Anda di halaman 1dari 19

Mulai Nulis

 Kategori
o
o
o
o
o
o
o
o
o JJK
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
 Terpopuler
 Pilihan Editor
 Terbaru
 Event

Wiatmo Nugroho
FOLLOW

hamemayu hayuning Indonesia

Cerpen highlight headline

Cerpen | Pertemuan
27 September 2017   18:53 Diperbarui: 29 September 2017   05:24 2042 10 8
Ilustrasi: Pixabay/StockSnap
- ketika tokoh cerita jatuh cinta pada penulisnya -

Aku sangat ingin bertemu dengannya, benar-benar ingin; karena kagum, karena ia seperti teka-
teki bagiku. Aku perkirakan, pikirkan; dia cantik, dengan hidung seperti hidung Julia Robert,
meskipun hanya ujungnya saja; pasti tidak mancung, tetapi berujung lancip seperti itu tadi, Julia
Robert. Rambutnya; panjang sebahu cukup, bahkan kurang pun tidak apa, dan tidak perlu lurus
seperti rambut para putri yang berlomba mendapatkan mahkota kecantikan, atau foto dengan
rambut panjang dan lurus yang ditempel di bungkus sampo.

Cerita yang ditulisnya bagiku memikat; meskipun tak pernah bertemu, meskipun aku hanya bisa
menduga, merasa. Aku hidup, meskipun hanya di tulisannya, cerita-ceritanya saja, yang kadang
seperti siksaan; karena dia menempatkan aku sesuai keinginan dia, terserah dia, suka-suka dia.
Sudah menjadi nasibku, menjadi seorang tokoh di dalam cerita yang hidup di dalam pikiran dan
cerita penulisnya. Namun semua itu membuat aku sangat ingin bertemu. Olehnya aku hidup, juga
hidup, persis seperti dia yang menulis. Hidup di dalam ceritanya membuat aku juga punya
keinginan, punya rasa. Dan yang aku takutkan apakah aku sudah jatuh cinta, untuknya,
kepadanya, seperti cerita-cerita di karangannya?

Mungkin ia tak menyangka, tak pernah berpikir, sama sekali tak pernah, bahwa tokoh yang
ditulisnya, di dalam ceritanya, ternyata mempunyai perasaan, dan hidup. Hidup yang semula
hanya di pikirannya, ternyata berubah menjadi hidup yang sesungguhnya, meskipun hanya aku
yang merasakannya. Aku merasakan dirinya menghipnotis, menarik perhatianku. Dan yang aku
bisa lakukan; merindukannya, menginginkannya dalam satu pertemuan.

Aku menyukainya karena ia menulis bukan asal cerita, bukan asal-asalan; kadang aku ditulisnya
berjalan di pesawahan dengan angin kencang, di antara padi yang hijau tua dengan cakrawala
yang biru muda terang sejauh mata memandang. Aku tak menikmati pemandangan itu, tetapi aku
hafal. Aku lebih jelas merasakan nafasku yang setengah tersengal, memburu satu rumah di
seberang sungai di tepi pesawahan. Dari sana terlihat hehijauan pohon yang rindang berjajar-
jajar mengikuti liukan sungai yang membatasi sawah dan kampung di seberang sungai.

Dan sampailah aku di rumah itu, yang dituliskannya sebagai rumah orang tuaku, dan bertemu
Ragian yang menjadi adikku. Seorang yang lebih mendekati dengan perempuan yang wajahnya
menempel di sampul sampo, meskipun ia berkulit coklat karena ia seorang gadis kampung. Aku
yakin ia berbeda dengan gadis yang menulis cerita tentang aku.

"Sudah pulang, Mas? Bawa buku baru, kan?" tanya adikku menanyakan pesanannya. Persis
bulan sebelumnya ia minta dibawakan buku sastra, karena ia suka membacanya.

"Ya?" tanyaku seperti tak mendengar pertanyaannya, atau karena aku kurang suka ia
menyambutku dengan tagihan daripada ucapan apa kabar.
Setelah menaruh tas di bilik kamarku, aku menyusul masuk ke dapur dan melihatnya menyeduh
segelas besar teh, sementara aku kebingungan mencari makanan di balik tudung nasi di meja
makan.

"Sabar sedikit, setengah jam lagi nasi dan lauk pauknya sudah matang. Sementara, teh hangat
bisa mengurangi lapar," katanya datar saja, sembari melihat wajahku kecewa.

"Jadi buku pesananku, bagaimana?" tanyanya lagi, tetap datar.

"Ayah belum pulang? Ibu?" aku menjawabnya dengan pertanyaan, masih dengan kegelisahan,
kelaparan.

"Belum! Masih di pasar," kata Ragi maklum, tak mendapati buku yang diharapkannya.

"Nasi dicepatkan matang. Setelah matang, cari bukumu di tasku, dan taruh buku yang dulu di tas.
Besok aku kembali ke kampus!" kataku, dan dibalas tiba-tibandengan teriakan gembira sembari
memburu tasku di kamar. Ia lebih peduli pada buku daripada memasak makananku.

Akhirnya aku mencari-cari makanan sendiri, dan memasak sendiri setelah melacak di kompor,
penggorengan dan panci sayur. Aku sibuk sendiri, semampuku, memasak dengan cara yang
paling mudah dan cepat matang dengan wajah serius sekali karena lapar, meskipun sebagian
sudah terobati oleh minuman teh di gelas besar berkuping yang disiapkan Ragian.

 "Bukumu masih dipinjam Anne," kata Ragian tiba-tiba sudah berada di dapur. Ia sudah
menenteng buku yang terbuka di tangannya, membacanya, lupa dengan masakan.

"Ya, sudah," kataku tetap menggoreng tahu dan tempe, tidak terlalu peduli atau tidak tahu siapa
Anne. Ragian sepertinya tidak peduli dengan jawabanku.

Kebingunganku oleh tahu dan tempe yang aku pikir matang sementara nasi belum, membuatku
memilih minta bantuan Ragi.

"Ragi," kataku pelan dengan mata memelas melihat dia asyik membaca,. Karena itu ia menaruh
buku di meja dapur dan membantuku mencari nasi, entah matang entah belum. Dan sebentar
kemudian dia sudah mendapatkan sepiring nasi setelah mencicipnya. Aku benar-benar tak yakin
ia telah mencicipi nasi yang matang atau hampir matang. Nasi mengepulkan asap di piring,
seperti berebut cepat melarikan diri dari gunungan nasi di piring. Sigap tangan Ragi, mengambil
cabe, garam, tomat  dan entah apa lagi. Seperti gerimis deras, penggorengan mengirim suara dari
cabe dan tomat yang digorengnya.

Setelah sejenak melihat buku yang dibacanya, aku lebih senang mengudap tahu sembari minum
teh yang tinggal separuh. Dan Ragian sebentar kemudian telah menggerus cabe tadi di cobek,
membubuinya dan sebentar kemudian menaruh sambel itu ke gunung nasiku, berteman dengan
tahu dan tempe.
Aku dan Ragian seperti berganti peran; ia kembali dengan buku dan aku dengan nasi, sambal dan
tempe tahu.

"Si Anne minta bertemu, diskusi mengenai buku Kartini yang dipinjamnya," kata Ragi.

Aku terkesima dengan kata Ragi, sembari merasakan enaknya masakan sambal bercampur nasi
yang setengah matang.

"Siapa Soe Hok Gie?" tanya Ragi lagi, juga tak aku jawab.

"Kalau mahasiswa harus membacanya?" tanya Ragi sekali lagi, sedangkan aku masih menikmati
makananku.

"Kenapa mesti namanya Anne? Bukankah kita orang kampung? Orang kampung seharusnya
bernama Ragian, Broto. Bukan Anne!" kataku membalas sambil mengunyah.

"Apa salahnya? Karena namanya Anne?" adikku kebingungan dengan wajahnya yang tetap
polos.

"Kita orang kampung, Ra!" kataku memberi alasan.

"Kampung dan Anne menjadi masalah?"

"Mas, tolonglah, bertemu saja. Sudah berkali-kali dia menanyakan. Tetapi kamu tidak pernah
mau menemui. Kalau kamu tidak suka, ya, tidak apa," Ragi tak bisa menyelesaikan
sanggahannya.

Dan aku masih menikmati sambal dan goreng tempe dengan nasi putih panas yang sudah
menjadi hangat. Beginilah orang kampung, makan hanya dengan sambal dan tahu tempe.
Sebenar-benarnya orang kampung. Anne bukan orang kampung padahal dia di kampung. Itu
alasanku saja; karena aku sedang memikirkan penulisku. Masih ada sambal, masih ada tempe,
tetap saja aku makan, karena aku orang kampung. Alasan yang sangat tepat, meskipun ternyata
membuat Ragian risau hati.

Tiba-tiba saja, aku sadar bukan Anne atau aku yang membuat Ragi risau. Tetapi karena Ragi
sendiri sedang menyukai seseorang, dan takut orang itu tidak suka padanya, seperti Anne
menyukai kakaknya, dan tak berbalas.

Akhirnya demi Ragi, aku bertemu dengan Anne, yang cantik, suka membaca, berambut sebahu
dan mempunyai ujung hidung persis Julia Robert. Tetapi buatku dia bukan seorang penulis yang
membuatku hidup. Kami hanya berbagi cerita, terutama tentang buku, tentang tokoh-tokoh
dalam cerita; kadang kebodohan, buku yang sudah dibaca tetap saja dibaca. Kami senang dengan
cerita yang terutama dari Anne dan Ragi.

Anne, buatku ia sempurna, malah terlalu sempurna; pipi yang bersih, jidat yang sedikit
menggembung, gigi yang rapi, dan bibir yang setengah basah. Terlalu sempurna, alasan yang
pasti tidak diterima Ragi lagi, yang aku buat-buat saja. Hanya karena aku memikirkan yang lain,
yaitu penulisku saja.

Aku mellihat Ragi yang gembira. Tampaknya ia mempunyai harap, bahwa pertemuanku dengan
Anne, kurang lebih sama antara pertemuannya dengan laki-laki yang menarik hatinya, entah
besok sore, atau minggu depan, yang aku harap semoga tidak terlalu lama.

Tetapi yang pasti ia tidak tahu kalau aku tidak mau memikirkan orang lain, tetapi hanya
penulisku saja.

Di hari lain dia menuliskanku lagi, menarikku ke cerita yang lain. Cerita yang ditulisnya, lagi-
lagi, seenak dirinya sendiri.

Aku diceritakan hidup di satu kota dengan sungai yang lebar. Rumah-rumah, bangunan-
bangunan yang berjajar rapi, menjadi keseharianku, mengemudikan perahu dari rumah ke kota,
atau ke pasar, atau ke bundaran, atau alun-alun.

Kota yang ramai. Orang-orang setengah berteriak ketika berbicara antar perahu, dengan
keakraban, dengan kegembiraan, yang seakan-akan, memang hidup di kota itu harus gembira.
Dan perahu hilir mudik, bergantian. Seringkali penumpang perahu adalah orang-orang
pendatang, yang berwisata, menikmati sungai, dan bangunan di sekitarnya. Sekali lagi, semua
orang terlihat suka, bahagia. Banyak tawa di sungai itu. Pembicaraan seolah-olah dengan
gampang terjadi antara orang yang baru dikenal.    

"Broto, kamu longgar, kan? Mau menjemput penumpangku?"

"Hei, ada apa? Pulang lebih awal?" tanyaku membalas teriakan Simon.

"Mau tidak mau, aku harus bekerja setengah hari saja. Ada pertemuan keluarga istriku," Simon
menjelaskan dan mendekatkan perahunya pada perahuku.

"Dia ini wisatawan. Rombongan tetapi tidak banyak. Temui Kania saja. Bilang, aku tidak bisa,
mendadak ada pertemuan." Simon memberi penjelasan, membalas kebingunganku.

Dan sebentar kemudian aku sudah meluncur pelan ke tempat Kania di terminal perahu. Beberapa
teman dengan perahunya berkumpul. Masing-masing sudah punya janji dengan agen masing-
masing. Dari perahuku terlihat beberapa orang di tempat Kania. Dan aku mendekatkan perahuku.

"Broto, kau lihat Simon?" teriak Kania.

"O, ya, pasti," jawabanku.

"Dimana dia? Kenapa dia tidak datang?"

"Dia wakilkan aku. Ada pertemuan dengan keluarganya, mendadak," kataku pada Kania.
Kania menjelaskan maksudnya, dan memintaku mengantar wisatawan melewati kota, juga untuk
menikmati pusat kuliner di dekat pasar.

"Sebentar kurang satu orang, masih di kamar mandi," kata yang satu orang.

Rombongan itu lima orang, muda-muda, dua orang perempuan, dua orang laki-laki. Aku
menyapa mereka, tersenyum ramah dengan rasa kegembiraan yang ada di kota itu.

"Anne, cepatlah!" kata yang satu orang.

Aku berangkat membawa mereka. Anne tidak banyak bicara, sepertinya pendiam, berbeda
dengan teman-temannya. Ia malah mengeluarkan buku dari tasnya dan membukanya.

"Jangan kencang-kencang, Broto!" teriak Kania dengan kedua telapak tangan membungkus
mulutnya membentuk corong.

"Buku ini pas ceritanya," teriak Anne pada teman-temannya.

"O, ya? Tidak salah tempat kita, ya?" balas salah satu temannya.

"Anginnya, airnya, perahunya, bangunannya," balas Anne.

"Ya, perahunya," kata temannya melirik ke aku.

"Masukkan tangan ke air. Air sungai, rasakan dingin atau hangatnya," kataku,"mestinya hangat,
seperti suasana dan orang-orangnya."

Anne dan teman-temannya mencelupkan tangan mereka dan merasakan gelombang air yang
dibelah perahu kecilku. Wajah mereka memperlihatkan rasa penasaran. Kecantikan Anne
mendebarkanku. Sempurna. Namun aku tidak berani memikirkan itu. Aku hanya ingin dia yang
sederhana. Aku yakin penulisku sederhana wajahnya. Dia tidak cantik, tetapi cukup  membuatku
suka.

Setelah perjalanan yang pertama, Anne memintaku mengantarkannya sekali lagi. Kali ini malam
hari. Dan sekali lagi ia berkata memang persis seperti yang dikatakan di dalam buku, air yang
berkilauan karena sinar lampu, lampu-lampu yang membayang di dalam air, dan cahaya-cahaya
yang bertebaran mengikuti bangunan-bangunan yang berjajaran di samping kiri dan kanan
sungai.

"Bagaimana kau bisa hidup di tempat seperti ini? Menyenangkan sekali," kata Anne

"Tentu menyenangkan. Tetapi lebih enak kalian. Bisa bebas. Hidup di sini, ya, begini terus,"
kataku lebih menjelaskan aku yang tak tahu dunia luar sama sekali.

"Ah, tetapi hidup seperti ini juga sudah cukup. Di pusat kuliner tadi bagus sekali. Orang-orang
hampir semua tertawa, berteriak. Piring dan sendok, gelas, seperti ikut berbicara dengan
bahasanya sendiri; teng tang ting tung, bersusulan. Dan suara api dan arang yang gemeretak, dan
masakan yang memecah suasana dengan suaranya sendiri-sendiri," kata Anne.

"Kata-katamu sepertinya baru aku dengar. Belum pernah ada orang mengatakan seperti itu!"
kataku sambil menambatkan perahu.

"Aku akan tunggu di sini,"kataku membiarkannya pergi.

Aku diam di perahu, menyapa beberapa temanku yang masih mengantarkan wisatawan.

Aku diam saja berlama-lama di sana. Anne tidak kunjung kembali. Aku berniat menyusulnya di
pasar seni. Tetapi aku tidak tahu mau kemana, apakah ke tempat rajutan, lukisan, batik? Pasar
seni itu luas, cukup luas. Penulisku tidak menuliskan ceritanya. Ia berhenti. Apa yang terjadi?
Aku harus diam terus? Anne bisa saja menonton pertunjukkan musik, pameran lukisan, merajut,
batik, tembikar. Dan  aku bingung. Hanya duduk dan berdiri saja di atas perahu ini. Aku tidak
mau diam saja.

Aku mencari Anne. Tempat pertama yang aku temui adalah pameran lukisan. Aku menduga
Anne pasti senang melihat, mencermati lukisan yang dipamerkan di tempat ini. Mungkin malah
ia minta dilukis oleh para pelukis di jalanan sana. Yang membuatku terkejut, satu lukisan
memperlihatkan apa yang dikatakan Anne tadi di perahu, jelas sekali. Dan satu perahu tertambat
di halte perahu dengan seorang berdiri di perahu itu, sementara seorang perempuan muda
berjalan menjauhi perahu itu mulai menyusuri jalan, terlihat seperti Anne. Beberapa perahu yang
lain bertebaran di sana-sini, yang kosong, yang sedang mengantar penumpang, dan yang
menunggu sepertiku.

Pikiran tentang lukisan itu membuatku kembali ke perahu tak percaya dengan yang aku lihat.
Semakin tak percaya karena di sungai itu masih ada beberapa perahu di sungai mengantarkan
wisatawan. Aku celingukan, bingung. Aku ada dalam satu lukisan. Aku hidup di dalam lukisan.
Anne, dimana Anne?

Kebingunganku seketika membuatku kembali melihat lukisan itu. Ya, memang lukisan. Dan aku
semakin tak percaya, karena aku sudah berada di dalam satu ruangan yang aku tak tahu.
Beberapa lukisan menempel di dinding. Aku cermati seperti di pameran tadi. Dan salah satunya
ternyata lukisan seorang perempuan di dapur dengan suasana kampung dengan cobek di
tangannya, dengan asap mengepul dari kompor minyak yang terlihat menanak nasi, dan seorang
pemuda yang ternyata adalah diriku.

Aku hanya tokoh. Aku tidak hidup. Aku hanya hidup dalam lukisan saja. Aku tidak bisa
menerima kenyataan itu. Aku bingung, terlalu bingung. Ada lukisan lagi di kamar itu, tetapi
bukan aku lagi yang di sana. Mungkinkah lukisan alam itu juga harus aku lalui, sebagai tokoh
manusia yang hidup, sebagai seseorang bernama Broto? Apakah akan bertemu Anne lagi di
sana?

Dan lukisan Anne ada di ruangan itu juga. Hanya ia sendiri dan tampak wajah Anne saja. Dan
lukisan yang lain, anak-anak muda berumur tidak jauh dari Anne, seorang laki-laki dan
perempuan. Ada juga seorang laki-laki dan perempuan dewasa yang seumur serta Anne dan dua
orang itu tadi.

Aku terduduk lemas di sofa panjang, yang empuk dan lembut sekali. Serasa berada di dalam
perahu dan merasakan air yang diam tenang. Satu ruangan di sebelah ruangan itu tampak terang.
Aku bergegas memeriksa ruangan itu, mengendap-endap dan juga masih dengan bingung dan
bertanya-tanya.

Dan aku terkejut menemukan Anne di sana. Ia tertidur. Di sofa seperti di ruangan tadi dengan
meja kaca yang lebih pendek, hanya separo tinggi meja Ragian. Ia benar-benar tertidur, pulas.
Sementara laptopnya masih menyala. Aku mengamati Anne, dia memang Anne teman Ragian,
juga Anne yang aku antar dengan perahuku tadi. Pipinya persis, dan memang itu ujung hidung
Julia Robert. Apakah Anne adalah penulisku? Ia baru saja tertidur, sehingga aku harus diam di
perahuku tadi?

Perlahan aku mengintip pekerjaan di laptopnya. Dan ternyata benar. Anne adalah penulisku. Aku
tidak bisa menerimanya. Aku yang tidak suka dengan Anne teman Ragi, dan Anne yang
sempurna di perahu itu, tetapi menemukan ia adalah penulisku, yang aku ingin temui.

Aku ingin mencintai dia yang memberiku cerita, memberiku hidup, pengalaman-pengalaman,
rasa yang kadang tak bisa aku pahami. Tetapi mengapa ia adalah Anne? Ia berbeda, jauh berbeda
dariku. Dia masih tidur di sana. Aku pikir dia terlalu sempurna,  dan aku pikir aku benar.
Rambutnya, hidungnya, pipi, jidat, dan itu semua adalah Anne.

Aku terduduk di sofa itu, di depan Anne. Berpikir, apakah dia akan menjerit ketakutan kalau
melihat aku di sini. Atau dia akan bingung juga, bagaimana aku bisa di sini? Aku sebaiknya
pergi dari sini. Aku mau kembali ke dalam lukisan itu. Dan aku sudah memilih satu lukisan,
untuk kembali.

Sebuah lukisan dengan begitu banyak orang di sana, hampir seperti pasar. Tempaknya itu bukan
lukisan tetapi photo sebuah pameran, galeri seperti di pasar seni di kotaku itu. Biar Anne akan
bercerita tentang pameran itu. Dan bagiku, sepertinya sama saja di sini atau di antara banyak
orang itu, selama ada penulisku, yang membuatkanku, menuliskanku dalam sebuah cerita.   

KOMPASIANA ADALAH PLATFORM BLOG, SETIAP ARTIKEL MENJADI


TANGGUNGJAWAB PENULIS.
LABEL

cerpen

tokohcerita
RESPONS : 0

Rekomendasi untuk anda

Powered by

Riwayat Dendam di Kampung Kita


valry hengky
137

Darsih
Ion Sustriono
585

Haruskah Takut pada Cinta? (14)


Latifah Maurinta
1882

Perjuangan Menginjak Tanah Kampus


Negeri
Mnashir Tsalits
141

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Saripudin Hidayatullah
143

Menenangkan Siswa yang sering Membuat


Keributan di Dalam Kelas
Asinah MZ
1064
BERI NILAI
Aktual
Bermanfaat
Inspiratif
Menarik
Menghibur
Tidak Menarik
Unik

NILAI TERBANYAK

Inspiratif

Menarik

Lilik Fatimah Azzahra


Menarik
Fitri Manalu
Inspiratif

Mahfudz Fauzi
Inspiratif

Boris Toka Pelawi (Bang Bo)


Inspiratif

Tilaria Padika
Inspiratif

Gaganawati Stegmann
Menarik

Muhammad Armand
Inspiratif

Pairunn Adi
Menarik

Wahyu Sapta
Inspiratif

T.H. Salengke
Menarik
BERI KOMENTAR

Lilik Fatimah Azzahra 6 Oktober 2017  


06:19
Selamat pagi pak...nderek menyimak...^_^

Balas Laporkan

Fitri Manalu 1 Oktober 2017   08:00


Keren dan inspiratif
Salam hangat

Balas Laporkan

Wiatmo Nugroho 30 September 2017  


17:11
sembah nuwun, terima kasih semua RATINGers

Balas Laporkan

Gaganawati Stegmann 29 September


2017   14:30
Omaigottttt.
Ceritanya bagus kayak pilem.
Deg degan ... kalau baca selalu ada yang misterius bingung membayangkan lalu jelas
misterius lagi dan lagi ... lagi.
Wihh sedap.
Jadi buku asyik tuh.
VOTED
Selamat HL

Balas Laporkan
o

Wiatmo Nugroho 29 September 2017  


17:13
tengkyu jeng sudah menyemangati

Balas Laporkan

Boris Toka Pelawi (Bang Bo) 29


September 2017   18:05
setuju bangett

Balas Laporkan

T.H. Salengke 28 September 2017   10:00


Alur cerita yg mantap Pak...

Balas Laporkan

Wiatmo Nugroho 28 September 2017  


21:24
terima kasih pak T.H. Salengke sudah mampir

Balas Laporkan

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana

TERPOPULER

Meninjau Ulang TNI Masuk Stadion Sepakbola

Reza Nurrohman
768

Pengawas Makan Obat: Pengalaman Pribadi Seorang Ibu

Feda Makkiyah
652

Persebaya Tumbang, Bonek Guncang Gelora Bung Tomo

Subhan Riyadi
639

Puisi | Aku Bertanya Kepada Matahari

Alex Pandang
549
NILAI TERTINGGI

[Semarkutigakom] Apa yang Paling Menyenangkan dari Bercocok Tanam?

Susy Haryawan

[Semarkutigakom] Cinta itu Zat Adiktif, Katamu

Wahyu Sapta

[Semarkutigakom] Berawal dari Kopdar Iseng

Wang Eddy

[SematKutigaKom] Setelah E-Toll, Siapkah Anda dengan E-Cuci Baju?

Biyanca Kenlim

FEATURED ARTICLE

Melawan Kanker Payudara Tidak Pernah Semudah Itu

Kompasiana
353

TERBARU

Kasus Dwi Hartanto dan Celah Budaya Kita

Yose Revela
1
Angkutan Masal Murah, Masih Jauh dari Jangkauan Masyarakat

Nanang Diyanto
3

Bimantoro dan Problem Berkendara "Anak Kolong" Keluarga Besar TNI

Reza Nurrohman
124

Puisi Fadli Zon dan Tiga Tahun Keberhasilan Pemerintahan Jokowi

Dani Wijaya
111
HEADLINE

Ketika Arbain Rambey Bersaing dengan Gemala Hanafiah di Dunia Foto &
Video

Kompasiana
473

Meraba Risau Pengemudi Online di Bandung

Zulfikar Akbar
794

Gurita Parpol dalam Bisnis Televisi

Om Brill
433
Apa yang Diteriakkan Grup Band Setelah Era Nirvana?

Amakusa Shiro
354
 
SOCIAL STREAM
Beyond Blogging

Menyibukkan diri sendiri dengan kegiatan positif, curhat dengan orang terdekat, berbaur dengan
banyak orang dan tetap menjaga pola makan bisa jadi tips untuk mengurangi sakitnya.
41 m
Kompasiana

Sementara, semestinya Yahoo menjadi Google yang kita kenal sekarang. Namun, mengapa yang
kita lihat justru sebaliknya?
1h
Kompasiana
Inilah kebiasaan yang membuat kita gagal untuk berkembang maju. Jangan dipendam terlalu
lama yah!!
2h
Kompasiana

Siapa sih yang nggak pengen punya pacar? Saya yakin setiap orang ingin memiliki seseorang
yang spesial dalam hidupnya.
3h
Kompasiana

Kami tantang Anda untuk membuat sebuah puisi hanya dalam 120 karakter. Kami gelar
kompetisi menulis puisi pendek di media sosial Twitter. Deretan puisi ini akan dibaca langsung
oleh Jokpin...
4h
Kompasiana

Buat puisi panjang sudah biasa. Tapi kalau nulisnya di twitter bisa gak? Apa saja syarat
kompetisinya? Cek poster di bawah ini ya! #SastraKompasianival
22 h
Kompasiana

TENTANG KOMPASIANA
PROFIL
PERFORMA & STATISTIK
TIM
SYARAT DAN KETENTUAN
DEFINISI
KETENTUAN LAYANAN
KETENTUAN KONTEN
PENGGUNAAN DAN HAK CIPTA
SANGGAHAN DAN PELAPORAN KONTEN
KETENTUAN PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG ITE
BANTUAN
FAQ
KONTAK KAMI

Anda mungkin juga menyukai