Anda di halaman 1dari 386

BAB 1

Hauhau, Gadisnya si Ketua OSIS (Part 1)

Setiap orang sedang jatuh cinta.

Kalau sekarang dipikir kembali, mungkin itu yang namanya cinta


pada pandangan pertama.

Melaksanakan festival budaya pertama sejak masuk ke


Universitas Suimei Jurusan Seni.

Dan merasa tenang berdiri di panggung ruang musik Universitas.


Bagian 1
Para murid yang keluar dari kelas ketika jam istirahat, sedang
berisik didepan papan pengumuman yang ada dikoridor.

Disana terdengar suara seperti ‘pertama kali masuk dalam 50


besar, ada namaku disana’ , ‘buruk sekali’ , atau ‘ini tidak ada
hubungan denganku’.

Ketua OSIS Tatebayashi Souichirou menjaga jarak dengan


murid-murid yang sedang melihat papan pengumuman, dan
melihat namanya dipapan pengumuman dengan ekspresi yang
tidak puas.

Peringkat ke-9.

Itu bukan peringkat yang buruk. Di Suimei yang dalam setahun


hanya ada 300 murid, itu sudah sangat bagus.

Walaupun begitu, ekspresinya tetap tidak terlihat senang. Karena


bagi dia ini adalah peringkat terendah yang pernah ia dapat. Dari
masuk sekolah….. Sampai pada ulangan umum semester ke-2
tahun ke-2 selalu dapat peringkat 2……… Tapi kali ini malah
dapat peringkat 9.

Dan orang yang peringkat pertama itu wajar saja, membuat orang
lain menerima kekalahannya.
Kamiigusa Misaki.

Tempat itu tidak pernah berganti namanya, dia adalah raja yang
selalu memimpin diposisi teratas.

“Peringkat 9 ya, kali ini kau kalah drastis…….”

Yang berbicara tadi adalah orang yang berdiri disamping


Souichirou, dia adalah seorang murid laki-laki yang ganteng. Raut
wajah yang bagus, dan kacamatanya sangat cocok dengannya.
Dia adalah Mitaka Jin yang sudah sekelas dengan Souichirou
selama 2 tahun.

“Hanya karena keadaan kali ini kurang bagus.”

“Apa ketua OSIS tahu alasan kenapa keadaan kali ini kurang
bagus?”

Jin dengan santai menaruh tangannya diatas bahu Souichirou.

“Karena aku terlalu keras kepala ingin menang melawan


Kamiigusa. Belajar itu sejak awal bukan untuk menang melawan
orang lain tetapi belajar itu untuk diri sendiri.”

“Memang sebuah jawaban dengan gaya ketua OSIS.”

Jin tidak tahan menghela napas karena reaksinya Souichirou.

Souichirou langsung memindahkan tangannya Jin.

“Dingin sekali~~”
Walau Jin omong begitu, dia tetap diam-diam senyum.

Sejujurnya, Souichirou sangat benci sama Jin, teman sekelasnya


ini. Sudah pagi sering terlambat, juga pernah saat siang baru
datang ke sekolah. Bahkan, di lehernya ada bekas ciuman
seseorang……..

Bagi Souichirou yang sangat menaati peraturan yang bahkan


tidak pernah berlari dikoridor, Jin memiliki caranya sendiri untuk
bersantai. Dan juga tidak pernah melihat dia serius belajar tetapi
selalu bisa mendapat peringkat yang baik, ini membuat
Souichirou semakin benci dengan Jin.

Kali ini juga, nama Jin ada diperingkat 39.

Termasuk kepintarannya, cara dia mengganggu orang juga


sangat hebat, rasanya kesal. Saat ini juga.

“Apa ruginya belajar model jawaban?”

“Di dalam dunia ini ada beberapa soal yang tidak bisa
diselesaikan dengan buku pelajaran.”

“Kenapa aku harus mendengar Mitaka omong itu dengan seperti


sangat mengerti?”

“Karena aku lebih tahu isi dalam hatimu daripada kau sendiri.”

“Kalau begitu coba kau katakan apa yang ada di dalam hatiku.”
“Yakin tidak menyesal?”

“Aku benci sikap kau yang seperti itu, cepat katakan saja.”

“Kalau begitu maaf jika kurang sopan.”

Jin tetap tersenyum, dia tetap bertahan dengan sikap sekarang.

“Jangan-jangan ketua OSIS akhir-akhir ini sedang terlibat sebuah


‘hubungan’ dengan seseorang?”

Jin dengan santai mengatakannya.

“Apa?!”

Souichirou yang masih ingin protes itu terkejut oleh perkataannya


Jin, dan yang muncul dalam otaknya saat ini adalah seorang
murid perempuan. Dia selalu menggunakan headphone
dikepalanya dan merupakan murid jurusan musik…….

Jin semakin yakin dengan tebakannya setelah melihat reaksi


Souichirou itu.

“A-aku tidak sedang memikirkan Himemiya!”

“Aku tidak bilang orangnya kok?”

Souichirou baru sadar dia sedang menggali kuburnya sendiri,


sekejap telinganya memerah.

“Ah! Tidak, bukan, kubilang bukan!”


Padahal sudah tahu sekarang sudah terlambat untuk
menjelaskan, tapi tetap secara tidak sengaja mengatakannya.

“Ah sudah, sudah cukup dengan cinta tak terbalasnya, jangan


sampai mempengaruhi belajarmu.”

“……… A-aku tahu. Aku tahu sendiri aku tidak pantas untuknya.”

“Huh? Maksudku tadi adalah menyuruhmu ‘menembaknya’, lalu


mulai berpacaran lho.”

“Kau ini, apa mengejekku benar-benar menyenangkan?!”

“Kalau ketua OSIS mau berpacaran sambil belajar mungkin tidak


akan berat.”

“Apa yang kau katakan?”

“Maksudku, sudah setahun lebih, bukankah sudah saatnya untuk


memberitahu perasaanmu?”

“Ke-kenapa kau bisa tahu?”

Tidak terpikir akan diketahui oleh orang lain.

“Itu karena pada festival budaya tahun lalu, seseorang sepertinya


jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang murid
perempuan yang berdiri di atas panggung ruang musik.”

“…….”
Sudah tidak bisa menjelaskan lagi, perasaan malu sudah
mencapai batas, hanya merasa terkejut.

“Ketua OSIS masih ingat saat itu aku duduk disamping mu ’kan?”

“Ah, hn.”

“Apa kau tidak ingat waktu itu aku memanggilmu entah sudah
berapa kali?”

“…….. Hn.”

“Pokoknya begitulah.”

“………”

Souichirou masih ingat tentang hari itu. Tapi yang ada di dalam
ingatannya hanya ada bayangan seorang murid perempuan yang
bermain musik.

Setahun yang lalu…….. Waktu itu masih kelas 1.


Bagian 2
Memasuki festival budaya Suimei yang pertama, dengan kesan
yang sangat sibuk akhirnya sampai pada hari terakhir festivalnya.

Souichirou sebagai Komite Eksekutif festival budaya, berlari


kesana sini untuk persiapannya, walau sedang istirahat, dia
selalu diminta menjaga stand dan lain-lain, dan dia tidak puya
waktu untuk menikmati festival itu.

Mungkin karena tidak ada waktu untuk bermain, tapi


rasanya sangat puas bisa membantu banyak.

Dan pada hari terakhirnya, akhirnya ada waktu bebas. Souichirou


mengamati festival budaya dari atas di loteng.

“Festival budaya Suimei memang sangat mengejutkan.”

Tidak hanya bekerja sama dengan Universitas kesenian yang


lain, juga bekerja sama dengan distrik perbelanjaan, jadi festival
budaya Suimei adalah sebuah festival yang wajib pada setiap
tahun, dan berlangsung selama seminggu.

Jumlah pengunjung bertambah tiap tahunnya, selain pengunjung


dari sekolahnya sendiri , juga banyak pengunjung dari tempat
lain.
Yang terlihat dari atas adalah tim boneka muppet yang sedang
mengelilingi sekolah, bahkan terlihat seorang murid berwajah
badut sedang menghibur para pengunjung. Sekolah dipenuhi
keramaian orang-orang, yang terlihat dimana-mana adalah
senyuman dan suara tawa para pengunjung.

Karena pemandangan inilah Souichirou memutuskan untuk


masuk ke Suimei, dan saat ini dia merasa puas dengan
pencapaiannya itu.

Ekspresi ia akhirnya menjadi santai lagi.

Dan saat ini ada seseorang dibelakang Souichirou dan orang itu
memanggilnya.

“Hoi, wakil ketua.”

Tidak perlu memutar kepala, sudah bisa dipastikan itu adalah


Mitaka Jin yang sekelas dengannya.

“Aku belum menjadi wakil ketua.”

Souichirou menjawabnya sambil memutar badannya menghadap


Jin.

Pemilihan ketua OSIS Suimei dipilih saat ada kegiatan besar-


besaran seperti saat ini, festival budaya. Hasilnya akan
ditetapkan pada hari terakhir festival budaya. Setelah itu, ketua
dan wakil ketua yang baru akan bekerja sama untuk memimpin
sekolah ini.

Kira-kira masih sekitar setengah jam lagi……… Sore jam 3, tahun


ini Souichirou mengikuti pemilihan wakil ketua OSIS, hasilnya
akan diumumkan sebentar lagi. Karena itu, Souichirou tidak bisa
tenang dan datang ke loteng untuk menenangkan diri.

Dan tidak terpikir Jin sekarang ada disampingnya, mendekat


dengan wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

“Mitaka, dasi harus dipasang dengan benar.”

Setelah melihat dasinya yang longgar itu, Souichirou


menegurnya.

“Wakil ketua ternyata tidak berubah sama sekali, keras sekali


kepalanya. Seperti yang diharapkan dari orang yang dijuluki ‘otak
berlian’ oleh Misaki.”

Jin sepertinya teringat hal itu, dan tertawa.

“Aku menghabiskan waktu 3 hari untuk menghilangkan julukan


itu, jangan membahasnya lagi.”

“Lawannya Misaki dan bisa bertahan selama 3 hari, patut dipuji,


wakil ketua.”

“Tadi sudah ku bilang, aku belum menjadi wakil ketua.”


“Kalau begitu, aku memanggilmu Souichirou seperti biasa saja?”

“Sejak kapan hubunganku sebaik itu dengan Mitaka sampai


memanggil ‘Souichirou’?”

“Kata-kata mu membuatku tersakiti.”

Walau dia bilang begitu, dia tidak terlihat tersakiti sedikitpun.

“Mitaka, kenapa kau selalu mengikuti ku?”

“Kau ingin bilang orang yang santai sepertiku tidak akan cocok
berteman dengan wakil ketua?”

Souichirou tidak pandai menangani Jin. Walau tidak bilang


dengan jelas, Jin selalu bisa menebak maksud kata-katanya yang
sebenarnya, seperti isi dalam hatinya semua diketahui oleh Jin,
rasanya kurang nyaman.

Mungkin sadar suasana hatinya Souichirou sedang tidak baik, dia


memindahkan pandangannya ke lapangan yang ramai karena
festival budaya.

“Masih ada sedikit bekasnya.”

Jin tertawa pahit saat melihatnya, itu adalah lukisan yang dilukis
Misaki. Saat itu adalah hari pertama festival budaya, Misaki tanpa
izin sembarang melukis gambar beruang diatas lapangan itu
kurang lebih panjangnya 50 meter dan lebarnya 80 meter.
Tanpa rencana sedikitpun, Misaki berhasil lolos dari Komite
Eksekutif dan guru-guru yang mengejarnya. Souichirou sebagai
anggota Komite Eksekutif juga mencoba menghentikannya, tapi
ditengah sadar ternyata dia sedang melukis, dan akhirnya cuma
melihatnya dari samping.

Karya yang membutuhkan sekitar 1 jam untuk selesai, bisa


dibilang sebuah mahakarya, menarik banyak perhatian, Misaki
juga dipuji dan diberi tepuk tangan. Misaki mempunyai kekuatan
untuk menarik orang disekitarnya, entah kenapa.

“Ada apa dengan teman masa kecilmu itu?”

Sampai saat SMP, tidak ada orang seperti Misaki yang tidak
pernah mendengar kata orang lain. Tidak hanya tidak mendengar
kata orang lain, dia juga sangat pandai, dan bisa masuk ke
Suimei karena peringkat terbaik di jurusan seni, dan karena saat
belajar selalu sibuk membuat anime, haknya seperti
direbut……….Juga ternyata dia lebih pandai belajar daripada
Souichirou, sungguh makhluk yang mengerikan.

“Kalau aku bilang dia adalah alien, apa kau terima?”

“Itu lebih mudah dipercaya daripada percaya dia ada seorang


manusia yang normal.”

“Haha, aku juga berpikir begitu.”


Jin tertawa dengan suara yang besar.

Setelah terdiam sejenak, percakapan dihentikan.

2 orang berdiri dekat pagar, melihat bekas lukisan itu.

“Aku merasa aku cocok dengan orang seperti wakil ketua.”

Jin tiba-tiba omong begitu.

Souichirou sesaat tidak tahu apa yang Jin omongkan, tapi


sepertinya itu adalah jawaban dari pertanyaannya yang tadi.

“Cocok dari mananya?”

Souichirou tertarik untuk bertanya lagi. Bagaimanapun, paling Jin


menjawab tidak serius……..

Soal Souichirou, Jin dengan serius mengatakan :

“Seperti melihat teman laki-laki sekelas ‘seperti anak kecil saja’.”

Souichirou terkejut, jantungnya dengan kuat berdetak sekali.

“………….”

Tubuhnya selalu memberikan reaksi, dan dia


dengan kesal menatap Jin.

“Jangan menunjukan ekspresi yang menyeramkan gitu.”

“Kenapa kau berpikir begitu?”

“Haiya, kau tidak mengakuinya ya?”


“Sekarang aku sedang bertanya.”

“Tidak ada alasan yang spesial. Dengan melihat saja sudah tahu,
wakil ketua melihat sesuatu dari ‘atas’kan? Juga karena
begitulah, serasa melihat diri sendiri dari sudut lain.”

“………”

“Dengan kata lain, kau itu orang yang hidup dengan ‘harga’, jadi
hanya bisa menjawab sesuai dengan jawaban yang ada dibuku
pelajaran, merupakan seorang murid teladan. Tapi karena
begitulah, dilihat dari situasi wakil ketua, tidak peduli ngobrol
sejauh manapun, tidak akan membiarkan orang lain terlalu
‘masuk kedalamnya’ dan berakhir tidak tahu yang mana
merupakan kalimat yang berasal dari isi hatinya sendiri.”

“Tidak dapat melihat isi hatinya itu, aku kembalikan padamu.”

“Jadi bukankah sudah kubilang, aku cocok dengan wakil ketua.”

Jin menunjukan senyuman yang bangga itu.

“Jangan panggil aku wakil ketua lagi.”

Seperti ingin mengubah topik, Souichirou mengatakan untuk


ketiga kalinya.

“Tunggu sekitar setengah jam lagi hasilnya akan keluar, tidak


masalah’kan aku memanggilmu wakil ketua?”
“Alasan macam apa itu? Ada kemungkinan tidak terpilih’kan.”

“Aku sudah memilihmu, tidak mungkin kau akan tidak terpilih.”

“Kau memilihku?”

Sejujurnya ini diluar dugaan. Daripada Jin memilihku, tidak


disangka dia akan pergi mencoblos untukku………….

“Sebagai teman, harus pilih dong.”

“Aku tidak menganggap Mitaka sebagai seorang teman.”

“Yang kau bilang tadi itu rasanya membuat orang menjadi tidak
semangat.”

Terbalik dengan yang dikatakannya tadi, Jin tertawa.

“Tapi disaat kau terpilih, bisa tidak menggunakan posisi wakil


ketua itu untuk mencabut larangan tidak boleh meninggalkan
asrama pada malam hari?”

“Kau selalu melanggar aturannya, wajar saja kau dipindahkan ke


Sakurasou, dan bukannya sudah terlambat untuk itu?”

“Benar juga.”

“Mitaka, apa kau datang ke sini hanya untuk membicarakan hal


yang membosankan?”

“Tidak, aku ada tujuan lain.”

“Bilang saja.”
“Aku mengundang wakil ketua untuk kencan denganku.”

Seperti dugaan, Jin mengatakan hal yang tidak-tidak, tentu saja


Souichirou membalasnya dengan tatapan yang ‘tajam’.

Tempat yang dibawa oleh Jin, adalah ruang konser yang ada
disekitar Universitas Suimei.

Paling banyak bisa muat sekitar 600 orang, rumor fasilitas


musiknya mencapai tingkat nasional, juga sering dipakai untuk
pertunjukan musik, merupakan salah satu fasilitas yang
dibanggakan Suimei.

Disaat Souichirou masuk ke dalam, tempat duduk sudah diduduk


sekitar 80%, suara ngobrol dan napas orang-orang membuat
udara terasa tidak enak.

“Hoi, Mitaka.”

Saat Souichirou memanggil, Jin seperti sedang mencari


seseorang.

“Ah, ketemu.”

“Ketemu siapa?”

“Misaki’lah.”

Jin yang menjawab dengan tentu saja, berjalan dengan cepat.

“Kamiigusa dimana…….”
Lingkungan ini bukan tempat yang bisa menemukan orang yang
dicari semudah itu, saat ini ada sekitar lebih dari 500 orang di sini.

Souichirou terpaksa, hanya bisa mengikuti Jin. Berjalan ke depan,


dan ketemu Misaki.

Dia duduk dibarisan ke 3 dari depan.

“Misaki.”

Jin berteriak, Misaki putar kepalanya dan dengan kuat


melambaikan tangannya.

“Sini! Sini!”

Sepertinya dia sudah bantu mengambil tempat dulu.

3 orang dari Misaki, Jin sampai Souichirou duduk berurutan.

Ngomong-ngomong, bisa ketemu Misaki dalam keramaian seperti


ini dengan cepat memang sesuatu si Jin.

“Kenapa?”

Jin bertanya.

“Tidak ada.”

“Oh, benarkah?”

“Dibandingkan itu, sudah saatnya kau beritahu alasan kenapa


kau membawa aku ke sini.”
“Itu Hauhau lho, wakil ketua!”

Yang jawab itu adalah Misaki.

“Kau juga gitu, Kamiigusa. Aku sudah bilang sama Jin, aku belum
menjadi wakil ketua.”

“Ayo semangat, wakil ketua!”

Sama sekali tidak didengarnya.

“Kau pasti akan terpilih~~!”

“Apa kau ada bukti……..”

“Aku sudah memilih wakil ketua lho.”

Misaki dengan percaya diri mengatakannya.

“Tunggu saat kau terpilih, gunakanlah posisimu sebagai wakil


ketua ubah sekolah ini jadi robot ya~~!”

“Yang kutanya padahal bukti. Juga, kenapa robot………”

Sampai anak kecil sekarang sudah tidak ngomongin soal robot


lagi. Dan berkat ini, Souichirou menjadi semakin lelah.

Sama sekali tidak mengerti pola pikirnya Misaki, dia terlalu ‘liar’.
Tidak peduli penilaian orang lain, tidak takut semua hal yang ada
didunia ini, merupakanmakhluk yang sama sekali berbeda
dengan Souichirou, membuat orang pusing.

“Pokoknya begitu, dia Hauhau lho. Wakil ketua!”


Soal wakil ketua biarkan saja. Kalau benar-benar tidak terpilih
akan buruk sekali, juga Souichirou tidak punya tenaga lagi untuk
mengurus Misaki.

Sebaliknya, lumayan penasaran apa maksud ‘Hauhau’ itu.


Karena sifatnya sendiri kalau ketemu sesuatu yang tidak dapat
dimengerti akan menjadi tidak bisa tenang.

“Mitaka, tolong terjemahkan kalimat Kamiigusa tadi ke dalam


bahasa jepang. Apa itu ‘Hauhau’?”

“Kau akan segera tahu nanti.”

Sepertinya Jin juga merasa Souichirou yang dipermainkan Misaki


itu sangat menarik, jadi sama sekali tidak bisa diandalkan.

Seperti yang Jin bilang, jawabannya segera muncul.

------ Selanjutnya, dilomba musik tingkat nasional yang diadakan


bulan lalu, Himemiya Saori kelas 1 jurusan musik yang
mendapatkan juara ke-3 dengan permainan pianonya,
pertunjukannya akan segera dimulai.

“Itu Hauhau!”

Misaki memajukan badannya.

Suara tepuk tangan yang bagaikan suara petir. Tapi dengan


segera juga berhenti, setelah 10 detik ruangan itu
menjadi sunyi sepenuhnya.
Sangat diam.

Perasaan tegang memenuhi ruangan itu.

Disaat seperti ini, terdengar suara langkah kaki.

Bersuara ‘teg teg teg’ dan menuju ke depan.

Yang berjalan dipanggung itu adalah seorang murid perempuan


yang memakai gaun hitam. Rambut pendeknya yang halus dan
lembut itu terlihat seperti baru bangun tidur dan terlihat lucu.
Juga, dia berdiri dengan tegap, ekspresinya terlihat dewasa, juga
cantik. Awalnya kira umurnya lebih tua tapi ternyata dia jugamurid
kelas 1, seangkatan dengan Souichirou. Juga
seangkatan dengan Misaki dan Jin.

Tidak dapat dipercaya, karena murid yang seangkatan memakai


gaun, dan sosoknya yang berdiri dipanggung tanpa takut dan
berani itu, membuat Souichirouterkejut.

Dia berdiri disamping piano, dengan anggun memberi salam.

Lalu mengatur posisi kursinya, dan duduk di depan piano.

Baru melihatnya menaruh jarinya diatas piano, tanpa sinyal


ataupun persiapan, dia mulai bermain melodi yang indah nan
menarik.

Souichirou yang belum bersiap mendengar, merasa terkejut


dengan cara dia memulai permainannya ini.
Itu adalah sebuah lagu yang bahkan Souichirou tahu yang
berasal dari musik klasik. Walau tidak ingat judulnya, tapi ini
adalah lagunya Chopard.

Setiap melodi menunjukan keberadaannya, dan melodinya diatur


sangat kompak.

Otak cuma bekerja sampai sini.

Semua konsentrasi terpacu pada lagunya, melodi yang dia


mainkan dari hatinya.

Dengan perasaan penuh seperti sedang bernyanyi, dia selesai


bermain lagu pertama.

Para penonton bertepuk tangan untuk pertunjukannya.

Souichirou juga seolah tangannya bergerak dengan


sendiri memberikan tepuk tangan. Walau Jin yang ada disamping
sedang mengatakan sesuatu, tapi Souichirou tidak
memasukkannya ke telinga.

Dan pada saat ini, semua kesadaran Souichirou seperti dibawa


oleh gadis yang ada diatas panggung itu.

Pertunjukannya selesai setelah bermain 3 lagu. Setelah selesai


Souichirou baru tahu, semua lagu yang dimainkan ini sepertinya
adalah lagu yang ditentukan dalam lomba.
Setelah pertunjukan selesai, Souichirou masih sedikit melamun,
lagunya masih ada dalam otaknya, dalam matanya melihat
bayangan gadis itu semakin jauh.

“Bagaimana, wakil ketua! Hauhau sangat hebat’kan!”

Misaki seperti sedang membicarakan diri sendiri dan bangga.

“Kenapa Kamiigusa yang merasa bangga?”

“Karena Hauhau adalah temanku!”

Misaki yang omong tanpa ragu dan sambil tersenyum itu


membuat Souichirou terkejut dan tidak bisa omong apapun.

Tapi, menarik juga, orang seperti apa yang akan berteman


dengan Misaki? Seperti apakah orangnya?

“Kalau begitu, ayo pergi.”

Jin tidak peduli tampilannya masih berlangsung dan berdiri.

“Mau pergi kemana?”

“Tentu saja pergi ke ruang istirahatnya lah!”

Misaki menjawab dengan kuat.

Souichirou dibawa selangkah demi selangkah ke bagian


belakang ruang konser. Dikoridor yang menuju panggung ada
beberapa kamar, itu merupakan ruang istirahat para penampil.
Ruang istirahat Saori paling dalam. Dipintunya selain tertempel
jadwal tampil, juga tertempel nama penampil. Misaki membuka
pintunya tanpa mengetuk, dan masuk ke dalam tanpa bilang apa-
apa.

“Permisi~~!”

“Uwa! Misaki? Se-sekarang tidak boleh! Jangan memelukku!”

Di dalam ruang istirahat terdengar suara yang sangat besar.

Souichirou yang berdiri depan pintu merasa tertarik, dan melihat


ke dalam ruang istirahat, pemandangan yang diluar dugaan ini
terlihat oleh Souchirou.

Saori sepertinya sedang mengganti baju, diseluruh tubuhnya


hanya memakai pakaian dalam. Dia terdorong oleh Misaki sampai
jatuh ke lantai.

“Warna hitam ya.”

Jin yang disamping mengamati seluruh ruangan itu.

“Pakai yang warna hitam karena kalau pakai warna yang tidak
cocok dengan gaunnya, akan tampak dari luar nanti!”

Saori sepertinya sedang menjelaskan.

“Kalian mau lihat sampai kapan!”


Souichirou dengan segera menarik lengan Jin dan pergi dari
tempat itu, sebelum pergi dia juga menutup pintunya.

Setelah sesaat, terdengar suara pintu dikunci.

“Setelah pertunjukan yang menarik, masih bisa lihat


pemandangan yang indah, sesuatu banget yah.”

“Apa yang kau katakan?”

Souichirou tidak memedulikan Jin yang meminta setuju dengan


pendapatnya, dalam hatinya masih tidak bisa melupakan yang
tadi, jantung berdetak dengan cepat sekali.

“Kau tidak melihatnya? Sayang sekali. Tadi itu adalah tubuh


telanjang perempuan cantik yang jarang sekali kita bisa lihat.”

“Ma-masih memakai celana dalam kali!”

Souichirou dengan alami membalas begitu, Jin sedang terawa.

Tatapan mata Souichirou dengan segera menjadi tajam.

“Jangan marah sampai segitu dong.”


“Aku hanya tidak tahan dengan sikapmu itu.”

Saat ini, pintu ruang istirahat terbuka.

Saori yang habis mengganti pakaiannya dari gaun menjadi


seragam merasa kesal karena perbuatan Misaki yang tadi.
Dileher Saori ada headphone yang besar, ada tulisan ‘HAUHAU’
diatasnya. Sepertinya inilah asal dari julukannya itu.

Mungkin karena sadar, tatapan Souichirou dan Saori bertemu


untuk pertama kalinya.

“Ee~~ ehm-ehm………”

Dia sengaja menyegarkan kembali tenggorokannya. Lalu------

“Mungkin ini pertama kalinya kita bertemu, namaku Himemiya


Saori, aku adalah murid jurusan musik.”

Saori sambil omong dan mengulurkan tangannya untuk meminta


bersalaman.

“Ah, hn.”

“Panggil dia Hauhau ya!”

Saat ini, Misaki datang mengganggu Souichirou yang sedang


bersalaman dengan Saori. Saori seperti repot dan menyingkirkan
Misaki dan berkata :
“Kalau panggil lagi julukanku itu, aku tidak akan pedulikan kau
lagi, aku akan berusaha untuk tidak peduli dengan kau.”

Sepertinya dia tidak begitu suka dengan julukan itu. Tapi itu tidak
penting bagi Souichirou. Setelah melihatnya mengganti pakaian
tadi, apa harus meminta maaf………. Tidak, tidak, sebaiknya
jangan membicarakan ini dulu…….. Souichirou berpikir begitu.

“A-aku akan mengingatnya. Namaku Tatebayashi Souichirou,


merupakan teman sekelas Mitaka.”

“Hn, aku tahu tentang kau.”

“Benarkah?”

Souichirou bertanya.

“Sering melihat namamu dipapan pengumuman, selalu dapat


peringkat yang bagus, apalagi merupakan wakil ketua
selanjutnya.”

Saori menjawab begitu.

“A-aku belum terpilih……..”

Topik ini juga, entah sudah berapa kali hari ini.

“Ya benar juga, pertama kali bertemu sudah membuatmu melihat


hal yang tidak pantas, kalau kau bisa melupakannya aku akan
sangat senang.”
“Ah, tidak……..”

Souichirou tidak tahu harus bereaksi seperti apa setelah melihat


siswi sedang mengganti pakaian. Walau sudah berpikir, tetapi
tidak dapat kesimpulannya, tidak bisa membalas dengan jawaban
yang memuaskan dan akhirnya terdiam.

“Kalau ingin dia melupakannya tidak mungkin lho. Hauhau


menganggap murid laki-laki SMA sebagai apa? Benar ‘kan, wakil
ketua?”

“Jangan samakan aku denganmu.”

“Walau omong begitu, aku melihatmu saat memikirkan kembali


hal itu wajah mu menjadi merah lho.”

“Kalau aku benar-benar memerah wajahnya, itu pasti karena aku


marah sama Mitaka!”

“Wakil ketua punya perasaan sedalam itu denganku, rasanya


malu sekali.”

“Ku tinju kau.”

Souichirou mengepalkan tangannya, Jin dengan lebay mundur


beberapa langkah.

“Hubungan kalian berdua baik juga ya.”

“Lumayanlah.”
“Mananya yang baik?”

Jin dan Souichirou mengatakan pada saat yang sama.

“Hoi, hoi, apa kau coba main-main denganku?”

“Jangan bilang hal seperti itu, buat aku merinding saja.”

“Ah dingin sekali. Ya sudah, anggap saja aku sedang


memikirkanmu sekarang.”

“Hal seperti ini juga tidak boleh bilang.”

“Benaran, hubungan kalian baik ya.”

Saori tertawa.

“Semua gara-gara kau kita ditertawakan.”

“Bisa membuatmu senang


merupakan sebuah kehormatan bagiku.”

“Aku dengan Hauhau adalah teman baik lho!”

Misaki memeluk Saori, dan memegang dadanya.

“Ah……….ah! Misaki, jangan membuatku mengeluarkan suara


yang aneh.”

Sekali lagi Saori menyingkirkan Misaki darinya.

“Hari ini aku belum dapat nutrisi dari Hauhau lho!”

“Jangan sembarang buat nutrisi yang aneh itu. Memanglah…….”


Soal perempuan, memang susah dimengerti.

“Kalau begitu, aku ingin makan taiyaki!”

Walaupun tidak mengerti dari mana kata ‘kalau begitu’ itu keluar,
tapi Misaki menggenggam tangan Saori.

“Tu-tunggu bentar, Misaki! Lari seperti ini bahaya!”

Misaki sama sekali tidak mendengar apa yang Saori katakan,


dengan kecepatan yang luar biasa berlari keluar, dengan cepat
tidak melihat mereka berdua lagi, bahkan suara teriakan Saori
juga tidak terdengar lagi.

“Kalau begitu, ayo kita pergi juga.”

“Pergi ke mana?”

“Tentu saja pergi makan taiyaki.”

“Kenapa aku juga harus pergi.”

“Daripada tidak tenang sendiri saat di loteng.”

“………”

Tidak kali.

“Apa karena inilah kau datang mencariku?”

Tapi, Jin tidak menjawab.


“Kalau tidak cepat, nanti taiyakinya dihabiskan semua oleh Misaki
lho.”

Dia omong begitu, dan dengan cepat berjalan menyusul Misaki.

Saat ini juga tidak boleh menghilang begitu saja, Souichirou


mengejar Jin dibelakangnya.

Melewati jalan yang dipenuhi orang-orang. Jalannya seperti saat


pasar malam, terdiri banyak tenda yang menjual
makanan, takoyaki, taiyaki, mie,okonomiyaki, manisan buah, dan
permen kapas. Berbagai makanan lengkap, pembeli yang terus
berdatangan, membuat tempat ini lebih ramai daripada tempat
lain.

Karena keadaan yang maju aja susah, jadi bersusah payah untuk
mendapatkan taiyakinya.

Dengan susah payah setelah mendapat taiyaki, mereka


meninggalkan tempat itu.

“Punya Hauhau rasa apa?”

“Punyaku rasa kacang merah yang biasa.”

Souichirou juga sama, punya Misaki rasa krim, dan punya Jin
rasa matcha kacang merah.

“Hauhau, minta 1 gigitan.”


“Aku tidak keberatan……. Misaki, hanya 1 gigitan ya? 1 gigitan
saja ya?”

Belum juga selesai bicara, Misaki sudah memakan taiyakinya


Saori.

“Ah, tunggu! Misaki!”

Setelah Misaki selesai makan taiyakinya Saori, yang tinggal di


tangan Saori hanyalah ekornya saja. Kacang merahnya dimakan
habis Misaki tanpa tersisa sedikitpun.

“Taiyakiku……..”

Saori dengan tatapan membenci melihat Misaki. Ekspresinya saat


ini sama sekali berbeda dengan saat dipanggung, itu menarik
Souichirou untuk menatapnya.

“Kalau tidak keberatan mau tidak makan punyaku? Aku belum


memakannya.”

Souichirou mengatakan itu sambil memberikan taiyakinya.

“Benarkah?!”

Dengan sekejap ekspresi Saori kembali membaik.

“Tidak, tapi, kalau aku ambil……, kau tidak bisa……..”

Lalu berkomat kamit sendiri.

“Kalau begitu, setengah saja.”


Souichirou menggunakan tangannya membagikan taiyakinya itu,
memberikan bagian kepala yang penuh dengan kacang merah
pada Saori.

“Terima kasih.”

“Tidak, tidak, ini bukan apa-apa.”

Saori berkomat kamit omong ‘enak sekali’, sambil tersenyum


bahagia. Melihatnya saja Souichirou juga merasa bahagia.

“Tatebayashi-kun orangnya baik juga.”

“Semoga tidak ada maksud lain saja.”

Jin yang berjalan dibelakang mengejek Souichirou.

“Maksud lain?”

Saori memiringkan kepalanya.

“Mitaka, jangan samakan aku denganmu.”

Souichirou dengan ekspresi tidak tahan menatap Jin, dan Jin


hanya tersenyum saja.

“Sepertinya belum sadar juga.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak, cuma omong sendiri.”


“Selanjutnya makan takoyaki lho! Aku akan memakan semua
makan yang ada disini~~!”

Misaki berlari sendiri, Jin juga menyusulnya dibelakang, jadi


Souchirou tidak bisa tanya maksud kalimat Jin yang tadi.

Saori disamping Souichirou, sedang menikmati taiyakinya.

Mungkin karena Souichirou melihatnya terus, tatapan mata


mereka berdua saling bertemu.

“Ah, hn, tidak ada apa-apa.”

Souichirou menjawab dengan buru-buru padahal tidak ada yang


bertanya. Entah kenapa, dia merasa gugup dan detak jantung
lebih cepat dari biasanya. Bukan karena khawatir hasil pemilihan
wakil ketua…….. Kalau memang benar begitu, jangan-jangan
perasaan ini adalah………

Souichirou melihat Saori seperti sedang mengintip sesuatu, dan


tatapan mata mereka berdua saling bertemu lagi.

“Ah, hn……….”

Dia menjelaskan lagi seperti yang tadi, lalu dengan buru-buru


Souichirou menutup mulutnya.

Untuk keluar dari suasana yang aneh ini, dia lanjut mengatakan :

“Pe-permainanmu…………… Hari ini bagus sekali.”


Setelah makan habis taiyakinya, Saori menunjukan ekspresi yang
puas.

“Terima kasih.”

“Walau aku masih bisa dibilang orang asing di dunia musik, tapi
aku merasa permainanmu hari ini bagus sekali.”

“Mungkin karena di ruang konser, jadi melodinya terdengar


bagus.”

Saori omong begitu, dan memakan habis taiyakinya sendiri


yang tadi dimakan Misaki yang hanya sisa bagian ekornya.

“Aku merasakan bakatmu…….. Bisa mendapat juara 3, itu hebat


sekali ‘kan ?”

“Kurang tahu juga.”

“Bukankah?”

“Karena dunia ini masih banyak orang yang bisa bermain


sepertiku juga.”

“………”

Souichirou seketika tak tahu harus menjawab apa.

Karena Saori terlalu santai, dia omong seperti biasanya……..

Dunia.

Bagi Souichirou, itu seperti tinggal dilayar TV.


Tapi, karena begitulah.

Di ruang konser yang tidak tersisa tempat duduk kosong, Saori


bisa bermain dengan santai tanpa gugup. Jadi permainannya hari
ini, sepertinya tidak begitu spesial baginya.

“………”

“……..”

Setelah percakapannya putus, tersisa sebuah suasana yang


kurang nyaman. Ini bukan karena menyesal
karena mengatakan kalimat yang tadi, tapi ini karena hanya
berduaan dengan seorang gadis, jadi tidak tahu mau omong apa.

Sekali sadar, perasaan yang ingin melanjutkan


pembicaraan, terus memaksa diri.

“Ah, ya…… Hubungan Himemiya dan Kamiigusa baik ya.”

Dengan susah payah dia memindahkan topic ke tentang teman.

“Kau sendiri juga terlihat baik dengan dia?”

“Aku tidak begitu pandai menangani Kamiigusa.”

Setelah Souichirou ngomong dengan jujur, Saori tertawa secara


alami.

“Aku pikir, mungkin tidak ada orang yang pandai menanganinya.”

Lalu omong tanpa belas kasihan.


“Karena Misaki sangat jujur dengan ‘cinta’nya sendiri.”

Saori seperti mencari Misaki yang hilang di keramaian orang itu


sambil mengatakannya.

“Dia selalu mengejar ‘cinta’nya, jadi dia selalu lebih ‘langsung’


daripada orang lain, dan begitu berbinar-binar dimata orang lain.”

“Berbinar-binar?”

“Aku akan bilang orang lain itu ‘baik’ karena aku merasa dia
‘baik’. Tapi Misaki tidak begitu. Tidak peduli hal apapun yang ada
di dalam hatinya, dia selalumelihat dunia dengan hatinya sendiri,
seperti tokoh utama dalam sebuah cerita.”

Setelah mendengar kata-kata Saori, Souichirou tiba-tiba teringat


percakapannya dengan Jin di atas loteng, dia mulai mengerti apa
maksud Jin tadi.

“Misaki tidak melihat sekelilingnya, juga tidak peduli apa


pandangan orang lain terhadapnya. Tapi karena begitulah dia
selalu cocok dengan semua hal.”

“Aku merasa kalau ingin bertahan di dunia masyarakat, cocok


dengan orang lain sangat penting. Juga perlu belajar agar tidak
membuat ‘percikan api’, kalau tidak akan menjadi rugi bagi
sendiri. Dan yang namanya sekolah itu tidak hanya belajar,
harusnya kita juga bisa belajar hal-hal lain yang seperti itu.”
“Aku juga merasa begitu. Bukan untuk menang melawan orang
lain, tapi dengan melihat, merasakannya, memedulikan perasaan
orangnya juga sangat penting. Walau begitu, melihat Misaki yang
sekarang masih sedikit ragu-ragu, mungkin karena benci melihat
diri sendiri yang sekarang ini kali ya?”

“Terdengar seperti kau ingin menjadi Kamiigusa saja.”

“Apa kau tidak pernah membayangkannya? Rasa saat kita


menjadi tokoh utama itu.”

Souichirou berpikir sejenak dan menjawab :

“…….. Sampai saat ini tidak ada, aku sudah puas dengan hanya
menjadi ‘pengamat’.”

“Kalau aku kadang-kadang. Soalnya biasa kalau bermain piano


karena pemintaan orang lain, rasanya tidak bebas.”

“……..”

Melihat wajah sampingnya yang sedang menatap langit, terlihat


sedang tidak semangat, Souichirou baru sadar sudah salah
membicarakan topik, dan suasananya menjadi sedikit berat.

“Hn. Percakapan yang tadi bantu aku rahasiakan ya,


kalau sampai didengar guru pianoku, aku pasti akan kena
marah.”

Seperti ingin memperbaiki suasananya, Saori tersenyum.


Saat ini, Misaki dan Jin yang pergi membeli takoyaki kembali.

“Aku sudah kembali~~!”

“Kau kembali, Misaki.”

Bagian Saori dan Souichirou juga dibelinya.

“Ambillah, wakil ketua.”

Jin memberikan takoyaki kepada Souichirou.

“Ah, oh.”

Souichirou menerima dengan sedikit melamun.

“Hn? Apa kau dibully Hauhau?”

“Mengapa aku membullynya? Tatebayashi-kun memuji


permainanku hari ini kok.”

“Oh, gaun itu memang mantap si~~!”

“Mitaka, dengarlah dengan jelas, yang kubilang itu permainannya


dan memandang kemana kau.”

Saori melirik Jin.

“Tentu saja melihat Hauhau lah? Postur tubuhnya memang


sangat bagus, sangat menarik perhatian……….. Sakit! Wakil
ketua, kenapa kau menginjak kakiku?!”

“Maaf, tidak sengaja.”


“Ah~~ sudah, tidak masalah.”

Walau Jin bilang begitu, dia tetap menahan sakit.

“Jangan banyak omong, Mitaka.”

Melihat percakapan mereka berdua Saori merasa puas.

“Hoho, akhirnya Mitaka dapat teman juga. Kalau begitu aku


sudah tenang.”

“Hauhau anggap aku sebagai apa?”

“Musuh seluruh perempuan.”

“Aku memihak perempuan lho?”

“Kata-kata yang terucap dari mulutmu itu sudah merupakan


musuh perempuan.”

Saori menegaskannya lagi.

“Haiya, tegas sekali. Ah, ya, Hauhau, lomba selanjutnya


bukannya sudah dekat?”

Mungkin karena Jin merasa tidak bisa menang melawan Hauhau,


dia memindahkan topik.

“Dimulai akhir bulan ini, seleksi akan berlangsung selama 2


minggu, kalau lolos seleksi, setelah 2 minggu baru final.”

“Aku pasti akan mendukungmu nanti.”


Mulut Misaki dipenuhi dengan takoyaki yang dia makan.

“Kalau kau datang aku akan sangat senang, tapi jangan membuat
keributan disana ya.”

Mungkin karena sebelumnya pernah terjadi keributan, ekspresi


Saori sedikit khawatir.

“Juga sudah mau ulangan lagi, capek juga.”

1 kalimat yang diucap tanpa sadar oleh Souichirou, membuat


Saori menghela napas.

“Lomba masih mending…….. Kalau ulangan umum rasanya


membuat pusing sekali……….”

Ekspresinya menjadi tidak semangat kembali.

“Karena Hauhau itu bodoh. Ulangan umum semester pertama,


dia dengan mudahnya mendapat nilai merah yang banyak.”

“I-itu jangan bilang Mitaka! Aku cuma sedikit tidak mengerti


tentang pelajarannya!”

“Begitu ya, sedikit saja.”

“Kertas ulangan itu yang mendapatkan nilai 5 adalah nilai yang


kulihat pertama kali sejak aku lahir lho!”

“Ah! Memanglah! Misaki juga begitu!”


Mungkin karena tidak ingin rahasianya diketahui oleh orang lain,
dia menjadi tidak semangat dan menundukkan kepalanya.

“Sepertinya memang tidak pandai.”

“Apa perlu sampai membullyku seperti ini?”

Saori dengan tidak suka melirik ke sini. Gerakan ini terlalu imut.
Souichirou karena malu, lalu memindahkan pandangannya.

“Aku tidak mengerti sama sekali kenapa kalian pada mengerti


semua. Aku minta teman sekelas ajarkan saja masih tidak begitu
mengerti.”

Saori berkomat kamit dan protes.

“Minta Kamiigusa mengajarimu akan menyelesaikan masalahnya


bukan?”

Bagaimanapun Misaki itu peringkat pertama, Souichirou saja


sampai kalah.

“Ulangan umum sebelumnya sudah kucoba………. Tapi setelah


mendengar penjelasan Misaki malah menjadi semakin tidak
mengerti. Dan demi harga diriku, aku tidak akan pernah meminta
bantuan Mitaka.”

“Kalau begitu minta wakil ketua ajarkan saja.”

Jin seperti sedang mengobrol dan mengatakan itu dengan santai.


“Huh?!”

Perkataan Jin tadi membuat Souichirou terkejut.

“Merupakan peringkat ke-2, sifatnya juga serius, merupakan


sebuah benda yang bagus lho?”

Jin sambil omong sambil menaruh tangannya diatas bahu


Souichirou.

“Tidak, tapi, ini akan menjadi masalah bagi Tatebayasahi-kun


‘kan?”

“Tidak begitu masalah sih…….. Lagian mengajari orang lain


sama dengan belajar sendiri juga.”

Souichirou omong begitu, dan mulai membayangkan saat dia


sedang belajar dengan Saori diperpustakaan. Perpustakaan saat
sore, 2 orang duduk bersebelahan untuk membahas soal, bahu
yang hampir tersentuh. Saori bertanya, Souichirou
menjawab…….. Setelah memikir sampai sini, Soichirou
menyadarkan diri, dan berhenti membayangkannya.

“Wakil ketua juga sudah bilang tidak masalah kok.”

“Hn~~…….. Kalau begitu, mohon bantunnya ya.”

“Huh? Ah, hn.”


Sama sekali tidak berpikir akan berakhir seperti ini, jadi tidak bisa
menyembunyikan keraguaan dalam hatinya. Tapi di dalam hati
Souichirou ada perasaan yang lebih besar, sadar bahwa dia
sedang bersikap menang didalam otaknya. Lalu, entah karena
apa, Souichiou semakin khawatir. Walau mencoba untuk
menenangkan diri, malah rasanya semakin khawatir saja.

Kalau begitu, kenapa kalian tidak saling tukar nomor telepon


masing-masing?”

Jin dengan santai omong, dan membimbing Saori dan Souichirou.

“Benar juga.”

Saori tanpa ragu mengeluarkan ponselnya, gantungan kunci


ponsel bermodel kucing imut bergantung diatas ponselnya.
Dibandingkan dengan Saori yang terlihat dewasa, ini rasanya
tidak begitu cocok.

“Ini namanya ‘kucing gigit~~’, merupakan teman ‘beruang gigit’


yang paling kusukai!”

Kucin gigit~~ mungkin maksudnya kucing yang berasal dari


gunung ya? Memang memberikan kesan sedikit liar.

“Ini Misaki yang pasangkan, bukan aku yang mau.”


Mungkin karena sadar pandangan matanya Souichirou, Saori
menjelaskan. Souichirou tidak mau membalas bagaimana, lalu
langsung mengeluarkan ponselnya, dan bertukar nomor.

“Aku mengirimnya duluan bolehkan?”

“Hn.”

Menggunakan inframerah untuk bertukar nomor ponsel.


Souichirou yang sedang memegang ponselnya
sedikit gemetaran. Souichirou coba berpikir, sepertinya ini
pertama kalinya dia bertukar nomor ponsel dengan perempuan.

Jin melihat Souichirou seperti sedang memandang sesuatu,


Souichirou berusaha menangkan dirinya supaya terlihat biasa.

Setelah selesai bertukar nomor, segera mendapat sebuah email


dari Saori.

------ Mohon bantuannya.

Dibelakang juga ada emoticon kucing yang imut.

------ Sama-sama.

Souichirou membalas dengan sederhana.

“Kaku sekali ya, wakil ketua.”

Jin yang mengintip layar ponsel Souichirou dari samping,


menunjukan sikapnya yang tidak tahan.
“Jangan mengintip ponsel orang lain.”

“Maaf, tadi tidak sengaja.”

Disaat percapakan mereka berlangsung, terdengar sebuah


pengumuman.

------ Selanjutnya akan mengumumkan hasil pemilihan anggota


OSIS Suimei, staff yang berkaitan mohon segera berkumpul.

“Kumpul dilapangan gih!”

Misaki melahap habis sisa takoyaki dan pergi duluan.

“Ah! Takoyaki ku!”

“Hauhau, cepat sedikit! cepat sedikit!”

“Dia pasati merasa tidak peduli……. Karena tidak ada


hubungan dengannya.”

“Itu adalah kelebihan Misaki.”

Takoyakinya juga direbut, Saori berjalan dengan menundukkan


kepalanya karena kecewa. Tapi dengan segera berhenti lagi, dan
menghadap ke Souichirou.

“Tenang, pasti tidak ada masalah, kau pasti terpilih.”

“Datang darimana kepercayaanmu itu.”

“Karena aku memilihmu.”


Setelah selesai omong, Saori tersenyum.”

Percakapan seperti ini, sudah ke 3 kali dalam hari ini. Tapi,


Souichirou percaya dengan kali ke 3 nya.

“Kalau aku terpilih karena Himemiya memilihku, apa yang harus


kulakukan?”

“Hn~~….. Ah, ya. Aku berharap setelah pulang sekolah tetap


dapat pergi loteng sekolah.”

“Himemiya suka tempat yang tinggi?”

“Aku bukan karena bodoh jadi suka tempat yang tinggi ya.”
(Perhatian : dalam bahasa jepang ada istilah ‘orang bodoh tidak
takut tinggi’, itu maksudnya orang bodoh tidak takut dengan
bahayanya sebuah tempat yang tinggi.)

Saori melirik dengan tajam.

“Aku belum omong apa-apa juga.”

“Kalau begitu baguslah……. Karena rasanya sangat nyaman, aku


suka. Seperti saat latihan sudah ada hasilnya, aku ingin pergi ke
loteng.”

“Begitu ya.”

Mereka berdua sambil mengobrol, dan berjalan ke lapangan.

Lalu, setelah 10 menit kemudian--------


------- Orang yang terpilih sebagai wakil ketua OSIS tahun ini
adalah Tatebayashi Souichirou kelas 1-1!

Suaranya terdengar di seluruh sekolah.


Bagian 3
Karena sekarang telah melewati 1 tahun itu, jadi sangat
jelas, festival budaya tahun lalu………. Pada hari itu, keberadaan
Himemiya Saori, melekat dengan erat di dalam hati Souichirou.

Setelah hari itu, terjadi banyak hal.

Tahun pertama selesai, tahun ke-2 juga sekelas dengan


Jin, melewati festival budaya yang ke-2, juga menantang
pemilihan ketua OSIS, dan dengan mulusterpilih, sekarang
menjadi ketua OSIS.

Saat seperti itu, benih yang ada di dalam hati sudah tertumbuh
dengan pelan-pelan.

Seperti saat upacara pembukaan atau penutupan, Souichirou


selalu memperhatikan kejurusan musik, dan mencari
keberadaannya.

Siang juga pergi ke kantin, untuk mencari keberadaan Saori.

Seperti janji di hari itu, setiap ulangan akhir semester ataupun


tengah semester selau belajar bersama-sama di perpustakaan,
dan terkadang melihatnya sampai melamun.

Walau cuma tumbuh dengan sedikit, tapi saat ini sudah tumbuh
sampai menjadi sebuah bunga besar yang indah.
Sudah tak bisa tidak memedulikannya lagi. Walau tidak mau, dia
mulai menyadari perasaannya terhadap Saori.

Terlebih lagi kali ini peringkat turun dengan drastis, menunjukan


perasaannya. Padahal nilai Saori jelas-jelas naik dengan baik,
waktu itu juga dapat peringkat 50…….

Daftar peringkat yang tertempel di papan pengumuan itu dilihat


sekali lagi olehnya.

Tidak peduli melihat berapa kali, Souichirou yang di posisi


peringkat 9 tetap tidak berubah.

Karena gadis yang disukainya berada disamping, dia tidak bisa


belajar dengan konsentrasi penuh, awalnya ia pikir kejadian
seperti ini hanya akan muncul di cerita, tidak disangka sendiri
juga menjadi seperti itu……..

Bisa dibilang sangat tidak berguna, atau terlihat


jelek…… Suasana hati yang sangat tidak tenang.

Disaat Souichirou merasa benci pada diri sendiri, belakangnya


terdengar suara yang memanggilnya :

“Bagaimana hasil kali ini?”

Souichirou tiba-tiba tersadar, ternyata itu adalah suara yang tidak


asing lagi baginya. Dengan hanya mendengar suara akan merasa
bahagia, yang memanggilnya tadi adalah Saori.
“Te-ternyata Himemiya ya.”

“Aku kan hanya berbicara padamu, tak perlu terkejut sampai


segitunya kali?”

“Tidak, cuma kebetulan tadi sedang memikirkan sesuatu.”

“Memikirkan sesuatu?”

Saori memiringkan kepalanya untuk berpikir. Gerakannya yang


sangat feminim membuat Souichirou hampir tersenyum lebar, dan
dengan segera Souichiroukembali seriuskan ekspresinya lagi.

“Bukan sesuatu yang penting.”

Bagaimanapun tidak boleh bilang sedang memikirkan pertemuan


pertama kalinya dengan Saori. Dan tenggelam dalam kenangan,
Souichirou sekejap merasa sedikit bersalah dan mengalihkan
pandangannya, akhirnya malah memancing Saori lebih
penasaran lagi dan seperti bertanya : ‘apa benar?’

Walau ingin pindah topik, tapi tidak tahu apa yang harus
dibicarakan.

Saat ini, Jin yang berada disampingnya bertanya pada Saori :

“Hauhau tidak tanya hasilku kali ini?”

“Aku tidak tertarik pada Mitaka.”

Saori omong dengan serius.


“Dengan kata lain, hanya tertarik dengan ketua OSIS ‘kan ~~”

Jin melihat ke arah Souichirou, dan Souichirou pura-pura tidak


melihat. Dan Saori malah sedang mengecek papan
pengumuman.

“Heh…….”

Lalu mengeluarkan suara terkejut. Sepertinya dia terkejut dengan


peringkat yang didapatkan Souichirou kali ini.

“Kali ini peringkat 9.”

Souichirou seperti ingin menjelaskan, tapi Saori langsung


bertanya lagi.

“Apa karena tidak enak badan?”

Kedua matanya Saori terlihat sedang mencemaskan Souichirou.

“Bu-bukan begitu…….”

Tidak peduli mulut akan disobekpun Souichirou tidak akan


mengatakan alasan yang sebenarnya.

“Apa karena hal yang kau pikirkan tadi?”

Tidak diduga Saori malah semakin bertanya.

“Ah, bu-bukan. Itu…….. cuma karena kurang konsentrasi.”

Souichirou berkeringat dengan banyak.


“Gegara hal yang kau pikirkan tadi? Kalau tidak keberatan, bisa
curhat denganku kok.”

Pandangan matanya Saori sangat serius, ini membuat


Souichirou ragu.

Bagaimanapun tidak boleh membahas ini dengannya, hanya


inilah satu-satunya masalah Souichirou yang tidak boleh
dibicarakan, apalagi Saori adalah orang yang disukainya. Kalau
menjawab karena memikirkan Saori terus menerus menjadi tidak
fokus belajar, itu sama saja dengan menyatakan cinta padanya.

“Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini, coba diskusikan ini


dengan Hauhau aja? Dan juga mungkin hal ini berkatian
dengannya.”

“Hn? Apa begitu?”

“Mitaka, jangan banyak omong!”

Tapi, Jin tidak akan diam hanya karena begitu.

“Penyebab kenapa nilai ketua OSIS turun, pasti karena Hauhau.”

Dan terus menerus berkomentar yang ‘tajam’.

“Penyebabnya adalah aku?”

Mungkin karena tidak terpikir, Saori terkejut.


“Bu-bukan begitu, Himemiya! Himemiya sama sekali tidak
bersalah!”

Walau segera memutuskannya, Saori memasuki mode berpikir.


Lalu seperti terpikirkan sesuatu, dan bertanya dengan hati-hati
pada Souichirou.

“Begitu ya…….. Benar juga. Karena sebelum UAS, aku


memintamu untuk mengajariku ‘kan ?”

“Sudah kubilang bukan.”

“Maaf, Tatebayashi-kun, wajar saja, karena aku menyita sebagian


waktu belajarmu. Maaf sekali.”

“Jangan minta maaf, bukan karena begitu. Waktu ku untuk belajar


sangat banyak, ini bukan salah Himemiya.”

Walaupun begitu Saori tetap tidak begitu terima, karena


Souichirou tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.

“……….. Kalau bukan begitu, lalu apa penyebabnya?”

Saori tanpa ragu langsung menanyakannya.

“Itu………..”

Walaupun begitu, tetapi tidak boleh menjawab pertanyaannya.

“Boleh diketahui Mitaka, tapi aku tidak boleh?”

“Tidak, itu karena………….”


“Apa keberadaanku lebih tidak berharga dibanding Mitaka?”

“Hauhau, rasanya ini tidak begitu sopan.”

“Kenapa sih?”

Saori tidak memedulikan Jin, dan terus bertanya.

“Intinya tidak ada orang yang mau mendengarku bicara.”

“Tutup mulutmu Mitaka.”

“Ya ,ya. Aku ke toilet dulu.”

Jin persiapakan diri dan benaran meninggalkan mereka berdua.

“Ah, hoi, Mitaka, jangan kabur!”

Bakalan ketahuan kalau sekarang berduaan dengan Saori,


apalagi tadi Jin memberikan komentar yang tidak perlu itu.

Tapi, Jin tidak pedulikan soal itu.

“Semua yang kubilang benar’kan?”

Dengan santai meninggalkan kata-kata itu, dan berjalan


menuju ke toilet.

Yang dia bilang semuanya benar. Benar begitu. Tapi ini bukan
permainan kata-kata, soal tidak bisa fokus belajar karena Saori
memang benar.

“Apa itu sebuah hal yang tidak boleh bilang padaku?”


“………… Iya.”

Juga tidak boleh membiarkannya begitu saja, Souichirou


menjawab dengan serius.

“Kau tidak begitu memberitahuku hal-hal tentang kau sendiri.”

“…………..”

Saat ini ,terdengar suara bel yang menandakan bel masuk kelas.

“Aku pergi dulu.”

“Hn.”

Saori yang memutar badannya, berjalan kembali ke kelasnya.

Souichirou ingin menghentikannya, tapi disaat ingin


memanggilnya, tubuhnya tidak mendengar perintahnya.
Terpaksa, walau ingin menghentikannya, tapi tidak bisa
mengatakan apapun.

Segera akan memulai pelajaran, harus segera kembali ke kelas.


Souichirou memutuskannya, dia membalikkan badannya, dan
berjalan ke arah yang terbalik dan menuju ke kelasnya.

Souichirou pusing sekali mengenai kejadian hari ini.


Bagian 4
Tidak menerima email.

Upacara wisuda sudah selesai, 3 hari lagi akan diadakan UAS


semester ke-3 yang terakhir. Saat ini bulan maret, sepulang
sekolah, Souichirou di dalam ruangan ketua OSIS.

Walau UAS nya sudah dekat, tapi sebagai ketua OSIS tetap ada
beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan.

Dan kerjaan yang paling berat adalah, sebentar lagi akan


diadakan sebuah orientasi. Harus memeriksa berbagai pemintaan
kegiatan klub yang akan diadakan,harus membalasnya boleh
atau tidak sebelum UAS nya dimulai. Ditambah masing-masing
penjelasan dan promosi dari komite-komite yang
ada……….. Sertaperlu mengadakan sebuah promosi untuk siswa
kelas 1. Sekarang lagi sangat banyak kerjaan.

Tapi, jujur saja Souichirou tidak begitu fokus.

“Hoh~~~”

Dan mengeluarkan suara yang sedang menguap.

Souchirou yang sedang galau, mengecek ponselnya berkali-kali.

Tetap belum menerima email.


Kalau biasanya, seminggu sebelum ulangan diadakan, Saori pasti
akan mengirim email sepert ini.

----- Ayo belajar bersama.

Tapi hanya kali ini, sisa 3 hari sebelum ulangan dimulai, tetap
tidak ada kabar sedikitpun.

Sebenarnya Souichirou sudah tahu alasannya.

Itu karena ulangan yang dulu…… UAS semester ke


dua, pengaruh turunnya nilai Souichirou.

Saori percaya dia akan merepotkan Souichirou, jadi kali ini tidak
ingin menggangunya dan tidak mengirimkan email.

Tidak hanya itu, 2 minggu terakhir ini juga tidak bertemu dan
berbicara.

Souichirou yang galau menunggu email, hari demi hari suasana


hatinya semakin kacau.

Mengecek ponselnya untuk ketiga kalinya, tetap tidak ada


balasan sedikitpun.

Dari tadi, setiap 1 menit dia selalu mengecek ponselnya.

Souichirou menyadar tingkahnya sendiri. Dan menaruh ponselnya


ditepi, memulai kerjaannya sebagai ketua OSIS, membuka laptop
yang ada dimeja, dan seperti biasanya, mengklik sebuah file.
Dan saat ini, wakil ketua yang merupakan siswa kelas 1. Tiba-tiba
baring dimeja.

“Ketua~~”

Ekspresi yang manja, dan mengeluarkan suara yang


terdengar manis. Jujur saja, rasanya menjijikan karena dia laki-
laki.

Wakil ketua menempel mukanya dimeja, dan menunjukkan sikap


yang sudah tidak kuat.

“Ketua~~ jangan cuekkan aku dong~~~”

“Ada apa? Wakil ketua?”

Kalau tidak membalasnya, entah akan sampai kapan dia begitu


terus. Dengan terpaksa Souichirou menjawab.

“Aku ingin membahas sesuatu denganmu.”

“Apa itu sikap untuk membahas sesuatu dengan orang lain.”

“Tolonglah, dengarkan aku sekali saja.”

“Iya, cepat omong.”

Sangat merepotkan, Souichirou menyuruh wakil ketua untuk


cepat mengatakannya, tapi pandangan matanya tetap fokus ke
layar laptop.

“Aku ingin berpacaran.”


“Kau salah mencari orang untuk mendiskusikan ini.”

“Kalau begitu pindah topik saja, aku ingin mengobrol dengan


perempuan.”

“Pindahnya terlalu jauh kali.”

Wakil ketua menghela napas dan berdiri. Dan mengatakan


sesuatu.

“Awalnya, kukira bergabung dengan OSIS, didalamnya akan ada


perempuan, dan disaat mempersiapkan sebuah acara sepertinya
bisa menumbuhkan sebuah perasaan, dan berkembang menjadi
sebuah cinta. Namun ternyata ketua OSIS, sekretaris, bendahara
semuanya laki-laki, ini mah namanya penipuan! Sekolah ini bukan
sekolah khusus laki-laki!”

“Kalau begitu dengan teman perempuan yang sekelas aja.”

Souichirou membalas dengan asal.

“Bagaimana caranya agar bisa akrab dengan teman perempuan


yang sekelas!”

Tidak diduga wakil ketua tidak bisa melihat situasi, dan bertanya
terus.

“Mana mungkin aku tahu caranya? Kalau kau ada waktu untuk
mengobrol, lebih baik cepat rapikan surat permohonan dari klub-
klub.”
“Semua itu sudah aku rapikan!”

Wakil ketua mengeluarkan 2 tumpukan kertas. Klip warna hijau


berarti diizinkan, klip warna merah berarti tidak. Masing-masing
setengah bagian.

“Kalau sudah dirapikan, pulang saja untuk mempersiapkan UAS.


Walau belum resmi, kau tahu seluruh anggota OSIS setidaknya
harus mendapat peringkat dalam 50 besar’kan?”

“Makanya aku tidak pulang, dan belajar di sini.”

Yang omong itu adalah sekretaris yang duduk berhadapan


dengan Souichirou. Sampai musim panas tahun lalu, dia masih
mengikuti klub kasti, tapi sepertinya karena cedera,
dia memutuskan untuk masuk ke dalam anggota OSIS. Karena
kegemarannya terhadap kasti, model rambutnya masih botak.
Tubuhnya gagah, walau terlihat sangat pandai untuk menghitung
sesuatu, tetapi sepertinya kurang cocok dengannya. Sama-sama
siswa kelas 2 seperti Souichirou. Anggota OSIS terdiri dari 3
siswa kelas 1 dan 2 siswa kelas 2.

“Kalau disini, bisa bertanya soal yang tidak mengerti pada ketua.
Jadi beruntung sekali.”

Bendahara dan 2 siswa kelas 1 lain sepertinya sama-sama setuju


dan mengangguk-anggukan kepala.
“Aku tidak berencana menjadi guru kalian.”

“Ketua buat iri saja~~ tidak hanya nilai bagus, juga akrab dengan
perempuan.”

“Maksudmu yang tadi siapa itu?”

“Bukannya kau sering mengobrol dengan Kamiigusa senpai?”

Apa itu bisa dianggap ‘ngobrol’? Alien itu hanya ingin orang lain
mendengarnya berbicara tapi tidak pernah mendengar orang
lain bicara.

Beberapa hari yang lalu juga, saat sedang istirahat tiba-tiba


masuk ke kelas dan mengatakan sesuatu yang aneh seperti :

“Aku tidak mau kare potongan daging!”

“Kalau begitu harusnya sejak awal kau memesan kare yang


normal dan masalahnya akan selesai dengan cepat.”

Souichirou menjawab dengan begitu, tetapi Misaki tidak


mendengar omongannya dan langsung keluar dari kelas dengan
berlari.

“Ah~~ orang itu sangat imut. Dia adalah tipeku.”

Siswa kelas 1 yang awalnya bekerja dengan diam akhirnya


mengikuti obrolan ini. Dia dan wakil ketua merupakan penghibur
bagi OSIS.
Lalu-----

“Saat aku pertama kali bertemu dengannya juga jantungku


berdetak dengan cepat.”

Sekretaris yang sifatnya jujur dan polos juga ikut dalam obrolan
ini. Wajahnya terlihat sangat mudah, bilang dia masih murid SMP
biasanya orang-orang juga akan percaya.

“Kalau itu tidak kusarankan. Dia sangat memusingkan orang.”

Yang terakhir ngomong tadi adalah bendahara.

“Tapi, dia merupakan perempuan tercantik disekolah ini!”

Wakil ketua mulai sedikit semangat.

“Aku pilih Asaka senpai dari klub renang. Dadanya luar


biasa! Sangat sexy!”

Sekretaris sendiri bilang begitu.

“Tidak, tidak, kalian tidak mengerti. Bagaimanapun, Koharu-


sensei tetap yang terbaik.”

Bendahara bilang begitu.

“Itu dia! Senpai memang lebih suka yang lebih tua dari senpai
sendiri.”

Entah sejak kapan, di ruangan OSIS mulai jadi “boys talk”.

“Aku suka Himemiya senpai yang di jurusan musik.”


Dan akhirnya, sekretaris juga ikutan ngomong.

“”Ah~~ wajar saja, aku mengerti.”

“Perasaan yang keren? Terasa sangat hebat!”

3 orang siswa kelas 1 bersamaan mengangguk kepala. Bergaul


dengan baik itu merupakan hal yang baik.

“Kalian berani juga. Orang cantik seperti mereka pasti memiliki


aura, aku saja sampai gugup tidak berani menatap mereka.”

Bendahara tertawa.

“Aku juga sama. Walau ingin bermain musik dengannya, tapi


sama sekali tidak bisa mengatakannya, dari awal sampai akhir
diam terus, seperti orang bodoh.”

Wakil ketua berbicara seperti orang bodoh. Membuat semuanya


tertawa.

“Untung ada ketua, aku baru tertolong……. Dan ngomong-


ngomong, sepertinya hubungan ketua dan Himemiya senpai
lumayan baik?

“Tidak ada………. Biasa-biasa saja.”

Dilihat dari situasi sekarang, mungkin bisa dibilang sedang


bertengkar. Dan juga email yang tak kunjung masuk.
“Dan kesampingkan semua hal itu. Kalau kalian ingin mengobrol,
pulang saja.”

Souichirou berbicara dengan nada yang sangat tegas. Dan


mereka semua terdiam lagi mengurus pekerjaan masing-masing.

Dan saat ini, sebenarnya Souichirou menghela napas di dalam


hatinya. Apa yang dia lakukan, ini sama sekali seperti anak kecil.
Setiap muncul pembicaraan tentang Saori, terasa tidak bisa
tenang.

Pandangannya seperti ditarik, dan memandang menuju ponsel


yang ada di tepi.

Masalahnya bukan karena tidak menerima email, bukan soal nilai


menurun. Masalahnya ada pada suasana antara dia dan Saori
memburuk.

Jangan-jangan ini tidak dianggap sebagai sebuah masalah.

Tapi sangat sederhana. Souichirou hanya menyukai Saori secara


tidak sengaja, dan dipermainkan oleh situasi saat ini.

Ini sangat merepotkan.

Bagaimana caranya agar masalah yang ada di dalam


hati bisa selesai?

Tiba-tiba terpikir untuk menyatakan cinta padanya, bukankah


setelah menyatakan cinta padanya semuanya akan selesai?
Tidak, sangat mustahil untuknya untuk mengucapkan ‘aku
menyukaimu’ di depan Saori.

Walaupun bisa mengucapkannya, itu juga paling hanya sebuah


kecelakaan.

“Huftt~~”

“Tak disangka ketua OSIS juga bisa menghela napas, apa yang
ketua kerjakan daritadi?”

Wakil ketua membawa ekpresi yang penasaran dan mengintip ke


layar laptop.

Yang muncul dilayar adalah sebuah berkas.

Tertulis ‘apakah loteng sekolah tetap bisa digunakan setelah


sepulang sekolah’. Ini adalah sebuah permintaan dari seluruh
murid, dan sebuah permintaan untuk meminta para guru
menyetujuinya.

“Ah~~ tentang loteng sekolah ya.”

Setelah mendengar itu, sekretaris mengangkat kepalanya.

Yang paling bersemangat sepertinya klub olahraga. Ingin


menjadikan loteng sekolah sebagai tempat umum, jadi banyak
sekali permintaan tentang itu. Selain itu juga ada banyak murid
jurusan seni yang ingin menjadikannya sebagai tempat umum
untuk bisa melukis pemandangan yang ada disana. Dan juga ada
murid yang ingin menjadikannya sebagai tempat umum karena
ingin bermain musik disana.

“Hal itu tahun lalu sudah pernah di diskusikan dengan sekolah,


tapi sepertinya ditolak.”

Souichirou mulai penasaran. Ketua OSIS yang baru pensiun


beberapa hari yang lalu pernah mati-matian untuk meminta
kepala sekolah menyetujuinya, tapi tetap saja ditolak.

“Sekolah mengira keamanannya bahaya, setelah dibuka pasti


akan menjadi bahaya. Sebelum masuk ke
sekolah ini, aku pernah dengar………… Kira-kira 4 tahun yang
lalu, loteng sekolah yang masih merupakan tempat umum. Tapi
karena sering banyak yang bermain kasti dan voli disana,
akhirnya dianggap berbahaya dan ditutup.”

“Wah~~ bermain kasti diloteng sekolah~~ kalau memang sudah


menjadi tempat umum, memang pingin bermain kasti disana sih.”

Yang memotong pembicaraan adalah bendahara yang


dulunya pernah ikut klub kasti.

“Karena ada murid yang ceroboh sepertimu makanya ditolak.”

“Jadi itu salahku?”

“Tapi, dengan kata lain, itu berarti kalau terjadi sesuatu, siapapun
tidak ingin untuk menanggung resikonya ‘kan ?”
Pengurus yang duduk dikursi, menggigit pensil ketiknya.

“Kalau kasar sedikit, sepertinya itulah alasannya.”

“Bukannya ini adalah hal yang paling membuat repot orang


dewasa?”

Wakil ketua omong seperti dia sangat mengerti masalah ini, jujur
saja itu sangat tidak cocok dengan wajahnya itu.

“Apa ketua ingin mengajukan permintaan ini?”

Ekspresi sekretaris sedikit tegang, dan dia bertanya.

“Ini seperti sekretaris menolaknya.”

“Walau bukan tidak boleh……… Tapi sepertinya karena ini,


hubungan antara ketua OSIS yang dulu dengan guru jadi tidak
begitu baik. Jadi agak sedikit…………”

“Begitu ya pendapatmu.”

Tidak perlu sengaja untuk membuat sebuah hubungan yang


buruk, ini dapat dimengerti.

Dalam hati berpikir ini adalah sebuah kesempatan, Souichirou


seperti ingin meminta pendapat dan memandang ke seluruh
anggota OSIS.

Saat ini, wakil ketua menjawab duluan :


“Aku juga menolak. Kalau dipikirkan masih banyak permintaan
yang masih belum selesai diurus, kalau hubungan menjadi buruk
hanya karena sebuah permintaan yang dulu sudah pernah
ditolak, akan gawat jadinya. Bisa jadi permintaan lain juga tidak
akan disetujui. Ini membuat situasi menjadi sangat buruk, juga
tidak akan bisa melakukan apa-apa lagi, dan OSIS akan
kehilangan gunanya.”

“Aku setuju dengan wakil ketua.”

Pengurus yang lain juga mengangkat tangan, menyetujui


pendapat wakil ketua.

Yang belum menjawab tersisa bendahara.

“Aku sih terserah, hanya saja kalau memikirkan aku dan ketua
yang sudah mau tamat sekolah, tersisa kalian anak kelas 1, kalau
masih ingin menjalankan OSIS, kurasa tidak perlu untuk
mempermasalahkan ini lagi. Bagi wakil kepala sekolah, OSIS
yang dulu sebenarnya sudah bubar, jadi sudah pasti dia tidak
ingin mengurus masalah ini lagi, kalau dipermasalahkan kembali,
aku rasa itu akan semakin memperburuk situasi.”

“Begitu ya, terima kasih atas pendapatnya. Aku juga bukan


karena ingin segera mengirim permintaan ini jadi sedang bersiap-
siap.”

“Kalau begitu kenapa masih mengurus soal ini?”


Semua pandangan tertuju pada Souichirou.

“Kalian juga tahu, dari sekian banyak permintaan yang ada,


ini yang paling banyak diminta oleh sisiwa. Jadi setidaknya perlu
bersiap.”

“Benar juga~~ karena begitulah, aku rasa kalau sampai disetujui,


OSIS akan menjadi keren sekali.”

Wakil ketua sepertinya sudah mengerti, tapi Souichirou tidak


percaya dirinya mengatakan ini.

Alasan kenapa dia masih ingin ini disetujui hanya 1.

------- Aku berharap setelah pulang sekolah tetap bisa datang ke


loteng sekolah.

Itu permintaan Saori sebelumnya.

Kalau tidak ada kenangan ini. Souichirou tidak akan keras kepala
untuk mengurus soal ini, dan tunggu pada saat sudah akan
pensiun baru mengurusnya.

Dan sebelum itu, mempertahankan hubungan yang baik dengan


para guru merupakan sebuah ide yang baik, karena segala
urusan akan menjadi lancar. Dilihat dari sekarang, para guru
sangat mempercayai Souichirou yang nilainya baik, bersikap
dewasa, bahkan sebelum pemilihan ketua dimulai, ada beberapa
guru yang mengatakan ‘aku akan tenang apabila Souichirou yang
menjadi ketuanya’. Dan sekarang Souichirou telah memenuhi
harapan itu.

Juga, tentang menjadikan loteng sekolah sebagai temapt umum,


dia mengerti kesulitan sekolah. Kalau benaran terjadi seorang
murid meloncat dari atas loteng sekolah, tidak ada orang bisa
menanggung jawabkan itu. Perlu berpikir dengan hati-hati
sebelum memutuskannya.

Kalau Jin, dia pasti akan terserah pada hal ini. Tapi untuk
melewati masa SMA yang tenang, kita tetap perlu menaati
aturan-aturan yang ada.

“Permintaan ini tidak akan diserahkan.”

Souichirou kembali mengatakan ini.

Lalu, para anggota yang sedang belajar dan yang sedang


mengurus pekerjaan OSIS, bubar sekitar setelah 30 menitan.

Souichirou yang pulang terkahir, setelah mengunci pintu ruangan


OSIS dia berjalan ke koridor.

Setelah melewati pintu keluar, dia bertemu dengan Jin.

“Bisa bertemu ditempat dan disaat seperti ini, memang takdir ya.”

“Cepatlah kau pergi ke rumah sakit dengan kedua kakimu itu.”

“Dingin sekali, padahal Ketua OSIS.”


“Ini khusus untuk kau, Mitaka.”

“Kalau begitu terima kasih banyak atas perlakuan khususmu ini.”

“………..”

“………. Sepertinya hari ini kau tidak begitu senang?”

“Tidak juga.”

“Jangan-jangan bertengkar dengan Hauhau?”

“…………..”

Souichirou ingin memberi pandangan tajam yang menyuruh Jin


segera diam, tetapi Jin malah menghindarinya.

“Tadi aku pergi cek ke perpustakaan bentar, ketemu Hauhau


yang sedang kesepian belajar sendiri lho? Hampir saja aku ingin
menggodanya.”

“Kau kira kau siapa.”

“Terdengar sepertinya karena aku.”

“Tidak perlu menambah sepertinya, semua ini terjadi karena


mulutmu yang kebanyakan omong itu.”

“Apa karena kalimat ‘alasan nilai ketua OSIS turun drastis karena
Hauhau’?”

“Benar.”
“Pantas saja dia merasa bertanggung jawab, maaf~~, apa
bisa membantuku menjelaskan ini pada Hauhau? Hauhau pasti
salah paham~~”

“Kau pergi minta maaf sendiri sana, dan menjelasakan


kesalahpahaman ini.”

“Aku ini tidak dapat dipercaya lho. Hauhau pasti tidak percaya
padaku. Dan juga, apa boleh kukatakan? ‘Alasan kenapa nilai
ketua OSIS turun drastis karena selalu memikirkan Hauhau, jadi
tidak bisa fokus belajar.’?”

“Kalau kau ngomong seperti itu terus, ku tinju kau nanti.”

Jin dengan lebay menunjukan sikap menyerah.

Tapi itu juga hanya akting, dia tidak berencana untuk diam.

“Aku pikir tidak kubilang kau juga tahu, tidak peduli perlu atau
tidak kubilang pada Hauhau, dia tetap akan menyalahkan dirinya
sendiri.”

“……… Jadi kau ingin bilang ini bukan salahmu?”

“Jujur saja, ini memang salahku, salahkan saja aku, dan kau akan
merasa lebih santai’kan?”

“………….”
“Pokoknya begitu, masalah Hauhau kuserahkan pada ketua
OSIS.”

“Kenapa aku harus membantu mu menyelesaikan masalah ini?”

“Yang benar saja, keras kepala juga harus ada batasnya dong.
Apa masih perlu kubilang? Tentu saja karena Hauhau ingin
belajar bersama denganmu, bukandengan aku, ketua OSIS.”

“………..! A-aku tidak……….!”

Hati Souichirou menjadi kacau hanya karena 1 kalimat yang


diucapkan Jin.

“Dan juga, orang yang ditunggu Hauhau bukan aku lho, tapi ketua
OSIS? Ketua OSIS yang teladan, bukankah kau sangat pandai
dalam membalas harapan orang lain?”

“………..”

Walau Jin mengatakannya dengan santai, tapi kata-kata itu


seperti menusuk Souichirou saja.

“Kalau ingin mengabaikan dunia ini, tidak masalah hanya menjadi


seorang pengamat, tapi kalau hanya karena begitu
dan sampai melukai orang yang ada disekitar, itu sama saja
dengan aku yang dibenci oleh ketua OSIS.”

Pandangan matanya Jin seperti mengatakan ‘kalau tidak ingin


begitu, selesaikan sendiri sana’.
“Sekali-sekali coba jadi tokoh utama, dan bilang pada Hauhau
‘UAS kali ini aku akan mendapatkan peringkat pertama, jadi kau
tidak perlu khawatir.’ Dia pasti akan sangat senang.”

“Jangan menganggap seolah ini sangat gampang untuk


dikatakan.”

“Karena aku tidak terlibat dalam masalah ini makanya bisa


mengatakan ini dengan gampang.”

“Bagi Mitaka yang selalu lari dari


Kamiigusa, bukankah setidaknya ada terlibat sedikit?”

Karena selalu dipermainkan oleh Jin, Souichirou kini membalas.

“Karena kita berdua saling mengetahui masalah masing-


masing, itulah alasan kita sangat cocok, ketua OSIS.”

Saat Jin selesai mengatakan itu, dia pergi dan melambai-


lambaikan tangannya.

Setelah Jin pergi, sebuah perasaan yang ‘panas’ membuat


Souichirou marah, dan membenturkan tangannya ke dinding.
Perasaan ini membuat dia merasa sangat tidak sudi.

“Ingin mengatakan apa ya langsung katakan saja……..”

Perkataan Jin masih terus dipikirkannya. Walau tidak sudi, tapi


seperti yang Jin bilang, ini memang masalah Souichirou sendiri.
“Tapi, meski begitu, apa yang harus aku lakukan!”

Souichirou dengan erat mengepalkan tangannya yang masih


menempel di dinding. Sebenarnya dia sudah tahu,
sudah tahu jawabannya sejak dulu, hanya saja masih kurang
keberanian untuk mengungkapkannya.

“Sial!”

Meskipun begitu, pada akhirnya Souichirou tetap mengalahkan


keras kepalanya itu.

Dia pergi berbalik dari arah yang tadi, dan menuju ke


perpustakaan.

Souichirou yang datang ke perpustakaan, tanpa rapu


memandang ke suatu tempat.

Meja yang paling jauh dari pintu keluar. Itu adalah tempat
yang ia selalu dipakai untuk belajar bersama dengan Saori ketika
ada ulangan tengah semester atau ulangan akhir semester.

Melewati belakang lemari buku, seperti yang diduga Saori sedang


belajar disana. Dengan ekspresi serius yang hampir berasap, dia
bertarung melawan soal di buku pelajaran.

Sepertinya dia sama sekali tidak menyadari ada Souichirou.

Mungkin karena sambil mendengar music sambil belajar.


Walau tidak melihat headphone yang biasa dipakainya, tapi
terlihat sebuah kabel MP3 yang tersambung di MP3 yang ada
dimeja.

Walau sudah berada disampingnya, dia tetap tidak sadar.

Kesadarannya seperti sedang tertuju pada angka-angka.

Souichirou mengintip catatannya, dan ternyata itu adalah soal


diferensial dan kalkulus integral.

“Ubah dulu rumusnya, baru mengerjakannya seperti yang ada di


buku pelajaran.”

Souichirou menunjukan soal yang ada dibuku pelajaran, Saori


yang terkejut mengangkat kepalanya, di dalam matanya hanya
terlihat bayangan Souichirou.

Setelah itu Saori memindahkan wajahnya lagi karena malu.

“Ternyata kau ya……..”

“Kalau perhitungannya dari awal susah, rapikan saja dulu soalnya


dan ubah rumusnya.”

Souichirou sambil mengatakannya, dan duduk disamping Saori.

Saori melakukan seperti yang dibilang Souichirou, menulis


rumusnya di buku catatan, dan mengerjakannya dengan diam,
setelah tidak lama kemudianakhirnya dapat jawabannya juga.
“Sudah selesai dihitung.”

Dia bilang begitu, dan menghadapkan wajahnya yang ceria itu ke


Souichirou.

Tapi kali ini seperti teringat sesuatu, menarik kembali ekspresi


cerianya, dan menghadap wajahnya ke tempat lain.

Lalu seperti tidak menganggap keberadaan Souichirou dan


kembali mengerjakan soal lagi.

“Kau sedang mendengar apa?”

Souichiruo menunjuk MP3nya itu.

Saori yang melihat Souichirou dengan miring terlihat sedikit


pusing, dan dia memberikan bagian kanan headsetnya pada
Souichirou.

Dia menerima headetsetnya dan memasang pada telinganya.

Yang terdengar adalah musik klasik. Wawasan Saori terhadap


musik klasik sangat luas, selain musik populer, musik metal dan
lain-lain ,bahkan musik anime atau game juga dia dengar. Jadi
jujur saja kalau ingin mengobrol soal musik dengannya sama
sekali tidak mudah.

Mereka berdua terdiam dan mendengar musik sejenak.

Dengan kesempatan ini Saori menyelesaikan 2 soal lagi.


Disaat dia menyelesaikan soal dengan tepat, Souichirou
mengatakan :

“Apa ini adalah Mozart?”

Saori mengeluarkan ekspresi yang terkejut, mungkin karena dia


tidak sangka Souichirou tahu tentang Mozart.

“Tidak ku sangka ternyata kau tahu, padahal lagu ini tidak begitu
terkenal.”

“Karena aku sudah mempersiapkan diri duluan.”

“Heh?”

“Itu…….. Supaya bisa mengobrol lancar denganmu.”

“………… Be-begitu ya.”

“Hn, hn.”

“Apa…….. Maksudmu itu?”

Saori yang menundukkan


kepalanya dan wajahnya sedikit memerah.

Tapi Souichirou tidak punya tenaga untuk menikmati wajahnya


yang memerah itu. Seharusnya terlihat lebih merah.

“Maksudku, itu………..”

“Maksudmu?”
“A-aku…………”

“………..”

Terasa Saori sedang menahan napasnya.

Detak jantung berdetak dengan sangat cepat dan kuat, sampai


terasa sakit, bahkan hampir terdengar suara detakan jantung.

“Yang ingin kubilang adalah, aku tidak ada masalah!”

“Huh?”

Saori sekejap mengeluarkan ekspresi yang terkejut.

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan soal nilai aku yang turun


dengan drastis. Jangan khawatir, dan aku juga ingin belajar
bersama seperti dulu. Tidak akan ada masalah lagi.”

Saat ini percakapannya terputus.

“Ulangan selanjutnya, aku pasti akan mendapatkan peringkat ke-


2!”

Lalu, Souichirou dengan yakin mengatakannya.

“Aku yakin. Kalau ingin aku berjanji juga tidak masalah.”

Lalu menambahkannya lagi.

“………..”
Saori tidak mengatakan apapun……… Baru berpikir begitu,
lalu Saori tertawa denga suara yang keras.

“Ke-kenapa kau tertawa?”

“Karena dari perkataanmu yang tadi, ku kira kau akan bilang


mendapatkan peringkat 1.”

Suara tertawa Saori tetap tidak menghilang. Walau Jin


juga menyarankan ngomong seperti itu, tapi ini tidak menarik.
Juga menurut sifat Souichirou, dia tidak akan berjanji pada
sesuatu yang dia tidak yakin.

“Aku omong dulu, orang normal tidak bisa menang melawan


Kamiigusa.”

“Benar juga, karena kau tidak bisa menang melawannya.”

Saori masih tertawa, dan dia membersihkan air mata dengan


jarinya.

“Tidak perlu tertawa sampai seperti itu kali.”

“Maaf.”

Akhirnya, Saori tertawa lagi.

Setelah itu, mereka berdua mendengarkan musik yang sama, dan


belajar sekitar 1 jam, lalu pulang bersama.
Saat meninggalkan perpustakaan, Souichirou sadar ada kotak
musik di barang bawaan Saori.

Sepertinya dalamnya adalah biola. Walau keahlian Saori bermain


piano, tapi disaat seluruh murid jurusan musik bermain orkestra
bersama-sama, Saori menggunakan biola. Meski dia
sendiri yang bilang kurang pandai memainkannya, tapi saat
mendengarnya main di festival budaya atau upacara perpisahan
itu sangat hebat, Souichirou tidak mengerti kenapa
masih dibilang ‘kurang pandai’. Sosoknya yang anggun bermain
biola itu, bagaikan sebuah lukisan.

“Setelah pulang masih ada latihan?”

“Hn? Oh, maksudmu ini?”

Saori menunjukan biolanya.

“Untuk memindahkan suasan hati kupikir. Walau aku suka musik,


tapi disaat tidak bisa bermain piano dengan santai, tidak sengaja
aku akan serius. Tapi walau kurang pandai dalam bermain biola,
aku sangat menikmatinya, juga bermain dengan
santai………. Aku juga sangat suka melodinya.”

Mereka berdua sambil mengobrol sambil berjalan


bersama dikoridor.
Setelah sampai ditangga, Souichirou yang berjalan didepan,
seperti menangkap sesuatu, lalu terkejut, menghentikan
langkahnya dan menempel didinding dekat tangga.

“Ada apa?”

Saori yang siap turun lewat tangga itu bertanya dan segera ditarik
Souichirou.

“Kenapa tiba-tiba begitu?”

Souichirou menyuruh Saori diam dengan menaruh jarinya diatas


bibirnya.

“Hn?”

Saori tidak mengerti apa yang terjadi, tapi Souichirou hanya


menunjuk arah turun lewat tangga. Saori mengintip dari suatu
sudut, lalu terkejut mengatakan ‘ah’, akhirnya dia mengerti.

Yang berada disudut belok tangga adalah sebuah pasangan. Dari


pakaiannya sepertinya itu adalah murid klub kasti dan
managernya. Dengan tidak sengaja mereka melihat pasangan itu
berciuman.

Souichirou menempel badannya dekat dinding dan menarik


napas berat-berat, juga memaksa Saori menempel didinding
bersamanya, wajahnya memerah dan mengatakan : “uwa~~!”
“Memanglah~~ kan sudah janji, tunggu sudah menang
pertandingan dulu baru berciuman.”

Terdengar suara dari sudut belok tangga itu.

“Pokoknya sekali lagi saja.”

“Ti~~daak~~~ boleh napasmu sangat cepat, terasa seperti aku


akan dilecehkan saja.”

Suara langkah kaki yang turun dari tangga, suara mereka berdua
juga semakin jauh.

“Kalau begitu, setelah menang pertandingannya nanti………….”

“Hn, akan dipertimbangkan.”

“Hn! Serius?”

“Yang kubilang hanya berciuman lho.”

“Ah, ku kira apa~~”

“Kalau sikapmu seperti itu, tak akan kubiarkan kau cium.”

“Tadi cuma bercanda, jangan dianggap serius.”

Percakapan selanjutnya karena semakin jauh, jadi tidak


terdengar.

Mungkin karena marasa lega, Souichirou dan Saori menghela


napas bersama-sama.
“Aku telah melihat suatu pemandangan yang sangat
mengejutkan.”

“Iya……..”

“……………”

“…………….”

“Eh, itu, ayo pulang.”

“Be-benar juga.”

Mereka berdua dengan langkah yang kaku menuruni tangga.

“………….”

“……………”

Mungkin karena dipengaruhi oleh pemandangan tadi, ingin


mengubah topik , jadi tidak tahu apa yang harus dibicarakan.

Tidak hanya itu, Saori yang sedang menggali kuburannya sendiri


bertanya :

“I-itu………. Apa Tatebayashi-


kun sudah berpengalaman dalam berciuman?”

Tidak bisa mengubah suasana yang tegang dan gugup ini, dan
malah semakin menginjak ke dalam.

“Te-tenju saja tidak ada! Aku’kan bukan Mitaka!”


“Meski kau berbeda dengan Mitaka, tapi aku merasa
kalau pernahpun itu biasa-biasa saja. Ki-kita kan sudah SMA
juga………..”

“Ka-kalau kau sendiri bilang begitu, bagaimana dengamu?”

“A-aku? Aku yang bakalan tidak akan pernah. I-itu……… Karena,


bahkan pengalaman untuk berpacaranpun aku tidak ada.”

“Itu sedikit mengejutkan, padahal kau sangat populer dikalangan


laki-laki. Hari ini juga, tadi diruangan OSIS ada anggota OSIS
yang ingin berpacaran dengan perempuan cantik sepertimu.”

“Ku pikir apa yang tiap hari kalian ngomongin di ruangan OSIS,
ternyata tentang begituan?”

Saori menatap Souichirou dengan tajam.

“Bukan, bukan aku yang memulainya!”

“Melarikan diri itu tidak baik.”

“………. Eh, memang benar, aku akan merenungkannya. Tapi


serius, bukan aku yang memulai percakapan itu.”

Saori tersenyum manis. Sepertinya dia sedang bercanda dengan


Souichirou.

Setelah turun dari tangga, mengganti sepatu di lemari sepatu.


Berjalan keluar, yang menyambut Souichirou dan Saori adalah
pemandangan sore yang indah.

“Sungguh sebuah pemandangan matahari terbenam yang indah.”

“Iya.”

Souichirou juga merasa begitu, tapi yang dia lihat bukanlah


pemandangan matahari terbenamnya, itu adalah bagian samping
wajah Saori yang disinari oleh matahari terbenam. Pemandangan
matahari terbenamnya membaut Saori terlihat lebih dewasa.

“Kalau dilihat dari loteng, kurasa akan lebih indah.”

Dengan tidak sengaja Saori berbisik-bisik sendiri.

Tapi, kalimat ini dengan aneh mengingatkan sesuatu pada


Souichirou.

“Loteng ya………”

Souichirou dengan tidak sengaja mengatakannya.

“Ayo pulang.”

Saori yang duluan melangkahkan kakinya.

Tapi, Souichirou tidak bergerak. Saori merasa bingung,


menghentikan langkahnya dan melihat ke Souichirou.

“Tatebayashi-kun?”
“Maaf. Aku tiba-tiba terpikir masih ada beberapa hal yang harusku
urus.”

“Heh?”

“Kau pulang saja dulu.”

“Ah, hn. Kalau begitu sampai ketemu besok.”

“Hn, sampai ketemu besok.”

Souichirou melambaikan tangan pada Saori yang pergi semakin


jauh, sampai tidak terlihat bayangannya lagi.

“Kalau begitu, saatnya mulai kerja.”

Kalau pada saat ini, mungkin wakil kepala sekolah masih di


kantor guru.

Dia mengganti sepatunya, dengan buru-buru kembali ke ruangan


OSIS, menabrak seorang guru, dan ditegur, itu adalah pertama
kalinya dia ditegur karena berlari di koridor, walaupun begitu, dia
tetap berlari.

Setalah beberapa menit, dia pun sampai dikantor guru.

“Wakil kepala sekolah.”

“Hn? Oh, ternyata kamu, ada apa?”

“Ada sebuah permintaan dari anggota OSIS.”


Dia omong begitu, dan menunjukkan permintaan ‘tentang loteng
sekolah yang masih bisa digunakan sepulang sekolah’.
Bagian 5
UAS terakhir pada semester ke-3, seperti
yang ia janjikan pada Saori, Souichirou mendapatkan peringkat
ke-2.

“Peringkat 1 juga tidak apa-apa.”

Saori yang berkata begitu didepan papan pengumuman.

“Kalau peringkat pertama itu berarti melanggar janji.”

Souichirou menjawab begitu.

“Mau bilang kau taat aturan apa keras kepala ya?”

Saori tertawa.

Setelah selesai semester ke-3 ini adalah liburan musim semi


yang pendek, tahun ajaran yang baru akan datang. Souichirou
dan Saori, Jin dan Misaki menanti tahun terkahir kehidupan SMA
mereka, mereka akan segera menjadi murid kelas 3, dan
bersamaan akan ada banyak murid baru.

Murid kelas 1 yang baru tentu saja tidak perlu dibilang, bahkan
murid kelas 2 atau 3 juga tidak begitu terbiasa dengan kelas baru
dan lingkungan baru, sekolah dikelilingi suasana yang aneh.

Di tahun ini juga ada sebuah pembicaraan yang hangat. Dia


adalah murid kelas 2 perempuan cantik yang dipindahkan ke
jurusan seni. Sepertinya dia adalah pelukis profesional yang
bahkan sudah diakui oleh seluruh dunia. Dan juga, dia
tinggal diasrama yang dipenuhi oleh siswa bermasalah------
- Sakurasou, wajar saja menjadi bahan pembicaraan.

Termasuk hal tadi, dan SMA Suimei begitu kacau, setelah


seminggu, 2 minggu……… Mulai tenang kembali, sampai selesai
Golden Week, setiap orang serasa seperti menghabiskan tiap
hari yang sama.

Tidak terkecuali Souichirou, meski sudah bulan Mei, tetap


dalam keseharian yang biasa.

Dengan begitu, pada hari minggu akhir bulan Mei.

Untuk mengurus pekerjaan OSIS, Souichirou datang ke sekolah


setelah siang. Cuaca agak buruk, sedang hujan. Karena
begitulah, siswa yang datang untuk mengikuti kegiatan klub
sangat sedikit, di dalam sekolah terasa sangat tenang.

Walaupun begitu, anggota OSIS tetap terkumpul semua.

Kira-kira tahun lalu saat seperti inilah, mulai mempersiapkan


festival budaya musim gugur.

Belum lama ini baru memutuskan pekerjaan masing-masing, dan


sekarang sedang mengecek berkas dulu, masing-masing
memikirkan pekerjaan apa yang akan mereka lakukan.
Anggota yang membaca berkas lama kadang mengeluarkan
suara ‘uwa, masih banyak yang harus dibereskan’ atau ‘ini juga
pekerjaan OSIS’ dan juga ’akhirnya aku tahu alasan kenapa
ketua OSIS menyuruh kami mempersiapkan diri mulai
sekarang……..’ , suasana tidak begitu enak.

Yang tenang dan santai hanya Souichirou, karena tahun lalu dia
sudah pernah berpartisipasi sebagai wakil ketua, kalau
memulainya dengan normal, harusnya tidak akan ada masalah.

Yang masalah itu belum menemukan solusi untuk beberapa


kasus.

Pandangan mata ditarik sebuah berkas yang ada dimeja. Diatas


tertulis ‘mengenai loteng sekolah masih bisa digunakan sepulang
sekolah’.

Karena waktu itu tidak berpikir dengan bijak jadi langsung


meminta persetujuan pada wakil kepala sekolah, kira-kira sudah
lewat 2 bulan sejak itu.

Setelah permintaan waktu itu, hubungan antara OSIS dan guru


terasa ada suasana yang tidak begitu enak.

Lalu setelah seminggu, semua berpura-pura seolah tidak terjadi


apapun.

Penyebabnya karena sikap Souichirou.


Tahun lalu, mantan ketua OSIS untuk meyakinkan wakil ketua
kepala sekolah, jadi dia berusaha keras sekali, dan terus
memperingatkan soal berbahaya pada siswa yang menggunakan
loteng, dan Souichirou yang terus mengamati sebagai wakil ketua
saat itu, memutuskan untuk memakai cara yang berbeda dari
mantan ketua OSIS yang dulu.

“Karena ini merupakan harapan dari para murid, mohon


dipertimbangkan lagi.”

Hanya meminta terus dan tidak menyerah.

Sejak permintaan waktu itu, Souichirou tiap hari selalu datang ke


kantor guru untuk memohon.

Ini juga lumayan berefek, karena sekitar 2 minggu yang lalu


dikatakan ‘akan dibahaskan pada rapat guru berikutnya nanti’.

Tapi Souichirou merasa masalah yang sebenarnya baru akan


mulai.

Kalau hanya dibahas itu tidak berguna, karena ujung-


ujungnya tetap akan dibatalkan. Meskipun begitu, tetap hanya
bisa diam dan menunggu hasilnya…….

“Ketua OSIS~~”

Wakil ketua yang berbaring dimeja memanggilnya.

“Ada apa? Wakil ketua?”


“Aku ingin mencoba berciuman.”

“Ah, aku juga.”

Yang membalasnya tadi adalah pengurus OSIS.

“Ah bagus sekali, wakil ketua. Sudah dapat lawan untuk


berciuman.”

Souichirou seperti tidak begitu peduli dan omong, mereka berdua


menatap Souichirou.

“Kenapa melihatku seperti itu.”

“Kau juga.”

Sepertinya suasana saat ini menjadi sedikit unik. Baru berpikir


begitu-------

“Huft~~”

“Huftt~~”

Merka berdua mungkin sedikit terkejut, mungkin karena sedang


membayangkan apa rasanya ketika berciuman.

Souichirou berpikir ini mungkin akan membuat mereka diam


sejenak, ternyata tidak, dengan cepat wakil ketua kembali bangkit
lagi.

“Ketua OSIS.”

“Ada apa lagi?”


“Kenapa kau mengajukan permintaan loteng ini sendirian?”

Souichirou yang sedang mengecek berkas, berhenti.

“Soal itu, sudah kuminta maaf berkali-kali pada kalian…….”

“Kalau ingin mengajukannya, aku juga ingin ikut.”

“Aku juga, aku juga.”

“Aku juga. Tak disangka ketua OSIS juga berpikir begitu.”

Setelah wakil ketua selesai omong, sekretaris dan pengurus


OSIS yang lain juga ikutan.

“Maaf banget, lain kali kalau mau mengajukan sesuatu, aku pasti
akan mengajak kalian untuk mengikutinya.”

Padahal 2 bulan yang lalu, semua anggota pada menentang


keputusan ini, tapi semua hanya menyalahkan kenapa Souichirou
pergi sendiri untuk mengajukannya.

Bagi Souichirou, tentu saja ‘kalau ada pertengkaran dengan pihak


sekolah, cukup aku sendiri yang disalahkan’ , dengan berpikir
begitu dia bergerak, tapi semuanya tidak membolehkannya.

Saat ini, Souichirou baru sadar kepercayaan semua anggota


OSIS padanya.

“Ketua OSIS juga harus memercayai kamilah~~”


Sebaliknya, ditegur seperti itu, membuat Souichirou merasa
sangat terkejut.

“Kami tahu ketua OSIS sangat elit, tapi kalau melakukan semua
hal sendirian, apa yang akan kami kerjakan nanti?”

Wakil ketua yang tidak menyerah, terus omong soal ini, walau
sudah lewat 2 bulan, ia tetap memprotesnya.

“Maaf banget ya.”

Souichirou meminta maaf seperti biasanya, dan akhirnya wakil


ketua menerimanya, dan duduk kembali mengurus soal berkas
festival budaya.

Souichirou menghela napas dalam hati. Percakapan terputus,


disaat menjadi tenang, terdengar suara biola dari jendela
yang setengah terbuka. Tidak tahu siapa yang sedang bermain,
jangan-jangan Saori datang ke sekolah untuk latihan. Souichirou
berpikir kalau memang begitu, baguslah, dan saat ini
ada seseorang mengetuk pintu ruangan OSIS.

“Silahkan masuk.”

Setelah membalas, pintupun terbuka.

Yang masuk adalah wali kelas Souichirou, Takatsu-sensei.


Dia adalah seorang guru laki-laki yang sudah berumur 30
tahunan, setelah kawin 3 tahun, hubungannya dengan istrinya
sedikti memburuk.

“Oh, ada kalian ya.”

“Ada apa? Takatsu-sensei?”

“Cuma ingin memberitahu kalian hasil rapat gurunya.”

Termasuk Souichirou, semua pandangan anggota OSIS tertuju


pada Takatsu-sensei yang berdiri didepan pintu.

“Lolos lho. Bulan depan, tanggal 1 Juni, loteng tetap bisa dipakai
sepulang sekolah.”

Anggota OSIS saling melihat mata masing-masing, lalu mengetik


matanya masing-masing 2, 3 kali.

Setelah sesaat----------

“Bagus sekali~~!”

Wakil ketua meloncat kegirangan, pengurus yang lain juga.


Sekretaris menepuk tangan dengan senang, dan bendahara
dengan puas menunjukkan pose kemenangan.

Dan yang paling penting, Souichirou tetap tidak begitu


memahaminya.

“Benarkah?”
“Mana mungkin bapak berbohong. Tapi, ya, begitulah. Usaha
Tatebayashi-kun membuat para guru menyadarinya. Ah, ini
adalah kunci pintu loteng, OSIS harusmenjaganya dengan baik
ya.”

Takatsu-sensei yang berjalan ke dalam ruangan OSIS,


memberikan kuncinya pada Souichirou.

“Dan juga mengenai detailnya………….”

Pengurus mencoba menghentikan Takastu-sensei yang mulai


menjelaskan.

“Ketua OSIS, kita harus merayakannya! Aku pergi beli jus dulu!”

Dia omong begitu dan dengan cepat berlari keluar.

“Kalau begitu, kantin! Kalau ingin membuat pesta, juga perlu


snack dan yang lain-lain bukan?”

Wakil ketua juga berlari keluar.

“Ah, hoi! Hari ini hari minggu, kantin tidak buka lho!”

“Kalau begitu aku akan pergi ke toko serba ada yang ada
disekitar sini!”

“Bagaimanapun dengar bapak berbicara dululah…….”

Takatsu-sensei menjadi sedikit kecewa.

Dan saat ini, Souichirou masih sedikit melamun.


“Hoi, ketua OSIS. Kuatkan dirimu.”

Bendahara melempar gulungan kertas yang membentuk bola ke


kepala Souichirou, dan berhasil mengenai kepalanya Souichirou.

Dengan sopan dia memungut gulungan kertas itu, dan


membuang ke tong sampah.

“Tidak ada. Hanya merasa sedikit aneh.”

“Apanya yang aneh? Ini adalah hasil kerja kerasmu tiap hari
datang ke kantor guru lho. Bersenang-senanglah sedikit.”

“Maksudku bukan itu…….. Aku tidak menyangka kalian


akan sampai sesenang itu.”

Bendara dengan terkejut melebarkan matanya, tapi setelah itu


kembali tersenyum lagi.

“Mungkin karena kau berpikir kami tidak begitu suka pekerjaan


OSIS kali.”

“Begitu ya. Itu sungguh……. Sungguh, terima kasih banyak.”

Souichirou juga dengan alami tersenyum.

Pengurus dan wakil ketua yang baru saja kembali membawa 2


kantong yang berisi snack dan jus, dan mereka merayakannya
bersama Takatsu-sensei juga.

Mereka bubar sekitar jam 5, dan sekarang sudah jam 5 lewat.


Mereka merapikan ruangan OSIS yang kacau, dan menaruh sisa
jus ke dalam kulkas, dan sisa snack dibagikan secara rata.

Dan saat sedang bersiap pulang, Souichirou sendiri datang ke


kantor guru, dan berterima kasih.

“Saya sangat berterima kasih.”

Setelah meninggalkan kantor guru, Souichirou berjalan menuju


arah lemari sepatu.

Berjalan di sekolah yang sedang sunyi seperti ini, Souichirou


sadar perasaan ini sangat tidak coock dengan rasa semangatnya
yang sekarang.

Ada sebuah keinginan untuk berlari dikoridor.

Tapi, kenyataannya dia tidak berlari dikoridor, karena itu


melanggar peraturan.

Dia turun lewat tangga, dan saat ini terdengar suara seseorang
sedang memanggilnya.

“Tatebayashi-kun.”

Membalikkan kepala, dibelakang terlihat Saori sedang mengejar


dari belakang.

Mereka berdua bertemu ditengah tangga.

“Apa ada pekerjaan OSIS?”


“Hn, iya.”

Sepertinya Saori datang untuk latihan. Melihatnya membawa


kotak biola. Melodi biola yang didengar tadi, jangan-
jangan itu Saori.

“……..”

Entah kenapa, Saori dengan penasaran melihat wajah


Souichirou.

“A-ada apa?”

“Apa terjadi suatau hal yang bagus?”

“Huh?”

“Karena kau terlihat sedang tersenyum.”

Souichirou dengan gugup mengkakukan wajahnya.

“Sayang sekali. Padahal tadi itu ekspresi yang bagus sekali.”

Saori sepertinya merasa sayang sekali.

“Himemiya, apa sekarang kau ada waktu?”

Belum juga berpikir, sudah langsung mengatakannya.

“Hn, latihan sudah selesai, tinggal pulang saja, dan tidak ada
hal lain yang mesti dilakukan.”
“Kalau begitu, bisa menemaniku sebentar? Akan kutunjukkan
sesuatu.”

“Ingin menunjukkan sesuatu padaku?”

“Ikut aku.”

Souichirou dengan senang menjawab, dan diam-diam naik lewat


tangga.

Kembali ke lantai 2, dan naik ke lantai 3. Belum berhenti.

“Kalau naik lagi, sudah sampai loteng lho?”

“Aku tahu.”

“Sekarang sudah dikunci sepertinya.”

Saat ini, mereka berdua sudah sampai didepan pintu loteng


sekolah.

“Tiap tahun selalu ada banyak permintaan untuk loteng


sekolah, agar sepulang sekolah tetap bisa dipakai, tahun ini juga
OSIS membahas ini dengan paraguru.”

“Begitu ya? Kau sama sekali tidak pernah membahas ini


denganku.”

“Karena kalau boleh, aku ingin memberi kejutan…….. Lalu, hari


ini aku mendapatkan izinnya. Mulai bulan depan…….. Bulan juni
tanggal 1, loteng sekolah akan tetap dibuka meskipun sudah
pulang sekolah.”

“Kalau begitu, hari ini kan baru bulan mei tanggal 23.”

“Aku punya ini.”

Souichirou mengeluarkan kunci warna perak dari kantongnya,


dan memperlihatkannya pada Saori.

“Apa ketua OSIS yang adil dan serius itu akan melanggar
peraturan? Ini termasuk menggunakan kekuasaan dengan
sembarang lho.”

Saori menegur begitu, tapi dia terlihat senang.

“Walaupun libur, aku tetap datang ke sekolah untuk mengurus


pekerjaan OSIS. Sesekali melanggar aturan mungkin tidak apa?”

“Meski begitu, Tatebayashi-kun tetap tidak cocok untuk


melanggar peraturan.”

“Tentu. Karena aku tidak pernah melakukan kejahatan apapun,


tanganku sekarang gemetaran.”

Dia menggunakan tangannya yang masih gemetar


itu, memasukkan kunci ke lubang pintu, dan disaat ingin
membukanya-----

“Tunggu sebentar.”
Saori menghentikannya.

Souichirou ingin bertanya kenapa , dan sekarang Saori sedang


memegang tangan Souichirou yang sedang memegang kunci itu.

“Kalau begini kan berarti kita sama-sama melanggar aturan.”

Mereka berdua memutar kuncinya secara bersama.

Terasa ada perasaan pintu terbuka dari jari mereka.

Souichirou dan Saori saling menatap, dan saling mengangguk


anggukkan kepala.

Dengan pelan-pelan memutar pegangan pintu, dan membuka


pintu yang terhubung dengan loteng sekolah bersama-sama.

Kalau diwaktu sepertinya ini, bisa melihat matahari terbenam


dengan warna merah……… Awalnya berpikir begitu, tapi ternyata
tidak.

“Ah.”

Souichirou tidak tahan mengeluarkan suara yang kecewa.

Langit dipenuhi oleh awan yang berwarna abu-abu, dan hujan


membuat segalanya menghilang.

“………. Hari ini hujan.”

Disaat Souichirou menundukkan kepala dengan menyalahkan


dirinya, Saori berlari keluar. Mengangkat kepala untuk melihat,
dan terlihat bayangan Saori yang berlari keluar tanpa takut
kebasahan.

“Bagus! Luar biasa!”

Dia mengeluarkan suara yang sangat senang.

Memutar kepalanya dan tersenyum dengan bahagia.

“Tatebayashi-kun juga ke sini dong.”

Souichirou menerima undangannya, berjalan keluar, dan


mengeluarkan payung dari tasnya.

Berjalan ke sekitar Saori, membantunya memegang payung


supaya tidak basah kena hujan. Karena begitulah, badan
Souichirou setengah diluar. Saori melihat Souichirou yang
bahunya yang basah itu.

“Tatebayashi-kun lembut sekali.”

“Kenapa kau tiba-tiba mengatakan ini.”

“Aku benar-benar merasa begitu.”

Wajah Saori terlihat sangat senang sekarang.

“Saat pertama kali kau mengobrol denganku, kau juga


memberikan setengah taiyaki mu padaku.”
“Waktu itu…….. Karena taiyakimu dimakan oleh Misaki sampai
hampir habis, dan kau terlihat sangat sedih. Aku hanya merasa
kasihan.”

“Apa aku sesedih itu pada waktu itu?”

“Seperti ekspresi anak-anak yang mainannya direbut.”

“Ti-tidak sampai seperti itu juga kali.”

Saori menunjukan ekspresi seperti anak-anak, dan


menghadapkan wajahnya ketempat lain.

“Dan juga, seperti menemaniku belajar.”

“Hn?”

Souichirou berpikir apa yang dikatakan Saori, tapi ternyata dia


melanjutkan percakapan yang tadi.

“Membantuku mengangkat alat musik, dan juga menemaniku


untuk mencari partitur.”

“Itu bukan apa-apa.”

“Seperti sekarang juga, memegang payung untukku dan


tidak membiarkanku basah.”

Saori dengan puas mengangkat kepalanya dan melihat ke


Souichirou.
“Dan juga, jangan-jangan kau masih ingat soal waktu itu? Saat di
loteng?”

Bahu bagian kiri Souichirou yang diluar payung, menjadi semakin


berat dan basah.

------ Aku berharap sepulang sekolah nanti tetap bisa datang ke


loteng.

Tentu saja ingat.

“Jadi, Tatebayashi-kun orangnya benar-benar lemah lembut.”

Perkataan Saori tiba-tiba membuat Souichirou gugup.

Dia merasa sedikit susah untuk bernapas.

Ini pasti karena Saori salah paham. Karena dia tidak sadar. Saat
Souichirou berpikir begitu, suasana hati yang aneh, dan perasaan
yang tidak jujur ini memenuhi hatinya, dan dengan alami
menjawab :

“Himemiya pasti salah.”

“Aku ?”

“Aku sama sekali tidak lemah lembut.”

“Apa kau ada dengar perkataanku yang tadi?”

“Bukan itu.”

“Apanya yang bukan?”


“Aku tidak memperlakukan setiap orang seperti itu.”

“………..”

“Tidak peduli itu taiyaki atau membantu mengangkat alat


musik. Dan juga, membantumu memegang payung, dan soal
loteng sekolah tetap bisa digunakan sepulang
sekolah………… Katanya itu permintaan seluruh murid, tapi
semua itu hanya alasan!”

“Ta-tatebayashi-kun?”

Perkataan Souichirou membuat Saori ragu. Saori sudah tahu apa


yang akan dikatakan Souichirou selanjutnya. Meskipun sekarang
sudah tidak bisa menghentikannya lagi.

“Karena Himemiyalah.”

“……….”

“Karena Himemiyalah, aku melakukan sampai seperti ini.”

“……….”

“Semuanya demi Himemiya………. Jadi, jangan menganggap aku


orang sangat lemah lembut!”

“Hn, hn.”

“Aku menyukai Himemiya.”

“…………”
Dikatakan. Sudah dikatakan. Sekarang otak serasa kosong, tidak
bisa memikirkan apapun. Souichirou tidak tahu harus bagaimana
setelah mengatakannya, juga tidak bisa memutuskan akan
melakukan apa.

Tak disangka akan menyatakan cinta disini……… Yang paling


terkejut adalah Souichirou sendiri.

“………”

“……….”

2 orang terdiam sekitar 1 menit.

Tapi, Souichirou tidak bisa menahan lagi, dan mencoba ngomong


dengan Saori :

“A-ayo kita pulang.”

“Hn, hn…………”

Mereka berdua turun bersama ke bawah dari loteng.

Lalu menuruni tangga tanpa mengatakan sepatah katapun, dan


berjalan menuju lemari sepatu.

Saat Souichirou sudah mengganti sepatu, dan sedang menunggu


Saori yang tidak membawa payung, terdengar suara seperti ini :

“A-aku juga menyukaimu.”

“Huh?!”
Dia dengan sangat terkejut membalikkan kepalanya, terlihat Saori
yang sedang berdiri dan menundukkan kepala karena malu, 2
pipinya sedikit memerah, dan menatap ke Souichirou.

“Eh………”

Sebaiknya melakukan apa saat berada disituasi seperti ini? Ini


merupakan sebuah masalah yang bahkan tidak bisa dipecahkan
oleh Souichirou yang merupakan murid paling teladan.

“Tadi kau bilang apa?”

“Kalau kau tidak ngomong duluan sekali lagi, aku tidak akan
mengatakannya.”

Karena malu dan perasaan yang baru saja bertumbuh, otak sama
sekali tidak bisa berjalan.

“Ah, aku, aku…………. Aku menyukai Himemiya!”

“Aku juga menyukaimu.”

Semakin ingin melakukan sesuatu, rasanya semakin cemas dan


gugup, Souichirou berkeringat dengan cepat sekali.

Dan sebuah kesimpulan yang Souichirou simpulkan dengan


susah payah.

“Be………..”

“Be?”
“Sampai bertemu besok lagi!”

Setelah mengatakan ini Souichirou memberikan payung pada


Saori , dan berlari keluar.

“Ah, tunggu sebentar!”

Dia tidak berencana untuk menghentikan langkahnya, tetapi


suara Saori yang memanggilnya membuat tubuhnya kaku.

“Sampai bertemu besok.”

Dia membalikkan kepalanya, terlihat Saori yang sedang


melambaikan tangan.

Diberi salam oleh Saori yang begitu imut, Souichirou berlari


keluar dengan lebih cepat lagi.

Setelah sadar, entah kenapa ia berteriak sendiri dengan keras.


Dan setiap melihat genangan air, akan menginjaknya dengan
kuat, dan air yang beterbangan rasanya membuat puas sekali.

Badan terasa ringan. Walau ingin tetap seperti biasa, tapi badan
serasa sedang meloncat-loncat, dalam hati merasa sangat
senang.

Pemandangan yang seharusnya tidak asing lagi, seketika


menjadi seperti sebuah dunia yang baru.

Walau sekarang masih hujan, tapi itu sama sekali tidak penting.
Sekarang, dunia serasa sedang bersinar-sinar.
BAB 2

Hauhau, Gadisnya si Ketua OSIS (Part 2)

Di dunia ini, bisa saja terjadi hal yang bagaikan suatu keajaiban.

Mengatakan padanya bahwa aku menyukainya, dan dia


juga membalas menyukaiku.

Mungkin akan ada orang yang bilang ini tidak pantas dikatakan
sebagai sebuah keajaiban.

Namun, dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan suasana


hati yang bergelora akan penuh cinta itu.
Bagian 1
Di pagi hari yang berudara segar, Souichirou yang merupakan
Ketua OSIS Suimei, dengan mengantuk datang ke sekolah.

Jalan menuju ke sekolah yang sudah tidak asing lagi, tak ada
bayangan murid-murid yang lain. Kalau ingin jalan ini dipenuhi
oleh murid-murid Suimei, mesti kira-kira 30 menit setelah saat ini.

Walau tidak ada urusan penting yang harus segera dikerjakan,


tapi sejak menjadi Ketua OSIS, datang sekolah dengan awal
sudah menjadi kebiasaan Souichirou.

“Huwaa~~~”

Dengan wajah yang melamun ia menguap. Kalau biasanya, tidak


akan menguap hanya karena berangkat awal.

Penyebabnya karena semalam tidak bisa tidur sama sekali,


tak perlu pikir juga tahu alasannya.

Karena masalah terbukanya loteng sebagai tempat umum,


kemarin Souichirou menyatakan cinta pada seorang perempuan
yang sudah dia sukai sejak dulu………… Himemiya Saori.

Dan balasan yang dia dapatkan adalah……..

----- Aku juga menyukaimu.

Dengan begitu, bakal aneh juga kalau tidak semangat.


Souichirou melewati gerbang sekolah, berjalan menuju arah rak
sepatu, pemandangan yang disampingnya adalah lapangan
olahraga. Yang sedang latihan pagi adalah klub sepak bola,
sekarang ada sebuah lomba yang penting bagi mereka.

Yang terdengar dari belakang adalah murid-murid yang sedang


berteriak untuk klub mereka, Souichirou berjalan masuk ke dalam
gedung sekolah. Menuju ke rak sepatunya sendiri, lalu mengganti
sepatunya. Dan saat ini, ada seseorang berjalan keluar dari
belakang rak sepatu.

“Ah.”

Souichirou mendengar suara itu, dan mengangkat kepalanya.

Yang berdiri disana adalah orang yang dikenalnya.


Itu juga merupakan hal yang wajar, karena dia adalah orang yang
Souichirou sukai. Orang itu juga denganterkejut melihat
Souichirou.

Kalau dalam kategori perempuan, tubuhnya sangat bagus. Dia


juga sangat cantik, matanya serasa membuat
orang ingin terus memandangnya, dengan kata lain dia sangat
imut, entah kata apa yang cocok untuk mengekspresikannya.
Membuat orang merasa unik dengan rambutnya yang lembut dan
halus itu, sekarang juga sedang memakai headphonenya yang
besar itu.
Saori dan Souichirou sama-sama siswa kelas 3, tapi
dibandingkan Souichirou yang merupakan siswa divisi reguler,
Saori merupakan siswi jurusan seni yang sangat elit.

“…………..”

“…………..”

Souichirou dan Saori saling memandang untuk sebentar, dan


kaku sangat lama.

Proses menyatakan cintanya sangat lancar,


dihari kedua setelah saling memastikan perasaan masing-
masing, harus menggunakan ekspresi seperti
apa nantisaat mengobrol. Meski sampai sekarang selalu
dengan serius mengikuti setiap pelajaran, tapi tidak pernah
diajarkan harus bagaimana disaat seperti ini.

Dibandingkan dengan ini, soal ujian untuk masuk ke universitas


bahkan lebih gampang.

“Ah, eh………..”

Dengan susah payah akhirnya bersuara.

“Pa-pagi, Saori.”

“Hn, hn, pagi, Tatebayashi-kun.”

“………..”
“………..”

Walau sudah dengan susah payah memulai sebuah


percakapan, tapi itu juga cuma sekedar menyapa,
hanya begini saja bisa membuat otak Souichiro masuk dalam
mode error. Arah mata mulai melihat ke mana-
mana dan berkeringatan.

Saori juga sepertinya sedang mengalami hal yang sama, walau


mulutnya tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi mau
bagaiamanapun dia tetap tidak bisa mengatakannya. Karena
takut salah ngomong, dia masih terus mengggoyang-goyangkan
tangannya.

“Ha-hari ini kau pagi juga datangnya.”

“Ah, hn…… Karena ingin latihan piano sebentar.”

“………”

“………”

Walau terus mencoba untuk memperpanjang percakapan, tapi


tetap saja terputus ditengah.

Terhadap kedua orang yang seperti ini, seseorang muncul.

“Kalian berdua sudah saling memandang dari pagi,


apakah ada terjadi sesuatu yang menarik?”
Yang datang ke samping Souichirou adalah Mitaka Jin yang
sudah sekelas dengan Souichirou 3 tahun secara berturut-turut.

“Mi-Mitaka!”

“Ti-tidak ada terjadi apapun!”

2 orang itu mulai menjelaskan.

“Kalau begitu, apa Ketua OSIS bisa permisi sebentar? Aku tidak
bisa mengambil sepatuku.”

“Ah,oh maaf.”

Souichirou menepi, rak sepatu Mitaka ada dibawah Souichirou.

“Mitaka, jarang-jarangnya kau datang sepagi ini?”

Souichirou tidak ingin hal yang terjadi antara ia dengan Saori


diketahui oleh Jin yang ’tajam’, dan memulai topik baru.

“Rumi-san katanya ada pekerjaan, jadi pergi bekerja. Karena ikut


dia keluar, jadinya seperti ini.”

Rumi adalah pacar Jin yang umurnya sedikit lebih tua. Sampai
sekarang juga bukan sebuah hal yang begitu mengejutkan,
sepertinya hanya pergi dari tempatnya bermalam, jadi datang
lebih awal.

“Mitaka juga kurang ajar seperti biasa.”

Saori dengan tidak sudi memandang dan merendahkan Jin.


Tapi Jin tidak bereaksi apapun, setelah mengganti sepatu,
dengan santai dia memberi sebuah ‘bom’ pada mereka.

“Kalau begitu, apa Ketua OSIS dan Hauhau sudah mulai


berpacaran?”

“A-apa yang kau katakan?”

Dengan susah payah menjadi tenang lagi, Souichirou


menjawabnya dengan begitu.

“Hn~~ sudahlah, kalau kau ingin begitu, aku tidak akan


peduli lagi lho? Aku akan pura-pura tidak sadar, dan melihat
kalian berdua dengan pandangan yang hangat.”

“Kalau kau sudah sadar, jangan berpura-pura lagi.”

Daripada ditertawakan olehnya, lebih baik begini. Tidak, 2’2 nya


merupakan neraka, sepertinya sama-sama buruk------

Pokoknya, Souichirou sudah mempersiapkan dirinya, jadi


dikatakan seperti apapun tidak masalah lagi.

“Kalau begitu selamat untuk kalian berdua.”

Tidak diduga Jin hanya mengatakan ini, dan langsung pergi


menuju ke kelas.

“Ah, hoi, Mitaka.”

“Apa cuma ini?”


Awalnya pikir dia akan mengatakan yang aneh-aneh, tapi tak
disangka dia terlihat tidak begitu peduli. Saori juga dengan
terkejut melihat ke arah Jin.

“Apaan, ingin memberiku hadiah perpisahan? Tidak disangka


Ketua OSIS ternyata orang yang begitu.”

“Tidak ada yang ngomong begitu. Aku hanya berpikir dirimu yang
biasanya itu kemana?”

“Jadi ingin diriku yang biasanya kembali, nanti kalau banyak


masalah bukan salahku ya?”

“Tidak, tidak! Tidak perlu! Kau jangan katakan apapun lagi.”

“Semoga kalian bahagia selamanya, sungguh sebuah pasangan


yang serasi ya.”

Jin mengatakan dengan santai seperti biasanya, sambil


meninggalkan mereka berdua, tapi setelah dia berjalan sekitar 3
langkah, dia kembali lagi dengan mengatakan ‘ah iya’ ke samping
Souichirou.

“Ambillah.”

Jin yang berjalan kembali itu, memberikan sesuatu yang mirip


dengan tiket.

“Apa ini?”
Souichirou bertanya begitu, dan membaca tulisan yang ada di
tiket itu.

----- Tiket makan kue gratis sampai puas.

Itu adalah tokoh yang ada di samping stasiun yang baru dibuka,
merupakan sebuah tokoh yang sedang populer.

“Seperti yang kau lihat itu adalah tiket untuk makan kue gratis
sampai puas.”

“Kalau itu dilihat juga tahu. Yang ingin kutanya adalah kenapa
kau memberikan ini padaku?”

“Anggap saja hadiah perpisahan.”

“Bukannya tadi sudah kubilang aku tidak butuh barang seperti


ini?”

“Tapi, sepertinya Hauhau sangat tertarik lho?”

Souichirou merasakan kehadiran seseorang dan


memutar balik kepalanya, terlihat Saori yang entah sejak kapan
ada disamping, sedang melihat tiket itu denganbersemangat.

“Ma-mana ada aku menunjukkan ekpresi yang seloah sangat


menginginkannya. Kau salah paham Mitaka.”
“Kalau begitu maaf sekali……. Ya sudah, pokoknya begitulah,
apa bisa minta tolong pada kalian berdua untuk pergi melihat-
lihat dihari minggu nanti?”

“Apaan lagi?”

Saori menyilangkan kedua tangannya dipinggangnya,


memberikan pandangan yang tidak tahan terhadap Jin.

“Kalau kalian berdua sedang pacaran, wajar saja ’kan kalau pergi
berkencan?”

Karena kalimat ini, Souichirou dan Saori jadi saling memandang,


tapi hanya tak sampai 1 detik dengan cepat masing-
masing memindahkan pandangan kearah lain lagi.

Setelah menyatakan cinta jadi berpacaran, dari kemarin tidak bisa


tenang, jadi tidak terpikirkan hal-hal setelah itu. Setelah
menjadi pasangan kekasih, biasanya akan menjalankan sebuah
kegiatan saat dihari libur yang disebut kencan, biasanya pergi
menonton film atau makan-makan.

“Jadi, begitu ya.”

Kali ini Jin benar-benar melambai-lambaikan tangannya, naik ke


tangga, dan dengan cepat bayangannya tak kelihatan lagi.

Sekarang didepan rak sepatu hanya sisa Souichirou dan Saori,


perasaan yang gugup ini menyelimuti mereka berdua.
“……….”

“……….”

Mereka berdua tidak berani saling memandang.

“Eh……… Itu………..”

“I-itu……………”

Mereka berdua mengumpulkan keberanian untuk mencoba


memulai percakapan, tapi suara mereka dengan bersamaan
tertimpa.

“A-ada apa?”

“Tatebayashi-kun juga, ada apa?”

“Kau ngomong duluan saja.”

“Hn, tidak. Aku tidak apa-apa……….”

Lalu dengan sekali lagi malu dan terdiam lagi.

“…………”

“………….”

Akhirnya menjadi lebih diam lagi, dan menjadi lebih malu lagi
rasanya.

“I-itu……..”

Souichirou sudah memutuskan, dan omong sekali lagi.


“A-ada apa?”

“Ah, tidak, tidak, itu…….. Kalau kita sedang berpacaran, wajar


saja bagi kita untuk berkencan.”

“I-iya. Hn, pokoknya begitu.”

“Jadi, itu, eh…… Lain kali kalau libur ayo kita pergi.”

“Ah, hn. Pergi bersama-sama! Juga tidak begitu baik jika


membuang tiket yang diberikan Mitaka itu.”

Dengan begitu, Souichirou dan Saori memutuskan kencan


pertama mereka..
Bagian 2
Hari minggu terakhir pada bulan Juni. Souichirou yang memakai
baju bebas, menunggu didekat stasiun. Walau ini merupakan
kencan yang digoda oleh Jin, tapi karena jadwal latihan piano
Saori yang padat, kencan inipun ditunda selama sebulan, dan
akhirnya hari ini bisa pergi bersama-sama.

Sepertinya siang ini Saori juga ada latihan piano, waktu bebasnya
hanyalah saat sore.

Souichirou melihat jam, masih sisa 10 menit sebelum jam 2


sesuai yang sudah dijanjikan.

Untuk menenangkan suasana dalam dirinya yang sedang kacau


itu, dia melihat ke sekeliling.

Kaca toko yang ada di depannya menunjukkan


Souichirou yang memakai kemeja warna putih yang disertai
dengan dasi, dan dibawah menggunakan celana panjang yang
sederhana. Sementara dia tidak ingin memakai penampilan yang
aneh, tapi bagaimanapun juga tidak
pernah bertemu dengan Saori yang memakai baju bebas, jadi
tidak tahu apa yang akan dipikirkannya nanti.
Menjadikan kaca sebagai cermin, sedikit merapikan poninya.
Padahal biasanya kalau di depan cermin tidak akan begitu peduli
dengan penampilan…….

Dia tersenyum pahit pada dirinya sendiri, menarik napas. Dan


melihat ke langit, memindahkan pandangan dari dirinya yang
tidak tenang itu.

Di atas kepala diselimuti oleh awan yang tebal, merupakan


sebuah musim yang aneh. Tapi di musim seperti ini sangat jarang
bisa ketemu dengan cuaca seperti sekarang ini, dan juga ini
pertama kalinya Souichirou kencan, jadi dia tidak akan
membiarkan cuaca mempengaruhi suasana hatinya.

Bulan ini , mereka berdua makan bersama di kantin


sekolah, ngobrol di loteng sekolah, pulang bersama sepulang
sekolah, hanya dengan ini mereka sudah sangat bahagia, tapi
akhirnya mereka berdua juga pacaran, membuat mereka ingin
melakukan hal lain. Di hari ini yang sudah menunggu sebulan ini,
harapan Souichirou akhirnya datang.

Disaat sedang memikirkan ini, di tempat antri untuk naik bus


terlihat Saori, dia memakai baju putih disertai dengan rok pendek
berwarna hitam, leggingnya juga berwarna hitam, dan mamakai
sepatu bot pendek berwarna coklat. Warnanya terlihat cocok
dengannya, terlihat dewasa, mengeluarkan aura yang anggun.
Setelah Saori menemukan Souichirou, dia berlari kecil sampai ke
tempat Souichirou berada.

“Maaf sudah membuatmu menunggu lama.”

“Tidak kok, sesuai jam yang kita janjikan masih ada 5 menit.”

“Aku tahu Tatebayashi-kun pasti akan datang duluan, jadi ingin


pergi lebih awal………..”

Mungkin karena menyadari sesuatu, suara Saori semakin


mengecil.

“Itu…… Karena tidak tahu sebaiknya memakai baju apa……. A-


apa terlihat aneh?”

“Terlihat sangat cocok denganmu.”

“Te-terima kasih.”

Melihat lagi penampilan Saori yang luar biasa itu. Jika dilihat
dengan teliti, roknya ada kocek, terlihat seperti celana juga,
mungkin ini ‘lah yang namanya ‘rok celana’.

“Rasanya Tatebayashi-kun berbeda saat memakai seragam


dengan baju bebas.”

“Be-begitu ya.”

“Aura Ketua OSIS jadi agak menipis.”

“Apa itu termasuk pujian?”


“Bisa melihat pemandangan yang berharga ini, aku merasa
sangat puas lho.”

Saori sepertinya merasa tertarik dan tertawa.

“Sungguh sebuah pendapat yang unik.”

“Bohong kok. Itu terlihat cocok denganmu.”

Saori sambil ngomong, dan melewati tempat potong tiket dengan


langkah ceria. Entah kenapa terasa suasana hatinya hari ini
sedang berada dipuncaknya.

“Tatebayashi-kun? Kau tidak jalan?”

Saori memanggil Souichirou yang melamun itu.

“Ah, aku segera jalan.”

Dia dan Saori dengan segera melewati tempat potong tiket itu.

“Ada apa? Apa aku memang terlihat aneh?”

“Bukan begitu……. Cuma merasa Himemiya yang hari ini


lebih bersemangat dari biasanya.”

“Begitu ya, hn…….. Tapi aku sadar kok, karena aku selalu
menantikannya.”

“Menanti untuk makan kue gratis sampai puas?”

“Menanti untuk kencan dengan Tatebayashi-kun.”


Dia dengan muka yang konyol memperbaiki kata-kata Souichirou.

“Be-begitu ya. Itu merupakan kehormatanku.”

Karena dibilang begitu, Souichirou hanya bisa menahan malu.

Setelah naik ke kereta sekitar 3 menit……… Souichirou dan


Saori akhirnya sampai ditempat tujuan, langsung datang ke pusat
tempat makan kue gratis sampai puas.

Memastikan ini adalah tempat masuk, dan melihat ke sekeliling


untuk mengecek, mereka berdua pergi menuju ke tempat tujuan
yaitu cafe.

Karena hari libur, bisa terlihat banyak keluarga dan pasangan


kekasih yang datang berkunjung. Tapi Souichirou dan Saori juga
salah satunya.

“Apa kita juga terlihat seperti sepasang kekasih?”

“Aku pikir, mungkin begitu……..”

Sepertinya Saori juga sedang memikirkan hal yang sama.


Dengan hanya ini, Souichrou bisa tertawa terbahak-bahak. Tapi
karena tidak ingin dirinya terlihat seperti itu, dia hanya bisa
menahannya.

Disaat mereka berdua sedang mengobrol sambil tertawa, mereka


menemukan tokonya.
Diluar terlihat iklan papan makan kue gratis sampai puas.

Mereka berdua memberikan tiket pada penjaganya, dan


penajaganya dengan tersenyum membawa mereka ke tempat
duduknya. Di dalam toko tercium bau wangi kue yang manis.
Sepertinya setelah ini bisa langsung mengambil kuenya untuk
dimakan.

“Kalau begitu, ayo cepat kita pergi ambil.”

“Hn.”

Souichirou dan Saori bersama-sama menuju ke kasir. Dari meja


awal sampai akhir terdapat kue yang banyak, ada kue stroberi,
kue coklat, puding, salad buah dan lain-lain, semuanya lengkap.
Poster yang tertempel disamping kasir, tertulis bahwa ada lebih
dari 80 jenis kue.

Ini pertama kali dalam hidupnya Souichirou melihat kue sebanyak


ini.

“Ada begitu banyak jenisnya, sampai-sampai aku pusing


melihatnya. Luar biasa.”

Mata Saori bersinar-sinar, Souichirou melihat wajahnya sampai


tidak menyadarkan diri.

Saat ini, pandangan mereka berdua saling bertemu.

“Ke-kenapa?”
“Ternyata Himemiya juga sangat menyukai manisan ya.”

“Apa sangat aneh?”

Saori melihat ke Souichirou dan bertanya.

“Tidak aneh……… Seperti siswi SMA yang normal.”

“Tentu aku adalah siswi SMA yang normal, kalau tidak


Tatebayashi-kun menganggap aku sebagai apa?”

“Karena kau lebih dewasa dari siswi SMA yang biasanya,


jadi……….”

“Aku tidak berbohong mengenai umurku lho.”

“Bukan, maksudku bukan itu……….”

“Entah kenapa terasa Tatebayashi-kun sangat mencurigaiku.”

Saori yang terlihat sedikti marah, sangat tidak puas terhadap


Souichirou. Tapi daripada dibilang seram, ini harusnya dibilang
imut. Memandangnya membuat diri tidak bisa tenang, dengan
segera Souichirou memindahkan pandangannya ke arah kue.

“Mengenai hal ini, mau tidak sambil makan kue sambil


ngobrol? Bagaimanapun masih ada batas waktu 90 menit lebih.”

Lalu ngomong dengan begitu, dan membiarkannya berlalu begitu


saja.
“Hn, benar juga, begitu saja. Tapi, banyak sekali jenisnya sampai
aku bingung memilih yang mana………. Bagaimana ini?”

Saori yang memegang piring itu berkomat kamit sendiri.

“Kalau Misaki, pasti mencoba semuanya 1 per 1.”

“Karena dia itu merupakan manusia yang sudah melewati


‘batas’nya.”

Saori dengan alami tersenyum pahit. Kamiigusa Misaki, kalau di


deskripsikan dalam 1 kata, dia itu adalah alien. Di angkatan
yang sama dengan Souichirou dan Saori, jurusan seni. Dengar-
dengar sepertinya dia dan Jin berasal dari kota yang sama, dan
merupakan teman masa kecil.

“Hn~~ makan yang mana ya?”

“Kalau kau begitu pusing, cobain saja semua jenis.”

“Bukannya itu akan membuat orang jadi tidak


berani menimbang berat badannya?”

“………..”

Terhadap reaksi yang diluar dugaan ini, Souichirou melihat Saori


dengan terkejut.

“A-aku omong dulu, aku juga peduli akan berat badanku lho. Dan
juga, aku tidak ingin Tatebayashi-kun bilang aku jadi gemuk.”
Saori sambil ngomong dan menaruh tangannya pada bagian
perutnya, tidak terlihat ada sedikitpun lemak…….

“Ah, tidak, aku bukan ngomong soal berat badan, aku hanya tidak
terpikir ternyata kau ingin mencoba semua jenis kuenya,
jadi kaget juga.”

Walau boleh makan sampai puas, setiap kue terbuat dengan


ukuran kecil, tapi ada lebih dari 80 jenis, jika dilihat dari jumlahnya
sangat luar biasa. Bahkan Souichirou yang merupakan seorang
laki-laki juga pasti tidak akan mampu memakan semuanya.

“I-itu………….. Rasanya hari ini Tatebayashi-kun jahat.”

Dengan menunjukan ekspresi yang imut, sama sekali


tidak terlihat sedang marah. Mungkin karena begitulah, rasanya
ingin mengusilinya.

“Maaf, jangan marah. Sepertinya aku juga sedang bersemangat.”

“Kenapa?”

“Tidak perlu kubilang. Kau juga tahu.”

Ingin menjawab jujur saat saling berhadapan, rasanya sedikit


malu.

“Karena kencan denganku?”

Tapi, sepertinya Saori bagaiamanapun ingin mengatakannya.


“I-iya.”

“Kalau begitu, itu…………. Aku maafkan saja.”

“Kalau begitu terima kasih banyak.”

Saori menunjukan ekspresi senyum yang sangat indah.

“Su-sudah, ayo makan.”

Sambil mengambil piring Souichirou mengatakan itu dengan


menahan tekanan, karena jantungnya tidak kuat dengan
senyuman manisnya Saori.

“Aku ingin meminta bantuan Tatebayashi-kun dalam suatu hal.”

Entah kenapa , Saori menunjukan ekspresi yang serius.

“A-ada apa?”

“I-itu…….. Agak susah dikatakan.”

“Jangan malu, katakan saja.”

“Kalau begitu, aku katakan saja…………”

“Hn.”

Saori sambil sedikit menundukkan kepalanya, dan melihat ke


Souichirou.

“Boleh tidak bagi makan dengan punya mu?”

Mengatakan dengan nada yang sedikit serius.


Sepertinya benar-benar ingin mencoba semua kuenya.

Souichirou tidak tahan dan tertawa.

“Menertawakan permintaan orang lain, teganya!”

“Maaf.”

“Ya ngomong sih ngomong, kau masih tawa terus!”

“Maaf banget. Aku akan bagi makan denganmu, maafkan aku.”

Walaupun begitu, Souichirou tetap tidak bisa menahan tawanya.

“Yang benar saja…………. Kalau begitu akan aku maafkan


kau…………. Masih aja ketawa!”

“Kalau begitu, mau mulai darimana dulu ini?”

Souichirou mengelap air matanya karena


saking lucunya. Rasanya hari ini melihat sisi yang tidak
biasanya terus dari Saori, semua itu tidak bisa dilihat disekolah.
Saat berpikir semua ini karena diri sendiri, rasa
senangnya sampai tak tertahankan.

“Tatebayashi-kun.”

Kedua mata Saori memandang ke Souichirou. Kalau ketawa lagi,


sepertinya ia akan marah benaran. Souchirou melihat kue
yang ada disekelilingnya, sambil menahan tawa.

“Kalau begitu, apa sudah memutuskan mau makan dari mana?”


“Sebelum itu, aku ada 1 permintaan lagi.”

“Apa itu?”

“……….. Apa aku boleh memanggilmu Souichirou?”

“Huh?”

Pandangan mata Saori saat bertanya begitu terfokus ke


pasangan kekasih yang ada disamping mereka, mereka saling
memanggil dengan nama panggilanmasing-masing.

“Ah, ti-tidak boleh juga tidak apa. Memanggil seperti dulu juga
tidak masalah.”

Saori memalingkan wajahnya yang malu itu, bahkan telinga yang


biasanya ditutupi headphone sampai terlihat merah.

“……….. Aku juga boleh memanggilmu dengan namamu?”

“Huh?”

“………..”

Sampai sendiripun berani mengatakan seperti itu, jantung


berdetak dengan keras.

“Boleh.”

“Kalau begitu, itu…………. Saori.”

“Souichirou.”
Dengan begini saja rasanya tidak tahan, Souichirou dan
Saori sama-sama menundukkan kepalanya.

“…….”

“…….”

“…….”

Saat ini jika dilihat dari sekeliling, mungkin akan


terasa suasana yang disini begitu manis.

Kalau begitu terus, tubuh tidak akan bisa menahannya. Untuk


mengubah suasana, Souichirou fokus lagi ke tujuan hari ini.

“Ba-baiklah. Ayo makan kue.”

“Hn, hn.”

Souichirou mengikuti petunjuk Saori, dengan 1 per 1 meletakkan


kue dipiringnya. Setelah selesai makan kue yang ada
dipiring, langsung pergi ambil lagi, entah sudah mengulang
berapa kali.

90 menit kemudian, tak disangka telah berhasil mencoba semua


jenis kue, tapi sayangnya, Souichirou tidak begitu mengingat rasa
kuenya. Walaupun begitu, kencan dengan Saori tetap terlukis
sebagai sebuah kenangan manis didalam hati Souichirou.
Bagian 3
Setelah kencan pertama kali yang bahagia selesai, musim
dengan cepat berganti, dari musim hujan berubah ke musim
panas. Tiap hari langit selalu dipenuhi awan yang putih,
menggantikan awan abu-abu.

Saori tetap seperti biasa sibuk dengan latihan piano, tidak banyak
waktu untuk bisa berduaan. Tapi sebaliknya, Saori dan
Souichirou sedang bersama-sama bersiap untuk ulangan, makan
siang bersama, dan disaat waktunya cocok juga kadang pulang
bersama, menghargai saat-saat ketika bisa bertemu.

Dan pastinya, orang-orang yang memperhatikan mereka berdua


sudah menyadari hubungan mereka, dihari terakhir sekolah
sebelum liburan musim panas, Souichirou dimarahi habis-
habisan sama anggota OSIS.

“Ketua OSIS adalah pengkhianat.”

Yang pertama ‘menyerang’ adalah wakil ketua OSIS.

“Sebagai hukuman, tolong beritahu aku cara untuk mendapatkan


pacar!”

“Wakil ketua OSIS sebenarnya sedang marah atau minta bantuan


sih?”
“Dua-duanya! Tidak, yang tadi itu aku cuma bercanda. Tolong
biarkan aku dapat pacar juga~~!”

Sampai nyembah-nyembah.

“Tapi, sama sekali tidak pernah terpikir ternyata orang itu adalah
Himemiya.”

Yang salut dengan Souichirou hanya sekretaris. Dulunya adalah


pemain andalan diklub kasti, sekarang juga rambutnya dicukur
gundul.

“Aku langsung tanya saja, sudah sampai sejauh mana?”

Yang bertanya itu adalah pengurus.

“Benar, benar! Aku juga ingin tahu.”

Saat ini, bahkan bendahara yang biasanya pendiam juga ikut


bertanya.

“Aku tidak punya kewajiban untuk menceritakan semuanya pada


kalian!”

“Kalau itu tentu saja tidak ada~~”

Entah penyebabnya apa, wakil ketua OSIS depresi dengan


sangat parah.

“Ini tidak adil! Kami tidak pernah menyembunyikan


apapun dari ketua OSIS!”
“Ya, benar!”

“Benar tuh! benar!”

Wakil ketua OSIS, sekeretaris, dan pengurus yang merupakan


siswa kelas 2, mereka bertiga berteriak dan marah-marah.

“Sudah berpegangan tangan?”

“Berciuman?”

“Kalau pertarungan membara yang sulit terpisahkan?”

“No comment.”

Ekspresi Souichirou tetap tidak berubah, dan menjawab


dengan tegas.

“Itu terlalu keji ketua.”

“Wakil ketua, kau berkata seperti itu tapi apa kau tahu artinya?”

“Kalau arti kata secara umum, tentu tahulah.”

Souichirou tidak peduli dengan wakil ketua, merubah


pandangannya ke berkas-berkas yang berkaitan dengan festival
budaya. Setelah mengecek sebentar, dia memberikan berkas-
berkas itu pada sekretaris.

“Menurut hasil pengatamanku, sepertinya hubungan mereka


berdua sudah sampai dimana mereka saling memanggil
nama panggilan masing-masing.”
Sekretaris memberitahu informasi yang sama sekali
tidak ada katiannya dengan pekerjaan
OSIS pada para anggota OSIS. Karena sekretaris dan Souichirou
seangkatan, jadi lebih mudah mendapatksn informasi.

“Yang benar saja!?”

Wakil ketua mengeluarkan suara yang semangat.

“Sekretaris, jangan banyak ngomong.”

“Kalau cuma ngomongin itu doang sih tak masalah


kalik? Berhubungan akhir-akhir ini pekerjaan tentang festival
budaya sangat banyak, mereka jadi sangat lelahditengah
kesibukan.”

“Jangan menganggapku sebagai alat untuk meringankan


beban. Itu malah akan membuatku semakin tertekan.”

“Kalau begitu minta saja pacarmu yang cantik itu meringankan


bebanmu.”

Juga dijawab dengan ekspresi yang serius.

“Benar juga! Sekalian beritahu saja sudah sejauh mana


hubungannya.”

Wakil ketua mendekati meja Souichirou, dan mendekatkan


wajahnya pada wajah Souichirou. Souichirou menekan kepala
wakil ketua dengan berkas yang berat.
“Uwa!”

Wakil ketua mengeluarkan suara seperti kodok yang dikepeng.

“Hari ini selesaikan ini dulu. Kalau tidak segera kerjakan, hari ini
tidak akan bisa pulang.”

“Terlalu egois!”

“Benar tuh! Benar!’

“Benar!”

Pengurus dan sekretaris mendekat dan menyelamatkan wakil


ketua.

“Kebetulan juga, ada pekerjaan yang harus meminta pengurus


dan sekretaris kerjakan.”

Souichirou menahan mereka dengan begitu.

“Uwa! Tidak, sama sekali tidak egois! Benar ‘kan? Sekretaris?”

“Hn, hn. Ketua itu orang yang berkepribadian baik.”

Dengan gampangnya membuat mereka berdua langsung terdiam.

“Ah! Kalian licik banget! Jangan mendorong semuanya ke aku!”

Wakil ketua dengan panik protes pada 2 orang itu. Tapi sekretaris
dan pengurus menunjukkan ekspresi yang pura-pura tidak tahu.
Souichirou ketawa melihat mereka, berpikir dalam hati ternyata
hubungan mereka sangat baik.
“Sekretaris dan pengurus juga, bantulah wakil ketua untuk
menyelesaikan pekerjaannya.”

“Ba~~iklah~~~”

“Mau bagaimana lagi.”

“Kalian berdua~~”

Dan pada akhirnya wakil ketua mengeluh pada sekretaris dan


pengurus.

Souichirou kertawa lagi melihat mereka.

Disaat organisasi OSIS baru di dirikan, jujur saja rasanya terdiri


dari para anggota yang kurang bisa diandalkan, tapi sampai
sekarang ini, tidak ada keluhansedikitpun. Souichirou merasa
sangat senang bisa menjadi ketua bagi mereka.

Menjadi ketua OSIS, dengan menyelesaikan pekerjaan yang


bermanfaat, dan juga mendapatkan pacar cantik yang membuat
orang lain iri………… Dihari hari yang bahagia ini, semester 1
selesai.

Dengan segera liburan musim panas pun datang. Bagi


Souichirou, ini adalah liburan musim panas yang terakhir baginya.
Juga bagi siswa kelas 3 yang sebentar lagi akan menghadapi
ujian, ini merupakan liburan musim panas yang berharga.
Walaupun begitu, disaat semester 1 selesai, Souichirou sudah
dengan pasti akan masuk ke Universitas Seni Suimei.

“Aku berhasil diterima di jurusan ilmu komunikasi.”

Souichirou memberitahu Saori dihari pertama liburan musim


panas. Jika bisa, Souichirou berharap kelak nanti bisa
mendapatkan pekerjaan pembawa berita,oleh karena itu dia
memilih jurusan ilmu komunikasi.

“Kalau orang yang mendapatkan juara umum peringkat ke-2, tak


diterima itu akan menjadi sebuah masalah yang besar.”

Saori mengatakan itu dengan serius.

“Tapi ini juga susah diomongin. Kalau ambil jurusan yang


seperti Kamiigusa, mungkin tidak akan semudah itu diterima.”

Juara umum peringat ke-1 seharusnya bisa langsung diterima


melalui rekomendasi sekolah.

“Misaki mengambil jurusan animasi lho.”

“Hn, aku tahu. Meski merasa tidak akan ada masalah, tapi
saat memastikan sudah diterima, lega rasanya.”

“Aku sama sekali tidak khawatir terhadap urusan Souichirou.


Tapi……… tetap saja selamat atas sudah diterima.”

“Terima kasih. Selamat untuk Saori juga.”


“Hn?”

“Kau juga diterima di jurusan musik dengan lancar’kan?“

Sudah mahir dalam bermain piano ditambah belajar


bersama dengan Souichirou, bagi Saori yang sudah bisa dijuluki
‘ratu piano’, tentu saja dia tak mungkin tidak akan diterima. Atau
dengan kata lain, bagi murid jurusan seni seperti jurusan musik,
seni lukis, disaat masuk ke Suimei mereka sudah
berhasil mendapatkan sedikit tingkat keberhasilan. Kalau tidak
ada masalah, mereka pasti akan diterima dengan lancar.

“Ah…….. Soal itu, hn, hn.”

“Saori?”

Entah kenapa, rasanya dia menjawab dengan samar-samar.

“Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya saja saat terpikir sudah sampai
membicarakan tentang kelulusan dan masalah mengenai kuliah,
rasanya sulit dipercaya juga……..”

“Dibilang begitu olehmu, rasanya memang tidak bisa tenang.”

“Disaat seperti ini harusnya ngomongin topik yang


menyenangkan.”

“Kayak ‘liburan musim panas ingin jalan-jalan kemana?’ ?”

“Hn, boleh juga.”


2 orang yang tidak perlu khawatir masalah ulangan, sedang asyik
membahas rencana terhadap liburan musim panas. Tapi
sebenarnya mereka sama sekali tidak bisa saling bertemu. Walau
ada liburan yang panjang, Saori tetap saja disibukkan oleh latihan
pianonya, sampai tidak ada waktu untuk saling bertemu………

Walaupun begitu, dihari terakhir bulan Juli, mereka berdua tetap


berjanji untuk pergi ke festival kembang api yang dikatakan Saori.

Saori yang memakai yukata sungguh cantik, waktu yang


dihabiskan Souichirou melihat Saori mungkin lebih lama daripada
saat melihat kembang api.

“Ada apa?”

“Ti-tidak ada apa apa.”

“Terpesona ya??”

“I-iya.”

Souichirou mengubah sikapnya, dan memberitahu dengan jujur,


dan Saori tertawa lepas.

“Operasi berhasil.”

“Operasi?”

“ ‘Operasi membuat Souichirou terpesona dengan menggunakan


yukata.’ “
“Apaan itu…….”

“Yang memikirkan nama operasi itu bukan aku lho ya. Adikku
yang memikirkannya.”

“Ternyata kau punya adik ya, Saori ?”

“Hn……… Ngomong-ngomong, sepertinya aku belum pernah


memberitahumu tentang ini ya.”

“Kayaknya aku memang tak pernah mendengarmu bercerita.”

“Dia lebih kecil dari ku 3 tahun, anak yang agak nakal. Saat
kemarin sedang telepon dengannya, tak
sengaja membicarakan soal kencan hari ini……..”

Situasi seperti apakah yang bisa sampai membahas kencan


dengan adik sendiri? Bagi Souichirou yang tidak punya adik
maupun kakak, dia sama sekali tidak mengerti.

“Awalnya aku ingin memakai pakaian yang biasa saja, tapi


katanya tidak boleh yang lain selain yukata.”

“Begitu ya. Berarti aku mesti berterima kasih pada si adik ini.”

“Berterima kasih? Kenapa?”

“Berkat dia, aku baru bisa melihat Saori yang mengenakan


yukata.”
“Rasanya itu terdengar mirip dengan kata-
kata yang akan diucapkan oleh Mitaka ya.”

Setelah mendengar itu Souichirou menunjukkan ekspresi yang


kesal dari dalam hati. Tapi, saat melihat Saori yang
tertawa lepas disampingnya, Souichirou jadi tidak terlalu
memikirkannya lagi.
Saat bulan Agustus, mereka berdua juga pergi ke kolam renang.
Pertama kalinya melihat Saori memakai baju renang, sungguh
menyilaukan, penuh pesona,seakan membuat orang tak bisa
memalingkan pandang darinya. Dia memakai bikini warna
putih dengan memancarkan aura yang anggun. Adanya perasaan
seperti itu, alasannya mungkin karena Saori yang memakainya.

“Apa memang terlihat aneh ?”

Mungkin karena gelisah terhadap Souichirou


yang terus mengalihkan pandangannya, Saori menutupi setengah
bagian badannya dan bertanya dengan begitu.

“……... Mana ada. Bukan begitu, cuma


rasanya tidak baik kalau mandangin terus.”

“Be-begitu ya……. Aku juga akan malu kalau dilihatin terus.


Biasanya bermain piano di dalam ruangan dengan waktu
yang sangat panjang. Emm…….. Dan juga tak pernah datang ke
kolam renang bersama teman perempuan………. Ja-jadi ini
pertama kalinya aku memakai pakaian seperti ini.”

“Ouh, ouh.”

Setelah mendengar itu Souchirou langsung membalikan


badannya.
“Meskipun begitu, kau juga tidak boleh melihat cewek lain terus.
Daripada melihat cewek yang lain, mending lihat aku
saja……… Ah, tidak, tapi kalau dilihatin terus rasanya
juga sangat membingungkan, jadi itu emm………”

“Bukan, bukan karena itu aku membalikkan badanku! Aku tidak


tertarik pada orang lain selain Saori.”

“Ba-baguslah………. I-itu………. Souichirou.”

“Ada apa?”

“Ba-bagaimana menurutmu?”

Saori menyampingkan wajahnya, memindahkan tangannya ke


belakang, membiarkan Souichirou melihat dengan jelas sosok
sendiri saat sedang memakai bikini.

“Sangat cocok dengan Saori.”

“Be-begitu ya. Baguslah. Ini adalah pakaian renang yang aku pilih
bersama Misaki, penjaga kasirnya juga bilang ini terlihat imut, tapi
tetap saja aku merasa khawatir.”

Tatapan mata Saori terlihat seperti ingin Souichirou mengatakan


cocok sekali lagi.

“Benar-benar sangat cocok denganmu, sampai membuatku tidak


ingin dirimu yang seperti ini dilihat sama orang lain.”
Saat ini, perasaan gugup dari ekspresi Saori menghilang.

“Kalau begitu, mau tidak pulang sekarang?”

Dan terdengar seperti bercanda.

“Itu sungguh membuat orang susah untuk memutuskannya.”

Kalau pulang sekarang, bisa mencegah laki-laki yang lain tidak


melihat Saori yang sekarang, tapi kalau begitu, Souichirou juga
tidak dapat melihat lagi.

Saori yang bermain-main, menyemburkan air kolam ke wajah


Souichirou yang sedang serius memikir.

Sesaat Souichirou merasa bodoh karena memikirkan hal itu. Hari


ini dia bermain dengan Saori di kolam renang sampai puas.

Selain pergi ke festival kembang api juga pergi ke kolam renang,


hubungan antara Souichirou dan Saori tidak tampak berkembang
banyak. Kalau memang mesti dibilang, itu hanya disaat
Souichirou datang ke sekolah untuk mengikuti rapat OSIS,
dan Saori yang datang ke sekolah latihan piano baru bisa
melakukan percakapan sebatas saling menyapa, atau janjian
melalui sms untuk pulang bersama.

Tidak saling memaksa, menghargai setiap waktu saat bisa


bertemu, dengan sedikit demi sedikit memperpendek jarak antara
mereka berdua. Mungkin bagi Jin itu adalah kecepatan yang
sangat lambat, bahkan lebih lambat dari kura-kura berjalan.
Tapi terhadap hubungan yang sekarang,
Souichirou merasa sangat puasdan percaya bahwa Saori juga
merasakan hal yang sama.

Dia yakin hari-hari yang seperti ini kedepannya akan terus


berlanjut sampai kapanpun.

Sampai ketika mendengar hal itu dari Saori.


Bagian 4
Liburan musim panas selesai, semester 2 telah dimulai,
perubahan musim dengan cepat terasa. Cuaca 1 hari demi 1 hari
semakin segar, hari yang panas punsudah pergi menjauh.

Souichirou dengan kuat merasakan musim gugur, itu karena


sebuah event besar yang ada di Suimei------ Festival budaya
sudah semakin mendekat.

Sudah resmi masuk dalam tahap persiapan, sangat banyak


menguras tenaga, selain sepulang sekolah, siang juga
harus kumpul diruangan OSIS.

“Sudah tidak tahan lagi! Rasanya seperti ingin mati saja!”

Selalu saja wakil ketua yang ngeluh duluan, dipertengahan bulan


September saja sudah mengucapkan kata-kata seperti itu.
Walaupun begitu, dia tetap berusaha keras dalam melakukan
tugasnya, merupakan seorang pria yang kalau tidak
sambil mengeluh tidak akan bisa bekerja.

Dihari-hari yang begitu sibuk mengurus pekerjaan tentang festival


budaya, kalender bulan September dan Oktober dengan cepat
terlewati.

Lalu, hari ini yang besoknya akan dimulai festival budaya-----


Bulan November tanggal 2……. Terjadi sebuah hal yang
membuat Souichirou sangat terpukul.

Hari ini, Souichirou sangat sibuk mengurus pekerjaan festival


budaya. Acaranya akan segera diadakan, tapi banyak sekali
permintaan, dan para siswa yang protes akan waktu penggunaan
ruang olahraga.

“Yang benar saja, itu semua bukan masalah yang perlu


ditanggapi sekarang!”

Souichirou berjalan dikoridor sehari sebelum festival budaya.


Kardus dan lem semua terdapat dekat dinding, bau cat dan lain-
lain bercampur menjadi 1. Semua siswa hari ini
sibuk mempersiapkan festival budaya pada hari esok, terlihat
siswa-siswa yang berlarian dan mengurus pekerjaan masing-
masing.

“Tidak peduli yang manapun, itu adalah hal yang sudah


seharusnya diketahui sejak awal.”

Sambil marah-marah, Souichirou mengecek dan


memastikan berkas-berkas yang ada ditangan. Karena saking
sibuknya sampai kehilangan ketenangan.

Walaupun begitu, dia tetap berusaha untuk


menanggapi setiap permintaan, agar semuanya bisa
meninggalkan kenangan yang indah. Dia percaya bahwa ini dapat
meninggalkan sebuah kenangan yang indah, karena festival
budaya Suimei mampu melakukan itu. Hanya dalam waktu 1 hari,
membuat Souichirou yang tidak tertarik pada apapun
dan cuma bermaain saja saat di SMP memutuskan untuk ‘aku
ingin masuk ke sekolah ini’.

Bagi Souichirou, festival budaya kali ini juga merupakan sebuah


acara yang sangat istimewa dan penting, jadi ingin berusaha
untuk melakukan apa yang bisa dilakukan oleh diri
sendiri, agar tidak menyesalkan apapun
saat kelak nanti………. Tahun ini adalah yang terakhir. Bagi ketua
OSIS, ini merupakan pekerjaan yang terakhir.

Kebetulan berjalan di depan kelasnya sendiri. Disini hampir


semua kerjaan diserahkan pada staff pengurus festival budaya.
Dia melihat ke dalam kelas, siswa laki-laki yang merupakan
staffnya, melambaikan tangan pada Souichirou dan tersenyum.

“Disini sudah tidak ada masalah lagi.”

“Kuserahkan padamu.”

Souichirou menjawab dengan begitu, sambil mencari seseorang.


Orang itu kebetulan berjalan keluar lewat pintu belakang kelas.

“Hoi, Mitaka.”

Dia mengejar Jin yang sudah berjalan ke koridor.


“Yo, ketua OSIS, lama tidak bertemu.”

“Pagi ini bukannya baru bertemu saat rapat kelas?”

Jin yang memutar balik kepalanya menunjukkan ekspresi yang


sangat lelah. Mungkin beberapa hari ini belum tidur sama sekali.
Kalau saja itu semua untuk menyiapkan diri untuk ujian pasti
sangat bagus, tapi Souichirou tahu kalau Jin tidak akan
melakukan itu.

Markasnya siswa bermasalah yang ditinggali oleh Jin-------

Sakurasou, tahun ini ada 6 penghuni. 6 orang ini sedang


merencanakan sebuah karya besar untuk dipertunjukkan untuk
festival budaya nanti.

Awalnya Sakurasou mengajukkan permintaan secara formal pada


anggota OSIS, dan berdiskusi sama para anggota OSIS
yang enggan untuk ikut serta dalammendiskusikan hal itu. Siswa
yang bernama Sorata mewakili Sakurasou untuk berdiskusi, tapi
disaat ingin berbicara, diganggu oleh Jin yang
meminta Soratauntuk segera keluar dari ruangan OSIS, jadi
permintaan dari Sakurasou akhirnya tidak diterima.

Kemudian, jika dilihat dari Jin yang sedang kelelahan, bisa tahu
dengan jelas kalau mereka sedang menyiapkan sesuatu. Kalau
tahu akan jadi begini, bagaimanapun juga tidak boleh dibiarkan
begitu saja.
“Kalau begitu, ada apa? Aku ini sangat sibuk lho.”

“Kau terlihat hanya sedang mengambil tasmu dan ingin pulang,”

“Persiapan yang harus kulakukan disini sudah selesai semua,


bagaimanapun juga aku tidak boleh merebut pekerjaan orang
lain ‘kan? Ini adalah festival budaya yang
terakhir dalam kehidupan di masa SMA, akan lebih
baik jika masing-masing membuat kenangan yang mereka
inginkan bukan?”

“Apa yang sedang kau rencanakan?”

“Kok ngomongnya kayak gitu.”

“Apa memang harus aku tanyakan padamu? Apa yang sedang


Sakurasou rencanakan?”

2 tahun yang lalu Misaki sendiri membuat sebuah lukisan besar


dilapangan, membuat kekacauan yang besar, dan tahun lalu
Misaki sembarang mengambil tempat dan melawak dengan
menggunakan kostum boneka, sehingga mengganggu jalur para
pengunjung.

Tetapi lucunya, tidak peduli yang manapun semuanya


berhasil, itu lah yang membuat jadi lebih parah. Kalau
ingin melakukan sesuatu, harusnya mendapatkan izin terlebih
dahulu. Sungguh hebat mereka dapat membuat para pengujung
merasa senang dan bahagia dengan tindakan mereka yang
konyol itu.

“Sedang menciptakan sebuah kenangan yang indah.”

“Jangan bercanda.”

“Sekarang aku sangat serius lho. Karena ini merupakan salah


satu impian Misaki.”

“………..”

Jin dengan kemauannya sendiri mengucapkan nama Misaki, itu


membuat Souichirou sedikit terkejut.

“Jadi meskipun itu ketua OSIS, aku tidak akan membiarkanmu


mengganggunya, maaf ya.”

Tentu saja dengan apa yang dikatakan ia sendiri, Jin sama


sekali tidak merasa malu atau apapun.

“Aku cuma ingin meminta kalian untuk menaati peraturan, siapa


yang menyuruhmu menyatakan perang?”

“Kalau ingin tahu, tanya saja sama Hauhau, dia tahu semuanya
lho.”

Sungguh sebuah jawaban yang membuat kesal.

“………”
Akhir bulan September, Souichirou sadar Saori membantu bagian
musik pada karya yang sedang Sakurasou rencanakan.
Walaupun sekarang Saori mempelajari musik lewat piano, tapi
tujuan masa depannya adalah menjadi pencinta lagu, bukan
menjadi seorang pianis.

Dan juga sekarang dia sudah mulai mengejar tujuannya itu,


dengan membuat musik yang ada pada anime yang Misaki
ciptakan dulu.

Di festival budaya kali ini juga sering terlihat dia yang sedang
memegang partitur lagu, dan berdiskusi dengan Misaki. Dan
disaat sedang belajar bersamanya, juga sering melihat dia
menganggap meja sebagai piano dan mulai bermain.

“Saori?”

Setiap Souichirou menyadari itu, dia akan bertanya pada Saori


dengan nada kebingungan.

“Ini……….. Itu……… Tidak ada apa-apa.”

Dan dia menjawab seolah tidak terjadi apa-apa.

Karena itulah, Souichirou tidak pernah mendengar hal tentang


Saori sedang membantu Sakurasou. Mungkin dia khawatir
hubungan Sakurasou dan OSIS akanmenjadi buruk karena
masalah festival budaya, jadi ingin menghindari topik ini.
Walau Souichirou ingin mendengar itu dari mulut
Saori………. Jujur saja, rasanya Saori direbut oleh Sakurasou,
jadi merasa tidak begitu menyenangkan.

Walaupun begitu, rasanya akan mengganggu orang apabila


bertanya terus, jadi setelah melewati bulan Oktober, Souichirou
tidak membicarakan hal itu lagi.

Mungkin karena menyadari Souichirou mengeluarkan aura seperti


itu, kali ini Saori sepertinya ingin membicarakan sesuatu.

“Itu, Souichirou.”

“Ada apa?”

“……… Tidak ada, maaf.”

Disaat sedang memulai percakapan seperti ini, rasanya entah


sudah mengulang berapa kali. Jadi selama sebulan ini, antara
mereka berdua mengalir sebuah suasana yang aneh. Ini juga
merupakan salah satu alasan yang membuat Souichirou semakin
stress selain pekerjaan festival budaya.

Karena alasan itu jadi lebih sering mencari gara-gara dengan Jin.
Dengan kata lain, melampiaskan amarahnya pada orang lain.

“Tidak perlu bertanya pada Saori, mengobrol sebentar dengan


Mitaka akan lebih cepat menyelesaikan masalahnya.”
“Berarti kalau jadi stress itu semua salahku? Kejam sekali? Dan
kalau sedang tidak senang atau yang lain gitu, harusnya bukan
mencariku, tapi mencari Hauhaubukan?”

Walaupun berada di dalam situasi seperti ini, Jin tetap ngomong


dengan nada yang biasa.

“Aku tidak……..”

Karena begitulah membuat orang lain tidak ingin mengakui ini.


Jadi tadi memanggil Jin bukan karena ingin mencegah
Sakurasou atau takut kehilangan kendali sebagai seorang ‘ketua
OSIS’, alasanya karena akhir-akhir ini rasanya tidak
menyenangkan saat bersama dengan Saori. Bagi Souichirou,
Saori sudah menjadi seseorang yang sangat penting baginya.

“Ya sudah, bagaimanapun juga aku tetap menyarankanmu untuk


membicarakan masalah itu secara baik-baik dengan Hauhau.”

“…….. Apa maksudmu?”

Kata ‘bagaimanapun’ ini, membuat orang merasa tidak ‘alami’


disituasi seperti ini.

“Setelah festival budaya selesai, dalam waktu sekejap kita juga


akan segera lulus.”

“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?”


“Sudah kubilang, kusarakan kau mendiskusikan itu dengan
Hauhau dulu.”

“………”

Walaupun Jin itu orangnya merupakan seorang pria yang akan


membuat orang lain kerepotan, tapi hari ini entah apa yang terjadi
padanya. Apa Souichirou salah melihat sesuatu?

“Kalau begitu, sampai jumpa?”

Jin meninggalkan Souichirou yang masih berpikir, dan turun


melewati tangga.

“Apa maksudnya yang tadi……..”

Walau ingin coba mencari tahu, tapi rasanya tetap saja tidak
mengerti.

“………..”

Saat sudah mulai menyadari, hal-hal tentang Saori berlalu-lalu


diotak Souichirou. Dan yang membuat aneh, dari dulu tidak
pernah merasa Saori terasa begitu jauh, dengan jelas merasa
tidak nyaman sekali.

Setelah sadar , Souichirou sudah melewati kodidor yang


menghubungkan kedua gedung dan sampai di kelas yang
digunakan latihan piano oleh jurusan musik.
Terdapat beberapa ruangan kecil yang berdampingan, itu
adalah tempat yang jarang dijumpai.

Souichirou mengitip lewat jendela yang sedikit terbuka,


memastikan apa Saori ada di dalam atau tidak.

Saat ini, dari belakang Souichirou terdengar suara.

“Souichirou?”

“Saori.”

“Ada apa, kenapa kau bisa sampai datang ke sini?”

Disini memang sebuah tempat yang jarang


akan dikunjungi oleh siswa divisi reguler.

“……. Ada sebuah hal yang ingin ku tanyakan pada Saori.”

“A-apa?”

Walau tidak begitu ingin bertanya, tapi rasanya Saori sedang


bersiap-siap akan sesuatu.

“Itu………. Apa tidak ada sesuatu yang ingin kau katakan


padaku?”

Souichirou bertanya begitu, ia sendiri juga merasa aneh dengan


pertanyaannya.

“Maksudnya?”

Ekspresi Saori menjadi serius.


“………”

“………”

“Kau ada menyembunyikan sesuatu dariku ‘kan?”

Setidaknya Souichirou tidak pernah mendengar kalau Saori


sedang membantu Sakuraosu. Kalau saja bisa mendengar ini,
Souichirou akan bisa puas.

Tapi tak diduga balasannya itu sangat mengejutkan Souichirou.

“Kau sudah tahu ya? Tentang aku akan kuliah di Australia?”

“……..”

Sesaat Souichirou masih belum bisa paham apa yang Saori


katakan tadi.

“Huh?”

Dan setelah beberapa saat baru mengeluarkan suara


seperti terkejut.

Kuliah di Australia.

Apa tadi Saori bilang begitu?

Australia.

Apa itu maksudnya setelah lulus akan langsung pergi?

Kenyataan yang berat ini perlahan membutakan Souichirou.


“…….. Bukan itu kah?”

Setelah melihat reaksi Souichirou, kali ini malah Saori yang


terkejut.

“Aku tadinya ingin bertanya soal apa kau ada


ikut membantu rencana Sakurasou.”

“……..”

Wajah Saori terlihat pucat. Tetapi, Souichirou merasa sekarang


wajah ia sendiri mungkin bahkan lebih pucat darinya.

Sampai sekarang, dia baru sadar akan sikap Jin yang tadi.

“Ternyata begitu……..”

Jin sudah tahu.

“Maaf! Sebenarnya aku selalu ingin mengatakan ini padamu!”

Seperti ingin menimpa penjelasan dari Saori, HP Souichirou


berbunyi.

Tanpa mengatakan apapun dia mengangkatnya.

“Ketua OSIS! Sekarang kau ada dimana?!”

Baru saja mengakat telepon, sudah terdengar suara yang


penuh protes dari wakil ketua OSIS.

“Katanya akan balik setelah 30 menit, tapi ini sudah 35 menit lho!
Kerjaan menumpuk seperti gunung, tolong cepat balik!”
Saori membawa ekspresi yang sedih, mendengar Souichirou
yang sedang telepon dengan tidak mengatakan apapun. Suara
teleponnya sangat besar, bahkan Saori pun dapat dengar apa
yang dibicarakan Souichirou. Tatapan matanya seperti tidak ingin
Souichirou pergi, dan ingin dia mendengarnya menjelaskan.

Tapi dia tidak bisa menjawab permintaannya itu.

“Maaf, wakil ketua. Aku akan segera balik.”

Setelah mengatakan itu dia menyimpan teleponnya, dengan tidak


mengatakan apapun melewati Saori.

“Tunggu sebentar, Souichirou!”

Walaupun mendengar suara panggilan yang menyakitkan,


Souichirou tetap tidak berbalik.
Bagian 5
Disaat festival budaya selesai dengan lancar, Souichirou juga
menyelesaikan tugasnya sebagai ketua OSIS, memberi tugas
ketua OSIS ini pada ketua OSIS yang baru. Di anggota OSIS
yang baru, ada 3 muka yang tidak asing. Wakil ketua OSIS
menjadi ketua OSIS, sekretaris tetap, dan pengurus menjadi
bendahara.

Dengan begitu Souichirou pensiun sebagai ketua OSIS dengan


tenang.

Setelah itu, yang menanti Souichirou adalah ulangan umum, dan


Souichirou juga dengan lancar menyelesaikannya.

Souichirou melihat hasil ulangan yang dikembalikan dan berpikir


hal yang tidak berkaitan dengan ulangannya.

----- Setelah menyukai seseorang, akan menjadi benci pada diri


sendiri.

Semester ini juga diselesaikan dengan lancar, ini juga merupakan


ulangan yang terakhir. Lembaran kertas ulangan matematika
tertulis 100 dengan besar.

Tapi, dalam hati Souichirou ia sama sekali tidak senang.

Sekarang hasil ulangan sama sekali tidak penting.


Sudah hampir sebulan setelah tahu Saori akan berkuliah di luar
negeri.

Tanpa sadar Souichirou mulai melipat kertas ulangannya.

Sejak hari itu, hampir tidak pernah berbicara dengan Saori. Saat
pagi bertemu menyapa sekali saja, dan kalau berpapasan saat
jam pulang, kadang akan pulangbersama-sama. Tapi, sama
sekali tidak membahas soal kuliah di luar negeri. Tidak, mungkin
karena Souichirou tidak ingin membahas itu. Walau Saori
beberapa kali ingin memberitahunya, tapi Souichirou selalu
memotong bahkan memindahkan topik pembicaraan, tidak
berani menghadapi kenyataan.

Saat sedang sendirian, akan menyesal setengah mati terhadap


diri sendiri yang bodoh : memutuskan besok akan mendengar
secara baik-baik penjelasan darinya. Hanya saja ketika bertatap
muka, keputusan tersebut selalu goyah.

Dalam hatinya sangat jelas, sangat tahu.

Bagi Saori, musik adalah sebuah hal yang sangat istimewa.


Karena berlatih dengan keras sejak kecil, baru akan ada Saori
yang hari ini.

Sebelumnya saat dalam perjalanan pulang, pernah ada


percakapan seperti ini.
“Saori sangat suka piano?”

“Bisa dibilang………. Suka?”

Awalnya kira dia akan menjawab dengan tanpa ragu, tapi dia
seperti bertanya pada dirinya sendiri, dan melihat ke atas langit.

“Bukankah? Karena setiap hari melihatmu latihan terus, kirain kau


pasti sangat menyukai piano.”

“……. Aku pikir sepertinya memang suka.”

“Meski kau bilang begitu, itu tadi terdengar sangat tidak percaya
diri lho.”

“Rasanya sedikit ragu.”

“Ragu?”

“Karena aku sama sekali tidak ingat bagaimana aku bisa


‘bertemu’ dengan piano.”

“……..”

Sepertinya tanpa sengaja mendengar sesuatu yang sangat


membuat orang kejut.

“Menurut yang orang tuaku bilang, sepertinya aku mengenal


piano saat berumur 3 atau 4 tahun. Tapi kenangan yang kumiliki
tentang piano hanya pada saat aku sudah bisa bermain sebuah
lagu, jadi aku tidak berpikir aku sendirilah yang memilih musik.”
“Itu yang membuatmu ragu?”

“Mungkin lebih tepatnya kalau dibilang gelisah.”

Saori mengatakan itu dan tersenyum pahit dengan paksa.

“Itu pasti Saori yang pilih, pasti Saori sendiri yang pilih.”

“Begitu ya?”

“Selama ini kau selalu memilih untuk tetap melanjutkannya. Jadi,


kau pasti suka piano………. Suka musik.”

“Karena Souichirou sudah bilang seperti itu,


mungkin memang begitu.”

Kali ini Saori tersenyum dengan alami dan terlihat senang.

Walau saat itu tidak sempat bilang, tapi Souichirou merasa


karena Saori memilih untuk terus bermainlah, Souichirou jadi
menyukainya. Sekarang juga masih merasa begitu, jadi ingin
mendukungnya. Mempertimbangkan masa depan Saori yang
memutuskan untuk menjadi pencipta lagu, pergi kuliah ke negeri
musik Australia, pasti akan mendukungnya. Pergi kuliah pasti
lebih baik, pasti begitu.

Tapi saat memikir kalau Saori akan berkuliah di luar negeri,


jantung serasa digenggam erat dan sakit sekali. Tidak
bias bertemu setiap hari lagi, bisa saja mau saling bicara
pun susah, bahkan hubungan tidak tahu apakah akan terus
berlanjut atau tidak. Setiap terpikirkan itu, Souichirou merasa
tidak lama lagi hatinya akan menjadi gelap.

Tidak peduli yang manapun semuanya merupakan perasaan


yang jujur, jadi tubuh merasa sangat tersiksa.

“Hei, Tatebayashi.”

“……….”

“Hei~~ jawab bapak.”

“……….”

“Tidak boleh mengabaikan kehadiran gurumu!”

“……..”

“Bapak mohon, jawab bapak! Apa hawa kehadiranku tipis sekali?”

“Ah, Takatsu-sensei.”

Setelah Souchirou mengakat kepalanya, wali kelasnya sudah


berdiri disampingnya, dengan khawatir melihat Souichirou.

“Masih ‘ah, Takatsu-sensei’, apa kau baik-baik saja?”

“Iya, aku tidak apa-apa.”

“Karena percakapan tadi, hati bapak sangat terpukul, jadi


masalah sekali.”

“Maaf sekali.”
“Tidak, tidak, urusanku tidak penting, tapi sebaliknya kamu,
bagaimanapun tidak terlihat baik-baik saja. Apa yang ingin kamu
lakukan?”

Takatsu menunjuk kertas ulangan yang dipegang Souichirou.


Kalau dilihat dengan teliti, dia sudah melipat kertas ulangannya
menjadi sebuah angsa.

“Maaf……..”

“Sudah, bagaimanapun juga nilaimu itu sempurna jadi tidak perlu


diberikan jawaban yang benar, tapi dengarlah perkataan gurumu
ini.”

“Oh.”

Souichirou menjawab dengan sembarang, terdengar sama sekali


tidak sopan.

“Ada apa? Apa sedang ada masalah?”

“Tidak, aku tidak ada apa-apa.”

Mungkin karena pelajaran sedang diputuskan, di dalam kelas


mulai menjadi ribut, teman-teman dan orang yang berada
disampingnya mulai bertengkar.

“Jangan begitu. Coba bahas saja masalahmu dengan bapak.”

“Aku serius tidak ada apa-apa.”


“Setidaknya biarkan bapak melakukan peran sebagai seorang
guru. Karena kamu terlalu elit, membuat bapak tidak begitu
semangat, tidak menarik sekali.”

“Tapi, aku serius tidak ada apapun yang perlu dibicarakan


dengan bapak.”

“Apa-apaan, bertengkar dengan pacarmukah?”

“Iya pak.”

“Yang benar saja?!”

“Kenapa bapak sangat terkejut?”

Walau sebenarnya sudah tahu apa alasannya.

“Tidak terpikir kamu ini terlihat sangat serius, hal yang perlu
dilakukan juga sudah dilakukan, kalau begitu bapak sudah lega.”

Takatsu memegang bahu Souichirou.

“Walau saya tidak tahu apa yang bapak bayangkan sekarang,


tapi hubungan yang kami jalinkan adalah hubungan yang sehat,
tolong jangan menganggap saya seperti Mitaka.”

Jin yang dibicarakan dari percakapan tadi, hari ini tidak datang ke
sekolah. Sepertinya dia bermalam dikamar salah satu dari enam
pacarnya dan terlambat dengan membawa rasa puas.

“Hn,ngomong-ngomong, tumben tidak melihat Mitaka?”


“Dia belum sampai, paling dia menginap diluar dan terlambat.”

“Orang itu benar-benar sudah tidak bisa ditolong. Membuat orang


iri saja.”

“Takatsu-sensei, mau pikir seperti apa itu hak masing-masing


orang, tapi bapak sebagai guru, harap jangan pernah
mengucapkan kalimat yang tadi lagi.”

“Ouh……… Maaf, maaf. Kalau begitu, apa masalahmu dengan


pacarmu itu?”

“Eh, hal itu tidak penting………”

Awalnya berkat Jin bisa pindah topik, tapi sepertinya Takatsu


tidak ingin menyerah dan terus bertanya.

Mungkin akan lebih baik disini meminta padanya. Jujur saja,


sendirian memikirkan masalah yang tidak terselesaikan itu sangat
lelah.

“Sebenarnya orang yang berpacaran dengan saya, setelah lulus


dia akan pergi berkuliah diluar negeri.”

“Ouh.”

“Sebulan yang lalu mendengar itu darinya……. Jujur saja, tidak


tahu apakah ini dibilang terpukul atau terkejut, walau saya tidak
bermaksud begitu, tapi akan dengan sendirinya menolak dia
berkuliah di luar negeri……… Sampai sekarang juga masih
begitu.”

“Jadi, suasana antara kalian menjadi aneh.”

“Iya.”

“Kalau begitu, hal yang perlu kamu lakukan itu sangat


sederhana.”

“Huh?”

Karena Takatsu mengatakannya dengan santai, itu membuat


Souichirou terkejut.

“Yang pertama, Tatebayashi perlu mengakui dirimu bahwa kamu


itu sangat merepotkan, sangat lemah, dan sangat serius.”

“…………”

“Tidak ingin menolak? Jangan bohong lagi. Kalau benar begitu,


itu berarti kamu tidak menyukainya, juga tidak menghargainya,
dan menganggap tidak sebagai sebuah ‘kosong’.”

“Itu……..”

“Akui saja dulu. Setelah itu katakanlah isi hatimu dengan jujur.
Jangan kira dengan berpura-pura sok keren, dia akan mengerti
maksudmu, dan juga jangan berpikir bisa mendengar isi hatinya.
Kalau kamu ragu-ragu terus, nanti akan terlambat lho.”
“………”

Souichirou tidak mengharapakan apapun, tapi tidak disangka


Takatsu memberinya saran yang bagus. Dengar-dengar dulu
istrinya meninggalkan ia dan pulang ke kampung, mungkin dari
pengalaman inilah Takatsu bisa mengatakan semua yang tadi.

“Maksud bapak tadi dipikirkan baik-baik ya.”

“Saya tahu. Jarang-jarang bapak mengatakan hal yang bagus.”

“Kalau begitu sayang sekali.”

Walau Takatsu bilang begitu, tapi dia tertawa dengan puas.

“Walau bapak bisa mengerti perasaanmu yang ingin berpura


pura sok keren, tapi kalau terus menerus membohongi
perasaanmu sendiri, isi hatimu tidak akan terdengar oleh
siapapun, terutama kamu itu tipe orang yang akan bertahan
sangat lama. Membiarkan orang lain melihat sisi lemahmu
bukanlah hal yang memalukan, itu juga bisa berarti kamu
mempercayai kekuatannya. Jadi, manjalah kadang-kadang.
Menyelesaikan apaun dengan kekuatanmu sendiri itu merupakan
salah satu kelebihanmu, dan disisi lainnya, itu juga merupakan
kelemahanmu. Orang yang semakin perhitungan melihatmu akan
menjadi lebih stresslagi. Karena kamu tidak mengandalkan orang
lain, jadi orang lain juga akan merasa tidak bisa
mengandalkanmu, walau kamu tidak bermaksud begitu. Dalam
hidup banyak atau sedikit pasti akan dipengaruhi dengan begitu,
jangan lupakan ini.”

“Dimengerti.”

Disaat Souichirou menjawab, terasa terdengar suara biola dari


luar. Karena sudah sering mendengar berkali-kali jadinya sudah
hafal. Walau tidak terlalu yakin , tapi ini permainannya Saori.

Lalu, perasaan muncul dengan cepat.

“Takatsu-sensei, terima kasih. Berkat bapak, saya sudah sadar.”

“Ouh……… Begitu ya.”

“Saya ingin meminta sesuatu pak.”

“Ouh……… Apa itu, coba katakan saja.”

“Saya ingin pulang duluan. Anggap saja saya sedang tidak enak
badan.”

“Huh? Heh? Hoi! Tatebayashi-kun! Jangan seperti itu juga kali!”

Meninggalkan Takatsu yang terkejut dengan kelakuan Souichirou


sekarang, Souichirou berlari ke depan.

Berlari menuju tangga, dan ke atas loteng.

Dengan kuat membuka pintu yang tebal itu, dan pergi keluar.

Di sini.
Saori. Entah kenapa juga ada di sini.

“Souichirou, kenapa kau bisa sampai datang ke sini.”

Melihat Souichirou yang tiba-tiba muncul, Saori mengeluarkan


suara yang terkejut.

“Karena mendengar suara biola, jadi berpikir mungkin kau ada di


sini.”

Souichirou sambil menjawab sambil mengatur napasnya yang


berantakan itu.

“Sekarang jam pelajaran lho.”

“Aku bilang tidak enak badan dan langsung keluar.”

Souichirou dengan sedikit malu dan menundukkan kepala.


Wajahnya terlihat agak gelisah, dan menghadap ke Saori.

“Haiya, apa ini merupakan sebuah tindakan yang akan dilakukan


oleh ketua OSIS?”

Souichirou dengan tajam melihat ke Jin yang sedang


menyindirnya.

“Berisik, Mitaka. Dan juga, sekarang aku itu matan ketua OSIS.”

Jin ketawa terbahak-bahak setelah mendengar kalimat tadi, entah


apa yang membuatnya tertawa sampai seperti itu.

“A-apa yang kau tertawakan!”


“Kalian sungguh sebuah pasangan yang serasi.”

“Apa?! Aku bilang dulu, hubungan antara kami adalah hubungan


yang sehat!”

“Aku tahu kok. Sampai-sampai saling berpegangan tangan aja


belum pernah.”

Hanya karena kalimat yang diucapkan Jin tadi, membuat muka


Souichirou langsung memerah.

“Ke-kenapa kau tahu?!”

“Souichirou, maaf. Itu, tadi saat sedang mengobrol…………. Aku


keceplosan.”

Jin melihat Saori yang meminta maaf dan mengaku, berdiri dari
kursi panjangnya, mungkin dia ingin kembali ke kelas, dia
berjalan ke Souichirou yang di dekat pintu.

Souichirou dengan sangat marah dan melirik ke Jin. Sebenarnya


apa yang sampai membuatnya bolos pelajaran dan ngobrol
dengan Saori………..

“Mitaka, kalau sudah ke sekolah harusnya belajar.”

“Kalimat ini, aku kembalikan pada kau.”


Memang benar begitu. Souichirou tersenyum pahit. Jin yang
melewati Souichirou, membuka pintu kemudian menghentikan
langklahnya, berbalik ke Souichirou.

“Ah, iya.”

“Apa?”

Souichirou melirik Jin dengan tatapan yang amat menakutkan,


tapi Jin dengan mudah menghindarinya.

“Hauhau bilang dia sedang ‘tertarik’ lho.”

Dan mengatakan hal yang aneh.

“Dasar bodoh!”

Saori berteriak begitu dan mukanya memerah.

Sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi.

“Maksudnya?”

“Bukan begitu. Aku cuma bilang sedikit tertarik……….. Ah, kata


itu yang pada akhirnya ada
arti tertarik……… Eh~~……….maksudku, itu…….”

Saori yang panik, dan juga Souichirou yang tidak paham sama
sekali dengan kondisi sekarang ini.

“Kalau begitu, silahkan menikmati.”

Jin melihat keduanya, dan meninggalkan mereka.


“Ah, tunggu! Mitaka! Mana bisa kau tinggalkan orang dalam
situasi seperti ini!”

Yang disayangkan, teriakan Saori tidak bisa membuat Jin


berhenti.

“Saori.”

“Bu-bukan. Yang tadi itu……….”

“Yang Mitaka boleh tahu. Tapi aku tidak boleh?”

“Kalau kau bilang begitu……. I-itu…….. Karena kita belum pernah


saling berpegangan tangan………..”

“Huh?”

“Hal seperti itu bisa dibilang belum pernah dilakukan sama sekali,
mungkin di kedepannya juga………. Ahhhh! Apa yang kau ingin
aku katakan sekarang!”

Muka Saori memerah sampai seperti akan mengeluarkan uap


saja, 2 tangan melambai kemana-mana. Melihatnya dari samping
saja terasa kasihan, tapi ada kesan lucu juga. Mungkin hanya
Souichirou yang tahu sisi Saori yang begini. Walau biasanya
sikapnya terlihat dewasa dan anggun………..

Souichirou merasa menarik sekali, dan tertawa.


“Kenapa Souichirou menertawakan orang yang sedang
kesusahan! Seperti Mitaka saja! Membuat orang benci rasanya!”

Saori menghilangkan mukanya yang memerah itu.

“Aku tidak ingin dibilang seperti Mitaka. Aku akan memperbaiki


diriku.”

“Baguslah kalau begitu.”

Souichirou berjalan mendekat ke pagar loteng, dari loteng bisa


melihat banyak pemandangan yang
indah. Kemudian, tanpa melihat ke arah Saori, dan berkata :

“Saori.”

“Hn?”

“Aku berharap kau bisa memberitahuku lebih awal mengenai


akan berkuliah di luar negeri.”

“…………”

Yang terdengar hanya suara nafas Saori.

“Tidak peduli kapanpun aku mendengar itu, sikapku tetap tidak


akan berubah………”

“…………..Hn.”
“Jujur saja, aku selalu mengira aku bisa terus bersamamu hingga
masa depan nanti. Meski jurusan kuliah berbeda, tetap saja ada
dikampus yang sama……. Jadi aku selalu merasa lega.”

“Hn.”

“Jadi, setelah mendengarmu akan berkuliah diluar negeri, aku


sangat terkejut. Kemudian merasa tidak setuju, tidak ingin
berpisah denganmu.”

“Souichirou.”

Dia dengan erat menggenggam pagar loteng.

“Sekarang juga masih tidak ingin kau pergi.”

“…………..”

“Tapi semakin merasa kau harus pergi.”

“…………..”

“Jadi………. Jadi ya………. Pergilah, Saori.”

Saori yang dibelakang punggung menahan nafasnya, tidak jelas


ekspresi apa yang sedang dia tunjukkan.

Kata-kata yang ingin dikatakan sudah diberitahu semua, diri


sendiri yang mengatakan itu semua. Souichirou hanya menunggu
tanpa mengatakan apapun, untuk menerima pikiran Saori, juga
akhir yang dia putuskan.
Setelah beberapa saat, dibelakang punggung merasakan suatu
suhu panas menempel kemari.

“Aku selalu merasa takut.”

Sudah bisa tahu dari suara yang terdengar, Saori memeluk


Souichirou dari belakang.

“Karena aku merasa kalau kubilang akan berkuliah ke luar negeri,


Souichirou akan meninggalkanku.”

“Menurut penilaianku, ini sangat sepadan.”

Dalam sebulan ini, dalam otak selalu memikirkan tentang Saori


akan kuliah diluar negeri. Walau sudah tahu sejak dulu, tapi
sendiri tetap saja merupakan manusia yang tidak berdaya,
Souichirou benar-benar merasakan itu.

“Bukan, bukan begitu. Karena waktu yang kita habiskan sangat


bahagia, aku takut akan kehilangan itu.”

“………..Saori.”

“Awalnya, aku ingin langsung memberitahumu, karena kuliah di


luar negeri merupakan hal yang sudah diputuskan sebelum kita
pacaran……… Tapi, karena saking senangnya dinyatakan cinta
olehmu, dan juga kencan pertama kali yang sangat
menyenangkan, setiap hari merasa bahagia……….. Disaat aku
tidak ingin menghadapi kenyataan, ini menjadi semakin sulit
untuk dikatakan………. Aku sungguh minta maaf.”

“Aku sama sekali tidak menyalahkanmu. Sebaliknya……..aku


merasa sangat bersalah. Aku merupakan seorang pria yang
bahkan tidak menyadari hal sekecil ini.”

Kalau Jin, dia pasti akan sadar. Kalau merupakan pria yang ada
disini tadi…….. Ini membuat orang iri sekaligus membuat orang
benci.

“Souichirou.”

“Ada apa?”

Setelah berpikir, Saori melepaskan tangannya. Souichirou


merasakan Saori yang pergi, dia juga berbalik menghadap ke
Souichirou. Tatapan mata mereka saling bertemu, dengan jujur
menatap satu sama lain.

Dari mata Saori terlihat sebuah tekad yang sudah tetap, jadi
tidak perlu ditanya juga tahu apa yang akan dikatakan Saori
selanjutnya.

“Aku mau kuliah diluar negeri.”

“Hn, memang seharusnya begitu.”

“Hn……… Terima kasih.”


Selanjutnya, Souichirou dan Saori menikmati pemandangan
diatas loteng sebentar. Bisa melihat pemandangan dari atas
loteng ke bawah seperti ini, kapan lagibisa kayak begini?
Kehidupan SMA hanya tersisa beberapa bulan, ini juga
menyadarkan berapa lama lagi waktu Souichirou bisa bersama
dengan Saori.

“Ngomong-ngomong, Souichirou.”

“Apa?”

“Apa tidak apa-apa tidak kembali belajar?”

“Kalau Saori?”

“Pelajaran seni musikku sekarang disuruh belajar sendiri.”

“Itu juga belajar ’kan?”

“Bisa dibilang begitu.”

“Walaupun begitu, sekarang kembali ke kelas juga rasanya


aneh.”

“Kalau begitu, mau tidak lakukan hal yang sedikit jahat?”

“Misalnya?”

Saori seperti sedang menghitung, dan tertawa.

“Kencan?”

“………….”
“I-itu……….. Tentu bisa menjadi sebuah kenangan yang indah.”

“Kalau begitu memang sebuah ide yang bagus.”

“Baguslah. Kupikir semua akan berakhir saat kau marah setelah


mendengar ini.”

“Aku tidak begitu keras kepala, dalam 3 tahun ini aku juga
sudah sedikit berubah.”

“Sepertinya terpengaruh sama Mitaka.”

“Mungkin.”

“Walau ini merupakan pertanda baik, tapi jangan seperti Mitaka


mengencani banyak wanita ya.”

“Aku tidak pandai, 1 Saori saja aku sudah puas.”

Mereka berdua mengobrol sambil turun melewati tangga.

Disaat melewati pintu, Saori yang ada disamping Souichirou


menggenggam tangan Souichirou.

“!”

Dari tangan kanan merasakan suhunya Saori, Souichirou tidak


bisa menahan rasa terkejutnya.

“Tangan Saori besar ya.”

“Kalau biasanya, seharusnya aku yang mengatakan kalimat itu.”


“Ma-maaf.”

“Tak apalah, tidak masalah. Karena ada tangan inilah, aku bisa
terus mempelajari musik sampai sekarang, lalu bertemu dengan
Souichirou di sini.”

“Benar juga.”

Souichirou menjawab dengan begitu dan


menggenggam tanganya.

Hari ini, sepulang dari kencan, Souichirou dan Saori saling


mengirim hampir ratusan pesan, dan pada akhirnya
menyimpulkan ini.

----- Apa malam natal nanti kau ada waktu


luang? Meski cuma sebentar juga tidak apa-apa, aku ingin
menikmatinya bersamamu.

----- Demi Souichirou, aku akan meluangkan waktu.


Bagian 6
Bulan desember tanggal 24, malam natal.

Upacara wisuda selesai, rapat kelas semester yang terakhir juga


selesai, entah kenapa kelas 3-1 dipenuhi dengan suasana sedih
dan muram.

Mulai besok kita akan memulai liburan musim dingin kita,


kehidupan SMA kita tinggal sebentar lagi. Dan juga dalam waktu
yang singkat ini, kita akan dipenuhi oleh persiapan untuk
mengikuti tes. Bagi Souichirou yang sudah pasti akan diterima
oleh Universitas Seni Suimei, walau tidak ada tekanan tes, tapi
terhadap musim yang begini, dia merasa sedikit sedih.

Mungin karena begitulah, Souichirou mulai mencari Jin dikelas


yang dipenuhi oleh murid yang tidak ingin pulang, menyadari dia
tidak ada di dalam kelas : berpikir mungkin dia sedang
menyiapkan dirinya untuk tes, dan Souichirou berjalan ke
perpustakaan.

Kemudian, seakan sudah tidak tahan dan mulai mencampuri


urusannnya.

----- Apa kau tidak berencana untuk pergi ke Universitas Seni


Suimei?
Bagi Jin, itu mungkin adalah topik yang paling tidak
ingin dia dengar. Kalau berbicara soal impian, pasti akan
berkaitan dengan Misaki.

Kalau Souichirou yang dulu, akan berpikir itu adalah masalah


antara Jin dengan Misaki, dan tidak akan mencampuri urusan
mereka, bahkan tidak peduli pada mereka.

Mulai sejak kapan ya? Sejak kapan aku memedulikan mereka


seperti ini……….

Mencoba untuk berpikri kembali, tapi bagaimanapun tidak dapat


mengingatnya.

Lalu meninggalkan Jin, Souichirou pergi dari


perpustakaan, rasanya punya kesempatan seperti apapun
tidak ada gunanya lagi.

Ini baru penting……. Karena untuk memuaskan diriku sendiri, jadi


tidak perlu terlalu dipikirkan.

“Semangat.”

Dia melihat ke belakang dan mengatakan itu, melihat ke pintu


perpustakaan, mengirim sebuah dukungan yang tidak mungkin
akan didengar oleh Jin.

Sudah 3 tahun sekelas bersama, Souichirou selalu merasa


bahwa mereka tidak cocok satu sama lain, berbicara dengannya
juga membuat kesal. Tapi saat mengenal teman di Suimei,
Souichirou ‘lah yang paling mengerti Jin, dan dia mengakui itu.

“Tidak, yang perlu semangat itu diriku…….”

Nanti mau kencan dengan Saori. Sampai sekarang sudah 7


bulan berpacaran, tapi hubungan baru sampai saling
berpegangan tangan………. Ini merupakan sebuah peningkatan
yang bahkan akan ditertawai oleh anak SD.

Tadi diperpustakaan, Jin juga sudah bilang.

----- Kalau saat malam natal, mungkin akan lebih mudah untuk
berciuman?

Memikirkannya saja serasa jantung ingin meledak, apa didepan


Saori nanti akan berani melakukan hal yang tidak senonoh
seperti itu.

“Kalao memang ingin melakukannya, mungkin aku perlu bertanya


pada Mitaka cara berciuman……”

Souichirou dengan ragu-ragu dan bergumam terus, sendirian


berjalan dengan tenang dikoridor yang sepi.

Setelah pulang dari sekolah, jam 4 Souichirou datang lagi, karena


ada janji dengan Saori.

Yang pertama, pergi dulu ke konser natal yang diadakan oleh


Departemen Musik Bambu.
Tempatnya kebetulan ada di ruang konser yang pernah Saori
tampil disana.

Lagu yang dimainkan bermacam-macam, dari yang klasik sampai


musik pop, dan juga lagu pembuka anime yang tidak membuat
anak-anak bosan, semuanyadimainkan oleh band yang
profesional.

Pemimpin dan pemusik juga menyesuaikan kostum dengan tema


natal, semuanya menggunakan tampilan Santa Claus dan rusa
peliharaannya, didalamnya juga ada yang memakai kostum
manusia salju. Walaupun begitu, semua yang dimainkan tidak
ada yang buruk.

Ada juga beberapa teman yang dari jurusan musik Suiko yang
ikut tampil.

“Apa Saori tidak ikut?”

Souichirou bertanya saat setelah sebuah lagu ditampilkan, dan


Saori tertawa karena merasa lucu, dan dengan sedikit bercanda
berkata :

“Kalau membiarkan Souichirou sendirian di malam natal, rasanya


terlalu kasihan.”

“Terima kasih atas perhatiannya.”

Souichirou juga dengan alami membalas dengan senyum.


Tunggu konsernya selesai kurang lebih 2 jam, mereka berdua
meninggalkan ruang konser, langit sudah mulai gelap, sama
sekali tidak dapat melihat bintang yang ditutupi awan.

“Ngomong-ngomong, menurut ramalan cuaca, sepertinya akan


turun salju?”

“Kalau benaran turun salju itu pasti akan menyenangkan.”

Lalu, 2 orang itu berjalan menuju stasiun, menaiki kereta sampai


pemberhentian selanjutnya, bersiap-siap untuk makan malam.

Mereka datang ke pusat pembelanjaan pada pemberhentian yang


selanjutnya. Kebingungan saat memikirkan harus memilih toko
yang mana, dan setelah melakukan banyak survei, mereka
memutuskan untuk pergi ke cafe yang pernah menyediakan
makan kue sampai puas yang pernah mereka pergi. Sekarang
ada menu istimewa untuk perayaan natal, mereka berdua
memutuskan untuk mencobanya.

Makanan utamanya menggunakan daging ayam, sebuah


masakan yang membuat kita merasa ada tema natal, dan setelah
selesai menikmati kue yang diberikan sebagai bonus, mereka
meninggalkan cafe tersebut, dan sekarang sudah jam 8 lewat.

“Selanjutnya mau ke mana?”

“Aku ingin pergi melihat pohon natal.”


Karena saran Saori, mereka pindah ke gedung tinggi yang
merupakan pusatnya.

Tempatnya berada ditengah pusat pembelanjaan……. Pohon


natal raksasa yang berdiri ditengah pusat pembelanjaan,
berbinar-binar dengan luar biasa.

Souichirou dan Saori melihat ke bawah dengan ketinggian sekitar


3 lantai.

“Indah sekali.”

“Hn, aku juga setuju.”

Itu merupakan perkataan jujur yang berasal dari dalam hati.

Padahal tahun lalu tidak pernah ingin memiliki perasaan yang


seperti ini, bahkan berpikir itu hanya akan menguras tenaga.

Tapi dengan adanya Saori disamping semua perasaan terasa


terbalik, kenapa bisa nyata sekali. Polos juga ada batasnya.

Cara berpikir seperti itu juga seolah tertulis diwajah, Souichirou


tertawa pahit.

“Souichirou?”

“Bukan apa-apa.”

“Benarkah? Jangan-jangan karena melihat aku yang kegirangan


oleh pohon natal, jadinya tertawa?”
“Tidak , aku malah merasa kau begini lebih cantik.”

Terhadap reaksi Souichirou yang terlalu jujur, Saori dengan panik


memindahkan tatapannya.

“A-apa yang tiba-tiba kau bicarakan?!”

“Cuma membandingkan diri ku yang tahun lalu dengan yang


sekarang ini.”

“……. Membandingkan?”

“Dulu aku tidak suka suasana ramai seperti natal sekarang


ini…….. Tapi sekarang malah merasa sebenarnya suasana
seperti ini tidak begitu buruk juga.”

“………”

“Bukan karena suasana natal tahun ini berbeda dengan tahun


lalu. Yang sudah berubah itu sebenarnya aku,
pemandangan yang seperti ini, terasa begitu indah
karena melihatnya bersama Saori……. Ada
perasaan yang seperti itu.”

Souichirou mengatakan itu dan menjadi malu sendiri, kata-kata


terakhirnya jadi aneh.

“Seperti yang dibilang Souichirou. Bersama dengan orang


yang berbeda, pemandangan yang dilihat juga akan terasa
berbeda.”
Seperti ingin memenuhi ruang kosong yang tersisa sedikit,
Saori bersandar pada Souichirou, dan tangan berpegang pada
pegangan.

Hiraukan saja semua yang ada di sini, Souichirou dengan kuat


merasa Saori berada disisinya, tubuh dapat merasakan ini
merupakan orang yang sangat dihargai.

Terasa tubuh 2 orang yang bersentuhan, ada sebuah kekuatan


yang melampaui ruang dan waktu.

Mereka bedua melihat pohon natal dan terdiam sejenak.

“Apa Misaki akan baik-baik saja?”

Saori yang membuka pembicaraan, tiba-


tiba membicarakan temannya yang ada di Suiko.

“Semoga dia dengan Mitaka bisa lanca- lancar saja.”

“Iya.”

Souichirou dengan jujur merasa setuju. Semakin kenal dan


mengerti, merasa hubungan Jin dan Misaki semakin tidak enak
dilihat.

Mereka berdua melihat pohon natal sekitar 20 menitan, lalu


memutuskan untuk kembali ke stasiun.
Disaat sampai ke stasiun, masih tersisa beberapa menit akan
mencapai jam 10.

Souichirou dan Saori berjalan bersama ditoko yang berlantai


merah. Saori mengatakan beberapa hal, tapi Souichirou tidak
begitu memahami.

Kencan akan segera selesai, asrama yang Saori tinggali masih


sedikit jauh, jadi masih ada sedikit jarak. Tapi bagi Souichirou
yang ingin mencapai ciuman di hari ini, itu bukan merupakan
waktu yang cukup.

“Souichirou?”

“………”

Sepertinya kesempatan yang tersisa tidak besar.

“Souichirou?”

Wajah Saori yang terlihat sedikit marah, memasuki pandangan


Souichirou.

“Uwoo!”

“Sebegitu kagetkah setelah melihat wajahku, keterlaluan!”

“Ma-maaf.”

“Kenapa kau tiba-tiba begitu?”

“Tidak, tidak. Tidak ada apa-apa!”


“Mencurigakan lho…..”

Saori dengan tidak memberi ampun menatap Souichirou dengan


pandangan yang mencurigai.

“Be-benar ‘lah.”

Souichirou ingin membiarkan semua yang tadi lewat begitu saja,


tiba-tiba sebuah benda berwarna putih jatuh melewati
pandangannya.

“Hn?”

Dalam hatinya dia merasa curiga, dan melihat ke langit bersama


dengan Saori. Bunga salju yang menyatu perlahan berjatuhan 1
per 1.

“Ternyata ramalan cuaca benar ya.”

“Hn.”

Saori terpesona oleh pemandangan langit malam yang indah,


mulai tertuju pada salju yang turun. Souichirou merasa sedikti
lega.

“Ayo jalan.”

Lalu dia mengajak Saori, dan dengan alami berjalan menuju


asram Saori. Tempat tinggal Souichirou dari asrama Saori kurang
lebih memerlukan waktu 10 menit kalau berjalan ke sana,
merupakan sebuah kamar yang langsung disewa, dulunya pernah
digunakan keluarga Souichirou untuk berkuliah.

Dia melihat Saori yang disamping semakin bersemangat setelah


turun salju, mulai merasa ‘cukup begini saja untuk hari ini’.
Sekarang tidak cocok untuk menciptakan suasana itu dengan
paksa, sendiri juga tidak begitu pandai. Dan juga, waktu yang
dihabiskan bersama hari ini terasa menyenangkan, dalam hati
merasakan perasaan yang sangat gembira, kalau ingin yang lebih
dari ini mungkin terlalu serakah kali ya?

Walau begitu, dalam hati tetap menghela napas.


Setelah liburan musim dingin pasti akan ditertawai oleh Jin.

Sudah sekitar 30 menit berjalan keluar dari stasiun, Souichirou


dan Saori berjalan sampai ke asrama yang ditinggal Saori.

Saat ini, salju turun dengan lebat, disekitar berubah menjadi


pemandangan warna putih yang indah. Suhu saat ini sangat
rendah, napas yang keluar dapat terlihat berwarna putih.

“Hari ini sangat menyenangkan.”

“Aku juga.”

“Hn.”

Saori dengan sedikit sedih dan malu menundukkan kepala.

“Kalau begitu, aku duluan.”

“Ah, sebentar.”

Souichirou baru saja bersiap memutar balik badannya, tetapi dia


berhenti karena suara Saori.

“Itu………. Itu…….”

“Hn?”

“Souichirou, apa kau tidak melupakan sesuatu yang penting?”

Saat ini, Saori dengan segera mengangkat kepalanya,


pandangan mata mereka bertemu satu sama lain secara
bersamaan, tatapannya terlihat seperti telah memutuskan
sesuatu.

“Sesuatu yang penting?”

“Hadiah natal.”

“Ah, hn.”

Kenapa bisa sebodoh ini?

“Be-benar juga. Ya, biasanya itu harusnya menyiapkan hadiah


natal. Apa yang sudah kulakukan…………”

Sudah janji akan bertemu jam berapa nanti, menanyai hal tentang
konser natal, janji untuk pergi ke restoran, karena semua itu
Souichirou jadi lupa.

“Ma-maaf sekali!”

“Souichirou, ini.”

Saori memberi sebuah bingkisan kecil kepada Souichirou yang


panik. Sepertinya Saori sudah mempersiapkannya dengan teliti.
Tidak, biasanya pasti tidak akan lupa……..kenapa ceroboh sekali.

Bagaimanapun tidak boleh bilang lain kali baru saling menukar


hadiah, jadi Souichirou menerimanya dengan diam.

“Apa boleh dibuka?”

“Hn.”
Yang ada didalam adalah sebuah gantungan HP, apalagi itu
adalah gantungan yang pernah dia lihat sendiri. Kalau tidak salah
itu adalah karakter “Kucing Gunung Yang Menggigit Orang~“,
sampai sekarang HPnya Saori masih menggantung gantungan
itu.

“Karena HPnya Souichirou tidak menggantung apapun.”

“Benar juga. Terima kasih……”

Saat ini, Souichirou memanfaatkan kesempatan ini menggantung


gantungan yang diberi Saori ke HPnya.

“Maaf, aku tidak menyiapkan apapun………”

“Aku harus dapat balasannya ya.”

“Saori?”

Kemudian, Saori mendekatkan tubuhnya, dan melihat ke atas


Souichirou dalam waktu yang singkat.

“Huh! Serius?”

Entah kenapa sepertinya mengerti apa yang dia inginkan.

“Aku juga bukannya tidak tertarik…….”

Dia mengatakannya dengan suara yang kecil, menyatukan kedua


tangannya, dan pelan-pelan menutup kedua matanya.
Dengan sekejap pikirannya menjadi kosong, tidak bisa
memikirkan apapun. Dalam otaknya sudah tidak ada pilihan lain
lagi selain melakukannya.

Dia menaruh kedua tangannya ke pundak Saori, seluruh tubuh


Saori gemetaran.

“Ma-maaf.”

“Tidak, tidak apa-apa. Cuma terkejut…… Ayo.”

“Ah. Hn.”

Wajahnya mulai mendekati Saori : detakan jantungnya berdetak


dengan keras, seakan seluruh tubuhnya berubah menjadi
jantung.

Meskipun begitu, tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya


dari bibir Saori. Berhenti bernapas, dan disaat menutup mata,
tertabrak hidung.

“Ah.”

Souichirou dengan panik langsung melebarkan jaraknya. Karena


kesalahan yang sangat ceroboh, otaknya serasa terbakar,
padahal dari luar kepala terasa sangat dingin, tapi terus
mengeluarkan keringat.

Souchirou yang panik karena kecerobohannya yang tadi, kali ini


malah dengan langsung menyetuh bibirnya Saori.
Sepertinya terkena bagian giginya. Dapat merasakan pipi masing-
masing, rasanya sedikit gatal.

Detakan jantung berdetak dengan keras.

Sama sekali masih tidak mengerti situasi seperti apa ini,


Souichirou melepaskan Saori.

“Maaf, aku masih tidak bisa melakukannya dengan baik.”

Dan dengan tidak sadar mengatakan itu.

“A-aku yang salah…….”

“Ah, hn.”

Tidak bisa dengan lurus menatap wajah Saori.

“Ta-tapi……. Untuk yang selanjutnya tinggal sering-sering


latihan.”

“Huh?”

“Souichirou akan membiarkan aku sering latihan ’kan?”

Saori yang gemetaran dengan hebat, mengatakan beberapa hal


yang parah. Apa dia tahu apa yang sedang dia katakan tadi?
Sepertinya tidak begitu jelas…..

Otak Souichirou juga hanya bisa bekerja sampai disini.


Dia sekali lagi menaruh kedua tangannya ke pundak Saori, dan
kali ini menyiumnya dengan lembut. Dan malah berefek dengan
sangat baik.

“Hn.”

Bibirnya merasakan kelembutan yang tadi tidak dia sadari,


rasanya suhu panas Saori bertransfer ke Souichirou.

Setelah bibir mereka berpisah, mereka saling mundur 1 langkah,


dan memalingkan wajah.

“Jantungku berdetak dengan hebat.”

“Aku juga.”

“Rasanya hebat sekali.”

“Hebat sekali?”

“Menyukai seseorang memang suatu hal yang hebat, lebih


tegang dari pada sebuah perlombaan. Sering
mendengar dari orang katanya jantungnya serasa ingin loncat
keluar……. Ternyata memang benar seperti itu.”

“Iya. Tapi, selanjutnya akan ada hal yang bakal membuat jantung
kita berdetak dengan lebih hebat lagi ’kan?”

Souichirou mengintip wajah Saori, Saori juga sedang mengintip


Souichirou.
“…….. Hal yang mesum?”

“Bu-bukan! Tidak, tidak, tapi termasuk juga sih….. Maksudku,


tidak hanya hal yang dibayangkan Saori saja, dimasa depan nanti
pasti ada pengalaman lain yang membuat kita seperti ini, jadi
bukan hanya hal-hal yang mesum……”

“Hoho, aku tahu itu.”

Sepertinya Souichirou sudah dipermainkan. Tapi berkat itu,


suasana hati juga menjadi lebih baik, dan bisa dengan tenang
menatap wajah Saori.

“Kalau begitu, aku duluan ya.”

“Hn, hari ini senang sekali rasanya.”

“Aku akan menjaga gantungannya dengan hati-hati.”

Saori denga senyum mengantar kepergian Souichirou, dia


dengan sendiri berjalan pulang. Dalam hatinya terasa hangat, jadi
sama sekali tidak terasa dingin.

Dan dia bahkan berteriak ‘yahou!’ dalam perjalanan pulang,


berloncat-loncat sekitar 3 kali. Karena ini merupakan rahasia
yang tidak boleh dikatakan kepada siapapun.
Bagian 7
Saat tahun baru, dua orang pergi ke kuil yang ada
disekitar untuk berdoa. Kalau orang yang belum mempunyai
impian, mungkin biasanya akan berdoa untuk kelulusan, tapi
Souichirou dan Saori sudah pasti bisa lulus dengan
tidak mengkhawatirkan apapun, jadi sebelum berdoa, Souichirou
masih bingung ingin mendoakan apa.

Setelah selesai berdoa, Saori bertanya :

“Kau berdoa apa?”

“Kalau Saori?”

“Aku pikir, mungkin sama dengan Souichirou.”

“Be-begitu ya.”

Kalau benar begitu, rasanya membuat orang senang sekali.

Karena Souichirou berdoa “semoga bisa bersama dengan Saori


selamanya”.

Liburan musim dingin yang pendek dengan sekejap selesai,


semester ketiga mulai, rasanya waktu berjalan dengan lebih
cepat dari biasanya.

Masuk bulan Februari, mulai mempertimbangkan murid perlu


menyiapkan diri untuk ulangan, jadi bebas sekolah. Biarpun tidak
ingin, suasana disekitar tetap menunjukkan bahwa ulangan
terakhir mereka sudah menunggu didepan.

Sampai saat ini, Souichirou akhirnya bisa menerima kenyataan


bahwa dia akan lulus dari Suiko.

Bulan Maret nanti akan lulus. Setiap orang sangat menyadari itu,
tapi tetap saja tidak ada perasaan seperti ‘1 bulan lagi bakalan
tidak memakai seragam ini’.

Mungkin karena masih belum bisa membayangkan diri sendiri


saat menjadi mahasiswa.

“Hari-hari datang ke Suiko juga tidak banyak lagi.”

Setelah lewat dari tengah Februari, Saori juga mengatakan hal


seperti ini. Suaranya terdengar seperti dia sedang
membayangkan kenangan yang dulu, juga merasa khawatir
dengan masa depannya yang belum jelas itu.

Setelah masuk semester ke 3, Souichirou juga berusaha agar


bisa pulang bersama dengan Saori. Walau bukan Saori yang
bilang, tapi hari-hari mereka bisa pulang bersama juga tidak
banyak lagi.

Dan pada suatu hari diakhir bulan Februari, untuk


mempersiapkan kata-kata perpisahan, Souichirou datang ke
sekolah.
Semua ruangan kelas 3 yang berada dilantai 3 kosong dan sepi,
didalam kelas Souichirou juga tidak ada orang. Dia sendirian di
dalam kelas, dengan diam menulis naskah pidato perpisahannya.

Membaca kembali yang sudah ditulis, awalannya adalah salam


pembuka untuk adik-adik kelas, dan juga berterima kasih pada
guru dan orang tua yang sudah mendukung. Lalu bercerita sedikit
mengenai kenangan saat di Suiko. Bagian yang paling penting
tetap adalah festival budaya. Tahun pertama hanya menjadi
panitia, tapi tahun ke 2 dan ke 3 mengikuti dengan jabatan
anggota OSIS, dan mengikuti festival teramai yang pernah ada
dalam sejarah Suiko.

Bisa dengan bangga mengatakan itu merupakan 3 tahun yang


tidak sia-sia.

Musim gugur saat SMP kelas 3…… Datang mengikuti ulangan


kelulusan untuk Suiko yang mempunyai festival budaya yang
mewah, ternyata tidak salah, tidak ada sedikitpun penyesalan.
Hanya saja kalau tidak menulis ’tidak menyesal’, rasanya kurang
enak.

Rasanya ada beberapa hal yang menggangu.

Disaat sedang memikirkan penyebabnya, suara yang tidak aisng


terdengar.

“Souichirou, ternyata kau disini?”


Mengangkat kepala melihat, ternyata Saori yang sedang
membawa tas biolanya. Dia memindahkan headphonenya ke
leher, dan berlari kecil ke tempat Souichirou.

“Hn, lagi merapikan naskahnya. Apa Saori datang untuk latihan?”

Menyanyi saat upacara kelulusan, jadi mengumpulkan semua


murid jurusan musik untuk membuatnya menjadi lebih bagus.

“Sudah dijadwalkan semuanya akan berlatih saat sore.”

“Begitu ya.”

Pandangan Saori dengan alami menatap ke naskah.

“Baru separuh ditulis, mau lihat?”

“Apa boleh?”

“Paling-paling nanti merasa tidak terharu lagi saat mendengarnya


diupacara kelulusan nanti.”

“Kalau begitu tak usah saja.”

Dan pada saat ini, HP Souichirou berbunyi.

Dalam hatinya berpikir siapakah itu, sambil mengeluarkan HPnya.


Layarnya menunjukkan bahwa itu adalah ‘Mitaka Jin’.

“Mitaka yang telepon.”

Dia menjelaskannya pada Saori, dan mengangkat HPnya.


“Ada apa?”

“Karena tiba-tiba ingin mendengar suara ketua OSIS.”

“Aku akan menutupnya.”

“Jangan cuek begitu ‘lah.”

“Kalau begitu, sebenarnya ada apa sampai menelepon aku?”

“Aku ingin membahas beberapa hal denganmu.”

“Membahas?”

Mendengar perkataan itu keluar dari mulut Jin, Souichirou terkejut


setengah mati. Padahal merupakan seorang pria yang suka
berbohong dan dan memanfaatkan orang lain supaya dirinya
yang sebenarnya tidak terlihat……. Atau dengan kata lain,
mungkin ini adalah pertama kalinya Jin meminta sesuatu pada
orang lain.

Saori juga mengeluarkan ekspresi yang kebingungan, dan fokus


ke percakapan keduanya.

“Kalau ada urusan denganku, datang saja ke kelas.”

“Ah, kau di sekolah ya, kalau begitu pas banget.”

Dari cara ngomongnya, sepertinya dia juga ada di sekolah. Jadi


Souichirou langsung memahami alasannya. Karena sekarang
sedang ada sebuah persiapan, yaitu untuk
menghentikan rencana pembongkaran asrama Sakurasou yang
ditinggali Jin dan yang lainnya.

“Aku segera pergi, tunggu sebentar.”

“Baiklah.”

Dan langsung menutup HPnya.

“Mitaka bilang apa?”

“Walau tidak begitu mengerti, tapi sepertinya dia ada urusan


denganku, dan ingin membahasnya.”

“Membahas ya………”

‘Kira-kira apa ya?’ Saori mulai berpikir, dan saat ini, terdengar
suara langkah kaki dari koridor dan semakin mendekat.

“Suara langkah kaki ini…………”

Disaat Saori membalikkan badannya menghadap ke arah pintu,


Misaki masuk ke kelas.

“Tolong ya~~! Ah, ada Hauhau! Hauhau juga disini rupanya!”

Baru sadar, Misaki langsung memeluk Hauhau.

“Uwa! Hei! Misaki, jangan peluk aku.”

“Hauhau juga boleh memelukku lho.”


“Aku tidak sedang membicarakan itu dengan mu! Souichirou juga
jangan hanya lihat dari samping, cepat bantu aku.”

Ini sedikit susah.

“Hubungan kalian masih saja sangat baik ya.”

Jin yang sedikit telat masuk ke kelas.

“Kau tidak bilang kalau Kamiigusa juga akan datang.”

“Karena aku juga tidak mendengar kalau Hauhau ada disini.”

Sungguh seorang pria yang menyebalkan.

“Kalau begitu, ingin bahas apa denganku.”

“Sebenarnya ada sesuatu ingin minta tolong sama ketua OSIS.”

“Aku menolak.”

Karena ada firasat yang buruk, Souichirou langsung


menjawabnya.

“Kau dengar dulu dong pemintaannya.”

Jin tertawa pahit, dan dengan sikap yang santai bertanya lagi.

“Lagian permintaannya juga pasti bukan hal yang baik.”

“Kali ini sebenarnya sangat serius lho.”

“Kalau begitu aku semakin tidak ingin mendengarnya.”


Sekarang sudah tahu kenyataan Sakurasou akan dibongkar, jadi
bias membayangkan hal yang Jin ingin minta pertolongan pasti
berkaitan dengan itu. Sepertinya bakalan menjadi sebuah
pemintaan yang menyusahkan.

“Pasti soal Saokuraosu ’kan?”

“Benar, seperti yang diharapkan dari ketua OSIS yang


sebelumnya. Kalau begitu, urusan ini menjadi lebih mudah.”

“Aku masih belum setuju akan membantu lho.”

“Kalau begitu tidak ada cara lain.”

Saat ini terlihat Jin sepertinya menunjukkan sikap yang


menyerah. Namun, beberapa saat kemudian—

“Apa bisa membiarkan Misaki saja yang menangani kata-kata


perpisahannya?”

Ternyata dia mengatakan hal yang bodoh dan tidak masuk akal.

“Huh?”

Saori yang fokus dengan percakapan antara Souichirou dan Jin,


mengatakan sesuatu.

“……….”

Sebuah permintaan yang jauh diluar perkiraan, Souichirou tidak


bisa mengatakan apapun.
“Hah? Tidak dengar? Kata-kata perpisahan nanti, apa bisa
membiarkan Misaki saja yang mengurusnya?”

“Aku pasti akan membuat semuanya ‘banjir’!”

“………..”

“Hoi~~ apa kau baik-baik saja?”

“Iya ini aku dengar…………. Siapa suruh kau mengatakan itu


dengan nada yang santai seolah-olah ‘pinjam penghapus’ gitu,
mengatakan sesuatu yang mengejutkanku, makanya aku sedang
mencurigai telingaku sendiri.”

“Tenang saja! Telinga Sou-chan masih bagus!”

“Misaki, jangan menggunakan panggilan itu pada Souichirou,


rasanya seperti lebih dekat dengan Souichirou saja.”

Saori yang awalnya hanya diam mendengar, akhirnya berbicara.

“Kalau begitu, Sourou (Catatan :


dalam pengucapan bahasa jepang kata tersebut juga bisa
bermakna ‘ejakulasi dini’) ?”

“Ka-kalau begitu itu akan berubah menjadi sesuatu yang mesum!”

“Ternyata Hauhau tahu lumayan banyak juga ya? Kukira kau


hanya belajar musik, tapi ternyata tidak.”

“Mi-mitaka, tutup mulutmu!”


“Iya, iya.”

Disaat sudah sadar, situasi sudah menjadi tidak terkendalikan.

“Ehm, hm……..”

Pokoknya, sengaja batuk 2 kali dulu.

“Coba jelaskan alasannnya.”

Lalu memaksa Jin berbicara dengan jujur.

“Kau tahu situasi Sakurasou saat ini ’kan?”

“Hn.”

Pihak sekolah sudah memutuskan tahun ini akan membongkar


Sakurasou. Lalu, karena semua penghuni Sakurasou tidak setuju
dengan itu, jadi sedang membuat rencana untuk menghentikan
pembongkarannya. Jika bisa memperoleh suara
sebanyak dua pertiga jumlah siswa Suiko, maka bisa dibatalakan.
Tapi menurut Souichirou, akan sangat susah untuk mencapai
jumlah itu, apalagi itu merupakan markasnya para siswa
bermasalah. Bagi siswa normal yang tidak kenal dengan
penghuni Sakurasou, akan sangat susah memperoleh suaranya.

“Hanya dalam kasus saat dimana jumlah tanda tangan yang


terkumpul tidak mencukupi saja, tolonglah.”

”Apa menurutmu itu bisa tercapai?”


“Kami memang punya tekad seperti itu lho.”

Tidak bercanda, juga bukan sedang sombong. Tatapan Jin penuh


dengan percaya diri, Misaki juga begitu, mereka tidak ragu
sedikitpun.

“Tapi, tetap saja perlu mempertimbangkan bagaimana nanti


kalau sampai gagal.”

“Lalu apa hubungannya dengan kata-kata perpisahan?”

“Karena kau memberiku sebuah harapan.”

“Apa itu?”

Sama sekali tidak mengerti apa yang sedang Jin bicarakan,


Souichirou mengangkat alisnya.

“Menjadikan loteng sebagai tempat umum saat sepulang


sekolah pada musim semi. Kau tidak lupa ’kan?”

“……..”

“Setiap hari ke kantor guru untuk memohon, dan pada akhirnya


berhasil mengubah pemikiran mereka. Kerena kalau bicara
saja tidak bisa mengubah apapun,maka harus menyampaikan
perasaan dengan tindakan.”

“Jadi pada saat upacara kelulusan, ingin meminta


tolong sama para siswa melalui kata-kata perpisahan?”
“Ya begitulah.”

“Ya, begitulah~~!”

Jin dan Misaki menjawab bersamaan.

“Naskahnya biar aku saja yang tulis. Tentu, akan diperiksa


olehmu dulu sebelum dibacakan.”

“………..”

“Ini adalah taruhan terakhir jika tidak bisa mendapat


jumlah suara dua pertiga siswa yang setuju. Jadi tolonglah.”

Saori sepertinya ingin mengatakan sesuatu, dan melihat


Souichirou yang sedang berpikir. Meski tidak ditanya,
sepertinya mengerti apa maksud Saori. Souichirou juga menghela
napas dalam hati, apa sejak awal sudah menjadi begitu? Kalau
Souichirou yang baru masuk ke Suiko, pasti akan menolak. Tapi,
sekarang malahsama sekali tidak ada niat seperti itu. Perasaan
Souichirou sekarang terbalik dengan dia yang dulu.

Sepertinya sudah mengerti mengapa.

Mengerti kenapa tadi saat menulis naskah, ada perasaan yang


tidak enak, kenapa merasa kurang enak dengan kata ‘menyesal’.
Itu karena diri sendiri memang sedikit menyesal. Karena walau
siswa yang ada di Sakurasou dianggap aneh dan bermasalah,
tapi jika dibandingkan dengan yang lain, mereka pasti lebih
menikmati kehidupan mereka diSuiko. Sekarang Souichirou baru
sadar, dalam hatinya seperti iri dengan mereka. Karena begitulah,
Souichirou tidak suka dengan Jin.

“Ini adalah hal terakhir yang bisa aku dan Misaki lalukan untuk
Sorata dan yang lainnya.”

Jin yang mengatakan itu, menatap dengan tatapan yang sangat


serius.

“Untuk adik kelas ya, harus melindungi Sakurasou lho~~!”

“……… Aku mengerti.”

Didepan Jin dan Misaki, Souichirou dengan tenang kembali ke


tempat duduknya.

Jin terkejut dan membuka matanya lebar-lebar.

“Bagus sekali!”

Misaki langsung menunjukkan pose kemenangan, dan memeluk


Saori. Saori yang kaget karena tiba-tiba dipeluk, jatuh ke lantai.

”Makasih ya, mantan ketua OSIS.”

Terhadap Jin yang berterima kasih, tangan Souichirou seolah


memberikan isyarat ‘cepat keluarkan’.

“Tangannya untuk apa?”

“Naskah. Kau sudah menulisnya ’kan?”


“…………”

Sepertinya dia tidak terpikir, dan Jin terkejut sejenak.

“Karena kau adalah pria yang tidak ada kekurangannya, makanya


dibenci orang.”

“Bisa mendapatkan pujianmu,


itu merupakan suatu kehormatan bagiku.”

Jin mengambil naskah dari koceknya, dan memberikannya.

“Sikapmu yang seperti itu benar-benar mengesalkan.”

Seperti yang Souichirou pikirkan, Jin sepertinya benar-benar


sudah menyiapkannya.

“Begitu ya? Aku ini paling suka sifat mantan ketua OSIS yang
seperti ini lho.”

“Kalau kau masih ingin bercanda, aku tidak akan bantu.”

Souichirou menerima naskahnya.

“Apa kau berpikir aku akan meminta bantuanmu dengan


bercanda?”

“Sepertinya tidak.”

Tanpa mengeceknya, Souichirou langsung memasukkan naskah


yang diterima ke dalam tasnya.

“Apa tidak dilihat dulu?”


“Kalau kau serius, maka aku tidak perlu mengeceknya lagi. Dan
juga, jika aku melihatnya, bisa saja nanti aku berubah pikiran.”

Saat ini, entah kenapa Jin melihat ke Saori.

“Pacarnya Hauhau keren sekali ya.”

Dia mengatakan itu dengan nada ejekan.

“Tentu saja.”

Saat ini Saori yang akhirnya bangkit dan berdiri sambil


berkata dengan tersenyum.
Bagian 8
Tanggal 8 bulan Maret. Hari ini merupakan cuaca yang segar.

Upacara kelulusan juga akhirnya selesai, Souichirou


menyampaikan salam perpisahan dengan teman sekelasnya, dan
sendirian datang ke loteng Suiko.

Tidak ada orang, serasa dunia hanya milik ia sendiri saja.

Dia menaruh tas dan bunga perhiasan di kursi panjang,


tangannya masih memegang bukti kelulusan yang berbentuk
seperti pipa yang bulat, dengan alami menaruh tangannya ke
arah langit.

Dengan kuat menarik udara yang segar dan


menghempaskannya.

“Huft……. Sampai segitunya. Memanglah…………”

Karena membiarkan Misaki membacakan kata-kata


perpisahannya, upacara kelulusan sampai terpaksa terhenti
selama 1 jam. Setelah 1 jam, baru mulai kembali membacakan
ulang. Souichirou yang membacakannya saat mengulang tadi,
lalu menghukum para penghuni Sakurasou yang tadi berbuat
masalah, semuanya berdiri diluar.

Belum pernah melihat upacara kelulusan yang seperti ini.


Tapi, setelah berpikir akhirnya Sakurasou tidak jadi dibongkar,
ekspresi dengan alami menjadi lega. Bersyukur kerja keras
membuahkan hasil, kalau tidak bakalan menyedihkan sekali.

Seperti ingin menghapus pikiran yang seharusnya tidak


ada di dalam mantan ketua OSIS, Souichirou melangkahkan
kakinya, berkeliling loteng 1 putaran, ingin melukis pemadangan
diatasnya ke dalam otak tuk selamanya………..

Gerbang sekolah juga berkumpul banyak siswa. Ada siswa yang


tertawa, juga ada siswa yang menangis. Juga ada orang seperti
sedang foto-foto kenangan, saling mengatakan sampai jumpa. Di
suasana yang baik begini, ada sebuah perasaan yang sepi.

Sebuah janji sampai nanti bertemu lagi, kapan bisa


mewujudkannya? Padahal jelas-jelas tidak bisa langsung
terwujud, dan membaut orang sedih.

Setelah berputar setengah putaran, ada orang membuka pintu


dan berjalan kemari.

“Sudah kuduga kau ada disini.”

Saori sambil berkata dan berjalan ke Souichirou.

Dua tangannya membawa bunga yang besar.

“Punyamu besar sekali.”


“Dikasih sama adik kelas jurusan musik…… Kau berani
bilang begitu, punya Souichirou itu apa?”

Saori melihat barang yang tadi Souichirou taruh diatas kursi


panjang. Ada sebuah bunga yang tidak kalah besar dengan yang
punya Saori.

“Tadi dikasih sama adik kelas mantan anggota OSIS.”

Diantara 5 anggota, ada 3 anggota yang merupakan adik


kelas. Itu adalah wakil ketua OSIS yang saat dulu……… Dan
juga merupakan ketua OSIS yang sekarangyang sedang
menangis dan beringus-ingusan, dialah yang memberikan buket
bunga pada Souichirou.

“Aku akan berusaha agar tidak kalah dengan ketua OSIS.”

“Sekarang kau sudah menjadi ketua OSIS.”

“Bagiku, ketua OSIS hanya ketua OSIS anda seorang.”

Setelah upacara kelulusan selesai, mendengar kata-kata seperti


itu saat kembali ke kelas, bagaimana mungkin tidak senang?
Souichirou yang terharu sampai-sampai ingin menangis, tapi tidak
boleh menunjukkan air mata di depan adik kelas, jadi berusaha
menahannya.

“Aku hanya naik ke Universitas Seni Suimei, jadi kalau luang aku
akan kembali melihat-lihat.”
“Siap, ketua OSIS.”

Souichirou merasa berkat merekalah, organisasi OSIS bisa


berjalan dengan baik begini, perkataan tidak cukup untuk
menunjukkan rasa terima kasih kepada mereka.

Saori yang berada disampingnya, duduk di kursi panjang yang


ada disebelah.

“Souichirou yang ada di upacara kelulusan, keren sekali.”

“Yang kau bilang itu saat yang mana?”

Walau merasa sedikti terkejut dengan perkataan Saori yang tadi,


tapi Souichirou dengan spontan bertanya. Yang bisa dia pikirkan
hanya dua. Yang pertama adalah saat mengulang menyampaikan
kata-kata , yang kedua adalah kenapa upacara kelulusan sampai
diulang---alasannya yaitu membantu Misaki.

Sepertinya tidak perlu ditanya juga tahu yang mana.

Tapi, jawaban Saori berbeda dengan yang Souichirou pikirkan.

“Dua-duanya keren sekali, aku yang sebagai pacar merasa


sangat bangga.”

Saori sedikit senyum nakal.

“Bisa dipuji seperti ini olehmu, sebagai pacar, aku merasa tidak
ada hal lain lagi yang akan membuatku sesenang ini.”
“Apa kau menyesal membiarkan Misaki membacakan kata-kata
perpisahan?”

“Aku sebenarnya menyesal. Kenangan terakhir saat SMA, di isi


dengan kekaucan tadi.”

“Kalau begitu, setidaknya baca dulu naskah yang dibuat Misaki,


bukankah semuanya akan menjadi lebih baik?”

Seperti yang Saori katakan, Souichirou memilik kesempatan


seperti itu.

“Terhadap itu, aku berpikir tidak mengeceknya adalah tindakan


yang benar.”

“Kenapa?”

“Kalau Kamiigusa, bagaimanapun ujung-ujungnya pasti bakalan


ada kejutan. Dan juga……….”

“Juga?”

Kalau sudah tahu isinya duluan, pasti sekarang tidak akan


merasa begitu menyenangkan.”

“………. Benar juga, itu merupakan naskah yang sangat bagus.”

Seakan sedang memikirkan semuanya kembali, Saori dengan


suara kecil mengatakan.
“Berkat itu, setelah upacara kelulusan diulang, semuanya menjadi
sedikit sulit.”

“Tidak masalah. Tetap masih ada siswa yang menangis ’kan.”

“Kalau Saori?”

“A-aku? Aku ya…… Ee, itu………..”

Melihat sikapnya yang tidak bisa berbohong dan tidak bisa


menjawab dengan jujur, Souichirou langsung tahu jawabannya.

“Pada akhirnya, aku tetap tidak bisa menang dari Kamiigusa.”

Sekarang terhadap kenyataan itu pun rasanya sudah lega. Kalau


tidak bertemu dengan orang seperti Kamiigusa, sepertinya tidak
akan ada suasana hati seperti ini. Souichirou sekarang sudah
bisa berpikir begitu, sebenarnya tidak pernah berpikir ingin
merebut posisi pertama, tapi karena ada orang yang bisa
dijadikan tujuan, sehingga membuat kehidupan SMA menjadi
lebih ‘berisi’.

Disaat Souichirou sedang memikirkan ini, HP yang ada dikocek


berbunyi.

Menerima sebuah email.

“Dari siapa?”

Melihat dengan jelas, diatas layar menunjukkan nama Jin.


“Mitaka.”

Souichirou menjawab Saori, dan membuka emailnya.

--Selamat atas kelulusannya. Tetap mohon


bimbingan untuk kedepannya.

Diatas layarnya tertulis begitu.

“Apa kepala sekolah sudah selesai menceramahinya ya?”

Souichirou juga punya pertanyaan yang sama


dengan Saori. Menggunakan kata-kata perpisahan untuk
membatalkan pembongkaran Sakurasou, akibatnyamembuat
upacara kelulusan menjadi kacau dan menerima hukuman,
harusnya sekarang masih dimarahi di ruangan kepala sekolah.

--Apa ceramahnya sudah selesai?

Mengirim email.

Langsung menerima balasnnya.

--Ini sekarang sedang diberi pujian lho.

Isi yang tidak serius lagi.

--Terimalah hukumannya dengan lapang dada.

--Mau gantian?
Sepertinya lebih baik jangan dibalas lagi, kalau tidak pasti Jin
akan mengirim email terus. Tapi, Souichirou tetap mengirim
sebuah email sebagai penutup.

--Selamat atas kelulusannya. Meski nanti akan pergi ke


Osaka, kalau luang tetap harus memberi kabar.

Diatas layar menunjukkan sudah terkirim.

Setelah sejenak, tetap tidak menerima balas dari Jin.

Berbeda dengan Souichirou yang naik ke Universitas Seni


Suimei, Jin akan pergi ke Universitas Seni yang ada di Osaka
mulai April nanti. Akan berpisah dengan teman yang sudah
sekelas selama 3 tahun, tapi tidak merasa dengan
begitu hubungan dengan Jin akan berubah. Jadi dimasa depan
nanti bakalan bertahan terus hubungannya.

Disaat Souichirou ingin menyimpan HPnya, menerima sebuah


email yang dikira tak akan dibalas. Pengirimnya kali ini adalah
Misaki.

“Dua orang itu………”

Selagi mendengar kepala sekolah ceramah, masih bisa sambil


mengirim email ke Souichirou, dua orang ini sebenarnya ada apa
sih. Tehadap itu, pada akhirnya Souichirou tetap masih tidak
mengerti.
--Makasih yaa~! Berkat Sou-chan,
kami baru bisa menyelamatkan Sakurasou lho!

Lalu, sebuah email datang lagi.

--Jangan hanya karena tidak ada Hauhau jadi selingkuh lho ya!

“Siapa yang bakalan begitu……..”

“Ada apa?”

“Itu tadi dari Kamiigusa.”

Souichirou memperlihatkan 2 email yang diterimanya


ke pada Saori. Saat melihat email yang pertama dia tertawa, tapi
setelah melihat email yang kedua, dia menunjukkan ekspresi
yang serius. Dia menatap Souichirou dengan tatapan yang
mencurigai.

“Aku juga khawatir soal ini.”

“Jangan samakan aku dengan Mitaka.”

“Bernahkah?”

“Tentu saja benar.”

“Kalau begitu, aku berharap kau akan membiarkanku melihat


buktinya.”

“Bukti apa………..”

“……..”
Saori yang terdiam pipinya mulai sedikit memerah. Oleh karena
itu, Souichirou tahu maksudnya.

“Sejak dulu aku sudah merasa begitu.”

“Merasa apa?”

“Terhadap topik yang beginian, Saori beraninya pake banget lho.”

“Heh? A-apa benar begitu?”

“Berkat itulah, untuk kedepannya juga aku akan terus tergila-gila


sama Saori.”

Souichirou merasa sedikit malu, bagian terakhirnya dia


mengatakannya dengan semakin cepat, kalau sekarang
Saori mengatakan sesuatu, otak Souichirou pastiakan serasa
meledak. Jadi sebelum itu, Souichirou menyiapkan dirinya, dan
mencium Saori yang duduk di kursi panjang.

Bulan ini, Saori akan berangkat kuliah di Australia, hari-


hari yang masih bisa bersama di Jepang tersisa tidak banyak lagi,
bilang tidak sepi itu pasti bohong. Perasaan yang tidak rela,
sampai sekarang masih ada didalam hati. Tidak ada apapun yang
bisa menjamin hubungan keduanya bisa tetap bertahan, tapi ini
merupakan hal yang sudah diputuskan, keputusan yang dibuat
oleh mereka berdua.
Souichirou melebarkan jarak antara ia dengan Saori, pandangan
mata menangkap pemandangan pesawat yang kebetulan
melintasi langit. Saori yang berdiri juga mengangkat
kepalanya dan melihat ke arah langit bersama Souichirou yang
ada disampingnya. Bayangan pesawat semakin
jauh dan mengecil.

Disaat sebelum pesawat tidak terlihat lagi, Souichirou


menggenggam tangan Saori dengan erat. Pundak Saori
bergemetar sejenak, tapi pandangan mata tetap fokus ke langit,
hanya dengan lembut menggenggam tangan Souichirou.
Souichirou juga tidak mengatakan apapun, tatapannya hanya
melihat bayangan pesawat yang semakin jauh.

Karena dibanding dengan perkataan apapun, mereka lebih


percaya dengan kehangatan tangan yang saling menggenggam
hari ini.
BAB 3

Gadis Polos yang Sedang Dilanda Sakit

Disuatu pagi pada liburan musim semi.

Terbangun dari tidur, menyadari sosok seseorang yang telanjang


bulat tengah tidur disamping.

----- Hei, Sorata.

----- Hng.. Ada apa?

----- Kuserahkan urusan ku pada mu.

Ketika sang gadis berkata seperti itu.


Bagian 1
Kenapa semua ini bisa jadi begini?

Punggung Kanda Sorata sedang merasakan suhu tubuh dari


Shiina Mashiro, suara dari langkah kaki selangkah demi
selangkah menuju lantai atas. Bunyi tiap langkah yang mengenai
lantai papan kian terdengar, seakan memberikan peringatan akan
bahaya yang semakin mendekat.

Lokasi sedang berada di Sakurasou – Asrama Universitas Suimei


untuk murid kesenian SMA yang bermasalah.

Bangunan usang berbahan kayu dengan dua lantai. Sorata


adalah penghuni kamar nomor 101, yang di gendongnya Shiina
Mashiro tinggal di kamar nomor 202. Mulai musim semi ini
mereka berdua adalah murid kelas tiga.

Yang benar saja, kenapa bisa jadi begini?

Saat pertanyaan yang sama muncul kembali dalam benaknya,


desahan nafas panas dari Mashiro mengenai lehernya.

“Hufft ……”

Ia tak bisa menyalahkannya. Karena Mashiro memang sedang


demam.
Sorata tahu betul kenapa Mashiro bisa terkena demam, jadi
seharusnya tidak perlu memikirkan penyebabnya lagi. Tetapi,
mengingat kesulitan yang akan di hadapi ke depan, akan sangat
sulit untuk tidak memikirkannya.

Pada kesehariannya, dia butuh orang lain untuk


membangunkannya, mencucikan pakaiannya, bahkan celana
dalam saja harus menyiapkan untuknya, dan setelah selesai
mandi mesti bantu dia mengeringkan rambutnya, dia benar-benar
tidak mengerti cara mengurus dirinya sendiri…… Inilah Shiina
Mashiro. Begitu pergi keluar bisa saja langsung tersesat, dan
untuk seorang diri pergi membeli sebuah barang adalah hal yang
mustahil baginya.

Sejak kecil sudah mulai melukis hingga sekarang, sang pelukis


jenius dengan kemampuan yang diakui oleh dunia, tetapi seakan
harga yang harus dibayar sama bakatnya itu adalah kepolosan
dan keluguan yang tidak terdapat pada orang umumnya.

Setahun yang lalu setelah kedatangan Mashiro di Sakurasou,


Sorata yang mengemban ‘Tugas Mashiro’, setiap hari
mengurusinya hingga sekarang.

Oleh karena itu, Mashiro yang sedang demam sudah seharusnya


merupakan kewajiban Sorata untuk merawatnya.
Pada hari biasa saja sudah cukup membuat orang lain cemas,
akan gimana jadinya jika demam.

Satu hal yang sudah bisa ia pastikan, yaitu akan sangat sulit
untuk melawati hari ini dengan tentram, tak heran kalau ia akan
gelisah, pemikiran yang tidak berarti terus berluang di benaknya.

Namun Sorata punya alasan untuk tidak terus murung.

Sejak memasuki liburan musim semi, orang yang terlebih dahulu


terkena demam adalah Sorata. Pada saat itu Mashiro berusaha
merawat Sorata yang sedang demam, tentu saja dengan
berbagai cara yang aneh dengan keluguannya itu…… Demi
menghangatkan tubuh Sorata yang mengigau “dingin sekali”,
Mashiro bahkan dengan telanjang bulat menyelinap ke dalam
selimutnya.

Bagaimanapun juga, keinginan Mashiro untuk membantu Sorata


sudah tersampaikan, jadi secara keseluruhan Sorata juga sangat
berterima kasih padanya.

Meski tidak tahu apakah ada hubungannya dengan perawatan


dari Mashiro atau tidak, pagi ini kondisi tubuh Sorata sudah pulih
kembali. Tetapi sebaliknya, kali ini giliran Mashiro yang terkena
demam. Begitulah situasi sekarang.

Mau apapun itu, merawat Mashiro yang sedang demam sudah


merupakan tanggung jawab Sorata, tidak bisa menyalahkan
orang lain, dan tentu saja ia tidak bisa mengeluh pada Mashiro,
jadi semacam senjata makan tuan.

Sebab itu, makanya Sorata terus bergumam sendiri yang tiada


artinya dengan sambil berpikir “kenapa bisa jadi begini?!”.

“Hei, Sorata.”

Mashiro memegang erat punggung Sorata.

“Kenapa?”

“Urusan ku, kuserahkan pada mu.”

“Tadi dikamar ku sudah kau bilang.”

Lebih tepatnya, dikasur kamar Sorata.

“Masih belum dapat jawaban yang pasti.”

“Jika kau ingin aku memberikan jawaban yang pasti, bertanyalah


dengan gaya bahasa biasa. Cara bertanya mu itu seolah ingin
meminta kepastian pada lawan bicara untuk menikahi mu!”

“Kalau begitu, nikahi aku.”

“Enggak ah!”

“Tidak sopan.”

“Bicara sembarangan buat mempermainkan ku, yang lebih tidak


sopan itu kau!”
Menaiki lantai 2, Sorata mengantar Mashiro ke kamarnya ……
Kamar nomor 202.

Sorata langsung menuju ke kasur, menurunkan Mashiro dan


menyuruhnya baring.

“Sorata.”

Mashiro sekali lagi memanggil dengan desahan nafas yang


panas, sorotan mata yang lesu itu kelihatan sedikit
mengairahkan. Sorata tidak bisa menahan detak jatung yang
bertambah cepat.

Meski begitu, dia tetap menyembunyikan perasaan


terguncangnya itu, dengan hati-hati menutupi Mashiro dengan
selimut sampai ke bahunya.

Kemudian, Sorata dengan badan yang sedang membungkuk


mendengar bisikan dari Mashiro.

“Hari ini tolong lembut sedikit ya.”

“Bodoh!”

Sorata dengan panik mengambil jarak.

“Bodoh, a-apa yang kau bicarakan! Kalau diatas ranjang


mendengar kata seperti itu, suasana hati bakal jadi aneh!”

“Aku juga.”
“Hah?!”

“Dada terasa sesak, hati deg-degan, kepala pusing…… Badan


memanas”

“Itu sih ciri khas gejala demam!”

Meskipun hanya kian detik detak jantung bertambah cepat, tapi


seakan merasa sendiri sudah rugi besar.

“Pokoknya, ukur suhu tubuh dulu.”

Sorata memberikan Mashiro termometer yang dibawa olehnya,


setelah memastikan dia meletakannya di lipatan ketiak, lalu
menunggu 5 menit.

“Sudah selesai.”

Dengan hati-hati ngambil termometer yang dibawah piyama,


termometer yang hangat karena pengaruh dari suhu badan,
menunjukkan 37,8 derajat celcius.

“Baiklah, hari ini kau jangan banyak bergerak dulu ya.”

Ketika Sorata mengatakan itu sambil bersiap meninggalkan


kasur.

“Sorata, kau sudah mau pergi?”

Mashiro dengan sorotan mata yang terlihat tidak tenang sedang


melihat ke Sorata.
Dengan kedua tangan memegang kedua sisi tepi selimut, menuju
kedepan menatapnya.

“Kalau aku disini, mungkin kau tidak bisa istirahat dengan


tenang.”

“Aku sangat tenang.”

“Jika kau bilang begitu, malahan aku yang tidak bisa tengan!”

“Memang seorang bocah yang tak pandai diam.”

“Ketika aku di SD, di rapot memang ada keterangan seperti


itu…… Eh’ tunggu, masalah itu tidak penting. Hei, Hp mu aku
taruh di meja.”

“Hu’um.”

“Kalau ada perlu apa-apa telepon aja.”

“Apa kau akan segera datang?”

Entah kenapa Mashiro yang hari ini kelihatan tampak jadi agak
pemalu, tatapan berkeinginan keras yang biasanya kini juga
menjadi tatapan yang lembut.

Tidak peduli siapapun, kalau sudah terkena demam pasti akan


terasa lemas. Dalam hal ini Mashiro juga tidak terkecuali.

“Iya, aku akan segera datang.”


Sorata berusaha keras menjawab dengan lembut, setelah berkata
seperti itu langsung merasa malu, lalu membalikkan mukanya
menghadap ke arah pintu.

Kemudian seolah-olah ingin menyembunyikan perasaan itu


dengan segera mengatakan :

“Sudah dulu ya, beristirahatlah.”

“Aku nggak ngantuk.”

“Meski begitu tetap juga harus tidur.”

“Akan ku coba usahakan.”

Walau masih sangat ragu dengan perkataan Mashiro, tapi Sorata


berusaha menahan untuk tidak menanyakannya lagi. Sekali
merespon pembicaraan maka akan terus berlanjut, jadi tidak ada
waktu tidur buat Mashiro.

Sekali lagi dengan teliti dan hati-hati menutupi Mashiro dengan


selimut, setelah itu Sorata keluar dari kamar.

Pelan-pelan menutup pintu kamar.

Meski masih bisa merasakan tatapan dari Mashiro, tapi Sorata


pura-pura tidak menyadarinya.

“Nah, hari ini bagusnya ngapain ya?”


Setelah kembali ke lantai dasar, Hp Sorata yang berada di saku
berdering.

Penelepon adalah Mashiro.

Dia tidak mengangkatnya, lalu langsung pergi membuka pintu


kamar nomor 202.

“Apa sebegitu cepatnya ada sesuatu yang diperlukan?”

“Ternyata benar-benar datang.”

“Cuma ngetes doang?!”

“Ini memudahkan sekali.”

“Sudah jangan main lagi, buruan tidur.”

Sorata dengan cepat menutup pintu kembali, meninggalkan


kamar.

“Dasar!”

Dengan membawa suasana hati yang tak bisa menerima tapi


tidak membenci, ia turun ke lantai dasar. Mau bagaimanapun
keadaannya, mendapat ketergantungan itu tak akan merasa tidak
nyaman.

Ketika melewati ruang makan, ada bayangan seseorang yang


melangkah keluar.
Itu adalah Aoyama Nanami penghuni kamar nomor 203. Di
Sakurasou yang merupakan perkumpulan para orang aneh, satu-
satunya orang normal yang bisa dipercaya oleh Sorata adalah
dia.

Melihat ia yang berpakaian kasual, sepertinya sedang bersiap


buat pergi keluar, di tangan juga membawa 2 buah tas kertas.

“Aoyama, kau mau kemana?”

“Aku mau pergi memberikan buah tangan buat Mayu dan Yayoi,
karena merupakan barang yang segar, jadi sebaiknya di antar
segera mungkin.”

Tampaknya yang ada dibalik tas kertas memang adalah itu.

“Bagian semuanya yang di Sakurasou, aku sudah taruh di atas


meja.”

Pandangan Sorata mengarah ke meja, diatasnya terletak


kemasan Yatsuhashi dan Wagashi.

“Aoyama itu ……”

“Tak boleh tanya.”

Tanpa peduli Sorata lanjut mengatakan :

“Kau kan balik kampung ke Osaka, tapi kok buah tangannya bisa
ini?”
Yatsuhashi dari Kyoto, dan Wagashi adalah manisan khas dari
Nagoya.

“Yah mau bagaimana lagi. Aku tanya Mayu dan Yayoi ingin apa,
mereka bilang mau ke dua itu.”

“Sebenarnya tidak masalah juga sih.”

“Sudah hampir tiba waktu janjian kami, aku pergi dulu.”

Nanami melihat jam yang tergantung di dinding.

“Iya, hati-hati di jalan.”

Sorata mengantarnya sampai di teras, ketika selesai memakai


sepatu ia membalikkan kepalanya.

Entah kenapa menatap lurus ke Sorata.

“A-ada apa?”

“Jangan hanya karena kau berduaan dengan Mashiro, lalu


melakukan hal yang aneh-aneh ya.”

“Siapa yang akan melakukan itu! Dan juga Akasaka ada di dalam
kamarnya, ini tidak bisa disebut cuma berduaan ‘kan?!”

Sengoku Chihiro yang menjadi pengawas asrama Sakurasou


sejak tadi pagi sudah pergi ke sekolah. Meskipun liburan musim
semi, tapi sepertinya guru masih punya banyak pekerjaan.
Penghuni yang satunya lagi Akasaka Ryuunosuke, tidak akan
pernah keluar dari kamarnya jika bukan sesuatu yang sangat
penting, seorang hikikomori tingkat akut. Semester pertama di
tahun lalu, dia tidak pernah pergi ke sekolah.

“Harus hati-hati dan selalu waspada ya.”

“Sudah ku bilang aku tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh!”

Nanami tertawa sambil berjalan keluar. Tampaknya Sorata sudah


di ejekin.

“Jadi, apa yang harus ku lakukan ya?”

Saat sedang memikirkan itu, Hp berdering lagi.

Penelepon sudah pasti adalah Mashiro.

Mau bagaimanapun juga, diangkat saja dulu teleponnya.

“Kenapa?”

“Tidak ada.”

“Jangan bermain panggilan telepon iseng lagi dong!”

“Ingin mendengar suara Sorata.”

“Ouh, begitu ya…… Eh’ tunggu, hampir aku mau berjalan kesana,
tidak boleh mengatakan hal seperti itu!”

Dengan cepat Sorata menutup teleponnya, memutuskan untuk


membuat makan siang dulu.
Bagian 2
Casserole kecil yang diatas kompor gas mengeluarkan suara
‘kulu-kulu’, Sorata menatap naiknya uap air dengan pikiran yang
tidak tenang.

Kucing putih Hikari sedang menggosokkan tubuhnya di kaki


Sorata, mengeluarkan suara “meow~ ~”. Di meja dapur ada 2
ekor, di meja makan 2 ekor, dan di kursi juga ada 2 ekor kucing.
Yang warna hitam, warna campuran, warna cokelat, warna coca-
cola, juga ada yang mirip kucing siam dan kucing American
shorthair.

Penyebab Sorata dianggap sebagai siswa yang bermasalah


adalah ke tujuh kucing ini.

Ketahuan memelihara kucing di asrama reguler, itulah sebabnya


di pindahkan ke Sakurasou. Setelah itu, awalnya hanya 1 ekor
kucing, dan sekarang bertambah sampai 7 ekor.

Sorata meninggalkan kompor gas, mengeluarkan makanan


kucing di bawah meja makan, ke 7 kucing itu berebut berkumpul
kemari, dengan cepat melahap makanan kucing.

“Harus makan bersama dengan harmoni ya.”

Para kucing tidak menanggapi, tampaknya sedang serius makan,


jadi tidak ada waktu memedulikan Sorata.
“Baiklah, mungkin sudah waktunya mengatarkan makanan buat
kucing besar yang satunya lagi.”

Mematikan api kompor, memindahkan casserole ke atas nampan,


ditambah piring kecil yang berisi jahe, daun bawang dan bumbu
lainnya, meninggalkan ruang makan, lalu berjalan naik ke lantai 2
yang seharusnya terlarang bagi laki-laki.

Melewati kamar nomor 201 yang saat ini sedang tidak ada
penghuni, menghentikan langkah kaki di depan pintu kamar
sebelah. Yang dimaksud kucing besar yang satunya lagi, tentu
saja adalah Shiina Mashiro.

Mencoba mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Hei~ ~ Shiina.”

Tidak ada respon seperti yang diduga.

Sorata membuka pintu kamar yang tidak di kunci.

Entah kenapa, di atas kasur tidak melihat keberadaan Mashiro.

“Hei……”

Penghuni kamar sedang duduk di depan meja, menatap layar


monitor dengan serius, diiringi gerakan tangan yang cepat
mengoperasikan papan gambar digital.

“Kau sedang apa?”


Awalnya mengira dia pasti akan beristirahat dengan tenang di
atas kasur karena sedang demam.

Mashiro membalikkan kepala, pandangannya menangkap


keberadaan Sorata. Kulit putih merona yang seakan terlihat
transparan disertai sedikit kemerah-merahan.

“Kamu siapa?”

“Apa saking panasnya kepalamu hingga kehilangan ingatan?!”

“Cara berbicara seperti itu jangan-jangan Sorata ya.”

“Tolong ya, bisa tidak mengenali orang pakai wajah.”

“Itu sulit.”

“Dimana sulitnya?”

“Sebagian besar dari Sorata terbentuk oleh kata-kata yang


kejam.”

“Mendengar mu bilang seperti itu, aku juga mulai merasa kalau


memang ada benarnya, tapi jangan begitu! Boleh enggak kalau
hanya setengah aja? Kayak obat sakit kepala itu!”

Tampaknya Mashiro tidak terlalu tertarik dengan pendapat


Sorata, baru mendengar setengah dari kalimat yang dilontarkan
oleh Sorata, langsung membalikkan kepalanya menghadap ke
layar monitor.
“Aku belum selesai bicara!”

“Aku sudah puas.”

“Memang ratu yang bandel.”

“……”

Sepertinya mau ngomong apapun sudah tidak ada gunanya.

“Kembali ke pertanyaan awal, apa yang sedang kau lakukan?”

“Sedang menggambar manga.”

“Itu aku juga tahu. Kau masih demam, sebaiknya kembali istirahat
saja.”

“……”

Sorata menaruh nampan ke atas rak yang disamping meja tulis,


meletakkan tanganya di dahi Mashiro yang terdiam meneruskan
pekerjaan.

Panas sekali.

Tampaknya semakin parah demamnya.

“Sorata dingin sekali.”

“Maksudmu tangan ‘kan?!”

“Tangan Sorata juga sangat dingin .”


“Masih ada yang lain enggak?! Jangan-jangan mau bilang aku
berhati dingin?”

“Kaki?”

“Kau pikir aku pekerja kerah pink yang tangan dan kaki dingin
apa?”

“……”

“Lupakan, itu bukan masalah penting. Bagaimanapun juga, saat


tidak enak badan masih menggambar. Apa kerjaannya bisa
dilakukan dengan baik?”

“Berjalan sangat lancar.”

Sorata menatap ke layar monitor.

Tangan Mashiro yang bergerak lancar seperti biasa, perlahan


dihalaman mulai muncul tokoh yang di gambar, namun bukan
gambar yang terlihat seakan hidup yang seperti biasanya.

Wajah tokoh juga sangat parah.

“Bagaimana?”

“Dilihat bagaimanapun juga tidak bisa! Wajah heroine yang di


kotak paling bawah itu bengkak lho? Kena tinju gorila atau apa?”

“Kalau begitu, aku beginikan.”


“Jangan asal ambil ide barusan dong! Ngomong-ngomong, aku
barusan ucapin, dan kau langsung sudah selesai menggambar
seekor gorila!”

Meskipun dalam kondisi yang tidak begitu baik, namun


bagaimanapun juga ia adalah pelukis jenius dengan kemampuan
yang diakui seluruh dunia, hanya dalam puluhan detik saja sudah
selesai menggambar seekor gorila yang cantik.

“Sekarang kerana kau memasukkan gambar seekor gorila seperti


itu, akibatnya pandangan orang akan berubah tahu!”

Yang sedang Mashiro buat sekarang adalah serial manga shoujo.


Berkisah tentang persahabatan dan percintaan 6 orang laki-laki
dan perempuan yang tinggal bersama disebuah kontrakan……
Jika tidak pergi ke kebun binatang, tidak akan ada kesempatan
buat gorila untuk muncul dihalaman. Walaupun memang ada,
seharusnya juga tidak perlu terlalu fokus mengilustrasikannya.

“Gorila ini dari mana?”

“Tepat setelah melewati lorong masuk.”

“Apa tidak terlalu sembarangan rancangan jalan ceritanya?”

“Wu hu.”

Bahkan dialognya sudah ditulis.


“Wu hu, wu hu apaan! Serius bah, sekarang lebih baik kau jangan
menggambar manga dulu.”

“Kenapa?”

“Karena pembaca akan menangis! Menangis keras bahkan


sampai menjerit!”

“Sukses besar berarti.”

“Bukan air mata karena merasa terharu tahu!”

“Jelas-jelas ini digambar dengan sangat bagus.”

“Iya, memang benar digambar dengan baik! Tapi sesuatu yang


tak mungkin tetap tidak akan mungkin ‘kan! Editor Ayano-san
pasti akan marah, kau bakal di omelin.”

“Kalau begitu akan gawat.”

“Benarkan? Makanya hari ini kamu jangan bandel, sana tiduran


saja.”

“Aku mengerti.”

Mashiro menggeliat sambil masuk ke bawah meja. Biasanya ia


selalu menggambar manga sampai ketiduran, lalu terlelap
disarang bawah mejanya.

“Hari ini sebaiknya kamu tidur di kasur saja ya.”

“……”
Mashiro memegang pipinya.

“Kenapa kau terlihat seperti keberatan gitu?”

“Sorata antar aku kesana.”

“Kau ini anak kecil ya……”

“Aku sudah dewasa, kau ‘kan sudah tahu betul itu.”

“Apa itu cara mengatakan yang mengandung makna lain?”

“Bagian aku yang dewasa……”

Ada apa dengan suasana ini……

“Ma-mana ada!”

“Jelas-jelas kau sudah pernah melihatnya.”

“Bisa tidak kau jangan tanpa sadar membuat suasana aneh


begini!”

Udara yang dikamar terasa ringan, seakan dipenuhi warna pink.

Sorata kehabisan akal, berjongkok dan menghadap kebelakang


Mashiro.

“Sini, aku gendongin.”

“Gak mau.”

“Kan tadi kau sendiri yang minta aku antar kau ke kasur.”

“Peluk.”
“Hah?!”

“Aku maunya pakai peluk.”

Mashiro dengan muka yang begitu merah menjulurkan kedua


tangannya dari bawah meja.

“Yang benar saja?”

“Ikan makarel (Note : ‘Ikan makarel’ dan ‘benar’ nada kedua kata
tersebut mirip dalam bahasa jepang).”

“Itu sih ikan!”

Tampaknya cara ia biaca juga mulai menjadi aneh, mungkin


sebaiknya cepat membiarkan dia baring. Sorata mengatakan itu
pada dirinya sendiri. Setelah membuang rasa malu langsung
mengangkat Mashiro. Itu adalah princess hug.

Bagian atas tubuh bisa merasakan hawa panas yang keluar dari
tubuh Mashiro, sensasi menyentuh kulit halus, lembut seorang
gadis. Akibatnya, rasa malu yang sudah Sorata buang jauh-jauh
kini kembali lagi.

Wajah yang semakin memanas. Mungkin sekarang ia sendiri


bahkan lebih panas dari Mashiro, keringat yang tak hentinya
keluar dari sekujur tubuh.
Meski begitu, karena jarak yang dekat, sehingga ia masih bisa
bertahan dan dengan lancar mengantar Mashiro ke atas kasur,
lalu menutupi kakinya dengan selimut.

“Aku ada masak bubur, kamu mau makan enggak?”

Tangannya memegang nampan yang di atas rak yang disamping


meja tulis.

“Aku tidak lapar.”

Saat Mashiro baru selesai berkata begitu, tak lama setelah itu
langsung terdengar bunyi ‘kriuuukk~’ suara perut keroncongan
yang imut.

“Sepertinya perut mu bilang dia sudah lapar tuh.”

“Tunggu sebentar. Aku coba kompromi sama dia dulu.”

“Tidak perlu melakukan pembicaraan yang tak berarti. Pokoknya


kau harus makan.”

“Aku tidak ingin makan.”

“Aku juga tahu kalau sakit itu tidak ada nafsu makan. Tapi, jika
kamu tidak makan untuk mengembalikan tenaga, demamnya
tidak akan sembuh lho.”

“Kalau begitu Sorata yang makan.”


“Walau aku yang makan juga tidak akan bisa mengembalikan
tenaga mu.”

“Begitu ya?”

“Kau pikir tubuh ku dan tubuh mu itu punya hubungan yang


seperti apa?!”

“Hubungan yang sangat nyaman.”

Ia terus menatap Sorata dengan kedua matanya yang lembab itu.

“Baiklah, sudah disaat yang begini juga, aku akan terus terang,
hari ini kamu memang sangat seksi! Saking semangatnya aku
sampai memanas dan serasa akan meledak.”

“Apa kau melihat ku dengan pandangan yang seperti itu?”

“Ti-tidak boleh apa!”

“Tidak juga.”

“Huh?!”

Mashiro dengan tatapan matanya yang panas itu terus menatap


Sorata.

“Ingin melakukan apa dengan ku?”

“A-aku bilang……”

“Ingin apa?”
Dari bibir Mashiro mengeluarkan nafas yang seolah seperti
desahan, terlihat begitu seksi dan mempesona.

Sorata tidak bisa menahan tenggorokannya mengeluarkan suara


menelan air ludah.

“A-apanya ingin apa?”

Mungkin karena duduk terlalu menguras tenaga, tiba-tiba


Mashiro langsung berbaring, dengan setengah wajah menempel
ke bantal, bagian kerah piyama yang sedikit terbuka, kulit dari
tulang selangka sampai ke bahu bisa terlihat dengan jelas.

Dengan keadaan yang begitu Mashiro melirik ke Sorata, itu


adalah tatapan mata yang mempesona seakan dapat menerka
hati yang terguncang.

“Aku ingin Sorata melakukan.”

Hati semakin deg-degan.

“Ka-kau ini ya, ta-tahu tidak apa yang kau bicarakan?”

“Kalau Sorata ingin melakukannya, lakukan saja.”

Mulut terasa begitu haus yang tidak seperti biasanya.

“Ta-tapi, ya-yang seperti itu ada tahapnya juga tahu!”

“Karena Sorata akan melakukan apa saja demi aku kan?”

“…… Hah?!”
Entah kenapa merasa ada yang tidak nyambung.

“Aku adalah orang yang akan menyuruh Sorata melakukan


apapun.”

“……”

Rasa panas menurun seketika, mulut yang ternganga belum bisa


menutupnya kembali. Tampaknya Sorata sudah sepenuhnya
salah memahami maksudnya.

“Lihat kan, hubungan aku dengan Sorata adalah hubungan yang


sangat nyaman.”

“Entah kenapa aku merasa hanya aku yang tertekan secara


sepihak, apa aku nya saja yang terlalu memikirkannya!”

“Kau terlalu memikirkannya.”

“Ah, gitu ya, baguslah kalau begitu…… Apa kau pikir aku akan
bilang begitu?! Biasanya kau selalu terlihat lesu gitu makanya
tidak bisa menyadarinya, rupanya kau ada penyakit princess
syndrome ya!”

“Iya.”

“Langsung mengakuinya?!”

“Sudah ku putuskan.”
“Dari pembicaraan tadi, apanya yang sudah tiba-tiba kau
putuskan?”

“Sorata suapin, aku baru akan makan.”

“Sebelum kau membuat keputusan, seharusnya


membicarakannya dulu dengan ku!”

Mashiro yang sedang berbaring, “ah~ ~” membuka mulutnya.

“Ba-ba-bagaimanapun itu tetap tidak bisa. Makan dengan posisi


seperti itu akan terjadi tragedi nantinya, kau bangun duduk dulu
aja.”

“Tarik aku bangun.”

“Sudah ku duga akan begini jadinya……”

Sorata berdesah, lalu memegang kedua tangan Mashiro


menariknya bangun, dan menyuruhnya agar tetap duduk diatas
kasur.

Tidak lupa menyelipkan bantal di belakang sebelum ia bersandar.

Selama itu berlangsung, Mashiro tetap dengan “ah~ ~” membuka


mulutnya.

“Dasar, cuma untuk hari ini saja ya.”

Sorara memindahkan bubur yang ada di casserole ke sebuah


mangkuk, meraup sesendok buburnya.
Setelah ditiup, baru memasukkan ke mulut Mashiro.

“Ayo.”

Mungkin karena tidak ada nafsu makan, Mashiro memakan


dengan ekspresi enggan di wajahnya.

“Gimana? Enak ‘kan?”

“Tidak, biasa saja.”

“Sifat mu yang terus terang seperti itu, selalu bikin orang ingin
melepas topi dan memberi hormat ya!”

“Sorata coba makan nanti juga tahu.”

“Aku tadi juga udah mencicipinya kalik.”

Sambil mengatakan itu Sorata mengambil dan meraup sesendok


memakannya.

Benar-benar sangat biasa, tidak enak juga tidak buruk.

“Bagaimana?”

“Seperti yang Shiina katakan, biasa saja.”

“Sudah berciuman tidak langsung dengan ku.”

“Phuff!”

Tersedak oleh bubur yang sudah di masukkan ke mulut, Sorata


jadi batuk-batuk keras.
“A-apa yang kau bicarakan!”

“Tidak perlu berterima kasih.”

“Kok aku sama sekali tidak ingat pernah mengatakan sesuatu


seperti berterima kasih? Ah, jangan-jangan yang itu? ‘Terima
kasih atas bibir ku tadi’ apa itu maksudnya?”

Mashiro tidak menjawab, lalu membuka mulutnya meminta


disuapin bubur lagi.

“Di mulut bilang biasa aja, tapi nyatanya masih minta terus!”

“Soalnya sangat nyaman minta Sorata layani.”

“Bisa enggak jangan menyingkat kata yang spesifik?”

“Meminta Sorata memasukkan sesuatu yang hangat di mulut


terasa sangat nyaman.”

“Maaf! Harusnya tidak perlu mengatakan dengan jelas juga tidak


apa-apa!”
Pada akhirnya, Mashiro menghabiskan semua bubur yang
disiapkan, dengan perut yang terisi kenyang ia lupa akan
keberadaan Sorata, tertidur lelap dan nyenyak, dan juga tidak
terlalu menghiraukan kata “ciuman tidak langsung” yang terus
menempel di benak Sorata.

“Rasa kaldu ikan bonito ya……”

Sorata menatap wajah Mashiro yang sedang tidur, mengenang


kembali rasa ciuman tidak langsung.

“Ah~!! Apa yang sedang ku pikirkan!”

Pusing sendiri, tepar kecapekan.

“Huh~ ~ apa aku bisa dengan tentram melihat matahari esok.”


Bagian 3
Sorata sedang murung menatapi wajah tidur Mashiro cukup lama,
perut mulai mengeluarkan suara keroncongan seolah
memberitahu sudah lapar, kemudian Sorata memutuskan
meninggalkan kamar untuk makan siang.

Lauknya adalah mie goreng yang ditambahkan kubis,wortel, dan


daging babi.

Hanya kian menit sudah termakan habis semua, lalu berjalan ke


arah toilet bersiap membereskan pakaian kotor yang setumpuk
gunung.

Sebagian adalah t-shirt, kaos kaki, dan celana dalam Sorata,


sebagiannya lagi adalah pakaian Mashiro, selain piyama dan
kemeja, juga ada kemeja yang tipis, serta pakaian dalam yang
berwarna warni tercampur aduk semua, benda yang mesti di cuci
pakai tangan harus pakai tangan cucinya, yang lain bisa
diserahkan pada mesin cuci.

Setelah selesai mencuci langsung dibawa jemur.

Sorata menggantung celana dalam Mashiro yang berwarna biru


muda ditiang jemuran, sambil berbicara sendiri :

“Setahun yang lalu, hanya melihatnya saja bakal merasa malu.”


Sekali ketemu pakaian dalam akan langsung berkeringat di
sekujur tubuh, jantung berdebar tak karuan.

Bagaimana dengan sekarang?

Menggenggam ditangan, mencuci, dibawa jemur, melipatnya


dengan rapi, bahkan sampai menaruh di tangan Mashiro sambil
berkata : “Hari ini pakai yang ini”, juga bisa bersikap secara alami.

Sudah ada perkembangan pada dirinya sendiri.

Tidak, hanya saja sudah terbiasa.

Setelah selesai menjemur semua pakaian yang dicuci, Sorata


membawa kuas roll menaiki tangga menuju ke lantai 2.

Bukan ke kamar nomor 202 yang saat ini ada Mashiro yang
sedang tidur, tetapi ke kamar sebelahnya, kamar nomor 201 yang
sekarang ini merupakan kamar kosong.

Kamar luas yang tidak ada barang apapun.

Meski memiliki pola yang sama dengan kamar Sorata, tapi terlihat
begitu lapang.

Membuka jendela, angin hangat musim semi bertiup masuk.


Dengan pohon sakura yang berada disamping, helai kelopak
bungan yang perlahan berjatuhan tersebar menari di udara.

“Sudah musim semi ya.”


Sorata dengan membawa perasaan yang mendalam, mulai
mengulingkan kuas roll dilantai, dengan teliti membersihkan
setiap sudut kamar.

----- Agar kapanpun siap ditinggali, jadi harus tetap menjaga


kebersihan kamar kosong.

Itu merupakan semangat dan perasaan dari seorang kakak kelas


yang berada dikamar tersebut pada 3 bulan yang lalu
mewarisinya kepada Sorata.

Setelah membersihkan kamar nomor 201, kemudian lanjut


membersihkan kamar kosong yang satunya lagi, kamar nomor
103. Sama seperti sebelumnya, dengan teliti membersihkan debu
yang ada disetiap sudut.

Sekali memulai maka akan langsung terfokus pada kerjaan


bersih-bersih, Sorata melanjutkan menyapu dan mengepel di
ruang makan dan koridor, juga tak lupa sekalian menyapu teras
depan.

Setelah selesai bersih-bersih, matahari sudah hampir terbenam,


langit di sebelah barat semburat dengan warna merah.

Mengangkat jemuran yang sudah kering dan membawa kembali


ke kamar, bertumpuk diatas kasur, menggolongkan satu demi
satu yang punya ia sendiri dan yang punya Mashiro, kemudian
baru dilipat dengan rapi.
Sisa sehelai yang terakhir, itu adalah celana dalam Mashiro yang
berwarna putih.

Ketika sedang melipat, Hp pun berbunyi.

Di layar menampilkan nama Mashiro.

“Kenapa?”

“Aku sudah bangun.”

“Kalau dalam situasi seperti saat ini kau masih tidur, itu akan
sangat mengerikan.”

“Aku menunggumu.”

Saat selesai mengatakan itu Mashiro langsung menutup


teleponnya.

“Ah, hallo?!”

Yang merespon hanyalah suara ‘tut.. tut.. tut..’ yang tanpa


emosional.

Sorata menaruh celana dalam yang terakhir ia lipat di atas


pakaian lain, membawa semua pakaian Mashiro yang sudah
dicuci bersih menuju ke kamar nomor 202.

“Aku masuk ya.”

Sorata mengetuk pintu kamar Mashiro, kemudian membukanya.


Meski masih khawatir apa dia akan lanjut menggambar manga
lagi, tetapi terlihat Mashiro sedang berbaring tenang diatas kasur.
Sorata menyalakan lampu, dan berjalan masuk ke dalam kamar.

Tampaknya Mashiro mengeluarkan banyak keringat, kain


kompres masih menempel di atas dahi. Namun, masih terlihat
sedikit rona kemerahan di kedua belah pipi, nafas juga masih
terasa panas.

Sorata menyentuh dahinya, dan ternyata memang masih demam.

“Sudah berkeringat, apa mau gantian pakaian? Kebetulan ada


piyama dan celana dalam.”

Yang penting menaruh pakaian yang sudah dicuci bersih ke


samping kasur dulu.

“Aku mau mandi.”

“Tidak boleh sebelum panasnya turun.”

“Aku ingin mandi.”

“Tidak boleh.”

“Kalau begitu Sorata juga ikut mandi.”

“Bukankah itu hasilnya sama saja mandi?”

“Kau tidak bersedia?”

“Hah?!”
“Tidak bersedia mandi bersama dengan ku?”

“Bu-bukannya tidak bersedia! Cuma itu, umm..... Yang ingin ku


katakan adalah, kalau dilihat dari Shiina yang sedang demam,
seharusnya tidak boleh mandi.”

Karena sudah membayangkan yang tidak-tidak, alhasil nada


bicara juga berubah menjadi sangat aneh.

“Aku tidak bersedia.”

“Kalau begitu dari awal jangan mengajukan tawaran! Buat aku


jadi sekilas membayangkan ‘apa bakal dipaksa terus begini
hingga benar-benar berahkir dengan mandi bersama’ dan yang
lainnya! Bisa tidak jangan mempermainkan hati ku yang murni
ini?!”

“Sudah membayangkannya?”

“Tidak perlu memperdalam topik itu.”

“Membayangkan tubuh ku.”

“Tidak sampai sedetail itu!”

“Tidak ada ya?”

“Apa kau berharap ada?”

“Tidak ingin dibayangkan.”

“Kalau begitu……”
Saat Sorata hendak berkata “hanya perlu tidak membayangkan
saja ‘kan!”, Mashiro melanjutkan perkataannya.

“Juga tak ingin tidak dibayangkan.”

“Jadi pada akhirnya harus gimana?”

“Suasana hati yang sangat membingungkan.”

Meskipun kena dibayangkan akan terasa sangat malu, tapi jika


tidak begitu, malah jadi seakan orang lain tidak tertarik, sehingga
juga tidak bisa merasa senang. Sungguh membingungkan.

“Jika diartikan dengan cara lain, itu memang bisa dianggap


sebagai sebuah jawaban!”

“Jadi, mau mandi.”

“Kata penghubungnya tidak tepat, ‘jadi’ nya ditolak. Pokoknya


pakai handuk mengelap badan saja, habis itu langsung ganti
pakaian.”

Sorata menaruh handuk dan pakaian yang sudah dicuci bersih ke


samping bantal.

“……”

Tapi tampaknya Mashiro tidak berkeinginan bangun.

Hanya terus menatapi Sorata.

“Umm, nona Shiina?”


“Kenapa?”

“Pakaian gantinya sudah saya taruh disini, jangan lupa diganti


ya? Saya permisi keluar dulu.”

“Hei, Sorata.”

“Hm?”

Dengan tatapan yang memukau Mashiro menatap Sorata.

“Sorata bantu aku ganti.”

“Apaaa?!”

Sebenarnya apa yang dikatakan Mashiro barusan?

“Sorata lepasin.”

“Hah?! Kok jadi aku yang lepasin pakaian?!”

Yang Mashiro katakan sekarang tidak sama dengan yang


sebelumnya.

“Sorata bantu aku lepasin.”

“A-apa kau tahu apa yang kau bicarakan?”

“Karena……”

“Karena apa?”

“……”
Mashiro membuang nafas yang panas, seakan menunjukkan
kalau mau berbiaca saja terasa sulit.

“Shiina?”

Sorata meminta ia meneruskan perkataannya, tapi tampaknya ia


merasa tidak nyaman dengan posisi badannya, lalu ia
membalikan badan dan berbaring tengkurap. Meletakkan dagu di
atas bantal, sambil melakukan pernapasan dengan menaik
turunkan bahu.

“Seluruh badan lemas.”

“Yah, soalnya kau kan lagi demam.”

“Tidak ingin bergerak.”

“Aku mengerti itu.”

“Sangat merepotkan.”

“Iya, aku juga bisa mengerti itu.”

Ketika tidak enak badan, tidak peduli mau itu hal yang sepele
sekalipun tetap tidak ingin bergerak.

“Jadi, Sorata bantu aku lepasin.”

“Kalau itu aku tak ngerti! Alasan yang sangat tidak masuk akal!”

“Buka kancing piyamanya.”

“Aku bukan sedang menanyai mu langkah-langkahnya!”


“Di buka satu persatu.”

“Aku sudah hampir mau mulai membayangkan gambaran itu, jadi


tolong hentikan!”

“Pakai jari Sorata.”

“Kan sudah ku bilang jangan diteruskan lagi!”

“Celana pakai tarik saja sudah bisa.”

“Jika kau juga bisa mendengarkan perkataan ku sebentar, aku


akan sangat senang!”

“Celana dalam juga sama.”

“Kalau begitu, bukankah itu sudah telanjang sepenuhnya?!”

“Iya, melepas semuanya.”

“Disaat yang seperti ini juga masih mempermasalahkan gaya


bahasa?!”

“Hu’um.”

Mashiro memeluk erat bantal, dan mengeluarkan suara manja.

“Sorata mikirin yang nggak-nggak.”

“Aku mengatakan itu demi kebaikan kita berdua lho! Coba kau
pikir lagi? Seandainya aku melepaskan piyama mu, maka aku
akan melihat banyak hal, bisa jadi masalah nantinya.”
“Sorata mesum.”

“Itu kau yang bilang sendiri!”

“Tapi jangan khawatir, aku punya rencana.”

“Ouh, kalau begitu aku akan coba dengar dulu.”

Saat ini, Mashiro membalikkan badan dari posisi tengkurap,


setengah wajahnya disembunyikan dengan bantal, dan menatap
lurus ke Sorata. Entah kenapa seakan merasa suasana sedikit
tegang.

“Sorata.”

“A-apaan?”

Melihat Mashiro yang sedang lurus menatapnya, hati Sorata


mulai deg-degan.

“Aku ingin minta tolong.”

“Ada masalah yang bisa ku bantu, tapi ada pula hal yang tidak
bisa aku lakukan ya.”

Sorata memindahkan tatapannya ke arah lain, dan mengaktifkan


sistem pertahanannya.

Meski sudah melakukan itu, tidak akan ada artinya kalau Mashiro
belum mengatakan apapun.

“Matikan lampunya.”
“Kalau begitu, bukankah akan semakin mirip dengan suasana
itu?!”

“Lampu matikan.”

Seolah mendengar sebuah suara bisikan, sehingga membuat hati


semakin deg-degan. Tentu saja Sorata sangat tahu kalau Mashiro
tidak ada maksud untuk seperti itu, tadi juga barusan dibohongin.
Mungkin karena dia sedang demam dan tubuhnya jadi lemas, jadi
tidak ingin menganti pakaian seorang. Meski berkata seperti itu,
tetap saja Sorata belum sebegitu berpengalaman untuk bisa
menghadapi situasi seperti ini.

“Kalau terang gitu, aku juga tidak mau.”

Mashiro menyembunyikan wajahnya kedalam bantal, dan


menambahkan kalimat ini.

“Itu sangat memalukan.”

“Orang yang setiap hari mesti ku siapkan celana dalam untuknya


masih berani berkata begitu!”

Perkataan tersebut bermaksud untuk mengubah suasana hati


dan menutupi rasa malu. Namun, situasi sekarang ini bukan
hanya dengan sepatah kata saja bisa mengubahnya.

“……”
Mashiro masih tetap berbaring dikasur, menunggu Sorata
mematikan lampu.

Tidak ada jalan keluar lagi. Berhenti akan jadi masalah, maju juga
jadi masalah. Meski sudah terkejut setengah mati, Sorata tetap
masih tidak bisa menghadapi suasana yang di depan matanya,
dengan hati yang tidak tenang ia memutuskan untuk maju.

“A-aku mengerti! Matiin lampunya ‘kan!

Dia berdiri dan menaruh jarinya ke saklar.

“Aku matikan sekarang ya!”

Sorata dengan nada bicara yang aneh memberitahukan Mashiro.

“Hn.”

Setelah mendengar jawaban, dia mematikan lampunya.

Sepertinya tadi saat melakukan percakapan matahari sudah


terbenam, dengan mematikan sumber penerangan di dalam
kamar, area sekeliling sekejap menjadi gelap gulita.

Tapi sepintas masih bisa menentukan arah bayangan yang ada di


kamar.

Sorata kembali ke samping kasur, meminta Mashiro untuk


bangun dan duduk dikasur.
Sorata berada di belakangnya dengan posisi kaki berlutut
menghadapi tantangan yang didepan, bagaimanapun juga ia
masih belum ada keberanian untuk melepaskan piyama Mashiro
dengan saling berhadapan.

“Ka-kalau begitu, aku buka ya.”

“Terserah Sorata mau di gimanain.”

“Kok kau masih bisa berbicara seperti itu di saat yang seperti ini
juga!”

Setelah menarik nafas dalam-dalam, Sorata menjulurkan kedua


tangannya kedepan tubuh Mashiro, melewati bahu Mashiro,
meraba dengan jari untuk memastikan posisi kancing yang
pertama, tangan yang bisa merasakan nafas Mashiro terasa
sangat geli yang tak tertahankan.

“Sorata.”

“A-ada apa?”

“Hembusan nafas sangat geli.”

Tampaknya nafas Sorata juga mengenai telinga Mashiro. Setelah


mendengar itu, Sorata baru menyadari nafasnya yang sedang
tergesa-gesa, dan mendadak wajahnya jadi merah semua.

“Maaf.”
“Tidak perlu maaf.”

“Ka-kalau begitu kau tahan sebentar dulu ya? Soalnya sekarang


hanya berbicara dengan ku saja bisa membuat aku gemetar
ketakutan.”

Setelah bersusah payah, akhirnya kancing yang pertama terbuka,


dan dengan cepat kancing yang kedua juga sudah ditaklukkan.
Namun, saat Sorata mau mengarahkan tangannya ke kancing
yang ketiga, pandangannya terfokus pada bagian atas piyama
Mashiro yang telah terbuka. Hanya melalui cahaya lampu jalan
yang terpancar masuk menembus jendela, sudah bisa dengan
jelas merasakan kulit putih nan mulus serta postur tubuh yang
tidak dimiliki oleh laki-laki.

Sekarang bukan waktunya bernafsu pada Mashiro yang sedang


demam, tetapi menghadapi godaan yang seperti itu, tidak akan
mudah bisa mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Sorata?”

Mashiro membalikan kepalanya, wajahnya tepat didepan mata


Sorata.

“I-ini tidak seperti yang kau bayangkan!”

Disaat Sorata berkata seperti itu, sebelah piyama Mashiro


meluncur turun dari bahu, dari tengkuk sampai punggung,
mendadak area yang kelihatan kulit putih nan mulusnya itu
menjadi luas. Saking paniknya Sorata sampai tidak sanggup
mengeluarkan sepatah katapun.

“Masih ada kancing yang belum terbuka.”

Mashiro mengatakan itu dengan nada yang rendah, lalu


mengalihkan pandangannya ke lantai, dan menarik piyama yang
jatuh kembali ke pundak.

“……”

Jangan-jangan karena merasa malu.

“…… Cepat sedikit.”

Dengan suara yang agak serak.

“Ah, hn.”

Sorata menggelengkan kepala dengan keras untuk membuang


pikiran yang tidak-tidak.

Kemudian, langsung membuka semua kancing yang tersisa.

Ia membuang nafas panjang.

“Um…… Kalau begitu, aku lepasin ya.”

“…… Hn.”

Sorata bersiap menarik lepas piyama dari belakang.


“…… Jangan.”

Baru melepas sampai ke bahu, Mashiro mengatakan itu dengan


nada yang rendah, lalu tidak bisa ditarik lagi.

“Masih belum boleh……”

Mashiro mengatakan itu lagi, dan menggunakan kedua tangan


yang masih berada di dalam lengan baju menutupi bagian atas
tubuh yang terbuka.

Bagian dada yang tertekan terlihat lebih berisi, terdapat celah


yang bisa melihat kulit yang lembut, begitulah yang terlihat di
mata Sorata.

Terlebih lagi, Mashiro yang bertingkah layaknya gadis normal,


membuat tekanan darah Sorata menjadi tinggi, seketika kepala
merasa pusing.

“Ma-maaf!”

Hanya kata itu yang dapat terucap dari mulut. Meskipun sekarang
ia bukan sedang melakukan sesuatu yang buruk……

“Hn.”

Mungkin karena Mashiro sedang menundukkan kepala, jawaban


darinya terdengar tidak begitu jelas.

“……”
“……”

Disaat situasi dimana keduanya tidak bisa bergerak, kian terasa


keheningan yang mendalam.

“Um, e, a-aku bilang……”


Sorata berusaha untuk mengatakan sesuatu, tapi ia tidak mampu
mengucapkan sepatah katapun.

Hati deg-degan tak karuan, suara yang terdengar hanya itu.


Nafas terasa sesak, penglihatan menjadi sempit, didalam mata
Sorata hanya bisa melihat Mashiro.

Pikiran jadi kacau balau. Namun, mengingat kalau sedang


mempertaruhkan nama baik, ia berusaha untuk menahan
nafsunya.

Saat di ambang puncak kegelisahan. Yang memecahkan situasi


tersebut adalah sebuah suara ketukan pintu.

“Kanda-kun, apa kau ada didalam?”

Itu adalah suara Nanami.

“I-iya aku disini.”

Sorata yang sudah kehilangan kemampuan untuk berpikir secara


tenang dengan reflektif menjawabnya begitu saja, beberapa saat
kemudian baru menyadari ‘gawat’ dan merasa sudah terlambat
untuk menyesal sekarang.

“Aku masuk ya.”

“Tu-tunggu sebentar!”

Disaat Sorata mencoba menghentikan, pintu sudah terbuka.


“Bagaimana keadaan Mashiro sekaa……rang?!”

Nanami yang masih memegang pegangan pintu seketika


membatu.

“……”

“……”

Menatap Sorata dan Mashiro, mengedipkan mata beberapa kali,


bibir membeku dalam bentuk saat pengucapan ‘ah’, lalu seluruh
tubuh mulai gemetaran.

“I-ini tidak seperti yang kau pikirkan!”

“Ma……”

“Ma?”

“Maaf menggangu!”

Nanami tidak mendengarkan penjelasan apapun, langsung


menutup pintu dengan kuat.

“Ah~~ tunggu bentar, ini serius tunggu sebentar! Kau salah


paham!”

Sorata berusaha keras memanggil sisi lain dari pintu.

Namun tidak ada respon dari Nanami. Itu tidak mengherankan,


sebab bahkan Sorata sendiri juga ragu kalau penjelasannya akan
bisa meyakinkannya.
Situasi sudah menjelaskan semuanya.

Didalam kamar yang remang-remang, Sorata dan Mashiro


berduaan diatas ranjang, piyama Mashiro juga sudah terbuka
sampai setengah, dan orang yang sedang mencoba melepas
pakaiannya adalah Sorata.

Tidak peduli siapapun yang melihatnya, tetap terlihat seperti


adegan itu.

“Ta-tak bisa dibiarkan!”

Nanami kembali membuka pintu dan berjalan masuk ke kamar.

“Kan…… Kanda-kun!”

Jarinya menunjuk ke Sorata.

“I-iya.”

Jawaban refleks dari Sorata, disaat lawan bicara belum membuka


mulut sudah berlutut diatas ranjang.

“Me-meskipun sampai sebegitu bergairah kau juga tidak boleh


melakukan hal itu! Mashiro masih demam tau! Ba-bagaimanapun
juga harusnya kau tahan dulu tunggu sampai dia sudah sembuh
baru boleh melakukan hal seperti itu!”

“Tunggu, tunggu! Bukan seperti itu!”

“Tak perlu mencari alasan!”


“Bukan, kau dengarkan aku dulu, ini benar-benar
kesalahpahaman. Karena Shiina bilang dia keringatan, aku cuma
membantu dia mengganti pakaian saja! Dia bilang seluruh tubuh
masih terasa tak bertenaga, tak mampu mengganti pakaian
sendiri! Tidak baik’kan kalau habis keringatan enggak ganti
pakaian? Benar’kan, tidak baik kalau dibiarkan begitu?”

Dengan menahan nafas dia mengatakan itu semua sekaligus.

“……Huh?”

Nanami mengeluarkan suara seperti sedang kebingungan.

“Hei, Shiina? Betul begitu ’kan?”

“Iya.”

“Be-benerkah?”

Nanami bertanya pada Mashiro untuk memastikan.

“Iya, bener kok.”

Mashiro meniru logat Kansai Nanami.

“Ta-tapi kenapa tidak menyalakan lampu……”

“I-itu karena…… Shiina bilang dia malu, ti-tidak ada maksud yang
lain kok!”

“Kalau Mashiro, memang ada kemungkinan akan begitu……


Eh~~……”
Seakan sudah mengerti dengan situasi sekarang, pandangan
Nanami menjadi kabur, mungkin merasa malu karena sudah
salah sangka.

“Jadi artinya, aku sudah salah paham?”

“Iya.”

“Nanami pikir apa?”

“Ya, i-itu……”

Wajah Nanami memerah dan omongannya jadi berbelit-belit.

“Itu?”

Mashiro bersih keras dan terus bertanya.

“Ti-tidak ada! Mashiro ganti pakaian baru sampai setengah ‘kan!


Sisanya biar aku yang urus, Kanda-kun cepat keluar sana.”

Nanami memaksa Sorata berdiri, dan terus mendorongnya


keluar.

“Kok marahnya sama aku?”

“Si-siapa suruh kau melakukan hal yang sudah membuat orang


salah paham. A-aku benar-benar terkejut tau.”

“Aku juga kaget banget lho……”

Itu sungguh adalah kata hati yang sebenarnya.


Bagian 4
“Ah…… Benar-benar sangat melelahkan.”

Menuruni tangga sendiri, sesampai di ruang makan, Sorata


bersantai duduk dikursi. Meregangkan seluruh badan, bahu dan
leher mengeluarkan suara ‘krek-krek’.

“Mungkin merasa enak dilihat kalik ya?”

Bersama dengan suara, yang muncul adalah Nanami, tampaknya


sudah selesai membantu Mashiro ganti pakaian.

Dimeja yang bundar Nanami duduk tepat didepan Sorata, lurus


menatap kearahnya, pandangan matanya seolah berkata
“pokoknya harus menjelaskan semuanya pada ku”.

“Ya-yang tadi itu harus menyebutnya tak bisa menolak, atau bisa
dibilang memang dia sendiri yang meminta pada ku, jadi mau
tidak mau ‘kan.”

“Kulit Mashiro pasti putih merona ya?”

“Hn, itu memang……”

“Ouh~~ ternyata kau memang melihatnya dengan pandangan


seperti itu.”

Nanami menatap lurus ke Sorata dengan pandangan


mencemooh.
“Itu tidak benar! Menolak keras perkataan yang memancing!”

“Kanda-kun mesum.”

“Tidak, tidak, gini ‘nih contoh anak laki-laki SMA yang normal.”

Sorata mencoba membawa pembicaraan mengarah ketopik yang


umum.

“Tiap hari pikirannya bejat mulu!”

“Mana ada tiap hari mikir yang begituan terus.”

“Meski tidak tiap hari, tapi bakal nafsuan sama gadis yang sedang
demam.”

“I-itu naluri alami.”

“Sebagai seorang manusia, itu merupakan sebuah masalah ‘kan.”

“Mengenai itu, aku benar-benar tak bisa menyanggahnya.”

Sorata berdiam mengintrospeksi diri, dan Nanami hanya


mendesah pelan.

“Masa bodoh ah.”

“Kalau begitu, bisa tidak kau berhenti melihat ku dengan


pandangan seperti itu?”

Nanami tetap menggunakan pandangan seperti mencela


memandangi Sorata.
“Dari dulu aku memang begini.”

“Tidak, mana ada begitu. Biasanya terasa lebih……”

“Lebih gimana?”

“Umm…… terasa lebih baik?”

Karena terlalu berhati-hati dalam memilih kata-kata, alhasil jadi


asal jawab begitu saja.

“Walau aku memang tidak terlalu berharap.”

Berbeda dengan yang dikatakan, Nanami membuang napas kuat-


kuat.

Tak lama kemudian, Hp Sorata yang berada di meja bundar


berdering.

Itu adalah panggilan dari Mashiro. Sudah keberapa kalinya untuk


hari ini?

Tanpa berkata apapun, Sorata langsung mengambil Hpnya dan


berdiri.

“Hanya dengan sekali misscall saja langsung pergi.”

Nanami mengomel begitu.

“Ini juga pasti bukan masalah yang penting.”

“Aku juga ikut demam aja kalik ya.”


“Hn?”

“Tidak ada.”

Nanami yang terlihat dalam suasana hati yang tidak enak


menatap Sorata meninggalkan ruang makan.

“Shiina, ada apa?”

Masuk kedalam kamar Mashiro, Sorata berduduk ditepi kasur.

“Aku tidak bisa tidur.”

“Kalau itu membahas dengan ku juga sepertinya tidak akan


membantu.”

“Malam ini Sorata tidak membiarkan ku tidur.”

“Bisa tidak jangan menambahkan ‘malam ini’! Itu membuat aku


jadi mulai membayangkan malam yang bergairah!”

“Sorata sangat bergairah ya.”

“Pada dasarnya, aku belum melakukan apapun ‘kan?”

“Setelah ini baru akan melakukan ya?”

“Gila kali aku kalau sampai melakukan itu! Ngomong-ngomong,


pembicaraan kayak apa ini……?”

Tak sampai semenit memasuki kamar sudah lelah.

“Sorata.”
“Ada masalah apa?”

Sorata menanggapi dengan tidak terlalu menghiraukannya.

“Ceritakan sesuatu dong.”

“Cerita sesuatu itu sesuatu yang seperti apa?”

“Aku pikir sebentar, misalnya…… Cerita yang membosankan.”

“Kau berencana menggunakan itu untuk membuat mu agar


tertidur?”

“Aku berharap pada mu.”

“Bahkan diharapakan sekalipun aku tidak merasa senang!


Lagian, aku itu bukan artis pendongeng, tidak punya sesuatu
yang bisa diceritakan pada orang.”

“Benar-benar tidak berguna ya.”

“Apa aku boleh marah? Boleh kali ya?”

“Atau, cerita yang memalukan juga boleh.”

“Kalau yang itu lebih tidak ingin lagi!”

“Kenapa?”

“Tentu saja karena itu sangat memalukan!”

“Atau enggak, cerita tentang cinta pertama.”

“Hah?!”
Menghadapi usulan yang tak terduga, Sorata hanya bisa
tercengang, seketika diam membisu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
dilihat dari arus pembicaraan memang ada sesuatu yang janggal.

“Itu sih cuma mengubah hal yang memalukan menjadi lebih


spesifik saja ‘kan!”

“Sebelum mendengarnya, aku tidak akan tidur.”

“Apa tidak bisa menyisakan pilihan untuk ku?”

“……”

Baru saja selesai bicara, Mashiro langsung berdiam menunggu


Sorata memulai ceritanya. Dengan situasi yang seperti sekarang,
berkata apapun tidak ada gunanya lagi.

Sorata meneguhkan hatinya…… Disaat sudah hampir menyerah,


ia pun mulai bercerita :

“Itu adalah saat aku masih ditaman kanak-kanak, ada seorang


pengasuh yang baru masuk……”

“Hu…… Huu……”

“……”

Mungkin hanya perasaan ia sendiri, dari tadi mendengar suara


nafas ketika terlelap……

“Hu…… Huu……”
Bukan perasaannya saja.

“Apa sebegitu membosankan sampai bisa membuat mu langsung


tertidur?!”

“……Hng, Sorata berisik.”

“Ah! Gawat!”

Setelah bersusah payah membuat Mashiro tertidur, gara-gara tadi


berkata dengan suara yang keras, ia terbangun lagi.

“Sorata, ulang.”

Ulang apanya? Benar-benar membingungkan.

“Tiba-tiba disuruh ulang gitu buat aku jadi bingung banget, bisa
tolong kau jelaskan apanya yang diulang?”

“Ayano bilang, cinta pertama ketika ditaman kanak-kanak itu


namanya cinta monyet.”

“Ternyata Lida-san itu mulut besar juga!”

“Aku maunya kisah cinta yang lebih realistis.”

“SD kelas 5 gitu?”

“Itu dia.”

“Sombong banget kau ini ya.”

“Coba ceritakan.”
“Tak boleh langsung tertidur lagi ya? Salah, kau sudah boleh tidur
sekarang!”

Lebih baik membiarkannya tidur lebih awal, meski tidak bisa


merasa lega……

“Aku sangat tertarik dengan cinta pertama Sorata.”

Mashiro mengeluarkan tangannya dari selimut.

Sorata menggunakan pandangannya seolah bertanya apa yang


sedang ia lakukan.

“Genggam tanganku.”

Mashiro berkata begitu.

“Ada hal yang membuat ku tak habis pikir, kau itu benar-benar
cerdas ya.”

“Genggam tanganku.”

Mashiro mengatakan itu sekali lagi, Sorata tak bisa menolaknya,


lalu dengan lembut Sorata memegang tangannya.

“Sekarang, coba ceritakan.”

“Iya, baiklah…… Itu adalah ketika aku masih di SD kelas 5


sepertinya. Meski tidak begitu tahu melalui apa mendapatkan
informasi itu, tapi pada suatu hari saat dalam perjalanan pulang
dari sekolah, teman sekelasku yang memberitahuku. Dia bilang
Hoshikawa yang di kelas A kayaknya…… Umm…… Me,
menyukaiku. Karena kami beda kelas, dan tak pernah bicara satu
sama lain, jadi pada sebelumnya itu aku benar-benar tidak
memperhatikannya…… Setelah mendengar informasi itu, tanpa
sadar aku sudah mulai menyadari keberadaannya. Pada awalnya
aku pikir ini pasti bohong ‘kan? Tapi setiap kali berpapasan saat
melewati lorong, mata kami akan saling bertatapan. Saat itu aku
bermain sepak bola, setiap ada pertandingan, Hoshikawa pasti
datang…… Dan ketika terus mengulangi hal-hal tersebut disaat
yang sama, aku jadi sangat tertarik padanya, saat tersadar, su,
umm…… sudah jatuh cinta padanya. Haha……”

Tawa diakhir itu hanya untuk menyembunyikan rasa malunya.

“Pada akhirnya, setelah lulus dari SD, Hoshikawa masuk ke SMP


swasta, maka dari itu sebenarnya belum terjadi apapun diantara
kami. Aku juga sampai sekarang baru mengingat kembali tentang
hal ini……”

Wajah panas memerah seperti terbakar.

Saat ini benar-benar tidak punya keberanian untuk mengintip


kearah Mashiro.

“I-itu, cinta pertama Shiina itu kapan?”

Sorata merasa sepertinya sekarang bisa mengatakannya,


bertekad untuk bertanya kembali padanya.
“Hu~~”

Yang menjawab hanya suara nafas saat tertidur.

“……”

Sorata berusaha menahan keinginan untuk mengeluh. Kalau


sampai membangunkan Mashiro lagi, itu berarti sungguh tidak
belajar dari kesalahan.

“Kenapa aku harus sampai serius begitu menceritakan kisah cinta


pertama ya?”

“Sorata……”

“Wuoh……”

Tadinya berpikir sudah membangunkan Mashiro lagi, tetapi dia


masih tertidur lelap. Sepertinya sedang mengigau.

“Yang itu…… tidak boleh ya……”

“Yang itu ‘tuh apa……”

Sorata membalas ngigauannya, sambil mengelus-elus dahinya.


Dibandingkan tadi pagi, demamnya sudah turun banyak,
panasnya sudah tak begitu terasa.

Dengan begitu, besok pagi seharusnya sudah pulih kembali.

Pokoknya, kerja keras seharian ini akhirnya terbayarkan. Sorata


berpikir begitu dan merasa lega.
Dengan pelan-pelan ia memindahkan tangan Mashiro yang masih
menggenggam tanganya, dan memasukkan kembali kedalam
selimut.

Bahkan ingin melepas juga tidak ada gunanya, karena Mashiro


menggenggam erat-erat. Kalau dipaksa lepas sehingga
membangunkannya lagi, itu benar-benar gawat.

“…… Huh? Jadi aku harus tetap seperti ini ya?”

Untuk pertanyaan itu, tidak ada orang yang bisa menjawab.

“Apa boleh buat……”

Sorata tak berdaya, ia sendiri yang membuat kesimpulan seperti


itu.
Bagian 5
Keesokan paginya, Sorata terbangun oleh gerakan tubuh
seseorang.

Langsung sadar kalau ini bukan kamarnya sendiri, tampaknya


dari semalam sudah begitu, menyandarkan kepala keatas kasur
Mashiro dan tertidur begitu saja. Karena membungkuk
semalaman, sehingga pinggang terasa nyeri.

Sorata berdiri, dan langsung bertatapan mata dengan Mashiro


yang duduk diatas kasur.

“Selamat pagi.”

“Pa, pagi…… Demamnya sudah sembuh?”

“Tidak, seluruh badan lemas tak bertenaga.”

“Coba aku lihat.”

Sorata menjulurkan tangannya mengarah ke dahi Mashiro.


Panas, benar-benar masih terasa panas. Dan parahnya lagi,
perasaan malah lebih panas dari semalam, pipi juga jadi merah.

“Ini, termometer.”

Mashiro mengambil termometer yang Sorata berikan, dan


memasukan kedalam piyama lewat kerah. Sorata langsung
membalikan mukanya, untuk mencegah pandangan melayang ke
arah belahan dada putih yang bisa terlihat dengan jelas.

Sudah 5 menit menunggu.

“Sudah diukur.”

Sorata melihat ke skala termometer.

38.2 derajat Celsius.

“Bahkan lebih tinggi dari semalam?!”

“Semalam?”

Dari nadanya kedengaran seakan sedang bertanya ‘ada apa


dengan semalam?’.

“Iya, semalam tanpa disadari kau itu mempermainkan akal pikiran


ku!”

“Semalam aku ‘kan cuma tidur seharian.”

“Tapi perkataan mu tadi itu sangat gugup lho!”

“Semalam tidak terjadi apapun.”

Mashiro mengatakan itu dengan tegas, dari ekspresinya tidak


seperti sedang berbohong.

“…… Kau benar-benar tidak ingat dengan apa yang terjadi


semalam?”
Menggendongnya kembali kamar ; ciuman tidak langsung ;
mematikan lampu dan membantu dia ganti pakaian, akibatnya
jadi terlihat seperti adengan itu…… Karena demam dan kepala
kliyengan, alhasil jadi tidak ingat itu semua?

“Semalam……”

“Coba kau pikir-pikir kembali, ada tidak muncul gambaran yang


sampai membuat ku kerepotan gitu?”

“Kalau dibilang begitu……”

“Oh! Sudah ingat ya!”

“Sorata sepanjang malam bersama dengan ku, tapi apapun tidak


dilakukan.”

“Jadi membuat sebuah kesalahan akan lebih baik gitu ya! Kau itu
selalu saja berbicara seperti itu untuk mempermainkan ku!

Kemudian suara ketukan di pintu menghentikan pembicaraan


mereka.

Pintu terbuka dari luar, yang terlihat adalah Nanami.

“Mashiro, bagaimana keadaanmu sekarang?”

“Usaha perawatan ku sia-sia, bahkan lebih parah dari


semalam……”

“Begitu ya…… Haciu!”


Apa hanya perasaan ia sendiri? Sepertinya Nanami tadi ada
bersin sekali.

“……”

“……”

“Um, Aoyama-san?”

“Bukan itu…… Haciu!”

Tampaknya bukan perasaannya saja.

“Bahkan sedikit harapan yang tersisa untuk memastikan juga


sudah tidak ada, harus gimana ini?!”

Pagi-pagi rasa lelah sudah mulai menghampiri.

“Haciu!”

Kali ini mau membuat alibi juga sudah terlambat, itu adalah bersin
yang terlihat jelas.

“Aku juga mulai sakit kepala……”

“Sorata.”

Mashiro memanggil, Sorata berbalik menghadap ke kasur.

“Ada apa……”

“Urusan ku untuk kedepannya juga ku serahkan padamu.”

“Jangan melemparkan semua urusan mu begitu saja.”


“Tidak boleh ya?”

“Kau juga harus mikirin kecapekan ku yang mesti merawat mu


dong!”

“Tidak akan ada masalah, Sorata.”

“Coba katakan, berdasarkan apa bisa seperti itu?”

“Karena, tak berbeda jauh dengan biasanya ‘kan.”

Mashiro menjawab dengan ekspresi yang serius.

“Sialan! Memang benar begitu.”

Saat Sorata berkata seperti itu, Nanami sedang menarik ingus


disampingnya.

“Haciu!”

Itu adalah bersin yang keempat kalinya, sudah tidak ada yang
perlu diragukan lagi.

“Kalau dipikir kembali, kondisi yang bahkan lebih parah dari


semalam, aku benar-benar tidak bisa menerimanya.”

Catatan hari ini di Sakurasou sebagai berikut.

----- Dengan begitu, liburan musim semi Sorata berakhir


bersamaan dengan demam.
Bab 4
Musim Seminya Aoyama Nanami dan
Para Gadis

Kenapa setiap sekelas rasanya seperti ingin menangis saja ?

Dengan hanya duduk disampingnya, bisa membuatku tersenyum


bahagia……

Padahal ingin selalu berada di dekatnya, tapi tiap berada di


sampingnya rasanya sesak……

Dan mengapa semua ini terjadi ?

……..ini pasti karena aku menyukainya.


Bagian 1
Datangnya musim semi yang ditandai dengan beterbangannya
bunga sakura.

Tanggal 8 bulan April, SMA yang berada dekat Universitas Seni


Suimei…….hari pertama semester pertama di Suiko.

Di upacara pembukaan sudah dengar kepala sekolah mengoceh


terus tentang ‘kehidupan SMA tahun terakhir anak kelas 3’,
mengenai itu Nanami dengan sedikit tersadar bahwa dia sudah
menjadi kelas 3.

Benar , mulai hari ini sudah kelas 3. Seperti yang dibilang kepala
sekolah, kehidupan SMA tinggal sekitar setahun lagi. Walau tidak
begitu cepat, tapi ini juga tidak begitu lama.

Bulan Maret tahun depan akan lulus dari Suiko, walaupun


sekarang belum terbayang seperti apakah saat lulus nanti. Tapi
hari-hari terus berjalan mendekati tanggal kelulusan.

Karena begitulah, Nanami ingin melewati 1 tahun yang tidak dia


sesali. Dengan tujuan menjadi pengisi suara, impian masa
depan……….juga persoalan cinta.

“Baguslah, Nanami.”
Setelah upacara pembukaan selesai, memasuki kelas 3-1 yang
baru saja diumumkan hari ini, Takasaki Mayu yang
mengatakannya sambil memegang tangan Aoyama. Rambut
yang sedikit pendek dan bola mata yang besar, dengan nakal
menatap ke Nanami yang terkejut.

“Apa yang kau katakan?”

Walau Nanami tahu maksudnya karena sekelas dengan laki laki


yang disukainya itu, tapi Nanami pura pura tidak tahu.

“Ah lagi, sikapnya selalu seperti itu.”

Mayu yang menutupi mulutnya dengan tangannya sedang


tertawa dengan wajah yang jahat. Dengan badan yang paling
kecil di kelas ini, walau sudah kelas 3 tapi memiliki wajah yang
seperti anak kecil, tingkah Mayu yang tadi sangat coock
dengannya.

Pandangan Mayu dengan segera pindah ke seorang laki-laki


yang sedang berada di depan untuk menentukan bangkunya. Dia
tidak begitu tinggi tapi juga tidak begitu pendek, ukuran tubuhnya
juga biasa-biasa saja, sedikit kurus. Bukanlah seorang pemain
utama di klub bisbol, juga bukan ketua klub sepak bola, dia
hanyalah seorang siswa SMA yang amat sangat normal,
namanya Kanda Sorata.
Sorata menguap dengan besar, mengambil hasil undian tempat
duduk dan mencari tempat duduknya.

“Hn……..tidak begitu buruk juga sih.”

“Haiya haiya, akhirnya Nanami tumbuh dewasa juga.”

“Mananya tumbuh dewasa ?”

“Apa kau lupa tahun lalu kau dengan tidak jujur mengatakan :
‘Ka-kalaupun tidak sekelas juga tidak apa apa.’”

“I-itu, hn……..memang pernah si aku berkata begitu.”

“Tapi ya~~sekelas 3 tahun secara berturut turut , jangan-jangan


ini merupakan tadir benang merah yang saling mengikat nih?”

“Kalau mau omong begitu , bukankah Mayu dan Yayoi juga diikat
oleh takdir benang merah?”

Nanami membalas Mayu dengan dingin.

Yang sekelas selama 3 tahun berturut-turut bukan hanya Sorata


saja. Mayu yang sampai sekarang masih memegang tangan
Aoyama, juga Yayoi yang dari tadi berdiri di belakang mereka
juga. Kalau ingin bilang Nanami dan Sorata saling terikat oleh
takdir benag merah, kalau begitu Mayu dan Yayoi juga.

“Tenang saja, Kanda-kun bukan tipeku.”


“Bagaimanapun saat upacara pembukaan tadi, bukannya kau
dengan melamun mengatakan ‘mungkin masih bisa………’ ?

Yayoi yang dari tadi tidak berbicara akhirnya ikut campur juga.
Sikapnya yang santai namun serius dan dewasa, ditambah tubuh
yang terlihat bagus, kalau tidak pakai seragam mungkin akan
dikira sudah kuliah, ditambah lagi ototnya yang dia latih di klub
bisbol sangat membuat orang iri.

“I-itu hanya melamun! Juga, bukannya sudah kubilang jangan


katakan pada Nanami!”

Yayoi menerima sebuah tinju dari Mayu. Tapi pukulan lemah


Mayu sepertinya tidak berdampak apa-apa karena badannya
yang kecil itu, Yayoi sama sekali tidak merasa gatal ataupun
sakit, malahan Mayu yang terpental.

“Mayu tetap saja terlihat seperti anak kecil walau sudah kelas 3
ya.”

“Aku pikir karena itulah , Yayoi bilang kau seperti anak kecil.”

“Benar, benar.”

“A~~! Urusanku sama sekali tidak penting! Nah, lihat, tempat


duduk Kanda-kun sudah ditetapkan lho.”

Nanami dipaksa mengalihkan pandangannya ke Sorata, tempat


duduknya itu dekat jendela, itu merupakan urutan kedua bila
dihitung dari belakang, dan yang beruntung, sekarang
didepannya, dibelakang, ataupun disamping masih kosong.

“Nanami harus dapatkan nomor 3 ya!”

Itu merupakan tempat duduk yang berada disamping Sorata.

“Tempat duduk walaupun tidak dekat juga tidak apa-apa.”

“Yakin?”

Mayu menegakkan badannya, dan menatap dekat ke Nanami.

“Cuma berpikir kalau saja bisa duduk disamping pasti bakalan


senang banget.”

Nanami tidak tahu harus melakukan apa, jadinya mengatakan


dengan jujur dengan suara yang kecil.

“Itu dia! Kalau begitu, lebih bersemangat lagi!”

“Mencabut undian dengan semangat ? Yang benar saja…..”

Yayoi mengatakan dengan sikap yang tidak tahan dengan semua


ini.

“Saat seperti ini sih, tentu saja harus mengandalkan itu lho.”

Pandangan Mayu tiba tiba pindah ke tempat lain.

“Apa itu?”

Yayoi dengan tidak berbelas kasihan lanjut bertanya.


“De-dengan penuh percaya diri!”

“Sederhananya, ini sama sekali tidak ada rencana!”

“Ka-kalau tidak , Yayoi memangnya ada rencana?”

“Walaupun tidak bisa dibilang pasti dapat, tapi kalau misalnya aku
dan Mayu dapat tempat duduk yang agak dekat, bukankah kita
tinggal saling tukar tempat duduk secara diam diam? Setidaknya
kesempatannya lebih besar.”

“Itu dia!”

Mayu dengan tidak protes langsung menyetujui saran Yayoi itu.

“Ta-tak usah sampai seperti itu! Ini namanya curang!”

“Curang juga tidak apa! Nanami harus bisa memikirkan


perbedaan antara kau dengan musuhmu!”

“Maksudnya perbedaan ?”

“Shiina-san terlalu imut dan cantik sampai sampai aku merasa ini
curang, setidaknya dewa harus lebih adil.”

“……..itu wajar, kalau ingin dibandingkan dengan Mashiro.


Mungkin aku ini sebaiknya tidak pernah lahir saja.”

“Nanami sudah cukup imut dan cantik, jangan berkata begitu!”

Yayoi berkata sambil berjalan ke depan untuk mengambil undian


tempat duduknya.
“Ah! Padahal aku berencana untuk maju duluan supaya Nanami
bisa berhutang padaku.”

Mayu dengan segera mengejarnya.

“Perkataan jujur seperti ini sebaiknya disimpan di dalam hati saja,


Mayu.”

Nanami juga ikut maju ke depan mengejar bayangan tubuh Mayu


yang kecil itu.

Berjalan ke samping, Yayoi langsung membuka kertas undian


tempat duduknya.

“Maaf ,tempat dudukku berada dekat pintu keluar.”

“Tempat duduk yang bagus …….kalau begitu, selanjutnya


giliranku!”

Mayu melihat ke dalam kotak yang berisi kertas undian itu.

“Aku dapat melihatnya! Ini dia!”

Mayu menunjukkan senyuman yang menandai kemenangan, dan


membuka undiannya itu.

“……….”

Tapi setelah melihat angkanya, Mayu terdiam sejenak.

Nanami dan Yayoi saling menatap sejenak, dan melihat


undiannya Mayu. Angka yang tertulis adalah nomor 10, itu paling
depan…..juga merupakan tempat duduk yang paling dekat
dengan guru saat menjelaskan materi.

“Turut berduka……”

“Yayoi , tukarlah denganku.”

“Kalau Mayu duduk paling depan, bukankah tidak bisa melihat ke


papan tulis karena sakin kecilnya?”

Yayoi menaruh tangannya di atas kepala Mayu. Tinggi badan


mereka kira kira beda 1 kepala, jadi kalau berdiri secara bersama
sama seperti itu, rasanya mereka bukan teman sekelas.

“Bisalah aku melihatnya!”

“Kalau Mayu duduk paling depan bukankah bagus karena tidak


menghalangi orang lain?”

“Ah~~benar, benar juga Yayoi! Apa kau kira aku akan berkata
begitu!”

“Bukannya tadi kau berkata begitu?”

Hubungan mereka sampai sekarang tetap terlihat baik-baik saja.


Dan Nanami sedang bersiap-siap untuk mengambil undiannya itu.

Memutar kepala melihat tempat duduk Sorata, dia sedang melihat


ke luar jendela dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

Tujuan Nanami adalah tempat duduk disampingnya.


Sekali lagi menghadap ke arah kotak yang berisi undian, mulai
terasa tegang.

Jantungnya berdetak sangat cepat.

Dan disekitar bagian kaki mulai merasa kesemutan.

-----semoga bisa dapat nomor 3.

Nanami bukannya berdoa kepada siapa pun, karena sisa


undiannya tinggal sedikit saja, jadi dia merasa setidaknya bisa
mendapat nomor yang ia mau.

Dia sambil membuang napas, mengambil undiannya dan


membukanya dengan pelan-pelan.

Dan setelah melihat hasil undiannya, dengan naluriah


mengeluarkan sebuah suara.

“Ah!”

“Bagaimana?”

Mayu mendekat dengan menempel pada Nanami.

“Ah!”

Lalu , Mayu dan Nanami sama-sama membuka mulut mereka


dengan lebar.

Sampai-sampai Yayoi yang mengecek hasil undian, Nanami


dengan diam, juga mengeluarkan suara yang terkejut.
“Ah!”

Karna undian yang diambil Nanami diatasnya tertulis nomor


3……itu merupakan tempat duduk yang ia inginkan yang berada
disamping Sorata.

“Syukurlah, Nanami! Hebat sekali! Atau harus kubilang, sedikit


jahat! Jangan-jangan memang takdir benang merah saling
mengikat ya?”

Mayu menepuk-nepuk punggung Nanami.

“Sudah, sudah, saatnya menyapa.”

“Tu-tungu sebentar, Mayu, jangan dorong aku.”

Nanami didorong oleh Mayu, dan dengan segera sampai ke


tempat duduknya.

Dengan susah payah menyembunyikan wajahnya yang senang


itu, tapi bagaimanapun walau sudah berusaha ,tetap dapat
terlihat senang diwajahnya.

“Hn? Samping ternyata Aoyama ya.”

Nanami baru duduk, Sorata langsung sadar dan menyapa.


Dengan mukanya yang terlihat santai dan sedikit bodoh, tentu
saja dia tidak sadar kalau Nanami akan sangat senang kalau
duduk berada didekatnya. Dan tentu saja akan repot kalau
ketahuan……….tapi, sikapnya yang sama sekali tidak sadar
entah kenapa membuat orang merasa sedikit kesal.

“Kenapa rasanya cuma hal-hal seperti ini yang berjalan lancar


ya?”

Walau tahu sendiri sedang menyalahkan orang lain, tapi tetap


saja menghela napas.

“Apa aku melakukan sesuatu yang jahat?”

“Sepertinya aku diam-diam mendapat berkah dari langit ya?”

Di antara hal-hal yang tidak lancar, kalau ingin bilang hal apa saja
yang sudah berjalan dengan lancar, kurasa hanya sekelas
dengan Sorata…….juga tempat duduk berada disamping Sorata,
semua hal berhubungan tentang Sorata.

“………apa yang sedang kau bicarakan?"

“Tapi kalau Kanda-kun begitu, sepertinya tidak cocok dibilang


mendapat berkah dari langit ya.”

Nanami sekali lagi menghela napas dalam hatinya.

“Bisa tidak kamu menjelaskan dengan lebih sederhana lagi,


supaya aku bisa mengerti ?”

“Tidak mau.”
Nanami dengan sedikit jahat menolak, dan Sorata dengan
bingung mulai memikirkannya. Sikapnya saat ini terlihat lucu,
Nanami tertawa dengan suara yang kecil.

Lalu, Sorata menunjukkan ekspresi yang lebih bingung lagi, ini


membuat Nanami tertawa terbahak-bahak.

Karena hal kecil yang seperti itu saja sudah membuat orang
merasa bahagia, mungkin sendiri terlalu melebih lebihkan ya.
Tidak , bisa duduk disamping Sorata sepertinya tidak melebih-
lebihkan.

Dan saat ini, Nanami merasakan tatapan seseorang. Dia melihat


ke sekitar kelas, dan langsung bertemu pandang dengan Mayu
dan Yayoi.

Mayu yang berada paling depan dengan tempat guru


menjelaskan melambaikan tangan pada Nanami supaya dia
datang ke sana.

Dan Koharu sensei yang sebagai wali kelas sepertinya belum


masuk juga. Karena masih ada waktu ,Nanam pun meninggalkan
tempat duduknya, berjalan ke tempat Mayu, Yayoi yang selesai
memindahkan barang juga berjalan ke sana.

“Ada apa?”

“Kau sekalian saja menyatakan cinta, bagaimana?”


Mayu dengan santai mengatakan hal yang tidak masuk akal itu.

“A-apa yang kau bicarakan!”

“Apa Nanami tidak apa apa terus-terusan seperti ini?”

“Itu……”

“Jelaskan dengan lebih jelas lagi.”

“Hn, kurasa tidak terlalu bagus.”

Benar, tidak terlalu bagus. Sendiri merasa sama sekali tidak


bagus, jadi pernah ingin menyatakan cinta. Kencan saat hari
Natal, sudah membuat janji dengan Sorata. Setelah audisi bulan
Februari selsai, akan mengatakan sesuatu padanya……

Lalu, hasil audisi yang penting membuat Nanami ‘terjatuh’,


ditambah lagi dulu saat Sakurasou mau dirobohkan, jadi tidak
bisa mengatakannya pada Sorata.

Dan waktu mengalir terus sejak saat itu, sekarang sudah 4 bulan.

“Kau ingin pacaran dengannya’kan?”

“…………”

Nanami tidak bisa dengan langsung menjawab pertanyaan Mayu.

“Sekarang……tidak terlalu yakin.”

“Apa maksudnya?”
“Bagaimana mengatakanya ya, itu………”

“Itu?”

“Ada sedikit pemikiran untuk membuat Sorata menjadi hanya


milikku seorang.”

Nanami sendiri sangat tahu sedang mengharapkan sesuatu yang


bukan miliknya sendiri, hanya saja dia sangat iri dengan Mashiro
yang dijaga oleh Sorata setiap saat.

“……….”

Mayu dan Yayoi menjadi tidak bisa berkata apa-apa setelah


mendengar pernyataan Nanami.

“Uwo, Nanami mempunyai keinginan yang sangat kuat!”

“Heh? Be-benarkah?”

“Itu normal-normal saja’kan ?”

Yayoi dengan santai mendukung Nanami.

“Tentu, dibandingkan dengan Yayoi yang tidak


mempermasalahkan masalah kecil, dengan begitu kemungkinan
bisa menjadi lebih populer dikalangan laki-laki. Hn, sementara
bolehlah anggap seperti itu untuk melanjutkan topik.”

Entah apa yang sudah dipahami oleh Mayu………


“Pokoknya! Nanami ingin berpacaran dengan Kanda-kun, dan
memiliki sebuah hubungan yang manis dan ‘sweet’, 'kan?”

Mayu dengan bersemangat bertanya.

“Itu hubungan yang manis manis, apa itu maksud Mayu?”

“Yayoi jangan mencari penyakit orang!”

Mayu mengangkat jarinya dan menunjuk ke Yayoi.

“Kesampingkan dulu soal bagaimana Mayu menyatakannya, aku


juga setuju dengannya.”

Yayoi tidak peduli dengan Mayu, dan berkata begitu, dan dengan
jujur menatap ke Nanami.

“Tu-tunggu sebentar, kenapa Yayoi juga seperti itu.”

“Kalau terus seperti ini tidak mengatakan apapun, mungkin suatu


hari nanti Kanda pacaran dengan orang lain. Nanami pasti akan
sangat menyesal.”

“Ya benar juga……hanya saja, aku selalu merasa menyesal.”

Benar, selalu menyesal.

“Kalau tahu begitu, sebelum Mashiro datang , harusnya aku


menyatakan cinta dulu.”

“……….”
Setelah Nanami mengangkat kepalanya, Mayu dan Yayaoi
dengan wajah yang tidak tahan dengan semua ini ada
didepannya.

“Ma-maaf, aku lupa! Maaf aku sudah mengatakan sesuatu yang


membuat kehilangan semangat.”

“Ah~~sudahlah! Nanami terlalu imut! Kalau aku laki-laki, pasti aku


akan jatuh cinta denganmu. Maka dari itu, mari kita membuat
operasi menyatakan cinta!”

“Ja-jangan mengatakan sesuatu seperti menyatakan cinta


dengan suara keras!”

Beberapa teman yang ada disekitar dengan segera bereaksi,


semua orang pasti sangat penasaran dengan topik seperti ini.

“Operasi yang kau katakan itu, seperti apa itu?”

“Yang pasti adalah sebuah operasi yang tidak masuk akal.”

“Kuhkuhkuh, apa kalian berdua sudah lupa? Kita kelas 3 ada


sebuah acara yang bernama retreat perpisahan?”

“Itu merupakan acara yang akan diadakan bulan Mei nanti


setelah ulangan ’kan, masih lama ……..”

“Shut up! Kalau tidak, apa Nanami bisa segera menyatakan cinta
sekarang?”
“Tidak mungkin.”

Dengan segera dijawab tanpa belas kasihan.

“Benar, ’kan? Jadi demi kedatangan hari itu, mulai hari ini kita
sudah harus mulai bersiap.”

“Bersiap?”

Nanami memiringkan kepala.

“Memajukan hubungan kalian berdua.”

“Tolong jelaskan dengan lebih spesifik lagi, maksudnya?”

Kali ini Yayoi yang bertanya.

“Kalau tinggal bersama, berarti pasti ada banyak hal yang bisa
dilakukan’kan?”

“Maksudnya banyak hal?”

Tidak beharap, dan dengan segera bertanya.

“Seperti, misalnya mungkin tidak sengaja tertidur di kasur Kanda


kun?”

“Nanami bukan tipe orang seperti itu.”

Yayoi menghela napas.

“Atau saat selesai mandi, berkeliling di depan Kanda-kun dengan


hanya menggunakan handuk?”
“Ma-mana bisa aku melakukan hal seperti itu!”

“Makanya, Nanami tak boleh seperti itu!”

“Aku tidak bisa……..”

“Kalau begitu, untuk apa payudara ini bertumbuh besar huh!”

Mayu mengulurkan tangannya, dan dengan sekejap memegang


payudara Nanami.

“Ah!”

“Aku tahu semuanya, lho. Teganya kau meninggalkanku , dan


‘naik level’ sendirian!”

“I-itu karena……karna sudah 3 bulan kerja paruh waktu jadinya


jadi kurus, dan setelah itu tidak begitu banyak bergerak dan mulai
gemuk kembali, atau harus kubilang yang bertambah bukan berat
badan………”

“Pokoknya tetap saja menajdi besar, ’kan!”

Mayu menaruh wajahnya ke dalam payudara Nanami.

“Berhenti!”

Yayoi berkata begitu dan memberi sebuah jitakan yang keras


pada Mayu.

“Ah, sakit!”
Mayu dengan berlebihan menunjukkan rasa sakitnya. Tidak,
sepertinya memang sangat sakit.

“Pokoknya, harus lebih banyak godaan! Anak laki laki cuma ingin
lakukan, jadi biarkan mereka terpancing dulu baru nanti kita
memancingnya!”
“Kalau Mayu yang mengatakannya, rasanya berbeda dengan
yang orang lain katakan, ya.”

Yayoi memberi pandangan yang menusuk, melihat Mayu dari


kepala ke kaki. Mayu yang terlihat lebih kecil, tubuhnya sangat
langsing.

“Aku ini berjuang lewat bagian dalam.”

“Nanami lebih berjuang lewat bagian dalam.”

“Yayoi, apa maksudmu tadi?”

Mayu dengan tersenyum menjawab. Yayoi tidak peduli


dengannya, malah menantangnya :

“Mayu, apa kau tahu masuk ke dalam itu apa?”

“Aku tahu. Itu adalah bentuk yang selalu kuimpikan! Sebentar,


mana mungkin berharap masuk ke dalam!”

“Rasanya menarik sekali kalau kita mempermainkan Mayu.”

“Aku sama sekali tidak menarik!”

“Apa masalah Nanami yang ingin menyatakan cinta sudah tidak


apa-apa?”

“Mana mungkin tidak apa-apa!”

Mayu menjawab dengan suara keras.


Bagi Nanami sendiri, kalau bisa pindah topik seperti tadi mungkin
akan lebih menarik……..

“Tidak peduli bagaimana pun caranya, yang penting Nanami goda


Kanda-kun terus ! Lalu , menyatakan cinta pada Kanda-kun saat
retreat perpisahan nanti!”

“Biarpun kau bilang begitu……….”

“Apa boleh?”

“Hn,hn………..aku akan mencobanya.”

Suasana sekarang sudah menjadi suasana yang tidak bisa


berakhir begitu saja tanpa menjawabnya, Nanami terpaksa
menjawab.

“Bagus.”

Walaupun begitu, ingin menggodanya saja sudah sulit.


Walaupun sama-sama tinggal di Sakurasou, tetap saja susah dan
kadang terjadi beberapa hal yang tidak diduga.

Kadang-kadang tetap ada, seperti yang Mayu katakan………..

Tersasar ke kamar Sorata, habis mandi berkeliling di depannya


hanya menggunakan handuk, semua ini bukan Nanami,
melainkan Mashiro yang sering melakukakannya…….
Sampai sekarang, biarpun Nanami melakukannya, sepertinya
juga tidak akan ada efeknya. Seperti yang Mayu bilang, Mashiro
imutnya bukan main, kehadirannya seperti ingin membuat orang
berteriak : “Itu namanya curang!”. Nanam lebih tahu ini daripada
Mayu dan Yayoi, dan dia sendiri juga merasakannya sebagai
lawannya Mashiro.

Jadi kalau dipikir lagi, sebaiknya menyerah saja pada perasaan


ini. Tapi tidak semudah itu untuk menyerah pada perasaan ini, ini
sama sekali tidak masuk akal, perasaan yang tidak bisa
dikendalikan ini. Sampai sekarang, diri sendiri pun belum bisa
mengurusnya.

“Kesampingkan dulu candaan Mayu, pokoknya sekarang


berusaha saja dulu.”

Di saat bel berbunyi, Yayoi kembali ke tempat duduk saat dia


selesai mengatakannya.

“Memangnya siapa yang bercanda!”

Setelah mendengar teriakan Mayu, Nanami memutuskan untuk


kembali ke bangkunya.

Setelah duduk pandangannya dengan Sorata saling bertemu.

Detak jantungnya bertambah cepat, semua ini karna Mayu yang


katakan soal menyatakan cinta.
Tapi , kenyataan juga memberitahu bahwa tidak bisa terus seperti
ini, Nanami mengintip wajah Sorata, seperti mencoba
mengatakannya dalam hati ‘aku menyukaimu’.

Pada akhirnya Sorata hanya menguap ke papan tulis, ini berbeda


sekali dengan yang dipikir Nanami.

Terhadap Sorata yang begitu, Nanami marah dalam hati ‘dasar


bodoh’.

“Banyak sekali halangannya……..”

“Aoyama, apa tadi kau mengatakan sesuatu?”

“Hanya bergumam sendiri.”

Melihat situasi ini, sepertinya masih jauh untuk menuju


menyatakan cinta----------Nanami berpikir begitu.

Tapi, ini malah terbalik dengan yang Nanami pikirkan.


Kesempatan untuk menyatakan cinta ternyata datang lebih cepat.

Hari ini saat selesai makan malam, di meja makan Sakurasou,


Nanami berbicara dengan Sorata yang terlihat sedikit malu.

“Kau bilang tiba tiba ingin mengatakan sesuatu padaku……..apa


itu?”

Suara Sorata menjadi kering karena panik.


“Hn, hal yang lumayan penting………..mungkin.”

Suara Nanami juga bergetar.

“Aku……..selalu ingin mengatakan ini padamu.”

“Begitu ya………”

“Hn, aku……….”

Detakan jantungnya bertambah cepat.

“………”

“Aku selalu, selalu………..”

Jantungnya berdetak terus dengan sangat cepat.

“………..”

“Aku selalu menyukaimu. Sangat menyukaimu.”

Ingin mengatakan ini pada Sorata. Selalu ingin mengatakan ini


pada Sorata……….jadi semakin tidak bisa dikatakan.

“………….”

“………….”

“Aku juga, aku juga berpikir begitu.”

Ini juga merupakan kalimat yang ingin didengar dari Sorata


sendiri.
Kalau saja ini bukan latihan untuk audisi nanti, pasti sangat
bahagia.

Nanami tidak bisa menahan dan berpikir begitu.

Terus berharap.

Setelah latihan kembali ke kamar sendirian, dada Nanami serasa


tidak bisa diam. Biarpun sudah masuk ke dalam selimut, tetap
tidak bisa tidur.

Di dalam kamar yang gelap memeluk guling harimau,


membaringkan badan.

“Itu, Torajirou.”

“ ‘Kenapa?’ “

Nanami mengubah suaranya, dan mencocokan nadanya sesuai


kalimatnya Torajirou.

“Aku ya…….”

“ ‘Hn.’ “

“Menyukai Kanda-kun.”

“ ‘Jangan mengatakannya padaku, katakan langsung pada


orangnya.’ “

“Kalau aku bisa melakukannya, maka aku tidak perlu berbicara


dengan Torajirou seperti ini.”
“ ‘Benar juga.’”

Jantungnya tetap berdetak dengan keras. Biarpun latihan, naskah


‘aku menyukaimu’ tetap rasanya spesial, apalagi untuk Sorata,
rasanya tidak bisa tenang.

Dengan hanya memikirkannya kembali, rasanya malu setengah


mati.

Juga, walau hanya latihan, mendengar ‘aku juga berpikir begitu’


dari Sorata, bibir tetap tak bisa menahan betapa bahagianya dan
tersenyum sedikit. Walau sadar harus segera kembali ke ekspresi
yang biasa, tapi susah sekali.

Walau ingin memindahkan perhatian juga tidak berhasil.


Akhirnya, Nanami pikir kembali betapa susahnya saat latihan
untuk menyatakan cinta, sendirian berguling-guling diatas
kasurnya.

“Ah~~kenapa begitu~~sama sekali tidak bisa tidur………..”

Situasi seperti ini, bertahan sampai besok pagi.


Bagian 2
Sudah hari ketiga sejak latihan untuk audisi nanti. Waktu bersama
Sorata sedikit malu, dan merasa bahagia, tapi kadang menjadi
sedih karena berpikir ini hanya latihan. Nanami melewati hari
dengan perubahan suasana hati yang sangat besar.

Berharap bisa terus seperti ini, tapi juga tidak berharap terus
seperti ini…………inilah hubungan rumit yang sedang dijalin
dengan Sorata.

“Tapi kalau hanya sekarang, mungkin tidak apa apa.”

Karena keadaan yang diluar dugaan, Nanami tidak bisa bersantai


terus.

Alasannya karena Mashiro.

Setelah 1 minggu, hari Selasa minggu ke 2 terjadi sebuah


insiden. Padahal masih jam pelajaran, Mashiro tiba-tiba datang ke
kelas divisi reguler, dan membawa Sorata pergi.

Di kelas dipenuhi berbagai rumor tentang mereka berdua.

“Kedua orang kenapa sih?”

“Apa memang sedang pacaran?”

“Walaupun merupakan pasangan yang sama sekali tidak


terpikirkan, tapi sepertinya mungkin?”
“Mereka tidak begitu cocok, ’kan?”

Nanami yang tinggal 1 asrama dengan mereka ditanya-tanyai,


berisik sekali. Padahal tahu teman sekelas tidak bermaksud
buruk, tapi saat ditanya hal tentang mereka berdua, maka
mengeluarkan suara yang sedikit marah.

“Hal seperti itu jangan tanya aku.”

Tapi, pertanyaan masalah ini bukan disini.

Bagi Nanami, yang penting itu adalah, untuk apa Mashiro


membawa pergi Sorata.

-----untuk melukis Sorata.

Kalau dilihat dari kata-katanya, memang hanya begitu. Kalau


bukan Mashiro yang lukis , mungkin tidak akan sadar. Tapi,
Nanami segera sadar, karena Mashirolah, melukis Sorata
menjadi sebuah artian yang sangat penting.

Mashiro sudah memegang pensil lukisan sebelum dia bisa bicara.

Bukan lewat kata kata maupun ekspresi, namun dia menunjukkan


semuanya lewat lukisannya.

Mashiro yang begitu mulai melukis Sorata pada waktu seperti ini,
Nanami tahu alasannya. Karena saat sendiri sedang latihan
dengan Sorata, Mashiro terlihat sedikit tidak senang………..
Saat lukisannya selesai, akan terjadi sebuah perubahan. Nanami
mempunyai firasat akan itu, tidak, bisa dibilang Nanami sudah
merasakan itu sekarang. Karena ada perasaan yang jelas ini,
dan yang lebih penting, Nanami tahu lukisan Mashiro dapat lebih
memberitahu perasaan daripada kata-kata ataupun ekspresi.

Bel berbunyi menandakan kelas sudah berakhir.

Yayoi menyiapkan seluruhnya dan berkata :

“Siap, hormat.”

Kelas yang bebas dari seluruh pelajaran hari ini, sekejap menjadi
ribut.

Nanami melihat bangku Sorata yang ada di samping, melihat dia


sedang konsentrasi menulis sesuatu di catatannya. Sepertinya itu
adalah catatan untuk gamenya. Bahkan tidak peduli dengan
pelajaran, dia begitu fokus ke proses pembuatan gamenya.

Jadi sepertinya sebelum ulangan, Sorata akan meminjam buka


catatan Nanami.

Walaupun belum pasti pinjam, Nanami tetap berusaha dengan


rajin mencatat apa yang kira-kira penting, dan berharap Sorata
berterima kasih……….

Usaha Nanami yang begitu tulus ternyata tidak dirasakan oleh


Sorata, setelah pulang, Sorata langsung pergi ke kelas seni untuk
menjadi model lukisnya Mashiro. Sudah lebih dari 10 hari sejak
Mashiro melukis Sorata, dan sekarang tetap bertahan.

Nanami merasa tidak senang dan iri, juga membenci diri sendiri
yang berpikir seperti itu.

“Huft………”

Perasaan yang bercampur aduk dihempaskan.

“Ada apa? Aoyama? Apa terjadi hal yang tidak menyenangkan?”

Sepertinya karena ide untuk gamenya sudah selesai, Sorata


sambil menyimpan catatannya ke dalam tas sambil bertanya
dengan polos. Walau senang dia memperhatikan kita, tapi alasan
menghela napas juga karena Sorata, jadi rasanya tidak bisa
senang……….

“Hanya rasanya benci dengan diri sendiri.”

“Ou~~”

Menjawab seperti mengerti tapi sepertinya tidak mengerti. Tidak,


sebenarnya tidak mengerti.

“Aa, kau akan pergi kerja nanti?”

“Tidak, hari ini tidak perlu kerja, tapi ada janji dengan Koharu
sensei untuk interview mengenai rencana setelah lulus nanti.”
“Ou ou, itu ya……..sebaiknya hati-hati, karena dia akan bertanya
hal-hal yang aneh.”

Dari nada bicaranya Sorata terdengar tidak begitu


menyenangkan. Dia sudah selesai melakukan interviewnya, jadi
sepertinya terjadi beberapa hal.

“Hal-hal yang aneh?”

Nanami bertanya begitu, Sorata dengan aneh memindahkan


pandangannya.

“Bagaimana mengatakannya, ya……….intinya, hal-hal yang


pribadi.”

“Ou~~…………hari ini juga Kanda-kun akan pergi menjjadi model


lukisnya Mashiro?”

Nanami dengan tidak sadar bertanya.

“Hn? Iya. Tunggu pulang dulu baru menemanimu latihan.”

“Aku bukan karena khawatir ini baru tanya………..”

Dia sangat sadar dengan dirinya yang iri, tapi tetap saja tida bisa
bertahan untuk protes pada Sorata.

Di saat mereka berdua ngobrol begitu, kelas yang ribut itu tiba-
tiba menjadi diam. Selanjutnya-----

“Sorata.”
Suara Mashiro terdengar masuk ke kelas.

Siswa yang masih ada di kelas semuanya fokus tertuju pada


Mashiro. Mashiro sama sekali tidak peduli, berjalan dengan cepat
dan sampai di samping Nanami dan Sorata.

“Sudah mau mulai.”

“Iya, iya.”

Mashiro tidak ragu sedikit pun, langsung menarik lengan Sorata.

“Proyek bersama milik kita.”

“Jangan berkata seperti memotong kue pernikahan saat pesta


pernikahan! Ini hanya melukis!”

Sorata seperti menjelaskan pada orang di sekitarnya, dan dibawa


keluar Mashiro. Selanjutnya, kelas seperti sadar kembali ,
semuanya kembali ribut.

“Nanami ya, apa tidak apa-apa begitu?”

Pandangannya terus melihat kedua orang yang pergi itu, dan


Mayu tiba tiba berada di depan Nanami.

“Walaupun kau bertanya, ini juga bukan hal yang bisa


kucampuri.”

“Kau terlalu tidak mengerti~~”


Mayu seperti dalam hatinya tidak tahan dengan semua ini,
dengan tidak semangat, melemaskan pundaknya.

“Nanami memiliki kekuatan untuk mempermainkan para laki-laki.”

“Sifat yang merepotkan seperti itu apa diperlukan?”

“Pasti perlu! Wanita yang tidak disukai orang baru populer!”

“Walau berkata begitu, sampai sekarang pun Mayu belum


mendapatkan pacar.”

Yayoi dengan tenang mengolok Mayu yang sedang bersikap


sombong itu.

“Siapa suruh kau peduli!”

“Ara~~Mayu? Kau dibilang adalah wanita yang tidak disukai, apa


tidak marah?”

“Yayoi, tunggu nanti saja kita bicara sampai puas.”

Yayoi yang berdiri tidak mendengar omongan Mayu sampai


habis, langsung mengambil tasnya bersiap untuk mengikuti
kegiatan klub. Sepertinya hari ini juga dia akan berkeringat yang
banyak karena latihan di klub baseball.

“Woi, berhenti, Yayoi!”

Mayu dengen erat menarik tas Yayoi.

“Kalau ingin pergi, beri dulu saran untuk Nanami.”


“Ti-tidak perlu.”

“Kalau begitu, apa yang harus dilakukan Nanami? Kalau terus


menerus membiarkan Shiina-san menyerang, nanti Sorata direbut
lho?”

“Aku setidaknya sudah berusaha.”

“Berusaha apa?”

“Akhir akhir ini aku mulai bersiap untuk megikuti audisi pengisi
suara animenya Misaki-senpai.”

“Itu aku tahu.”

“Itu sebenarnya latihan’kan. Dan kau meminta Sorata untuk


membantumu……..”

“Meminta bantuan Sorata?”

“………mengajak Sorata untuk kencan nanti.”

Nanami sedikit ragu, volume suaranya dikecilkan supaya hanya


bisa didengar Mayu dan Yayoi.

“Benar, setidaknya mengajaknya kencan……..heh? Kau bilang


kencan!”

“Tu-tunggu sebentar, Mayu, suaramu terlalu besar!”

Terhadap kosakata kencan ini, pandangan siswa yang di kelas


mulai bereaksi, pandangannya itu rasanya menyakitkan. Tapi
setiap pandangan mereka bertemu, mereka langsung
memindahkan pandangannya, dan kembali ribut seperti biasa.

“Eh, maaf karena membuat kalian berharap, tapi benar-benar


hanya untuk referensi latihan………..jadi sebenarnya tidak pantas
dikatakan sebagai sebuah kecan.”

Suara Nanami semakin kecil dan mulai menjelaskannya.

Alasan kenapa Sorata menerima ajakan ini karena dari dalam


hatinya dia benar-benar ingin mendukung impian Nanami menjadi
seorang pengisi suara. Jadi kalau dikatakan sebagai sebuah
kencan, rasanya sedikit memaksa.

“Kau serius tidak! Bukannya baru saja menyuruhmu untuk jadi


sedikit nakal? Di saat seperti ini, alasan apa pun itu tidak
penting!”

“Walau aku tidak merasa alasan tersebut tidak penting………tapi


aku akan berusaha.”

“Berusaha seperti apa?”

Yayoi dengan jarangnya ikut dalam obrolan.

“Eh~~sesuatu seperti saling menggandeng tangan?”

“Memangnya kau anak SD?”

Mayu dengan jelas menunjukkan rasa kecewanya.


“Ka-kalau begitu , memeluknya saat di rumah hantu?”

“Masih belum.”

“Ka-kalau tidak apalagi?”

“Sesuatu seperti ciuman.”

Yang segera menjawab itu adalah Yayoi, ekspresinya tidak


berubah, tetap santai.

“Ci-ciuman, maksudnya ciuman yang itu!? Aku pasti tidak bisa


melakukannya!”

“Dengan cara seperti itu aku ‘menyerang’ pacarku lho.”

Sepertinya baru saja mendengar sesuatu yang sangat penting.

“Huh!”

“Ou~~……..heh? Hoi!”

Nanami dan Mayu bereaksi berlebihan.

“Apa yang kalian hebohkan?”

“Padahal Yayoi, tapi bisa mengatakan sesuatu yang ‘meledak’


seperti ini dengan biasa-biasa saja.”

Tangan Mayu menunjuk ke Yayoi.

Yayoi memindahkan tangan Mayu seperti merasa repot.

“……….sudah kuduga punya pacar.”


Sebenarnya tidak lama ini sudah dapat merasakannya dari Yayoi
sendiri. Kadang dia akan dengan serius mengetik e-mail,
bertanya ‘siapa dia’, dia hanya menjawab dengan biasa-biasa
saja ‘hanya teman’.

Lalu, hari ini juga biasa-biasa saja, Yayo dengan sedikit malu
memindahkan pandangannya.

“Hn, tak ada kok…….”

“Untuk menghukummu karena sudah merahasiakan ini dari kami,


cepat katakan siapa!”

Mayu perlahan mendekati Yayoi.

“Apa orang Suiko?”

Nanami juga bertanya dari samping.

“Ya begitulah…….tapi ini adalah rahasia. Aku sudah bilang


padanya.”

“Anak kelas 3?”

Tapi, Mayu tetap tidak menyerah dengan mudah.

“Bukan.”

“Kalau begitu, adik kelas? Kelas 2?”

Nanami juga dengan penasaran bertanya.

“Bukan.”
“Jangan-jangan kelas 1……..atau mungkin dia sudah wisuda?!”

“Semua bukan.”

“Semua bukan?”

Nanami saling menatap dengan Mayu yang memiringkan kepala.


Bukan kelas 3 juga bukan kelas 2, bukan kelas 1 juga bukan yang
sudah wisuda. Tapi adalah orang Suiko……kalau begitu, yang
tersisa………..

Akhirnya Mayu seperti menemukan jawaban, bibirnya membentuk


bentuk ‘ah’.

“Kau jangan bilang padaku sebenarnya pacarmu itu guru ya?”

Mayu yang dengan takut menanyai Yayoi.

“…………”

Sesaat, gerakan Yayoi seperti melambat.

“Sudah, aku mau pergi ke ruangan klub.”

Dia dengan sengaja mengalihkan pertanyaan, bersiap berjalan


keluar kelas.

“Ah~~tunggu!”

“Kegiatan klubku sudah mau mulai.”

Tidak peduli dengan Mayu, Yayoi dengan cepat meninggalkan


kelas.
“Cepat juga dia kabur.”

“Kalau begitu, aku juga……….”

Nanami juga ingin ikut kabur, tapi malah ditarik kembali Mayu.

“Intinya jadi sedikit nakal, ya?”

“A-aku akan mengingatnya.”

“Aoyama san, apa sekarang ada waktu?”

Nanami mendengar panggilan dan memutar kepalanya, wali


kelasnya Koharu-sensei sedang berdiri disana.

Sudah berjanji untuk bertemu memulai interview mengenai


rencana setelah wisuda nanti.

“Ya, ada.”

Kalau begitu Mayu juga harus menyerah. Dia di samping berbisik-


bisik ‘kalau tahu begitu tadi aku kejar Yayoi saja’.

“Kalau begitu, mari kita ke kelas kosong di gedung lain.”

Koharu berjalan duluan.

Setelah Nanami berkata ‘duluan ya’ pada Mayu, dia juga segera
mengikutinya.

Setelah masuk ke kelas yang kosong, langsung melihat kursi


meja kosong yang saling berhadapan, dengan kosong berdiri
didalam ruangan kelas yang kosong.
“Silahkan duduk.”

Koharu mempersilahkannya, Nanami pun duduk.

“Kalau begitu, mari kita mulai interviewnya.”

“Mohon bantuannya.”

“Walau begitu, sepertinya tidak ada yang perlu dibicarakan


dengan Aoyama-san.”

“Begitu ya.”

“Survei rencanamu dari kelas 1 sampai kelas 3 selalu mengisi


kuliah jurusan theater.”

“Iya.”

“Juga karena nilaimu yang berada di dalam ketentuan


Universitasnya, kalau tetap rajin belajar, sensei rasa tidak akan
ada masalah.”

“Saya akan berusaha.”

“Oh ya, apa kau tahu jurusan theater ada tes yang lain?’

“Saya tahu.”

Seperti yang Koharu bilang, karena nilai disekolah tidak buruk,


jadi yang perlu dikhawatirkan hanya ini.

“Tapi, karna Aoyama-san sering mengikuti kelas pelatihan, sensei


rasa tidak perlu khawatir.”
Karena Nanami tidak pernah membicarakan ini dengan Koharu,
tiba-tiba dibicarakan seperti ini, Nanami merasa sedikit terkejut.
Di saat yang bersamaan, ‘luka lama’ mulai terasa sakit
lagi…………

“……..tentang kelas pelatihan, apa sensei mendengarnya dari


Chihiro-sensei.”

“Hn.”

Chihiro sebenarnya mengatakan apa tentang dirinya? Walaupun


berusaha membayangkannya, tapi tidak bisa dengan lancar
dibayangkan.

“Walaupun saya sudah belajar selama 2 tahun, tapi akhirnya


tetap tidak berjalan lancar, jadi rasanya sedikit khawatir.”

“Kalau begitu apa kau ingin bertanya pada kakak kelas yang ada
di jurusan theater, kira-kira perlu teknik seperti apa? Aku bisa
meminta bantuan dari Universitas sana.”

“………..”

Nanami terkejut sampai membuka matanya lebar-lebar karena


saran Koharu. Atau dengan kata lain, rasanya Koharu hari ini
berbeda dari biasanya.

" ‘Heh, rasanya Koharu-sensei menjadi bisa diandalkan?’ Kau


berpikir begitu’kan?”
“………….sedikit.”

“Jahat~~kenapa reaksimu dengan Kanda-kun sama.”

“Dengan Kanda kun?”

“Ah, iya, Aoyama san.”

Ekspresi Koharu tiba tiba menjadi serius, seperti ingin bilang


‘sebaiknya pertimbangkan kalau gagal nanti bagaimana?’.

“Ada apa?”

Nanami dengan jujur dan serius bertanya.

“Sebuah hal yang sangat penting.”

“Ya.”

“Apa kau sedang pacaran dengan Kanda kun?”

“……….”

Nanami sesaat tidak mengerti apa yang dikatakan Koharu, dan


mengerjapkan matanya sebanyak 2 kali berturut turut.

“Huh? Tidak terdengarkah? Aku bertanya, apa kamu pacaran


dengan Kanda-kun?”

“A-apa yang sensei katakan!”

“Karena kalian terlihat mesra saat bertukar surat di pelajaran


Sensei.”
“Itu bukan seperti yang Sensei pikirkan!”

“Apa itu artinya kamu mengaku kalau kalian dengan mesra


bertukar surat. Ya, mesra.”

“Hn.”

Karena tertipu Koharu, Nanami baru sadar dia tadi menggali


kuburannya sendiri. Kalau ingin menyangkal kenyataan ini,
harusnya tadi menyangkal kenyataan bertukar surat juga……

“Terserahlah. Karena melihat kalian berdua senang, melewati


marah, akhir-akhir ini sudah bisa tersenyum.”

Sepertinya dulu pernah membuat dia marah besar.

“Mentang-mentang masih muda jadinya sesuka hati saja, rasanya


kurang ajar sekali.”

Juga tidak terlihat dia akan tersenyum.

“Koharu , apa kau ada?”

Nanami terkejut sampai tidak bisa bersuara, tiba-tiba Chihiro


membuka pintu dan berbicara.

“Ah, Chihiro, ada apa?”

“Masih tanya kenapa. Gara-gara kau tidak hadir, kami tak bisa
memulai rapat.”
Terhadap Koharu yang santai-santai aja, Chihiro jelas terlihat
tidak senang.

“Heh~~tapi aku sedang dalam interview penting dengan murid-


murid tercinta lho.”

“Aku pikir interviewnya sudah selesai.”

Kalau alasan rapat belum mulai karena dirinya, rasanya tidak


tahan.

“Malah kami sedang membahas soal cinta lho.”

“Kami belum sempat membahas soal cinta.”

Nanami dengan singkat dan jelas menyangkal pernyataan itu.

“Pokoknya, cepatlah kau datang.”

Chihiro menarik lengan Koharu.

“Ya ampun, kenapa Chihiro semangat sekali? Ah, pasti karena


pulang nanti ada kencan? Jadi ingin cepat pulang’kan?”

Koharu dengan terpaksa, menyimpan berkas berkas yang ada di


meja, dan berdiri.

“Kalau begitu maaf ya, Aoyama-san. Interviewnya sampai di sini


saja.”

“Ah, Chihiro sensei.”


Di saat Chihiro hampir keluar dari kelas, Nanami
menghentikannya.

“Kenapa? Aku tidak terima pertanyaan tentang cinta lho.”

“Saya setidaknya akan memilih lawan yang tepat untuk


menanyakan masalah tetang cinta.”

“Ternyata mulutmu tajam juga, ya.”

“Ini tentang hal yang saya minta untuk Sensei rahasiakan


dulu………”

Nanami tidak peduli dengan Chihiro, langsung masuk ke


topiknya.

“Itu ya.”

Chihiro dengan dingin menatap keluar jendela.

“Aku memutuskan untuk meninggalkan Sakurasou.”

“Ah, begitu ya? Aku sudah tahu. Aku akan beritahu kepala
sekolah, juga akan kuberitahu ke asrama reguler nanti.”

“Mohon bantuannya.”

Seharusnya percakapan akan berakhir seperti ini. Tapi setelah


Chihiro berpikir sebentar, Chihiro bertanya :

“……….apa hal ini sudah kau beritahu pada Kanda dan yang
lainnya?”
“Tidak, belum.”

“Oh.”

“Saya sendiri akan mencari kesempatan untuk memberitahu


mereka. Tolong Sensei rahasiakan ini dulu.”

“Akan Sensei rahasiakan. Kalau ditanya Kanda ‘kenapa!’, nanti


juga aku yang akan repot sendiri.”

Ya, Sorata sudah pasti akan begitu. Dengan hanya


membayangkannya saja, rasanya lucu.

Nanami berpikr percakapan ini hanya sampai disini saja. Karena


Chihiro sangat menghargai keputusan muridnya sendiri, kalau
bukan hal yang parah, biasanya dia tidak akan campur
tangan…….

Tapi, sepertinya kali ini sedikit berbeda. Setelah Chihiro keluar


dari kelas, dia berhenti sejenak dan mendekat ke pintu kelas, dan
menatap ke arah atap kelas.

“Kau pasti berpikir bila terus tinggal di Sakurasou, maka kau akan
dimanjakan oleh mereka………tapi, ‘bersandar’ pada orang lain
bukan berarti kamu lemah.”

Dari nadanya terdengar seperti ingin menghentikannya.

“Mengakui diri sendiri yang lemah dan ‘bersandar’ pada orang


lain dalam artian yang lain berarti ‘kuat’. Juga, bila kau
‘bersandar’ pada orang lain, dengan sebaliknya orang itu juga
akan ‘bersandar’ padamu. Hal yang bersifat saling
menguntungkan.”

“………..”

“Kalau kau merasa tidak terlalu mengerti dengan ‘seseorang’ atau


‘dia’, bayangkan saja Kanda.”

Karena awalnya terdengar serius, jadi biarpun nama Sorata


dibawa bawa, dalam hati Nanami juga tidak ragu, hanya merasa
Chihiro sangat baik.

“Menurut pandangan Ssensei, pasti berpikir saya melakukan hal


yang bodoh.”

“Padahal kau sendiri tahu sedang melakukan hal yang bodoh,


namun tetap memlilih untuk melakukannya. Dirimu yang seperti
itu terlihat ‘bersinar’. Juga………”

“Juga?”

Chihiro setengah berhenti, menunjukkan ekspresi seperti terlalu


banyak bicara. Karena itulah, Nanami berpikir dia akan bicara apa
sejak awal tadi. Yang dia katakan barusan juga, kalau Chihiro
yang biasanya, tidak akan membicarakan hal seperti itu.

“Tidak ada.”

“Sudah sampai di sini, tidak mungkin tidak ada apa-apa.”


Nanami tidak menyerah dan bertanya, Chihiro menggigit bibirnya,
menunjukkan ekspresi kesulitan.

“Tolong beritahu saya.”

“………..huft.”

Chihiro seperti menyerah dan menghela napas.

“Juga, aku tidak berpikir Kanda bisa membedakan apa itu


mengagumi dan cinta.”

“………..”

Padahal tadi biasa-biasa saja dengan nama Sorata, namun


sekarang jantung Nanami berdetak dengan cepat.

“Sama juga, ada situasi di mana kalian salah membedakan apa


itu pertemanan dan cinta. Terutama pada umur kalian yang
sekarang ini.”

Chihiro yang selesai bicara menunjukkan wajah seperti ‘yang


benar saja’ dan mengacaukan rambutnya.

“Ini juga belum tentu pasti seperti ini. Aku bukan Kanda, kau juga
bukan Kanda. Jadi pada kenyataannya, kita sama sekali tidak
tahu perasaan lawan, mungkin Kanda juga seperti itu.”

“………….apa Sensei juga begitu.”


Nanami bereaksi begitu. Dibandingkan hal tentang Sorata,
Nanami sekarang lebih tertarik dengan Chihiro yang berkata
begitu.

“Siapa tahu ? Mungkin 10 tahun lagi, kau akan mengerti.”

Tatapan Chihiro seperti bilang ‘tidak perlu buru-buru mencari


jawabannya’. Jawaban seperti itu tidak berarti, perlu untuk
merasakannya dan memahaminya sendiri baru berarti. Mungkin
maksud Chihiro seperti itu.

“Terima kasihS.”

“Aku tidak mengatakan sesuatu yang bisa membuatmu merasa


berterima kasih padaku.”

Saat ini, Koharu kembali dengan berlari kecil.

“Chihiro ya, 'kan katanya mau rapat?”

“Aku tidak penting, kalian duluan saja.”

“Apa ini adalah kata-kata yang pantas dibilang Chihiro yang


datang memanggilku?”

“Ah~~ya ,ya , aku akan pergi rapat. Bagaimana, sudah puas?


Merepotkan sekali~~”

Dengan begitu Koharu dan Chihiro saling protes, dan pergi.


Nanami yang tinggal dikelas sendirian sekarang melihat ke papan
tulis hitam yang kosong.

Karena Chihiro dan Koharu, sekarang otak Nanami penuh


dengan hal-hal tentang Sorata.

“Kencan………sebaiknya pakai pakaian seperti apa ya?”

Jadi, hal tentang interview tadi sudah dilupakannya.


Bagian 3
Pertama kali berbicara dengan Sorata mungkin sekitar 2 tahun
yang lalu……….saat Nanami baru masuk ke Suiko pertama kali
di pertengahan bulan April.

Karena wali kelas menitipkannya untuk memberitahu jadwal piket,


jadi memanggilnya.

“Kanda-kun.”

Jadi dengan biasa saja memanggil namanya, tapi dia yang


mengangkat kepala malah terkejut, seperti bertemu sebuah
makhluk yang misterius. Jadi Nanami mengira dia salah nama
dan panik.

“Ada apa?”

Alasan Sorata terkejut karena logat Kansai yang jarang dia


dengar, tapi saat ini Nanami belum sadar akan hal ini, juga tidak
terlalu memikirkannya.

Bagi Nanami, Sorata hanya seorang teman laki-laki yang


kebetulan sekelas, juga cuma kebetulan saja mengingat wajah
dan namanya…….. Jujur saja, reaksi Sorata sama sekali tidak
penting, dia sama sekali tidak peduli bagaimana Sorata melihat
dia.
Lalu kedua kali berbicara adalah pada saat musim semi
menyambut musim panas.

Pada suatu hari saat pulang sekolah, saat Nanami akan kembali
ke asrama reguler, dia melihat di depan gerbang sekolah
berkumpul banyak orang.

Karena penasaran, saat melihatnya terdapat beberapa ekor


kucing yang ditinggalkan tuannya dalam sebuah kaldus.

Murid Suiko yang lewat akan mengelus kepalanya dan bilang


lucu, atau terkadang akan membawa cemilan untuk memberi
makan kucingnya.

Setelah merasa puas, pada akhirnya semuanya hanya lewat


begitu saja. Murid yang ingin membawa pulang kucing, satu pun
tidak ada. Karena banyak murid Suiko yang tinggal di asrama,
jadi tidak bisa, juga biasanya dilarang memelihara peliharaan.

Lalu sekarang, Nanami sadar ada seorang murid yang mendekati


kardus itu. Di saat sedang mengamati apa yang akan dia lakukan,
dia tidak mengelus kepalanya si anak kucing, juga tidak memberi
makan, tetapi dia membawa kaldus itu seolah benda itu adalah
barang dia sendiiri.

Murid itu adalah Sorata.


Sorata sambil mengamati sekitarnya, sambil berbicara dengan
anak kucing yang ada di kardus. Lalu dengan tidak ragu
sedikitpun, dengan cepat berjalan kembali ke asramanya.

Nanami belum sempat berpikir apapun ketika tubuhnya dengan


bergerak dengan sendirinya.

Dia mengejar Sorata dan berkata :

“Kanda-kun.”

“eh……..Aomori-san?”

Sorata yang memutar kepalanya, bertanya dengan kebingungan.

“Salah, itu adalah Pulau Honsu yang ada di ujung utara. Aku
adalah Aoyama Nanami yang sekelas denganmu.”

“Ah ya, Aoyama.”

“Tidak kusangka ternyata kau belum hafal.”

“Tidak, aku sudah hafal, hanya saja tiba-tiba lupa.”

“Kupikir itulah yang namanya tidak ingat?”

“Kali ini aku pasti akan mengingatnya.”

Sorata tersenyum kecil.

“Apa kau berencana membawa anak-anak kucing itu kembali ke


asrama?”
“Ya.”

“ Masih jawab ‘ya’……….di asrama dilarang memelihara


peliharaan lho.”

“Benar juga. Ini merupakan sebuah masalah besar.”

Walau dia berkata begitu, dia tidak terlihat sedang mencemaskan


hal itu.

“Penjaganya nanti akan marah.”

“Kalau dengan hanya marah bisa menyelesaikan masalah, sih


tidak apa.”

“Tidak, itu tetap saja akan bermasalah.”

Rasanya percakapan ini mulai menuju arah yang tidak terduga.


Saat ini, terhadap teman sekelas yang dia anggap sangat normal
Nanami merasakan sebuah perasaan.

Rasanya berbeda dengan anak laki-laki yang ada di kelas. Dia


mempunyai ‘warna’ yang lain daripada orang lain. Perubahan
yang pertama rasanya begitu.

Tidak mempunyai perasaan seperti jatuh cinta pada pandangan


pertama, jadi kesan dengan Sorata itu lebih seperti
menganggapnya ‘orang aneh’.
Kalau memberitahu ini ke Sorata, pasti akan menyimbulkan
keributan :

“Yang benar saja! Aku sangat normal!”

Tapi, biasanya orang melihat kucing dana hanya akan


membiarkan saja, lalu berpikir ‘kasihan ya’, dan merasa sudah
bertanggung jawab akan itu.

Tapi sebenarnya berpikir seperti itu juga kurang baik, pada


kenyataan sebenarnya hanya meminjam alasan ‘di asrama tidak
boleh memelihara peliharaan’ dan membiarkannya, jadi hanya
berencana membiarkannya saja, namun ini tidak dapat
disalahkan kepada siapapun.

Jadi dia tidak terlalu merasa kurang enak pada hal ini, sampai
Sorata memungut kucing itu……

Mengobrol dengan Sorata yang membawa kardus itu, mungkin


juga karena hanya ingin menghilangkan perasaan tidak enak
yang ada di hati karena meninggalkan anak-anak kucing itu.

Sorata yang memungut kucing; dan dirinya yang tidak peduli akan
itu. Mungkin hanya ingin menghilangkan perasaan tidak enak itu
sedikit saja, ingin mencari alasan, dan ingin berpikir ‘Sorata itu
bukannya tidak normal, hanya seseorang yang biasa-biasa saja’
dan merasa tenang.
Saat ini, Nanami dengan pandangan yang bukan karena jatuh
cinta menatap ke Sorata.

Kucing yang dipungut Sorata itu namanya Hikari.

Sepertinya nama itu diambil dari Shinkansen. Tidak tahu


darimana Sorata terpikir untuk memberi nama itu, tapi rasanya
namanya cocok dengan bulunya yang berwarna putih.

Rahasia memelihara Hikari adalah rahasia yang hanya diketahui


oleh Sorata, Nanami dan teman sekelasnya, Miyahara.

Sambil menjaga kucing, hubungan Nanami dan Sorata juga


menjadi semakin baik.

Diketahui bahwa Sorata ternyata besar dikota ini. Sepertinya


karena mendapat pemberitahuan penerimaan siswa baru di
Suiko, dan pekerjaan ayah ada sedikit perubahan, maka hanya
tinggal Sorata sendiri disini, yang lainnya pindah ke Fukuoka.

Jadi dia banyak tahu mengenai toko-toko yang ada di sekitar sini,
tentang toko roti yang enak juga dia dengar dari Sorata.

Yang lain seperti tugas sekolah, komik yang menarik, acara


televisi yang ditonton kemarin, juga tentang festival budaya
Suiko yang sangat meriah………mereka ngobrol sangat banyak
hal yang tidak penting namun menyenangkan.
Dan entah sejak kapan, Nanami teringat saat-saat dimana dia
membahas impian dengan Sorata.

“Tentang aku les di pelatihan pengisi suara, jangan beritahu yang


lain, ya.”

“Kenapa?”

“Sekarang sudah tidak tren lagi tentang mempunyai sebuah


tujuan dan berusaha untuk mencapai itu’kan?”

“Begitu ya? Tapi aku merasa iri lho. Karena aku berpikir untuk
serius dan mencari……..tujuan, makanya aku keluar dari klub
sepak bola.”

Sebagian wajah Sorata yang berkata begitu terlihat sulit


bernapas, seperti sedang menahan sesuatu. Itu adalah ekspresi
kesulitan yang belum pernah dilihat Nanami. Mungkin karena
merasa malu, Sorata tidak berani menatap Nanami.

Karena itulah, ini tidak terdengar seperti hanya sekedar basa-basi


saja, namun dia mengatakannya dengan jujur dan tulus. Sorata
mendengarkan perkataan Nanami, terhadap papanya yang tidak
setuju dengan ini, tentang dia yang datang dari Osaka,
merupakan sebuah kehadiran yang kecil namun mendukung.

“……….terima kasih.”

“Terima kasih untuk apa?”


“Tak mengerti juga tidak apa.”

“Tapi aku tidak merasa tidak apa-apa lho?”

Kira-kira disaat seperti inilah, setelah sadar, tatapan dirinya


ternyata sudah mulai mengejar Sorata…….

Setiap hari akan melihat dia yang hampir telat; mencarinya di


dalam ruangan olahraga yang penuh dengan siswa yang
memakai pakaian olahraga. Kalau bisa segera menemukannya,
maka akan merasa ini adalah hari yang menyenangkan. Di saat
sedang perhatian, tidak peduli di mana pun, dapat
menemukannya dengan mudah.

Ada saatnya saat menyadari sebuah kebiasaan Sorata, maka dia


akan mencatatnya di catatan. Dan setiap saat sedang makan
siang, akan mengoloknya selalu saja makan kroket dan cola.

Di saat rahasia memelihara kucing diketahui oleh pihak sekolah,


dan dipindah ke Sakurasou, mulai merasa jarak mereka menjauh
dan menjadi tidak tenang. Seperti ingin menghilangkan rasa tidak
tenang ini jadinya semakin sadar akan perasaannya untuk
Sorata.

Juga pernah bercanda berpikir ‘coba-coba pindah ke Sakurasou


ah~’.
Tapi tidak terpikir di musim panas tahun kedua, hal ini benar
benar terjadi……..

Tapi kalau sekarang memikirkan kembali semuanya, hal-hal yang


terjadi saat kelas 1, itu hanya bantuan untuk membantu
menyadari perasaan untuk Sorata.

Setelah naik ke tahun kedua, lingkungan di sekelilingnya


semuanya berubah.

Di saat Mashiro pindah sekolah dan ke Suiko, perasaannya mulai


melangkah dalam langkah yang besar.

Nanami mulai sadar pandangan Sorata, suara,


senyuman…….semua tertuju pada Mashiro, dan mulai
merasakan sesak dalam hatinya.

Perasaan sesak seperti ini bertahan selama 1 tahun, sampai naik


ke tahun ketiga pun belum hilang, malah seiring berjalannya
waktu menjadi semakin sesak.

Bulan April tanggal 29, hari pertama Golden Week.

Mereka datang ke taman bermain yang tidak begitu jauh, sebuah


kencan latihan untuk audisi bulan Mei tanggal 3 nanti.

------bagaimana agar perasaan sesak ini bisa hilang?


Terhadap Sorata yang duduk berhadapan di meja bulat, Nanami
bertanya-tanya dalam hati, tapi Sorata tidak menjawab, sekarang
sedang dengan fokus memakan burgernya.

Di saat sebelum menuju ke rumah hantu, perut Sorata


keroncongan, jadi memutuskan untuk memakan sesuatu dulu. Di
meja terlihat 2 porsi paket burger yang ada kentang goreng dan
minuman.

“Kanda-kun, hati-hati nanti tersedak lho.”

“'Kan bukan di komik…….kuhk!”

Baru selesai bicara, Sorata mengeluarkan suara kesakitan.

Dia dengan panik mengambil minuman, di saat sedang


menyedot, ternyata minumannya sudah habis.

“Yang benar, bukannya tadi aku baru bilang?”

Nanami segera menawarkan minumannya.

Selanjutnya Sorata dengan tidak ragu mengambilnya dan


langsung meminumnya.

“…………”

Nanami melihat sosoknya yang begitu, saat ini baru sadar


sesuatu. Tadi dia sudah menggunakan sedotannya……….

“Huft~~syukurlah.”
“Ha-hati-hati.”

"Hn, makasih.”

Selesai bicara, Sorata dengan polos mengembalikan minuman


Nanami, dan pandangannya tertuju pada sedotan.

“………..”

“………..”

2 orang itu dengan aneh terjatuh dalam keheningan.

Nanami menatap ke Sorata, hanya melihatnya sedang


menunjukkan ekspresi yang kesusahan dan kebingungan.
Sepertinya karena dia melihat reaksi Nanami, jadinya sadar
dengan ini.

“A-aku tidak minum lagi, kau bisa minum semuanya?”

Dalam sebuah situasi yang keduanya sama-sama sadar, tidak


ada keberanian mengambil minuman.

“Tidak, tidak, aku juga sudah kenyang.”

“Be-begitu ya.”

“Hn,hn………….sepertinya juga sudah waktunya pergi ke rumah


hantu.”

“Hn,hn, ayo.”
Nanami mengejar Sorata yang berdiri duluan, membuang plastik
burger pada tong sampah, dan mengembalikan papannya.

------sesuatu seperti ciuman?

Saat ini, dalaml otak Nanami terpikir ucapan yang dikatakan


Yayoi.

Setelah meninggalkan rumah hantu, langit sudah gelap, di dalam


taman bermain yang terang, terdapat suasana yang berbeda
dengan saat pagi hari.

Rata-rata pengunjung sudah pulan semua, tidak terdengar suara


anak kecil lagi. Tapi sebaliknya, pasangan yang ada di sekitar
menjadi semakin banyak.

-----apa kami semua juga terlihat seperti itu?

Nanami tidak mempunyai keberanian untuk bertanya, hanya


berkata dalam hati dan berjalan di samping Sorata.

Pundak mereka hampir bertemu.

Ini juga tidak heran, mereka saling bergandeng tangan.

2 tangan yang saling menggenggam erat, sepertinya ini yang


namanya gandengan tangan pasangan.

Tangan yang digandeng di dalam rumah hantu, sampai keluar


rumah hantu juga tidak lepas.
Kalau saja bisa begini terus maka baguslah…….Nanami sambil
berpikir sambil khawatir tangannya akan berkeringat. Sempat
berpikir untuk melepaskan tangannya. Tapi kalau sekali saja
melepaskan tangannya, maka tidak akan bisa kembali ke situasi
ini dengan mudah. Dalam hati Nanami ragu-ragu.

Sorata sama sekali tidak sadar dengan pikiran Nanami,


mengobrol tentang anak kelas 1 yang akan dipindah ke
Sakurasou saat bulan April nanti.

“……..”

Dengan tidak mudah akhirnya mereka bisa berduaan, apa harus


mengobrol tentang topik ini?

“Hn? Kenapa kau terlihat marah?”

Sepertinya karena perasaan kecewanya tampak dari wajahnya


yang sekarang.

“Aku tidak marah.”

“begitu ya? Baguslah…….selanjutnya apa yang harus kita


lakukan?”

Nanami menarik tangan Sorata yang berada di tengah jalan , dan


memutar badannya.

“Aku ingin naik itu.”


Selesai berkata, dia langsung menunjuk dengan jarinya.

Di depan jalan yang luas, terlihat Ferris Wheel yang dihiasi


berbagai macam warna. Banyak sekali pasangan yang menaiki
Ferris Wheel itu yang sedang berputar dengan pelan.

Bulan April tanggal 29.

Hari ini, di dalam buku harian Nanami ada beberapa coretan


‘berciuman’ yang dihapus dan ditulis lagi, lalu mencoba menulis
‘berciuman’ namun dihapus lagi. Dan akhirnya pada akhir
halaman itu, hanya tertulis ‘aku menyukaimu’ dengan kecil.
Bagian 4
Bulan Mei tanggal 2, Senin sehabis Golden Week.

Merasa pelajaran siang yang lama telah berakhir, bel pun


berbunyi.

“Huft~~~”

Nanami memastikan Sorata yang segera meninggalkan kelas itu,


mulai berbaring di mejanya, dan menghela napas.

“Bagaimana ini……..”

Lalu mulai mengatakan beberapa masalahnya.

“Hm, hm, apa yang terjadi?”

Setelah mengangkat kepala, hanya terlihat Mayu yang membawa


bekalnya itu bertanya kebingungan.

Di samping, Yayoi juga berjalan kemari dengan diam, tangan


kanannya membawa roti yang baru dibeli dari kantin sekolah,
juga tangan kirinya membawa bekal yang dibawa dari rumah.
Sepertinya mengikuti kegiatan klub olahraga sangat membuat
lapar.

“Ke-kenapa?”

“Kalian berdua jelas-jelas terlihat sangat mencurigakan.”


“Maksudnya siapa mereka berdua?”

“Nanami dan Kanda-kun.”

Pandangan Mayu menunjukkan bahwa ‘tidak perlu kubilang, kau


juga mengerti’. Karena Nanami sendiri sangat tahu akan hal ini,
jadi merasa tidak bisa membiarkannya berlalu begitu saja.

“Pasti terjadi sesuatu saat kencan’kan?”

Yayoi sambil memakan rotinya dan bertanya.

“Eh, eh, itu……..”

Hal yang terjadi saat di dalam Ferris Wheel terbayang lagi, wajah
Nanami dengan sekejap memerah, dengan tidak sadar
memegang bibirnya.

Terhadap reaksi ini, Mayu dan Yayoi saling menatap.

“Jelaskan saja apa yang terjadi.”

Mayu menganggap garpu yang ia pakai sebagai mic, daan


mengarahkan ke Nanami.

“Hari pertama saat golden week, aku kencan dengan Kanda-kun


di taman hiburan.”

“Itu aku tahu, yang aku ingin tahu adalah apa yang terjadi.
Pokoknya, apa saja yang kalian lakukan di taman hiburan?”

“Setelah naik roller coaster………..”


“Lalu?”

“Membiarkan Kanda-kun yang mulai pusing berbaring di atas


paha……….”

Mengatakan saja rasanya sangat malu, lalu suara Nanami


semakin mengecil. Walaupun hanya latihan untuk audisi, namun
rasanya berani sekali………..

“Uwaa, Nanami berani sekali.”

“Bu-bukanlah! I-itu hanya latihan! Di dalam naskahnya ada situasi


seperti itu!”

“Iya iya, lalu?”

“Bergandengan tangan di dalam rumah hantu.”

Di tangan masih teringat perasaan hangat ketika bergandengan


tangan, jari-jari yang saling menyatu…….

“Ya, setelah itu?”

“Ha-hanya itu.”

“Kau bohong!”

Mayu berteriak sambil menunjuk Nanami dengan garpunya.

“Dilihat dari sikap kalian berdua, sepertinya tidak hanya itu.”

Sampai Yayoi juga bertanya tanpa belas kasih.


“I-itu……..dan akhirnya naik Feris Wheel bersama sama……..”

“Ou, lalu apa yang terjadi?’

Mayu dengan semangat mendekatkan wajahnya.

“……..dan terjadilah.”

“Apa yang terjadi?”

“Berciuman.”

“Are!!”

Mayu dengan berlebihan mundur ke belakang beberapa langkah.

“Su-suaranya jangan besar begitu!”

Teman teman yang makan siang di kelas, semuanya melihat ke


arah Nanami.

“Apa kau sudah menyatakan cinta?”

“Kalau itu, belum………”

“Lalu cium duluan? Nanami memang sesuatu~~!”

“Whoo~~sungguh membuat terkejut.”

Bahkan sampai Yayoi yang selalu tenang biasanya, sampai


terlihat bersemangat.

“Ah~~yang benar! Padahal ini yang disarakan Mayu dan Yayoi


kemarin!”
Walau tidak bermaksud menyalahkan, tapi suaranya terdengar
sedikit konyol.

“Maaf, tidak kuduga akan kau lakukan……..tapi, kerja bagus.”

“Hn, bukannya sangat efektif? Sekarang Kanda-kun sudah


menyadari Nanami sebagai seorang perempuan.”

Terhadap komentar Yayoi, Mayu juga ikut ikutan memberi


pendapatnya.

“Dia itu sekarang pasti sudah menyadarinya, karena di pikiranya


sekarang hanya Nanami seorang.”

“Kalau memang begitu, sepertinya aku akan sangat


senang……..”

Nanami sadar mengungkapkan isi hatinya, Mayudan Yayoi yang


mendengarnya seperti merasa puas.

“Kalau begitu, rasanya bagaimana?”

“Apanya yang bagaimana?”

“Tentu saja rasa saat berciuman.”

Mayu terlihat sangat senang dan menunjukkan senyuman yang


polos.

“I-itu tidak penting kan?”

Nanami memalingkan wajahnya.


“Tidak mungkin tidak penting!”

Tapi segera diputar balik lagi oleh Mayu.

“Ayo, jangan sembunyi-sembunyi lagi!”

“I-itu……ba-bagaimana ya……..”

“Bagaimana?”

“Tubuh Kanda-kun ternyata lebih besar dari yang kubayangkan.”

“Tidak, tidak ada orang yang bertanya mengenai perasaanmu


setelah kau melakukannya.”

“Ka-kami tidak melakukannya!”

Karena berciuman dekat-dekat, jadi menyadari ternyata tubuh


sendiri agak kecil.

“To-topik ini sampai di sini saja! Waktu itu aku sudah mencapai
batas diriku sendiri, jadi sama sekali tidak kuingat rasa seperti
apakah itu!”

Perkataan ini setengahnya memang benar, tapi setengahnya lagi


bohong. Rasa bibir Sorata, sampai sekarang masih dengan jelas
dirasakan oleh tubuh Nanami. Di saat bernapas masih ada aroma
Sorata. Sampai sekarang juga masih belum bisa menghilang.
Tapi tentu Nanami sendiri juga tidak ingin ini cepat
menghilang……
“Heh~~tapi setidaknya ceritakanlah perasaanmu setelah
melakukannya.”

Mayu tidak menyerah, dan lanjut bertanya.

Yayoi juga melirik Nanami sejenak, menunggu dia berbicara.

“Biarpun kau bertanya mengenai perasaannya……..”

“Setelah kau merasakannya sendiri, perasaanmu seperti apa?”

“Dibanding dengan perasaannya……rasanya seperti aku


menyadari 1 hal.”

Benar, sudah jelas.

“Ou, apa itu?”

“Ya, itu……aku benar benar menyukai Kanda-kun.”

“…………”

“…………………….”

Setelah mendengar pernyataan Nanami, Mayu dan Yayoi terlihat


terkejut. Dan seperti ingin mengatakan ‘sampai sekarang apa
hubungannya lagi dengan ini.’

“Ja-jadi aku tidak ingin mengatakannya……………”

Nanami dengan cepat menghabiskan bekalnya itu, sepertinya itu


untuk melupakan yang dia katakan tadi.
“Uwaa~~Nanami benar benar sedang jatuh cinta ya!”

Mayu berkata sendirian, dan akhirnya lanjut memakan bekalnya


itu.

“Terima kasih.”

Dan Yayoi berkata begitu. Karena rotinya belum habis, jadi


sepertinya perkataan yang tadi diperuntukkan pada Nanami.

“Ah~~sepertinya juga sudah saatnya aku mencari orang yang


akan membuatku jatuh cinta.”

Mayu yang sedang minum teh dengan sedotannya itu, tidak tahu
seberapa seriusnya dia.

“Kalau begitu yang paling pertama yang perlu dilakukan Mayu


mungkin adalah tumbuh tinggi dulu.”

Yayoi menaruh tangannya di atas kepala Mayu.

“Jatuh cinta dan tinggi badan tidak ada kaitannya! Ah, oh ya,
Nanami! Anak kelas 1 yang dipindahkan ke Sakurasou itu!
Kenalkan dia padaku. Walau ekspresinya selalu terlihat sedang
melamun, tapi aku pernah melihat sosoknya yang sedang
bermain piano, tidak buruk juga.”

“Aku sarankan kau pikirkan lagi untuk berkenalan dengan Iori-


kouhai.”
“Kenapa?”

“Karena dia bilang dia tidak tertarik dengan perempuan berdada


datar…….”

Tidak hanya tinggi badan, seluruh tubuh Mayu terlihat mungil, jadi
pasti bukan pilihannya.

“Ah~~kenapa yang dilihat setiap orang itu adalah dada!”

“Jangan dipikirkan.”

Yayoi sekali lagi menaruh tangannya di atas kepala Mayu.

Nanami mendengar percakapan yang seperti ini, dengan alami


menunjukkan senyumannya.

Mulai merasa diri sendiri yang terlihat konyol karena bingung


menghadapi Sorata seperti apa.

Sudah mengerti alasan kenapa rasanya selalu sesak. Senang,


sedih, iri, malu, bosan, dan marah …..terhadap Sorata, semua
perasaan itu bergejolak di dalam hati, tapi itu karena
menyukainya.

Karena 1 kalimet Sorata jadi merasa semangat atau mungkin


sedih, ini juga karena menyukainya. Benar-benar
menyukainya……..

Hanya karena begitu, karena hal seperti itu.


Tapi, perasaan yang tidak tampak ini.

Merupakan sebuah perasaan yang selalu tumbuh.

Dan ingin mengatakannya dengan tulus dan jujur.

Memberitahu semua perasaan yang tersimpan dalam hati ini


padanya………

Perasaan yang diberikan Sorata untuk menyukai Sorata


ini……..akan berusaha untuk memberitahukannya.

------aku benar benar menyukai Sorata………


Kata Penutup

Ini adalah spin-off yang ke dua.


Saya adalah Kamoshida Hajime

Akhir-akhir ini di dekat tempat tinggalku, banyak kucing yang


berkeliaran, dan kadang-kadang rasanya terkejut bila melihat
kumpulan kucing yang banyak.

Tapi kita kesampingkan dulu soal topik ini, soal menulis cerita
sampingan……tidak kusangka banyak yang kutulis, seperti :

(Hauhaunya si Ketua OSIS part 1)

Itu awalnya hanya judul yang kuberi iseng-iseng, tapi editorku


Araki-san bilang ‘judul ini bagus juga ya’, jadi dengan begitulah
kuputuskan.

Awalnya aku tidak berencana menulis cerita sampingan sepert


ini, dan setelah dipikir-pikir kuputuskan untuk menulis cerita
sampingan yang berjumlah 60 halaman kira kira. Lalu, entah
kenapa kalau sudah mulai memikirkan bagaimana si Ketua OSIS
dan Hauhau bertemu, maka isinya pun menjadi 3 kali lipat lebih
banyak dari yang kuduga.
Lalu Araki-san bahas denganku ‘apakah bisa dibagian menjadi 2
bagian’, dan akhirnya dapat balasan ‘tidak buruk juga ya!’, lalu
sekali lagi aku dengan sombong menulisnya.

Sekalian beritahu, Himemiya Saori---Hauhau adalah karakter


yang paling disukai Mizoguchi sensei. Maafkan saya karena
membocorkannya tehee.

(Gadis Polos Yang Sedang Dilanda Sakit)

Ini adalah kisah yang terjadi antara jilid 6 dan 7, terjadi di liburan
musim semi. Di dalam cerita ini, Mashiro jatuh demam, tapi itu
semua karena Sorata. Cerita pernah muncul dalam drama
CDnya, pembaca yang penasaran boleh coba mendengar nanti.
(Musim Seminya Aoyama Nanami dan Para Gadis)

Kali ini juga, kalau para pembaca bisa melupakan bahwa ini
adalah cerita yang ditulis seorang paman yang berumur 35, saya
akan sangat berterima kasih.

Seperti itulah 4 cerita sampingan yang saya tulis.

Jilid 8 nanti, akan berlatar musim gugur.

Kamoshida Hajime

Translate by: kiminovel (kiminovel.blogspot.com)

PDF by: Bakadame (bakadame.com)

Anda mungkin juga menyukai