masa depanku, „kan》
"Mau bagaimana lagi, karena aku orang yang ada di masa depan."
《Harusnya aku bisa memberitahumu soal masa lalu, jadi kalau ada yang
ingin kau ketahui, beritahu saja aku.》
"Seperti apa?"
"Enggak usah khawatir. Akulah orang yang ada di masa depan, jadi kau
enggak bisa mengubahnya."
Beeeep.
Tiba-tiba, panggilan terputus.
"Eina?"
Kutelepon balik, tapi enggak terhubung. Usai sepuluh menit, ada panggilan
datang darinya.
Saat aku memikirkannya, aku menyadari sesuatu. Aku enggak mau tahu soal
masa lalu. Masa lalu tidak terlalu penting. Tapi, Aku ingin tahu lebih banyak
soal Eina.
Selingan 1 - Kamar Eina
"Berisik!"
"Aku lagi baca buku dengan suara yang keras, ini PR-ku."
"Bacanya yang pelan saja. Kau pikir kau ini siapa? Kau ini penumpang! Nanti
mama marah!"
Ini adalah lemari di bawah tangga, dan kurang lebih, merupakan kamarku.
Tak ada kamar untuk seorang penumpang sepertiku ini, jadi sebagai
gantinya, aku diberikan tempat ini. Mengingat penampilannya, anehnya
kamar ini terasa nyaman. Kamarnya berada jauh dari sinar matahari
sehingga tidak panas saat musim panas, dan saat musim dingin juga masih
tetap hangat karena kamarnya kecil.
Ada kabel sambungan dari kamar sebelah untuk daya-nya, jadi tak ada
masalah.
Dan yang tepenting, bagiku, ini adalah kastilku. Tempat di mana tak ada
seorang pun yang menggangguku, dunia yang hanya untukku sendiri.
Tapi itu bukan masalah, karena membaca semua buku di sekolah akan
membutuhkan waktu yang agak lama. Aku bisa menggunakan ponselku juga
untuk membaca buku di internet.
Atau aku bisa menggunakan hotspot portable sehingga tak ada masalah juga.
Begitulah caraku menggunakan ponsel saat aku ingin bertemu Shuu-san.
Aku akan senang andai bisa mendapatkan kontrak, tapi kalau aku
mengatakannya, aku bahkan takkan diizinkan masuk ke rumah untuk
sementara waktu.
Seperi buku-buku.
Atau Shuu-san.
Benar juga, aku harus meneleponnya. Aku tiba-tiba menutupnya tadi, jadi
dia pasti curiga.
Chapter 2 – Festival Budaya Bersama Eina
Seru perwakilan kelas dari depan meja guru. Berbagai saran seperti kafe,
drama, rumah hantu, dan arkade sudah tercatat di papan tulis.
Festival budaya sudah hampir tiba, namun ada kemungkinan bahwa kelas
kami belum mengambil keputusan tepat pada waktunya, sehingga
perundingan yang kurang niat ini pun diadakan seusai jam Wali Kelas.
"Putusan akhirnya akan kuambil dari usulan-usulan ini saja, jadi angkat
tangan untuk pilihan yang paling kau inginkan."
"Drama, ya?"
"Kayaknya sulit."
"Nah, selanjutnya kita putuskan drama apa yang akan kita tampilkan."
Perhatian seisi kelas pun teralihkan pada naskah asli begitu mendengar
usulan gadis itu. Kurasa karena festival budaya hanya berlangsung setahun
sekali, mereka semua jadi bersemangat. Tapi menurutku naskah asli bakalan
terlalu sulit, jadi aku khawatir apa ini bakalan berjalan dengan lancar.
Lagian, apa yang bakalan kita lakukan dengan pembuatan keseluruhan
ceritanya?
Namun, tentunya aku tetap bungkam. Aku enggak mau merusak kesenangan
mereka sebelum kita memutuskan apa pun, karena semuanya berhak
mengutarakan pendapatnya.
"Tidak ada."
Aku menolaknya, sehingga hari itu pun kami sudahi karena telah
memutuskan untuk mementaskan drama, dan masing-masing dari kami pun
paham harus mempertimbangkan cerita yang seperti apa yang kami
inginkan. Ini harapan yang kurang jelas.
*****
Ujarku, tapi aku sadar enggak tahu apa-apa soal kehidupan sehari-harinya.
Eina : Tidak, kok. Malah tiap hari aku senggang karena tak masuk klub
atau pun ikut Bimbel, jadi kupikir menulis akan jauh lebih bermanfaat.
Shuu : Beneran?! Bagus, deh!
******
Orang yang menulis cerita tersebut harusnya bisa menuliskan sesuatu yang
bagus buat kita, „kan?
"Makasih. Nah, kalau misalnya ada yang kalian inginkan dari ceritanya,
kasih tahu saja, biar nanti menulis ceritanya jadi gampang." Tanyaku.
Harapan seisi kelas terlihat semakin meningkat, begitu pun denganku. Aku
sendiri menantikannya karena bakalan bisa baca karya selanjutnya Eina, tapi
karena itu diperuntukkan buat pentas drama kelas, jadinya aku enggak bisa
berharap banyak.
Klub Literatur punya banyak anggota, sehingga aku bisa fokus pada
pementasan kelas begitu mereka memberikanku bahan-bahannya. Anak-
anak kelas tiga bakalan bergabung bersama kelas mereka sendiri karena
harus belajar buat ujian juga, jadinya ini hubungan yang saling
menguntungkan.
Oleh sebab itu, aku punya keleluasaan sendiri untuk mengatur persiapan
Klub Literatur. Klub harus mencetak buklet, menjilidnya, dan
mendistribusikannya. Namun itu enggak masalah, karena aku bisa
menyuntingnya di rumah dan menjilidnya di ruang klub sesudah
membereskan pekerjaan kelas. Terus kalau sehari sebelumnya aku berusaha
sebaik mungkin, aku juga bisa menyelesaikan pendekorasiannya.
"Shuu, sini bentar," bisik Sakai padaku, "Apa Eina-san sekelas dengan kita?"
"Memangnya kenapa?"
"Maksudku, mana ada „kan orang yang mau menuliskan naskah untuk kelas
lain?"
Ya atau tidak bukanlah jawaban yang bagus buat pertanyaan semacam itu,
karena jawabannya itu sendiri akan memberinya informasi. Setidaknya
biarkan saja dia tahu kalau Eina enggak ada di kelas kita.
"Ya iyalah."
"Untuk punya sahib di Klub Surat Kabar, mulutmu ini kelewat rapat, Shuu."
"Bahaya buat jadi temanmu kalau mulutku ember, apa pun bisa kau
tuliskan."
"Aku juga tahu mana yang harus kutulis dan mana yang tidak."
Dia melirik ke arahku, tapi aku enggak ada niat bicara soal Eina. Lagian,
enggak ada apa pun yang bisa kuberitahukan soalnya. Tiba-tiba, hatiku
terasa sakit. Perasaan apa ini....
*****
Esok harinya
Seminggu kemudian…..
Sudah tiga hari terakhir ini aku belum mendapatkan pesan apa pun dari
Eina, jadi sepulang sekolah kukirimi dia pesan.
Shuu : Hai, apa kabar?
Biasanya aku bakalan langsung dapat balasan, aku penasaran, ada apa, ya.
Apa mungkin dia sibuk dengan festival sekolahnya sendiri? Waktu berpikir
begitu, ponselku pun berdengung.
Balasannya sempat terhenti lagi, dan baru dibalas lagi pas malamnya
sebelum aku tidur.
Kurasa menulis naskah sama cerita beda banget. Tadinya kupikir hanya akan
memerlukan waktu sekitar seminggu karena dia bisa menulis cerpen hanya
dalam semalam, tapi mungkin itu agak sulit.
Tapi, festival hanya tinggal dua minggu lagi. Kalau kami enggak segera
membuat alat-alat buat pentas dan kostum-kostumnya, nantinya enggak
bakalan keburu. Para pemerannya juga perlu latihan…
Shuu : Bisa kau kirimkan saja dulu seadanya? Jadi kami bisa membuat alat-
alat buat pentas dan kostum-kostumnya, dan bisa memutuskan pemeran-
pemerannya juga.
Eina : Eng, eng… sebenarnya…
Lalu, Eina mengirimkan pesan yang mengejutkan.
Ini gawat. Waktunya tinggal dua minggu lagi, aku enggak yakin dia bakalan
bisa menyelesaikannya. Mataku berputar saat aku kebingungan.
Aku akan bicara sama Ruka-senpai. Dia mungkin kenal sama seseorang
yang kelasnya juga mementaskan drama. Kalau kami bisa meminjam
naskahnya dan mementaskannya… Selain itu, naskahnya bakalan
disiapkan oleh seisi kelas…
Ada pesan lainnya lagi dari Eina, dan aku sadar belum membalasnya.
Shuu : Maaf, Eina. Aku lupa balas. Enggak apa, akan kuberitahukan saja
sama yang lainnya kalau itu kebanyakan dan terlalu sulit buat
menyelesaikannya tepat waktu, aku akan cari yang lain saja.
Eina : Eh!!
Shuu : Enggak apa, mereka bakalan ngerti, kok. Dari awal kau hanya sukwan.
Vzzzzt, vzzzzt.
Ponselku bergetar lama sebanyak dua kali. Itu telepon dari Eina.
"He-Hei…"
Eina nangis. Suaranya gemetar, dan menangis tersedu-sedu berulang kali.
Aku gelagapan, mungkin harusnya aku enggak tiba-tiba menolaknya begitu.
Mungkin dikiranya aku ini marah.
"Eina, aku sama sekali enggak marah, kok. Kau enggak usah khawatir, lagian
kami sendirilah yang memaksamu, enggak apa kok kalau kau memang
melakukannya sesuai dengan kecepatanmu sendiri."
"Tapi...."
"Eina. Aku enggak bicara dengamu karena kau menulis novel atau drama,
lo?"
《Eeeh?》
"Tentunya yang kau lakukan itu memang hebat, tapi kalau enggak juga
enggak apa-apa. Lagian, aku sendiri enggak bisa menulis."
"Kenapa harus kecewa? Mau kamu menulis atau enggak, kau ya kau, yang
berharga—"
"Berharga?"
Kali ini aku berhasil mengucapkannya. Itu sungguh niat sejatiku. Berbicara
dengan Eina sangat menyenangkan. Makanya, aku merasa sedih sewaktu
enggak ada kabar darinya selama tiga hari lalu. Sampai-sampai mengobrol
dengannya sudah menjadi bagian dari hidupku.
《Shuu-san.....!!》
Eina terdengar seperti ingin berteriak dan menangis saat telepon di pihak
lain berakhir.
"Begitu lama?"
Aturan, supaya aku enggak tahu banyak soal Eina. Jadi, aku enggak bisa
mengira siapa dia. Tapi…
《Aku sudah tak punya ibu dan ayah, mereka sudah meninggal.》
"….…"
Aku ingat dia pernah bilang, „Bagaimana kalau aku mati setelah lima tahun?‟
Eina paham betul kalau enggak bakalan ada yang tahu kapan
kebahagiaanmu akan hancur.
*****
《Eng, Shuu-san?》
"Ya?"
《Soal naskahnya.》
"Eh?"
Aku enggak bisa melihat wajahnya. Namun, rasanya aku bisa melihat
senyumannya.
Waktu kubangun paginya, aku mendapatkan pesan dari Eina. Pesan tersebut
berisikan naskahnya. Sekujur tubuhku memerah karena bersemangat.
Shuu : Makasih, sekarang dramanya sudah mulai bisa disiapkan. Maaf sudah
memburu-buru.
Eina : Aku hanya tak bisa berhenti begitu aku mulai menulis!
Shuu : Eina, kau benar-benar punya bakat menulis.
Anehnya, aku enggak merasa cemburu. Malah, aku senang bisa membaca
apa yang ditulisnya.
Naskahnya menarik.
Mungkin karena dia sadar naskahnya buat drama, jadi genrenya benar-benar
fantasi, atau juga bisa dibilang dongeng.
Sang protagonis ialah seorang gadis remaja yang ditindas oleh ibu dan
tetehnya, tidak punya teman, dan hidup dalam keputusasaan. Putus asa akan
hidupnya sendiri, dia pun ingin mengakhirinya.
Namun, di hadapannya tiba-tiba muncul seorang iblis yang terluka. Iblis
tersebut dianiaya oleh manusia, dan si gadis yang baik hati itu pun hatinya
tergerak untuk menyembuhkannya.
Dan cobaan terakhir, gunakan belati di peti harta karun tersebut dan
menyerahkan tumbal pada para dewa.
".... Yagi."
"Ya?"
Kuangkat kepalaku dan guru bahasa Inggris menatapku. Aku sama sekali
enggak menyadarinya mendekat. Aku bisa dengar murid-murid lainnya
tertawa, rupanya pelajaran sudah dimulai.
"Maafkan aku!"
Itu adalah Ketua. Dia agak memelototiku dengan tampang dingin. Aku
menggigil dan membuka buku pelajaran.
"Ahem."
"Dasar, kau ini memang tipe orang yang asik sendiri, ya?"
"Aku?"
Tanya balikku.
"Kau tidak menyadarinya?" Sakai mengangkat bahu.
"Kau tidak sadar yang lain menyapamu pagi ini? Mereka ada yang bilang
„hebat, jadi ini naskahnya!‟ atau „kita harus berterima kasih sama Eina‟. Dan
kau hanya mengabaikan mereka semua."
"Tidak usah, yang lainnya juga tahu kau lagi membaca naskahnya dengan
serius."
Selagi kami mengobrol, perwakilan kelas muncul di depan meja guru, dan
perundingan kelas pun dimulai. Naskahnya sudah ada, sehingga kami mulai
betul-betul mempersiapkan dramanya. Saat istirahat makan siang nanti akan
kucetak naskahnya dan membagikannya pada yang lainnya.
Hari ini kami akan merundingkan pembagian tugas-tugasnya. Tentu saja itu
juga termasuk pada tokoh-tokohnya, tapi bakalan ada juga yang ditugaskan
buat kostum, peralatan pentas, dan penyetelan. Semuanya harus punya tugas
masing-masing. Memberikan tanggung jawab tetaplah penting, jadi orang-
orang yang masih nganggur bakalan ikut membantu beberapa hal yang
belum beres.
"Kalau tak ada yang mau, aku akan memainkan pemeran utamanya."
"Bagus, tuh!"
Sarannya pun disetujui. Kurasa dia memang cocok, kesan seorang gadis fana
sangat cocok dengan kecantikannya.
"Kenapa?"
"Dialah satu-satunya orang yang berbicara dengan si penulis, jadi di kelas ini
dialah yang paling memahami dramanya. Makanya, peran pangeran harus
dimainkan olehnya," Ucap Ketua yang menatapku dengan mata dingin.
Nyaris seperti bilang kalau itu adalah tugasku.
"Berjuanglah, Yagi-kun!"
******
"Yo, Casanova."
"… Hentikan."
"Seperti apa katanya, dia itu „kan tipe orang yang bicara apa adanya."
"Aku sih khawatir kau dimanfaatkan untuk membuat orang lain cemburu."
"Jangan lebay, deh."
"Bukannya lebay, tapi dia itu orang yang paling populer di sekolah kita,
„kan?"
Memang sih dia itu cantik, tapi aku enggak nyangka dia sepopuler itu.
"Wajar sih kalau kau tidak tahu, lagian kau ini bukan tipe orang yang menilai
gadis-gadis," Ujarnya sembari tersenyum kambing, "Selain tampangnya,
menjadi Ketua OSIS saja sudah cukup membuatnya populer. Kalau kita
mengadakan kontes kecantikan, dia pasti akan memenangkannya dengan
mudah."
"Iya sih, kebanyakan orang, apalagi yang sok keren saja pernah bilang kalau
keterusterangannya itu memang menakutkan, tapi secara keseluruhan
kupikir orang-orang memandangnya dengan iri."
"Enyah kau."
Sesampainya di rumah, kukirim pesan pada Eina soal kejadian hari ini. Soal
bagaimana naskahnya yang diterima, dan soal bagaimana aku yang bisa
mendapatkan peran pangeran…
Aku kelewat jelek sampai enggak pantas dibilang pemain sandiwara yang
jelek.
Tapi yang kuperankan ini peran utama, jadinya ini parah banget.
"Masih ada waktu, kau pasti bisa mengatasinya, „kan? Ucap Sakai padaku,
tapi itu enggak menghibur.
Ketua enggak hadir karena harus mengurusi beberapa pekerjaan buat festival
budaya. Aku pun pergi ke ruang Klub Literatur dengan rasa kecewa. Sudah
hampir waktunya buat pulang, tapi aku masih ingin mengerjakan persiapan
buat Klub Literatur. Rencananya kami akan membukakan ruangan dan
mendistribusikan buku pada hari H, jadi aku harus mendekorasi
ruangannya.
Namun, aku terus kepikiran soal akting dan enggak bisa berbuat banyak.
Lalu..
Aku minta maaf secara spontan. Jam sekolah sudah lama berakhir.
"Apa aku memang semenakutkan itu," Keluh Ketua. Dia tampak murung,
dan aku merasa agak bersalah.
"Yang seperti ini masih bisa kuabaikan. Aku tak mentaati peraturan sampai
segitunya. Aku tahu kau sudah mengerjakan persiapan untuk kelas dan
klubmu."
"Memang."
Mungkin aku sudah salah paham akan orang macam apa dia ini.
"Hei, Klub Literatur. Kalau ada waktu, maukah kau berlatih bersamaku
sebentar sekarang?"
Gimana, nih?
Berjalan berduaan bersama Ketua di kala senja, kami pergi ke taman
terdekat karena enggak bisa berlama-lama di sekolah.
Kami enggak banyak mengobrol karena dia hanya mengatakan apa yang
ingin diucapkannya saja.
Rasanya amat kurang nyaman.
Sekilas kulirik dia, dan masih merengut seperti biasanya. Dia beneran hebat
masih bisa tetap terlihat cantik meski dengan ekspresi begitu.
Dengan suasana yang begini emangnya kita bakalan bisa latihan? Ibarat
dilemparkan sebuah pelampung penolong, ponselku bergetar karena pesan
dari Eina sewaktu kami tiba di taman.
"Aku lagi bicara sama si penulis, dia mau mendengarkan latihan kita. Hanya
lewat telepon sih, enggak apa, „kan?
"Ya, aku juga ingin mendengar pendapat objektifnya." Kutelepon Eina dan
memasangkannya pada mode speaker.
"Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku
mati…"
"Ah, maaf. Nona muda, boleh kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau
pinjami aku lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak mampu berdiri."
"Kerja bagus. Kau sudah mempelajari kalimat tersebut dengan baik, begitu
pula dengan pemikiranmu soal gesturnya. Sekarang hanya tinggal berlatih
dan diperhalus lagi."
Apa dia begadang semalaman? Jelang festival budaya, dia pasti sangat sibuk.
"Mari kita bahas setiap adegannya. Aku akan memberimu contoh, jadi
pergunakanlah sebagai referensi."
"Kita istirahat dulu," Saranku, "Aku mau beli minuman, kau mau apa?"
"Oke."
"Aku tahu dia bukan orang yang buruk. Dia itu orangnya pekerja keras, jadi
aku hanya gugup saja saat berbicara dengannya."
Berbeda dari biasanya yang selalu berwibawa, ini pertama kalinya aku
melihat Ketua yang nampak seperti gadis biasa.
"Eh?"
"Baiklah."
Lantas kami pun pergi sambil meminum minuman dari kaleng kami sendiri.
"Begitu, ya."
Kami pun terdiam. Sial, ini memang sangat enggak nyaman. Aku enggak
tahu apa yang harus dibicarakan, dan seperti biasa, dia pun enggak terlihat
bakalan segera bicara padaku.
Aku enggak bisa menahan diri untuk bertanya. Kami tiba di suatu panti
asuhan. Itu adalah bangunan kecil yang depannya nampak seperti sekolahan
kecil.
"Sedikit."
"Jangan membuat wajah seperti itu." Wajah seperti apa yang kubuat? "Ini
pilihanku sendiri. Aku punya masalah di rumah. Aku lebih suka dengan gaya
hidup ini. Bohong sih kalau tak ada yang tak kusukai, tapi masih lebih baik
ketimbang sebelumnya."
"Klub Literatur, berjuanglah saat festival nanti," Ujar Ketua, dengan wajah
yang lebih lemah lembut dari biasanya.
"Tentu saja."
Seusia makan dan mandi malamnya, ada pesan dari Eina sewaktu aku lagi
bersantai di kamarku.
Wajahku memerah.
Eina : Ini adegan pernyataan cinta! Sewaktu kamu pulang dari festival
atau semacamnya! Itu sangat bagus, bukan? Berasa seperti terikat takdir
dengan lawan mainmu.
Aku mulai panik dan bingung sewaktu dikasih tahu kalau sebenarnya Ketua
mungkin enggak membenciku, tapi mungkin menyukaiku.
Lalu kusadar kalau aku panik bilamana Eina menyalah pahami perasaanku.
Mungkin dipikirnya aku ini menyukai Ketua dan dengan tulus
mendukungku. Tapi buatku itu malah terlihat kesepian.
Aku terkejut, mengapa aku berpikir begitu? Melihat wajahnya saja bahkan
aku belum pernah, dan dia pun hidup di lima tahun silam, sehingga kami
bahkan enggak bisa bertemu…
Shuu : Aku cuman mengagumi Ketua saja. Memang sih dia cantik, tapi
kurasa aku enggak menyukainya, jadi aku enggak bakalan menyatakan cinta.
Eina : Eh? Be-Begitu, ya… baguslah.
Shuu : Bagus?
Eina : Ah, bukan apa-apa, kok.
Dua minggu pun berlalu. Aku berangkat ke sekolah pagi-pagi buat latihan
drama. Di sepanjang pelajaran aku setengah tidur, dan kami pun berlatih lagi
sehabis jam sekolah. Di saat kami berlatih, teman-teman sekelas kami
membuat peralatan buat pentas dan kostum-kostumnya.
Bahkan ada orang yang membuat lampu sorot dengan lampu senter dan
kertas kaca.
Aku enggak tahu alasannya, tapi aku merasa kurang senang, seperti ada
lubang kecil terbuka di hatiku.
Dan hari jumat pun tiba, sehari sebelum festival berlangsung. Seusai jam
sekolah, kurasa aku bisa pergi sebentar ke ruang klub untuk mendekorasi
ruangannya. Di luar sudah benar-benar gelap, namun para guru memberikan
pengecualian hanya untuk hari ini saja kami bisa berada di sekolah hingga
larut.
Dia ada di atas meja, berusaha menggantungkan dekorasi pada papan tulis,
namun enggak kejangkau. Dia sudah berusaha sekuat mungkin hingga
terlihat seperti bakalan jatuh.
"Apa boleh buat, ujian enggak bakalan nunggu. Senpai sendiri bagaimana?"
"Ya, makasih. Oh, iya. Besok aku pasti akan nonton dramanya! Semoga
berhasil!"
Begitu sudah beres, aku menghela napas panjang dan melihat keluar jendela.
Sekolah sudah makin sepi, kebanyakan murid mungkin sudah pulang. Langit
gelap gulita dihiasi dengan bintang-bintang.
Apa Eina juga melihat bintang yang sama, pikirku dengan santai.
Eina yang kubicarakan ini adalah Eina dari lima tahun silam, jadi mana
mungkin dia bisa melihat bintang-bintang ini. Tapi… bagaimana dengan
Eina yang ada di masa kini?
Apa dia, di planet yang sama dan di waktu yang sama pula, sedang menatap
bintang-bintang ini.
Kukeluarkan ponselku. Enggak ada pesan satu pun. Aku sangat sibuk saat ini
dan enggak bisa sering balas, sehingga belakangan ini kami enggak banyak
bicara. Kugulirkan jariku pada layar sentuh, dan meneleponnya.
"Ini Shuu."
Eina enggak ada di sini. Aku enggak tau wajahnya, namanya, atau bahkan
umurnya, tapi aku tetap merasa dia harusnya ada di sampingku. Aku ingin
bertemu dengannya. Karena dia hidup di lima tahun silam…
Andai kita hanya terpisahkan oleh jarak yang jauh, kita masih bisa
bertemu. Aku bisa menaiki kereta, atau bahkan pesawat.
Mungkin Eina juga merasakan hal yang sama denganku, dan dengan tenang
kudekap suaranya di hatiku.
《Tidak masalah.》
Kami terdiam untuk beberapa saat, benar-benar terdiam tanpa kata. Tapi
hatiku terasa tenang, mungkin karena aku tau sedang terhubung dengannya
lewat ponselku. Dia memang enggak ada di sampingku, tapi sedikit pun aku
enggak merasa sendirian.
"Begini."
"Kau duluan."
"Sabtu depan."
"Gimana?"
《Eng, ah, aku hanya bicara sendiri. Ah, benar juga, kita pergi bersama saja
Sabtu depan?》
"Pergi bersama?"
《Kita memang tidak akan bisa bertemu. Tapi kalau kita pergi ke tempat
yang sama, berasa seperti kita pergi bersama.》
《Baik.》
"…"
《… Eng, kamu tidak menutupnya.》
"Tiga."
《Satu.》
"Dua."
《"Tiga."》
Suara kami berbaur dengan nada elektronik saat kami menutup teleponnya.
Bahkan setelah menutupnya pun, sejenak pandanganku masih tertuju pada
ponselku.
Ruang kelas diriuhi suara orang-orang yang sibuk melakukan tata rias, yang
menyiapkan kostum-kostum, dan yang mengatur tata cahaya. Aku enggak
bisa menemukan Ketua, padahal masih ada beberapa hal yang ingin kubahas
sekali lagi.
"Dia masih belum datang ke sekolah. Aku juga sudah tanya ke anggota OSIS,
tapi mereka juga belum melihatnya."
Aku merasa kaget sekaligus was-was.
Teriak seorang gadis dari pintu. Aku melihat Ketua yang memasuki ruangan
dengan lamban. Tapi dia hanya melirik gadis itu dan enggak menjawab.
Dia mendekat dan suaranya nyaris enggak terdengar. Itu bukanlah suara
soprannya yang jelas, suaranya serak, dan kalau saja aku enggak melihatnya
bicara, mungkin aku enggak bakalan tahu suara siapa itu.
Matanya sembap dan pipinya merah. Sudah jelas kalau dia demam. Bahkan
cara berjalannya saja terlihat diseret.
"Enggak, hanya saja kau selalu tenang bicara pada semua orang selama
perkumpulan dan semacamnya."
Gimana, nih? Dia kelihatannya enggak bisa bicara, tapi bakalan sulit
berakting dengan suaranya yang begitu.
"Kita harus menggantinya. Apa ada yang…" Saat kumulai bicara, semua gadis
langsung membuang muka, "Oi, ini darurat."
"Sudah jelas tak ada yang mau," Salah seorang gadis melangkah maju
mewakili yang lainnya, "Salah satu dari kami harus menggantikan Ketua?
Semua orang datang untuk melihatnya, iya, „kan? Seandainya salah satu dari
kami yang maju, mereka akan berkata „apaa-apaan dengan pemeran jelek ini‟
atau semacamnya, jadi tidak mungkin."
"Benar, tuh! Orang-orang hanya akan menyoraki kita kalau gadis lain yang
memerankannya!" Tambah Sakai.
"Mau tak mau kita harus membuatmu melakukannya, tapi dengan suara
seperti itu pasti sulit."
"Hei, Klub Literatur, bisa kau hubungi Eina-san?" Tanya Ketua dengan suara
serak.
"Eina-san?"
《… Siapa ini?》
《Ehh?》
"Huh?"
"Begitulah."
"Tidak apa. Buat begini saja, si protagonisnya bisu karena terluka, jadi si iblis
menggunakan sihir supaya kita bisa mendengarnya?"
"Terima kasih. Kalau begitu, kita akan buat narator mengatakannya nanti."
"Kau pasti bisa, kok. Malah, hanya kaulah yang bisa melakukannya.
Protagonisnya adalah kau, „kan? Kau tidak usah berakting, cukup
mengucapkan kata-katanya saja."
"Tidak apa. Si gadis dalam ceritanya memang kurang dalam perasaan dan
kesengsaraan. Aku yakin kau pasti bisa," Ujar Ketua, sebelum mulai
tersedak.
"Eina, kau bisa dengar sendiri kondisinya, „kan? Jadi mau, ya?"
******
Gadis yang bertanggung jawab atas kostum dan tata rias menampar bahuku.
"… Makasih."
"Kau gugup?"
"Ya iyalah."
"Eina, sebentar lagi mulai, apa kau siap?" Ucapku pada ponselku yang
dipasangkan dalam sistem suara.
"Nah, sekarang giliran kita!” Seru perwakilan kelas sewaktu Ketua pergi ke
atas panggung. Sorakan menyambutnya di atas panggung. Perkataan Eina
bergema di seluruh aula.
《Ini menyakitkan, sangat menyakitkan. Mungkin akan lebih baik kalau aku
mati…》
Suaranya masih tetap indah sekali pun lewat sistem suara. Sopran yang
teramat jelas nan indah yang enak di dengar.
Ruangan kelas sudah ditata ulang menjadi aula dan sudah terisi sepenuhnya,
sehingga aku kewalahan oleh banyaknya penonton dari yang kukira.
"Nona muda, boleh kuminta sedikit bantuanmu? Maukah kau pinjami aku
lenganmu? Kakiku terluka dan aku tak mampu berdiri."
Kulirik ke bagian sisi panggung, dan teman sekelas kami pun panik. Para
penonton sepertinya belum menyadari adanya kesalahan.
Aku mau bicara begitu tapi langsung menyerah. Bukan perasaan Eina lah
yang harusnya kupikirkan, melainkan perasaan tokoh di panggung.
Lalu ia pun bersatu. Saking bahagianya, dia sampai enggak bisa meluapkan
perasaannya.
"Aku… mendukungmu."
Enggak lama setelah kuulangi dialog itu, mata Ketua berlinangkan air mata.
Air mata tersebut mungkin hanya sekedar perasaanku saja, seolah Eina
berada di depanku, berdiri bersamaku di atas panggung.
Aku merasa bersalah pada Ketua karena sudah berkata begitu, tapi aku
melihat Ketua sebagai Eina.
《Aku tak sanggup membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku ingin
bersamamu. 》
"Yang bener?"
"Oh iya, kenapa tidak kau suruh Eina-chan datang saja? Akan lebih bagus
kalau dilakukan sendiri, „kan?" Tanya Sakai. Dia mungkin menanyakan
pertanyaan yang sangat penting begitu karena ingin tahu siapa orangnya.
"Entahlah."
"Ya iyalah."
"Aku mau pergi dulu ke Klub Literatur," Ucapku dan meninggalkan Sakai.
******
Di sekolah kami ada acara pra-festival yang hanya diperuntukkan para siswa-
siswi saja. Mereka menggunakan panggung gimnasium, menampilkan band
sukwan dan pertunjukkan gulat profesional di aula.
Aku bukan tipe orang yang suka berpesta, jadi hanya menyesap minuman
saja di aula tanpa menyaksikan perayaan. Ada banyak orang juga yang
berbuat begitu, jadi aku enggak merasa terasingkan.
Kuberi isyarat untuk pergi keluar dengan lirikan, dan dia pun mengangguk.
Lantas kami pun pergi keluar ke belakang aula.
Angin malam terasa menyejukkan.
"Maafkan aku," Ketua duluan bicara selagi kami berjalan, "Harusnya aku
menjaga kesehatanku dengan lebih baik."
"Enggak usah khawatir, lagian kau ini sibuk. Selain itu, kau berhasil
memerankan dramanya meski dalam kondisi begitu, kau memang hebat."
Ketua tampil dua kali, pagi dan sore. Saat tampil kedua kalinya, suaranya
makin membaik, jadi dialognya pun diucapkan sendiri olehnya.
"A-Aku…?"
"Ya. Kau enggak nyusahin siapa pun, dan bahkan Eina juga merasa senang."
Bagi Ketua mungkin itu enggak adil, tapi aku senang bisa berpartisipasi
dalam festival budaya bersama Eina, dan dia juga turut senang. Itu adalah
keberuntungan kami. Tentunya aku enggak bilang begitu pada Ketua, mana
mungkin aku bisa bilang bahwa aku bersyukur dia terkena pilek, dan bakal
berasa enggak sopan juga terhadap aktingnya. Tapi aku sungguh ingin dia
tahu bahwa dia enggak membuat masalah apa pun.
Aku enggak balik ke aula dan malah berdiri di angin malam untuk sejenak.
Selingan 2 – Persiapan Menuju Pesta Dansa
Bisa menjadi bagian dari drama saja rasanya sudah seperti mimpi. Dan aku
bisa berakting bersama Shuu…
Memang sih bukan aku sendiri yang berakting, tapi bisa menembus jarak
lima tahun di antara kami kurasa merupakan hal yang penting. Untungnya,
di hari Sabtu semuanya sedang keluar. Mereka baru pulang besoknya, tapi
saat itu Ketua kelihatannya sudah sembuh.
Ponselku tak punya kontrak, sehingga saat di luar aku tak bisa terhubung ke
internet dan karenanya, aku pun tak bisa pergi bersama Shuu-san. Hanya
pergi ke suatu tempat yang ada Wi-Fi gratisnya saja rasanya akan
membosankan, jadi kupinjam hotspot tersebut.
Kenapa aku tak meminta untuk meminjamnya, karena dia takkan pernah
mengizinkannya, apalagi kalau aku yang minta.
Hari itu aku berangkat dari rumah sedikit lebih awal. Teteh sedang ada
kegiatan dengan klubnya, sedangkan bibi dan pamanku sedang bekerja. Jadi
akan baik-baik saja.
Aku tidak butuh kamar yang cantik. Selama aku punya Shuu-san, aku bisa
hidup. Semuanya akan baik-baik saja.
"Boleh."
"Kenapa?"
"Eh?" Saat kutengok, jarum jamnya sudah melewati tengah malam, "Terima
kasih."
Baru kali ini aku bicara dengan seseorang saat ulang tahunku tiba. Biasanya,
aku berbaring terlelap di kamarku sewaktu tanggal berganti.
*****
《Halo, Shuu-san.》
"… Hei," kutenangkan diriku supaya suaraku enggak kedengaran gugup dan
menyapanya.
Kami pun berangkat dan pergi ke toko buku terlebih dahulu, lalu memilih
tempat yang terkenal, di lantai atas pasaraya.
《Apa ya, buku yang kusuka yang masih akan dijual dalam lima tahun…》dia
membacakan nama buku gambar dongeng yang terkenal, 《Tapi kamu sudah
membacanya, „kan?》
"Mungkin aku sudah membacanya sewaktu masih kecil. Tapi, mumpung
sudah di sini, aku akan membelinya."
《Ah, aku belum pernah membacanya! Baru kali ini aku mendengarnya,》
enggak disangka, 《Di perpustakaan ada tidak, ya…》
《Ah, memang lebih baik untuk membelinya, tapi, eng... aku tak punya
banyak uang yang bisa kugunakan semena-mena…》
Kondisi tiap orang beda-beda, sehingga aku enggak bisa tanya lebih jauh.
Kami pun lanjut pergi dan melihat pakaian.
"Eh, Proca…?"
Aku memiringkan kepalaku, menanyakan apa ada Proca di sekitar sini dan
segera tersadar, bahwa itu ada di masanya Eina, bukan di masaku.
"Ya."
《Tidak mungkin… padahal aku mengimpikan pergi ke Proca untuk membeli
sesuatu bersama teman-temanku… 》
"Maaf."
Enggak ada yang bisa kuperbuat selain merasa iba karena menghancurkan
harapannya.
《Tidak apa kok, aku bisa ke kota lain untuk pergi ke Proca. Tapi… sungguh
disayangkan… padahal aku ingin pergi ke Proca bersamamu dan melihat-
lihat pakaian, minum teh di kafe-nya, dan melakukan banyak hal…》
Aku agak khawatir kalau kafe tersebut juga bakalan enggak ada.
Kami pun pergi ke deretan kafe yang cocok. Kami pergi ke tempat yang sama,
tapi namanya sudah berubah. Aku pun membeli kopi dan duduk di alun-alun
terdekat.
《Seperti apa?》
"Benar juga."
《Oh, iya. Bicara soal hal yang tidak berubah… Shuu-san, kenapa coba
sepatu kaca Cinderella ketinggalan?》Aku enggak tahu betul apa yang
ditanyakannya, jadi aku enggak sempat menjawabnya, lantas Eina pun
menjelaskan, 《Itu karena mantranya akan patah saat berbunyinya lonceng
tengah malam, „kan? Cinderella selalu mengenakan pakaian yang jelek, jadi
bukankah sepatu kacanya juga akan kembali menjadi sepatu biasa?》
《Aku selalu penasaran soal itu. Firasatku bilang, bahwa itu bukanlah suatu
kebetulan.》
Namun, seusai kumengatakannya, aku mulai berpikir kalau itu mungkin saja
benar-benar terjadi. Maksudku, kalau pangerannya adalah aku… maka Eina
lah yang akan jadi Cinderella-nya.
Kuyakin rasanya menyakitkan. Andai aku enggak bisa mengirim pesan dan
berbicara dengan Eina, aku enggak yakin bakalan bisa pulih.
"Kecewa?"
Kami ketemuan di depan stasiun, kubilang „Hai,‟ dan dijawab „Hai juga‟
olehnya. Lalu kami pun pergi bersama, berkeliling kota sebentar, dan pergi
ke kafe. Eina suka makanan-makanan manis, jadi dia mungkin memesan
parfait atau semacamnya. Mungkin bagusnya pergi ke karaoke setelah itu.
Lagu apa yang akan dinyanyikannya, ya?
Aku ingin pergi ke toko buku dan membicarakan soal buku-buku yang
populer bersamanya. Bukan lewat telepon, melainkan dengan gadis di
hadapanku.
Suara Eina menyadarkanku kembali. Kami datang ke tempat yang tinggi dan
melihat pemandangan dari atas sana.
"… Hadiah?"
《Pengin tahu?》
《Iya. Aku ini orangnya kikuk, jadi maaf kalau tak begitu bagus, tapi…》
Dia seperti bicara sambil nunduk. Bonekanya agak cacat dan jahitannya
kasar. Tapi aku tahu ini adalah hadiah yang tulus.
"Enggak, aku sangat senang, kok. Terima kasih, aku akan menjaganya."
《Ehehe.》
Ada jarak lima tahun di antara kami. Tapi biarpun begitu, kami masih hidup
di planet yang sama.
Sudah sekitar seminggu berlalu. Di hari Jumat ini aku sedang duduk sambil
membaca dengan lamban, menunggu para pendaftar baru yang enggak akan
kunjung datang. Di hadapanku, ada Ruka-senpai yang lagi belajar.
Sudah sekitar satu jam kami berada di sini. Tiba-tiba, dia melihat ponselku
yang ada di atas meja, dan menanyakannya.
"Aduh, anak zaman sekarang memang pada hebat, ya. Si Tante ini sampe
terkejut banget."
"Apanya yang „si tante ini‟, kamu cuman setahun lebih tua dariku!"
"Eh?"
"Kalau tidak, kamu tidak akan bilang enggak bisa bertemu, „kan?" Dia
tersenyum lembut.
Dia bicara begitu saja, seolah hanya melanjutkan percakapannya. Tapi pas
aku mendengar perkataannya, hatiku terasa membeku.
Begitu aku memikirkannya, aku sadar akan segala sesuatu mengenai dirinya,
dan pikiranku pun langsung kosong. Sepatah kata pun enggak bisa
kuucapkan. Ruka-senpai menatapku dengan geli, lalu menghela napas kecil.
"Begitu ya, jadi aku kalah ama orang yang belum pernah kautemui."
"… Kalah?" Aku berusaha mengatakan sesuatu, namun aku enggak bisa
memahami makna dibalik perkataannya itu.
"Tidak usah merisaukannya, aku hanya berbicara sendiri. Hei, kalau kau
menyukainya, kau harus menemuinya dan ungkapkan perasaanmu. Kalau
tidak, kau pasti akan menyesalinya."
Kurasa akan menyenangkan bila dia ada di sisiku sewaktu aku tengah
mempersiapkan festival budaya. Sewaktu kami mengobrol di hari ulang
tahunku, aku sungguh ingin dia berada di sampingku, dan sewaktu aku
menerima hadiahku, aku sungguh ingin dia memberikannya padaku secara
langsung. Pasti aku berpikir begitu karena aku memang menyukainya.
"Kalau begitu, Senpai-mu yang baik ini aka membantumu. Jadi, apa
alasannya?"
"Aku hanya ingin memastikannya saja, tapi itu bukan hanya sekedar alasan
yang kau berikan padaku, iya, „kan?"
"Tuh „kan, kamu enggak percaya."
"Oi, jangan merajuk begitu. Memangnya siapa orang yang akan langsung
percaya! Ah! Bukan berarti aku tak memercayaimu, biar kupikir sebentar,"
ujarnya, dan melipatkan tangannya. "… Yah, kurasa itu memang sesuai. Kau
menyembunyikan kebenaran soal Eina karena kaupikir takkan ada yang
memercayaimu sekali pun kau mengatakannya?"
"Itu benar."
"Oke. Aku memercayaimu. Lagian kamu ini bukan orang yang suka
mengada-ngada," ujarnya dan tersenyum padaku, dan rasanya seperti beban
di punggungku telah diangkat, "Terus, kenapa kau tidak bisa bertemu
dengannya sekarang? Meskipun itu artinya membuat dia menunggu selama
lima tahun."
"Itu karena Eina enggak mau bertemu denganku di lima tahun dari masanya,
dia enggak ingin tahu masa depannya."
"Eng, aku jadi pengin tahu apa yang terjadi padaku di masa depan."
"Eina orangnya pesimis, jadi dia pikir masa depannya mungkin lebih buruk
dan takut mengetahuinya. Dia pikir aku enggak bakalan
menyembunyikannya bilamana ada suatu hal yang buruk menimpanya, jadi
dia minta untuk enggak bertemu."
"Jadi, begitu."Angguknya.
"Benar."
"Kalau begitu, tujuan kita adalah untuk mengetahui siapa Eina tanpa
sepengetahuannya, dan pergi menemuinya," lalu dia merosotkan diri, "Tapi
bagaimana caranya?'
"Itu mustahil, „kan? soalnya kami lagi mencari dia tanpa sepengetahuannya,"
Ruka-senpai membantuku.
"Kalau begitu, kau harus janji padaku untuk membujuknya. Tentu saja, aku
tak mau kau terlalu memakasanya, dia tidak usah memberikan gambar,
cukup interviu saja, kok. Bagaimanapun juga, dia sangat terkenal, debut
pekerjaannya menimbulkan desas-desus di sekolah dan sandiwaranya
membuat festival budaya jadi sukses! Kalau kami bisa menginterviunya
secara khusus, kami akan dikenal di seluruh dunia!"
Saking semangatnya mulut Sakai sampe hampir berbusa dan aku merasa
enggak berdaya. Interviu mah tergantung Eina sendiri, jadi…
"Nah, mumpung sudah sepakat, mari kita mulai," Sakai menaruh tablet di
atas meja, "Eina bisa pake internet, „kan?"
"Iya, kayaknya."
"Kalo begitu, coba kita cari di Twitter."
Aku terkejut karena enggak kepikiran sama sekali. Aku kebelet pengin
bertemu dengannya, tapi aku sendiri enggak pernah memikirkan banyak hal.
Sakai memasukkan kata „Eina‟ pada kolom pencarian dan sekitar sepuluh
akun pun muncul di layar.
"Sekitar setengahnya kira-kira adalah orang asing, jadi mungkin salah satu
dari kedua itu," selagi berbicara, Sakai membuka tab baru untuk melihat lini
masa keduanya, "Gimana? Ada yang kaukenali? Atau apa pun yang cocok
dengan yang dikatakannya?"
"Ah!" Aku menunjuk pada yang satunya, "Bisa jadi yang ini. Soalnya dia
menulis tentang minggu kemarin."
Eina@eina002
Eina@eina002
Eina@eina002
Akusangatgugup!
Eina@eina002
Eina@eina002
Eina@eina002
Ujar Sakai dan Ruka-senpai yang ada di sampingku, dan aku juga tahu
mukaku sudah memerah.
Dia membukanya pada window terpisah dan beberapa entri yang lebih detail
ketimbang tweet di tampilkan di layar.
"Bergembiralah, Yagi. Eina-chan benar-benar awam internet."
"Ini kabar baik untuk bisa menemukannya. Misalnya, coba lihat gambar
ini…" dia memperluas gambar pohon sakura, itu adalah gambar yang indah,
pohon yang mekar penuh dengan bunga merah muda, "Masih ada data GPS
pada gambarnya. Dan judulnya „Jepretan dari dekat rumah‟. Kita jadi bisa
tahu bahwa dia tinggal dekat pohon sakura itu. Alamatnya di…" Dia menarik
lokasinya di peta, letaknya satu stasiun dari Stasiun C, dan sepertinya agak di
pedalaman.
"Ada banyak foto, ayo kita telaahi tweet-tweet-nya… Oh, pekan olahraga SD?
Hanya ada satu sekolah yang ada pekan olahraganya, jadi… oh! Dia
mengunggah gambar dari jendela!!" untuk sementara Sakai tak
mengindahkan kami, terlena sendiri pada internet, lalu…
"Aku pengin jadi seorang jurnalis, jadi hal segini mah cuman masalah
sepele," ujarnya dengan bangga.
"Hati-hati aja supaya jangan sampe terbunuh kalau kauikut campur terlalu
dalam pada beberapa kasus korupsi politisi…"
"Aku akan senang bisa terlibat dalam sesuatu yang sangat besar!"
"Kita pergi dan periksa. Lagian kita tak melakukan sesuatu yang salah."
Kami turun dari kereta di stasiun berikutnya dan berjalan selama lima menit
menyusuri daerah pinggiran kota yang sunyi sebelum tiba di kediaman
Yokota.
Kuberdiri di hadapan interkom dan mengambil napas dalam-dalam.
Kutekan tombolnya.
《Ya?》
《Eina…?》
"Ya, benar!"
Akan tetapi, pengeras suara tersebut senyap. 《Maaf, tapi dia tidak ada di
sini.》
Kusapa balik, bertanya-tanya pada diri sendiri apa ini sepupu yang sudah
menindasnya itu.
Dia mengajak kami masuk, dan kami bertiga pun memasuki rumahnya, dia
mengantarkan kami ke ruang tamu dan kami pun duduk di sofa.
Kucoba untuk bertanya padanya, tapi yang keluar hanyalah suara pertanyaan
yang tersendat.
Tenggorokanku tersumbat karena terkejut, sehingga aku enggak bisa bicara.
"Eina mendaki bukit yang ada di belakang rumah kami sewaktu terjadi badai
lima tahun lalu dan tak kunjung kembali. Dia masih hilang. Karena sudah
lima tahun berlalu, mungkin sudah tidak ada harapan lagi, sehingga kami
pun menyerah," ucap sepupunya dengan tampang serius.
"Kalau dipikir-pikir lagi, kurasa aku sudah berbuat hal yang mestinya tak
kulakukan. Aku selalu memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya
selalu mengurung diri di kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang
orang lain. Lalu ada juga perselisihan dengan mama dan papa, dan
kekhawatirannya…"
Meninggal…
Meninggal!
"Itu pasti salah…" kata-kata tersebut langsung keluar dari mulutku. "Itu pasti
salah…!!"
Selingan 3 – Mantra yang Patah
Pikiranku kosong karena rasa takut. Apa yang akan terjadi sekarang?
"Apa yang kaulakukan, dasar penumpang?! Papa dan Mama akan marah.
Aku tahu kausudah berbuat sembunyi-sembunyi dengan smartphone,"
ucapnya, merenggut ponsel yang kugenggam.
Kumencoba sekuat tenaga untuk melawan, tapi anak SD jauh lebih lemah
ketimbang anak SMP.
"Kembalikan, kembalikan!"
"Ehh, memangnya ini sangat penting? Oh, apa ini? Chattingan sama laki-
laki? Dasar bocah SD kurang ajar."
Aku mengejarnya.
Ponselnya retak.
Kulari keluar.
"Oi, mau pergi ke mana, bahaya!" teriaknya dari pintu, tapi aku tak
mengindahkannya. Aku tak ingin berada di sini lagi.
Aku takkan pernah kembali. Aku akan pergi ke suatu tempat yang jauh, di
mana tak ada seorang pun yang akan menemukanku.
Tanpa payung guna melindungi diri dari hujan lebat, kuberlari di sepanjang
jalanan.
Chapter 4 – Pintu Menuju Eina
"Lima tahun yang lalu terjadi topan besar di bulan Oktober, dan di hari itu ada
bencana longsor sewaktu Eina pergi dari rumah malamnya. Kau ingat bencana
longsor itu, ‘kan?"
"… Ya, aku ingat."
"Bencana tersebut diberitakan juga di koran, dan seorang gadis telah dinyatakan
hilang. Dinilai dari situasinya, kemungkinan besar dia tertimbun longsor tersebut."
"Jadi, begitu.."
"Maafkan aku, Shuu."
"Makasih atas semuanya. Aku… senang bisa mengenalnya. Senpai juga, makasih."
"Shuu-kun…"
Dia kelihatan enggak bisa mencari kata-kata yang tepat. Itu bisa dimaklumi.
Aku juga sudah bersemangat, mengatakan sesuatu seperti ‘Dia itu gadis seperti apa,
ya.’ atau ‘Aku ingin membicarakan soal buku-buku kesukaan kita sebertemu
dengannya nanti’.
Aku merasa enggak enak karena mengabaikan perasaan mereka.
Sepulang dari rumahnya, kami pergi ke perpustakaan dan memeriksa koran-koran
lama untuk memastikan apakah yang dikatakan sepupunya Eina itu memang benar
adanya.
Sekalipun kejadian itu memang benar karena sepupunya sendirilah yang
memberitahukannya, aku belum menyerah.
Tanpa berkata apa pun, Sakai dan Ruka-senpai membantuku.
"Aku mau pulang."
"Aku antar," tawar Ruka-senpai.
"Makasih, aku baik-baik saja, kok."
"Tapi…"
"Untuk sementara ini aku ingin sendirian. Maaf sudah melibatkanmu seperti ini,"
ucapku, dan dia enggak menimpalinya.
Sendirian, aku berjalan pulang. Air mata memenuhi mataku sewaktu kami berpisah.
Eina sudah meninggal?
Aku enggak bisa memercayainya, aku enggak mau memercayainya. Tapi memang
itulah kenyataannya.
Manusia hidupnya sangat singkat. Itu adalah kenyataan mengejutkan yang kejam.
Enggak ada yang namanya keajaiban.
Enggak ada yang namanya sih—
"Enggak, itu ada."
Kukeluarkan ponselku. Ada sihir dalam genggamanku. Ponselku ini terhubung ke
lima tahun lalu.
Aku tinggal memberitahu Eina.
Kuyakin pasti berhasil.
Kubuka aplikasi dan meneleponnya, tapi…
Enggak ada nama Eina di daftar temanku. Meski dicari nama akunnya juga sama.
Riwayat pesanku juga hilang.
"Ini aneh."
Kuotak-atik ponselnya dengan kekalutan. Lewat aplikasi, dan lewat berkas-berkasku
juga. Namun, aku enggak bisa menemukan cara untuk menghubunginya.
Mantranya akan patah seberbunyi lonceng tengah malam.
Perginya ke rumah Eina seakan merupakan suatu pertanda, kini ponselku hanyalah
sekedar ponsel biasa.
*****
Aku enggak ingat betul apa yang terjadi setelahnya. Yang jelas, aku masih ada di
kotanya Eina.
Aku keluyuran di tempat yang ada pada foto yang dipostingnya. Mencari-cari jejak
dirinya.
Kuterus melanjutkan pencarian yang sia-sia ini, bertanya-tanya apakah mungkin dia
masih hidup.
Pohon sakuranya benar-benar belum mekar. Gimnasium di SD-nya juga sudah dicat
ulang.
Sedikit demi sedikit, kota ini mulai berubah selama lima tahun terakhir.
Postingannya Eina juga tiba-tiba terhenti lima tahun lalu. Andai kata si penulis
meninggal, maka tentu saja postingannya akan terhenti.
Lalu, aku pun sampai.
Di TKP terjadinya longsor.
Terdapat jejak seekor binatang di sepanjang bukit. Pepohonan pada tumbang seolah-
olah lereng tersebut sudah digunduli. Masih ada bekas-bekas pergeserannya. Bekas-
bekasnya tersebut menjalar di kedua sisi jalan.
Tempat ini masih tetap sama semenjak lima tahun lalu.
Kalau kau tertimbun di sini, kau enggak akan bisa selamat.
"Eina…" seruku. Dia terkubur di sini, karena dia belum pulang.
"Eina!"
Dia pasti terluka dan merasa sakit. Bagaimana rasanya? Ataukah kejadian itu terjadi
tiba-tiba tanpa sepengetahuannya?
Kucengkram erat ponselku.
Gantungan yang dia berikan padaku sudah dipasangkan.
Mengapa aku enggak bisa menyelamatkannya?
Mengapa…?
Mengapa?!
"Eina!!"
Bukit kembali hening usai kuberteriak, suaraku bergema sia-sia. Lalu…
Vzzzt, vzzzt.
Ponsel yang kugenggam bergetar. Getarannya cukup keras hingga bisa kudengar.
Meski kubertanya pada diri sendiri siapa yang meneleponku di saat seperti ini, aku
tetap melihat layarnya karena sudah kebiasaan.
Itu nomor yang enggak dikenal.
Perasaan enggak enak menetap dalam dadaku. Atau mungkin itu adalah harapan.
Meskipun merasa takut dikhianati, walaupun enggak mau terluka lagi, aku enggak
sanggup menghentikan tanganku untuk menjawabnya.
Panggilannya pun tersambung.
《Shuu-san?!》
Itu adalah suara soprannya yang indah dan merdu.
"Eina?!"
Enggak mungkin aku salah dengar, tapi aku harus tanya.
Sewaktu kusadar, aku sudah berada di rumah sakit, berbaring di tempat tidur dan
benar-benar dibaluti perban. Seluruh tubuhku terasa nyeri.
"Shuu! Syukurlah…!" Ibuku mengamati wajahku dan mendesah lega. Ayahku ada di
belakangnya, "Terima kasih banyak Minekawa-san."
Karena yang bicara adalah ibuku, jadinya perlu sedikit waktu untuk menyadari
bahwa yang dimaksudnya Minekawa itu adakah Ketua.
"Apa maksudnya… terima kasih banyak?"
"Minekawa-san lah yang sudah menyelamatkanmu," ucap ayah padaku.
"Nampaknya dia mendengar kau pergi ke tempat terjadinya longsor dan dia tidak
mendapat kabar darimu, jadi dia pikir pasti sudah terjadi sesuatu. Kemudian dia
mendapatimu terjatuh dari tebing dan tak bisa bergerak, lalu dia pun meminta
bantuan."
Dalam hati aku mempertanyakan penjelasannya.
Bagaimana bisa dia tahu aku ada di sana? Apa dia dengar dari Ruka-senpai atau
Sakai?
Enggak, aku enggak ada bilang apa pun sama mereka.
Selain itu, aku enggak meneleponnya. Lagian, aku enggak tahu nomor teleponnya.
Dia berbohong.
Tapi kenapa?
Dia menyatakannya dengan soprannya yang indah. Aku hanya menatapnya dengan
mata terbelalak, dan terdiam membisu karena terkejut.
"Sewaktu kamu terjatuh dari tebing, aku melihatmu menghilang, Shuu-san." Ketua,
Eina, bicara padaku seperti biasanya, menggunakan namaku ketimbang ‘Klub
Literatur’ dan bicara sopan, "Kamu benar-benar menghilang. Hujannya sedikit reda,
jadi untuk berjaga-jaga aku pergi untuk memastikan, dan kamu tidak ada di sana,
jadi kurasa kamu sudah kembali ke masamu sendiri."
Ketua, yang biasanya seperti bilah tanpa sarung, sekarang nampak seperti gadis
biasa. Rasanya seperti enggak nyata, tapi sisi feminimnya ternyata manis juga, dan
membuatku merasa senang juga.
"Aku khawatir. Aku tidak tahu apakah kamu pergi ke tempat yang sama, atau
terjatuh ke tebing di sana juga. Kalau kamu tak memberitahu siapa pun, kamu tidak
akan ditemukan, jadi kuputuskan untuk menghubungimu pada hari itu."
"Kau mengingatnya selama lima tahun?"
"Ya, sedetik pun takkan pernah kulupakan."
Eina mengangguk dengan mantap, dan aku yang keheranan pun ingin menanyakan
sesuatu padanya, ingin bertanya apakah dia sebegitunya memikirkanku.
"Jadi aku berusaha menggunakan jaringan kelas supaya bisa menghubungimu, tapi
seperti yang kukira, aku tidak bisa…" dia melanjutkan penjelasannya saat aku tetap
terdiam, "Jadi aku pergi ke tebing itu, dan meminta bantuan."
"Jadi itu yang terjadi… Kau sudah menyelamatkan hidupku, Eina, terima kasih
banyak."
"Ehehe," dia tergelak malu.
"Tapi kalau hari itu kamu tidak datang, aku akan tertimbun longsor. Terima kasih
banyak." Dia menundukkan kepalanya padaku.
"Tapi tunggu dulu, namamu bukan Yokota Yukino, tapi Minekawa Yukino…? Apa
rumah yang kami kunjungi itu bukan rumahmu?"
"Itu rumahnya bibi dan pamanku. Bukannya aku sudah pernah bilang? Kedua
orangtuaku sudah meninggal dan aku tinggal bersama saudari ibuku dan suaminya."
Rasanya aku memang sudah pernah mendengarnya.
"Huh? Tapi bukannya kau tinggal di panti asuhan?"
Aku pun dibuat bingung dengan keadaan yang rumit itu.
"Ujung-ujungnya, hubungan kami jadi tambah buruk dan aku pergi ke panti asuhan.
Atau lebih tepatnya, aku sudah tak tahan lagi. Karena aku berhasil selamat, aku pergi
mencari tempat agar bisa hidup sesuai kenginanku. Aku sudah tak punya wali lagi
karena kedua orangtuaku sudah meninggal, jadi aku mendapatkan izin setelah sedikit
pemeriksaan."
"Jadi begitu…"
"Banyak yang berubah dalam lima tahun ini."
Kami saling mengangguk dengan mantap. Rasanya semuanya sudah terselesaikan,
tapi aku menyadari sesuatu yang penting.
"Tunggu, kalau kau Eina, maka selama ini kau masih hidup, ‘kan? Tapi gadis yang
bernama Yokota, sepupumu itu, bilang kau sudah meninggal?"
"Ahh, itu mah…" Dia sempat terhenti karena suatu alasan. Lalu membungkuk
dalam-dalam. "Maafkan aku! Aku menyuruh Teteh untuk berbohong padamu!"
"Huh? Berbohong?"
"Kamu bilang lima tahun lalu saat bencana, ‘kan? Kamu ada bilang padaku, bahwa
kamu dengar darinya kalau aku ini hilang dan meninggal saat terjadinya topan."
"Ya, benar."
"Kalau dia bilang ‘Eina adalah Minekawa Yukino’, kamu tidak akan kembali ke
masa lalu, ‘kan? Kalau begitu, kemungkinan aku akan mati. Aku tak
menginginkannya, aku ingin bertemu denganmu, jadi aku minta tolong pada Teteh."
"Be-Benar juga."
Aku kelewat senang karena dia ingin bertemu denganku, dan aku enggak peduli soal
kebohongannya.
"Yah, aku senang karena bisa menyelamatkanmu, jadi enggak masalah."
"Terima kasih."
"Tapi kurasa hubunganmu enggak berjalan dengan baik?" tanyaku, dan Eina
tersenyum erat.
"Saat itu… kami tidak, saat itu memang parah. Tapi saat kami mulai hidup terpisah,
aku jadi mengerti bahwa dia bukan hanya ingin sekedar menindasku, dia
memikirkan banyak hal dengan caranya tersendiri, dan dia mungkin sudah
merenungkannya, sehingga dia sudah jadi lebih ramah sekarang."
Kuingat kata-kata sepupunya.
"Aku selalu memperlakukannya dengan buruk… tapi dia hanya selalu mengurung
diri di kamarnya, dan hanya menggunakan barang-barang orang lain. Lalu ada
juga perselisihan dengan mama dan papa, dan kekhawatirannya…"
Itu bukan hanya sekedar sandiwara, dia benar-benar membicarakan mengenai apa
yang telah terjadi saat itu, pikirku saat hatiku terasa hangat.
"Ahh, tapi aku sungguh bersyukur semuanya berjalan dengan baik," Eina tiba-tiba
menghela napas, senang rasanya melihat kerenggangan pada wajah Ketua yang
biasanya sempurna, "Kalau aku ketahuan, semuanya akan berakhir, jadi aku benar-
benar ketakutan."
"Begitu ya, sewaktu kutahu kau adalah Eina, aku akan tahu kau masih hidup, dan
enggak kembali ke masa lalu," terus Eina akan tertimbun longsor dan mati. Dari
sudut pandang tersebut, dia memang selalu berjuang demi hidupnya, "Apakah sulit?
Harus berpura-pura enggak mengenalku?"
Akan tetapi, dia enggak kelihatan sedih, dan hanya sedikit cemberut.
"Apa kamu ingat saat pertama kali kita bertemu? Aku ragu kamu mengingatnya."
"Ingatlah, di perpustakaan, ‘kan?"
Napas Eina tersendat karena terkejut.
"Ya, aku bicara terlalu akrab denganmu, ‘kan? Aku merenungkannya dan menyadari
itu semua akan berakhir kalau kami bersama, jadi aku tak bisa bergabung dengan
Klub Literatur, dan bahkan ketika kita akhirnya berada di kelas yang sama, aku
menjaga jarak sejauh mungkin."
"Jadi itu alasan kenapa kau bersikap sangat dingin? Kupikir kau membenciku?"
"Mana mungkin aku bisa membencimu!"
"Be-Benarkah…?" Aku enggak begitu bisa bicara dengan senang, tapi perilaku
dinginnya terlintas dalam benakku dan aku enggak bisa langsung memercayainya.
"Tapi kau mengambil ruangan klub kami tanpa ampun…"
"Aku mesti bertindak seperti iblis untuk melakukannya, itu sangat sulit, lo! Aku tak
bisa menunjukkan sikap pilih kasih."
"Dan kau selalu kelihatan enggak senang saat bersamaku."
"Itu karena aku berusaha sebisa mungkin untuk mengendalikan ekspresiku. Hanya
berbicara denganmu saja sudah membuatku ingin tersenyum, jadi aku gugup karena
takut ketahuan…"
Mukanya mulai memerah. Aku juga mungkin sama.
Kami saling pandang untuk sejenak.
"Begini, Eina."
"Eng, Shuu-san…"
Kami berdua terhenti bareng sebelum tertawa bersama.
"Kalau begitu, aku duluan…" ucapnya, tapi kutikung dia.
"Maaf, di saat seperti ini harus laki-laki duluan."
"… Baiklah."
Eina membenarkan duduknya dengan agak formal.
"Eina… " kuambil napas dalam-dalam dan berkata, "Aku mencintaimu. Sebenarnya
aku sudah mencintaimu semenjak pertama kali bertemu denganmu, saat aku bertemu
denganmu di perpustakaan sebagai Minekawa Yukino. Kupikir kau membenciku,
jadi sewaktu Eina mengirimiku pesan, aku semmpat melupakanmu, tapi aku selalu
mencintaimu."
Wajahnya memerah, tapi pandangannya tetap tertuju padaku. Air mata berkilau di
matanya.
"Aku sangat senang, karena kini kutahu bahwa Eina dan Minkewa Yukino itu adalah
orang yang sama, dan orang yang kucintai. Karena akhirnya aku tahu, bahwa aku ini
jatuh cinta pada orang yang sama."
"Aku…" ucapnya dengan gemetaran, "Aku juga selalu mencintaimu, Shuu-san.
Bahkan dari semenjak lima tahun lalu hingga sekarang! Selalu…"
Saat dia bicara, dia mendekatiku. Kurangkul dan kepeluk dia.
"Ini bukan mimpi, ‘kan?"
"Aku juga ingin tahu, tapi kurasa bukan. Kita benar-benar bersama," ucapnya,
tersenyum dalam pelukanku, membuatku tersenyum juga.
Kupikir kami terpisah sangat jauh, tapi ternyata dia ada tepat di sampingku…
Dia ada tepat di depan mataku. Ada begitu banyak yang ingin kubicarakan
dengannya. Ada begitu banyak tempat yang ingin kukunjungi bersamanya.
Mungkin akan menyenangkan untuk saling tukar buku.
Tapi untuk saat ini, aku hanya memeluknya, menikmati kebahagiaan yang kurasakan
karena dia ada di sisiku.
Tamat.