Anda di halaman 1dari 5

Perpustakaaan Kelamin: Alegori ilmu, buku dan kekasih

Oleh: Robi Zaenal Muttaqin Nurramdlani

Judul: Perpustakaan Kelamin, Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan


Penulis: Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit: Semesta
Tempat Terbit: Bandung
Tahun Terbit:
- Cetakan Pertama, Mei 2016
- Cetakan Kedua, Maret 2019
- Cetakan Ketiga, Februari 2021
Tebal Halaman: 255

“Ketika Tuhan meniupkan ruh padamu, Dia simpan pada tiga tempat: Akalmu, hatimu dan
kelaminmu. Tinggal kau yang putuskan, mana yang akan kau utamakan?”
-Emha Ainun Nadjib-

Adagium dont judge book by its cover barangkali cocok dimanifestasikan ketika kita
memandang buku yang satu ini. Sebab buku perpustakaan kelamin, akan memunculkan kesan
yang begitu liar dan banal jika kita hanya melihat sampul dan hanya membaca judul.
Beberapa kesan yang akan muncul jika pertama kali mendengar judul dan melihat
sampulnya mungkin seperti berikut. Pertama, buku tulisan Mughni ini berisi cerita yang
menjelaskan suatu perpustakaan yang isinya adalah buku tentang kelamin, persetubuhan,
pelacuran dan sekelumit hal menjijikan tentang kelamin lainnya. Sedang kelamin adalah sex, dan
hal itu terlalu vulgar untuk dibaca dari sebuah buku. Kedua, buku ini mungkin berisi tentang
literatur dan seluk beluk kelamin; tentang kelamin dan perkembangannya, tentang bagian-
bagiannya, tentang khitan, tentang keputihan, berikut hal-hal yang menyertainya. Ketiga, (kesan
yang saya dapat setelah membaca halaman pertama), adalah kesan buku naon ieu? Sebab
bajingannya Mughni, ia begitu piaway dalam memikat pembaca bukunya sedari halaman
pertama.
Buku ini bercerita tentang tokoh bernama Hariang yang diasuh dan dididik oleh ibunya
bernama Sajarotul Ilmi di sebuah desa bernama Desa Cigendel. Berlatar belakang di Kabupaten
Sumedang, Hariang kecil yang bapaknya sudah direnggut Tuhan sedari dalam kandungan, tidak
pernah diberangkatkan untuk mengenyam pendidikan formal oleh sang Ibu, hanya di
“sekolahkan” pada seorang kiai kampung bernama Mama kiai Dadang untuk menimba ilmu
agama, sedang sang Ibu mengambil alih peran sebagai pengasuh seagaligus “pendidik” bagi
Hariang.
“Saya sadar, seorang perempuan akhirnya hanya akan mengabdi pada suaminya dan anaknya.
Tapi perempuan tidak harus goblok. Tidak harus bodoh. Tidak harus buta pendidikan. Ilmunya
nanti, paling tidak bisa diberikan kepada darah dagingnya.” (hal 11)
Cara Ibu mendidik Hariang memang tergolong “mengerikan” (meminjam bahasa Hariang
sendiri). Hal ini dapat dilihat dari metode yang dilakukan sang Ibu agar sosok Hariang dapat
mencintai buku. Selama 20 tahun lamanya, sosok Hariang dibiarkan hanyut dan tenggelam akan
tanya, tentang apa isi dari sebuah ruangan yang dirahasiakan Ibunya. Ruangan bekas kandang
kambing itu (kelak dijadikan perpustakaan yang diberi nama Pabukon Kadeudeuh), isinya tidak
pernah diberi tahu pada Hariang kecuali setelah Hariang menginjak umur 2 dasawarsa lamanya.
Ternyata, ruangan itu berisi buku-buku yang dikumpulkan oleh sang Ibu selama 19 tahun dan
berisi sekitar +- 11.000 judul buku. Sehingga akhirnya setelah momentum itu, kecintaan Hariang
pada buku dan ruangan itu (Perpustakaan Pabukon Kadeudeuh) begitu menggila.
Maka di umur 20 tahun (tepat setelah Hariang mengetahui apa isi dari ruangan yang
selama ini dirahasiakan sang Ibu), objek yang dicintanya di dunia ini bertambah satu. Setelah
Ibu, buku menjadi satu hal lagi yang amat begitu ia cintai. Tak ada tempat yang tak ia jadikan
sebagai tempat membaca. Kamar, ruang tamu, teras rumah, dapur bahkan toilet, mesti terdapat
buku yang sedang ia baca atau telah ia tamatkan dan belum disimpan kembali ke perpustakaan.
Ada pesan dari sang ibu yang terus diulang-ulang dan barangkali menjadi titik
fundamental mengapa sosok Hariang begitu mencintai buku serta kelak memutuskan hal yang
terbilang gila untuk sebuah buku.
“Kamu harus selalu ingat, buku adalah peradaban tertinggi umat manusia. Peradaban
kita adalah peradaban buku. Demi peradaban itu kamu jangan pernah meminta. Jangan pernah!
Kalau perlu, lakukanlah pengorbanan demi mendapat sebuah buku.” (hal 13)
Sampai pada halaman 48, belum terlihat apa konflik sebenarnya dalam buku ini yang
korelatif antara perpustakaan dan kelamin. Hingga di halaman 49 kita akan diperkenalkan
dengan tokoh bernama Kang Ulun (salah satu warga Desa Cigendel). Ia meminta bantuan kepada
Hariang untuk dicarikan pendonor kelamin. Di mana pendonor tersebut akan dibayar dengan
uang 1,5 milyar jika ia bersedia mendonorkan kelaminnya untuk Kang Ulun. Di sinilah, konflik
mulai melebar dan alur cerita menjadi lebih menarik untuk dibaca lebih lanjut.
Selain cerita di atas yang telah diuraikan, ada sosok bernama Drupadi (kekasih Hariang)
yang juga menjadi tokoh tak kalah pentingnya dalam buku ini. Drupadi menjadi objek ketiga
yang Hariang cintai di semesta raya ini. Kemudian, Drupadi juga menjadi kepanjangan lidah
penulis untuk menggaungkan isu feminisme dalam buku ini.
Drupadi dan Hariang bertemu di suatu komunitas di Bandung bernama komunitas PAKU
(Pasukan Anti Kuliah). Yang mana komunitas ini berisikan orang-orang yang muak pada
kampus, tidak lolos masuk Universitas, tidak bersekolah dan gandrung pada buku. Kegiatan
komunitas PAKU ini hanya dua, diskusi buku dan membasuh kaki ayah dan ibu.
Selain lewat percakapan sang Ibu dengan Hariang, melalui komunitas inilah khazah
keilmuan dalam buku Perpustakaan Kelamin menjadi lebih terasa dan membuat kepala pembaca
sedikit dipergunakan lebih lama karena dibutuhkan ketelitian dan kejelian agar paham suguhan
ilmu yang dijelaskan oleh penulis lewat komunitas PAKU ini.
Lebih dalam lagi, ada begitu banyak khazanah keilmuan, keagungan sosok ibu,
keluhungan budaya sunda, kritik sosial, feminisme dan bahkan ironi-ironi kehidupan yang begitu
apik dan ciamik dituliskan oleh pena Mughni.
Kita akan diajak oleh penulis untuk menziarahi berbagai macam judul buku (baik
nasional maupun internasional) lewat dialog antar satu tokoh dengan lainnya. Sebab Mughni,
barangkali termasuk penulis yang cukup sombong dalam hal memamerkan keluasan
intelektualitasnya. Pembaca tidak disuguhi alur cerita yang picisan atau dialog yang begitu
mainstream, tapi lebih dari itu kita akan didoktrin untuk cinta pada membaca, berpikir kritis dan
membaca realitas-realitas kecil di sekitar kita yang ternyata dapat didefinisikan dengan
keagungan ilmu pengetahuan yang begitu luas. Saking sombongnya Mughni dalam memamerkan
kepintaran intelektualnya, bahkan hingga persoalan persetubuhan pun ia bahas dengan penuturan
dan analisis ala orang telpelajar. Sehingga meskipun buku ini diperuntukan bagi kalangan 18+,
namun tidak terkesan bahwa buku ini setara dengan buku-buku stensilan.
Selain itu, sosok ibu juga digambarkan dengan begitu agung oleh Mughni. Kita akan
menemukan karakter serupa Nyai Ontosoroh di buku Bumi Manusia dalam sosok Sajarotul Ilmi.
Betapa sosok Ibu dicitrakan mempunyai keluasan ilmu, prinsip yang teguh, kemampuan
mendidik yang tangguh, kesomeahan ibu-ibu khas urang sunda sekaligus juga sosok yang
mandiri tanpa bergantung pada siapa pun termasuk lelaki.
“Dari semenjak muda, sampai hari ini, warga Desa Cigendel menaruh rasa hormat pada
ibu. Ia menjadi tempat mengeluh para ibu, menjadi tempat bertanya para bapak dan menjadi
tempat bernaung para pemuda. Keluasan ilmunya, kebaikhatian perangainya kepada semua
warga, membuat ia dihujani banyak cinta. Apalagi ketika perpustakaan Pabukon Kadeudeuh
dibuka untuk umum. Warga Desa Cigendel setuju, memutuskan untuk member ibu gelar “Guru
Rakyat”. Namun dengan penuh kerendahan hati, ibu menolaknya. Bagi ibu, cukup dengan ia
melakukan tugasnya sebagai manusia yang nulung kanu butuh, nalang kanu susah,
ngahudangkeun kanu sare, ngajait kanu titeuleum, nyaangan kanu poekeun, mere kanu daek
jeung nganterkeun kanu sieun.” (hal 11-12)
Juga tokoh-tokoh perempuan lain seperti Drupadi, Anjani, Reni, Niki dan lainnya yang
juga digambarkan mempunyai keluasan ilmu, keteguhan prinsip serta sikap kesetaraan dengan
lelaki. Hingga sampai pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa Mughni begitu bersikukuh ingin
menyuarakan nilai egalitarianism dalam bukunya ini dan tidak ingin sikap kelaki-lakiannya
menutup peran perempuan dalam kehidupan sehari-hari atau menafikannya.
Sebagai urang sunda asli, Mughni tak lupa menyisipkan paribasa-paribasa sunda dan
juga menyisipkan keluhungan budaya sunda dalam bukunya. Ia mendefinisikan nilai hidup
bertetangga yang dipegang orang sunda, perspektif orang sunda terhadap Sunan Ambu, cara
organik prinsip hidup orang desa di tataran sunda dan masih banyak lainnya yang “seolah” ingin
menegaskan bahwa betapa beruntungnya ia dilahirkan di tanah sunda yang begitu luhung ini.
Kritik sosial yang dikemukakan oleh Mughni dalam buku ini juga tidak main-main,
dalam beberapa kasus seperti kritiknya pada dunia kampus misal, berhasil menelanjangi
pembaca yang berasal dari dunia akademisi tersebut. Sebab Mughni tidak hanya mengutarakan
argument, namun ia juga acapkali menyisipkan referensi-referensi yang memposisikan kita pada
posisi yang sulit untuk membantah apa yang diutarakan Mughni.
“Tempat yang seharusnya menjadi medan pemanusiaan manusia, telah berubah menjadi
ajang bisnis yang menggiurkan, dan memperlakukan manusia seperti binatang. Salah satu fungsi
terpenting sekolah atau perguruan tinggi adalah, dia menjadi tempat mencetak manusia yang
kurang pandai menjadi pandai, menciptakan manusia yang berpikirnya acak-acakan menjadi
sistematis, bahkan mendidik manusia yang tidak berakhlaq menjadi berbudi luhur. Hari ini,
apakah ada sekolah atau perguruan tinggi semacam itu ? Sulit sekali ditemukan ! Buktinya,
perguruan tinggi, misalnya, mereka hanya menerima calon mahasiswa yang cerdas, punya
kemampuan, punya uang, dan memiliki surat keterangan berkelakuan baik. Kalau perguruan
tinggi menerima calon mahasiswa yang telah ‘sempurna’ seperti itu, lalu, fungsi mereka apa ?
Menjualnya ?” (hal 12)
Pada intinya, secara sederhana buku ini menceritakan Tokoh Utama bernama Hariang
dan sekelumit kisah hidupnya yang berkelindan antara cinta dan bakti pada ibunya, Pabukon
Kadeudeuh, Drupadi kekasihnya, Barudak PAKU (Pasukan Anti Kuliah), dan Kang Ulun si
pencari donor kelamin.
“Hariang, ketika Tuhan meniupkan ruh padamu, Dia simpan pada tiga tempat: Akalmu
(Buku), hatimu (Ibu) dan kelaminmu (Drupadi). Tinggal kau yang putuskan, mana yang akan kau
utamakan?” (hal 199)

Cirukem, 2 Juli 2021

Anda mungkin juga menyukai