Anda di halaman 1dari 4

Aku Dan Cita Cita Ku

Cerpen Karangan: Hiakri Inka


Kategori: Cerpen Inspiratif, Cerpen Pendidikan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 16 March 2016

Aku menatap lalu lalang mobil dengan pandangan bingung. Bus yang membawaku pulang ke
rumah melaju kencang atau bisa dibilang ugal-ugalan. Jujur, aku bingung. Kejadian di sekolah tadi
masih mengganggu pikiranku. Memang bukan kejadian besar tetapi itu membuatku berpikir keras
dan berusaha mencari kejelasan atas apa yang aku lakukan.
Jadi, tadi sebelum pulang sekolah, guru BK menyuruh anak-anak kelasku untuk menulis satu cita-
cita yang PALING ingin diraih. Paling inging diraih? Satu cita-cita? Itulah yang ada di pikiranku
hingga sekarang. Satu? Aku punya beribu cita-cita. Jadi wartawan, reporter, penyiar radio, dokter
cinta, psikolog, arsitektur, sastrawan, editor, ahli komputer, ustadzah, guru-eh? Guru? Tunggu!
Itu kan cita-cita sewaktu aku masih kecil.. Dan sudah lama banget aku nggak kepikiran soal cita-
cita itu.

Apa ada sesuatu yang ku lupakan? Kenapa dulu aku ingin jadi guru? Apa sih spesialnya jadi guru?
Argh… Karena itulah aku bingung.. Kenapa harus menulis satu saja sementara aku punya banyak
cita-cita. Karena waktunya juga terbatas, akhirnya aku menulis cita-citaku adalah menjadi seorang
guru. Aku menulisnya tanpa alasan. Ada ruang kosong di hati saat menulisnya. Kenapa? Kenapa di
lembaran kertas putih itu aku ingin menjadi seorang guru? Apa yang sudah ku lupakan? Kenapa
tujuan hidupku seolah berubah dan bercabang? Yang awalnya hanya ingin menjadi seorang guru
lalu bercabang dan menjadi banyak cita-cita. Apa yang salah dari diriku?

Aku memasuki rumah sambil mengucap salam. Sepertinya aku harus mengorek masa lalu. Kenapa
dulu aku ingin menjadi seorang guru. Pasti ada alasannya. Pasti juga ada alasan kenapa cita-
citaku jadi banyak seperti itu. Aku membuka kembali diary masa kecilku. Aku baca lembar demi
lembar halamannya. Meskipun aku tak menemukan alasan kenapa aku ingin menjadi seorang
guru, aku cukup terhibur dengan isi diaryku. Cara penulisannya yang polos, cerita-cerita tidak
penting yang aku tulis, terlalu banyak kata ‘lalu’ untuk menyambung suatu cerita, juga tulisanku
yang besar-besar dan tidak rapi membuatku bernostalgia sekaligus tertawa dibuatnya.

“Lagi apa, Fe?” tanya kakak perempuanku yang bernama Ruri.


“Lagi nyari sesuatu,” jawabku seadanya.
“Sesuatu? Kok buka-buka buku diary segala,” Kak Ruri terkekeh, “Nyari apa sih? Nyari nama
mantan?” ia menyenggol lenganku dengan senyum menggoda.
“Mantan? Pacaran aja belum pernah masa nyari nama mantan,” aku menggembungkan pipiku
yang cubby.
“Nyari apa dong kalau gitu?” tanyanya penasaran.

“Nyari alasan.”
“Alasan?” Kak Ruri menautkan alis.
“Alasan kenapa aku ingin jadi guru.”
“Oh…”
“Kak Ruri tahu nggak kenapa dulu waktu aku kecil aku ingin banget jadi guru?”
“Hm… Gak tahu sih. Mungkin karena suruhan Ayah sama Ibu. Dulu kan Ayah sama Ibu inginnya
kamu jadi guru. Gak tahu deh kalau sekarang cita-cita kamu berubah,” Kak Ruri mengangkat
bahunya dan disambut helaan napas dariku.

“Emang cita-cita kamu selain jadi guru apaan, Fe?”


“Ya banyak!” jawabku antusias.
“Contohnya?”
“Psikolog, penyiar, novelis–”
“Coba deh kamu pikir alasan kamu ingin jadi psikolog, penyiar, novelis, pasti ada alasannya, kan?”
potong Kak Ruri. “Aku ingin jadi psikolog karena aku ingin memotivasi orang. Aku ingin jadi
penyiar karena aku menganggap pekerjaan itu asyik. Aku ingin novelis karena aku suka nulis. Aku
ingin jadi guru karena…”
“Karena jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Nggak usah dicari, Fe..” potongnya.
“Harus dicari, Kakakku tersayang… Ah! Udah ah! Kakak nggak ngasih solusi.. Udah kelas tiga,
bentar lagi ujian, masih aja bingung mau ngambil jurusan apa. Karena itu guru BK tanya cita-cita.
Huh!” keluhku sebal.
“Hahaha… Nggak sulit kok, Fe. Kamu aja yang bikin sulit.”
“Kenapa sih… Dulu aku ingin banget jadi guru?” teriakku dengan nada frustrasi.
“Haha! Masalah profesi aja bisa bikin kamu stres, Fe!” ledeknya.

“Hah…” aku menghela napas panjang, “Harus nyari di google ya, Kak kelebihan jadi seorang
guru?” sontak Kak Ruri terbahak-bahak. “Jawaban itu ada pada diri kamu sendiri. Kalau kamu
nggak nemuin, cari dong! Tanyakan pada teman-temanmu.. Apa sih kelebihan seorang guru.
Kalau menurutmu sendiri gimana?”
“Mm… Nggak ada. Guru itu, berangkat, ngajar, pulang. Selesai!”
Kak Ruri tertawa terbahak-bahak, “Jangan-jangan kamu mikir pekerjaan Kakak sebagai fotografer
cuma foto-foto doang gitu? Pikiranmu pendek sekali, Fe… Udah ah! Cape ngomong sama anak
kecil! Mau kuliah kok pikirannya masih kayak gitu!” ledeknya dan aku hanya menggembungkan
pipi melihatnya memasuki kamar.

“Kelebihan jadi guru, Fe?” seru sahabatku-Angel sewaktu aku menceritakan cita-citaku tersebut
pada ketiga sahabatku. “Menurutku ya, guru itu pekerjaan monoton. Berangkat, ngajar, pulang,
nggak ada asyik-asyiknya!” seru sahabatku -Vita.
“Gajinya juga dikit, Fe,” tambah Angel, “Gak sebanyak bos-bos di perusahaan,” ia tersenyum
menggoda sambil mengaduk jus strawberry-nya.
“Tapi menurutku ya, meskipun guru gajinya dikit, tapi dapat banyak pahala,” seru Erin dengan
senyum merekah.
“Iya sih, tapi kalau ngajarnya kayak Bu Surti malah dapat dosa dong!” seru Vita dan sontak
disambut gelak tawa dari kami berempat.

“Bu Surti itu kepaksa jadi guru!” tambah Angel.


“Ulangan dijadiin PR. Kerjaannya di kelas cuma presentasi, ngerjain LKS. Hahahaha…” tambah
Erin.
“Hei, dia itu guru kita tahu! Jangan kualat!” seruku di sela-sela tawa.
“Asyik juga sih sebenernya. Kita nggak perlu mikir pelajaran. Bu Surti juga murah nilai. Tapi, dia
nggak ngasih kita ilmu sama sekali. Layaknya sebuah telur yang nggak ada kuningnya,” ujar
Angel.

“Yup! Terserah kamu aja sih, Fe kalau mau jadi guru. Kalau bisa kamu harus lebih baik dari Pak
Edi. Udah Pak Edi itu ngajarnya enak, nggak banyak PR, murid-murid jadi paham, gak pelit nilai
lagi!” seru Erin antusias.
“Kalau menurutku ya, nilai itu tergantung pendirian masing-masing guru. Jangan terlalu pelit,
jangan terlalu baik. Kalau terlalu pelit, murid bakal benci sama kita. Kalau terlalu baik, murid
malah nyepelein kita,” tambah Vita. “Kamu kan udah jadi murid nih, harusnya kalau mau jadi
guru, kamu tahu kriteria seperti apa guru yang baik,” tambah Erin.

“Hm! Teman-teman, kembali ke pertanyaan awalku. Apa sih kelebihan jadi guru?” tanyaku karena
tak menemukan jawaban dari pertanyaanku tadi.
“Kalau bagiku yang menuntut hidup banyak materi di dunia, guru itu banyak kekurangan,” Angel
mengaduk jus strawberry-nya, “Gajinya dikit. Gak sebanyak jadi pengusaha. And… Mm..
Kelebihannya ya itu, banyak pahala.”
“Kekurangan jadi guru itu.. Menurutku loh ya, pekerjaannya monoton. Tapi pekerjaan monoton itu
tergantung cara kita menyikapinya. Kalau kita have fun jadi guru, ya udah jalanin aja.
Kelebihannya, seperti yang Angel bilang, banyak pahala! Ingat nggak tiga perkara yang
ditinggalkan sesudah mati? Ilmu yang bermanfaat. So, jadi guru pahalanya terus mengalir,” kata
Vita.

“Semua pekerjaan ada kekurangan sama kelebihannya, Fe. Tergantung cara kita memandang
kekurangan dan kelebihan itu. Jadi guru banyak kok kelebihannya. Gak semonoton yang Vita
bilang. Kita bisa bertemu murid-murid yang menghormati kita yang berbeda tiap tahunnya, dapat
pahala, gajinya juga standar biar kita nggak jadi manusia yang tamak, dan kita bisa meluangkan
banyak waktu buat keluarga,” ujar Erin dengan senyum lembut, “Oh ya, saranku kalau kamu jadi
guru, please ubah karakter bangsa ini. Waktu sekolah aja mereka udah nyontek, nyari bocoran,
apalagi nanti kalau mereka kerja, bisa korupsi tahu! Mereka itu sama aja udah nganggap Tuhan
nggak ada. Mereka sama sekali nggak takut sama Tuhan.”

“Tapi, Rin, otakku pas-pasan.. Nggak kayak kamu..” elak Angel.


“Angel, bukan masalah otak. Masalah letak kejujuran dalam hatimu. Anak Indonesia tuh
pembohong semua tahu nggak?! Bangsa ini akan hancur kalau tunas-tunas mudanya adalah
seorang pembohong! Karena itu kadang aku mikir, buat apa sekolah kalau cuma nambah dosa
doang. Sekolah itu kayak nuntut kita buat ngelakuin dosa! Temen-temen lain, ngepek, dapat nilai
bagus. Aku yang jujur dapat nilai jelek malah dimarahin gurunya. Guru macam apa itu? Malah
membela yang salah. Gurunya aja udah hancur. Muridnya tambah hancur,” seru Erin tak mau
kalah.

“Sabar, Rin,” aku berusaha menenangkan Erin.


“Aku salut sama kamu, Rin. Kamu berani mengambil resiko dengan kejujuran. Aku nggak bisa jadi
seperti kamu. Aku selalu ngikutin hawa nafsu dan perkataan temen-temen. Bagaimanapun juga
nilai bagus adalah targetku entah pake cara apa. Aku bangga sama kamu. Aku senang Indonesia
punya orang kayak kamu,” sahut Vita antusias.
“Guru yang harusnya bisa membentuk karakter murid malah memperparah muridnya sendiri,”
kataku lebih pada diriku sendiri yang ingin menjadi seorang guru.
“Tapi, udah dibilangin kayak gitu aku nggak akan berhenti nyontek. Nanti nilaiku turun lagi. Nanti
orangtuaku kecewa,” sela Angel dengan wajah innocent.

“Tuh kan! Lebih mentingin duniawi! Orangtuamu bakal lebih kecewa kalau itu nilai yang kamu
dapat hasil ngepek, nyontek!” seru Erin kesal.
“Emang kamu nggak mikir, orangtuamu bakal bangga gitu kalau kamu nunjukin nilai-nilai jelek
terus kamu bilang ‘Aku ini jujur loh…’ Hah.. orangtuamu nggak bakal bangga sama tuh nilai!
orangtua tuh cuma peduli hasil akhirnya! Nggak peduli prosesnya kayak gimana!”
“Ya iya.. Karena itu aku belajar.. Buat nggak nambahin dosa-dosaku.”
“Itu riya’ tahu nggak?! Pamer! Sok alim!”

“Hei!” seruku dan Vita menghentikan perdebatan dua insan ini.


“Angel, Erin, udah. Susah nyatuin pendirian yang sama-sama kuat!” seruku menengahi mereka.
Angel menghela napas kesal, “Fe, kalau kamu jadi guru, ngajarin yang bener sampai muridmu
bener-bener paham! Jangan sampe mereka nyontek ataupun ngepek!” seru Angel, “Aku nggak
mau keturunanku lebih buruk dari aku.”

“Fe, bilangin juga sama murid-muridmu nanti, kalu ulangan sejarah sama Pkn jangan ngepek!
Otak manusia tuh hebat! Dipergunain tuh buat menghafal! Manusia tuh bisa menghafal satu buku
sekaligus! Cuma, manusianya aja yang males!” seru Erin tak mau kalah.
“Fe! kalau jadi guru jangan yang galak ya! Hehe…” kata Vita dengan senyum merekah.
“Hm! Pasti! Aku bakal jadi guru yang baik agar bangsa Indonesia bisa berubah,” aku mengangguk
mantap. Tunas-tunas muda bangsa Indonesia, aku akan menunjukkanmu jalan yang benar agar
Indonesia tak terpuruk lagi seperti ini..

Dear Diary,
Tadi ada sebuah kejadian besar di hidupku. Entah kenapa aku mendapat alasan kenapa dulu aku
ingin menjadi seorang guru. Hm.. Aku ingat, Dear secara tiba-tiba. Berangkat, ngajar, pulang,
yang Vita bilang monoton sebenarnya itu adalah hal yang simple, nggak ribet. Jadi aku punya
banyak waktu luang buat keluarga atau ngelakuin hal-hal bermanfaat lainnya. Gaji dikit yang
Angel bilang, itu adalah sebuah kesederhanaan yang aku impikan sejak kecil agar tak menjadi
manusia tamak yang melupakan Tuhan.

Aku juga ingin mengamalkan ilmu yang telah ku terima, membagi pengalamanku, dan mengajari
murid-muridku tentang Islam. Lewat profesi guru, aku bisa berdakwah. Pelan-pelan, ku ubah anak
Indonesia ke jalan yang lebih baik. Seperti yang Erin bilang. Sekolah itu bukan untuk menambah
dosa tetapi menuntut ilmu agar mendapat pahala dan bisa mengamalkannya. Aku juga ingin
membangun karakter bangsa Indonesia. Kejujuran. Itulah kunci utama. Aku harus menciptakan
cara supaya murid-muridku menjadi manusia yang jujur. Tidak urakan lalu mencari bocoran ke
mana-mana. Jujur dan percaya akan diri sendiri namun tidak melupakan Allah SWT.

Seperti yang Vita bilang, tiga perkara yang kita tinggalkan saat meninggal dunia yaitu ilmu yang
bermanfaat. Aku yakin ilmuku pasti mengalir, diamalkan, dan akan memberikan pahala di setiap
alirannya. Aku juga tidak mau menjadi guru seperti Bu Narti yang disepelekan oleh murid-
muridnya. Aku ingin membuat murid-muridku benar-benar paham apa yang aku sampaikan.
Membuat mereka paham, percaya diri untuk bertanya, tertawa oleh lelucon-leluconku, tidak
tengok kanan-kiri-bawah saat ulangan, mendapat hasil sesuai usaha dan doa. Memang sih kalau
anak Indonesia bisa menjadi seperti itu mungkin Indonesia bisa menjadi negara maju. Tetapi aku
tahu, semua itu butuh usaha dan doa.

Karena itu, aku akan menyusun strategi mulai sekarang, belajar dengan giat, selalu berdoa agar
diberi kemudahan, and do the best for all. Belajar jadi Ibu yang baik dari mengajar, meningkatkan
mutu pendidikan Indonesia yang kian terpuruk, memberi motivasi untuk membangun karakter
bangsa ke arah yang lebih baik, jadikan bangsa Indonesia bangsa yang jujur! Dear, sepertiga hari
yang dihabiskan anak-anak adalah di sekolah. Jadi intinya sekolah itu untuk membangun karakter
mereka selain ajaran orangtua. Jadi guru yang baik untuk anak-anak bangsa! Fe bisa! Fe fight!
Fight! Fight! Fight! Jangan cabangkan cita-citamu lagi! Jangan jadi bocah ababil! Dewasalah!
Bentar lagi mau kuliah! Nggak boleh kayak anak kecil! Yosh! Fight! Be the best teacher for
Indonesian! Yahu! Guru, itulah cita-citaku! Fe.

“Udah nemuin alasan jadi guru?” goda Kak Ruri.


“Udah dong!” seruku antusias.
“Aaapa?” tanyanya penasaran.
“Rahasia… Mau tahu? Kalau alasan Kak Ruri jadi fotografer apa?”
Kak Ruri terkekeh, “Mau tahu aja, apa mau tahu banget? Yang pasti itu rahasia!”
“Gitu kan! Pelit!”

“Ye! Biarin! Kalau alasan cita-citamu jadi banyak kayak gitu apa, Fe?”
“Hm… Aku ababil…” jawabku malu-malu kucing.
“Namanya juga ABG.. Tahap-tahap keababilan biasalah! Yang penting kamu jangan sampai salah
pilih jalan.”
“Siiiap! Aku nggak akan salah pilih lagi, Kakak!” kita berdua tertawa bersama.

Udah tahu kan asyiknya jadi seorang guru? It’s so fun and amazing career! Dan.. Guru adalah
pahlawan. Pahlawan tanpa tanda jasa.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai