Peringkat ke-9.
Dan orang yang peringkat pertama itu wajar saja, membuat orang
lain menerima kekalahannya.
Kamiigusa Misaki.
Tempat itu tidak pernah berganti namanya, dia adalah raja yang
selalu memimpin diposisi teratas.
“Apa ketua OSIS tahu alasan kenapa keadaan kali ini kurang
bagus?”
“Dingin sekali~~”
Walau Jin omong begitu, dia tetap diam-diam senyum.
“Di dalam dunia ini ada beberapa soal yang tidak bisa
diselesaikan dengan buku pelajaran.”
“Karena aku lebih tahu isi dalam hatimu daripada kau sendiri.”
“Kalau begitu coba kau katakan apa yang ada di dalam hatiku.”
“Yakin tidak menyesal?”
“Aku benci sikap kau yang seperti itu, cepat katakan saja.”
“Apa?!”
“……… A-aku tahu. Aku tahu sendiri aku tidak pantas untuknya.”
“…….”
Sudah tidak bisa menjelaskan lagi, perasaan malu sudah
mencapai batas, hanya merasa terkejut.
“Ketua OSIS masih ingat saat itu aku duduk disamping mu ’kan?”
“Ah, hn.”
“Apa kau tidak ingat waktu itu aku memanggilmu entah sudah
berapa kali?”
“…….. Hn.”
“Pokoknya begitulah.”
“………”
Souichirou masih ingat tentang hari itu. Tapi yang ada di dalam
ingatannya hanya ada bayangan seorang murid perempuan yang
bermain musik.
Dan saat ini ada seseorang dibelakang Souichirou dan orang itu
memanggilnya.
“Kau ingin bilang orang yang santai sepertiku tidak akan cocok
berteman dengan wakil ketua?”
Jin tertawa pahit saat melihatnya, itu adalah lukisan yang dilukis
Misaki. Saat itu adalah hari pertama festival budaya, Misaki tanpa
izin sembarang melukis gambar beruang diatas lapangan itu
kurang lebih panjangnya 50 meter dan lebarnya 80 meter.
Tanpa rencana sedikitpun, Misaki berhasil lolos dari Komite
Eksekutif dan guru-guru yang mengejarnya. Souichirou sebagai
anggota Komite Eksekutif juga mencoba menghentikannya, tapi
ditengah sadar ternyata dia sedang melukis, dan akhirnya cuma
melihatnya dari samping.
Sampai saat SMP, tidak ada orang seperti Misaki yang tidak
pernah mendengar kata orang lain. Tidak hanya tidak mendengar
kata orang lain, dia juga sangat pandai, dan bisa masuk ke
Suimei karena peringkat terbaik di jurusan seni, dan karena saat
belajar selalu sibuk membuat anime, haknya seperti
direbut……….Juga ternyata dia lebih pandai belajar daripada
Souichirou, sungguh makhluk yang mengerikan.
“………….”
“Tidak ada alasan yang spesial. Dengan melihat saja sudah tahu,
wakil ketua melihat sesuatu dari ‘atas’kan? Juga karena
begitulah, serasa melihat diri sendiri dari sudut lain.”
“………”
“Dengan kata lain, kau itu orang yang hidup dengan ‘harga’, jadi
hanya bisa menjawab sesuai dengan jawaban yang ada dibuku
pelajaran, merupakan seorang murid teladan. Tapi karena
begitulah, dilihat dari situasi wakil ketua, tidak peduli ngobrol
sejauh manapun, tidak akan membiarkan orang lain terlalu
‘masuk kedalamnya’ dan berakhir tidak tahu yang mana
merupakan kalimat yang berasal dari isi hatinya sendiri.”
“Kau memilihku?”
“Yang kau bilang tadi itu rasanya membuat orang menjadi tidak
semangat.”
“Benar juga.”
“Bilang saja.”
“Aku mengundang wakil ketua untuk kencan denganku.”
Tempat yang dibawa oleh Jin, adalah ruang konser yang ada
disekitar Universitas Suimei.
“Hoi, Mitaka.”
“Ah, ketemu.”
“Ketemu siapa?”
“Misaki’lah.”
“Kamiigusa dimana…….”
Lingkungan ini bukan tempat yang bisa menemukan orang yang
dicari semudah itu, saat ini ada sekitar lebih dari 500 orang di sini.
“Misaki.”
“Sini! Sini!”
“Kenapa?”
Jin bertanya.
“Tidak ada.”
“Oh, benarkah?”
“Kau juga gitu, Kamiigusa. Aku sudah bilang sama Jin, aku belum
menjadi wakil ketua.”
Sama sekali tidak mengerti pola pikirnya Misaki, dia terlalu ‘liar’.
Tidak peduli penilaian orang lain, tidak takut semua hal yang ada
didunia ini, merupakanmakhluk yang sama sekali berbeda
dengan Souichirou, membuat orang pusing.
“Itu Hauhau!”
“Permisi~~!”
“Pakai yang warna hitam karena kalau pakai warna yang tidak
cocok dengan gaunnya, akan tampak dari luar nanti!”
“Ee~~ ehm-ehm………”
“Ah, hn.”
Sepertinya dia tidak begitu suka dengan julukan itu. Tapi itu tidak
penting bagi Souichirou. Setelah melihatnya mengganti pakaian
tadi, apa harus meminta maaf………. Tidak, tidak, sebaiknya
jangan membicarakan ini dulu…….. Souichirou berpikir begitu.
“Benarkah?”
Souichirou bertanya.
“Lumayanlah.”
“Mananya yang baik?”
Saori tertawa.
Walaupun tidak mengerti dari mana kata ‘kalau begitu’ itu keluar,
tapi Misaki menggenggam tangan Saori.
“Pergi ke mana?”
“………”
Tidak kali.
Karena keadaan yang maju aja susah, jadi bersusah payah untuk
mendapatkan taiyakinya.
Souichirou juga sama, punya Misaki rasa krim, dan punya Jin
rasa matcha kacang merah.
“Taiyakiku……..”
“Benarkah?!”
“Terima kasih.”
“Maksud lain?”
“Apa maksudmu?”
“Ah, hn……….”
Untuk keluar dari suasana yang aneh ini, dia lanjut mengatakan :
“Terima kasih.”
“Walau aku masih bisa dibilang orang asing di dunia musik, tapi
aku merasa permainanmu hari ini bagus sekali.”
“Bukankah?”
“………”
Dunia.
“………”
“……..”
“Berbinar-binar?”
“Aku akan bilang orang lain itu ‘baik’ karena aku merasa dia
‘baik’. Tapi Misaki tidak begitu. Tidak peduli hal apapun yang ada
di dalam hatinya, dia selalumelihat dunia dengan hatinya sendiri,
seperti tokoh utama dalam sebuah cerita.”
“…….. Sampai saat ini tidak ada, aku sudah puas dengan hanya
menjadi ‘pengamat’.”
“……..”
“Ah, oh.”
“Kalau kau datang aku akan sangat senang, tapi jangan membuat
keributan disana ya.”
Saori dengan tidak suka melirik ke sini. Gerakan ini terlalu imut.
Souichirou karena malu, lalu memindahkan pandangannya.
“Benar juga.”
“Hn.”
------ Sama-sama.
“Aku bukan karena bodoh jadi suka tempat yang tinggi ya.”
(Perhatian : dalam bahasa jepang ada istilah ‘orang bodoh tidak
takut tinggi’, itu maksudnya orang bodoh tidak takut dengan
bahayanya sebuah tempat yang tinggi.)
“Begitu ya.”
Saat seperti itu, benih yang ada di dalam hati sudah tertumbuh
dengan pelan-pelan.
Walau cuma tumbuh dengan sedikit, tapi saat ini sudah tumbuh
sampai menjadi sebuah bunga besar yang indah.
Sudah tak bisa tidak memedulikannya lagi. Walau tidak mau, dia
mulai menyadari perasaannya terhadap Saori.
“Memikirkan sesuatu?”
Walau ingin pindah topik, tapi tidak tahu apa yang harus
dibicarakan.
“Heh…….”
“Bu-bukan begitu…….”
“Itu………..”
“Kenapa sih?”
Yang dia bilang semuanya benar. Benar begitu. Tapi ini bukan
permainan kata-kata, soal tidak bisa fokus belajar karena Saori
memang benar.
“…………..”
Saat ini ,terdengar suara bel yang menandakan bel masuk kelas.
“Hn.”
Walau UAS nya sudah dekat, tapi sebagai ketua OSIS tetap ada
beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan.
“Hoh~~~”
Tapi hanya kali ini, sisa 3 hari sebelum ulangan dimulai, tetap
tidak ada kabar sedikitpun.
Saori percaya dia akan merepotkan Souichirou, jadi kali ini tidak
ingin menggangunya dan tidak mengirimkan email.
Tidak hanya itu, 2 minggu terakhir ini juga tidak bertemu dan
berbicara.
“Ketua~~”
Tidak diduga wakil ketua tidak bisa melihat situasi, dan bertanya
terus.
“Mana mungkin aku tahu caranya? Kalau kau ada waktu untuk
mengobrol, lebih baik cepat rapikan surat permohonan dari klub-
klub.”
“Semua itu sudah aku rapikan!”
“Kalau disini, bisa bertanya soal yang tidak mengerti pada ketua.
Jadi beruntung sekali.”
“Ketua buat iri saja~~ tidak hanya nilai bagus, juga akrab dengan
perempuan.”
Apa itu bisa dianggap ‘ngobrol’? Alien itu hanya ingin orang lain
mendengarnya berbicara tapi tidak pernah mendengar orang
lain bicara.
Sekretaris yang sifatnya jujur dan polos juga ikut dalam obrolan
ini. Wajahnya terlihat sangat mudah, bilang dia masih murid SMP
biasanya orang-orang juga akan percaya.
“Itu dia! Senpai memang lebih suka yang lebih tua dari senpai
sendiri.”
Bendahara tertawa.
“Huftt~~”
“Tak disangka ketua OSIS juga bisa menghela napas, apa yang
ketua kerjakan daritadi?”
“Tapi, dengan kata lain, itu berarti kalau terjadi sesuatu, siapapun
tidak ingin untuk menanggung resikonya ‘kan ?”
Pengurus yang duduk dikursi, menggigit pensil ketiknya.
Wakil ketua omong seperti dia sangat mengerti masalah ini, jujur
saja itu sangat tidak cocok dengan wajahnya itu.
“Begitu ya pendapatmu.”
“Aku sih terserah, hanya saja kalau memikirkan aku dan ketua
yang sudah mau tamat sekolah, tersisa kalian anak kelas 1, kalau
masih ingin menjalankan OSIS, kurasa tidak perlu untuk
mempermasalahkan ini lagi. Bagi wakil kepala sekolah, OSIS
yang dulu sebenarnya sudah bubar, jadi sudah pasti dia tidak
ingin mengurus masalah ini lagi, kalau dipermasalahkan kembali,
aku rasa itu akan semakin memperburuk situasi.”
Kalau tidak ada kenangan ini. Souichirou tidak akan keras kepala
untuk mengurus soal ini, dan tunggu pada saat sudah akan
pensiun baru mengurusnya.
Kalau Jin, dia pasti akan terserah pada hal ini. Tapi untuk
melewati masa SMA yang tenang, kita tetap perlu menaati
aturan-aturan yang ada.
“Bisa bertemu ditempat dan disaat seperti ini, memang takdir ya.”
“………..”
“Tidak juga.”
“…………..”
“Apa karena kalimat ‘alasan nilai ketua OSIS turun drastis karena
Hauhau’?”
“Benar.”
“Pantas saja dia merasa bertanggung jawab, maaf~~, apa
bisa membantuku menjelaskan ini pada Hauhau? Hauhau pasti
salah paham~~”
“Aku ini tidak dapat dipercaya lho. Hauhau pasti tidak percaya
padaku. Dan juga, apa boleh kukatakan? ‘Alasan kenapa nilai
ketua OSIS turun drastis karena selalu memikirkan Hauhau, jadi
tidak bisa fokus belajar.’?”
Tapi itu juga hanya akting, dia tidak berencana untuk diam.
“Aku pikir tidak kubilang kau juga tahu, tidak peduli perlu atau
tidak kubilang pada Hauhau, dia tetap akan menyalahkan dirinya
sendiri.”
“Jujur saja, ini memang salahku, salahkan saja aku, dan kau akan
merasa lebih santai’kan?”
“………….”
“Pokoknya begitu, masalah Hauhau kuserahkan pada ketua
OSIS.”
“Yang benar saja, keras kepala juga harus ada batasnya dong.
Apa masih perlu kubilang? Tentu saja karena Hauhau ingin
belajar bersama denganmu, bukandengan aku, ketua OSIS.”
“Dan juga, orang yang ditunggu Hauhau bukan aku lho, tapi ketua
OSIS? Ketua OSIS yang teladan, bukankah kau sangat pandai
dalam membalas harapan orang lain?”
“………..”
“Sial!”
Meja yang paling jauh dari pintu keluar. Itu adalah tempat
yang ia selalu dipakai untuk belajar bersama dengan Saori ketika
ada ulangan tengah semester atau ulangan akhir semester.
“Tidak ku sangka ternyata kau tahu, padahal lagu ini tidak begitu
terkenal.”
“Heh?”
“Hn, hn.”
“Maksudku, itu………..”
“Maksudmu?”
“A-aku…………”
“………..”
“Huh?”
“………..”
Saori tidak mengatakan apapun……… Baru berpikir begitu,
lalu Saori tertawa denga suara yang keras.
“Maaf.”
“Ada apa?”
Saori yang siap turun lewat tangga itu bertanya dan segera ditarik
Souichirou.
“Hn?”
Suara langkah kaki yang turun dari tangga, suara mereka berdua
juga semakin jauh.
“Hn! Serius?”
“Iya……..”
“……………”
“…………….”
“Be-benar juga.”
“………….”
“……………”
Tidak bisa mengubah suasana yang tegang dan gugup ini, dan
malah semakin menginjak ke dalam.
“Ku pikir apa yang tiap hari kalian ngomongin di ruangan OSIS,
ternyata tentang begituan?”
“Iya.”
“Loteng ya………”
“Ayo pulang.”
“Tatebayashi-kun?”
“Maaf. Aku tiba-tiba terpikir masih ada beberapa hal yang harusku
urus.”
“Heh?”
Saori tertawa.
Murid kelas 1 yang baru tentu saja tidak perlu dibilang, bahkan
murid kelas 2 atau 3 juga tidak begitu terbiasa dengan kelas baru
dan lingkungan baru, sekolah dikelilingi suasana yang aneh.
Yang tenang dan santai hanya Souichirou, karena tahun lalu dia
sudah pernah berpartisipasi sebagai wakil ketua, kalau
memulainya dengan normal, harusnya tidak akan ada masalah.
“Ketua OSIS~~”
“Kau juga.”
“Huft~~”
“Huftt~~”
“Ketua OSIS.”
“Maaf banget, lain kali kalau mau mengajukan sesuatu, aku pasti
akan mengajak kalian untuk mengikutinya.”
“Kami tahu ketua OSIS sangat elit, tapi kalau melakukan semua
hal sendirian, apa yang akan kami kerjakan nanti?”
Wakil ketua yang tidak menyerah, terus omong soal ini, walau
sudah lewat 2 bulan, ia tetap memprotesnya.
“Silahkan masuk.”
“Lolos lho. Bulan depan, tanggal 1 Juni, loteng tetap bisa dipakai
sepulang sekolah.”
Setelah sesaat----------
“Bagus sekali~~!”
“Benarkah?”
“Mana mungkin bapak berbohong. Tapi, ya, begitulah. Usaha
Tatebayashi-kun membuat para guru menyadarinya. Ah, ini
adalah kunci pintu loteng, OSIS harusmenjaganya dengan baik
ya.”
“Ketua OSIS, kita harus merayakannya! Aku pergi beli jus dulu!”
“Ah, hoi! Hari ini hari minggu, kantin tidak buka lho!”
“Kalau begitu aku akan pergi ke toko serba ada yang ada
disekitar sini!”
“Apanya yang aneh? Ini adalah hasil kerja kerasmu tiap hari
datang ke kantor guru lho. Bersenang-senanglah sedikit.”
Dia turun lewat tangga, dan saat ini terdengar suara seseorang
sedang memanggilnya.
“Tatebayashi-kun.”
“……..”
“A-ada apa?”
“Huh?”
“Hn, latihan sudah selesai, tinggal pulang saja, dan tidak ada
hal lain yang mesti dilakukan.”
“Kalau begitu, bisa menemaniku sebentar? Akan kutunjukkan
sesuatu.”
“Ikut aku.”
“Aku tahu.”
“Kalau begitu, hari ini kan baru bulan mei tanggal 23.”
“Apa ketua OSIS yang adil dan serius itu akan melanggar
peraturan? Ini termasuk menggunakan kekuasaan dengan
sembarang lho.”
“Tunggu sebentar.”
Saori menghentikannya.
“Ah.”
“Hn?”
Ini pasti karena Saori salah paham. Karena dia tidak sadar. Saat
Souichirou berpikir begitu, suasana hati yang aneh, dan perasaan
yang tidak jujur ini memenuhi hatinya, dan dengan alami
menjawab :
“Aku ?”
“Bukan itu.”
“………..”
“Ta-tatebayashi-kun?”
“Karena Himemiyalah.”
“……….”
“……….”
“Hn, hn.”
“…………”
Dikatakan. Sudah dikatakan. Sekarang otak serasa kosong, tidak
bisa memikirkan apapun. Souichirou tidak tahu harus bagaimana
setelah mengatakannya, juga tidak bisa memutuskan akan
melakukan apa.
“………”
“……….”
“Hn, hn…………”
“Huh?!”
Dia dengan sangat terkejut membalikkan kepalanya, terlihat Saori
yang sedang berdiri dan menundukkan kepala karena malu, 2
pipinya sedikit memerah, dan menatap ke Souichirou.
“Eh………”
“Kalau kau tidak ngomong duluan sekali lagi, aku tidak akan
mengatakannya.”
Karena malu dan perasaan yang baru saja bertumbuh, otak sama
sekali tidak bisa berjalan.
“Be………..”
“Be?”
“Sampai bertemu besok lagi!”
Badan terasa ringan. Walau ingin tetap seperti biasa, tapi badan
serasa sedang meloncat-loncat, dalam hati merasa sangat
senang.
Walau sekarang masih hujan, tapi itu sama sekali tidak penting.
Sekarang, dunia serasa sedang bersinar-sinar.
BAB 2
Di dunia ini, bisa saja terjadi hal yang bagaikan suatu keajaiban.
Mungkin akan ada orang yang bilang ini tidak pantas dikatakan
sebagai sebuah keajaiban.
Jalan menuju ke sekolah yang sudah tidak asing lagi, tak ada
bayangan murid-murid yang lain. Kalau ingin jalan ini dipenuhi
oleh murid-murid Suimei, mesti kira-kira 30 menit setelah saat ini.
“Huwaa~~~”
“Ah.”
“…………..”
“…………..”
“Ah, eh………..”
“Pa-pagi, Saori.”
“………..”
“………..”
“………”
“………”
“Mi-Mitaka!”
“Kalau begitu, apa Ketua OSIS bisa permisi sebentar? Aku tidak
bisa mengambil sepatuku.”
“Ah,oh maaf.”
Rumi adalah pacar Jin yang umurnya sedikit lebih tua. Sampai
sekarang juga bukan sebuah hal yang begitu mengejutkan,
sepertinya hanya pergi dari tempatnya bermalam, jadi datang
lebih awal.
“Tidak ada yang ngomong begitu. Aku hanya berpikir dirimu yang
biasanya itu kemana?”
“Ambillah.”
“Apa ini?”
Souichirou bertanya begitu, dan membaca tulisan yang ada di
tiket itu.
Itu adalah tokoh yang ada di samping stasiun yang baru dibuka,
merupakan sebuah tokoh yang sedang populer.
“Seperti yang kau lihat itu adalah tiket untuk makan kue gratis
sampai puas.”
“Kalau itu dilihat juga tahu. Yang ingin kutanya adalah kenapa
kau memberikan ini padaku?”
“Apaan lagi?”
“Kalau kalian berdua sedang pacaran, wajar saja ’kan kalau pergi
berkencan?”
“……….”
“Eh……… Itu………..”
“I-itu……………”
“A-ada apa?”
“…………”
“………….”
Akhirnya menjadi lebih diam lagi, dan menjadi lebih malu lagi
rasanya.
“I-itu……..”
“Jadi, itu, eh…… Lain kali kalau libur ayo kita pergi.”
Sepertinya siang ini Saori juga ada latihan piano, waktu bebasnya
hanyalah saat sore.
“Tidak kok, sesuai jam yang kita janjikan masih ada 5 menit.”
“Te-terima kasih.”
Melihat lagi penampilan Saori yang luar biasa itu. Jika dilihat
dengan teliti, roknya ada kocek, terlihat seperti celana juga,
mungkin ini ‘lah yang namanya ‘rok celana’.
“Be-begitu ya.”
Dia dan Saori dengan segera melewati tempat potong tiket itu.
“Begitu ya, hn…….. Tapi aku sadar kok, karena aku selalu
menantikannya.”
“Hn.”
“Ke-kenapa?”
“Ternyata Himemiya juga sangat menyukai manisan ya.”
“………..”
“A-aku omong dulu, aku juga peduli akan berat badanku lho. Dan
juga, aku tidak ingin Tatebayashi-kun bilang aku jadi gemuk.”
Saori sambil ngomong dan menaruh tangannya pada bagian
perutnya, tidak terlihat ada sedikitpun lemak…….
“Ah, tidak, aku bukan ngomong soal berat badan, aku hanya tidak
terpikir ternyata kau ingin mencoba semua jenis kuenya,
jadi kaget juga.”
“Kenapa?”
“A-ada apa?”
“Hn.”
“Maaf.”
“Tatebayashi-kun.”
“Apa itu?”
“Huh?”
“Ah, ti-tidak boleh juga tidak apa. Memanggil seperti dulu juga
tidak masalah.”
“Huh?”
“………..”
“Boleh.”
“Souichirou.”
Dengan begini saja rasanya tidak tahan, Souichirou dan
Saori sama-sama menundukkan kepalanya.
“…….”
“…….”
“…….”
“Hn, hn.”
Saori tetap seperti biasa sibuk dengan latihan piano, tidak banyak
waktu untuk bisa berduaan. Tapi sebaliknya, Saori dan
Souichirou sedang bersama-sama bersiap untuk ulangan, makan
siang bersama, dan disaat waktunya cocok juga kadang pulang
bersama, menghargai saat-saat ketika bisa bertemu.
Sampai nyembah-nyembah.
“Tapi, sama sekali tidak pernah terpikir ternyata orang itu adalah
Himemiya.”
“Berciuman?”
“No comment.”
“Wakil ketua, kau berkata seperti itu tapi apa kau tahu artinya?”
“Hari ini selesaikan ini dulu. Kalau tidak segera kerjakan, hari ini
tidak akan bisa pulang.”
“Terlalu egois!”
“Benar!”
Wakil ketua dengan panik protes pada 2 orang itu. Tapi sekretaris
dan pengurus menunjukkan ekspresi yang pura-pura tidak tahu.
Souichirou ketawa melihat mereka, berpikir dalam hati ternyata
hubungan mereka sangat baik.
“Sekretaris dan pengurus juga, bantulah wakil ketua untuk
menyelesaikan pekerjaannya.”
“Ba~~iklah~~~”
“Kalian berdua~~”
“Hn, aku tahu. Meski merasa tidak akan ada masalah, tapi
saat memastikan sudah diterima, lega rasanya.”
“Saori?”
“Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya saja saat terpikir sudah sampai
membicarakan tentang kelulusan dan masalah mengenai kuliah,
rasanya sulit dipercaya juga……..”
“Ada apa?”
“Terpesona ya??”
“I-iya.”
“Operasi berhasil.”
“Operasi?”
“Yang memikirkan nama operasi itu bukan aku lho ya. Adikku
yang memikirkannya.”
“Dia lebih kecil dari ku 3 tahun, anak yang agak nakal. Saat
kemarin sedang telepon dengannya, tak
sengaja membicarakan soal kencan hari ini……..”
“Begitu ya. Berarti aku mesti berterima kasih pada si adik ini.”
“Ouh, ouh.”
“Ada apa?”
“Ba-bagaimana menurutmu?”
“Be-begitu ya. Baguslah. Ini adalah pakaian renang yang aku pilih
bersama Misaki, penjaga kasirnya juga bilang ini terlihat imut, tapi
tetap saja aku merasa khawatir.”
“Kuserahkan padamu.”
“Hoi, Mitaka.”
Kemudian, jika dilihat dari Jin yang sedang kelelahan, bisa tahu
dengan jelas kalau mereka sedang menyiapkan sesuatu. Kalau
tahu akan jadi begini, bagaimanapun juga tidak boleh dibiarkan
begitu saja.
“Kalau begitu, ada apa? Aku ini sangat sibuk lho.”
“Jangan bercanda.”
“………..”
“Kalau ingin tahu, tanya saja sama Hauhau, dia tahu semuanya
lho.”
“………”
Akhir bulan September, Souichirou sadar Saori membantu bagian
musik pada karya yang sedang Sakurasou rencanakan.
Walaupun sekarang Saori mempelajari musik lewat piano, tapi
tujuan masa depannya adalah menjadi pencinta lagu, bukan
menjadi seorang pianis.
Di festival budaya kali ini juga sering terlihat dia yang sedang
memegang partitur lagu, dan berdiskusi dengan Misaki. Dan
disaat sedang belajar bersamanya, juga sering melihat dia
menganggap meja sebagai piano dan mulai bermain.
“Saori?”
“Itu, Souichirou.”
“Ada apa?”
Karena alasan itu jadi lebih sering mencari gara-gara dengan Jin.
Dengan kata lain, melampiaskan amarahnya pada orang lain.
“Aku tidak……..”
“………”
Walau ingin coba mencari tahu, tapi rasanya tetap saja tidak
mengerti.
“………..”
“Souichirou?”
“Saori.”
“A-apa?”
“Maksudnya?”
“………”
“……..”
“Huh?”
Kuliah di Australia.
Australia.
“……..”
Sampai sekarang, dia baru sadar akan sikap Jin yang tadi.
“Ternyata begitu……..”
“Katanya akan balik setelah 30 menit, tapi ini sudah 35 menit lho!
Kerjaan menumpuk seperti gunung, tolong cepat balik!”
Saori membawa ekspresi yang sedih, mendengar Souichirou
yang sedang telepon dengan tidak mengatakan apapun. Suara
teleponnya sangat besar, bahkan Saori pun dapat dengar apa
yang dibicarakan Souichirou. Tatapan matanya seperti tidak ingin
Souichirou pergi, dan ingin dia mendengarnya menjelaskan.
Sejak hari itu, hampir tidak pernah berbicara dengan Saori. Saat
pagi bertemu menyapa sekali saja, dan kalau berpapasan saat
jam pulang, kadang akan pulangbersama-sama. Tapi, sama
sekali tidak membahas soal kuliah di luar negeri. Tidak, mungkin
karena Souichirou tidak ingin membahas itu. Walau Saori
beberapa kali ingin memberitahunya, tapi Souichirou selalu
memotong bahkan memindahkan topik pembicaraan, tidak
berani menghadapi kenyataan.
Awalnya kira dia akan menjawab dengan tanpa ragu, tapi dia
seperti bertanya pada dirinya sendiri, dan melihat ke atas langit.
“Meski kau bilang begitu, itu tadi terdengar sangat tidak percaya
diri lho.”
“Ragu?”
“……..”
“Itu pasti Saori yang pilih, pasti Saori sendiri yang pilih.”
“Begitu ya?”
“Hei, Tatebayashi.”
“……….”
“……….”
“……..”
“Ah, Takatsu-sensei.”
“Maaf sekali.”
“Tidak, tidak, urusanku tidak penting, tapi sebaliknya kamu,
bagaimanapun tidak terlihat baik-baik saja. Apa yang ingin kamu
lakukan?”
“Maaf……..”
“Oh.”
“Iya pak.”
“Tidak terpikir kamu ini terlihat sangat serius, hal yang perlu
dilakukan juga sudah dilakukan, kalau begitu bapak sudah lega.”
Jin yang dibicarakan dari percakapan tadi, hari ini tidak datang ke
sekolah. Sepertinya dia bermalam dikamar salah satu dari enam
pacarnya dan terlambat dengan membawa rasa puas.
“Ouh.”
“Iya.”
“Huh?”
“…………”
“Itu……..”
“Akui saja dulu. Setelah itu katakanlah isi hatimu dengan jujur.
Jangan kira dengan berpura-pura sok keren, dia akan mengerti
maksudmu, dan juga jangan berpikir bisa mendengar isi hatinya.
Kalau kamu ragu-ragu terus, nanti akan terlambat lho.”
“………”
“Dimengerti.”
“Saya ingin pulang duluan. Anggap saja saya sedang tidak enak
badan.”
Dengan kuat membuka pintu yang tebal itu, dan pergi keluar.
Di sini.
Saori. Entah kenapa juga ada di sini.
“Berisik, Mitaka. Dan juga, sekarang aku itu matan ketua OSIS.”
Jin melihat Saori yang meminta maaf dan mengaku, berdiri dari
kursi panjangnya, mungkin dia ingin kembali ke kelas, dia
berjalan ke Souichirou yang di dekat pintu.
“Ah, iya.”
“Apa?”
“Dasar bodoh!”
“Maksudnya?”
Saori yang panik, dan juga Souichirou yang tidak paham sama
sekali dengan kondisi sekarang ini.
“Saori.”
“Huh?”
“Hal seperti itu bisa dibilang belum pernah dilakukan sama sekali,
mungkin di kedepannya juga………. Ahhhh! Apa yang kau ingin
aku katakan sekarang!”
“Saori.”
“Hn?”
“…………”
“…………..Hn.”
“Jujur saja, aku selalu mengira aku bisa terus bersamamu hingga
masa depan nanti. Meski jurusan kuliah berbeda, tetap saja ada
dikampus yang sama……. Jadi aku selalu merasa lega.”
“Hn.”
“Souichirou.”
“…………..”
“…………..”
“………..Saori.”
Kalau Jin, dia pasti akan sadar. Kalau merupakan pria yang ada
disini tadi…….. Ini membuat orang iri sekaligus membuat orang
benci.
“Souichirou.”
“Ada apa?”
Dari mata Saori terlihat sebuah tekad yang sudah tetap, jadi
tidak perlu ditanya juga tahu apa yang akan dikatakan Saori
selanjutnya.
“Ngomong-ngomong, Souichirou.”
“Apa?”
“Kalau Saori?”
“Misalnya?”
“Kencan?”
“………….”
“I-itu……….. Tentu bisa menjadi sebuah kenangan yang indah.”
“Aku tidak begitu keras kepala, dalam 3 tahun ini aku juga
sudah sedikit berubah.”
“Mungkin.”
“!”
“Tak apalah, tidak masalah. Karena ada tangan inilah, aku bisa
terus mempelajari musik sampai sekarang, lalu bertemu dengan
Souichirou di sini.”
“Benar juga.”
“Semangat.”
----- Kalau saat malam natal, mungkin akan lebih mudah untuk
berciuman?
Ada juga beberapa teman yang dari jurusan musik Suiko yang
ikut tampil.
“Indah sekali.”
“Souichirou?”
“Bukan apa-apa.”
“……. Membandingkan?”
“………”
“Iya.”
“Souichirou?”
“………”
“Souichirou?”
“Uwoo!”
“Ma-maaf.”
“Be-benar ‘lah.”
“Hn?”
“Hn.”
“Ayo jalan.”
“Aku juga.”
“Hn.”
“Ah, sebentar.”
“Itu………. Itu…….”
“Hn?”
“Hadiah natal.”
“Ah, hn.”
Sudah janji akan bertemu jam berapa nanti, menanyai hal tentang
konser natal, janji untuk pergi ke restoran, karena semua itu
Souichirou jadi lupa.
“Ma-maaf sekali!”
“Souichirou, ini.”
“Hn.”
Yang ada didalam adalah sebuah gantungan HP, apalagi itu
adalah gantungan yang pernah dia lihat sendiri. Kalau tidak salah
itu adalah karakter “Kucing Gunung Yang Menggigit Orang~“,
sampai sekarang HPnya Saori masih menggantung gantungan
itu.
“Saori?”
“Huh! Serius?”
“Ma-maaf.”
“Ah. Hn.”
“Ah.”
“Ah, hn.”
“Huh?”
“Hn.”
“Aku juga.”
“Hebat sekali?”
“Iya. Tapi, selanjutnya akan ada hal yang bakal membuat jantung
kita berdetak dengan lebih hebat lagi ’kan?”
“Kalau Saori?”
“Be-begitu ya.”
Bulan Maret nanti akan lulus. Setiap orang sangat menyadari itu,
tapi tetap saja tidak ada perasaan seperti ‘1 bulan lagi bakalan
tidak memakai seragam ini’.
“Begitu ya.”
“Apa boleh?”
“Membahas?”
“Baiklah.”
“Membahas ya………”
‘Kira-kira apa ya?’ Saori mulai berpikir, dan saat ini, terdengar
suara langkah kaki dari koridor dan semakin mendekat.
“Aku menolak.”
Jin tertawa pahit, dan dengan sikap yang santai bertanya lagi.
Ternyata dia mengatakan hal yang bodoh dan tidak masuk akal.
“Huh?”
“……….”
“………..”
“Ehm, hm……..”
“Hn.”
“Apa itu?”
“……..”
“Ya, begitulah~~!”
“………..”
“Ini adalah hal terakhir yang bisa aku dan Misaki lalukan untuk
Sorata dan yang lainnya.”
“Bagus sekali!”
“Begitu ya? Aku ini paling suka sifat mantan ketua OSIS yang
seperti ini lho.”
“Sepertinya tidak.”
“Tentu saja.”
“Aku hanya naik ke Universitas Seni Suimei, jadi kalau luang aku
akan kembali melihat-lihat.”
“Siap, ketua OSIS.”
“Bisa dipuji seperti ini olehmu, sebagai pacar, aku merasa tidak
ada hal lain lagi yang akan membuatku sesenang ini.”
“Apa kau menyesal membiarkan Misaki membacakan kata-kata
perpisahan?”
“Kenapa?”
“Juga?”
“Kalau Saori?”
“Dari siapa?”
Mengirim email.
--Mau gantian?
Sepertinya lebih baik jangan dibalas lagi, kalau tidak pasti Jin
akan mengirim email terus. Tapi, Souichirou tetap mengirim
sebuah email sebagai penutup.
--Jangan hanya karena tidak ada Hauhau jadi selingkuh lho ya!
“Ada apa?”
“Bernahkah?”
“Bukti apa………..”
“……..”
Saori yang terdiam pipinya mulai sedikit memerah. Oleh karena
itu, Souichirou tahu maksudnya.
“Merasa apa?”
“Hufft ……”
Satu hal yang sudah bisa ia pastikan, yaitu akan sangat sulit
untuk melawati hari ini dengan tentram, tak heran kalau ia akan
gelisah, pemikiran yang tidak berarti terus berluang di benaknya.
“Hei, Sorata.”
“Kenapa?”
“Enggak ah!”
“Tidak sopan.”
“Sorata.”
“Bodoh!”
“Aku juga.”
“Hah?!”
“Sudah selesai.”
“Jika kau bilang begitu, malahan aku yang tidak bisa tengan!”
“Hu’um.”
Entah kenapa Mashiro yang hari ini kelihatan tampak jadi agak
pemalu, tatapan berkeinginan keras yang biasanya kini juga
menjadi tatapan yang lembut.
“Dasar!”
“Aku mau pergi memberikan buah tangan buat Mayu dan Yayoi,
karena merupakan barang yang segar, jadi sebaiknya di antar
segera mungkin.”
“Kau kan balik kampung ke Osaka, tapi kok buah tangannya bisa
ini?”
Yatsuhashi dari Kyoto, dan Wagashi adalah manisan khas dari
Nagoya.
“Yah mau bagaimana lagi. Aku tanya Mayu dan Yayoi ingin apa,
mereka bilang mau ke dua itu.”
“A-ada apa?”
“Siapa yang akan melakukan itu! Dan juga Akasaka ada di dalam
kamarnya, ini tidak bisa disebut cuma berduaan ‘kan?!”
“Kenapa?”
“Tidak ada.”
“Ouh, begitu ya…… Eh’ tunggu, hampir aku mau berjalan kesana,
tidak boleh mengatakan hal seperti itu!”
Melewati kamar nomor 201 yang saat ini sedang tidak ada
penghuni, menghentikan langkah kaki di depan pintu kamar
sebelah. Yang dimaksud kucing besar yang satunya lagi, tentu
saja adalah Shiina Mashiro.
“Hei~ ~ Shiina.”
“Hei……”
“Kamu siapa?”
“Itu sulit.”
“Dimana sulitnya?”
“……”
“Itu aku juga tahu. Kau masih demam, sebaiknya kembali istirahat
saja.”
“……”
Panas sekali.
“Kaki?”
“Kau pikir aku pekerja kerah pink yang tangan dan kaki dingin
apa?”
“……”
“Bagaimana?”
“Wu hu.”
“Kenapa?”
“Aku mengerti.”
“……”
Mashiro memegang pipinya.
“Ma-mana ada!”
“Gak mau.”
“Kan tadi kau sendiri yang minta aku antar kau ke kasur.”
“Peluk.”
“Hah?!”
“Ikan makarel (Note : ‘Ikan makarel’ dan ‘benar’ nada kedua kata
tersebut mirip dalam bahasa jepang).”
Bagian atas tubuh bisa merasakan hawa panas yang keluar dari
tubuh Mashiro, sensasi menyentuh kulit halus, lembut seorang
gadis. Akibatnya, rasa malu yang sudah Sorata buang jauh-jauh
kini kembali lagi.
Saat Mashiro baru selesai berkata begitu, tak lama setelah itu
langsung terdengar bunyi ‘kriuuukk~’ suara perut keroncongan
yang imut.
“Aku juga tahu kalau sakit itu tidak ada nafsu makan. Tapi, jika
kamu tidak makan untuk mengembalikan tenaga, demamnya
tidak akan sembuh lho.”
“Begitu ya?”
“Baiklah, sudah disaat yang begini juga, aku akan terus terang,
hari ini kamu memang sangat seksi! Saking semangatnya aku
sampai memanas dan serasa akan meledak.”
“Tidak juga.”
“Huh?!”
“A-aku bilang……”
“Ingin apa?”
Dari bibir Mashiro mengeluarkan nafas yang seolah seperti
desahan, terlihat begitu seksi dan mempesona.
“…… Hah?!”
Entah kenapa merasa ada yang tidak nyambung.
“……”
“Ah, gitu ya, baguslah kalau begitu…… Apa kau pikir aku akan
bilang begitu?! Biasanya kau selalu terlihat lesu gitu makanya
tidak bisa menyadarinya, rupanya kau ada penyakit princess
syndrome ya!”
“Iya.”
“Langsung mengakuinya?!”
“Sudah ku putuskan.”
“Dari pembicaraan tadi, apanya yang sudah tiba-tiba kau
putuskan?”
“Ayo.”
“Sifat mu yang terus terang seperti itu, selalu bikin orang ingin
melepas topi dan memberi hormat ya!”
“Bagaimana?”
“Phuff!”
“Di mulut bilang biasa aja, tapi nyatanya masih minta terus!”
Bukan ke kamar nomor 202 yang saat ini ada Mashiro yang
sedang tidur, tetapi ke kamar sebelahnya, kamar nomor 201 yang
sekarang ini merupakan kamar kosong.
Meski memiliki pola yang sama dengan kamar Sorata, tapi terlihat
begitu lapang.
“Kenapa?”
“Kalau dalam situasi seperti saat ini kau masih tidur, itu akan
sangat mengerikan.”
“Aku menunggumu.”
“Ah, hallo?!”
“Tidak boleh.”
“Hah?!”
“Tidak bersedia mandi bersama dengan ku?”
“Sudah membayangkannya?”
“Kalau begitu……”
Saat Sorata hendak berkata “hanya perlu tidak membayangkan
saja ‘kan!”, Mashiro melanjutkan perkataannya.
“……”
“Hei, Sorata.”
“Hm?”
“Apaaa?!”
“Sorata lepasin.”
“Karena……”
“Karena apa?”
“……”
Mashiro membuang nafas yang panas, seakan menunjukkan
kalau mau berbiaca saja terasa sulit.
“Shiina?”
“Sangat merepotkan.”
Ketika tidak enak badan, tidak peduli mau itu hal yang sepele
sekalipun tetap tidak ingin bergerak.
“Kalau itu aku tak ngerti! Alasan yang sangat tidak masuk akal!”
“Hu’um.”
“Aku mengatakan itu demi kebaikan kita berdua lho! Coba kau
pikir lagi? Seandainya aku melepaskan piyama mu, maka aku
akan melihat banyak hal, bisa jadi masalah nantinya.”
“Sorata mesum.”
“Sorata.”
“A-apaan?”
“Ada masalah yang bisa ku bantu, tapi ada pula hal yang tidak
bisa aku lakukan ya.”
Meski sudah melakukan itu, tidak akan ada artinya kalau Mashiro
belum mengatakan apapun.
“Matikan lampunya.”
“Kalau begitu, bukankah akan semakin mirip dengan suasana
itu?!”
“Lampu matikan.”
“……”
Mashiro masih tetap berbaring dikasur, menunggu Sorata
mematikan lampu.
Tidak ada jalan keluar lagi. Berhenti akan jadi masalah, maju juga
jadi masalah. Meski sudah terkejut setengah mati, Sorata tetap
masih tidak bisa menghadapi suasana yang di depan matanya,
dengan hati yang tidak tenang ia memutuskan untuk maju.
“Hn.”
“Kok kau masih bisa berbicara seperti itu di saat yang seperti ini
juga!”
“Sorata.”
“A-ada apa?”
“Maaf.”
“Tidak perlu maaf.”
“Sorata?”
“……”
“Ah, hn.”
“…… Hn.”
“Ma-maaf!”
Hanya kata itu yang dapat terucap dari mulut. Meskipun sekarang
ia bukan sedang melakukan sesuatu yang buruk……
“Hn.”
“……”
“……”
“Tu-tunggu sebentar!”
“……”
“……”
“Ma……”
“Ma?”
“Maaf menggangu!”
“Kan…… Kanda-kun!”
“I-iya.”
“……Huh?”
“Iya.”
“Be-benerkah?”
“I-itu karena…… Shiina bilang dia malu, ti-tidak ada maksud yang
lain kok!”
“Iya.”
“Ya, i-itu……”
“Itu?”
“Ya-yang tadi itu harus menyebutnya tak bisa menolak, atau bisa
dibilang memang dia sendiri yang meminta pada ku, jadi mau
tidak mau ‘kan.”
“Kanda-kun mesum.”
“Tidak, tidak, gini ‘nih contoh anak laki-laki SMA yang normal.”
“Meski tidak tiap hari, tapi bakal nafsuan sama gadis yang sedang
demam.”
“Lebih gimana?”
“Tidak ada.”
“Sorata.”
“Ada masalah apa?”
“Kenapa?”
“Hah?!”
Menghadapi usulan yang tak terduga, Sorata hanya bisa
tercengang, seketika diam membisu. Tapi kalau dipikir-pikir lagi,
dilihat dari arus pembicaraan memang ada sesuatu yang janggal.
“……”
“Hu…… Huu……”
“……”
“Hu…… Huu……”
Bukan perasaannya saja.
“Ah! Gawat!”
“Sorata, ulang.”
“Tiba-tiba disuruh ulang gitu buat aku jadi bingung banget, bisa
tolong kau jelaskan apanya yang diulang?”
“Itu dia.”
“Coba ceritakan.”
“Tak boleh langsung tertidur lagi ya? Salah, kau sudah boleh tidur
sekarang!”
“Genggam tanganku.”
“Ada hal yang membuat ku tak habis pikir, kau itu benar-benar
cerdas ya.”
“Genggam tanganku.”
“……”
“Sorata……”
“Wuoh……”
“Selamat pagi.”
“Ini, termometer.”
“Sudah diukur.”
“Semalam?”
“Semalam……”
“Jadi membuat sebuah kesalahan akan lebih baik gitu ya! Kau itu
selalu saja berbicara seperti itu untuk mempermainkan ku!
“……”
“……”
“Um, Aoyama-san?”
“Haciu!”
Kali ini mau membuat alibi juga sudah terlambat, itu adalah bersin
yang terlihat jelas.
“Sorata.”
“Ada apa……”
“Haciu!”
Itu adalah bersin yang keempat kalinya, sudah tidak ada yang
perlu diragukan lagi.
Benar , mulai hari ini sudah kelas 3. Seperti yang dibilang kepala
sekolah, kehidupan SMA tinggal sekitar setahun lagi. Walau tidak
begitu cepat, tapi ini juga tidak begitu lama.
“Baguslah, Nanami.”
Setelah upacara pembukaan selesai, memasuki kelas 3-1 yang
baru saja diumumkan hari ini, Takasaki Mayu yang
mengatakannya sambil memegang tangan Aoyama. Rambut
yang sedikit pendek dan bola mata yang besar, dengan nakal
menatap ke Nanami yang terkejut.
“Apa kau lupa tahun lalu kau dengan tidak jujur mengatakan :
‘Ka-kalaupun tidak sekelas juga tidak apa apa.’”
“Kalau mau omong begitu , bukankah Mayu dan Yayoi juga diikat
oleh takdir benang merah?”
Yayoi yang dari tadi tidak berbicara akhirnya ikut campur juga.
Sikapnya yang santai namun serius dan dewasa, ditambah tubuh
yang terlihat bagus, kalau tidak pakai seragam mungkin akan
dikira sudah kuliah, ditambah lagi ototnya yang dia latih di klub
bisbol sangat membuat orang iri.
“Mayu tetap saja terlihat seperti anak kecil walau sudah kelas 3
ya.”
“Aku pikir karena itulah , Yayoi bilang kau seperti anak kecil.”
“Benar, benar.”
“Yakin?”
“Saat seperti ini sih, tentu saja harus mengandalkan itu lho.”
“Apa itu?”
“Walaupun tidak bisa dibilang pasti dapat, tapi kalau misalnya aku
dan Mayu dapat tempat duduk yang agak dekat, bukankah kita
tinggal saling tukar tempat duduk secara diam diam? Setidaknya
kesempatannya lebih besar.”
“Itu dia!”
“Maksudnya perbedaan ?”
“Shiina-san terlalu imut dan cantik sampai sampai aku merasa ini
curang, setidaknya dewa harus lebih adil.”
“……….”
“Turut berduka……”
“Ah~~benar, benar juga Yayoi! Apa kau kira aku akan berkata
begitu!”
“Ah!”
“Bagaimana?”
“Ah!”
Di antara hal-hal yang tidak lancar, kalau ingin bilang hal apa saja
yang sudah berjalan dengan lancar, kurasa hanya sekelas
dengan Sorata…….juga tempat duduk berada disamping Sorata,
semua hal berhubungan tentang Sorata.
“Tidak mau.”
Nanami dengan sedikit jahat menolak, dan Sorata dengan
bingung mulai memikirkannya. Sikapnya saat ini terlihat lucu,
Nanami tertawa dengan suara yang kecil.
Karena hal kecil yang seperti itu saja sudah membuat orang
merasa bahagia, mungkin sendiri terlalu melebih lebihkan ya.
Tidak , bisa duduk disamping Sorata sepertinya tidak melebih-
lebihkan.
“Ada apa?”
“Itu……”
Dan waktu mengalir terus sejak saat itu, sekarang sudah 4 bulan.
“…………”
“Apa maksudnya?”
“Bagaimana mengatakanya ya, itu………”
“Itu?”
“……….”
“Heh? Be-benarkah?”
Yayoi tidak peduli dengan Mayu, dan berkata begitu, dan dengan
jujur menatap ke Nanami.
“……….”
Setelah Nanami mengangkat kepalanya, Mayu dan Yayaoi
dengan wajah yang tidak tahan dengan semua ini ada
didepannya.
“Shut up! Kalau tidak, apa Nanami bisa segera menyatakan cinta
sekarang?”
“Tidak mungkin.”
“Benar, ’kan? Jadi demi kedatangan hari itu, mulai hari ini kita
sudah harus mulai bersiap.”
“Bersiap?”
“Kalau tinggal bersama, berarti pasti ada banyak hal yang bisa
dilakukan’kan?”
“Ah!”
“Berhenti!”
“Ah, sakit!”
Mayu dengan berlebihan menunjukkan rasa sakitnya. Tidak,
sepertinya memang sangat sakit.
“Pokoknya, harus lebih banyak godaan! Anak laki laki cuma ingin
lakukan, jadi biarkan mereka terpancing dulu baru nanti kita
memancingnya!”
“Kalau Mayu yang mengatakannya, rasanya berbeda dengan
yang orang lain katakan, ya.”
“Apa boleh?”
“Bagus.”
“Begitu ya………”
“Hn, aku……….”
“………”
“………..”
“………….”
“………….”
Terus berharap.
“Itu, Torajirou.”
“ ‘Kenapa?’ “
“Aku ya…….”
“ ‘Hn.’ “
“Menyukai Kanda-kun.”
Berharap bisa terus seperti ini, tapi juga tidak berharap terus
seperti ini…………inilah hubungan rumit yang sedang dijalin
dengan Sorata.
Mashiro yang begitu mulai melukis Sorata pada waktu seperti ini,
Nanami tahu alasannya. Karena saat sendiri sedang latihan
dengan Sorata, Mashiro terlihat sedikit tidak senang………..
Saat lukisannya selesai, akan terjadi sebuah perubahan. Nanami
mempunyai firasat akan itu, tidak, bisa dibilang Nanami sudah
merasakan itu sekarang. Karena ada perasaan yang jelas ini,
dan yang lebih penting, Nanami tahu lukisan Mashiro dapat lebih
memberitahu perasaan daripada kata-kata ataupun ekspresi.
“Siap, hormat.”
Kelas yang bebas dari seluruh pelajaran hari ini, sekejap menjadi
ribut.
Nanami merasa tidak senang dan iri, juga membenci diri sendiri
yang berpikir seperti itu.
“Huft………”
“Ou~~”
“Tidak, hari ini tidak perlu kerja, tapi ada janji dengan Koharu
sensei untuk interview mengenai rencana setelah lulus nanti.”
“Ou ou, itu ya……..sebaiknya hati-hati, karena dia akan bertanya
hal-hal yang aneh.”
Dia sangat sadar dengan dirinya yang iri, tapi tetap saja tida bisa
bertahan untuk protes pada Sorata.
Di saat mereka berdua ngobrol begitu, kelas yang ribut itu tiba-
tiba menjadi diam. Selanjutnya-----
“Sorata.”
Suara Mashiro terdengar masuk ke kelas.
“Iya, iya.”
“Berusaha apa?”
“Akhir akhir ini aku mulai bersiap untuk megikuti audisi pengisi
suara animenya Misaki-senpai.”
“Masih belum.”
“Huh!”
“Ou~~……..heh? Hoi!”
Lalu, hari ini juga biasa-biasa saja, Yayo dengan sedikit malu
memindahkan pandangannya.
“Bukan.”
“Bukan.”
“Jangan-jangan kelas 1……..atau mungkin dia sudah wisuda?!”
“Semua bukan.”
“Semua bukan?”
“…………”
“Ah~~tunggu!”
Nanami juga ingin ikut kabur, tapi malah ditarik kembali Mayu.
“Ya, ada.”
Setelah Nanami berkata ‘duluan ya’ pada Mayu, dia juga segera
mengikutinya.
“Mohon bantuannya.”
“Begitu ya.”
“Iya.”
“Oh ya, apa kau tahu jurusan theater ada tes yang lain?’
“Saya tahu.”
“Hn.”
“Kalau begitu apa kau ingin bertanya pada kakak kelas yang ada
di jurusan theater, kira-kira perlu teknik seperti apa? Aku bisa
meminta bantuan dari Universitas sana.”
“………..”
“Ada apa?”
“Ya.”
“……….”
“Hn.”
“Masih tanya kenapa. Gara-gara kau tidak hadir, kami tak bisa
memulai rapat.”
Terhadap Koharu yang santai-santai aja, Chihiro jelas terlihat
tidak senang.
“Itu ya.”
“Ah, begitu ya? Aku sudah tahu. Aku akan beritahu kepala
sekolah, juga akan kuberitahu ke asrama reguler nanti.”
“Mohon bantuannya.”
“……….apa hal ini sudah kau beritahu pada Kanda dan yang
lainnya?”
“Tidak, belum.”
“Oh.”
“Kau pasti berpikir bila terus tinggal di Sakurasou, maka kau akan
dimanjakan oleh mereka………tapi, ‘bersandar’ pada orang lain
bukan berarti kamu lemah.”
“………..”
“Juga?”
“Tidak ada.”
“………..huft.”
“………..”
“Ini juga belum tentu pasti seperti ini. Aku bukan Kanda, kau juga
bukan Kanda. Jadi pada kenyataannya, kita sama sekali tidak
tahu perasaan lawan, mungkin Kanda juga seperti itu.”
“Terima kasihS.”
“Kanda-kun.”
“Ada apa?”
Pada suatu hari saat pulang sekolah, saat Nanami akan kembali
ke asrama reguler, dia melihat di depan gerbang sekolah
berkumpul banyak orang.
“Kanda-kun.”
“eh……..Aomori-san?”
“Salah, itu adalah Pulau Honsu yang ada di ujung utara. Aku
adalah Aoyama Nanami yang sekelas denganmu.”
Jadi dia tidak terlalu merasa kurang enak pada hal ini, sampai
Sorata memungut kucing itu……
Sorata yang memungut kucing; dan dirinya yang tidak peduli akan
itu. Mungkin hanya ingin menghilangkan perasaan tidak enak itu
sedikit saja, ingin mencari alasan, dan ingin berpikir ‘Sorata itu
bukannya tidak normal, hanya seseorang yang biasa-biasa saja’
dan merasa tenang.
Saat ini, Nanami dengan pandangan yang bukan karena jatuh
cinta menatap ke Sorata.
Jadi dia banyak tahu mengenai toko-toko yang ada di sekitar sini,
tentang toko roti yang enak juga dia dengar dari Sorata.
“Kenapa?”
“Begitu ya? Tapi aku merasa iri lho. Karena aku berpikir untuk
serius dan mencari……..tujuan, makanya aku keluar dari klub
sepak bola.”
“……….terima kasih.”
“…………”
“Huft~~syukurlah.”
“Ha-hati-hati.”
"Hn, makasih.”
“………..”
“………..”
“Be-begitu ya.”
“Hn,hn, ayo.”
Nanami mengejar Sorata yang berdiri duluan, membuang plastik
burger pada tong sampah, dan mengembalikan papannya.
“……..”
“Huft~~~”
“Bagaimana ini……..”
“Ke-kenapa?”
Hal yang terjadi saat di dalam Ferris Wheel terbayang lagi, wajah
Nanami dengan sekejap memerah, dengan tidak sadar
memegang bibirnya.
“Itu aku tahu, yang aku ingin tahu adalah apa yang terjadi.
Pokoknya, apa saja yang kalian lakukan di taman hiburan?”
“Ha-hanya itu.”
“Kau bohong!”
“……..dan terjadilah.”
“Berciuman.”
“Are!!”
“I-itu……ba-bagaimana ya……..”
“Bagaimana?”
“To-topik ini sampai di sini saja! Waktu itu aku sudah mencapai
batas diriku sendiri, jadi sama sekali tidak kuingat rasa seperti
apakah itu!”
“…………”
“…………………….”
“Terima kasih.”
Mayu yang sedang minum teh dengan sedotannya itu, tidak tahu
seberapa seriusnya dia.
“Jatuh cinta dan tinggi badan tidak ada kaitannya! Ah, oh ya,
Nanami! Anak kelas 1 yang dipindahkan ke Sakurasou itu!
Kenalkan dia padaku. Walau ekspresinya selalu terlihat sedang
melamun, tapi aku pernah melihat sosoknya yang sedang
bermain piano, tidak buruk juga.”
Tidak hanya tinggi badan, seluruh tubuh Mayu terlihat mungil, jadi
pasti bukan pilihannya.
“Jangan dipikirkan.”
Tapi kita kesampingkan dulu soal topik ini, soal menulis cerita
sampingan……tidak kusangka banyak yang kutulis, seperti :
Ini adalah kisah yang terjadi antara jilid 6 dan 7, terjadi di liburan
musim semi. Di dalam cerita ini, Mashiro jatuh demam, tapi itu
semua karena Sorata. Cerita pernah muncul dalam drama
CDnya, pembaca yang penasaran boleh coba mendengar nanti.
(Musim Seminya Aoyama Nanami dan Para Gadis)
Kali ini juga, kalau para pembaca bisa melupakan bahwa ini
adalah cerita yang ditulis seorang paman yang berumur 35, saya
akan sangat berterima kasih.
Kamoshida Hajime