Anda di halaman 1dari 17

Aku bertopang dagu dan mengamati teman-teman klub yang terlihat sangat

“berantakan”. Para editor sibuk berdiskusi disudut ruangan, beberapa anggota bagian
fotografi dan rubrik saling berbisik dengan nuansa debat disekitarku. Aku menghela nafas
pendek sembari mengecek jam di layar ponselku. Satu jam lagi aku harus ke pelabuhan dan
dengan suasana seperti ini, aku tidak yakin bisa kesana tepat waktu.

Drrt.

Drrt.

Drrt.

Sudah kutebak, Ibu pasti menelpon. Suasana gaduh membuatku malas beranjak dan
mengangkat telepon Ibu. Aku memasukkan ponselku kedalam tas dan kembali
memperhatikan.

Sebenarnya, aku tahu penyebab kegaduhan ini. Semua bermula dari kepala sekolah
yang akan menghapus klub majalah sekolah di upacara penyambutan semester baru beberapa
hari yang lalu. Pria yang selalu mengenakan dasi pita berwarna nyentrik itu mengaku ingin
menghapuskan klub majalah lantaran klub majalah eletronik yang baru terbentuk tahun ini
lebih disukai oleh para murid dan tidak membutuhkan banyak anggaran pengeluaran. Tapi,
tetap saja kepala sekolah tidak bisa memutuskan seenaknya, menurut Natsumi kemarin.

Aku sendiri tidak begitu peduli jika klub yang sudah berusia hampir 10 tahun ini
dibubarkan. Diam-diam, Takeshi sensei, guru pembina klub majalah elektronik mengajakku
untuk bergabung denngan klub itu. Tidak hanya aku. Semua anggota ilustrator majalah juga
ditawari. Tapi, aku belum mau menerimanya. Setengah ilustrator majalah tadi pagi
mengundurkan diri dan mereka terlihat berada didalam ruang klub majalah elektronik dengan
perasaan bahagia.

Aku bisa mengerti perasaan mereka, tapi mata sembab Natsumi tadi lebih menyakiti
perasaanku. Untuk menjadi bagian klub majalah sekolah tidaklah mudah. Kami harus melalui
berbagai macam ujian dan bahkan Natsumi hampir seharian duduk bersilah didepan pintu
klub majalah karena ia ditolak secara tidak adil. Seseorang mencuri karyanya dipenilaian
akhir. Saat itu, tidak ada satupun yang percaya karena pencuri itu adalah mantan jurnalis
terkenal di majalah SMPnya dulu. Tapi, aku percaya padanya. Natsumi adalah sahabatku
sejak SMP dan aku sangat tahu tentang dia. Natsumi mencintai dunia kepenulisan sejak SMP,
tapi tidak memiliki keberanian untuk memperlihatkannya kepada orang lain termasuk aku.
Brak.

Brak.

Brak.

Lamunanku buyar oleh gebrakan Ikuta Osamu, pemimpin editor klub majalah
sekolah, dimejanya. Ia memukul meja dengan keras hingga ruangan menghening dan seluruh
pandangan tertuju kepadanya. Natsumi yang tadi sibuk berdebat dengan beberapa orang
segera duduk disebelahku dengan wajah yang sangat serius. Aku semakin khawatir.

“Dua minggu. Sekolah hanya memberikan waktu kita dua minggu untuk menggarap
majalah bulan ini.”

Hah?

Kedua mataku membelalak. Dua minggu tidaklah cukup.

“Aku butuh anggota yang banyak, tapi –“ Wajah Osamu semakin mendingin. “Aku
lebih membutuhkan anggota-anggota yang percaya jika majalah ini bisa terus ada sampai
kapanpun.”

“Ikuta-kun.” Gumam Natsumi pelan.

“Aku tidak akan membenci siapapun yang keluar dari ruangan ini sekarang, termasuk
mereka yang besok kutemukan diruang klub majalah elektronik.”

Cklek.

Satu persatu orang keluar dari ruangan dengan bungkam dan kepala yang menunduk.
Mereka yang keluar tidak mungkin menyesali keputusan mereka atau merasa malu dengan
keputusan keluar dari klub. Mereka hanya terlalu takut untuk keluar dengan mengangkat
wajah atau mungkin saja menyembunyikan ekspresi lega. Walau aku sendiri, tidak percaya
hanya dengan dua minggu dan jumlah anggota yang tersisa kurang dari seperempat total
keseluruhan mampu mengembalikan kepercayaan sekolah.

“Yabee.”

Kazekawa Aoi menutup pintu dengan perlahan sambil kedua matanya diedar
keseluruh ruangan. Jumlah yang kuduga kurang dari seperempat justru jauh dari kata kurang
dari seperempat. Ini sangat kurang dari seperempat. Hanya 7 orang termasuk aku.
“Apa yang bisa kita buat jika hanya 7 orang?” keluh Aoi sembari duduk disalah satu
kursi dengan lemas.

Aku memperhatikan orang-orang yang tersisa dengan seksama lalu menyadari satu
hal. 5 dari 7 orang adalah editor. Horikita Aoi, editor rubrik cerita fiksi; Mizayaki Natsumi,
editor rubrik percintaan; Ikuta Osamu, pemimpin editor; Arihama Takeda, editor rubrik
pendapat tokoh; Ai Nozomi, editor rubrik misteri; dan aku, Mika Yasumi, editor illustratror;
Lalu dua orang lagi, Tanaka Hiro, anggota magang, serta Nishiuchi Asami, anggota bagian
rubrik penggosipan.

“Padahal kupikir yang akan bertahan hanya para editor.” Komentar Takeda sembari
memutar pulpen ungu dijemari tangannya.

“Tanaka-san, Nishiuchi-san,” Panggil Osamu.

“hai.”

“h –hai.”

Mereka berdua beranjak dengan cepat dengan tatapan tertuju pada Osamu. Wajah
Osamu yang mendingin akhirnya melunak. Osamu sama sepertiku, ia tidak memiliki
keyakinan klub ini bisa kembali “hidup”. Itu hanya dugaanku setelah mengenal Osamu
sebagai anggota paling malas sejak kelas satu. Apalagi pemimpin terdahulu yang
menghukum kemalasannya dengan mengangkatnya sebagai penggantinya.

Ah.

Kurasa kepala sekolah berniat menghapus klub ini bukan karena kehadiran klub
majalah elektronik itu, tetapi, mungkin karena sejak Osamu memimpin, kotak saran selalu
penuh dengan pesan kritik dan hinaan. Aku semakin tidak heran dengan 33 anggota tetap dan
magang yang memutuskan untuk menyerah. Osamu sama sekali tidak pantas menggebrak
meja pemimpin, termasuk menunjukkan wajah dingin yang menyebalkan itu.

“Kenapa kalian masih tetap bertahan?” Tanya Osamu.

“Karena –“ Asami menunduk sembari menggosok tengkuknya perlahan. “ –bukan hal


yang tidak mungkin walau hanya dua minggu.”

Asami percaya? Kenapa?


Aku tidak begitu mengenal Asami, tapi hampir setiap hari aku melihatnya sedang
sibuk dengan tumpukan lembaran dan mendengar ocehan Haruna, editor pergosipan yang
ikut mengundurkan diri.

“kau? Tanaka-san? Kenapa –“

“Aku harus pulang.” Tiba-tiba, Nozomi beranjak sembari meraih tas sekolahnya
diatas meja. Semua mata pun tertuju padanya. “ayahku akan segera kembali dan sejak tadi
aku terus menolak panggilan telepon ibuku.”

“Tapi, kita belum selesai rapat.” Ucap Natsumi mencoba menahan kepergian Nozomi.

“Sejak pagi tadi, iie, sejak upacara, masalah ini sudah membuatku lelah. Aku tidak
ingin semakin lelah mendengar pertanyaan ‘kenapa masih bertahan?’ dari seorang pemimpin
yang baru muncul sekarang. Aku akan datang lebih pagi besok. Matta.”

Nozomi berjalan santai keluar ruangan dan ruang berukuran 10 x 15 m ini semakin
kosong. Ucapan Nozomi tadi benar-benar keren. Aku selalu ingin seperti gadis berambut
sebahu itu. Ketika ia bahagia, ia akan memperlihatkannya. Ketika ia sedih, ia akan menangis
didepan semua orang. Ketika ia marah, ia tidak takut membuat orang tersakiti oleh ucapannya
yang tajam. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Semuanya kupendam dalam hati. Semuanya.

“Nozo cotto.” Takeda ikut beranjak sembari menahan pintu ruang rapat klub universal
yang hampir tertutup rapat. “Osamu.”

Takeda menoleh kearah Osamu yang masih duduk tenang di”singgasanah”nya. “Aku
harap kau tidak memecahan tujuh orang ini.”

Aku memperhatikan Osamu, menunggu jawaban darinya. Tapi, Osamu hanya diam
hingga Takeda menghilang dibalik pintu bercat krem itu. Dari tatapanku, Osamu terlihat
mencoba tenang.

Atau –

Dia mencoba menyembunyikan kekhawatirannya?

“Jaa –“ Natsumi duduk dengan tegap sembari memandang wajah kami satu persatu
dan senyumannya kian melebar. “Ayo kita diskusikan ide kasar kita.”

Shimata.

***
Sejak awal, aku sudah tahu pemeran utama dalam kisah ini. Bahkan sekalipun
menggunakan sudut pandang milikku, Natsumi tetap menjadi fokus utama. Ia memiliki sifat
yang unik, moodbuster, dan tidak sedikit cowok disekolah yang jatuh cinta padanya.
Kehidupan keluarga Natsumi juga unik. Memiliki delapan bersaudara dengan dia anak tertua
kedua. Ibunya meninggal setelah melahirkan anak kedelapan dan ayahnya hanya seorang
nelayan. Kakak pertamanya bekerja di Tokyo, kakak keduanya berhenti kuliah dan
membantu ayahnya menangkap ikan. Adik pertamanya masih kelas 1 SMA, adik kedua
berusia 13 tahun, adik ketiganya berusia 12 tahun, adik keempatnya berusia 10 tahun, dan
adik kelimanya masih berusia 2 tahun.

Natsumi memilik hati yang sangat kuat dan aku sangat iri. Apalagi kejadian barusan
saat kami sedang rapat. Tanpa perlu make up atau melakukan hal-hal manis semua cowok
bisa bertekuk lutut padanya. Osamu kembali menanyakan alasan Hiro tetap bertahan.

“Karena Mizayaki senpai juga bertahan.” Jawab Hiro dengan wajah yang sedikit
bersemu merah.

“eh?” Natsumi tertegun.

Dari gelagat dan ucapan Hiro sudah jelas jika anak kelas satu itu menyukai Natsumi.
Asami dan Osamu pasti juga berpikir demikian. Tapi, aku lupa. Natsumi tidak pernah peka
dengan ucapan atau hal-hal yang bersifat tersirat.

“arigatou, Tanaka-kun. Ayo kita berjuang bersama!” Natsumi mengepal tangan


kanannya dan mengangkatnya dengan penuh semangat.

Tapi, bagaimana rasanya disukai, ya?

Aku mengedarkan pandanganku ke rumah-rumah disebelah kanan dengan terus


mengayuh sepeda. Sayup-sayup suara tawa dan teriakan bahagia terdengar olehku. Rapat
yang hanya menghasilkan ‘besok pagi rapat lagi’ menghabiskan waktu satu setengah jam.
Aku bahkan lupa hal-hal yang kami bicarakan tadi.

Daripada itu, aku tidak sabar untuk sampai dirumah. Setelah rapat, ibu kembali
menelponku, memarahiku karena lebih memprioritaskan rapat daripada penyambutan ayah,
dan memberitahuku jika makan malam tidak akan dimulai jika aku belum tiba dirumah.

“Jangan buat ayah menahan lapar lagi, ya, Yasumi.” Pesan Ibu sebelum mengakhiri.
Ayah bekerja sebagai seorang nelayan . Tidak hanya ayah, 55% ayah dikota ini adalah
seorang nelayan. Nelayan tradisional tepatnya. Mencari ikan tanpa menggunakan teknologi.
Ayah bersama teman-temannya berlayar sejak pertengahan bulan mei dan akhirnya kembali
pulang hari ini. Sangat menyedihkan melewati liburan musim panas tanpa ayah. Tapi, ini
pertama kalinya, sejak 17 tahun, para nelayan yang biasanya menyebar keseagala belahan
laut, kembali dihari yang sama dan waktu yang sama. Hal ini sangat jarang terjadi. Kudengar,
terakhir kali terjadi pada 20 tahun yang lalu. Bisa kembali bersamaan adalah suatu keajaiban.
Karena menggunakan alat-alat ttrdisional, termasuk navigasinya, kepulangan para nelayan
sangat bervariasi. Ada yang seminggu kemudian hinga enam bulan kemudian.

Argh~?!

Aku tidak sabar menanti pesta penyambutan para nelayan. Kota akan penuh dengan
gemerlap lampu dan segala makanan berbahan dasar ikan akan tersaji sepanjang jalan. Gratis!
Makanan-makanan itu akan disajikan gratis dan akan ada kembang api serta pentas seni dari
masyarakat.

Ciy.

Aku berhenti didepan sebuah rumah kayu bercat merah marun. Segera aku turun dari
sepeda dan mendorongnya masuk melewati pagar kayu berwarna coklat tanpa pintu. Aku
menyandarkannya dicela-cela rumah disebelah pintu depan lalu membuka pintu.

“Tadaima, Otou-san.”

Aku melepas sepatu sembarangan dan membiarkan pintu depan terbuka lalu berlari
masuk menuju ruang tengah. Bau sup ikan bayam –Ibu selalu memasaknya saat ayah pulang
–menyeruak masuk kedalam hidungku.

“kenapa Cuma Otou-san?” Sindir Ibu.

Semua orang sudah berkumpul diruang tengah dengan hidangan makan malam tersaji
diatas kotatsu. Ayah tersenyum padaku dan keriput disekitar sudut bibirnya semakin banyak.
Sayuri mendengus sambil bertopang dagu.

“Onee-chan oshoi yo. Aku sudah lapar.” Rengek Sayuri.

“warui.” Aku duduk disebelah adik semata wayangku itu yang masih duduk dibangku
kelas 1 SMP.
“Yasumi.” Ayah memanggilku dan melempar sebuah gelang betali merah kearahku.
“oleh-oleh.”

“eh?”

Sayuri melirik oleh-oleh ayah yang berada ditangaku dengan sombong. “Hanya
gelang. Ayah membelikanku android model terbaru.”

“Sayuri-chan.” Gumam Ibu dengan nada kesal.

“omedetou.” Ucapku sedikit ketus pada gadis genit itu lalu tersenyum pada ayah.
“Arigatou, Otou-san. Tada, kenapa gelang?”

“Sebenarnya, saat mencarikan barang yang Sayuri-chan pesan –“

“android Otou-san android. Bukan ‘barang’!” Potong Sayuri tiba-tiba.

Benar-benar kekanak-kanakan. Aku meliriknya sekilas.

“ayah bertemu dengan seorang peramal dan dia meminta ayah memberikan gelang itu
kepadamu.”

“naze?”

“Sesuatu yang dipikir mustahil didunia ini, sebenarnya berada disekitarmu. Dia hanya
mengucapkan itu.”

“heh~ naiya sore.” Celetuk Ibu dengan logat kansai.

“Ibu, berhenti menggunakan dialek kansai. Kita didistrik Tokyo, Ibu.” Sayuri
pertegas.

Sementara Ibu dan Sayuri berdebat tentang dialek kansai serta ayah diam-diam mulai
memakan nasinya, aku memandang rajutan benang merah yang dibuat menjadi gelang
dengan kening sedikit mengernyit.

***

Sesuatu yang dipikir mustahil didunia ini sebenanrnya berada disekitar –ku?

Massaka.

Aku mendengus geli sembari membuka jendela kamarku dan bayangan perbukitan
disebrang laut terlihat tampak jelas dibawah langit maam yang bertaburan bintang. Aku
memperhatikan gelang bertali merah itu yang melingkar dipergelangan tangan kananku
sambil kuelus perlahan. Aku sama sekali tidak mengerti ayah mau menerima pemberian
seorang peramal yang tentu saja adalah pembohong. Lagipula, kenapa ayah justru
menjadikan gelang gratisan ini sebagai oleh-oleh?

Aku meraih ponsel lipatku yang berada diatas meja belajar. Sebelum hari ini, aku
masih percaya pemeran pembantu sepertiku bisa mendapatkan keajaiban seperti pemeran
utama. Sejak SMP, aku membuat sebuah voice diary diponsel. Setiap malam aku merekam
suaraku, menceritakan segala hal yang terjadi. Tapi, aku menyadari sesuatu setelah aku
kembali mendengar salah satu rekamanku.

“kau tahu, setelah Natsumi keluar, semua orang langsung menyalahkan Natsumi.
‘Lari dalam masalah’, ‘kenapa selalu dia yang membuat masalah?’. Aku tahu jika kadang,
Natsumi melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang, bahkan hampir semua yang ia lakukan
bersifat spontan. Tapi, kalau mereka memang tidak suka, mereka seharusnya berbicara saat
ada Natsumi. Bukan setelah Natsumi pergi. Deshou? Terus, aku diam-diam keluar dari ruang
klub mengejar Natsumi. Saat Natsumi merasa sedih atau marah, ia pasti akan pergi ke sebuah
kapal tua dibelakang pelabuhan, walaupun hujan sedang turun dengan deras seperti sekarang.
Ombak pasti sangat besar, jadi tanpa mengganti uwabaki, aku mengambil sembarang dan
keluar gedung sekolah. Lalu diluar aku –“

Keningku mengernyit sembari menatap layar ponselku. Rekaman itu masih terputar.
Kenapa aku diam?

“ –melihat dikejauhan, Osamu memeluk Natsumi dibawah payung. Romantis ya?”


Suara desahan terdengar samar. “Natsumi pasti sangat terluka dengan masalah ini. Untung
saja –“

Klik.

“Aku sangat terkejut Sayuri sangat populer di SMP-nya. Sepulang sekolah aku
melihat seorang anak laki-laki dengan mengenakan seragam SMP memasukkan sesuatu
kedalam kotak pos rumah. Setelah itu, dia langsung berlari pergi dan aku mengecek kotak
pos. Kau tahu apa isinya? Sebuah surat cinta untuk Sayuri. Aku penasaran dengan isinya tapi
–“

Tap.
Aku melipat ponselku. Hari ini aku tersadar, menjadi pemeran pembantu bukanlah
takdirku, tapi pilihanku. Aku yang memilih untuk menjadi “penonton” untuk kisah-kisah
orang terdekatku, tanpa berani untuk membangun kisahku sendiri. Lalu, disisi lain, aku selalu
berharap sebuah keajaiban menghampiriku dan menjadikanku seorang pemeran utama.

Baka ja na, atashi.

“Mo ii.”

Aku kembali membuka ponsel dan pandanganku teralihkan oleh menara telepon tua
diatas perbukitan yang terselimut gelap malam. Semua festival selalu dirayakan tidak jauh
dari menara telepon karena sebuah rumor. Kudengar, saat kembang api menyala, menara
telepon tua itu akan menghilang selama tiga menit. Hanya seseorang yang ditakdirkan
bertemu dengan cinta sejatinya yang bisa menemukannya. Tapi, di zaman yang sudah
secanggih ini, tidak mungkin ada hal-hal seperti itu. Sejak aku lahir, aku memang tidak
pernah pergi ke menara telepon itu karena jarak area festival dengan menara itu sekitar 10
menit dan jalan setapak kesana cukup gelap sehingga aku sama sekali tidak percaya dengan
rumor itu.

Kudekatkan layar ponsel ke depan mulutku lalu menutup mata sembari menekan
tombol tengah pada keypad ponsel.

klik.

“Saat kembang api menyala difestival nanti, aku akan pergi ke menara telepon
bertemu dengan seseorang yang ditakdirkan padaku,?” Senyuman mengembang diwajahku
dengan kedua mataku kembali terbuka. “baka ja na. Atashi.”

klik.

Aku memandang layar ponselku dengan nanar. Kedua mataku tertuju pada angka 664
dipojok bawah. Aku tidak menyadari telah mengumpulkan diary voice sebanyak ini.
Rekaman suara barusan adalah diary voice terakhirku. Untuk berhenti menjadi seorang
“pemeran pembantu”, aku harus keluar dari kisah orang lain dan melupakan keinginan
memiliki kehidupan seperti didunia shoujo.

Aku menghapus seluruh rekaman suaraku setelah menutup jendela. Malam semakin
larut dan aku harus segera tidur. Kuhampiri stop kontak lampu sembari melirik jam digital
diatas meja. Aneh. Masih jam 10 lewat 10 menit. Kupikir saat masuk kedalam kamar sudah
jam 11.

Maa ii ya..

Tuk.

Lampu kamar mati dan segera kujatuhkan tubuhku kedalam futon berwarna merah
muda tua ini. Setelah rapat berakhir tadi, aku dan Natsumi janjian bertemu 15 menit sebelum
rapat dimulai. Tentu saja. Gadis berambut kuncir kuda itu pasti mengajakku melakukan misi
heroin. Tidak usah berpikir, akhirnya aku akan menjadi pemeran utama. Jika misi berhasil,
hanya Natsumi yang akan dibicarakan orang lain. Saat Natsumi melakukan misi, selalu ada
orang lain yang menonton, sementara aku, mencoba sebisa mungkin melakukannya
“dibelakang”. Mungkin itu alasan aku tidak pernah menjadi pemeran utama. Aku tidak biasa
menjadi bahan tontonan orang lain.

Sekarang lebih baik aku tidur dan saat aku terbangun dipagi hari esok, aku akan
bangun dengan pikiran baru dan semangat baru. Kupujamkan mataku perlahan. Kegelapan
semakin memberatkan mataku untuk terbuka.

Drrt.

Drrt.

Drrt.

Uzai.

Dengan kedua mata yang masih terpejam, aku merentangkan tanganku meraih ponsel
lipat yang kuletakkan tidak jauh dari bantalku dan langsung membukanya. Aku tahu pasti
Natsumi menelponku untuk mengingatkan agar aku tidak terlambat datang. Padahal, dia yang
selalu terlambat.

Aku menempelkan layar ponsel ke telinga kiriku sembari memiringkan badan


kekanan. “wakata. Atashi –“

“Aku mulai membenci kehidupanku.”

Deg.

Kedua mataku terbuka lebar dan jantungku berdegup kencang setelah mendengar
suara berat dibalik sambungan telepon. Bukan Natsumi.
Dare?

“Ibu mulai ikut campur dengan kehidupanku dan sop miso yang selalu ia buat saat
hujan, kini sudah tidak seenak dulu. Aku membenci sop miso buatan Ibu.”

Aku terduduk dan menyadari satu hal. Kata-kata marah ia lontarkan dengan suara
sendu. Bagaimana bisa ada orang yang marah dan sedih dalam satu waktu?

“Tidak ada lagi tempat nyaman untukku. Ibu sama seperti gadis-gadis itu. Kenapa
mereka menyukaiku dengan mengharapkan “imbalan”? kenapa semua orang menyebutku
jahat saat menolak perasaan mereka? Kenapa mereka memaksaku menyukai hal yang
kubenci?”

“a –ano –a –”

“shinda.”

Deg.

Shi –shinda?!

Aku menatap layar ponselku dengan kening mengernyit dan melihat keganjalan yang
meremangkan bulu kudukku.

Tidak ada penelpon dan ponsel yang sekarang digenggamanku –

–bukan milikku.

Aku loncat dan langsung menyalakan lampu. Kuperhatikan sekelilingku dengan


jantung yang berdegup lebih kencang daripada tadi. Tidak ada orang, hanya aku. Aku
menatap ponsel lipat berwarna ungu digenggamanku.

Tapi, bagaimana bisa ponsel ini berada disini? Dan ponselku!?

Aku mendekati futon dan menghamburkannya. Ponselku tidak ada. Nande? Aku
sangat yakin jika ponselku kuletakkan disebelah bantal karena memang selalu kulakukan
setiap malam sebagai alarm.

Aku kembali memandang ponsel lipat berwarna ungu yang berada digenggamanku
dan membukanya. Sebuah walpaper langit biru tanpa awan terlihat jelas. Aku membuka
segala aplikasi yang akan memperlihatkanku identitas pemilik. Tapi, keanehan kembali
terjadi.
Kontak ponsel kosong.

Kotak pesan kosong.

Galeri kosong.

Tidak ada jaringan.

Drrt.

Drrt.

Sebuah pesan masuk!

Aku semakin ketakutan dan bayang-bayang film horor ‘One missed Call’ menari-nari
dipikiranku. Dengan tubuh bergemetar hebat, aku membuka pesan itu.

dari: (tidak ada)

Subjek: 25 April 2006

Aku mulai membenci kehidupanku. Ibu mulai ikut campur dengan kehidupanku dan
sop miso yang selalu ia buat saat hujan, kini sudah tidak seenak dulu. Aku membenci sop
miso buatan Ibu. Tidak ada lagi tempat nyaman untukku. Ibu sama seperti gadis-gadis itu.
Kenapa mereka menyukaiku dengan mengharapkan “imbalan”? kenapa semua orang
menyebutku jahat saat menolak perasaan mereka? Kenapa mereka memaksaku menyukai hal
yang kubenci?

Shinda. Perasaanku telah mati. Aku semakin lelah berpura-pura baik-baik saja
didepan Ibu dan bersikap dingin dengan mereka. Kenapa hal yang ingin kuakhiri harus Ibu
lanjutkan?

Keningku mengernyit. Isi pesan ini sama seperti suara berat tadi. Tapi, kata ‘shinda’
tidak ditujukan kepada ‘mereka’, melainkan pada perasaannya yang telah mati.

Chigau.

Ia tidak marah. Ia kecewa.

Tapi, siapa dia?

***
Natsumi tidak bodoh. Ia hanya naif dan selalu memutuskan sesuatu tanpa berpikir
dahulu. Pagi ini, ia sangat terlambat dan membawa “kejutan” untuk kami. Mizaki Izuna dan
Serizawa Komari, anggota magang dengan nilai artikel tertinggi, datang bersama Natsumi.
Dengan wajah yang sangat jelas baru bangun tidur, Natsumi berhasil mengajak mereka
kembali. Tidak hanya itu, semalam, Natsumi tidak langsung pulang ke rumah, ia pergi ke
rumah kepala sekolah dan meminta perpanjangan waktu. Kepala sekolah sempat menolak dan
Natsumi tidak patah semangat.

“Jangan-jangan, kau duduk didepan rumah kepala sekolah berjam-jam agar


permintaan dikabul?” Tebak Aoi dengan senyuman mengejek.

“sekai. Tapi, hanya satu jam. Istri kepala sekolah membantuku berbicara dengan
suaminya.”

“uso.” Gumam Takeda pelan. “Jadi?”

“Jadi? Oh! Kepala sekolah mengabulkan permintaanku.”

“Nani nani?” Sahut Asami tampak bersemangat.

Natsumi mengacungkan jari telunjuk, “Satu hari. Kepala sekolah setuju untuk
memberikan kita penambahan waktu satu hari. Jadi, kita punya waktu pengerjaan 15 hari.”

Hah?

Natsumi tertawa bangga diantara keheningan yang kami ciptakan. Nozomi dan
Takeda saling tatap, Aoi hanya memandang Natsumi dengan melongo, Osamu bertopang
dagu dengan kedua mata yang tertutup, Hiro hanya tersenyum, Asami membenamkan
wajahnya kedalam kedua tangannya yang terlipat diatas meja, dan dua anggota magang
lainnya hanya memperhatikan.

Misi heroin. Mengajak dua anggota lain dan meminta penambahan waktu adalah
maksud Natsumi tentang pertemuan kami 15 menit sebelum rapat. Sepertinya, Natsumi
berubah pikiran, sehingga melakukan misi itu kemarin malam dan melupakan perjanjiannya
denganku.

Aku sudah tahu kebiasaan Natsumi yang suka terburu-buru. Mungkin ini alasannya
orang-orang membicarakan Natsumi dengan misi heroin-nya. Ia selalu melakukannya di hari
yang tidak disepakati. Lebih tepatnya, satu hari sebelumnya, bahkan dua jam setelah
merancang misi. Karena itulah, aku berangkat agak siang. Natsumi memang sama sekali
tidak menjelaskan padaku misinya kali ini, tapi saat ia datang terlambat tadi dengan
senyuman yang sangat lebar, aku tahu, misinya pasti berhasil.

“kau tidak perlu membuang-buang waktu duduk didepan rumah orang, hanya untuk
diberikan penambahan satu hari.” Ucap Osamu sembari membuka matanya dan menatap
Natsumi.

“heh?”

“Pria tua itu pasti terkejut, kan, kau hanya meminta penambahan satu hari?”

“oh? Sou?” Natsumi mengangangguk dengan wajah polos.

Aku mendesah pelan. Natsumi masih belum paham. Seharusnya, Osamu tidak perlu
bertele-tele seperti itu. Dia, kan, sudah tahu betapa kikuknya Natsumi.

“dakara, kenapa kau tidak meminta penambahan lima hari atau satu minggu atau satu
bulan? Nee?” Aoi memperjelas.

Natsumi terduduk dengan wajah syok. Akhirnya, dia sadar.

“watashi no baka. Aku sama sekali tidak berpikir sejauh itu.”

Karena klub majalah adalah klub tertua dan salah satu klub dengan membutuhkan
ruang yang besar, lantai dua gedung klub sepenuhnya milik klub majalah. Setiap rubrik
memiliki ruangan, termasuk rapat dan tempat percetakan.

“daijoubu, senpai.” Hiro yang duduk bersebrangan dengan Natsumi sedikit


mencondongkan tubuhnya kearah sahabatku itu. “Setidaknya, 15 hari lebih daripada 14 hari.
Arigatou gozaimasu.”

Benar-benar membuatku iri. Apalagi, tatapan cemburu Osamu. Aku tahu, Osamu
menyukai Natsumi sejak dikelas satu. Kami bertiga sudah sekelas sejak ditahun pertama dan
musim dingin ditahun pertama, aku tidak sengaja mendengar pernyataan cinta Osamu.

“sukidayou”

Saat itu didalam kelas dan Natsumi sedang tertidur menyandarkan kepalanya
dipundak Osamu. Aku tersenyum kecil. Osamu hebat sekaligus pengecut. Dia seorang pria
yang berhasil memendam perasaannya selama dua tahun. Aku tidak berniat menjadi
“penghubung” diantara mereka, jadi aku tidak pernah mengaku jika aku tahu perasaan Osamu
ke Natsumi.
“kita mulai rapatnya.” Ucap Osamu tiba-tiba sembari beranjak mendekati papan tulis.

Hiro bukan satu-satunya pria yang terbuka tentang perasaannya terhadap Natsumi dan
bukan pertama kali Osamu merasa cemburu, mungkin. Tapi, ketika ia merasa cemburu,
Osamu pasti akan “menganggu”. Seperti saat ini. Rapat sebenarnya sudah dimulai sejak tadi
dan mungkin melihat Natsumi serta Hiro yang sedang mengobrol, membuat Osamu
mengatakan hal yang menurutku konyol.

“Seperti rapat semalam, majalah kali ini akan membahas ‘Memori yang Terlupakan’.
Horikita duluan.”

“heh?” Aoi tentu saja terkejut karena ia sudah menjelaskannya sesaat sebelum
kedatangan Natsumi. Tapi, jika Osamu meminta dia menjelaskan ulang, ia mau tidak mau
harus melakukannya. Jika aku menjadi dia, pasti malas ribut dipagi hari.

Aoi beranjak kembali membuka catatan kecilnya sembari memutar-mutar sedikit


rambut panjangnya dengan jari telunjuk. “Jadi, aku berencana membangun cerita tentang
seseorang yang tidak menyadari mengidap penyakit ganda. Cerita ini bukan bergenre thriller
atau horor. Seseorang ini menganggap pribadinya yang lain adalah temannya dan genrenya
mungkin hanya drama dan teen. Masalah percintaan mungkin ada, mungkin juga hanya
tersirat. Kalaupun ada hanya sedikit. Aku tidak ingin terlalu memberatkan tentang percintaan
karena sejak aku menjabat menjadi editor, rubrik cerpen hanya berisi tentang percintaan dan
hampir semua surat saran dari pembaca hanya untuk rubrikku.”

Sugoi.

Sebenarnya, tidak benar jika hampir semua surat saran untuk rubrik cerita fiksi. Aoi
memang suka melebih-lebihkan fakta. Tapi tentang ‘sejak aku menjabat menjadi editor,
rubrik cerpen hanya berisi tentang percintaan’ aku mengakuinya. Tanpa alasan yang bisa
kutebak, Aoi tidak pernah menolak ide dari para anggotanya yang sangat klise. Percintaan
masa remaja. Tapi, Aoi sangat berbeda saat bersama kami –para editor –dengan saat bersama
anggotanya. Ia lebih banyak diam dan menebarkan senyum. Entahlah. Aku juga tidak
mengerti.

“Besok pagi berikan aku plot dan tambahkan unsur teka-teki untuk pembaca.” Jelas
Osamu tegas.

“eh?” Aoi memutar bola matanya lalu kembali duduk. “wakarimashita.”


“Aoyama giliranmu”

“Berhenti memanggilku Aoyama. Ai desu.” Pekik Nozomi sembari berdiri dan


menggebrak meja dengan pelan.

Tapi, semua orang tidak akan berhenti memanggilnya ‘Aoyama’. Saat ditahun
pertama, Nozomi yang duduk dipojok kanan depan mendapatkan kesempatan pertama
memperkenalkan diri didepan kelas. Ia mengaku pada beberapa orang termasuk aku, jika saat
itu ia sedang melamun dan tidak mendengar perintah sensei dengan benar. Katanya, ia dengar
sensei mengatakan,

“Sebutkan kota asal kalian dan nama panggilan kalian” Padahal sebenarnya, yang
dikatakan sensei, “Perkenalkan diri. Terserah jika menyebutkan kota asal atau nama
panggilan atau hobi kalian.”

Lalu, karena terlalu gugup, Nozomi menggabungkan nama panggilannya dengan kota
asalnya, “Aoyama Nozomi desu.”

Andai aku berada dikelas itu, pasti lebih lucu daripada mengetahuinya dari cerita yang
mungkin sedikit berlebihan.

“Et –to,” Nozomi meraih buku kecil bersampul hijau diatas meja dan membukanya.
“Ada tiga rumor disekolah yang sudah dilupakan setahun belakangan ini yang akan kujadikan
bahan. Tangga kedua kelantai tiga, –“

Rumor yang beredar, tangga kedua menuju lantai tiga memiliki tiga belas anak
tangga. Tapi, saat matahari terbenam, secara misterius, anak tangga akan bertambah satu.
Lebih mistisnya lagi, jika sedang beruntung, anak tangga ke-lima belas akan muncul dan
mengabulkan satu permintaan kita. Sayangnya, orang-orang yang “katanya” pernah
mendapatkan anak-anak tangga misterius itu sudah lulus dan setelah itu tidak ada lagi yang
pernah mengaku menemukan anak tangga ke-empat belas maupun ke-lima belas. Lalu, rumor
itu menghilang dengan sendirinya.

“Surat dari suicide club,”

Rumor paling kekanakan. Berawal dari salah seorang anak kelas tiga dua tahun lalu
yang mendapat sebuah surat kutukan dikolong mejanya. Setiap

Anda mungkin juga menyukai