Anda di halaman 1dari 272

BALAI BAHASA JAWA TENGAH

Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
2019

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah i


MENIPU ARWAH
Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah

Penulis:
Agus Subakir, dkk.

Penanggung Jawab:
Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah

Penyunting:
Ery Agus Kurnianto
Inni Inayati Istiana

Pracetak:
Ery Agus Kurnianto
Inni Inayati Istiana
Sri Ernawati

Desain Sampul:
Rohmad

Penerbit:
BALAI BAHASA JAWA TENGAH
BADAN PENGEMBANGAN BAHASA DAN PERBUKUAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang 50272
Telepon 024-76744357, 76744356, Faksimile 024-76744358
Pos-el: balaibahasajateng@kemdikbud.go.id
Laman: www.balaibahasajateng.kemdikbud.go.id

Katalog dalam Terbiitan (KDT)


MENIPU ARWAH: Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah. Agus Subakir,
dkk. Semarang: Balai Bahasa Jawa Tengah, 2019
xii + 258, 14,5 x 21 cm
Cetakan pertama, Oktober 2019
ISBN: 978-623-9008-51-2

Hak cipta dilindungi undang-undang. Sebagian atau seluruh isi


buku ini dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa seizin
tertulis dari penerbit.

Isi tulisan (karangan) menjadi tanggung jawab penulis.

ii Menipu Arwah
Kata Pengantar
Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah

Dari hasil survai oleh lembaga internasional yang mendata


persoalan minat baca masyarakat di berbagai negara di dunia,
diketahui bahwa minat baca masyarakat Indonesia pada 2016
hanya 0,01 persen. Hal itu berarti, jika dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan penduduk Indonesia, dari 10.000 orang
hanya satu orang yang berminat baca tinggi. Percaya atau tidak,
tetapi hasil penelitian Perpustakaan Nasional RI pada 2017
membuktikan bahwa minat baca kita memang rendah. Dari hasil
penelitian itu terbukti bahwa rata-rata orang Indonesia hanya
membaca buku 3—4 kali per minggu dengan durasi waktu mem-
baca per hari rata-rata 30—59 menit. Sementara, jumlah buku
yang dibaca sampai tamat per tahun rata-rata hanya 5—9 buku.
Jika memang benar minat baca masyarakat Indonesia masih
sangat rendah, kita berani mengatakan dengan tegas bahwa di
dalam sistem yang berkaitan dengan upaya pencerdasan bangsa
yang dilakukan selama ini pasti ada yang salah; walaupun
terkadang kita maklum —dan pada akhirnya tidak menuding
itu salah siapa— akibat dari peliknya persoalan sosial, ekonomi,
budaya, politik, geografi, dan sebagainya. Hanya saja, dalam
memandang persoalan ini, kita tentu tidak boleh bersikap pe-
simis, apalagi apatis. Sebagai warga bangsa Indonesia yang masih
dan akan tetap mencintai bangsa ini, kita dituntut terus berupaya
keras agar bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dan bermar-
tabat di mata bangsa-bangsa lain di dunia.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah iii


Sebagai sebuah lembaga pemerintah yang memang ditugasi
untuk mengelola permasalahan bahasa dan sastra di Provinsi
Jawa Tengah, Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan
Bahasa dan Perbukuan (sampai akhir 2018 namanya masih Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), Kementerian Pendidik-
an dan Kebudayaan, mencoba melakukan serangkaian kegiatan
yang diharapkan mampu memberikan andil positif dalam upaya
mengatasi kenyataan tentang rendahnya minat baca masyarakat
seperti yang telah dikatakan di atas. Dari serangkaian kegiatan
itu, salah satu di antaranya adalah penyusunan dan penerbitan
buku kebahasaan dan/atau kesastraan; dan buku-buku ini akan
sangat penting artinya jika memang benar salah satu faktor
penyebab rendahnya minat baca adalah terbatas atau sulitnya
akses bahan bacaan (buku).
Buku berjudul Menipu Arwah: Antologi Cerpen Guru Jawa
Tengah karya Agus Subakir dan kawan-kawan ini merupakan
salah satu wujud nyata dari upaya Balai Bahasa Jawa Tengah
menyediakan bahan bacaan bagi masyarakat. Buku ini berisi 25
cerpen karya guru Jawa Tengah. Diharapkan apa yang disajikan
di dalam buku ini bermanfaat bagi masyarakat dalam hal keter-
sediaan bahan bacaan sastra sehingga akan dapat mengembang-
kan minat baca. Selain itu, penerbitan buku antologi ini tidak
menutup kemungkinan untuk dijadikan sebagai bahan ajar sastra
di sekolah.
Kami, atas nama Balai Bahasa Jawa Tengah, menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada berbagai pihak,
terutama kepada penggagas, penulis (kontributor), dewan juri,
penyunting, panitia, dan pencetak sehingga buku ini dapat hadir
menemani pembaca (masyarakat). Semua orang yakin bahwa
tiada gading yang tak retak, dan retak-retaknya gading, demi-
kian juga buku ini, dapat diperbaiki dan diselamatkan dengan
cara yang arif dan bijaksana. Kita akan menjadi lebih arif lagi
jika dapat menempatkan dan memanfaatkan buku ini dengan

iv Menipu Arwah
baik. Terakhir, semoga buku ini memperoleh tempat yang layak
di hati dan pikiran pembaca.

Semarang, Oktober 2019.

Dr. Tirto Suwondo, M. Hum.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah v


vi Menipu Arwah
Catatan Penyunting
Karya Sastra sebagai
Media Pembelajaran dalam
Suatu Komunitas Sosial

Karya sastra adalah suatu kehidupan dan kehidupan itu


sendiri adalah suatu lakon yang paling menarik dan harus dijalani
oleh setiap makhluk hidup yang ada di dunia ini. Setiap individu
memiliki peran, memiliki fungsi, dalam suatu komunitas sosial
yang ada di sekitarnya. Itulah yang disebut dengan lakon. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa setiap individu memiliki cerita
dan lakon sesuai dengan peran setiap lakonnya.
Membaca buku ini kita akan menemukan suatu kreativitas
insan manusia yang sangat indah. Kita akan dihadapkan pada
suatu realitas sosial sebagai makhluk individu sekaligus sebagai
makhluk sosial. Alternatif subjektif yang ditawarkan oleh pe-
nulis dapat dijadikan sebagai solusi dalam memecahkan per-
soalan lakon yang dijalani.
Ide yang diangkat mayoritas merupakan bentuk respon pe-
nulis dari fenomena sosial yang muncul di komunitas sosialnya.
Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra tidak dapat lepas dari
kondisi sosial pengarang dan kondisi sosial masyarakat. Kedua
puluh lima penulis mampu meramu dan menyajikan fenomena
sosial dalam jalinan peristiwa yang sangat menarik melalui cerita
pendek yang bukan hanya sekadar sebuah cerita, tetapi cerita
yang sarat dengan alternatif subjektif yang ditawarkan oleh
penulis.
Hal tersebut terepresentasi dalam buku ini. Muncul tokoh
yang merepresentasikan manusia menjalani lakon asmaranya

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah vii


dalam suka dan duka. Ada manusia yang harus menjalankan
fungsinya sebagai sosok pengabdi alam gaib. Sosok manusia
yang serakah akan urusan duniawi. Ada juga manusia yang me-
miliki kepedulian sosial terhadap manusia yang lainnya. Manusia
yang tersugesti oleh konstruksi mitos dalam suatu pranata sosial.
Pada awalnya, buku ini seharusnya berisi 10 cerpen yang
dipilih oleh dewan juri pada kegiatan Lomba Penulisan Cerpen
bagi Guru Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa
Jawa Tengah. Akan tetapi, dari seluruh karya yang masuk,
dewan juri menemukan 15 cerpen lain yang memiliki keunikan
dan daya tarik sendiri, baik persoalan yang diangkat, tokoh,
maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, ke-15 cerpen ter-
sebut akhirnya diikutsertakan dalam buku ini sehingga buku
antologi cerpen Menipu Arwah ini memuat 25 cerpen.

Semarang, Oktober 2019

viii Menipu Arwah


Daftar Isi

Kata Pengantar Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah ............... iii


Catatan Penyunting
Karya Sastra sebagai Media Pembelajaran dalam Suatu
Komunitas Sosial ......................................................................... vii
Daftar Isi ...........................................................................................ix

Membunuh Lelaki Gila


Agus Subakir ............................................................................... 1

Pulang
Alfiah Ariswati .......................................................................... 10

Cerita dari “Cerita dari Blora”


Andreas Agil M. ....................................................................... 17

Elegi Cinta Aku, Kau, dan Dia


Andri Saptono ........................................................................... 25

Tuyul Pilkades
Arif Khilwa ................................................................................ 31

Mimpi Klinthing
Aryani Purnama ....................................................................... 40

Lelaki yang Merindukan Buku Beracun


Ary Yulistiana .......................................................................... 48

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah ix


Sungai Berwarna Merah
Eko Wahyudi ............................................................................. 60

Perangkap
Effi Kurniasih ............................................................................ 69

Tarian Lidah Api


Emy Budisayekti ....................................................................... 77

Di Langit, Bapak Bersemayam


Henri Saputro ........................................................................... 86

Sandi Penimbul
Heri Suritno ............................................................................ 101

Lelaki yang Meminjamkan Lubang Terompet


kepada Tuhannya
Hudha Abdul Rohman ............................................................ 110

Tragis Sutini
Mardja alias Julis Nur Hussein .............................................. 117

Terkepung Benteng
Ratino ...................................................................................... 124

Ketika Plot Mencipta Alurnya


Rina Susi Cahyawati ............................................................... 137

Buku Harian Sang Batari


Rini Tri Puspohardini ............................................................. 152

Menipu Arwah
Rinto Murdomo ...................................................................... 162

Boneka Cumplung
Riyadi ...................................................................................... 172

Gadis Bermata Bidadari


S. Prasetyo Utomo .................................................................. 180

x Menipu Arwah
Babi Hutan Berkalung Merah
Ki Sudadi ................................................................................ 187

Pilihan Hati
Triana Kanthi Wati ................................................................ 196

Senja Temaram
Triman Laksana ...................................................................... 229

Penunggu Bende Kali Setra


Uswatun Hasanah .................................................................. 239

Pantofel Pak Slamet


Winarni ................................................................................... 252

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah xi


xii Menipu Arwah
Membunuh Lelaki Gila

Agus Subakir
Guru SMA 1 Purwantoro, Wonogiri

Telah menjadi tugasku sebagai seorang bidan membantu


persalinan semua perempuan, meskipun perempuan itu gila. Ini
kali ketiga aku membantu persalinan perempuan gila di tengah
Pasar Pahing. Klinikku hanya selemparan batu jauhnya dengan
Pasar Pahing. Pasar itu cukup ramai karena merupakan pasar yang
terletak di jantung kota kecamatan. Ya, Pasar Pahing merupakan
tempat favorit para orang gila mengais makanan, bahkan ber-
tempat tinggal.
Bersamaan adzan Subuh melengkung-lengkung dari toa masjid,
dengan pakaian basah kuyup seorang perempuan setengah tua
berjarit merah mengetuk klinikku. Ia mengabarkan seorang bayi
perempuan mungil telah dilahirkan dari seorang ibu cantik yang
gila di tengah pasar. Terlihat sekali ia panik. Terpancar jelas di
wajahnya rasa iba. Tangannya tak henti menebahi air yang me-
lekat di tubuhnya. Di luar hujan mulai menggerimis.
Segera kulepas mukena, karena kebetulan aku hendak Subuh-
an ke masjid. Kuambil alat persalinan yang kuperlukan dan me-
nuju ke tengah pasar, lokasi perempuan gila itu melahirkan.
Angin Subuh meluruh, menyergap pori tubuh. Genangan
air hujan tampak di sepanjang jalan yang kulalui menuju tengah
pasar. Langit masih mencurahkan rindu kepada tanah melalui
hujan jilak. Kulihat orang pasar mengerubung bagai koloni lebah
berlesatan omongan campur aduk. Kuterobos dan sedikit mem-
buyarkannya. Kulihat seorang perempuan cantik tapi lusuh

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 1


dengan rambut menggimbal bersandar pada tiang besi penyang-
ga los pasar. Darah dan air ketuban berceceran di atas lantai los.
Aku tidak tercengang. Telah terbiasa kulihat kondisi seperti ini.
Ia tampak lemas tak berdaya. Seluruh tenaganya mungkin ter-
kuras habis untuk mengejan, mengeluarkan bayinya. Digigitinya
kuku-kuku jari tangan kanannya sembari memandang kosong
bayinya yang menangis lemah di hadapannya.
Astaga, bayi mungil itu cantik sekali! Tubuhnya bercampur
darah dan air ketuban di atas sebuah karung plastik, mengilap
dibias cahaya remang neon lima watt. Naluri kebidananku ter-
kesiap. Kusentuh dan kusapu kulit wajahnya. Hangat menjalari
kulit tubuhku, menyelam ke dalam hatiku. Kuambil kapas dan
menuangkan alkohol. Kubersihkan tali pusar di ujung perut bayi
itu yang masih menyatu dengan tubuh ibunya, lalu kupotong
dengan gunting dan kuikat dengan simpul mati. Sementara aku
membereskan persalinan ibunya, seorang perempuan di belakang-
ku kusuruh menyelimuti bayi itu dengan selembar selimut yang
kubawa. Ia mengendong bayi itu. Seorang lelaki tua yang tampak
ringkih di antara mereka tanggap dan menghampiri si bayi cantik.
Ia menyorongkan mulutnya ke telinga kanan bayi itu dan
membisikkan lantunan adzan, disusul ikamah di telinga kirinya.
Keesokan harinya perempuan gila itu terlihat masih lemas.
Pucat pasi wajahnya. Kusandingkan bayi mungil itu di samping-
nya. Aku khawatir, karena kondisi bayi itu kurang sehat. Tubuh-
nya tidak normal, mungkin kekurangan gizi ketika dalam kan-
dungan. Semakin bertambahnya waktu wajahnya semakin pucat
seperti mayat. Keadaan keduanya semakin membuatku diliputi
cemas.
Telah kucoba berulangkali dengan beberapa merek susu
bayi, bayi itu tak mau minum juga. Aku ingin sang ibu menyusui
langsung anaknya. Bagaimanapun juga ASI jauh lebih baik dari
makanan apapun di dunia ini. “Ayo, susui anakmu. Kasihan, perut-
nya masih kosong,” kataku sembari membuat gestur agar ia
paham yang kumaksudkan.

2 Menipu Arwah
Ia pun mengangguk. Ya, hanya anggukan. Anggukan lemah.
Dari pertama kali aku melihatnya, belum pernah sebuah kata ke-
luar dari mulutnya. Namun, aku tak mempedulikannya. Segala
yang dilakukan orang gila tentu harus kupahami tak selayaknya
orang waras. Semua yang ia lakukan adalah pemakluman. Ber-
hadapan dengan siapa pun, terlebih orang gila haruslah memiliki
prinsip empan papan.
Luar biasa! Meskipun gila, naluri keibuannya masihlah sama.
Diraihlah bayinya perlahan. Ia berusaha menyusuinya setelah
sebelumnya kubersihkan dengan kain dan air hangat sekitar
puting susunya yang ranum. Namun, ternyata ASI yang diharap-
kan tak keluar. Ia berusaha berulang kali, terus mengulangi
usahanya, tapi sayang air susunya mampat. Bayi cantik itu justru
menangis di pangkuannya. Ia menimang-nimangnya, berusaha
membuat bayi itu tenang. Kedua matanya tak lepas memandang
lekat buah hatinya, mesra. Perempuan gila itu tersenyum. Sebuah
senyum yang manis. Kelihatan ia bahagia sekali, seperti seorang
perempuan kecil memainkan boneka kesayangannya. Aku pun
bahagia melihatnya. Tak terasa bibirku terangkat dan tersenyum.
Kuminta bayi yang menangis itu. Lalu kuambilkan kapas dan
kucelupkan dalam susu formula bayi. Kudekatkan ke mulutnya.
Bayi itu mencecapnya rakus dengan lidah berulang kali terjulur
dan mengeluarkan bunyi kecap yang keras.
“Alhamdulilah, akhirnya ia mau juga,” gumamku terkejut dan
bahagia. Aku pun berulang kali melakukannya sampai bayi mungil
yang cantik itu terlelap dalam pangkuanku. Namun pucat di
wajahnya masihlah sama. Kutidurkan ia di keranjang bayi di sam-
ping ranjang perempuan gila itu.
Setelah kupastikan bayi mungil itu pulas terlelap, kubujuk
perempuan gila itu mandi agar tubuhnya segar kembali. Pada mula-
nya ia menolak. Namun dengan bujukan penuh perasaan, akhirnya
ia mau juga. Tubuhnya lusuh penuh dengan daki. Bau tubuhnya
sedikit membuatku mual. Menurut teori yang pernah kubaca,
segala bau yang menyengat dan tidak enak biasanya berasal

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 3


dari bakteri. Maka kusimpulkan bahwa bau yang kuirup dari tubuh-
nya akibat banyak bakteri berkembang biak, melekat nyaman di
kulit tubuhnya yang kotor. Jelas ini tak baik bagi kesehatannya,
juga si bayi cantik.
Sebenarnya aku trauma perihal memandikan perempuan
gila. Hal inilah yang membuatku berpisah dengan suamiku se-
puluh tahun lalu. Dua kali aku membantu persalinan perempuan
gila, tetapi pekerjaan memandikan mereka, suamikulah yang
melakukannya. Ia selalu mengeluh tak punya kerjaan setelah pen-
siun dari tentara. Maka ia menurut apa saja yang kuperintahkan,
bahkan untuk memandikan perempuan gila sekalipun. Ah, ke-
nangan muram itu tiba-tiba menyeruak ingatan. Kala itu tak se-
ngaja aku mendapati suamiku mengeluarkan seorang perempuan
lusuh dengan pakaian compang-camping dari mobilnya. Sepasang
mata suamiku menyimpan was-was, ia mengontrol sekeliling.
Setelah dirasanya aman, ia membawa perempuan gila itu ke ka-
mar mandi belakang. Di sana ia memandikannya. Setelah bersih,
suamiku memakaikan pakaian perempuan ala kadarnya dan
membawanya ke sebuah tempat jauh di ujung rumah belakang,
tepatnya di sebuah gudang. Di sana ia memberikan makanan sam-
pai kenyang. Lantas, sebuah peristiwa merobohkan akal pikiran-
ku, suamiku meniduri perempuan gila itu. Jantungku hampir
putus karena terlalu kencang memompa darah. Hati siapa yang
tak hancur melihat suaminya tidur dengan perempuan lain, apa-
lagi orang gila? Kajadian itu tak hanya sekali, bahkan dengan
perempuan gila yang lain. Hal itu kemudian menjadi kebiasaan-
nya. Ia memunguti perempuan gila di jalan, di sungai, di pasar,
bahkan di depan rumah. Sebagai istri tentu aku tak bisa me-
ngompromi devisiasi, penyimpangan seks itu. Mulai sejak itu,
entahlah, aku merasa risih dengan suamiku. Aku meminta cerai
dan pengadilan mengesahkannya. Aku menduga-duga, mungkin
ini bermula dari kesalahanku yang memberinya pekerjaan me-
mandikan perempuan gila sebelumnya. Terkadang aku menyalah-

4 Menipu Arwah
kan diriku sendiri. Ah, sudahlah, semua terasa pahit dikenang.
Namun memang inilah hidup, semua serba tak terduga.
Kubersihkan seluruh tubuhnya. Kuurai rambutnya yang meng-
gimbal. Kusisir penuh kelembutan. Sudah lama sekali aku tak
melakukan semua pekerjaan seperti ini semenjak anak bungsuku
menikah dan hidup di kota. Entahlah, mengapa sampai sekarang
kedua anak kandungku belum ada yang mau hidup menunggui-
ku yang mulai renta ini? Sejak aku pensiun menjadi bidan pus-
kesmas dua tahun lalu, kini aku hanya hidup dengan seorang
lelaki kecil seusia SMP. Ia tidak mau sekolah. Pekerjaanya setiap
hari uring-uringan. Ia habiskan waktunya bermain playstation di
warung game. Kelakuannya sedikit aneh, tak seperti anak pada
umumnya. Ia tidak normal. Banyak orang di sekitarku mengata-
kan bahwa ia bocah “yang kurang satu strip”. Bocah laki-laki itu
kupungut dari klinikku. Ia kuadopsi dari perempuan gila yang
melahirkan di tengah pasar empat belas tahun lalu.
Kuberikan ia gaun yang pantas, sebuah daster lama bermotif
bunga anggrek merah yang sudah mulai tampak lusuh karena
kelamaan kusimpan dalam almari. Ia tampak cantik sekali.
***
Di sebuah Subuh yang dingin aku terbangun dari lelap tidur-
ku karena sebuah tangisan miris seorang perempuan. Aku me-
nuju arah suara itu. Ternyata itu adalah tangisan perempuan gila
di kamarnya. Ia mendekap bayi mungil yang cantik itu dalam
dadanya. Erat, erat sekali.
“Ada apa?” dengan tergesa tanyaku padanya.
“Anakku mati, Bu,” jawabnya, dan ini membuatku dua kali
terkejut. Terkejut karena kematian anaknya dan terkejut karena
baru kali ini aku mendengar kata-kata terlontar dari mulutnya.
Akhirnya ia mau bicara.
“Sini, berikan anakmu padaku,” aku meminta bayinya. Namun
ia bergeming, tak memberikannya. Justru ia semakin mendekap
bayi itu sembari terus menangis sedih lagi miris. Sungguh,
tangisannya membuat hatiku tersayat-sayat seperti dicacah

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 5


tajamnya pisau dapur. Tak sadar aku pun meneteskan air mata.
Bagaimana aku tak ikut sedih melihat seorang ibu kehilangan
anaknya?
Aku berusaha mengecek keadaan bayi itu. Kuulurkan tangan-
ku, berusaha memegang bayinya. Namun tanganku ditampiknya.
Ia tak ingin bayinya kusentuh. Berulangkali aku membujuknya,
tetapi gagal. Aku pun menyerah pada keadaan. Kubiarkan ia
menangis sepuasnya, meluapkan rasa kehilangannya. Aku hanya
diam dan bersedih menungguinya, hingga pada akhirnya ia
melepaskan dekapan dan mengulurkan bayinya kepadaku tanpa
kuminta. Tubuh bayi itu masih hangat. Kuperiksa denyut nadi-
nya, berhenti. Benar ia telah mati. Wajahnya indah sekali. Ke-
cantikan bayi itu terpancar jelas, seperti diliputi cahaya. Kusentuh
bibirnya yang tersenyum, dan tak terasa aku kembali meneteskan
air mata. Kuseka perlahan luh yang meluruh.
Kuletakkan bayi itu di keranjang bayi. Kudekati perempuan
gila itu dan kuseka air mata yang mengalir membelah pipinya.
Dengan secepat ia menolak sekaanku dan menurunkan kakinya
dari atas ranjang. Ia berdiri sejenak, membereskan keadaan diri-
nya dan pergi menjauh dariku.
“Mau ke mana Kamu?” tanyaku sembari memandang air
wajahnya yang tiba-tiba berubah drastis. Wajah sedih itu kini
berubah beringas. Wajah yang menyimpan api amarah.
“Aku akan pergi membunuh lelaki gila itu!” jawabnya sem-
bari berjalan ke luar kamar.
Aku tak bisa mencegahnya pergi. Kupandangi ia dari kejauh-
an. Semakin jauh semakin ia ditelan kegelapan.
***
Dengan dibantu kang Saronto seorang pembantuku, bebe-
rapa tetangga, dan pak modin desa, aku menguburkan bayi
mungil nan cantik itu di tanah pekuburan umum. Ia kukuburkan
berdekatan dengan kerabat keluargaku. Bagaimanapun juga bayi
itu telah ditakdirkan menjadi tanggung jawabku. Ia kuanggap
sebagai anakku sendiri. Maka kunamai ia “Selasa Pahing”, sesuai

6 Menipu Arwah
dengan hari ia dilahirkan dan sesuai tradisi orang jawa menamai
bayi mereka yang mati. Kebiasaan menamai bayi mati dengan nama
hari ini bertujuan untuk memudahkan mereka mengingatnya.
Ini sering kali tampak pada nisan atau kijing kecil di hampir
semua nisan bayi di desa.
Di bawah pohon kamboja kuning yang sedang mekar, se-
buah lubang lahat telah dibedah. Angin semilir mengantarkan
bau harum kamboja menyengah hidung kami. Sebuah penyam-
butan pemakaman yang damai. Lubang lahat itu tak dalam se-
perti halnya kuburan orang dewasa. Sekitar satu meteran dalam-
nya.
Kuserahkan bayi itu kepada kang Saronto yang telah masuk
ke dalam lahat. Ia menata mayat mungil itu menghadap kiblat.
Lalu kami silih berganti memegang pacul untuk mengebumi-
kannya. Dari mulutku tak henti mengidungkan tahlil dan shala-
wat. Ia kukuburkan dengan damai. Surga yang hijau telah me-
nantinya.
Setelah pak modin selesai membacakan doa kubur, kami
pun pulang bersama. Sesampainya di rumah aku telah ditunggu
seseorang lelaki setengah baya. Ia saudara jauh bapaknya anak-
anakku yang sudah lama tak pernah berkunjung ke rumah. Ia
duduk di atas sepeda motornya. Ia segera turun dan menyambut-
ku dengan sedikit tergesa. Kedua matanya seolah menyimpan
berita penting yang harus segera tersampaikan.
“Kutelepon tidak diangkat,” sergahnya.
“Maaf, hp kutinggal di rumah. Habis dari kuburan.”
“Siapa yang mati?”
“Bayi dari perempuan yang melahirkan di klinik ini.”
Lelaki setengah baya itu hanya mengangguk. Mungkin ia
tak tahu semua yang terjadi di rumah ini.
“Ayo, silakan masuk rumah dulu,” kataku mempersilakan-
nya.
Kami berdua duduk di teras rumah.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 7


“Kok njanur gunung, ada angin apa, lama tidak ke sini?”
lanjut tanyaku.
Ia memperbaiki posisi duduknya, sedikit membungkuk de-
ngan kepala mendelong layaknya burung kalkun. Kedua tangan-
nya saling bertemu.
“Saya ke sini ingin mengabarkan bahwa Pak Sumartono,
mantan suami Sampean tadi pagi dipanggil Allah di RSUD,” kata-
nya penuh sopan.
Mendengar berita itu sebuah badai menghantam dadaku.
Sesak. Nafasku tersengal-sengal, dan tubuhku seketika menge-
luarkan keringat dingin. Bagaimanapun juga ia pernah menjadi
bagian dari diriku. Ada separuh hidupku padanya. Tak terasa
sepasang luh menetes dari kedua mataku. Kuseka perlahan.
“Innalillahi wainnaillaihi raji’un,” baru aku bisa menanggapi
berita itu.
“Baiklah, saya pamit dulu.” Ia berpamitan. Ia menjabat tangan-
ku.
Kuantar ia sampai pagar rumah. Tak butuh waktu lama lelaki
itu lenyap dari pandanganku. Tiba-tiba aku terseret pada se-
kelebat kenangan. Rasa sedih semakin menggumpal. Kembali
pipiku harus dialiri luh yang mengucur. Nafasku semakin men-
deru. Tangisku kutahan, sesenggukan. Ternyata diam-diam aku
masih menyimpan rasa mencintainya.
***
Setelah pemakaman mantan suamiku, aku baru tahu, bahwa
suamiku mati karena diserang perempuan gila yang melahirkan
anak di tengah pasar beberapa hari lalu. Ia ditikam tepat di leher-
nya dengan sebilah pisau yang dirampas dari pedagang perkakas
dapur di tengah Pasar Pahing. Aku menduga, suamikulah yang
menghamili perempuan gila yang cantik itu. Sebab ketika keper-
giannya dari klinikku, tampak sorot merah tajam di sepasang
matanya. Aneh sekali. Padahal sebelum itu, ketika bersanding
dengan anak yang dilahirkannya, wajahnya begitu teduh bahagia
seperti seorang ibu pada umumnya. Namun setelah anaknya

8 Menipu Arwah
mati dalam dekepannya, wajah itu berubah menjadi telaga api
berkobar-kobar. Dari sepasang matanya terjulur-julur lidah api.
Lalu ia berkata,
“Aku akan membunuh lelaki gila itu!” ***

Catatan:
(Udan) jilak : sebuah hujan yang lembut, lebih kecil dari gerimis.
Empan papan : menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada.
Janur gunung (peribahasa Jawa) : tumben.
Kisah ini terinspirasi dari judul buku “Membunuh Orang Gila”
karya Sapardi Djoko Damono.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 9


Pulang

Alfiah Ariswati
Guru SMP Negeri 2 Ngargoyoso, Karanganyar

Mentari masih enggan muncul. Sinarnya redup tertutup awan.


Hari memang masih pagi. Jam di pergelangan tanganku juga baru
menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit. Kali ini aku
memang memutuskan untuk berangkat ke Semarang lebih pagi.
Bukan karena ada tugas dari sekolah untuk diklat di LPMP, juga
bukan karena ada kabar ibu terganggu kesehatannya. Bukan. Aku
pulang bukan karena itu semua. Aku pulang karena aku harus
kembali ke masa lalu. Membenahi sepuluh tahunku yang selama
ini kulewati dengan sia-sia.
Tak terasa, bus yang kutumpangi mulai memasuki Boyolali.
Seperti biasa, puncak Merapi anggun menyapa dengan pepohon-
an hijau merata di sekujurnya. Pada beberapa tempat, lembah tam-
pak masih diselimuti kabut. Sungguh pemandangan yang sangat
cantik. Biasanya aku segera mengambil ponselku dan mengabadi-
kan momen fantastis itu. Namun, kali ini entah mengapa, aku
malas sekali bermain ponsel. Bahkan sedari tadi tak kupedulikan
dering ponsel yang sesekali berbunyi. Pikiranku terlalu sibuk
dengan rencana indah yang mulai kususun sejak aku tak sengaja
bertemu lagi dengan Bramantyo di Candi Sukuh kemarin siang
saat mengantar anak-anak outing class.
Bramantyo. Dia adalah teman sekelasku di SMA Nusantara
Semarang. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya. Dialah
satu-satunya lelaki yang pernah memasuki kehidupan pribadiku.
Kami menjalin hubungan yang sangat indah selama bertahun-

10 Menipu Arwah
tahun. Suka dan duka kami lalui bersama. Bahkan kami telah
merancang masa depan yang begitu indah. Tinggal di pinggiran
kota Semarang yang masih berhawa sejuk, dengan dua anak
yang manis dan lucu. Benar-benar indah!
Bramantyo adalah tipe lelaki idaman. Selain tampan, ia juga
pandai, supel, dan taat beribadah. Wajar jika aku sangat men-
cintainya. Namun sayang, mimpi kami yang begitu indah
terpaksa harus kandas di tengah jalan. Aku dengan keegoisan
dan keangkuhanku memutuskan hubungan kami karena sebuah
alasan. Setelah kami begitu serius merancang pernikahan, aku
merasa Bramantyo mulai terlalu jauh mengatur masalah pribadi-
ku dengan-Nya. Awalnya aku suka setiap kali ia mengingatkan-
ku untuk salat. Aku bangga padanya karena ia bakal menjadi
imam panutanku yang mengajariku ke arah kebaikan. Hingga
suatu ketika, dia memintaku hijrah dengan mengenakan hijab.
Satu hal yang menurutku menunjukkan sifatnya yang sangat
arogan. Dia tahu persis aku tak suka diatur. Apalagi dalam hal
penampilan. Namun dia justru memaksaku mengubah total pe-
nampilanku, dari bercelana jins belel dan berkaos, dimintanya
bergamis dan berhijab. Tentu saja aku menolak keras karena itu
artinya dia memintaku untuk menjadi orang lain, bukan Anjani!
Sejak kejadian itu, hari-hari kami lewati dengan pertengkaran
demi pertengkaran. Hingga suatu ketika habislah kesabaranku.
Aku kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkannya be-
gitu saja dan menerima tugasku sebagai PNS di lereng Gunung
Lawu, Karanganyar, tanpa ada secuil pun kata pamit.
Tanpa Bramantyo, kulewati hari-hari yang, sejujurnya,
sangat menyiksa. Rindu dan sekaligus benci tumbuh tanpa bisa
kucegah. Kadang terbersit keinginan untuk kembali dan meminta
maaf, tapi di saat lain aku merasa semua percuma. Toh Bramantyo
tak akan pernah mau mengubah keputusannya. Buktinya ia tak
pernah meminta maaf dan menyusulku ke Karanganyar. Ia bahkan
membiarkan begitu saja aku dengan kesepian dan kegalauanku.
Ia tak tahu, sejak berpisah dengannya hingga usiaku menginjak

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 11


kepala empat, aku tak pernah sanggup membuka hatiku untuk
lelaki lain.
Siang itu, setelah sepuluh tahun aku berjuang untuk dapat
melupakannya, berjuang untuk bisa membuang semua kenangan
tentangnya, tiba-tiba ia muncul begitu saja di hadapanku!
Hari itu sekolah tempatku mengajar mengadakan kegiatan
outing class ke Candi Sukuh, Ngargoyoso. Seperti biasa, para
guru mendampingi murid-murid ke sana. Meski waktu telah
menunjukkan pukul sembilan, hawa di Sukuh masih dingin di-
selimuti kabut. Namun itu tidak berarti bagi anak-anak. Mereka
tetap ceria, berebut turun dari truk dan berlarian riang menuju
candi. Karena sudah beberapa kali ke sini, aku memutuskan
untuk tidak ikut masuk ke candi. Aku masuk ke sebuah warung
lesehan kemudian memesan secangkir teh panas khas Kemuning
kesukaanku. Teh kemuning di Candi Sukuh ini memang sangat
harum. Dihasilkan langsung dari Desa Kemuning yang letaknya
tak jauh dari area Candi Sukuh. Saking enaknya, teh kemuning
ini terkenal bahkan sampai ke luar negeri.
Aku asik menyeruput teh kemuning panas sembari berdiri
menatap anak-anak yang sibuk swafoto dengan berbagai gaya
di area candi ketika sebuah suara memecah keheningan.
“Anjani!” Refleks kepalaku menoleh ke arah suara itu. Suara
yang tak asing di telingaku. Suara yang selama sepuluh tahun
ini tak pernah kudengar lagi.
“Kamu?”Mataku terbelalak tak percaya. Seraut wajah yang
sangat kukenal tiba-tiba saja berdiri di hadapanku sambil ter-
senyum manis. Bramantyo!
“Iya, Anjani. Ini aku,” katanya lirih setengah berbisik.
Kalaupun ada guntur menggelegar di siang bolong yang
terik, sumpah, mungkin tak akan bisa menandingi kekagetanku
saat ini!
“Lama sekali kita tidak ketemu. “ Bramantyo mengajakku
duduk. Seperti keledai tolol, aku menuruti saja kemauannya.
“Kok kamu bisa ada di sini?” tanyaku masih tak percaya.

12 Menipu Arwah
“Kan aku bisa ada di mana-mana,” kata Bramantyo lirih.
Dahiku berkernyit, tak paham dengan maksudnya.
“Aku bersama teman-teman kantorku, Anjani.” Bram ter-
senyum mencoba memberi penjelasan. Sontak kepalaku ce-
lingukan kesana kemari. Namun tak kelihatan dia bersama se-
buah rombongan. Mungkin sama sepertiku, ia memilih santai
minum teh ketimbang naik ke candi.
“Anjani, Kamu tahu, aku terus mencarimu selama ini. Aku
sangat rindu dan ingin meminta maaf padamu.” Suara Bramantyo
terdengar aneh. Berat dan parau. Kepalanya menunduk, tampak
jelas kalau ia berkali-kali menghindari beradu tatap denganku.
Entahlah. Aku sendiri tidak tahu dengan apa yang kurasakan.
Aku merasa sangat bahagia bisa bertemu dengannya kembali
setelah sepuluh tahun ini. Namun aku juga merasa Bramantyo
telah berubah. Ia bahkan tak sadar telah ada perubahan besar
dalam penampilanku. Ia tak sadar bahwa aku telah menuruti
apa permintaannya untuk berhijab!
“Bram,”
Kusentuh tangannya. Dingin! Ya ampun. Pasti Bramantyo
sangat kedinginan mengingat kabut yang masih saja turun di
Candi Sukuh ini. Ia kan orang Semarang yang tidak terbiasa
dengan hawa dingin seperti ini. Apalagi ia tidak memakai jaket.
Wajahnya sampai pucat dan bibirnya menggigil. Aku segera
melepas jaketku dan memberikannya pada Bramantyo.
“Terima kasih, Sayang.” Dipakainya jaket pemberianku.
Sejenak aku terperangah. Sayang, entah kapan terakhir Bram
memanggilku dengan sebutan sayang.
“Anjani, aku tak bisa lama di sini. Karena itu ada satu hal
yang ingin kusampaikan padamu sebelum aku pulang,” kata
Bram sembari memegang tanganku.
Kutatap lembut wajahnya. Aku tak tahu apakah aku harus-
nya marah, menamparnya, atau aku harus memeluknya dan
menumpahkan segala kerinduanku selama ini? Entahlah.
“Kau mau, kan, besok pulang ke Semarang?“

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 13


“Pulang?” dahiku berkernyit. Bramantyo mengangguk
“O, iya, Anjani, terima kasih, ya, akhirnya kau bersedia untuk
hijrah dan mengenakan hijab. Aku bangga padamu,” ujar
Bramantyo.
Aku tersipu. Kupikir Bramantyo tidak memperhatikan
perubahan itu. Namun ternyata aku salah sangka. Ia tetaplah
Bramantyo yang begitu perhatian. Bramantyo yang lembut dan
penuh cinta.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang aneh dalam diriku.
Perasaan yang sepuluh tahun terakhir ini mati-matian berusaha
kusingkirkan, entah mengapa muncul kembali. Melihat Bramantyo,
tak bisa kupungkiri perasaan cinta itu tumbuh kembali. Tak butuh
waktu lama, dan tak perlu alasan mengapa. Aku memang masih
sangat mencintainya.
Tanpa kusadari, bus yang kutumpangi telah memasuki kota
Semarang. Suara kondektur bus yang keras membuyarkan
lamunanku tentang peristiwa kemarin. Aku tersenyum dalam
hati. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi, aku akan bertemu dengan
kekasihku. Aku akan membayar sepuluh tahun waktuku yang
telah terbuang sia-sia hanya karena keangkuhanku. Kali ini aku
tak kan mengulang lagi ketololanku. Aku sadar, Bramantyo hanya
menginginkan aku menjadi wanita solehah, bukan mengurung
kebebasanku dalam berpenampilan.
Memasuki gang rumah Bramantyo, dadaku berdegup sangat
kencang. Kampung ini memang suasananya jauh berbeda dengan
sepuluh tahun lalu. Namun kurasa bukan karena itu tampaknya
keras degup jantungku. Bukan karena perubahan kampung ini,
tetapi mungkin karena aku sudah tak sabar bertemu lagi dengan
keluarga kekasihku. Apakah mereka masih mau menerimaku
setelah sepuluh tahun kutinggalkan Bramantyo? Apa mereka
justru akan marah lantas mengusirku?
Langkahku terhenti. Setumpuk keraguan menyelimuti hati-
ku. Memang sudah sepantasnya jika mereka marah. Akulah yang
meninggalkan Bramantyo tanpa pamit. Hal itu tentu membuat

14 Menipu Arwah
hati mereka terluka. Ah, Baiklah, aku pun memantapkan hatiku
untuk terus melangkah. Aku harus siap jika ibu Bram akan me-
maki atau bahkan mengusirku. Aku akan berusaha menerima-
nya.
Rumah Bramantyo tampak sepi. Tak banyak perubahan di
sana sini. Masih bercat hijau muda, dengan halaman yang bersih
dan tanaman tertata rapi. Aku ingat, kami berdua suka duduk
di teras rumah, memandangi tanaman hijau yang rapi terawat.
Ayah Bram seorang pensiunan polisi. Beliau sangat suka dengan
tanaman. Beliaulah yang menata taman asri ini.
Perlahan, kuketuk pintu rumah Bram sembari mengucap
salam. Tak berapa lama pintu rumah terbuka dan sesosok tubuh
berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan tak percaya. Ibu!
Kusambut tangan ibu dan menciumnya. Tangan permpuan
tua itu gemetar. Pasti beliau sangat terkejut dengan kedatangan-
ku yang tiba-tiba ini. Atau, Bram belum bercerita tentang per-
temuan kami kemarin, ya? Ah, sudahlah.
“Ini Anjani, Ibu,” kataku perlahan. Air mata kulihat menetes
di kedua pipi ibu yang mulai renta. Tak tampak kemarahan di
raut wajahnya. Kutuntun ibu duduk di kursi tamu. Beliau se-
senggukan menangis. Barangkali beliau terharu melihatku tiba-
tiba muncul di hadapannya. Aku jadi merasa bersalah tidak
mengabarinya lebih dulu. Dengan lembut kuelus lengan ibu
untuk memenangkannya.
“Siapa itu, Bu?” terdengar dari dalam kamar. Seorang lelaki
berjalan terhuyung menuju ruang tamu. Aku bergegas menyam-
butnya. Ayah begitu nampak tua sekarang. Rambutnya yang
tipis telah memutih semua.
“Kamu, Anjani?” suara bapak terdengar lirih. Tak nampak
pula sorot kemarahan dari matanya.
“Iya, Bapak, aku Anjani,” kucium tangan bapak.
“Aku ingin minta maaf pada bapak dan ibu atas apa yang
telah Anjani perbuat dulu.”
Tangan tua bapak mengelus kepalaku.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 15


“Kami sudah memaafkanmu, Nak.” Bapak tersenyum.
Aku merasa sangat lega. Sepertinya bapak dan ibu memaaf-
kan perbuatanku dulu. Beliau masih saja baik terhadapku.
“Apa yang membuatmu tiba-tiba ke sini, Nak?” tanya Bapak.
“Aku bertemu Bram kemarin. Dia memintaku pulang. Tentu
saja aku tak bisa menolaknya. Sejujurnya, Pak, aku masih men-
cintainya.” Air mataku meleleh tanpa bisa kubendung.
“Kamu bertemu Bram dan dia memintamu pulang? “
Bapak sepertinya tak percaya dengan apa yang kukatakan.
Kuanggukkan kepalaku.
“Iya, Pak. Kami akan melanjutkan rencana kami dulu untuk
menikah dan memberi cucu pada kalian. Bram juga masih men-
cintaiku. Dia mengatakannya kemarin. Bapak dan ibu mengizin-
kan, bukan? Aku janji. Pak, aku tak kan meninggalkan Bram lagi.”
Aku sedang berusaha meyakinkan bapak dan ibu ketika
terdengar suara ketukan di pintu. Seorang lelaki berdiri di depan
pintu sambil mengucap salam.
“Maaf, Pak Kirno, Bu Kirno, saya hanya menyampaikan,
undangan untuk tahlil tujuh hari meninggalnya Mas Bramantyo
sudah saya sampaikan pada warga.”
Aku terkejut dengan apa yang kudengar. Mataku terbelalak.
Tahlil tujuh hari meninggalnya Bram? Apa aku tidak salah dengar?
Baru kemarin ia bertemu denganku dan memintaku pulang! Aku
tak percaya dengan apa yang kudengar. Kutatap wajah bapak
dan ibu. Mereka menangis menatapku.
Ya Tuhan betapa tololnya aku! Bagaimana mungkin aku tak
bisa membaca keanehan yang kemarin terjadi? Bagaimana aku tak
curiga ketika Bram tiba-tiba saja muncul di hadapanku dengan
wajah pucat dan tubuh yang sangat dingin? Bagaimana aku per-
caya saja bahwa dia tak punya banyak waktu dan memintaku
pulang. Untuk apa? Agar aku tahu ia telah tiada?
Tiba-tiba semua terasa berputar. Tubuhku gemetar. Sebelum
aku merasa semuanya gelap, kulihat jaket pemberianku kemarin
tergantung di dinding kamar.

16 Menipu Arwah
Cerita dari “Cerita dari Blora”

Andreas Agil M.
Guru SMK IT Ihsanul Fikri Mungkid, Magelang

Sepuluh tahun yang lalu.


Indra termangu. Benar yang dikatakan Pram bahwa Kali
Lusi di musim kering dasarnya dialasi batu-krikil-lumpur serta
pasir yang mencongak-congak seperti....
“Menjenguk langit...,” tukasnya sembari memperhatikan
buku yang tengah dipegang Indra. Indra lantas mendongak ber-
diri,
“Hei! Bukankah kamu wanita yang di bus itu? Apa kamu baru
saja membaca kata hatiku?”
Wanita yang ditanyainya itu menjeda antara anggukan dengan
gelengan. Samar. Dan, Indra baru saja kehilangan momen.
Harusnya yang dia katakan adalah, ‘Hebat! Kamu tahu sambungan
kalimatnya? Apakah kamu juga penyuka karya-karya Pram?’, tapi tidak.
Wanita itu pun tersenyum lalu berlalu. Indra gagu. Wanita itu
akhirnya menghilang di balik rimbunnya rumpun-rumpun bambu
yang hijau hitam, persis seperti latar pada Yang Sudah Hilang di
antologi cerpen yang kini Indra genggam erat.
<><>
“Jadi pergi?” tanya lembutnya mengaburkan lamunan Indra.
Sambil berkemas, Indra mengangguk singkat seraya me-
mandang matanya; mata istrinya––yang sebentar lagi akan di-
tinggalkannya untuk waktu yang Indra sendiri belum menentu-
kan batas akhirnya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 17


Sang istri mendesah. Antara mengambil napas kekesalan,
atau malah napas kepasrahan. Sambil bersedekap, sang istri me-
mandangi Indra yang masih mengemasi beberapa barang yang
akan dibawanya.
“Mas yakin? Enggak satu kali dua kali ini lho, Mas begitu.
Meninggalkan Nita di sini begitu saja hanya untuk....”
Sang istri berhenti berucap ketika kecup lembut di kening
mendarat cepat dari Indra yang kini menatap penuh harap.
“Harusnya kamu sudah tahu kan, Honey? Sudah ya... Mas
tidak mau membahasnya di sini. Toh kalau nanti Mas dapat ide
yang bagus, lalu menuliskannya dengan indah tersebab pancaran
aura yang datang langsung dari daerah itu, yakinlah Mas bakal
menang menjuarai kompetisi ini. Coba bayangkan itu, Sayang?”
Sang istri menerawang. Bukan sesekali ini Indra pergi
dengan alasan yang sebenarnya sangat sepele, mencari ide lang-
sung ke tempat yang berhubungan dengan ide tersebut.
“Baiklah kalau begitu. Kabari aku kalau kamu sudah mau
balik lagi ke rumah,” sang istri akhirnya ketus berkata.
Kali ini, Indra memang sudah membulatkan tekad untuk
pergi ke sana. Tidak ada yang bisa menghalanginya. Penyikapan
sang istri pada Indra serta-merta hanya dibalasnya dengan
senyum tipis, setipis harapan sang istri agar sang suami tidak
jadi pergi.
<><>
Blora masih sama––menurut Indra––dengan cerita di anto-
logi tersebut. Warung-warung kecil yang di dalamnya kerap
terlihat lelaki bergumul dan berjudi. Sawah-sawah yang di-
genangi petani bukan air karena kerontangnya masa. Bahkan,
perayaan-perayaan pascasunat anak laki-laki kisaran umur
delapan sampai sepuluh tahun, yang baru saja dilewati Indra,
masih semarak mengalungi keseharian warga desa di kota ini.
“Sudah sepuluh tahun ya?” Inem tiba-tiba membuka memori
yang mungkin sudah lama ditinggalkan Indra.
“Ah, iya...” Indra tergagap.

18 Menipu Arwah
“Bagaimana kabarmu?” lanjut Indra mencari bahan pem-
bicaraan.
“Seperti yang kamu lihat,” Inem tersenyum. “Aku baik-baik
saja dari dulu... sampai sekarang.” Ada nada menggantung di
kalimat akhirnya.
Mereka berdua berjalan beriringan. Membelah kota, me-
nikmati senja. Seperti sepuluh tahun lalu, walau kini tentu ber-
beda. Indra adalah seorang lelaki yang sudah mempunyai istri.
Inem? Tidak ada yang tahu kabarnya sampai Indra menemukan
sebuah cara untuk menemuinya kembali.
“Tidak semua yang kaulihat di Blora ini selaras dengan apa
yang kaupikirkan,” ucap Inem yang kini menjadi pemandu Indra
untuk berkunjung ke beberapa situs-situs sejarah di kota tersebut.
“Sebenarnya aku heran, tujuanmu kembali ke Blora apakah
untuk mencari bahan untuk tulisan atau...” Inem tidak melanjut-
kan.
“Atau? Atau apa? Mengapa berhenti?”
“Tidak apa-apa. Seharusnya hal itu sudah tidak aku tanyakan
lagi....”
Indra kembali merasa hatinya seperti tersayat sembilu.
<><>
...
“Kamu enggak akan bisa ke mana-mana!”
...
<><>
Blora, di luar kisah di dalam antologi yang masih Indra
genggam itu, memang merupakan kota kecil dengan panorama
alamnya yang indah, yang berada di sebuah terusan yang meng-
hubungkan pantai Rembang—Lasem.
“Nuansa perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun
masih terasa di beberapa titik penting kota. Sebut saja Lubang
Buaya Dukuh Pohrendeng yang merupakan tempat pembuangan
Mr. Iskandar dan koleganya oleh PKI pada tahun 1948,” tambah
Inem.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 19


Indra berkesah. Alat tulis beserta diktat yang ada di hadap-
annya kini menunggu untuk ditulisi lagi. Namun, akhirnya dia
malah memutuskan untuk berhenti. Pikirannya kalut. Di benak-
nya meraja, benarkah dia kembali ke Blora guna melakukan pe-
ngumpulan bahan untuk calon tulisannya? Atau sebenarnya ingin
bertemu dengan Inem, gadis desa yang sepuluh tahun lalu
mempunyai idealisme yang sama dengannya?
“Stasiun yang tadi kita lewati juga menyimpan banyak kisah.
Perjalanan. Cinta. Pengorbanan. Misteri sekaligus,” lanjut Inem
yang sesekali berhenti untuk duduk sambil melayangkan pan-
dangan.
Inem––bagi Indra––memang terlampau mengejutkan untuk
dijadikan semacam guide berkeliling kota yang juga akrab dengan
ladang minyak Cepu ini. Ia masih terlihat sangat muda, tetapi
seperti hampir tahu segalanya tentang masa lalu Blora. Dandan-
annya santun. Berkelas. Terpancar auranya. Indra terpesona.
“Perhatikan ini baik-baik ya, Mas,” suara Inem terasa agak
sendu dan berat, “bahwa keluarga adalah prioritas utama. Banyak
hal muncul. Idealisme muncul. Keinginan menggebu-gebu muncul.
Akan tetapi, tetap saja keluarga adalah yang utama,” Inem
menjatuhkan pandangan ke langit biru yang mulai kemerahan.
Indra tercekat. Ia lupa bahwa hampir seharian Indra dan
Inem berkeliling menyusuri kota tersebut, merayapi setiap celah
yang ada, dan menyambangi sejarah yang mungkin mulai hilang,
ia malah seolah-olah hilang ingatan!
“Astaga...” Indra menepuk jidatnya keras sekali, membuat
Inem terfokuskan padanya. “Hari ini aku belum menghubungi
istriku!” ada rasa penyesalan di ucapan Indra. Inem pun sama,
menunduk.
Dihubunginya sang istri. Nihil. Karena tidak enak meng-
anggurkan Inem, Indra akhirnya hanya mengirim pesan ke
WhatsApp sang istri. Tercentang dua dengan warna kelabu. Batin
Indra, ah, sudah terkirim, sebentar lagi mungkin akan dibaca. Walaupun
dalam hati Indra terus memikirkan kata-kata yang sempat di-

20 Menipu Arwah
lontarkan oleh Inem tadi, perihal pentingnya sebuah keluarga.
Indra tidaklah seperti ayah dari Sri pada Dia yang Menyerah––
dan Indra juga tidak pernah berpikir seperti itu. Namun, ke-
nyataan mengutarakan sebaliknya. Bahwa tanda-tanda yang di-
ingkarinya, perlahan menyatakan kejelasannya.
“Blora juga tidak ramah di malam hari,” tukas Inem tiba-
tiba.
“Premanisme?” tanya Indra yang kini masih berjalan ber-
iringan di sekitar alun-alun. Setelah kumandang azan maghrib
mengalun, setelah menunaikan kewajibannya, Indra kembali
mengajak jalan-jalan Inem yang terlihat makin mempesona.
“Betul. Akan tetapi, ada yang lebih dari itu. Menyangkut
metafisika. Sesuatu yang tak kasat mata.”
Mendadak bulu kuduk Indra berdiri.
“Ada beberapa hal penting yang harus Mas ketahui. Penting
di sini bukan berarti harus dilakukan, tetapi malah sebaliknya,
harus berhati-hati bahkan dihindari,” Inem mulai menjelaskan
panjang lebar.
“Pertama, perhatikan sekeliling. Apakah ada respons positif
atas kehadiranmu. Kalau tidak ada, segeralah menyapa, agar
tidak dikira hantu atau sedang berbicara dengan hantu.”
Indra sontak tertawa. “Dikira hantu? Aku manusia, Inem. Asli
manusia. Dan apa tadi? Berbicara dengan hantu? Mana mungkin!”
Indra memegangi perutnya yang tidak sakit. Inem merengut.
“Ya, bukan begitu, masa iya di tengah keramaian, ada orang
yang bisa bicara dengan hantu, dan dia tidak sadar? Oh, atau
yang Inem maksud adalah metafor? Ah, bagus itu. Maaf, maaf,
tidak kepikiran.”
Seolah tak peduli, Inem melanjutkan, “Kedua, jangan ber-
pergian sendiri dengan bus di malam hari, apalagi menaiki ‘Bus
Anda’.”
Indra berhenti tertawa, “Bus Anda?”
“B-U-S-A-N-D-A. Yang sebenarnya dapat diutak-atik men-
jadi B-A-N-D-U-S-A, yang berarti ‘keranda’.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 21


Indra menelan air ludahnya sendiri. Benar-benar bergidik
membayangkan hal tersebut. Sebab, ia juga pernah mendengar
hal serupa dari koleganya dulu. Menaiki bus yang ternyata adalah
keranda terbang. Kalaupun selamat dari “bus hantu” tersebut,
perjalanan ke Blora juga selalu menjadi perjalanan yang me-
negangkan apabila mulai memasuki kawasan hutan jati. Banyak
sekali kejadian janggal yang kerap terjadi di wilayah tersebut.
Pengendara sepeda motor yang terus berputar-putar di areal
hutan, bus yang tiba-tiba masuk ke tengah rimbunan hutan,
sampai kejadian di luar nalar, menganggap sudah tampil nanggap
pentas di sebuah tempat di dekat hutan, tetapi ternyata dikom-
plain warga yang ngorder kelompok seni tersebut lantaran tidak
tampil––padahal mereka merasa sudah menggelar pentas
semalaman.
“Kok bengong?!” sentak Inem mengaburkan lamunan Indra.
“Ah, enggak apa-apa, he... he...,” tukas Indra ambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Maaf-maaf... sampai mana tadi?”
Inem menghela nafas kemudian melanjutkan, “Terakhir, ini
bukan tentang metafisika, tetapi tetap saja horor. Yaitu, jangan
mudah percaya dengan siapa saja. Pastikan yang kauajak bicara
adalah orang baik atau paling tidak orang yang tidak akan
berniat jahat padamu. Di kota ini, tindak-tindak kriminal dari
hal tersebut masih kerap terjadi. Dampaknya cukup signifikan.
Bahkan, bisa sampai menghilangkan nyawa.”
Indra kembali menelan air ludahnya sendiri. “Tunggu..
tunggu.. bagaimana aku bisa tahu kalau orang yang aku ajak
bicara adalah orang baik? Berarti aku tidak boleh langsung per-
caya oleh siapa pun?” Indra berhenti sejenak sambil melihat ke
arah Inem dengan tatapan yang haus akan jawaban.
“Betul. Begini, lihat ke mana mata menuju. Kalau Mas adalah
laki-laki, kemudian bertanya pada laki-laki, jika itu orang baik,
maka mata akan bertemu mata. Antusias. Kalau tidak, ada dua
kemungkinan. Dia memang tidak ingin diganggu, atau bisa jadi

22 Menipu Arwah
melihat hal-hal yang bisa bermanfaat untuk orang tersebut.
Namun, kalau misanya saya, seorang perempuan nih. Bila ber-
temu dengan laki-laki, jika dia baik, maka dia akan sungkan,
bukan melihat ke tubuh apalagi bagian-bagian tertentu.”
“Oh... Ah, itu sih saya tahu...” tukas Indra menggampangkan,
kemudian kembali berjalan pelan mendahului Inem.
“Oh iya, kenapa kalau sama aku, Mas langsung percaya?
Kan kita sudah tidak lama bertemu?”
Indra tersedak mendengar pertanyaan Inem barusan. Deburan
ombak serasa menghujam dalam dada. Jaket yang dia kenakan
seperti tak mampu menahan. Indra dan Inem, mata mereka
bertemu dalam satu titik. Di malam itu.
<><>
...
“Kamu enggak akan bisa ke mana-mana!”
...
<><>
Nita tidak seperti Kirno dalam Yang Hitam, yang kehilangan
kaki dan matanya. Nita sehat. Malah sangat sehat untuk me-
langkah mencari Indra yang sudah dua hari ini tidak ada kabar
sejak kepergiannya ke Blora. Ditanyainya semua orang di tempat-
tempat yang mungkin Indra singgahi. Berbekal foto Indra, foto
suaminya yang masih dicintainya, Nita berpacu dengan waktu
menemukan suaminya yang misterius di kota yang memang
penuh misteri itu.
“Mau ke mana, Neng?” sapa seorang sopir bus pada Nita.
Di badan bus tersebut tercetak sebuah nama Bus Anda.
“Ah, kebetulan, apakah Bapak pernah melihat orang ini?”
Nita menunjukkan foto Indra pada sopir.
Sang sopir tampak berpikir, “Ah, ini kayaknya pernah naik
bus saya, Neng, bener ini!”
“Syukurlah.,” Nita melihat ada secercah harapan mampir,
“Kalau begitu Bapak masih ingat, di mana orang ini pergi atau
turun?”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 23


“Tentu masih, Neng. Ayok, naik bus ini saja,” ajak sang sopir–
–disertai seringai yang tidak diketahui Nita.
Tiada curiga, Nita langsung mau saja diajak naik ke bus
tersebut.
“Nita!” panggil Muna di kejauhan.
Nita menoleh, tersadar. “Oh, iya, sampai lupa, Muna kok belum
aku beritahu,” batinnya. “Muna! Sini, ayok! Aku sudah menemukan
Mas Indra. Kata Pak So.”
Suasana mendadak lengang.
Muna mendekat dengan napas yang memburu. “Kamu
ngapain tadi bengong di pinggir jalan! Hampir nyeberang lagi.
Kamu tahu kan bisa celaka kalau menyeberang sambil bengong
gitu?”
Nita sontak menggigil. Udara tidaklah dingin, panas malah-
an di sekitar. Antara setengah percaya, setengah tidak, di hadap-
annya tadi, Nita yakin betul bahwa dia baru saja mengobrol
dengan seorang sopir bus. Namun, kini tak ada asap mengepul
atau jejak ban atau paling tidak suara bising mesin melaju, sopir
bus––beserta bus yang persis tepat di depannya––sudah lenyap
tak berbekas.
Di kejauhan, di balik rindang bambu yang terselip di antara
kemilau senja di dekat terminal Gagak Rimang, Inem memandang
tajam Nita dan Muna yang masih keheranan dengan kejadian
barusan. Mentari tenggelam. Sejurus kemudian, Inem pun akhirnya
memutuskan menghilang di balik rimbunnya pepohonan.
...
“Kamu enggak akan bisa ke mana-mana, Indra!”

24 Menipu Arwah
Elegi Cinta Aku, Kau, dan Dia

Andri Saptono
Guru MA dan Mts Al Ayyubi
Ponpes Tahfidzul Qur’an Al-Ikhlas, Sukoharjo

Aroma parfummu masih tertinggal di bantal ini. Mengekal


di ruang kamar yang tak sepenuhnya engkau tinggalkan benar.
Hanya terdengar tik tok jam dalam keheningan tunggal tatkala
kumembuka mata pagi ini. Rasa kopi yang masih pula tertinggal
di bibirku dari tiga gelas cangkir kopi yang kau seduhkan se-
malam, yang kutandaskan dalam perbincangan kita tentang
novel Sandra Cisneros itu.
Sedetik ini aku ingin meneleponmu. Mengatakan sebuah
lintasan pikiran tentang novelis kenamaan Amerika Latin itu.
Akan tetapi, tatkala kuraih handphone di tempat ia seharusnya
berada, ternyata tempat itu kosong.
“Aku mau membelikan sandal yang baru buat Kasyfa besok,”
ujarmu semalam.
“Aku ingin mengajaknya ke Pasar Beringharjo. Mengajaknya
melihat-lihat suasana pasar tradisional.”
“Menurutku itu ide menarik. Pasar tradisional harganya
murah dan kualitasnya tak kalah.”
“Tidak, sebenarnya bukan soal itu. Aku ingin mengajaknya
melihat kerumunan orang biasa. Biar ia merasakan kebersamaan
dengan mereka. Aku ingin Kasyfa kelak selalu hadir bersama
orang-orang kecil.”
Aku selalu terpukau dengan perkataanmu. Sesuatu yang
unik dan tulus selalu muncul dari dalam hatimu.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 25


Aku akhirnya memilih bangun. Suara berisik mesin air te-
tangga sebelah yang bermasalah cukup mengganggu. Aku tidak
tahu mengapa mereka tidak segera membeli mesin baru. Senang
sekali lelaki tetanggaku itu membongkar-pasang sendiri. Ber-
sikeras ia perbaiki sendiri walau tak terhitung berapa kali gagal.
Aku juga tidak tahu mengapa isterinya begitu sabar melihat
suaminya dengan cara seperti itu.
Selesai mandi aku kembali ke kamar. Dari jendela, berkas
cahaya berpendar indah berwarna kuning cerah. Aku jadi ter-
ingat dengan kulitmu. Aku menjadi merindukanmu lagi pagi
ini. Namun, sesuatu yang tak mungkin untuk diulang setelah
kau pergi dari kamarku semalam karena sebulan lagi kau baru
bisa ketemu aku. Seperti biasa berbicara panjang lebar, tentang
kota, tentang waktu, tentang seni, dan kabar anakmu, Kasyfa.
Aku hanya rindu berkas cahaya yang jatuh pada kulitmu
yang sehalus beludru itu. Menciuminya bertubi-tubi dan menan-
daskan kerinduanku.
Ah, pagi ini aku harus memukul kepalaku lagi dengan ke-
moceng, mengingatkan bahwa aku tak pantas berkhayal apapun
tentang dirimu sepagi ini. Kau adalah cinta yang melintas dalam
mimpi hidupku.
Damn! Tahukah rencanamu untuk menikah lagi itu sebenar-
nya akan menghancurkanku.
“Aku berencana ingin menikah lagi, Sam.”
Tiba-tiba kau membuatku tersedak dengan kopiku waktu
itu.
“Bagus.” Kau tersenyum. Mengetahui perkataanku bertolak
belakang dengan hatiku.
“Ya, aku serius. Menurutku itu ide bagus. Tentu aku men-
dukungmu.”
Aku menatap wajahnya benar-benar agar ia percaya. Kulihat
ada sebuah garis luka pada keningmu. Yang kau katakan itu
merupakan sebuah celengan kecil dalam kepalamu. Celengan tem-
pat menabung rahasia-rahasia. Namun, luka kecil itu tak me-

26 Menipu Arwah
ngurangi kecantikanmu. Hanya menambah kehadiranmu men-
jadi nyata di hadapanku. Cantik dan terluka.
“Kau tahu, ada yang salah pada hubungan kita. Kita ber-
dosa.”
Aku menghela napas.
“Aku tidak mau kita membicarakan soal itu lagi. Aku men-
cintaimu dan tidak akan meningggalkanmu.”
“Kau tak bisa egois. Aku ingin kau setia kepada istrimu.”
“Namun, aku ingin bahagia denganmu.”
Percakapan semacam inilah yang menghancurkan diskusi
seru kita tentang novel Amerika latin, tentang Borges, Shakspeare
dan tentang budaya lokalitas. Dan aku tak tahu mengapa kau
selalu yang memulainya. Apakah kau sudah bosan padaku?
“Lalu mengapa kau selalu menghubungiku?” tanyaku balik
terdengar selfish.
“Entahlah, aku terjebak dalam situasi yang sama denganmu.
Ketidakbahagiaan dengan pasangan, tetapi merasa bahagia
dengan orang lain.”
“Jadi, aku bagimu orang lain?”
“Bukan seperti itu. Maaf. Aku hanya mau mengatakan ….”
“Aku mencintaimu Marita. Hanya itu yang harus kau tahu.”
Lalu kau membenamkan bibirmu dalam leherku. Mendekap-
ku. Aku memeluk tubuhmu. Bau melati menguar seiring dekap-
anmu yang mulai menghangatkan tubuhku. Kau tahu, surga itu
dimulai dari bau tubuhmu yang menyerbu hasratku?
***
Pasar Beringharjo
Kasyfa menarik tubuhmu menuju barisan pedagang buah-
buahan Pasar Beringharjo. Dia menginginkan anggur itu. Dan
kau membelikannya. Kau menggendongnya sambil berjalan di
kerumunan para pembeli. Berjalan di lorong Pasar Beringharjo
itu. Orang-orang berteriak. Ramai. Bau keringat. Warna-warni
sandal murahan.
“Kasyfa ingin warna apa?”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 27


“Coklat saja. Itu yang lucu. Ada Micky Mouse-nya.”
Kau mengambilnya, membelinya tanpa menawar. Ibu penjual
itu senang sekali merasa mendapatkan keuntungan yang ber-
limpah. Padahal bagimu, uang 50 ribu itu nyaris tak pernah ber-
arti apa-apa. Sebaliknya, bagi mereka uang 50 ribu barangkali
adalah nyawa yang mereka harus dapatkan dengan mengais
rejeki di pasar ini.
“Hei, kamu wanita jalang!”
Kau berbalik.
“Apa kamu bilang! Beraninya! Kamu sendiri yang lonte!”
Teriakan dua orang perempuan pasar yang bertengkar
segera saja menjadi tontonan sekitarnya. Anehnya, tak ada orang
yang segera ingin melerai.
“Kamu, Asu! Pengganggu rumah tangga orang!”
“Suamimu sendiri yang Asu! Dia yang mau padaku!”
“Dasar lonte!”
“Emang kenapa kalau lonte, daripada kamu yang gembrot
jelek.”
Kau mundur ketika pertengkaran itu menjadi ganas. Dua
perempuan itu saling menjambak. Kamu khawatir Kasyfa akan
merekam adegan itu dalam kepalanya dan akan mengotori
jiwanya. Kamu berhasil menyeretnya pergi. Namun, tak urung
Kasyfa bertanya juga.
“Mereka bertengkar, mengapa Ma?”
“Mama tidak tahu. Itu bukan urusan kita, Nak.”
Kau bergegas pergi dengan taksi ke sebuah kafe. Mencari
ketenangan. Duduk di dekat taman dan sebuah kolam ikan yang
asri. Kau memesan kopi dan surat kabar baru. Namun, Kasyfa
terus mengulang tentang kejadian itu.
“Pertengkaran tadi menakutkan ya, Ma? Kasyfa tidak mau
melihat Mama bertengkar seperti wanita di pasar tadi.”
Glek, kopimu hampir tersembur tiba-tiba. Kasyfa masih
teringat soal itu rupanya. Namun, esensi dari pernyataan polos
anak kecil itu yang menghujammu.

28 Menipu Arwah
“Apa Mama pernah bertengkar seperti itu?”
“Tidak sayang. Tidak akan. Mama tidak pernah mau ber-
tengkar.”
Kau lantas memeluk anak itu. Dalam benakmu, kau tak tahu
apakah harus menyesal telah mengajaknya pergi ke tempat-
tempat eksotis seperti katamu itu.
***
Istrimu datang dari perjalanan luar kota. Perjalanan yang
membuatnya tiga hari berada di Medan untuk menjadi pembi-
cara dalam seminar pendidikan internasional. Wajahnya terlihat
capek, tetapi ia tetap meladeni keperluanmu pagi ini dengan
binar senyum bahagia. Segelas kopi di meja kerja dan oleh-oleh
gethuk durian dari Medan.
“Untunglah cuacanya bagus selama di sana. Di sini bagai-
mana?”
“Sama saja,” katamu sambil pura-pura mengedit tulisan yang
belum selesai. Dalam hati kau berharap istrimu segera beranjak
pergi. Entah mengapa, bayangan Marita masih terlintas lagi.
Nyaris meledak dalam waktu pagi ini. Dan kau tak tahan ingin
mendengar suaranya di telepon segera.
“Kau sudah sarapan?” tanya istrimu.
“Nanti siang saja.”
“Baiklah, kita nanti makan di luar saja. Aku ingin makan di
restoran favoritmu itu.”
Istrimu beranjak ke sampingmu dan mencium rambutmu.
Lalu beranjak pergi. Melangkah gontai ke tempat tidur dan
merebahkan diri.
Kau menghentikan jemarimu dari tuts keyboard. Mengambil
handphone. Dan memanggil nama itu.
“Ayo jawab,” katamu tak sabar ketika tak ada jawaban dari
seberang.
Panggilan terputus. Kau ulangi lagi makin tak sabar.
***

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 29


Sebuah e-mail dari Marita kau terima saat makan siang
dengan istrimu. Kau membacanya di androidmu ketika istrimu
sedang di toilet restoran.

Sayangku Sam,
Aku menyadari satu hal dalam perjalanan kecilku dengan
Kasyfa ketika membelikan sandal barunya pagi ini di Pasar Bering-
harjo. suatu peristiwa kecil yang menamparku betul... ya, aku tak
ingin menjadi orang ketiga selamanya....
Yang akan melukai hati istrimu
Maaf, aku harus berlalu dari hidupmu selamanya....
Ya, kutahu aku memang mencintamu, tetapi dialah, istrimu,
yang akan selalu menjadi milikmu selamanya... walaupun saat
ini kau belum bahagia bersamanya.
salam,
Marita

Kau tak tahu bagaimana perasaanmu sendiri. Kau tak mung-


kin berteriak muak di dalam restoran ini. Tanganmu gemetar
karena marah. Tak terima dengan keputusan Marita.
Kau coba menghela napas. Memejamkan mata. Rasa sakit
itu nyata. Kau coba menelan kopi pahitmu sekali lagi. Lagi, dan
lagi hingga tandas. Di akhir itu ada sedikit manis gula tersisa.
Kau menghela napas. Menyadari bahwa hidup adalah rang-
kaian peristiwa bahagia dan tak bahagia. Kau mencoba mengafir-
masi hal itu. Lalu sekali lagi menghela napas panjang.
Sejurus istrimu datang dengan binar wajahnya yang bagai
berkas cahaya surga itu. Dan seperti yang dikatakan Marita dalam
e-mail singkatnya, ya benar, istrimu akan selalu menjadi milikmu
walaupun saat ini kau belum bahagia bersamanya.

30 Menipu Arwah
Tuyul Pilkades

Arif Khilwa
Guru MA Salafiyah, Kajen, Pati

“Ada apa kang?” tanya Warjo kepada salah satu orang yang
terlihat tergesa-gesa menuju salah satu rumah di ujung desa.
“Ada Tuyul tertangkap? Jawabnya singkat.
“Di mana?” bertanya kembali
“Di rumah itu” sambil menujuk salah satu rumah.
“Siapa yang menangkapnya?”
“Dukun kampung seberang” lalu bergegas meninggalkan
Warjo.
Warjo memandang orang-orang yang berpapasan denganya,
mereka terlihat penasaran menuju rumah yang katanya telah
ada tuyul tertangkap itu. Mereka begitu antusias, bahkan di
antaranya ada yang berlari ingin segera mengetahui kebenaran
berita itu. Melihat orang-orang itu, Warjo hanya tersenyum dan
melanjutkan perjalanannya.
Terlintas dalam pikirannya, betapa mudah orang-orang itu
digerakkan untuk memercayai sesuatu yang belum pasti ke-
benarannya. Tuyul yang katanya tertanggkap itu tidak terlihat.
Botol yang digunakan untuk tempat menangkap tuyul itu terlihat
kosong tanpa isi yang katanya hanya dukunlah yang mampu
melihatnya. Namun mereka percaya saja dengan semua omong-
an dukun itu, yang berdasarkan argumen bahwa tuyul itu ditang-
kap dengan jebakan menggunakan seekor yuyu dan sepiring
bubur yang di taruh di sampingnya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 31


Warjo terus menggerutu sendiri, menghubungkan kejadian
berita tertangkapnya tuyul itu dengan situasi politik di negeri
ini. Ia seakan menemukan jawaban kenapa pelaksanaan demo-
krasi mudah dimainkan. Masyarakat pada umunya mudah di-
gerakkan dengan sesuatu yang tak pasti. Mereka mudah di-
sugesti dengan sesuatu yang dianggap benar asal dipercaya oleh
banyak orang. Mereka melakukan sesuatu tak lagi menggunakan
akal sehat, apalagi sikap kritis.
“Pintar juga kang Dawil, selalu memanfaatkan dan mencari
keuntungan dalam pelaksanaan pesta demokrasi selama ini”
bicara sendiri dengan tersenyum kecut.
***
Waktu berjalan baru saja sampai di sepertiga malam, sisa
rintik hujan masih terasa membawa hawa dingin menusuk tulang.
Baru saja waktu menunjukkan pukul 22.00. Orang-orang seakan
enggan keluar dan menutup rapat daun pintu rumah mereka.
Di antara rumah-rumah yang sudah tampak gelap, hanya me-
nyisakan lampu teras dan pinggir jalan yang menyala, rumah
Dawil terlihat lampu ruang tamunya masih menyala terang.
Rumah sederhana dengan ruang tamu ukuran 4x4 meter tampak
terang dengan lampu 20 watt masih menyala menyinari seluruh
ruang.
Di atas meja ruang tamu tampak tersebar beberapa kertas
bergambar ketela dengan tertulis nomor dua, juga terlihat be-
berapa lembar lainnya ada foto seorang berdasi yang memakai
peci dan juga tertulis angka dua di atasnya. Gambar-gambar itu
adalah sisa alat peraga kampanye pemilihan kepala desa yang
berlangsung beberapa hari lalu. Dawil salah satu tim sukses
kepercayaan Pak Brojo yang memperoleh nomor urut dua
dengan lambang gambar ketela.
Dawil duduk di kursi panjang di ruangan itu. Ia terlihat
seperti bingung dengan beberapa kali menghitung uang yang
ditaruh dalam kantong plastik hitam.

32 Menipu Arwah
“Mengapa setiap hari uangnya berkurang?” Ia menggerutu
dalam hati.
Bingung dan marah terlihat jelas dalam ekspresi mukanya.
Alis kanan dan kirinya menyatu dengan kerutan di dahinya.
Dawil mengeluarkan kembali seluruh uang yang ada di dalam
kantong plastik dan menghitungnya. Saking seriusnya, Dawil
tidak menyadari kedatangan Warjo adiknya. Ia duduk di salah
satu kursi di sampingnya. Melihat uang yang begitu banyak di
depan kakaknya, Warjo terheran-heran, sambil cengar-cengir ia
berkata
“Wow, banyak banget uangnya, Kang?”
Mendengar suara itu, Dawil tampak kaget, panik, dan spon-
tan langsung memasukkan semua uang itu ke dalam kantong
plastik.
“Oalah, kamu Jo. Bikin kaget orang saja,” sahut Dawil.
“Uang siapa itu, Kang?” tanya Warjo.
“Ssssttt, jangan keras-keras kalau ngomong. Semua ini uang-
ku, Jo.” Jelas Dawil
“Uang Kang Dawil?” jawab Warjo seakan tak percaya.
Dawil mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dari
kantong plastik lalu memberikan kepada Warjo.
“Ini buat kamu, Jo.” Kata Dawil sambil mengulurkan be-
berapa lembar uang ke Warjo.
“Semua ini buat aku, Kang?” sambil menerima uang itu.
Warjo segera menghitung lembaran uang ratusan ribu itu
yang berjumlah dua puluh lembar dengan ekspresi terheran-
heran, seakan tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh
kakak angkatnya itu.
“Ini uang dari mana, Kang?” ia bertanya dengan tampak
penasaran.
Dawil menali kembali kantung plastik yang berisi uang itu.
Buntalan plastik itu ditaruhnya di sebelah kiri tepat ia duduk.
Seakan ia tampak ragu memulai ceritanya. Ia menarik nafas,
kemudian memulai cerita. Ia menjadi salah satu orang yang

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 33


dipercaya oleh Pak Brojo dalam pemilihan kepala desa. Alasan
memilih mendukung Pak Brojo disebabkan selain kaya raya, Pak
Brojo juga merupakan keturunan dari kepala desa terdahulu.
Dari generasi ke generasi keturunan keluarga Pak Brojolah yang
selalu menjadi kepala desa di Desa Kenanga.
Dengan mendukung Pak Brojo, ia mengira akan lebih mudah
pekerjaannya dalam pemilihan kepala desa. Selain itu, ia akan
mendapatkan banyak uang karena Pak Brojo pasti akan menyiap-
kan dana yang tidak sedikit.
“lha kok Pak Brojo kalah dalam pemilihan kemarin?” tanya
Warjo menyela
“Itu semua salahku.” jelas Dawil singkat.
Sesaat Dawil diam. Jam yang tertempel di dinding atas pintu
menunjukkan pukul 23.00. Pandangan Dawil ke bawah. Seakan
ada penyesalan. Warjo memandang kakaknya dengan penuh
tanya.
“Kok bisa salah kamu, Kang?” tanya Warjo
Kembali Dawil menghela nafas. Ia kembali melanjutkan
ceritanya bahwa dalam politik tidak ada loyalitas dan peng-
abdian. Namun yang ada adalah kepentingan. Kepentingannya
adalah mencari uang. Sedikit ada peluang harus dimanfaatkan,
sebab kalau tidak dimanfaatkan akan tidak kebagian.
Warjo mendengarkan penjelasan dari kakaknya itu dengan
serius, tapi tampak terlihat bingung dan kurang paham.
“Maksudnya apa, Kang?” tanya Warjo
Dawil tersenyum mendengar pertanyaan adiknya itu. Ia
paham bahwa penjelasannya itu terlalu bertele-tele. Ia bergeser
dari tempat duduknya mendekati adiknya. Dawil mencoba men-
jelaskan bahwa ia sebenarnya sudah membohongi Pak Brojo.
Ketika ia mendapat tugas untuk membagikan uang guna me-
nyuap para warga desa agar memilih Pak Brojo, hal itu diman-
faatkannya. Ia menggelembungkan data para pendukung dari
4000 orang pendukung menjadi 8000 orang.

34 Menipu Arwah
Setelah uang yang sudah dimasukkan dalam amplop,
masing-masing terisi ratusan ribu yang berjumlah delapan ribu
amplop diterimanya. Hanya setengah dari jumlah yang dibagi-
kan dan setengah lagi ia simpan untuk dirinya sendiri. Ia berpikir
bahwa massa pendukung Pak Brojo sudah militan, dari jaringan
keluarga dan jaringan para pekerja yang bekerja di keluarga
Pak Brojo jumlahnya sudah ribuan. Mereka tidak dikasih uang
suap pun pasti akan memilihnya. Ternyata perkiraannya meleset.
Orang-orang yang tidak kebagian uang dari Pak Brojo, walau
dari keluarga dan pekerja, tidak mau memilih Pak Brojo dalam
pemilihan. Hasil akhirnya Pak Brojo kalah dalam pemilihan.
Mendengar penjelasan kakaknya, Warjo terlihat kaget.
“Edan. Nekat benar kamu, Kang.” Kata Warjo dengan ter-
lihat sedikit gemetar.
“Itulah politik, Jo” jawab Dawil.
“Mengapa kamu tadi kok terlihat bingung, Kang?” Tanya
Warjo.
Dawil menjelaskan tentang uangnya yang terus berkurang
jumlahnya dalam beberapa hari ini, padahal tidak ada yang tahu
kalau ia menyimpan uang yang banyak di kamarnya. Bahkan
Warjo saja yang tinggal satu rumah pun mengaku tidak tahu
tentang uang itu.
Mendengar penjelasan kakaknya itu, Warjo ikut berpikir
kira-kira apa yang menyebabkan hilangnya uang itu. Suasana
di ruang tamu itu menjadi hening. Suara detak jarum jam ter-
dengar menjadi sangat nyaring.
“Apa jangan-jangan?” ucap Warjo memecah heningnya
suasana
“Jangan-jangan apa, Jo?” Tanya Dawil tampak penasaran.
Warjo menjelaskan bahwa di desa sebelah, kemarin lagi
ramai dengan adanya tuyul. Di desa itu, katanya banyak warga
yang kehilangan uangnya. Semua menjadi resah atas kejadian
itu. Salah satu warga menawarkan untuk minta bantuan dukun
untuk mengatasi masalah tuyul di desa itu. Warga sepakat dan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 35


dukun didatangkan. Hasilnya, masalah tuyul itu bisa diatasi dan
warga tak ada lagi yang kehilangan uangnya.
Mendengar cerita si Warjo, Dawil terlihat tertarik, ekspresi
wajahnya berubah cerah yang menggambarkan kegembiraan.
Dawil meminta Warjo untuk mencari dan meminta bantuan
dukun itu secara rahasia untuk mengatasi masalah yang ia hadapi.
***
Hari yang disepakati dengan si dukun telah tiba. Jingga senja
mulai memudar di batas pandang sebelah barat. Tampak Dawil
terlihat gelisah menanti kedatangan si dukun yang tidak kunjung
tiba. Ia mondar-mandir di ruang tamu. Berkali-kali ia keluar
rumah menandai jalan desa hingga pada batas pandang yang
tak terlihat. Dawil mulai begitu cemas. Ia duduk di kursi pun
tak nyaman. Warna jingga senja memudar disepuh gelap malam.
Dawil segera bergegas berdiri dari tempat duduknya ketika
ia melihat dua orang mendekati pintu. Orang itu tak lain adalah
Warjo dan mbah dukun. Ia segera mempersilahkan masuk dan
segera memeriksa sekitar rumah ada orang yang melihat atau
tidak. Ketika dirasa aman, ia menutup pintu rumahnya. Setelah
mempersilakan duduk si mbah dukun itu, Dawil menceritakan
tentang uangnya yang sering hilang beberapa hari ini berturut-
turut. Mbah dukun hanya diam. Pada saat Dawil selesai bercerita,
mbah dukun berdiri sambil berkomat-kamit dengan suara yang
terdengar tidak jelas artinya. Tubuhnya berputar-putar dengan
kedua tangan direntangkan. Suasana menjadi berubah mistis,
hingga Dawil dan Warjo diam terpaku dengan penuh cemas.
“Hahaha.” mbah dukun berhenti dan tertawa.
“Bagaimana, mbah?” tanya Dawil seperti tidak sabar menge-
tahui hasilnya
Mbah dukun kembali duduk. Ia menjelaskan kepada Dawil,
bahwa rumahnya ini menjadi sarangnya tuyul. Tidak hanya satu
tapi jumlahnya ada sepuluh.
Mendengar hal itu, Dawil meminta kepada mbah dukun
untuk mengusir tuyul-tuyul kalau perlu ditangkap kemudian

36 Menipu Arwah
dibuang jauh-jauh agar tidak kembali, ia bersedia membayar
mahal asal tuyul itu tak mengganggunya lagi.
Mbah dukun mengiyakan permintaan Dawil. Ia menjelaskan,
bahwa Dawil itu masih beruntung. Sebab yang beroperasi di
rumahnya itu hanya tuyul lokal. Biaya untuk memindahkan satu
tuyul lokal itu satu juta, jadi kalau sepuluh tuyul menjadi sepuluh
juta. Dawil sepakat dan segera masuk ke kamarnya untuk
mengambil uang.
Ditemani Warjo di ruang tamu, mbah dukun itu kembali
memejamkan mata dan komat-kamit. Tangan kanan dan kirinya
meliuk-liuk seperti menari. Dawil terlihat kaget ketika ia keluar
dari kamar dan melihat tingkah mbah dukun itu. Tak lama mbah
dukun berhenti dan membuka matanya.
“Ada apa lagi, Mbah?” Tanya Warjo.
“Iya Mbah, ada apa?” sahut Dawil.
Setelah Dawil kembali duduk di kursi, mbah dukun men-
jelaskan bahwa sebenarnya rumah Dawil ini juga diincar oleh
tuyul asing, sedangkan tuyul asing itu berbeda kalau beroperasi.
Mereka beda dengan tuyul lokal hanya mengambil uang sedikit-
sedikit, tetapi kalau tuyul asing akan mengambil uang sebanyak
mungkin bahkan bisa mengambilnya tanpa sisa. Mendengar
penjelasan itu, Dawil tampak panik.
“Terus bagaimana, Mbah?” tanya Dawil.
“Tenang saja, semua bisa diatasi. Namun ugo rampe yang
harus disiapkan banyak. Bahkan bisa mencapai 50 juta rupiah.”
Jelas mbah dukun.
“Apa tidak ada jalan lain, Mbah?” tanya Warjo
Sesaat mbah dukun terdiam. Tak lama ia mengambil sebuah
cincin yang dihiasi batu akik berwarna hitam dari saku kemeja-
nya. Cincin itu diberikan kepada Dawil.
“Untuk sementara kamu pakai ini dulu.” Jelas mbah dukun
singkat.
Dawil segera menerimanya dan memakai cincin tersebut di
jari manis sebelah kiri. Wajahnya terlihat lebih tenang. Dengan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 37


sedikit tersenyum mbah dukun menjelaskan akan menyelesaikan
sepuluh tuyul lokal itu terlebih dahulu, baru nanti akan diurusi
tuyul asing yang mengacam rumah Dawil. Setelah menerima
uang sepuluh juta dari Dawil, mbak dukun pamit pulang diantar
oleh Warjo.
***
“Kurang ajar, dasar tuyul kurang ajar.”
Terdengar suara Dawil dari bilik kamarnya. Dawil keluar dari
kamar, tampak sangat begitu marah. Tangan kanannya meremas
kantong plastik hitam yang sudah kosong. Ternyata uang yang
disimpannya telah hilang semua tanpa sisa.
Di saat hampir bersamaan Warjo masuk ke dalam rumah
dengan tergesa-gesa, nafasnya tak beraturan, wajarnya seperti
panik.
“Gawat, Kang. Gawan!” ucap Warjo dengan sedikit gemetar.
“Jangan gowat-gawat, Jo. Aku ini lagi sial.” Sahut Dawil de-
ngan nada bicara yang meninggi
“Sial gimana, Kang?” tanya Warjo terlihat penasaran.
Dawil berjalan lunglai mendekati kursi di ruang tamu itu. Ia
duduk seakan tak punya daya. Warjo berjalan mendekati kakak-
nya itu. Ia pelan-pelan duduk di sampingnya.
“Ada apa, Kang?” tanya Warjo dengan suara lirih.
Terlihat mata Dawil berkaca-kaca. Butiran air muncul di
sudut matanya mengalir hingga menyusuri pipinya yang mulai
sedikit mengeriput.
“Uangku hilang semuanya, Jo.” Jawab Dawil begitu berat.
Dawil meceritakan bahwa sepulang jalan-jalan dari pantai,
ia hendak mengambil uang untuk membeli telepon genggam.
Namun uangnya sudah tidak ada. Kantong plastik tempat untuk
menyimpan uangnya kosong.
“Ini pasti pekerjaan tuyul asing yang diceritakan mbah
dukun kemarin itu,” ucap Warjo dengan mengepal-ngepal tangan
kanannya.

38 Menipu Arwah
Dengan ragu dan tidak tega Warjo perlahan menceritakan
bahwa semua kebohongan Dawil telah diketahui oleh Pak Brojo
dan pendukung lainya. Orang-orang di desa juga ramai mem-
bicarakan tentang pengkhianatan Dawil kepada Pak Brojo di
saat pilkades kemarin.
Ekspresi Dawil mendadak berubah, setelah mendengar
cerita adiknya itu. Terlihat ketakutan pada dirinya. Dijambak-
jambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Ia berteriak.
“Siaaaal”
Warjo berusaha menenangkannya, ia memberi saran kepada
Dawil untuk segera meninggalkan Desa Kenanga, pergi sejauh
mungkin. Bahkan juga memberi sejumlah uang untuk sedikit
bekal dalam pelarian. Setalah berkemas dengan membawa se-
buah tas yang berisi pakaiannya, Dawil memeluk erat adik
angkatnya itu. Ia berpamit pergi entah ke mana.
***
Setelah sebulan kepergian Dawil meninggalkan Desa
Kenanga, Pak Brojo juga bangkrut dan pergi merantau bersama
keluarganya. Warjo terlihat santai di ruang tamu menikmati
beberapa tusuk sate kambing dan minuman bersoda yang begitu
nikmat. Ia berdiri mendekati foto Dawil yang tergantung di
dinding tembok di ruang itu. Sambil senyum-senyum seakan
sedang berbicara dengan foto itu, ia menceritakan bahwa tuyul
itu sebenarnya tidak ada, yang mengambil uang Dawil dari awal
sampai habis semua itu adalah dirinya. Cerita tentang tuyul itu
hanya berita bohong yang dijadikan alibi, biar kakaknya tidak
curiga. Dukun itu juga palsu, termasuk cerita bahwa Pak Brojo
mengetahui kebohongannya Dawil. Semua hanya akal-akalan
saja demi mendapatkan uang yang desembunyikan Dawil.
“Sekarang, akulah yang kaya raya. Ini politik, Kang. Ketika
ada peluang harus dimanfaatkan.” Ucap Warjo terus tertawa
lepas di depan foto kakak angkatnya itu.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 39


Mimpi Klinthing

Aryani Purnama
Guru SMAN 1 Ungaran

Tolong!
“Kau dengar itu?”
“Aku tak tega.”
“Apa yang bisa kita lakukan?”
Masih terngiang di telinga Klinthing, anak-anak kecil me-
rengek dan menangis seperti menyuarakan ketakutan dan rasa
dingin yang mencekam. Telah tiga hari hujan tak kunjung henti.
Cuaca ekstrem melalui saluran televisi dan radio, menjadi ke-
nyataan.
Sekian peristiwa musibah ada di depan mata Klinthing.
Gatotkaca melihat kesedihan Klinthing.
“Tolong!”
Sekali lagi terdengar teriakan dari arah gubuk yang terletak
di bantaran sungai. Gubuk itu telah sebagian terseret arus sungai.
Seseorang menggapai-gapai ke arah sungai sambil menangis. Ia
tampak berlari dan terseok di antara tanah lumpur dan bebatuan
yang tergerus banjir.
Beberapa orang melompat ke luar rumah, menyegera mem-
beri pertolongan. Terdengar raung tangis perempuan, sambil
menunjuk ke arah sungai.
“Bondan, Bondan.”
Berbondong laki-laki menyusur aliran sungai. Namun, gelap
malam dan derasnya arus sungai tak memberi mereka harapan
untuk menemukan Bondan.
***
40 Menipu Arwah
“Bagaimana, Klinthing? Tentang pembicaraan kita?” Sebuah
suara datang dari cahaya keemasan yang berintikan seorang
ksatria. Ya, seorang ksatria. Ksatria Pringgodani lengkap dengan
caping basunanda, kotang antakusuma, dan terompah padakacarma.
(Terdengar pembicaraan hangat di sela sayup tembang jawa
dan klonengan)
Cahaya itu akan surut dan intinya menyublim kala diam.
“Aku belum menemukan jawab, Gatotkaca. Bagaimana cara
mengubah mindset masyarakat, membunuh nafsu amarah dan
dendam, menyiapkan pidato persuasif serta mencari solusi,” kata
Baru Klinthing dengan serius, dengan kalimat-kalimat panjang-
nya.
Baru Klinthing, tokoh legendaris yang jelmaan dari seekor
ular besar ini, dapat berubah setiap saat. Kala berbicara si Ular
Besar ini berubah menjadi seorang anak kecil, kurus kering.
Bocah yang pernah teraniaya, terlunta-lunta dalam hidup, dan
terpisah dari sang ibu. Kehidupan tak pernah bersahabat dengan-
nya.
Namun, memori nasibnya terdahulu tak melahirkan den-
dam. Justru empatinya kini bertumbuh bersamaan dengan ber-
bagai bencana di tanah air. Para korban gempa Lombok dan
tsunami di Palu, banjir bandang Papua, serta amukan anak
Gunung Krakatau, Gunung Merapi dan Bromo di Pulau Jawa,
setiap saat mengancam. Peristiwa-peristiwa yang mengoyak-
oyak keprihatinan Baru Klinthing.
“Klinthing adikku. Bukan Klinthing kalau tak menemukan
solusi.” Baru kali ini terdengar Gathotkaca menghibur, di sela
tawa yang menggema. Raja Pringgodani yang keturunan raksasa
ini tak pernah bisa merayu, bahkan kepada istrinya sekali pun.
Senyumnya tak pernah tampak karena taringnya kelewat me-
nakutkan.
“Gatotkaca, tumben kau mau bercanda?”
“Ya, iya donk. Aku kan pingin kayak remaja-remaja masa kini.
Ceria, tanpa beban, santai, yah…,” kata Gatotkaca sambil ter-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 41


senyum menyeringai. Terlihat oleh Baru Klinthing dua taring
yang menyeramkan. Demikianlah kedua sosok itu. Kadang tam-
pak serius dan setelahnya bercanda, serta bertengkar hebat. Pem-
bicaraan mereka kadang-kadang tak berujung pangkal.
Klinthing tertawa mengikik.
“Bagaimana dengan taringmu?” tanya Klinthing berkelakar.
Namun, kemudian ekspresinya serius dan hati-hati.
Gatotkaca ngakak.
“Klinthing, Klinthing! Kan sekarang no problem tho! Kan bisa
pakai orthodonti. Itu lho kawat gigi,” Gatotkaca tersenyum puas.
Setelah kengerian Baru Klinthing mereda, menyaksikan
taring yang menggetarkan nyali itu, Gathotkaca melanjutkan
bicaranya.
“Sudahlah, jangan kau tatap aku seperti itu, Klinthing.”
“Toh, aku tak akan menggigitmu meski bencana kelaparan
melanda negeri ini. Aku tak biasa makan teman sendiri. Jangan
samakan aku dengan mereka yang doyan korupsi, mengambil
hak orang lain, saudara sendiri. Okey, by the way, Klinthing, gimana
masalah yang kau bicarakan kemarin?” kata Gatotkaca yang
nyerocos tak henti-henti.
“Begini. Sungguh aku prihatin dengan warga bumi yang
semakin hari semakin teraniaya oleh lingkungan yang rusak.
Cuaca ekstrem, badai, gempa, tsunami, dan tanah longsor, serta
banjir bandang telah merajalela mencekam hidup manusia. Aku
ingin masyarakat bumi memiliki tempat hidup yang lebih layak.”
Kata-kata Baru Klinthing berapi-api bagai orasi calon legis-
latif yang sedang berkampanye untuk merebut tempat di hati
rakyat. Semangat yang terkandung di dalam kata-kata Klinthing
tentu saja lebih nuraniah. Kata-kata itu terlahir dari pengalaman
pahit hidupnya. Karena panjang kata-kata yang diungkapkan-
nya, Klinthing kehilangan Gatotkaca yang menyublim saat diam.
“Kang Gatotkaca,” sapa Klinthing sambil menengok ke tiap
penjuru, mencari Gatotkaca.

42 Menipu Arwah
“Aku ada di sini, Klinthing,” kata Gatotkaca yang telah ber-
ada di belakang Klinthing.
“Hahaha. Bagaimana, Klinthing?”
“Aku ingin masyarakat bumi memiliki tempat hidup yang
layak.”
“Wauw. Ide bagus! Bagaimana? Mereka harus ke mana?”
sergah Gatotkaca.
“Ke bulan,” jawab Baru Klinthing pendek.
Gatotkaca tertawa terkekeh-kekeh. Tawa itu menjadi-jadi
hingga kekuatan kotang antakusuma yang nyantel di dadanya
bergoyang-goyang dan akhirnya terlepas dari badan. Kalang
kabut Gatotkaca mengenakannya kembali.
“Aku berpikir, bagaimana mengusahakan air untuk ke-
butuhan manusia di bulan?” lanjut Baru Klinthing tanpa sedikit
pun merasa tersinggung dengan tawa Gatotkaca yang berderai-
derai. Tak sedikit pun ia ingin melongok dan menyaksikan tawa
itu. Terbayang olehnya tawa Gatotkaca yang mengerikan.
“Klinthing! Kau tidak ingat, ya! Kau pernah membuat rawa
hanya dengan mencabut lidi dari dalam tanah, kan?” sambung
Gatotkaca dengan wajah serius, “Mengapa tak kau ulang peris-
tiwa terjadinya Rawa Pening, di bulan nanti?”
Baru Klinthing yang sedang bergumul dengan pikiran
seriusnya, menjadi memerah menahan marah. Kali ini kata-kata
Gatotkaca memojokkannya ke sudut-sudut ketersinggungan
yang dalam. Ketersinggungan yang berangkat dari penyesalan.
Penyesalan yang muncul dari sebuah proses refleksi spontan
atas perilaku menenggelamkan sebuah desa, menjadikan sebuah
genangan, mengubah sebuah ekosistem dan mengubur hak hidup
sekian makhluk. Penyesalan yang membuatnya sesak dan me-
mojokkannya pada emosi marah, pada diri sendiri, dan pada
pemicu kemarahan.
Tiba-tiba suara berdesir, disertai gerakan berkelebat si Ular
Baru Klinthing membuat getaran-getaran hebat. Getaran serupa
gempa di rumah itu. Dinding rumah meretak dan gerakan Baru

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 43


Klinthing yang sedang menjelma ular mengguncangkan tiang-
tiang penyangga rumah.
Melihat gelagat yang tidak menyenangkan, Gatotkaca meng-
ambil ancang-ancang. Dengan masih terheran-heran dan tanpa
merasa bersalah, gerakan kilat Gatotkaca dengan terompahnya
melesat di atas Baru Klinthing.
“Sebentar Sobat, dengarkan aku.”
Namun, perkataan Gatotkaca tak lagi mendapat peduli.
Gerakan melesat dan melingkar-lingkar seakan ingin membekuk
lawan, dilakukan Baru Klinthing. Bersamaan dengan itu pula,
Gatotkaca yang telah menyatu dengan ajian Brajamusti-nya mem-
buat gerakan siap menghadapi pertarungan.
Gerakan mahadahsyat disusul pertarungan sengit terjadi.
Di satu titik pertemuan yang tidak disangka-sangka terjadilah
gerakan melesat oleh keduanya, seakan menyamai kecepatan
cahaya. Terjadilah ledakan mengerikan mengiringi peristiwa
tersebut.
Gerakan dan ledakan mahadahsyat itu rupa-rupanya terpicu
oleh pertemuan medan magnet pada bagian ekor Baru Klinthing
dan medan listrik yang dibawa oleh terompah Padakacarma
Gatotkaca. Gelombang elektromagnet yang menghasilkan energi
raksasa itu membuat Baru Klinthing dan Gatotkaca terpental
dari bumi, terbang ke angkasa ratusan ribu kilometer.
***
Baru Klinthing dan Gatotkaca yang telah berada di luar
angkasa melayang-layang merambahi jelajah ruang tak berbatas.
Di peristiwa yang tak terduga itu tumbuhlah kebersamaan, pe-
rasaan senasib sepenanggungan antarmereka. Gatotkaca dengan
sigap menopang Baru Klinthing, mengerahkan segala kekuatan,
mengoptimalkan ketahanan terompahnya untuk menyeimbangkan
perbedaan berat tubuh di bumi dan atmosfer saat terpental dari
bumi. Cengkeramannya semakin kuat. Ia tak ingin Baru Klinthing
terlepas darinya. Begitu juga Baru Klinthing yang memberdaya-
kan daya lilitnya untuk dapat selalu bersama Gatotkaca. Ia harus

44 Menipu Arwah
tetap menjaga agar pertemuan medan magnet pada dirinya dan
medan listrik yang ada pada Gatotkaca tidak terjadi lagi. Baginya
terpisah dari Gatotkaca menjadi sebuah malapetaka. Ia tak akan
sanggup bertahan melayang-layang di luar angkasa, walaupun
kala diam ia berwujud ular naga yang konon dalam legenda,
dapat terbang melintas tak berbatas.
Saling cengkeram antar Gatotkaca dan Sang Ular Baru
Klinthing membentuk gerak siluet yang penuh pesona. Sebuah
harmonisasi upaya dan keteguhan yang padu melayang-layang
di angkasa. Gambar bergerak yang berwujud siluet.
Gatotkaca harus berkomunikasi, tak boleh diam agar ia tetap
eksis dalam wujudnya. Kalau tidak, ia akan menyublim dan tak
mampu lagi menopang Baru Klinthing. Sementara Baru Klinthing
harus diam agar eksis sebagai ular, yang diharapkan dapat ber-
daya karena lilitannya. Sebuah kondisi kontradiktif yang mem-
butuhkan tenggang rasa dan kekompakan untuk menyatu dalam
mencapai tujuan.
Rupa-rupanya peristiwa ini terekam oleh lensa teleskop Paul
Dee Spudis, seorang anggota NASA yang berencana mem-
bangun pemukiman basis bulan. Sinyal-sinyal medan magnet
dan medan listrik Baru Klinthing-Gatotkaca terdeteksi dengan
akurat oleh semua perangkat canggihnya. Karena kemampuan
brilian seorang pakar angkasawan, begitu mudah Paul Dee
Spudis menghadirkan Baru Klinthing dan Gatotkaca dalam meja
perundingan.
“Both of you are assets,” kata Paul ketika berhadapan dengan
Baru Klinthing dan Gatotkaca.
“Okey, next what’s your program for us and for your idea?” jawab
Baru Klinthing yang tiba-tiba mampu berbahasa Inggris.
Sementara itu Gatotkaca diam termenung, berpikir secara
serius dengan rencana-rencananya. Ia yakin dengan kesanggup-
annya mengerahkan rakyatnya, kaum raksasa di Pringgodani
untuk mendukung rencana besar ini.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 45


Ketika berkembang rencana tersebut, terjadilah badai di
bulan. Kekuatan arus listrik mahadahsyat sambar menyambar,
mengguncang seluruh permukaan bulan. Debu dan batuan ber-
gulung-gulung. Batuan meteorit menghambur membentuk ce-
kungan-cekungan yang dalam seolah sanggup menelan semua
yang melintas. Kemudian terjadi retakan-retakan membuat bulan
seolah akan terbelah.
Semuanya terekam oleh detektor bulan. Baru Klinthing,
Gatotkaca, dan Paul Dee Spudis menjadi saksi peristiwa itu.
Tanpa kata Gatotkaca melesat secepat kilat ke angkasa. Ia
menyambar serta Baru Klinthing yang terbengong. Baru Klin-
thing tak mampu lagi melihat kenyataan bahwa harapan telah
sirna di depan mata.
Baru Klinthing masih perlu memberi waktu untuk dirinya
kembali pada kenyataan. Baginya bersatu dalam pemikiran yang
positif pasti akan mendapatkan hasil yang positif pula. Ia diam
dalam refleksi dan kontemplasi diri.
“Klinthing.”
Klinthing terdiam.
Sambil terus menghibur Baru Klinthing yang belum dapat
menerima kenyataan, Gatotkaca mulai mengemukakan rencana
besarnya. Di dalam idenya ada rencana menyadarkan masya-
rakat Pringgodani untuk tetap memelihara lingkungan hidup.
Kelangsungan hidup di dunia ini masih membutuhkan kesadaran
memelihara lingkungan.
“Klinthing.”
Sekali lagi Gatotkaca memanggil sahabatnya. Panggilan itu
tetap tak berjawab. Setelah itu Gatotkaca tersadar, bahwa Baru
Klinthing harus diam agar tubuhnya tetap terlilit pada terompah
Gatotkaca.
Masing-masing berdamai dengan keadaan.

46 Menipu Arwah
Catatan Penulis:
1. Baruklinthing adalah tokoh legendaris dalam cerita legenda
“Terjadinya Rawa Pening.” Cerita ini terkenal di Kabupaten
Semarang. Sang tokoh semula manusia dikutuk menjadi ular
karena ketidaktaatan kepada orang tua. Setelah bersamadi
ia kembali menjadi manusia dalam wujud seorang anak kecil
kurus dan terlantar. Dikisahkan ia menjadi anak kecil yang
tersia-sia dalam hidup, tersingkir, dan teraniaya. Karena
keajaiban, terjadilah peristiwa besar saat lidi yang ia tarik
dari dalam tanah menyemburkan air hingga terjadilah rawa.
Air rawa menenggelamkan semua penghuni yang menzalimi
sang anak dalam kenestapaan dan keterlantaran. Rawa itu
kemudian dikenal dengan sebutan “Rawa Pening.”
2. Gatotkaca seorang ksatria yang terkenal dalam cerita pe-
wayangan. Ia seorang ksatria Pringgodani putra Wrekudara.
Wrekudara adalah ksatria kedua dari keluarga Pandawa.
Ibu Gatotkaca seorang raksasa perempuan dari kerajaan
Pringgodani. Gatotkaca terkenal dengan sebutan ksatria otot
kawat balung wesi karena kekuatan dan kesaktiannya. Senjata-
nya berupa caping basunanda, kotang antakusuma, dan terompah
padakacarma. Kesaktiannya karena ajian yang dimilikinya
ajian Brajamusti.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 47


Lelaki yang Merindukan
Buku Beracun

Ary Yulistiana
Guru SMK Negeri 9 Surakarta

Pertengahan musim panas tahun ini Ralph mendapat tugas


dari kantor tempatnya bekerja untuk pergi ke Kota Brisbane di
Australia. Meski sangat jauh dari kota tempat tinggalnya, Ralph
antusias menerima tugasnya kali ini. Selain rindu menghirup
udara subtropis yang hangat dan nyaman, juga karena teman
lamanya, Grant, tinggal di Brisbane. Ia mengenalnya semenjak
masih kuliah di University of Queensland dulu. Ralph cukup
lama tidak bertemu dengannya. Meski demikian mereka kerap
bertukar kabar melalui email dan sesekali bertelepon.
Untuk itulah Ralph merasa ini kesempatan yang bagus untuk
mengunjungi Grant. Apalagi Ralph tahu bahwa kawannya itu
sedang mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Grant
menghadapi masalah cukup besar dari pekerjaan yang telah di-
tekuninya selama dua puluh tahun lebih, dan kini ia merasa
sangat tertekan.
Padahal sebelumnya, Grant selalu antusias dalam bekerja.
Bahkan ia mengatakan tak ingin pensiun dari pekerjaannya sam-
pai usia berapa pun. Grant selalu bangga saat berkisah mengenai
kesibukannya sebagai pustakawan. Grant mendedikasikan hi-
dupnya untuk merawat buku-buku di sebuah perpustakaan besar
dekat tempat tinggalnya.
Semula, kepala perpustakaan dan pegawai lain merasa se-
nang dengan keberadaan Grant. Pasalnya, apapun permasalahan

48 Menipu Arwah
yang terjadi –terkait buku-, Grant akan siap sedia mengurusinya
sampai masalah tersebut beres. Namun, semenjak peristiwa mis-
terius itu terjadi, Grant merasa tertekan dan sering sakit. Tepat-
nya, semenjak buku langka yang berjudul Toxicology, Book of
Poisons dikabarkan hilang secara tiba-tiba dari perpustakaan.
*
Sore ini setelah urusan pekerjaannya selesai, Ralph berkun-
jung ke rumah Grant. Ia mendapati teman lamanya ini semakin
layu. Rambut dan cambangnya tumbuh tak beraturan. Wajahnya
muram dan sulit tersenyum. Dengan perawakannya yang tinggi
besar tapi tak bertenaga, Grant terlihat seperti pohon tua yang
nyaris tumbang.
Grant mempersilakan Ralph masuk ke ruang tamunya yang
penuh dengan buku-buku yang berserakan di berbagai sudut.
Sebuah rak buku dari kayu oak merah seperti sudah tak sanggup
menampung banyaknya buku yang berjejalan di rongganya.
Sementara itu, aroma ruangan kurang lebih sama seperti perpus-
takaan tua. Apak dan sedikit berdebu.
Grant lalu berusaha membuka jendela berkusen putih de-
ngan mencongkel ujungnya kuat-kuat, menandakan bahwa jen-
dela itu nyaris tak pernah dibuka. Sembari duduk di sofa coklat
yang mulai usang, Grant menyiapkan wine istimewa sauvignon
blanc untuk menjamu teman baiknya itu.
Grant bercerita bahwa hingga kini ia masih memikirkan buku
yang hilang itu siang malam. Ia sungguh merindukannya. Buku
itu langka, sekaligus berbahaya. Buku itu berisi soal racun, dan
Grant tahu benar bahwa di situ tertulis resep pembuatan racun
dari segala racun yang bisa mencelakakan manusia dalam jumlah
besar sekaligus.
Grant menyesal bahwa buku itu hilang saat ia tengah me-
ngambil cuti dan menghabiskan pekan di tempat yang lain. Saat
kejadian itu, ia sedang berlibur di Pulau North Stardbroke dan
bermalam selama tiga hari di sana. Ia ingin rehat sejenak dengan
memandangi lautan lepas berwarna biru toska dan ombak yang

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 49


bergulung penuh tenaga. Grant juga menghabiskan hari di
setapak kayu North Gorge Walk di arah timur laut pulau. Di
Point Lookout, sesekali ia mengarahkan teropongnya ke arah
Samudra Pasifik untuk menguji keberuntungannya: mendapati
lumba-lumba, kura-kura raksasa, atau kawanan paus yang be-
renang di antara deburan ombak. Saat pulang dari liburannya
yang mengasyikkan itulah kabar buruk itu menerpa.
Entah sudah berapa penyidik dan detektif yang silih berganti
melakukan investigasi di kantor perpustakaannya. Detektif per-
tama mengungkapkan bahwa buku tersebut dicuri oleh komplot-
an pencuri profesional, yang ditengarai sama dengan pencuri
lukisan dari zaman Renaissance di galeri pribadi seorang konglo-
merat. Detektif kedua mengatakan bahwa buku tersebut sudah
lama diincar oleh ahli waris dari penulis buku tersebut sebab
konon tinggal terlacak satu eksemplar saja di dunia. Tentu saja
Grant kesal dengan para detektif yang menurutnya hanya meng-
arang cerita dan tidak bisa membuktikan kebenarannya.
Detektif ketiga, seorang lelaki Italia yang mengaku telah
menyelesaikan puluhan kasus justru mencurigai Grant membuat
drama atas hilangnya buku ini. Dari penyidikan yang dilakukan,
sang detektif menyimpulkan bahwa pelakunya adalah Grant itu
sendiri. Kabar busuk itu cepat sekali berlarian untuk keluar dari
lorong perpustakaan menuju ke seantero kota. Banyak orang
mencibir atas perilaku Grant yang dianggap hanya memanfaatkan
momen itu untuk popularitasnya. Grant jelas murka bukan ke-
palang. Ia bersumpah akan mencabut menara jam di atas gedung
balai kota untuk dilemparkan kepada si detektif agar tahu bagai-
mana rasanya sakit yang diderita atas tuduhan itu. Sesudahnya
Grant tak mau lagi mendengarkan penjelasan dari para detektif
lainnya.
Ditambah lagi, semua kamera perekam tidak bisa menunjuk-
kan apa pun. Rekaman itu hanya berisi gambar-gambar lorong
perpustakaan saat malam hari. Bahkan hantu pun tidak ada yang
tampak melintas. Grant merasa ini hanyalah konspirasi yang

50 Menipu Arwah
bertujuan untuk menyudutkan dirinya agar keluar dari perpus-
takaan itu. Juga agar perpustakaan itu tak terurus bahkan tutup.
Ia tahu banyak orang yang mengincar buku-buku langka di per-
pustakaan. Entahlah, untuk dikoleksi atau untuk digadaikan di
balai lelang.
Grant juga sering mendengar adanya bibliophil atau para
pencinta buku yang akan melakukan segala cara untuk mendapat-
kan buku. Entah itu bualan atau bukan. Ralph tidak pernah me-
ngira bahwa menjaga buku yang hanya benda mati tidak bisa
semudah yang ia bayangkan.
“Buku memang benda mati, tapi banyak nyawa yang terse-
lamatkan karena buku. Orang bisa terinspirasi dari buku. Orang
bisa menemukan cara menyembuhkan dari buku.” kata Grant
sambil memandang Ralph dengan serius. Suara beratnya me-
menuhi ruangan.
“Orang juga bisa kehilangan nyawanya dari buku,” lanjut
Grant lagi.
Mereka berdua terpekur. Senja musim panas kali ini tidak
terlalu terlambat tiba, meski masih menyisakan semburat cahaya
di kejauhan. Grant bersikeras bahwa ia akan mengungkap per-
kara hilangnya buku ini sampai kapan pun. Grant yakin bahwa
ia pasti akan menemukan buku itu bahkan bila harus bertaruh
nyawa sekalipun. Ralph menatap iba pada Grant. Kelihatannya
gejala-gejala depresi mulai tampak pada sahabatnya ini.
Ralph tahu bahwa dirinya tinggal satu-satunya orang yang
dipercayai dan mempercayai Grant. Lebih dari itu rupanya berita
tentang hilangnya buku ini menjadi bola liar di semua pihak.
Perpustakaan bahkan mewacanakan akan memanggil tim inteli-
jen khusus dari Rusia yang konon spesialis kasus-kasus pencurian
buku langka.
“Jadi, biaya yang akan dikeluarkan berapa kali lipat dari
harga buku yang hilang itu?” tanya Ralph seperti pedagang yang
sedang berhitung untung rugi.
Grant meradang, hampir saja ia berteriak,

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 51


“Bukankah aku sudah bilang kepadamu. Buku itu istimewa
karena isinya, bukan harganya. Buku itu satu-satunya di dunia
ini dan isinya sangat berbahaya, dan buku itu hilang saat aku
tidak ada di perpustakaan. Buku itu beracun.”
Grant mengakhiri kalimatnya dengan penuh penyesalan se-
olah-olah anak sulungnya pergi dari rumah setelah dimarahi
dan belum kembali sampai hari ini.
Ralph diam, lebih baik Ia membiarkan Grant berbicara saja
sebab khawatir salah menjawab dan membuat Grant semakin
uring-uringan.
“Kau tahu, buku itu bahkan sudah terbit sebelum tahun 1424,
saat buku sejenisnya, The Book of Venoms ditulis oleh biarawan
Magister Santes de Ardonis. Biarawan itu menulis soal mekanis-
me kerja racun dan cara penyembuhannya.” Ujar Grant dengan
mata membulat. Ralph mengangguk-angguk.
“Racun hanyalah salah satu pilihan, toh masih banyak cara
menakutkan lain yang bisa digunakan untuk mencelakai orang.”
Ralph akhirnya bersuara setelah lama mereka terdiam. Grant
melirik jendela di samping tempatnya duduk. Barangkali kuatir
ada seseorang diam-diam datang dan mencuri dengar, lalu me-
reka dituduh merencanakan pembunuhan.
“Bukankah racun hanya soal dosis? Soal takaran? Tak disebut
racun jika takarannya tidak pas. Membuat sesuatu menjadi bukan
racun.” Lanjut Ralph lagi. Grant menggeleng cepat,
“Justru itu, justru itu. Pada buku sudah tertera dengan jelas
berapa dosisnya, berapa takarannya. Untuk meracik racun dalam
jumlah besar. Sungguh menakutkan!” Grant mengepalkan tangan-
nya dan memukul-mukulkan ke sandaran tangan di kursinya.
Kelopak matanya berkedip cepat dan ia berkali-kali menarik
napas dalam-dalam.
“Racun adalah permasalahan penting dalam peradaban. Apa
kau tahu bahwa Menes, Raja Mesir telah melakukan penelitian
terhadap tanaman beracun? Apa kau pernah mendengar bahwa
Socrates dibunuh dengan cara diracun?” tanya Grant memburu.

52 Menipu Arwah
Ralph tahu benar bahwa Grant bukan sekadar pustakawan, tapi
juga seorang kutu buku.
Ralph mengangkat sebelah alisnya dan mengedikkan bahu.
Ia menyesalkan bahwa seandainya buku itu memang penting
dan berbahaya mengapa tidak ditaruh di museum, atau di dalam
brankas bank sentral. Grant tampak jengkel mendengar usul
Ralph dan mengatakan bahwa bahwa setiap benda harus berada
di antara habitatnya supaya bisa memiliki nilai sesuai yang di-
harapkannya.
“Misalkan saja, apa kau mau dikirim ke planet Mars seorang
diri?” tanya Grant segera.
Ralph tak perlu menjawab pertanyaan Grant sebab pertanya-
an itu memang tidak untuk dijawab. Grant bersumpah bahwa
seandainya buku itu kembali entah dengan cara apa pun, maka
ia akan bermalam di perpustakaan sepanjang sisa musim panas
ini.
Setelah berdebat tiada akhir di ruangan yang terasa semakin
pengap, Ralph mengajak Grant untuk menyusuri Albert Street
yang melintang dari arah City Hall ke ke arah Botanic Garden.
Di petang hari masih banyak juga orang berlalu-lalang. Jalan ini
seperti tak pernah sepi. Ralph sudah mengenali jalanan ini sebab
ia pernah tinggal di sini saat kuliah dulu.
Sedangkan Grant menyukai berjalan di Albert Street sebab
jalanan itu ditopang oleh puisi-puisi. Itulah yang membuat jalan
ini selalu nyaman untuk dilintasi, pikir Grant. Setiap kali menyu-
suri tempat ini, pasti akan terasa suasana damai, romantis, dan
membahagiakan. Dulu ia mengira karena banyak kedai kopi
yang berdiri di sepanjang jalan itu. Semua orang tahu bahwa
aroma kopi dapat saja menenangkan orang yang menghirupnya.
Ternyata puisi-puisi itulah penyebabnya. Puisi yang jumlah-
nya 30 ditanam di trotoar sepanjang Albert Street memberikan
aura yang berbeda. Puisi-puisi itu beterbangan dan menghiasi
jalanan, terhirup oleh orang-orang yang melintasinya. Grant
ingin menziarahi puisi itu satu demi satu. Siapa tahu ada petunjuk

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 53


yang bisa ditemukan. Grant lebih suka menghirup puisi diban-
dingkan menghirup kopi. Ia akan membiarkan zat-zat dari puisi
itu masuk ke otaknya dan menguraikan segala macam ketegang-
an di sana.
Grant ingin melakukan itu lagi malam ini. Siapa tahu dengan
melakukan hal itu ia bisa mengurai ingatannya soal buku yang
hilang itu atau syukur-syukur ia bisa menemukannya dengan
segera tanpa harus meminta bantuan kepada para detektif itu.
Sebagai langkah awal ia mendatangi sebuah puisi yang
ditanam di depan apartemen River City, tempat Ralph pernah ting-
gal dulu sebelum akhirnya mendapat pekerjaan di Birmingham.
Plakat logam yang tertanam di trotoar itu berisi sebuah kutipan
dari karya Paul Grano, sastrawan yang pernah tinggal di
Queensland. Di bawah guyuran sinar lampu jalanan, Grant ber-
jongkok di depan puisi itu dan membersihkan dua helai daun
kering yang tergeletak di sana. Sementara Ralph duduk di
bangku kayu di sebelahnya, sibuk mengamati sekeliling. Ralph
ingin bernostalgia dengan tempat ini.
Baru dua menit mereka berada di situ, tiba-tiba Grant men-
dengar seseorang mengucapkan sesuatu: judul buku yang sedang
dicarinya! Grant seperti disengat lebah. Ia segera berdiri dan
mencari arah suara yang semakin menjauh. Ia mendapati seorang
wanita tua yang berjalan bersama anjingnya. Ternyata sedekat
inikah pelakunya?
Grant mengikuti wanita itu. Ralph yang tidak memahami
apa yang terjadi berusaha mengejarnya juga. Dada Grant ber-
degup keras. Jangan-jangan wanita itu yang mengambil buku
itu. Lalu dengan siapa wanita itu tadi berbicara? dengan anjing-
nya? Apa perlunya membicarakan buku dengan anjing? Ia pernah
mendengar ada orang yang melatih anjingnya untuk membaca,
tapi itu kan tidak masuk akal. Pasti orang-orang itu hanya men-
cari sensasi.
Tidak sulit bagi Grant untuk mengejar sebab wanita itu ber-
henti untuk menyeberangi Mary Street. Grant gelisah sebab me-

54 Menipu Arwah
mikirkan cara untuk mengajak bicara wanita itu tanpa terlihat
mengganggu atau mengejutkan atau bahkan menakutkan.
Namun, Grant yakin bahwa sebelum tiba di City Hall ia pasti
sudah berhasil mengajak wanita itu berbicara.
Wanita itu berhenti di sebuah toko buku, depan pusat
perbelanjaan. Ia melangkah masuk dan tentu saja Grant mengajak
Ralph untuk mengikutinya. Sesaat Grant terperangkap oleh
aroma khas toko buku, namun kegelisahan membuat Grant tak
bisa menikmati harumnya buku baru yang biasanya sangat di-
gemarinya. Bahkan Grant melupakan kebiasaannya mengendus
aroma kertas baru pada buku-buku yang dipajang di rak. Tak
lain karena Grant sedang fokus untuk membuntuti wanita yang
dianggapnya mencurigakan itu.
Wanita itu naik ke lantai dua melalui eskalator. Grant me-
naruh curiga kenapa anjing diperbolehkan masuk ke toko. Sampai
di lantai dua, Grant pura-pura sibuk di rak buku perjalanan yang
terletak di dekat kasir sambil mencari tahu apa yang terjadi.
Grant membisikkan pada Ralph apa yang tadi ia dengar dari
wanita itu.
Pegawai toko buku terlihat menyambut wanita itu dengan
sangat ramah, lalu terdengar melaporkan beberapa hal dan
wanita itu hanya manggut-manggut saja. Setelah wanita itu ber-
alih untuk menemui pegawai lainnya, Ralph segera mendekati
pegawai yang tadi berbicara dengan wanita itu. Grant hendak
melarangnya namun terlambat.
“Maaf mengganggu.” Ralph berbicara sepelan mungkin agar
tidak mengagetkan. Pegawai toko buku itu mengangguk ramah.
“Siapa wanita itu? Dia sepertinya teman lamaku. Tapi aku
tidak yakin.” Ujar Ralph berbohong.
“Dia Emilia, pemilik toko buku ini.” Ralph mengangguk-
angguk, pantas saja ia bisa membawa anjing masuk ke toko.
“Apa ia seorang bibliophil?” tanya Ralph lagi. Pegawai itu me-
nampakkan wajah ragu. Mungkin tidak paham dengan apa yang
ditanyakan Ralph.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 55


Sementara itu Grant mencari-cari keberadaan wanita tua
tadi. Grant melihat wanita itu duduk di bangku putih dekat
deretan rak buku anak. Grant memastikan bahwa ia masih ber-
ada pada jarak yang cukup jauh dengannya supaya tidak tampak
mencurigakan.
“Apakah Anda pernah mendengar soal Toxicology, Book of
Poisons?” bisik Ralph.
Pegawai itu terdiam, ia tampak salah tingkah.
“Temanku mendengar bahwa wanita tadi menyebut-nyebut
buku itu. Apakah ia tahu sesuatu?” tanya Ralph lagi.
“Apa perlu saya panggilkan?” Pegawai toko buku mulai tidak
suka dengan investigasi Ralph.
Grant yang tiba-tiba sudah berada di sebelah Ralph menatap-
nya curiga, tetapi juga kuatir kalau pegawai itu memanggil ‘si
nyonya’ tiba-tiba. Pegawai itu lalu menunjukkan wajah ‘jangan-
ganggu-saya-lagi.’
“Wanita tua itu selalu memegang erat-erat tas hitam di ta-
ngannya. Jangan-jangan bukunya berada di dalam tas hitam itu.”
Bisik Grant kepada Ralph.
“Memangnya kita akan menyuruhnya membuka tas? Kan
tidak mungkin. Ia pemilik toko buku ini.” Ujar Ralph yang me-
rasa mulai lelah. Grant terkesiap, pemilik toko buku?
Dari sudut ruangan toko, wanita tua itu menatap ke arah
Grant dan Ralph. Ia lalu berjalan mendekati mereka berdua.
Anjing kecilnya sudah tidak terlihat bersamanya lagi. Berlian di
telinga wanita itu tampak berkilau indah terkena sinar lampu
ruangan.
“Namaku Emilia. Apakah ada yang bisa kubantu?” tanyanya
dengan penuh ingin tahu. Grant terdiam dan Ralph menyarankan
agar Grant jujur supaya semua ini tidak terlalu melelahkan.
Setelah berusaha menyusun kalimat sekian lama supaya wanita
tua itu tidak tersinggung, akhirnya Grant berucap juga.
“Apakah Anda mengetahui soal buku yang hilang di per-
pustakaan? Sebab tadi di jalan saya tidak sengaja mendengar Anda

56 Menipu Arwah
mengucapkan soal buku itu. Sudah lama saya mencari jawaban
atas hilangnya buku itu. Sampai-sampai saya enggan datang ke
perpustakaan tempat saya bekerja karena selalu sedih memikir-
kannya.”
Emilia menatap Grant tajam.
“Jadi, apakah kau pustakawan itu?”
Grant terkejut, apakah Emilia berpikir bahwa dirinyalah
yang menghilangkan buku itu?
“Sebetulnya itu hanya salah paham. Sangat merugikan saya.
Akan tetapi, yah apa boleh buat. Namun saya akan membuktikan-
nya.” Ujar Grant dengan gugup.
Emilia mengangguk dan tersenyum. Ia terlihat menahan
sesuatu yang hendak diucapkannya.
“Tunggu, dari mana Anda tahu bahwa buku itu hilang?
Bukankah itu terjadi sudah cukup lama?” Ralph menyilangkan
tangannya di depan dada.
Emilia tersenyum,
“Semua orang di kota ini tahu. Pasti kau tidak tinggal di sini
kan? Berita itu sudah menyebar dengan cepat di seluruh kota.”
“Aku tadi berbicara melalui telepon dengan kepala perpus-
takaan mengenai buku itu.” Lanjut Emilia.
Grant terkejut.
“Benarkah?”
Senyum Emilia melebar. Grant curiga, apakah wanita itu
pencurinya? Atau ia berkonspirasi dengan kepala perpustakaan
untuk menjual buku itu kepada kolektor? Ah, Grant menggeleng
cepat, ia tidak ingin berprasangka sekotor itu. Emilia mengajak
Grant dan Ralph untuk duduk di bangku putih dekat rak buku
anak-anak. Sebenarnya ia ingin menunda pembicaraan soal buku
ini. Namun sebab kasihan dengan Grant, Emilia menceritakan
apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan sedikit menahan napas,
Grant menatap Emilia dalam-dalam, sambil jantungnya berdegup
lebih keras saat mendengarnya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 57


“Beberapa bulan yang lalu, aku datang ke perpustakaan.
Waktu itu pustakawan Grant sedang tidak berada di tempat.
Kepala perpustakaanlah yang kemudian menerima kedatangan-
ku.” Wanita berambut pirang sebahu itu menghela napas per-
lahan.
“Aku datang bersama Silvaine asistenku. Kami bermaksud
meminjam beberapa buku untuk pameran internasional buku
langka yang akan diselenggarakan di pusat kota. Pada mulanya
aku ingin membawa buku Toxicology itu, namun kepala perpus-
takaan melarangku untuk membawanya serta karena meng-
khawatirkan keamanannya. Lalu aku mengiyakan, dan menaruh-
nya di tumpukan sebelah, tersendiri dari tumpukan buku yang
kubawa. Saat itu hanya aku dan kepala perpustakaan yang ber-
ada di ruangan. Ketika Silvaine masuk ke ruangan, aku dan ke-
pala perpustakaan sedang minum teh di ruangan yang lain.
Entah bagaimana, Silvaine yang kuperintahkan untuk membawa
buku-buku itu, juga membawa serta buku-buku di tumpukan
sebelahnya. Jadilah buku itu terbawa.” Lanjut Emilia kembali.
Ralph melirik Grant yang wajahnya tampak diliputi kese-
dihan. Sejenak kemudian Ralph melihat arloji di pergelangan
tangannya. Kelihatannya Grant benar-benar melupakan rasa
lapar.
“Karena tidak masuk dalam daftar buku yang akan dipa-
jang, Silvaine menyisihkan buku itu ke dalam kotak kardus. Ia
pun melupakan buku itu dan tidak berpikir apapun mengenainya.
Setelah itu Silvaine harus segera pergi ke Argentina untuk
merawat ibunya yang sakit. Ia pamit kepadaku tanpa menitipkan
pesan apapun.” Suara Emilia semakin ringan dan semakin
banyak menatap Grant dengan penuh simpati.
“Karena aku tidak menyadari apa yang terjadi, aku mengon-
trol pameran buku seperti biasa dan mengembalikan kembali
buku-buku ke perpustakaan sesuai catatan yang aku miliki.
Rupanya kotak kardus tempat Silvaine menaruh buku Toxicology
tertinggal di salah satu ruangan di gedung tempat pameran.

58 Menipu Arwah
Petugas kebersihan membereskan kotak kardus itu ke gudang.
Setelah beberapa bulan, saat jadwal pembersihan dan pengecek-
an gudang, akhirnya buku itu ditemukan kemarin. Petugas dari
gedung itulah yang mengantarkannya ke perpustakaan sore tadi
berdasarkan label yang dilihatnya pada buku. Aku minta maaf
atas segala kekacauan yang terjadi, dan memang aku agak men-
curigai kalian tadi karena aku tahu banyak yang memburu buku
beracun itu.” Emilia menatap Grant dan Ralph dengan sorot
menyesal.
Grant mengusap wajahnya dan menarik napasnya sedalam
yang ia mampu. Ia mengangguk-angguk tetapi tak bisa berkata-
kata. Ia tak percaya bisa berada di saat dan waktu yang tepat
untuk mendapatkan jawaban atas kegelisahannya selama ini.
Membuatnya mengerti bahwa tekadnya untuk menemukan buku
beracun itulah yang membawanya ke tempat ini. Keyakinan yang
kuat memang akan selalu membawa seseorang pada jalan keluar
terbaik.
Sementara itu Ralph tercekat, ucapannya tersangkut di teng-
gorokan. Ia tak mampu berkata-kata. Ralph merasa bahagia bisa
menemani kawan lamanya pada peristiwa yang berakhir dengan
menenteramkan ini. Ia merasa menjadi kawan yang seutuhnya
bagi Grant.
Mata Grant tampak berkaca-kaca. Ia merasa terharu, juga
sangat lega. Kadangkala, suatu peristiwa yang terlihat mengeri-
kan ternyata terjadi karena kenaifan belaka. Adakalanya pula,
sebuah permasalahan tampak rumit tetapi sesungguhnya ter-
selesaikan dengan hal sederhana saja. Pendapat dan pikiran
sajalah yang membuat segala sesuatu nampak menakutkan, sulit,
dan runyam seperti tak ada ujung pangkalnya.
***

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 59


Sungai Berwarna Merah

Eko Wahyudi

Pada akhirnya sungai yang melintas kampung kami terwujud


menjadi tempat rekreasi. Warga bergotong-royong mem-
bersihkan, menata sedemikian rupa dengan tanaman bunga dan
berbagai hal, termasuk menempatkan spot-spot untuk berswafoto.
Aliran airnya kembali jernih. Warga menaburkan ikan-ikan
badut, menjadikan sungai tambah asri.
Aku teringat pada kalimat Tuhan bahwa kelak surga itu
merupakan tempat yang indah dengan sungai-sungai yang
mengalir di bawahnya. Tentu tempat ini bukan miniatur surga,
namun suasananya sudah membuat hati menjadi tenang dan
damai. Dipastikan, pada hari Minggu pagi banyak keluarga yang
mengubah jadwal liburannya ke luar kota, cukup duduk-duduk
santai di pinggir sungai. Beberapa kuliner lokal maupun makanan
cepat saji juga sudah mulai bermunculan. Warga makin betah
berlama-lama menikmati hasil kerjanya.
“Titik nadir kompetisi berebut metropolis. Akhirnya kem-
bali ke selera asal.” Gumamku sembari menikmati kopi pagi.
“Masing-masing kita saling merasa jumawa dengan kesuksesan
menaklukkan kota, sementara di ruang tamu hanya ada kebisu-
an. Di ruang keluarga selalu bertemu jalan buntu. Bahkan dengan
istri saja kadang-kadang menempatkan ego, bahwa laki-laki
adalah raja. Bukti nyata kuota di ATM rekening makin luas dan
memadat. Sedang kedamaian menjauh entah ke mana.” Lamun-
anku menjelajah kepenatan yang setiap hari harus mengulik batas
akhir target kerja.

60 Menipu Arwah
“Ayah, ikan-ikan itu boleh tidak dipancing? Lalu digoreng
dan dibumbu pedas dengan kuah santan kental, kemudian kita
bersantap bersama.” Hebohnya anakku mengagetkan lamunan.
Tentu saja anakku hanya bercanda. Ia tahu kalau ikan-ikan itu
tidak boleh dipancing. Ia tahu di sekolahnya telah dipahamkan
tentang hak hidup sesama. Bahkan ia paham hak dan kewajiban
sebagai warga negara ketika milik warga ini tidak boleh di-
ganggu dan dirusak. Justru kita harus saling menjaganya. Akhir-
nya hanya kubalas dengan senyum renyah, sambil mencubit
lengannya.
“Kalau buat lelucon jangan kebablasan!” sergahku
Minggu pagi awal Maret 2019. Warga dihebohkan berita
berubahnya warna air sungai yang menjadi merah. Merah darah.
Tetiba dalam waktu sekejap warga telah memadati bibir sungai.
Mereka ingin memastikan kabar darah yang mengaliri sungai-
nya. Mereka bergegas. Dalam benaknya dibebani pertanyaan apa
yang menyebakan sungai menjadi merah. Sebagian yang lain
menyoal bagaimana nasib ikan-ikan lucu yang sangat digemari
anak-anak mereka?
Tidak ada tandaa-tanda aneh, misalnya terjadi kebocoran
limbah dari pabrik cat di ujung kota. Pernah dulu lama sekali,
limbah pabrik itu dialirkan ke sungai, tetapi juga tidak berwarna
merah. Setelah warga beramai-ramai menolak keberlangsungan
pabrik cat itu, limbah sungai terhenti dari pencemaran. Warga
merasa menang atas peristiwa itu. Warga mengambil simpulan
bahwa sesuatu yang tidak sesuai itu memang harus ditundukkan
dengan penolakan, lebih tepatnya demonstrasi.
Namun belakangan warga juga resah, sebab beberapa di
antara warga itu adalah pekerja pabrik cat. Mereka yang berpeng-
hasilan utama dari pabrik itu akhirnya terhenti juga aliran per-
ekonomiannya. Rumah tangganya di ujung tanduk sebab tidak
bisa memenuhi kebutuhan pokok hariannya. Beruntung peme-
rintah kota bijak ketika didatangi pimpinan perusahaan untuk
mendapatkan kembali izin operasional pabrik. Pak Walikota

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 61


berunding dengan melibatkan perwakilan warga. Jalan mediasi
ini membuka kembali pabrik cat yang telah terhenti. Toh ke-
putusannya saling menguntungkan. Warga yang dirumahkan
bisa kembali bekerja, ketika perusahaan juga kembali menjalan-
kan usahanya. Kesepakatannya, limbah pabrik tidak dialirkan
ke sungai, tetapi diolah sesuai dengan prosedur yang ditetepkan
pemerintah. Warga pun mengubah simpulannya, untuk me-
mutuskan sesuatu baiknya diadakan mediasi untuk mengambil
mufakat.
“Ini bukan limbah!” teriak salah satu warga.
“Ini darah!” teriakan yang lain.
“Bukan!” sergah warga yang bekerja di pabrik cat. “Ini tum-
pahan cat.” Lanjutnya.
“Jadi kita demo lagi, atau menunggu Pemerintah memedia-
si?”
“Terlalu lama, kasihan ikan-ikan itu keburu mati, kasihan
anak-anak dan warga tidak bisa menikmati wisata kali, kasihan
para pedagang musiman itu, kasihan pengelola wisata ini,” kata
seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Jawaban-
nya lengkap dan diplomatis. Gaya bicaranya seperti pengamat
yang sedang diwawancara pembawa berita televisi swasta
nasional. Kalimatnya nyerocos bagai peluru yang dimuntahkan
dari senjata AK 47. Seolah tidak memberi kesempatan pihak lain
untuk menjawab. Minimal mengklarifikasi.
Beberapa hari peristiwa ini menjadi pemberitaan media, baik
cetak maupun elektronik mengupas peristiwa langka itu. Pihak
berwenang dan berwajib masih memberikan keterangan meng-
gantung.
“Masih kita laukan pemeriksaan laboratorium, tunggu saja
hasilnya!” kata seorang polisi mewakili Komandannya. Jawaban
yang menentramkan, meskipun tidak mengandung kejelasan.
Pasalnya apakah benar-benar sedang dilakukan pemeriksaan
laboratorium? Siapakah yang memeriksa? Apakah ini merupakan
perkara kriminalitas? Mengapa para pengamat lingkungan belum

62 Menipu Arwah
memberikan pernyataan resmi? Setidaknya komentar melalui
cuitan twitter atau publikasi di linimasa media sosial. Sehingga
para warganet bisa menilai dan menganalisis permasalahan yang
terjadi.
Belakangan pascameluasnya jaringan internet, komunikasi
daring menjadi kebutuhan pokok urutan atas melebihi sembako.
Masyarakat menjadi tertunduk khusuk menikmati gawai. Mereka
abai dengan lingkungan sekitar, bahkan abai dengan sapaan atau
peristiwa-peristiwa yang melintas di sekelilingnya. Kecuali me-
lintas dalam linimasanya. Namun pada perkara memberi per-
nyataan, bisa jadi saling hujat atau perang data melebihi para
pekerja kulitinta. Termasuk memerahnya sungai ini juga telah
memerahkan gawai-gawai warga.
“Ayah, kenapa warna merah sungai itu tak kunjung hilang?”
Tanya anakku pada Sabtu sore. Jelang hari minggu esok pagi
tentu tidak asyik jika rekreasi hanya melihat air berwarna merah.
Bahkan jika anak-anak seusia anakku justru mencium aroma
kriminalitas. Hari ini bukan mustahil bagi anak-anak untuk me-
rekam peristiwa-peristiwa sadis dari jejak digital televisi yang
menebar pemberitaan khusus kriminalitas. Anak-anak yang se-
benarnya diberi ruang leluasa untuk menghabiskan masa ber-
senang-senangnya, kadang harus terganggu oleh hal-hal tragis,
sadis, dan tabu dengan berbagai diksi tak terjangkau di pikiran
mereka. Ya, meskipun pada pojok layar kaca sudah tertulis RBO
atau 18+ sekali pun.
“Apakah sudah diketahui penyebab warna merah sungai
itu Ayah?” tanyannya lagi menggetarkan sempitnya ruang per-
bendaharaan kata di otakku. Terus terang aku tak mampu men-
jelaskan pertanyaan itu.
“Kita besok pagi rekreasi di rumah saja, gimana?”
“Ayah ini juga suka bikin lelucon.”
“Kenapa?”
“Masa rekreasi di rumah, Ayah ada-ada saja.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 63


“Bisa saja.” Aku belum mau menyerah dengan sanggahan-
sanggahan anakku. “Kalau kita bersih-bersih ruang belakang
dan dijadikan taman, lalu membuat kolam ikan kecil di dekat
dapur, saat kita menikmati nasi goreng di sana, boleh kan diang-
gap rekreasi?”
“Rumit, Yah. Rekreasi itu ya keluar rumah.” Protesnya ber-
lanjut.
Sepintas gawaiku berbunyi memberi tanda ada pesan masuk
melalui jaringan media sosial. Tanganku pun terjangkit gatal-
gatal jika tak segera membuka apa isi pesan itu. Aku termasuk
abai dengan sekitarku. Lupa ada anak di depanku. Namun, apa
boleh buat, opini tak berterima “maklum sudah jamannya” ku-
paksakan masuk di ruang cengkerama dengan anak saat itu juga.
Aku memasuki celah lain di dunia berbeda. Aku tak lagi melihat
dan mendengar apa pun atau siapa pun kecuali layar gawai yang
selalu menggoda untuk berselancar jauh dan lebih jauh.
“Diduga sumber aliran warna merah sungai berasal dari
sebuah gedung berpagar tinggi 1kilometer dari taman rekreasi
kali” begitu bunyi pesan pada linimasa. Dipasang pula gambar
gedung berpagar tinggi yang dimaksud. Akun yang mempubli-
kasi agak janggal, karena bukan nama orang_ BERANIBICARA.
Aku bisa membacanya karena dibagikan oleh seorang teman.
“Seberani ini orang mempublikasi dengan langsung me-
nunjuk objek opini dengan gambar yang jelas. Namun melihat
akun pengguna yang boleh jadi tidak berani bertanggung jawab
karena tidak menyebut nama, bahkan gambar profilnya pun
hanya tokoh kartun binatang. Pengecut.” Gumamku sembari me-
nelusuri lebih jauh apa isi tulisannya.
“Membaca analisisnya yang disertai data-data pendukung,
siapa pun bisa terperdaya. Kalimat-kalimatnya menggiring pem-
baca untuk menyudutkan objek menjadi sasaran kesalahan.
Namun apa salahnya juga jika hal ini memang hasil investigasi
sebuah portal daring yang hari ini kian menjamur di dunia maya.”
Adu opini antara hati dan pikiranku berkecamuk dalam otak.

64 Menipu Arwah
Ibu jari makin kencang untuk menjelajah data-data yang di-
munculkan.
“Aneh, berita konyol, lelucon murahan!” akhirnya aku me-
ngumpat sendiri. Menyesali penjelajahan opini. Menyekat ruang
canda dengan anakku. Kututup gawai lalu kutoleh anakku. Se-
jurus pandangan, sudah tidak kutemukan anakku. Aku terjebak
dalam kebuntuan arah untuk mencarinya. Kuterobos gerbang
lalu menyeberang jalan depan rumah. Kakiku mengayun meng-
ikuti naluri para warga yang juga menuju suatu tempat. Ke arah
sungai yang masih berwarna merah.
“Jelas merah darah Pak, amisnya tercium sekarang.” Kata
tetanggaku yang juga sedang berjalan beriringan.
“Bapak sudah melihat atau mencium aromanya?”
“Belum, baru mau ini.”
“Mengapa bapak yakin sekali?”
“Iya, saya sudah membaca di media sosial.” Jawabnya tanpa
merasa bersalah. Aku menghela nafas. Lagi-lagi sosial media
menjadi referensi utama. Aku ingin sekali mengutuknya. Ah!
Siapa? Sosial medianya atau yang menulis statusnya?
“Namun bapak juga ingin ke sana kan?”
Aku tak menanggapinya. Memang arah kita sama. Bahkan
mungkin tujuan kita sama. Namun maksud hati kita berbeda.
Aku fokus untuk menemukan anak, bukan sedang mencari fakta
atas opini yang baru saja beredar. Dalam hati tak bisa mengelak
pula, jika nanti menemukan anakkku di pinggir suangai itu
bersama warga yang sedang melihat perubahan aroma, aku juga
akan ikut memastikan bahwa berita itu menjadi benar. Pikiranku
juga akan mengiyakan. Aku akan memetik keuntungan men-
dapatkan berita saat sedang berada di pusat pemberitaan. Namun
bisa bersembunyi di balik pencarian anak kesayangan.
“Munafik juga aku.” Pojok hatiku tak bisa berbohong.
Kerumunan warga sore itu memadati bibir sungai. Sepanjang
kampung kami yang berbatas sungai dengan kampung sebelah,
penuh dengan mengepung aliran sungai. Persis kejadian me-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 65


nunggu pelari pertama memasuki garis finish. Padahal yang di-
tunggu tidak ada. Mereka hanya ingin memastikan aroma amis
sungai adalah darah. Hanya itu.
Kabar berikutnya santer dari pembicaraan mulut ke mulut
bahwa di ujung kampung, tepat satu kilometer yang dikabarkan
ada gedung berpagar tinggi adalah gedung Rumah Tahanan para
napi dari kelas teri hingga kelas kakap. Termasuk yang paling
fenomenal adalah napi dengan status berrompi oranye. Tahanan
lembaga anti rasuah itu sudah mendekam hampir dua minggu.
Warga seantero negeri ini sudah mahfum, mengingat kasus yang
menjeratnya melibatkan banyak pejabat kelas atas. Dari gedung
itulah mengalir deras air berwarna merah. Ya, kerumunan warga
hampir menembus aliran sungai persis di belakang Rutan. Warga
yang ada di ujung sana itu berani memastikan ada sumber aliran
merah keluar dari saluran pembuangan. Entah itu air atau darah.
Pemandangan itu memunculkan berbagai spekulasi opini. Aku
sendiri juga tidak mampu membayangkannya andaikata aliran
merah itu benar-benar darah. Sebab sumber aliran jelas dari
gedung rutan berpagar tinggi.
Kudapati anakku benar-benar ada di antara padatnya ke-
rumunan warga. Segera kuraih lengannya dan kuajak pulang.
Anak kecil tidak perlu ikut menyoal peristiwa itu. Namun apa
boleh buat, sepulang kami di rumah siaran berita televisi me-
ngabarkan kondisi tahanan berrompi oranye sedang dalam pe-
rawatan medis. Diagnosa sementara terkena penyakit saluran
pencernaan bagian bawah.
Kalimat yang sangat halus bagi seorang jurnalis untuk
mengubah istilah lain dari hemorrhoid, yaitu membengkaknya
patologis struktur vaskular dalam saluran anus. Masyarakat se-
benarnya masih awam dengan istilah-istilah medis seperti itu.
Jika menggunakan istilah umum yaitu ambaeien, mungkin mereka
lebih paham. Sejurus kemudian pikiranku kaget. Pastinya sakit
seperti itu bisa bertahan dalam kondisi tertentu. Ketika medis
sudah mengambil tindakan bisa jadi sudah memasuki stadium

66 Menipu Arwah
tiga atau mungkin empat. Gejala yang muncul adalah pen-
daharahan saat buang air besar atau bahkan dalam kondisi akti-
vitas normal, gatal-gatal pada anus, susah buang air besar, dan
panas pada lambung. Menurut artikel yang kubaca, hal itu di-
sebabkan oleh kurang konsumsi serat atau pola makan yang
tidak sehat. Namun ada penyebab lain yang lebih mendominasi
adalah stress tingkat tinggi.
“Lalu apa hubungannya lamunanku ini?” tanyaku dalam hati
makin ruwet.
“Mengapa pula aku malah memikirkan situasi ini? Tapi boleh
jadi sumber aliran itu ada hubungannya dengan penyakit itu.
Mengapa sebanyak itu jika hanya diduga hanya pada seorang
napi saja? Ah Tuhan Maha Berkehendak. Ah! Saya terlalu berani
untuk mengatakan akibat kuasa Tuhan. Ataukah ada kejadian
mengerikan di dalam rutan?” aku makin stress dengan tekanan
informasi ini. Aku menjadi takut mengalami stress tingkat tinggi
hingga berbuah menjadi penyakit pencernaan bagian bawah.
“Hahahaha! Suara tawa sendiri kiranya keras sekali di lubuk
dalam sana. Namun aku berhasil mencegahnya.
Keterangan yang diperoleh dari petugas keamanan rutan,
tidak ada peristiwa apa pun. Semua dalam kondisi aman terken-
dali. Kalaupun benar imbas dari penyakit si napi itu, apa sebab
gerangan? Apakah konsumsinya salah atau pola makannya tidak
sehat? Padahal si napi itu (mantan) pejabat, tentu bisa mengelola
konsumsi yang sehat, yang bernilai tinggi, tepatnya berharga
tinggi. Atau stress dengan stigma negatif akibat mengenakan
rompi oranye berlabel tahanan lembaga bertajuk tiga aksara
kapital tebal. Seberapa banyak konsumsinya hingga mampu
menembus lubang limbah kakus rutan.
Perutku mulai mulas, panas, stressku menegang. Naluriku
mengajak berlari bergegas menuju ruang berukuran dua kali
satu pojok bagian belakang rumah. Perenunganku sejenak me-
ngingatkan, bahwa sejam sebelum kejadian ini aku begitu lahab
menghabiskan rujak yang dipesan teman di kantor. Nafsu

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 67


memang susah dikendalikan jika sedang menguasai hati.
Beruntung tidak ada pertanda atau gejala munculnya penyakit
saluran pencernaan bagian bawah.

Kebumen, Maret - Juli 2019

68 Menipu Arwah
Perangkap

Effi Kurniasih
Guru SMP Negeri 1 Kedu Temanggung

Malam ini dusun yang biasanya sunyi bak makam tak ber-
tuan tampak meriah bermandikan cahaya lampu. Warga dusun
yang biasanya enggan ke luar rumah, dengan langkah ringan
berjalan menuju satu-satunya tanah lapang di tengah dusun.
Biasanya tanah lapang itu digunakan untuk bermain anak-anak,
atau untuk arena lomba setiap peringatan tujuh belas Agustus,
atau menjemur hasil panen. Namun, malam ini tanah lapang itu
bersolek istimewa. Di tengah-tengah tanah lapang berdiri megah
sebuah panggung. Seperangkat gamelan ditata rapi di atas pang-
gung. Umbul-umbul warna-warni dipasang di jalan masuk dan
di seputar panggung. Tak lupa lampu dengan cahaya laksana
matahari menerangi tempat itu.
Sejak sore warga sudah berlalu-lalang di tanah lapang. Bahkan,
warung dan tenda dadakan sudah didirikan sejak kemarin. Ber-
aneka makanan dan barang dijual dalam warung dan tenda itu.
Semakin malam, semakin riuh suasananya. Orang-orang berkum-
pul, ngobrol sambil ngopi atau sekadar duduk-duduk. Mereka
menggunakan jaket tebal, penutup kepala, dan syal untuk me-
redam dinginnya udara malam sekitar pegunungan.
Sudah sejak seminggu yang lalu warga menantikan peris-
tiwa ini. Tepatnya, setelah Ki Lasdi, pemimpin grup kesenian
dusun, mengumumkan akan ada pertunjukan lengger untuk me-
nyambut debut baru seorang lengger muda. Sudah lama warga
dusun memimpikan adanya lengger-lengger baru dari generasi

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 69


muda untuk menggantikan lengger-lengger tua yang seharusnya
sudah purna. Warga ingin seni tradisional di dusun ini tidak
punah dan bisa diwariskan ke anak cucu. Jadi, ketika Ki Lasdi
mengumumkan akan ada seorang lengger muda yang memulai
debutnya warga sangat antusias. Dua hari sebelum hari-H, warga
sudah mulai bergotong-royong menyiapkan ubo rampe pertunjuk-
kan. Seperangkat gamelan yang lama teronggok dan berdebu
di joglo pendopo balai desa dibersihkan, kemudian diangkut ke
atas panggung. Mereka memotong bambu, mengangkat balok-
balok kayu untuk membuat panggung. Ibu-ibu, remaja, dan anak-
anak memasang umbul-umbul, membuat kembar mayang, me-
rangkai bunga, dan membuat beragam hiasan. Pada hari pertun-
jukan warga menyiapkan kudapan dan berbagai masakan. Semua
dilakukan dengan senang hati untuk dinikmati bersama.
Selepas salat Isya pertunjukan dimulai. Lengger generasi
lama, Nyi Suprapti, Nyi Lastri, dan Nyi Puji membuka acara.
Warga menyaksikannya dengan sambil lalu. Mereka membagi
perhatian dengan ngobrol atau menikmati makanan. Lebih ku-
rang tiga puluh menit kemudian Ki Lasdi berdiri di tengah pang-
gung. Ia mengumumkan sesuatu yang sudah ditunggu-tunggu.
“Warga dusun dan para kadang semua, malam ini sejarah
akan ditorehkan. Ada seorang perawan suci yang bersedia me-
neruskan tradisi menjadi lengger di dusun ini. Peristiwa yang
sangat kita nanti-nantikan, khususnya oleh para pinisepuh, yang
sebelumnya merasa sangat pesimis melihat kehidupan anak
muda sekarang. Anak muda yang lupa akan jati dirinya, anak
muda yang tidak mencintai kebudayaan warisan leluhur tetapi
lebih mengagung-agungkan kebudayaan asing, anak muda yang
.....”
Pidato Ki Lasdi belum selesai tetapi warga sudah riuh, ber-
teriak-teriak agar pidato segera dituntaskan. Ki Lasdi geleng-
geleng kepala. Ada sedikit rasa dongkol di hati Ki Lasdi tetapi
bibirnya tetap tersenyum. Ia menyadari, warga sangat haus akan
hiburan.

70 Menipu Arwah
“Baiklah warga dusun yang sudah dahaga, inilah lengger
baru kita Nyi Sri Kanthi.” Gamelan ditabuh dengan tempo
lambat. Sri Kanthi dengan luwes memasuki panggung dengan
lenggak-lenggok tubuhnya yang gemulai. Semua tatapan meng-
arah kepadanya. Matanya yang kenes menyapu seluruh manusia
yang memadati tanah lapang. Berdiri anggun di tengah pang-
gung, ia melirik kemayu mengerling ke kiri kanan. Senyum tipis-
nya tak pernah lepas dari bibir. Tak ada gentar, tak ada malu,
tak ada takut. Ia sudah siap menjadi penerus tradisi dusun ini.
Semua orang terhipnotis, tak ada satu pun yang melakukan akti-
vitas lain. Mulut-mulut bergumam tak jelas, tapi mata menatap
panggung tanpa berkedip.
Gamelan ditabuh lebih keras dengan tempo lebih cepat.
Pelan-pelan Sri Kanthi mulai menari. Gerak tubuhnya sungguh
luwes. Jarik motif hitam, kemben kuning gading dipadu selendang
merah hati sungguh pas menempel pada kulit kuning langsat
yang bersih. Tubuh remajanya menampilkan lekuk keanggunan
wanita yang nyaris sempurna. Tiga atau empat tahun lagi saat
dada, panggul, dan pantat berisi penuh niscaya tubuh itu akan
menjadi sempurna. Sri Kanthi terus menari, gerakannya serasi
dengan irama gamelan. Matanya kenes menggoda lelaki.
Banyak lelaki tak tahan lalu naik ke panggung untuk ngibing
mendekati Sri Kanthi. Mereka yang gemas ingin memegang
bagian tubuh Sri Kanthi berupaya memasukkan uang sawer ke
kemben. Namun, Sri Kanthi lebih lihai. Gerakannya gesit meng-
hindar dari tangan-tangan usil yang ingin menjamahnya. Dengan
isyarat matanya, ia meminta uang sawer dimasukkan ke kardus
yang sudah disediakan di panggung.
Ibu-ibu yang berdesak-desakan di depan panggung mulai
lelah. Mereka menepi dan mencari tempat yang nyaman untuk
duduk-duduk sambil ngerumpi. Mereka asyik membicarakan
identitas Sri Kanthi.
“Itu kan anaknya Mbok Sarti ya Yu.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 71


“Iya, dulunya dia di kota jadi babu, tapi karena Mbok Sarti
stroke dia diminta pulang.”
“Kapan dia latihan nglengger to, tahu-tahu sudah luwes.”
“Sejak pulang dia dilatih Nyi Lasdi, kabarnya Nyi Lasdi
melihat bakat terpendam Sri Kanthi untuk menjadi lengger.”
“Ooooo, pantas saja la wong dulu Nyi Lasdi juga lengger
terkenal.”
“Kaya ketiban ndaru Mbok Sarti, anaknya bakal jadi lengger
top.”
“Nah itu yang dinamakan adiling pengeran to Yu, dia dikasih
cobaan sakit tapi anaknya diangkat derajatnya.” Semua meng-
angguk-angguk setuju dengan pendapat itu. Mereka kembali
asyik menatap panggung dari jauh.
Malam semakin larut, udara tambah dingin. Namun, suasana
semakin panas. Para niyaga semakin cepat menabuh gamelan,
Sri Kanthi pun semakin gemulai menari, gerakannya semakin
cepat. Keringat sudah membasahi tubuh, semerbak aroma rokok
mengurung dirinya. Ia tak peduli. Bahkan, ia seperti kesetanan
menari. Di tengah-tengah suasana panas itu tiba-tiba melompat
sesosok kekar ke atas panggung. Pakaiannya hitam-hitam, ber-
ikat kepala hitam, tangan kirinya memegang golok, dan tangan
kanannya mengacungkan kepal. Ia berteriak-teriak meminta
niyaga berhenti menabuh gamelan. Lalu, ia mengacung-acungkan
golok ke arah penonton untuk bubar. Awalnya penonton protes
meminta orang itu turun. Namun, ketika seorang penonton di
angkat krah bajunya, dibanting di atas panggung, dan lehernya
ditempeli golok semua orang takut. Penonton meninggalkan
tempat pertunjukkan sambil menumpahkan sumpah serapah.
Melihat peristiwa itu dengan cepat Ki Lasdi membopong Sri
Kanthi ke belakang panggung.
“Pulanglah ke rumahku, nanti kusuruh Aryo menemanimu.”
Sri Kanthi mengangguk. Aryo adalah salah seorang niyaga. Se-
bentar kemudian Aryo datang. Mereka berjalan tergesa melintasi
semak belukar. Mereka tak berani lewat jalan dusun. Kaki Sri

72 Menipu Arwah
Kanthi yang telanjang berkali-kali terkena duri atau menginjak
batu runcing. Dua tangannya sibuk memegangi jarik yang di-
gulung ke atas. Tak ada obrolan di antara mereka. Hanya sesekali
Aryo menolong Sri Kanthi yang nyaris jatuh. Sampailah mereka
di rumah Ki Lasdi. Nyi Lasdi membukakan pintu. Ia bengong
melihat keduanya di balik pintu.
“Ada apa Aryo?”
“Ada kerusuhan Nyi.”
“Kau tak apa-apa Kanthi?” Sri Kanthi hanya menggeleng.
“Nyi, saya harus kembali ke sana.”
“Ya, tapi hati-hati. Siapa tahu ada yang mengikutimu.” Nyi
Lasdi menutup pintu. Ia memandangi Sri Kanthi dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
“Bersihkan dirimu, lalu tidurlah. Kau butuh istirahat. Bajumu
di kamar yang tadi buat dandan.” Sri Kanthi mengangguk,
bergegas ke kamar mandi. Saat ia masuk kamar untuk istirahat,
terdengar suara Ki Lasdi. Rupanya baru pulang.
“Kanthi sudah tidur?”
“Baru saja masuk kamar.”
“Syukurlah ia selamat.”
“Apa yang terjadi?”
“Ki Lurah menyuruh Gogor menghentikan acara?”
“Ki Lurah Pake?”
“Rupanya Ki Lurah kesengsem sama Kanthi, ia menyuruh
Gogor membawa Kanthi ke rumahnya.”
Sri Kanthi yang mendengar percakapan itu dari kamar tidak
mengerti. Ia merasa aneh. Kemarin ketika ia ke rumah Ki Lurah
bersama Ki Lasdi dan Nyi Lasdi untuk minta izin pertunjukkan,
Ki Lurah tampak baik-baik saja. Mengapa sekarang malah me-
ngacaukan pertunjukan? Sri Kanthi sudah tak sempat berpikir.
Lelah dan kantuk menyergapnya untuk segera terlelap.
Esok paginya saat sarapan Nyi Lasdi meminta Sri Kanthi
berhenti menjadi lengger untuk sementara waktu sampai ke-
adaan aman.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 73


“Kamu juga tinggal di sini dulu nduk, saya takut utusan Ki
Lurah berkeliaran mencarimu.”
“Tapi, Si Mbok bagaimana Nyi?”
“Kan suda ada Yu Darmi yang menemani.”
“Tapi kan yang biasanya kasih uang saya, Nyi.”
“Gampang kalau itu, nanti saya dulu yang nyatu Yu Darmi
sampai kamu punya penghasilan lagi.”
“Saya jadi merepotkan.”
“Sudahlah, jangan banyak pikiran. Sana ke belakang, bantu-
bantu di dapur. Nanti setelah saya dari pasar kita latihan.” Sri
Kanthi menurut.
Seminggu sudah Sri Kanthi tinggal di rumah Nyi Lasdi. Tiap
hari kerjanya membantu di dapur atau di kebun belakang rumah.
Ia tak boleh membantu di warung depan. Belum aman kata Nyi
Lasdi. Sri Kanthi merasa tak enak. Apalagi Nyi Lasdi juga me-
nopang kehidupan Si Mbok. Ia pun mengutarakan keinginannya
untuk bekerja kembali ke kota, menunggu suasana aman. Nyi
Lasdi menyetujui. Bahkan, Nyi Lasdi juga akan mencarikan pe-
kerjaan saat kulakan ke pasar kota.
Tiga hari kemudian Sri Kanthi ke kota diantar Nyi Lasdi. Ia
mendapat pekerjaan sebagai pramuniaga toko kelontong lang-
ganan Nyi Lasdi. Sri Kanthi juga sudah dicarikan tempat kos
satu kamar dengan kamar mandi di dalam. Letaknya tidak jauh
dari toko. Sri Kanthi pun memulai hidup barunya. Ia bekerja dari
pukul 09.00 hingga pukul 18.00. Setiap Minggu siang ia pulang
untuk menjenguk Si Mbok karena toko buka setengah hari. Senin
pagi ia kembali ke kota. Ia lega karena sudah punya penghasilan
untuk menopang hidup dirinya dan Si Mbok, walaupun Nyi Lasdi
juga masih tetap membantu. Selama dua bulan ia menjalani hidup-
nya dengan normal. Di waktu-waktu senggangnya ia masih me-
rasakan geloranya untuk menari membuncah. Ia berusaha mem-
bunuh gelora itu agar tak melukainya. Ia berharap keadaan se-
gera aman agar bisa melengger lagi. Hingga pada suatu hari ia
sangat terkejut saat mendapati Ki Lasdi sudah berada di kamar

74 Menipu Arwah
kostnya saat ia pulang kerja. Ia duduk di atas tempat tidur dengan
santai, seperti di rumahnya sendiri. Sri Kanthi bingung harus
bagaimana ia bersikap. Maunya ia balik kanan, kembali ke toko
atau ke mana pun. Namun, hal itu mustahil dilakukannya. Di
pundaknya terlalu banyak hutang budi pada suami istri Lasdi.
“Ki Lasdi, kok bisa masuk?” Ki Lasdi mengacungkan kunci
yang sama dengan kunci yang ada di tangan Sri Kanthi. Bulu
kuduk Sri Kanthi berdiri. Ada desir tak nyaman memenuhi
rongga dadanya.
“Mandilah Cah Ayu, setelah segar ada sesuatu yang akan
saya bicarakan.” Sri Kanthi berlalu ke kamar mandi. Rasanya ia
ingin berlama-lama di kamar mandi. Ia enggan keluar. Ia merasa
sedang ditunggu maut di luar kamar mandi. Ki Lasdi yang lama
menunggu menggedor pintu kamar mandi berkali-kali.
“Kanthi! Kanthi! kau mandi apa tidur.” Sri Kanthi keluar
kamar mandi dengan langkah berat. Disisirnya rambut pelan-
pelan lalu duduk di sisi tempat tidur berseberangan dengan Ki
Lasdi. Ki Lasdi bangkit dari duduk. Di angkatnya Sri Kanthi
dan didudukkan di pangkuannya. Seluruh tubuh Sri Kanthi kaku,
bibirnya kelu.
“Duduklah di sini, di pangkuanku.” Bisikan Ki Lasdi di te-
linga semakin membuat Sri Kanthi tersudut. Tulang belulangnya
luruh, lepas dari tubuhnya.
“Kanthi, tak ada yang gratis di dunia ini. Aku telah memberi
banyak, saatnya malam ini kau membayar.” Kata-kata itu dibisik-
kan di telinga, tetapi Sri Kanthi merasa suara itu berasal dari
tempat yang sangat jauh. Ia hanya mendengarnya sayup-sayup.
Dunianya menjadi gelap. Ia terperangkap. Ia mencari celah untuk
bebas. Sekejap, ia seperti menemukannya. Walau tak yakin, ia
mencobanya.
“Nyi Lasdi orang baik Ki, jangan dikhianati.” Bibir Ki Lasdi
menyeringai di belakang kepala Sri Kanthi.
“Kenapa kau ingat Ibue, he?”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 75


“Nyi Lasdi sangat baik, murah hati, tak layak disakiti.”
Seringai Ki Lasdi semakin lebar. Sebetulnya ia ingin terkekeh keras-
keras mendengar kalimat yang ke luar dari mulut gadis lugu itu,
tetapi ia takut terdengar sampai ke luar kamar. Ia tahan tawa-
nya sampai terasa sakit perutnya.
“Tenang saja Cah Ayu, Ibue tahu semua ini, sangat tahu,
karena Ibuelah penyusun skenarionya.”
“Bohong!”
“Ibue ingin balas dendam, karena dulu semasa jadi lengger
muda ia pun diperlakukan seperti ini. Ambisinya ingin mencipta-
kan banyak lengger muda dan mengeruk keuntungan dari me-
reka.” Sri Kanthi menelan ludah yang terasa pahit. Tenggorokan-
nya sangat kering. Bahkan untuk menelan ludahnya sendiri pun
tak mampu. Apalagi ketika ia mendengar kalimat yang diucapkan
Ki Lasdi selanjutnya, tubuhnya melayang tak menginjak bumi.
“Setelah kau bayar pokoknya malam ini, selanjutnya harus
kau bayar bunganya sampai lunas pada malam-malam berikutnya
dengan menemani tamu-tamu yang aku undang. Besok malam
giliran Ki Lurah. Dengan kau temani beliau mengizinkanmu
melengger lagi. Besok pagi kita pulang. Tempatmu bukan di
sini. Kau akan kami orbitkan menjadi lengger termasyhur sepan-
jang sejarah.” Perangkap itu begitu kuat mencengkeram. Sri
Kanthi tak mampu melepaskan diri.

Beji Kedu, 27 Juli 2019

Terima kasih & cinta


untuk semua yang menginspirasi

76 Menipu Arwah
Tarian Lidah Api

Emy Budisayekti
Guru SMP N 12 Surakarta

Belum pernah aku sebimbang ini dalam hidupku. Tak pernah


terbayang sebersit pun berada di posisi ini. Malam yang penuh
kegalauan. Duduk di depan perapian, bersama salah satu murid-
ku yang baru saja kehilangan harapan. Berdua, kami mengunyah
malam.
Ranting dan dahan itu berderak dilalap si jago merah. Hangat-
nya terasa hingga sumsumku. Suara kertaknya susul-menyusul,
sesekali meletup seperti petasan tahun baru. Gadis cilik di sam-
pingku, Purnama namanya, terhenyak kaget dan beringsut mundur.
Ia menoleh ke arahku dengan bibir yang menganga ketakut-
an. Aku tertawa. Bukan menertawakan. Aku tertawa untuk meng-
hiburnya. Kubalas tatapan lugunya dengan sekulum senyum.
“Tidak apa, tidak berbahaya. Api ini takkan melukaimu,”
ucapku. Purnama kembali menatap api unggun dengan sepasang
mata belianya.
“Kapan papa dan mama saya datang, Bu?” tanyanya datar,
tanpa memandang wajahku.
Senyumku melebar lagi. “Kayu yang lembap seperti ini
memang gampang meletup kalau terbakar. Kadang hanya letup-
an kecil, kadang nyaring serupa gelas atau piring yang pecah
terbanting. Barangkali, itu yang tadi membuatmu kaget, Purnama.”
Gadis itu hanya termangu. Matanya masih kosong melom-
pong menatap api yang menari-nari tanpa irama di depan kami.
Kuelus rambutnya yang lurus dan panjang. Ia bergeming saja.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 77


Tadi sore, Purnama kesurupan. Kami sempat memanggil
guru ngaji, kuncen, dan “orang pintar” secara bergantian. Namun,
mereka yang tak saling mengenal itu ternyata satu suara. Mereka
mengatakan bahwa tidak ada yang salah dari diri Purnama. Tidak
ada makhluk halus, gangguan roh penunggu, atau setan alas
yang menempelinya.
Satu per satu, orang-orang “pintar” itu pamit mundur. Begitu
pula “para penontonnya”. Tinggallah kami berdua di sekolah ini,
ditemani Pak Huri, satpam yang berjaga di pos dekat pagar sana.
Sebagai wali kelasnya, aku sebenarnya paham apa yang
dialami Purnama, sehingga seolah-olah tadi ia seperti kerasukan.
Ia adalah salah satu murid yang kuketahui benar ceritanya.
Purnama tidak kerasukan. Aku hakulyakin soal itu. Mana mungkin
aku seberani ini duduk berdua saja dengannya hingga larut malam
bila aku tidak begitu yakin?
Purnama hanya sedang stres.
Atau bahkan depresi.
Ah, anak sekecil ini.
Untungnya, setelah bersantap malam dengan nasi goreng
yang kubelikan, Purnama menjadi sedikit bersahabat. Ia mulai
bisa bercanda dan tertawa bersamaku. Sampai-sampai ketika ia
mengatakan,
“Baru kali ini, saya makan kenyang, Bu.”
Kukira itu gurauan belaka. Sehingga, spontan aku tergelak.
Namun barang tiga atau empat detik kemudian, aku terdiam
menyadari kekeliruanku. Garis-garis di wajah Purnama ternyata
sama sekali tidak menandakan ia sedang bercanda. Bodohnya
aku. Bukankah sedari tadi, aku juga beberapa kali mendengar
bebunyian dari rongga perutnya yang melompong?
Kuembus napas panjang. Kutepuk-tepuk pundak Purnama
yang kini kembali murung menatap api unggun. Matanya ter-
tancap mengamati tarian lidah api itu. Seolah-olah, api itu diorama
bergerak yang sedang menampilkan apa yang berkecamuk dalam
benaknya.

78 Menipu Arwah
Aku tidak mau menyelanya. Jadi, kubuang pandanganku
ke halaman sekolah. Ya Tuhan, baru kali ini aku bertahan hingga
malam di sini. Selama belasan tahun mengabdi, sebelum lampu-
lampu neon itu menyala, aku selalu sudah berada di atas sofa
kesayangan di rumahku.
Memang, sebagai guru, aku juga kerap lembur, terutama di
penghujung semester. Namun seringnya, pekerjaan-pekerjaan
tersebut cukup kukerjakan di rumah. Maka wajarlah bila aku
sedikit terheran dengan suasana sekolahku pascatergelincirnya
matahari.
“Bu, kapan papa atau mama saya datang?” tanya Purnama.
Kujawab pertanyaan itu dengan senyuman dan belaian di
rambut yang tergerai di punggungnya. Kuharap itu cukup
mampu untuk menenangkannya. Akan tetapi tentu saja, harapan
semacam itu terlalu naif.
“Kapan orang tua saya datang menjemput, Bu?” ulangnya.
Bagaikan sebuah penyakit menular, aku segera bisa merasa-
kan kegalauan yang sama. Ah, apa yang harus kujawab untuk
gadis cilik ini?
Apa yang kau ingin dengar, Sayang?
Aku benar-benar tidak sampai hati menjelaskan permasalah-
annya. Kalau gemeretak kayu dan api saja tadi membuat nyali-
nya ciut, apalagi hal yang sensitif ini. Aku hanya takut Purnama
akan terbakar, karena fakta ini bisa jadi lebih panas dan ber-
bahaya dibanding tarian lidah api yang sedang disaksikannya.
Biasanya, di usia yang sudah mendekati senja ini, aku hanya
menghafal murid-murid yang paling pandai atau paling nakal.
Sedangkan mereka yang berada di tengah-tengahnya, seperti
Purnama ini, sulit mengait di benakku.
Namun, entah mengapa, dari dulu Purnama memiliki aura
yang istimewa di mataku. Di kelas, ia sebenarnya tidak seberapa
menonjol. Namun kepribadiannya terasa begitu karib. Mungkin
karena aku melihat diriku sendiri sewaktu kecil dalam sosok
Purnama. Fisiknya, sikapnya, dan barangkali nasibnya. Entahlah.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 79


“Kapan orang tua saya datang, Bu?”
Pertanyaan yang sama. Kecanggungan yang sama. Aku tahu
benar apa yang menimpa gadis ini. Justru karena itulah, aku
jadi sulit untuk menjawab pertanyaan sederhananya.
Tiba-tiba saja, tebersit ide untuk menghubungi kolegaku
sesama guru di sekolah ini. Terutama mereka yang mengenal
Purnama. Siapa tahu mereka mau menemaniku di sini. Atau,
minimal, memberiku saran apa yang harus kulakukan.
Ya, ide brilian!
Mengapa ini tidak terpikirkan sejak tadi?
Segera kuhunus ponselku. Lalu, aku bangkit dan berjalan
sedikit menjauh dari area api unggun. Ada setidaknya tiga nama
yang terlintas di benakku. Satu per satu, kuhubungi nama-nama
tersebut. Sayangnya, tidak ada satu pun yang mengangkatnya.
Bahkan Pak Kepala Sekolah juga seperti enggan dihubungi.
Aku maklum. Barangkali mereka sedang menikmati akhir
pekannya. Bagaimanapun, ini Jumat malam. Sebagian orang ingin
menikmati liburnya setelah sepekan penuh berjibaku dengan
pekerjaan. Sebagian ingin sejenak terlepas dari obrolan dan
urusan yang memenatkan. Sebagian lagi hanya ingin meringkuk
di balik selimut tebal pada malam yang dingin ini.
Apa boleh buat.
Sekarang, hanya ada aku dan kau, Purnama.
Kembali kudekati gadis itu. Ia masih terduduk termenung
di depan api unggun buatan Pak Huri. Api membesar. Dari
radius satu meter, kurasakan panasnya. Sehingga, aku merasa
harus mundur selangkah untuk bisa menikmati kehangatannya.
Mungkin Purnama juga memperoleh kehangatan yang sama.
Makanya, ia tampak betah duduk di posisinya, meskipun tadi
sempat ketakutan dengan percikan-percikan api.
“Bu,” ia berpaling kepadaku.
Ini pertama kalinya ia menatap langsung ke mataku sejak
sore tadi.
“Ya?”

80 Menipu Arwah
“Kapan orang tua saya datang?”
Astaga. Kuambil napas panjang. Spontan, aku mengalihkan
pandanganku ke ranting yang sedikit keluar dari lingkaran api
unggun. Kudorong sedikit ranting kering itu agar ikut dilahap
si jago merah.
“Pak Huri hebat, ya,” kataku, “bisa bikin api unggun sebesar
ini tanpa minyak tanah atau bensin. Cuma pakai korek gas, lo,
tadi. Ibu belum bisa seperti itu, hahaha. Kalau kamu, bisa bikin
api unggun, Purnama?”
Purnama membuang pandangannya kembali ke api.
Mungkin pikirnya, terlalu remeh usahaku untuk mengalihkan
pembicaraan. Namun kutunggu sampai hampir satu menit, tidak
ada sepatah kata pun protes atau pertanyaan susulan yang
meluncur dari mulut kecilnya. Suasana kembali menjadi kaku
dan dingin. Padahal, api unggun di depan semakin liar menari-
nari.
“Saya juga tidak bisa, Bu.” Tiba-tiba, kudengar kalimat itu.
Ah, akhirnya! Bahkan, kulihat ada sedikit jejak senyuman
di bibirnya.
Tatapan Purnama juga tidak senanar tadi. Tidak sepucat tadi.
Mungkin, suasana di halaman sekolah ini berhasil mengubah
suasana hatinya. Aku sendiri tidak pernah menyangka bahwa
halaman sekolah ini ternyata cukup nyaman untuk menenangkan
diri. Suasana alamnya pun mendukung. Begitu tenang, begitu
syahdu. Di langit, bulan tampak terang menggantung.
Sayangnya, bulan itu hanya tinggal separuh.
Aku jadi ingat kembali permasalahan yang merundung
Purnama. Kupikir, itu pula yang membuatnya tidak mau pulang
sejak tadi siang. Aku tidak tega menanyakan hal ini langsung
kepadanya. Apalagi, setelah ia mulai bersedia membuka hatinya
kepadaku seperti sekarang.
Aku harus berhati-hati sekali. Bukan karena takut hatinya
tertutup kembali. Melainkan lebih karena Purnama baru saja
kehilangan orang tua. Bukan, bukan meninggal. Mereka berdua

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 81


masih hidup, masih sehat, bahkan keduanya baru saja meng-
hubungi ponselku sore tadi. Hanya, mereka seperti menolak
datang ke sekolah sekalipun kuberitahu bahwa putrinya seperti
kesurupan dan berteriak-teriak aneh.
“Pergi kau dari sini, ini tempatku! Ini rumahku!”
Masih kuingat jerit Purnama itu. Aku mencoba menirukan-
nya semirip mungkin di telepon. Namun, rupanya itu tidak se-
dikit pun menggugah kesadaran orang tuanya. Tidak ada tindak
lanjut dari mereka.
Bukan main terkejutku ketika papa Purnama tadi dengan
dingin berkata,
“Mamanya yang akan ke situ, Bu.”
Sementara istrinya bersikeras,
“Nanti, biar papanya yang jemput.”
Malangnya nasibmu, Purnama. Dipingpong oleh orang tuamu
sendiri. Padahal, engkau anak mereka. Anak kandung! Sekarang,
tanpa perasaan bersalah, mereka menitipkanmu begitu saja ke
sekolah. Atau lebih spesifiknya, ke aku selaku wali kelasnya.
Seharusnya, mereka mengerti bahwa tiga per empat waktu
seorang anak ada di rumah dan lingkungannya. Sekolah hanya
menghabiskan seperempat dari waktu hidup mereka, atau lebih
singkat lagi jika hari libur turut diperhitungkan. Maka harusnya,
proses mendidik lebih banyak dilakukan oleh keluarga, khu-
susnya orang tua.
Namun yang terjadi, dan sekarang seakan menjadi tren para
orang tua, sang buah hati diserahkan kepada guru. Hanya karena
anaknya telah resmi terdaftar di sekolah, mereka merasa berhak
lepas tangan. Berhalusinasi bahwa semua tanggung jawab me-
ngajar serta mendidik sudah bukan lagi kewajiban mereka.
“Papa dan mama saya sudah menelepon, Bu?” tanya Purnama
lagi.
Mulutku tetap terkatup. Aku hanya membolak-balik kayu
bakar di depanku dan berpura-pura tidak mendengarnya.

82 Menipu Arwah
Terkadang, aku berpikir, apa gunanya kita menciptakan
sistem sekolah ramah anak bila di rumah anak-anak itu justru
merasa tidak nyaman?
Apa gunanya Undang-undang Perlindungan Anak yang
menitahkan kepastian hak anak untuk dapat tumbuh dan ber-
kembang tanpa kekerasan dan diskriminasi, jika sumber masalah
itu justru ada di rumah?
Orang tua Purnama bercerai sepekan silam. Mereka berpisah
setelah melalui hari-hari yang panas seperti api unggun ini. Kata
tetangga mereka, pemicunya adalah masakan mama yang me-
nurut papa tidak enak lagi, kopi yang tidak pas diseduh, pakaian
yang belum kering karena telat dicuci, juga karena papa yang
sering pulang malam, kerap lupa hari-hari istimewa keluarga,
juga gaji yang tidak lagi utuh disetorkan.
Tak ada hal besar yang menghantam keluarga itu. Hanya
remah-remah rumah tangga yang sepele, yang sejujurnya, rumah
tanggaku pun mengalaminya. Namun, remah-remah semacam
itu tidak pernah disapu bersih, sehingga akhirnya berserakan
semakin jorok sampai-sampai keduanya tidak tahan lagi.
Seperti kayu, daun-daun kering, atau kertas-kertas sampah,
semuanya menjadi bahan bakar yang baik bagi sebuah perapian.
Api unggun yang berwujud rumah itulah yang Purnama tinggali
setelah ia pulang sekolah.
Kedua orang tua Purnama rupanya telah kehilangan sesuatu
yang selama ini mempersatukan mereka. Aku curiga, Dewi Cinta
yang pernah menautkan hati mereka kurang terampil mengikat
simpul cintanya dan yang paling merasakan dampaknya tentu
sang anak.
Ya Tuhan, anak sekecil ini.
Kutengadahkan kepalaku ke langit yang kelam. Kupandangi
wajah bulan yang memantulkan setengah cahaya itu. Kupikir,
seperti itulah keadaan Purnama saat ini.
Jangan khawatir, Nak, Ibu janji, masih ada separuh bagian
lainnya yang tetap bersinar, meskipun takkan seterang bila bulan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 83


itu utuh dalam wujud purnama. Separuh yang masih bersinar
itu kami, guru-gurumu di sekolah ini.
“Bu!”
Sergah Purnama dengan nada tinggi. Kali ini, aku terkaget.
“Kapan orang tuaku datang, Bu?”
Kuhela napas panjang. Tampaknya, ia tak puas dengan per-
tanyaannya yang tidak kunjung kujawab. Bukannya tidak mau
menjawab, Nak, tetapi aku memang tidak tahu bagaimana men-
jawabnya. Maafkan gurumu ini. Maafkan guru bahasamu ini
yang ternyata tidak pandai berkata-kata di hadapanmu.
“Sebentar lagi, Purnama.”
Aku akhirnya terpaksa berbohong, sekadar untuk menenang-
kannya.
“Sekarang, kamu tidur dulu, ya. Ibu sudah siapkan dipan
di UKS.”
Purnama menggeleng lemah.
“Ibu tetap menemani, kok. Ayo, Sayang.”
Ia tetap bergeming. Ia pasti tidak memercayai kata-kataku.
Aku tahu, ia hanya menginginkan kedua, atau salah satu, orang
tuanya datang menjemputnya. Sebaik apapun gurunya, sesem-
purna apapun, seorang guru hanyalah orang tua kedua bagi
muridnya. Orang tua cadangan.
Di mana orang tua aslinya? Dalam satu jam ini, aku sudah
berkali-kali menelepon mereka. Beberapa kali panggilan itu
ditolak, beberapa kali diterima. Namun, tetap saja, aku tidak
memahami jalan pikiran mereka. Aku tidak paham dengan apa
yang sedang terjadi.
Sejujurnya, aku enggan mengomentari perceraian mereka.
Hanya, Purnama tidak seharusnya menjadi korban. Permasalah-
an ini pasti ada solusinya seandainya mereka berkenan membuka
pintu komunikasi. Antara papa, mama, Purnama, dan kami di
sekolah. Bukan malah meninggalkan anaknya seperti ini.
Orang tua Purnama barangkali lupa, bahwa guru juga orang
tua. Bukan saja bagi puluhan muridnya di sekolah, melainkan

84 Menipu Arwah
juga orang tua dari anak-anak kandungnya sendiri. Anak-anak
yang juga hanya akan melihat separuh cahaya bulan bila hal-hal
semacam ini dibiarkan berlarut-larut.
Malam bergelayut semakin larut. Pikiranku kosong. Aku
dan Purnama seolah-olah berlomba diam. Sampai kurasakan
tubuhnya lungsur ke arahku. Kuintip, matanya sudah terpejam.
Mulutnya sedikit ternganga. Syukurlah, ia akhirnya tertidur.
Kuamati wajahnya.
Cahaya keceriaan kanak-kanaknya sudah pudar, tinggal
separuh.
Satu hal yang kutahu pasti. Sesuatu yang tinggal separuh
tidak selamanya menjadi separuh. Persis seperti bulan di atas
kami. Kemungkinannya, ia akan menjadi penuh lagi suatu saat
nanti, menjadi bulan purnama. Atau sebaliknya, ia akan meng-
hilang dan tidak terlihat lagi, menjadi bulan mati.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan
Purnama. Ah, pemikiran itu terlalu muluk bagiku. Jangankan
masa depan, beberapa jam setelah ini saja aku tidak tahu apa
yang akan terjadi. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih di
sini menyangga tubuh muridku ketika tarian lidah api di depan
kian mengecil dan padam.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 85


Di Langit, Bapak Bersemayam

Henri Saputro
Guru SMP Negeri 2 Sumpiuh, Banyumas.

Apa yang membuatmu selalu ingin pulang? Belaian ibumu?


Suara Bapakmu? Riuh saudara sekandung dan para ponakan?
Atau paras mantan kekasihmu? Bukan. Bukan itu semua. Aku
tidak punya siapa-siapa lagi. Sejak Ibu meninggal dua tahun silam,
aku selalu enggan untuk pulang. Namun ada satu hal yang mem-
buatku selalu ingin pulang. Langit.
***
Iya, langit. Langit di atas rumahku berbeda dengan langit
yang aku temui di tempat lain. Langit di atas rumahku benar-
benar biru. Biru yang cerah. Tidak pucat tapi juga tidak pekat.
Tidak pucat seperti birunya muka Bumi yang dipotret Wahana
Voyager 1 dengan jarak 4 miliar mil jauhnya, 29 tahun silam. Juga
tidak pekat seperti birunya Kali Sunter yang tercampur limbah
thinner hasil siklus produksi ekosistem industri.
Kata Bapakku dulu, langit adalah tempat berkumpulnya roh
orang-orang meninggal. Saat orang menghembuskan nafasnya
untuk kali terakhir, rohnya akan terbang meninggalkan jasadnya.
Setelah tahap ini ada perbedaan antara orang yang semasa hidup-
nya adalah orang baik dengan orang yang semasa hidupnya
adalah orang jahat. Jika orang baik meninggal rohnya akan ting-
gal surga yang letaknya persis di atas langit rumahnya. Sementara,
roh orang jahat akan tinggal di neraka yang berada jauh lebih
tinggi lagi ketimbang surga.

86 Menipu Arwah
Kalau Ibu beda lagi. Kata Ibu, biru yang ada di langit itu
adalah batasan kemampuan mata manusia. Langit sangat luas.
Sedangkan kemampuan pandang mata manusia terbatas. Itu
yang membuat langit di mata manusia berwarna biru.
“Kenapa biru? Kenapa tidak merah atau hitam?” Aku tidak
puas dan mengejar penjelasan Ibu. Kata ibuku, salah satu bakat
asliku ketika kecil adalah bertanya.
“Berwarna biru karena atmosfer cenderung menyebarkan
cahaya dengan panjang gelombang yang dominan biru jika
dibandingkan dengan gelombang warna yang lain. Selain itu,
cahaya biru asalnya dari pantulan sinar matahari yang berserakan
ke mana-mana dan jauh lebih banyak daripada warna-warna
lainnya.”
Penjelasan Ibu yang tidak cukup aku pahami membuat aku
tidak bisa meramu jawabannya menjadi pertanyaan susulan.
Mudah saja untuk Ibu untuk memberi penjelasan ilmiah macam
itu. Ibu adalah seorang guru Ilmu Alam di sebuah SMA di kotaku.
Meski berkutat dengan ilmu pasti, Ibu adalah pecinta sastra.
Koleksi bukunya cukup beragam. Dari sastra klasik macam
Burung-Burung Manyar, Bumi Manusia, The Old Man and The Sea
hingga sastra modern macam Lelaki Harimau, Cantik itu Luka,
hingga Saman, tertata rapi di rak miliknya. Ia punya perpustaka-
an kecil di rumah. Meski gajinya sangat kecil karena ia adalah
Guru PNS dengan golongan rendah, tetapi selalu mengalokasi-
kan uangnya tiap bulan untuk membeli buku.
Sementara Ibu adalah pecinta sastra, Bapak adalah pecinta
sunyi. Bapak sukar diajak bicara. Bapak adalah seorang yang
pendiam. Tidak banyak bicara. Aku dan Bapak jarang bercakap
cakap. Namun sekalinya bercakap, bisa begitu panjang. Seperti
anak laki laki pada umumnya, aku lebih dekat dengan ibu.
Dengan ibu, aku bisa membicarakan banyak hal. Dari soal mainan
yang rusak, hingga celotehan teman-teman sekolahku yang bikin
panas kuping yang kerap mengejek dengan menyebut Bapakku
adalah seorang pengangguran. Bapak saat muda dulu adalah

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 87


seorang wartawan surat kabar lokal kotaku. Namun sejak meng-
alami kecelakaan lalu lintas, ia tidak bisa lagi bekerja dan meng-
andalkan penghasilannya sebagai penulis lepas. Jika Ibu adalah
pembaca yang tekun, Bapak adalah penulis yang telaten.
Percakapan tentang langit tadi adalah percakapan panjangku
satu satunya yang aku ingat dengan Bapak saat masa kecil dulu.
Masa ketika aku merasa bahwa dunia ini milik kami bertiga:
aku, Bapak, dan Ibu. Kami memang hanya tinggal bertiga saja.
Jauh dari keluarga besar. Ini adalah aib sebenarnya. Bapak dan
Ibu dianggap aib dari keluarga mereka masing-masing. Pernikah-
an mereka penyebabnya. Keduanya sama-sama tidak mendapat
restu dari orang tua. Kakek dan nenek baik dari pihak Bapak
maupun Ibu, tidak menghendaki pernikahan terjadi.
Bapak bernama I Wayan Setia. Ia asli Bali. Bapak adalah anak
laki-laki tertua dari 4 bersaudara dalam keluarga yang cukup
terpandang dari segi agama. Bapaknya Bapak, kakekku, adalah
seorang Sulinggih. Hampir ke semua saudara kandung Bapak
meneruskan tradisi keluarga besar, mengabdikan hidupnya
menjadi pemuka agama. Ketiga adik Bapak kesemuanya menjadi
Walaka. Bapak sendiri sebagai anak tertua, disiapkan Kakek
menjadi seorang Pandita. Namun pernikahannya dengan ibuku
menghancurkan harapan Kakek.
Ibuku bernama Retnodiningrum. Sama seperti Bapak, ia juga
lahir dari keluarga yang cukup terpandang. Tidak hanya dari
segi agama, melainkan juga strata sosial. Kakek punya nama
belakang Gondokusumo yang jika dirunut garis leluhurnya masih
garis keturunan Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV, menantu
dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Teori Clifford Geertz
yang memfragmentasikan masyarakat Jawa menjadi tiga bagian
tidak berlaku bagi keluarga Ibu. Meski mengalir kental darah
bangsawan Jawa, namun keluarga ibuku adalah pemeluk agama
yang taat.
Kami tinggal di Banyumas, sebuah kota kecil berjarak 140
kilometer arah barat Yogyakarta. Bapak dan Ibu sepakat mem-

88 Menipu Arwah
bangun kehidupan rumah tangga jauh dari keluarga masing-
masing. Sama seperti Bapak pula, ibu adalah anak tertua dari
tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Ia lahir menjelang
fajar pada bulan Jawa Sura, bulan pertama dalam tahun Jawa.
Pada mitologi Jawa, orang yang lahir pada waktu ini cenderung
berwatak keras kepala tetapi memiliki daya juang yang tinggi.
Seumur umur, aku tidak pernah mempercayai segala macam ilmu
pengetahuan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Namun, dari cara ibu mendidikku, aku terpaksa mem-
percayai narasi ini. Lagi pula, bagaimana aku bisa hadir di dunia
ini jika bukan hasil dari perjuangan dan kekerasan hati ibu? Tiga
stereotip bagi perempuan Jogja yang dipahami orang antara:
nurut, pasrah, nrimo. Tiga variabel itu mengacu pada satu konsep
diri: tidak banyak menuntut apa yang memang tidak diberikan
hidup. Stereotipe memang memudahkan membangun pengertian
tentang sebuah subjek persoalan. Namun, stereotipe seringkali
mengecoh. Ibuku mengecoh stereotip itu dengan sempurna.
Aku tidak pernah tahu banyak bagaimana Bapak dan Ibu
dulu bisa bertemu, berkenalan, kemudian menikah. Aku hanya
pernah mendengar, keduanya bertemu di kampus yang sama
saat menjadi aktivis. Terlibat dalam gerakan mahasiswa saat
pergantian rezim dan pada saat reformasi hamil tua, keduanya
menikah. Sebatas itu aku tahu. Bapak maupun Ibu tidak pernah
bercerita lebih panjang padaku. Aku juga tidak tertarik untuk
tahu. Yang jelas, keduanya memilih meninggalkan keluarga
masing-masing dan hidup berdua. Sebuah pilihan yang membawa
konsekuensi besar. Tidak saja bagi mereka berdua. Namun, juga
bagiku. Aku tidak pernah ingat bagaimana rupa kedua kakek
dan nenekku. Pun saudara-saudara Bapak dan Ibu, Paman dan
bibi. Terakhir aku berjumpa dengan saudara ibu saat aku belum
sekolah dulu. Saat kakek dan nenekku masih hidup. Sekali saja
aku berkunjung ke sana bersama Bapak dan Ibu. Selebihnya
dengan ibu saja. Bapak tidak ikut. Aku tidak ingat apa yang
membuat Bapak enggan berkunjung ke rumah Ibu. Aku hanya

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 89


ingat di sebuah momen, saat keluarga Ibu makan bersama di ruang-
an keluarga, Bapak memilih makan Soto di jalan raya seberang
rumah Ibu. Ibu menangis sesenggukan memohon Bapak masuk
rumahnya, namun Bapak tidak mau. Itu pertama dan terakhir
aku lihat Ibu menangis.
***
“Bapak masuk rumah sakit.”
Irene membacakan pesan teks yang ada di kotak masukku.
Matanya menatapku nanar. Ponsel yang ia pegang sekejap aku
sambar. Pesan teks ibu aku temukan lewat jaringan Whats App.
Rupanya pesan itu masuk sejak lima menit sebelum aku mengirim
surat elektronik berisi rancangan tesisku ke Profesor Kathryn
Geldard, dosen pembimbingku. Suasana kafe kampus yang penuh
suara derai tawa dan lalu lalang membuat telingaku tidak me-
nangkap nada dering ponselku. Ada tiga kali panggilan tidak
terjawab dari ibu yang ketiganya berurutan dalam hitungan
detik.
“Aku harus pulang,”
“Aku ikut,”
“Tidak usah. Kau di sini saja. Bereskan semua administrasiku
di kampus. Paling tidak, bulan depan aku sudah mendapatkan
jadwal ujian tesisku. Kalau sampai terlambat, kita tidak bisa
wisuda bersama-sama,”
Aku segera membereskan barang barangku. Buku-buku
yang bertebaran dan laptop aku masukkan dalam tas. Broccolatte
dingin yang belum sempat aku minum aku tinggalkan. Feeling-
ku buruk. Batinku berkecamuk. Bapak masuk rumah sakit? Se-
umur hidup Bapak tidak pernah sakit. Mengeluhkan kondisi fisik
pun hanya sesekali. Itu pun hanya persendian lutut yang linu
karena asam urat yang dideritanya.
“Hati-hati. Kabari kalau ada apa-apa,”
Aku mengangguk. Kutatap mata Irene. Susah payah ia me-
nahan air mata. Aku berlari secepat mungkin menuju jalan raya
yang jauhnya sepelemparan batu dari parkiran kampus. Berun-

90 Menipu Arwah
tung, taksi pertama yang ku cegat berhenti memberi tumpangan.
Aku melambaikan tangan ke Irene. Irene membalas lambaikanku.
Segera aku masuk ke dalam. Di dalam mobil, aku memesan tiket
pesawat melalui aplikasi. Beruntung lagi aku mendapat penerbang-
an jam pertama.
“Terima kasih, Tuhan.” Batinku berucap menikmati kemudah-
an yang aku dapatkan secara berturut-turut. Aku seketika ter-
kesiap. Seingatku, seumur-umur aku tidak pernah mengucap
syukur pada Tuhan. Baru kali ini aku melakukannya. Di tengah
kepanikanku pada kondisi Bapak, membuatku teringat kepada
Tuhan. Entah Tuhan yang mana. Tuhan yang menjadi sesembah-
an Bapak atau Ibu, aku tidak tahu. Sejak kecil dulu, Ibu selalu
mengajarkanku untuk beribadah seperti dirinya. Aku mengikuti
perkataan dan kebiasaan ibu itu hingga menjelang lulus bangku
sekolah tingkat pertama. Aku menghentikan kebiasaan itu ketika
baik Bapak maupun Ibu tidak mampu menjawab pertanyaanku;
Mengapa banyak orang yang rajin melakukan ibadah tapi masih
melakukan perbuatan jahat? Kenapa banyak orang menggunakan
gelar dan predikat religius lainnya demi alat legitimasi untuk
meraih kekuasaan?
Berbeda dengan Ibu, kehidupan religius Bapak hampir tak
pernah terekam dalam ingatanku. Ia tak pernah melakukan ritus
keagamaan apa pun di hadapanku. Satu satunya yang aku ingat
adalah setiap malam bulan purnama Bapak selalu keluar rumah.
Ia berdiri di halaman dan menengadahkan wajahnya ke langit.
Diam tak mengucap maupun membuat gerakan apa pun selama
beberapa menit. Aku dan ibuku tidak berani mengusiknya. Gestur
tubuhnya seperti memberi tanda bahwa ia tak ingin diganggu
siapa pun. Kadang aku bertanya dalam hati, apakah kesukaan
menatap langit menurun dari Bapak.
“Hey, you just arrived!”
Perkataan Sopir taksi membuyarkan lamunanku. Jarum jam
di tanganku menunjukkan pukul 10:05. Aku segera masuk Ter-
minal Bandara. Menuju tempat pemesanan tiket dan masuk ke

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 91


ruang tunggu. Belum sampai ke kursi tunggu, pusaran angin dari
sebelah kanan, membuat badanku sedikit terhuyung ke arah kiri.
“Mungkin tekanan dari pesawat yang baru landing,” gumam-
ku.
Cuaca di Queensland sangat cerah. Namun tetap saja angin
begitu kuat. Eagle Farm Airport tak terlalu penuh pagi itu. Ban-
dara ini melayani penerbangan untuk warga dua kota: Brisbane
dan Quennsland bagian tenggara. Matahari sudah cukup tinggi
di arah timur. Cahayanya tak bisa dibendung oleh awan kota
Queensland.
Langkahku kupercepat menghindari tekanan angin yang aku
rasa semakin lama semakin kuat. Parka yang aku pakai tak
cukup tebal untuk menghalau hawa dingin yang masih tak biasa
aku rasakan meski aku sudah hampir dua tahun di sini. Syal
buatan ibu tak cukup hangat melapisi leherku. Tenggorokanku
terasa sakit untuk menelan jika kondisi badanku tengah tidak
bersahabat. Beberapa malam terakhir aku tidak tidur demi me-
nyelesaikan draf tesisku.
Sampai di kursi yang aku tuju, sembari duduk, aku meneguk
air putih dari botol Tupperware milik Ibu yang dibawakannya
untukku. Segarnya air yang membasahi tenggorokan tak cukup
mengobati kegelisahanku. Pagi itu suasana Bandara tidak begitu
ramai. Hanya ada sekitar dua puluhan calon penumpang dan
beberapa keluarga penumpang yang menunggu pesawat men-
darat.
“Bapak masuk rumah sakit,” desisku mengulangi kalimat
pesan teks Ibu. Kalimat yang pendek. Namun sangat menusuk
ulu hatiku. Tradisi di keluarga kecilku tidak pernah berterus-
terang soal kondisi kesehatan masing-masing. Meski sedang
tidak enak badan sejak dulu Bapak dan Ibu selalu menunjukkan
sikap baik-baik saja di depanku. Hingga hari ini saat aku jauh
dari mereka kebiasaan itu tidak hilang. Mereka berdua selalu
menjawab sehat dan baik-baik saja jika aku tanya lewat sambung-
an telepon. Kebiasaan itu menurun padaku. Kebiasaan untuk

92 Menipu Arwah
tidak membuat repot orang lain. Kebiasaan untuk tidak membuat
beban pikiran orang. Bahkan kepada keluarga dan orang-orang
terdekat. Meski sakit, aku tidak akan memberitahukan pada
mereka. Pun kepada kawan-kawan di kampus. Dua hari lalu
Bapak lewat sambungan telepon masih menjawab pertanyaanku
dengan kalimat,
“Baik-baik saja”. Ia juga sempat menanyakan keadaanku.
Seperti biasa, berpesan padaku supaya makan jangan telat.
Jika Ibu sampai memberitahukan padaku soal Bapak, berarti
ada hal luar biasa terjadi. Pikiranku memburuk. Sampai hal ter-
buruk. Aku tidak mengira secepat ini Bapak akan meninggal-
kanku. Nafasku tiba-tiba sesak. Dadaku perih. Setitik air mataku
keluar. Bayangan Bapak datang ke hadapanku. Aku teringat
momen saat meminta persetujuannya untuk melanjutkan kuliah
ke Australia, dua tahun silam.
Saat itu Bapak tengah di perpustakaan kecil pribadinya.
Seperti biasa, ia tenggelam di buku-buku miliknya.
“Kalau kamu benar-benar ingin memperdalam keilmuan,
Bapak dukung. Namun, kamu harus total. Jangan setengah-
setengah.”
Buku yang sedang di tangan Bapak seperti tidak lebih bagai
hiasan. Bapak malah seperti membaca pikirkanku. Dan seperti
biasa, ia benar. Sebenarnya, motif terkuat aku melanjutkan studi
ke Australia adalah karena Irene. Perempuan yang berhasil
mematahkan hatiku. Aku mengenalnya saat kami sama-sama
menjalani vocatio, panggilan untuk Jurnalis. Tiga tahun silam,
kami bertemu saat sama-sama liputan di Jogja. Dia bekerja untuk
surat kabar terbesar nasional. Sementara aku bekerja untuk surat
kabar lokal. Dia cinta pertamaku sekaligus orang pertama yang
berhasil menghancurkan hatiku berkeping-keping. Saat ia sadar
bahwa tak ada masa depan untuk kami berdua, dia memilih
meninggalkanku dan semua yang telah ia bangun. Ya, sama
seperti kedua orang tuaku, kami berdua terpisah tembok tebal
yang tersusun dari agama dan suku. Irene, ia lahir dari keluarga

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 93


Batak Toba. Bermarga Sondang. Ia pernah bercerita, marga yang
ia semat berarti cahaya. Seperti namanya, intelektualitas jauh di
atas rata-rata dan sangat keras kepala. Aku seperti melihat Ibu
dalam spektrum yang lain. Namun yang paling membuatku
tertarik adalah kehidupan religiositasnya sama denganku; tidak
pernah terbelenggu formalitas agama.
Saat aku menanyakan pada Ibu kemungkinan untuk me-
minangnya, ibu tidak menjawab. Hanya menghembuskan nafas
panjang. Ia membuang muka ke arah Bapak. Bapak pun tidak
menjawab. Namun air mukanya memberi isyarat bahwa ia tidak
ingin anaknya mengikuti alur hidup kedua orang tuanya. Aku
mahfum. Lalu tidak menanyakannya lagi. Esoknya, respon ke-
duanya aku ceritakan ke Irene. Ia hanya tersenyum. Senyum
kosong. Lalu menunduk. Air matanya meleleh. Aku sandarkan
kepalanya ke bahuku kiriku. Tanganku mengusap rambutnya.
“Tenanglah. Pasti ada jalan.”
Aku tahu ia pasti paham kalau aku tengah berpura pura
menghiburnya. Tangisnya makin kencang. Aku tidak tahu harus
berbuat apa lagi untuk menguatkan hatinya.
Seminggu berikutnya ia pamit untuk kedua hal: keluar dari
pekerjaan dan melanjutkan Masternya ke Melbourne.
“Bagaimana Kamu mau ke Australia?” Bapak memfokuskan
pikiranku lagi.
“LPDP, Pak.”
“Kelamaan. Bapak ada sedikit tabungan. Bisa Kamu pakai.”
Seperti biasa, Bapak selalu punya kejutan kejutannya untuk-
ku. Kebiasaan yang ia lakukan sejak aku kecil dulu. Namun, kali
ini kejutannya terlalu besar. Aku tidak percaya. Aku tatap wajah-
nya dengan penuh antusias. Bapak tersenyum kecil. Lalu kembali
tenggelam ke buku yang ada di tangannya.
***
“Matur Suksma, Pak,” Aku menggumam.
Aku baru ingat. Selama ini aku belum pernah mengucapkan
terima kasih untuknya. Termasuk terima kasih atas pengorban-

94 Menipu Arwah
annya yang begitu besar untuk membiayai studiku ini. Aku tidak
pernah tahu kalau Bapak punya uang sampai sebanyak ini hingga
bisa menutup kebutuhanku sehari hari selama di sini.
Kutarik dan kuhembuskan nafas secara tenang. Udara dingin
terasa begitu menusuk. Tidak saja kulitku. Tapi juga perasaanku.
Temperatur bulan September terlalu dingin untuk tubuh ringkih
yang kupunya. Memoriku dengan Bapak sepanjang hidupku
terlalu kuat. Aku benar-benar tidak siap menghadapi peristiwa
ini tiba-tiba. Sejurus kemudian aku baru ingat kalau aku belum
membalas pesan teks Ibu. Segera aku keluarkan ponselku.
“Bu, aku pulang.”
Bahkan dalam kondisi seperti ini, Ibu tidak memintaku untuk
pulang. Meski pesan teks Ibu tidak membubuhkan permintaan-
nya padaku untuk pulang, namun perasaanku mengatakan aku
harus segera pulang.
“Iya, Nak. Hati-hati.”
Sekian detik balasan teks ibu datang. Tapi tidak cukup me-
nenangkanku.
“Bagaimana Bapak?”
Tidak ada balasan. Membuat aku tidak sabar agar pener-
banganku segera datang. Sepeminuman kopi kemudian, apa yang
aku tunggu tiba. Pesawatku siap. Aku berjalan keluar ruang tunggu
lebih cepat dari gelombang suara pemberitahuan dari mega-
phone petugas. Calon penumpang yang tidak begitu banyak,
membuatku leluasa berjalan paling depan. Aba-aba petugas
Apron agar bersabar dan mengatur barisan tidak aku hiraukan.
Aku tidak sabar menuju tangga pesawat. Setapak demi setapak
anak tangga aku lalui. Setelah masuk, aku langsung menuju kursi
jatahku. Kursi untukku berada langsung di sebelah kiri nomor
tiga dari belakang. Aku buka pintu jendela setelah sebelumnya
aku letakkan jaket dan tas di bagasi atas. Dari jendela itu aku
bisa memandang kumpulan burung bergerombol di atas sayap
pesawat. Dari kejauhan, aku bisa melihat rel kereta yang dilalui
gerbong-gerbong komuter yang setiap harinya menantang

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 95


padatnya Queensland. Syahdunya pemandangan pagi itu tetap
tidak bisa menutup kegugupanku. Kutarik dan kuhembuskan
nafas secara teratur mencoba untuk tetap tenang. Sia-sia. Pemberi-
tahuan dari kokpit untuk bersiap karena pesawat akan meng-
udara semakin membuyarkan usahaku. Selesai mengurusi tetek
bengek macam memasang seat belt, mematikan jaringan ponsel,
melipat meja, menegakkan sandaran kursi serta membuka tirai
jendela, aku merasa dadaku sesak. Turbulensi pesawat membuat
dadaku makin sesak.
“Sialan,” batinku. Aku belum pernah mengalami keadaan
seberantakan ini.
“Tolong, Tuhan,” Lagi-lagi dalam keadaan kritis, aku baru
mengingat Tuhan.
***
“Langsung ke rumah. Tidak perlu ke Rumah Sakit.”
Pesan teks Ibu masuk ke ponselku 2 jam lalu. Aku tiba hampir
tepat tengah malam. Turun dari bus tepat pintu gerbang kom-
pleks rumahku. Selesai sudah aku menjalani perjalanan hampir
13 jam. 7 jam perjalanan udara Queensland menuju Jakarta, 1 jam
perjalanan udara dari Jakarta-Yogyakarta, dan 4 jam perjalanan
darat dari Yogyakarta-Banyumas.
Bendera kain berwarna kuning berukuran kecil terpasang
di depan pintu gerbang perumahan cukup menjadi penguat pesan
teks Ibu. Kendaraan yang berjajar parkir memenuhi bahu jalan
dari depan pintu gerbang sampai depan rumah, membuat aku
kesulitan menjejakkan kaki. Hampir semuanya berplat AB. Aku
segera mahfum siapa pemilik kendaraan itu. Pagar yang berdiri
di depan rumahku yang berjarak hanya sepelemparan batu dari
pintu gerbang tidak bisa aku lihat saking banyaknya orang
memenuhi jalanan. Tetangga, rekan-rekan kerja Bapak, teman-
teman sekolah dan kerjaku, dan sekumpulan orang lainnya yang
tidak aku kenal.
Satu dua tetanggaku menyapa pelan. Ada yang mengusap
punggungku, mencoba menghiburku. Aku memaksa tersenyum

96 Menipu Arwah
membalas keramahan mereka. Sampai di jalan depan rumah,
aku melihat sosok Ibu. Ibu pun melihat kepulanganku. Seperti
biasa, Ibu terlihat tegar. Tidak sedikit pun ia menangis. Aku
duduk bersimpuh dan memeluk kakinya. Meski tak menangis,
aku paham ibu sedih teramat dalam. Dalam hati, aku sekuat
tenaga untuk tidak menatap mata Ibu. Aku merasa sangat ber-
salah. Selama ini Bapak menanggung sakit dan Ibu sendirian
mengurusinya. Aku mengutuki diri. Demi apa pun, aku sangat
menyesal meninggalkan Bapak dalam kondisi seperti ini.
“Di mana Bapak, Bu?”
Aku bertanya memulai pembicaraan. Aku berbicara sambil
menunduk agar tetap tidak menatap mata Ibu.
“Di dalam kamar. Kamu makan dulu.”
Perintah Ibu aku hiraukan. Aku menuju kamar tempat Bapak
bersemayam. Aku mendapati jenazah Bapak membujur searah
dengan dengan pintu kamar. Ku sentuh dahinya. Dingin. Sekejap,
hatiku hancur menerima kenyataan Bapak tidak lagi bernyawa.
Betul-betul tak lagi bernyawa. Aku menangis hebat. Kuatur se-
kuat mungkin agar tangisku bersuara. Mataku kabur oleh air
mata. Baru kali ini aku menangis seperti ini. Bapak dulu sering
mengingatkanku jika aku menangis.
“Anak laki-laki, pantang menangis.” Baru kali ini aku tidak
mengindahkan peringatannya. Betapa aku sangat merindukan
Bapak dan percakapan percakapan kecil kami. Penyesalanku ter-
amat dalam. Aku, anak satu satunya tidak menemani saat-saat
terakhirnya. Betapa pecundangnya aku. Sedetik kemudian, aku
baru sadar. Ada yang aneh pada jenazah Bapak. Aku menatap
keluar kamar. Tenyata Ibu dan beberapa orang ada berdiri meng-
amati aku dan Bapak.
“Bu, kenapa?”
Aku bertanya pendek. Ia tak menjawab, bibirnya terkatup.
Tatapannya tertuju tajam padaku. Meski tak menjawab, aku sangat
yakin Ibu paham arah pertanyaanku.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 97


“Didoakan, Mas. Bapak meninggal dalam keadaan baik.”
Laki-laki bertubuh gagah berumur sekitar enam puluhan tahun
menggantikan peran Ibu menjawab pertanyaanku. Aku tidak
mengenalnya. Namun garis wajahnya hampir mirip Ibu. Aku
memalingkan wajah lalu kembali menatap jenazah Bapak. Seluruh
tubuhnya terbungkus kain putih. Hanya muka saja yang belum
tertutup. Aku kembali meneteskan air mata di hadapan Bapak.
Tak ingin membuat Ibu terlalu sedih, aku berjalan keluar kamar.
Aku menuju kamar Bapak yang bersebelahan dengan kamar
tempat jenazah Bapak bersemayam. Aku duduk di tempat tidur
yang biasa Bapak beristirahat. Tubuhku terasa lelah namun aku
enggan merebahkan badan.
“Bapak menitipkan buku ini padamu.”
Ibu mendatangiku dan duduk di sebelahku. Ia memberikan
buku berjudul ‘Fatherhood’ karangan Bapak. Kata Ibu, buku ini
ditulis Bapak saat aku masih di dalam kandungan. Bercerita
tentang masa-masa kecil Bapak dan Kakek selain juga kesiapan
Bapak dalam menyambut kehadiranku. Buku ini sudah aku baca
berulang kali, mengapa Bapak memberikan buku ini padaku?
“Di dalamnya ada pesan Bapak. Bacalah.”
Ibu meninggalkanku sendirian. Aku membuka plastik pem-
bungkus. Sampul aku buka. Pesan Bapak tertulis di halaman per-
tama. Aku baca dengan cepat. Buku kembali aku tutup sampulnya
lalu aku simpan di dalam tas.
Sebelum subuh, saat semua orang terlelap, aku menyong-
song menuju kamar tempat Bapak bersemayam. Setelah aku buka
seluruh kain penutup, jenazah Bapak aku letakkan di pundakku.
Aku berjalan keluar rumah. Sebagian besar tamu dan tetangga
yang melayat sudah pulang cukup membantu melancarkan
niatku. Ada beberapa orang yang masih terjaga di depan rumah.
Aku tak bisa menghitung pasti. Mereka kaget melihatku meng-
gendong jenazah Bapak dan memasukkannya ke dalam mobil.
“Ke mana, Mas?”

98 Menipu Arwah
Mereka mencoba mengejar hingga ke samping pintu mobil.
Aku tak menjawab. Aku segera memacu mobilku sesegera mung-
kin.
***
Subuh sudah lewat. Fajar hampir datang. Aku sampai di
kaki hutan pinus Limpakuwus. Sekitarku mulai terang oleh
matahari yang masih malu-malu. Semak-semak sengkarut tanam-
an liar berhamparan terkepung oleh rimbunan pohon yang tak
terhitung jumlahnya. Semua tinggi dan wingit. Sinar matahari
membentuk garis-garis tipis menimpa batang pinus yang berjajar
tidak terlalu rapat. Aku rebahkan jenazah Bapak di tanah yang
rata. Aku kumpulkan ranting, kayu, dan dedaunan yang sudah
kering hingga menggunung dan menutupi seluruh tubuhnya.
Aku menyulut api di timbunan daun paling luar. Api berkobar
dan membesar dengan cepat. Asapnya membumbung. Kemarau
yang mengganas membantu meleburkan jenazah Bapak. Mataku
basah dadaku sesak mengingat Bapak dan pesan terakhirnya
untukku.
“Han, anakku, awal tahun lalu aku mengantar ibumu ke
keluarga Kakekmu. Mereka semua berharap ibu menerima
bagian warisan paling besar dari kakekmu. Tapi dengan syarat
aku mengikuti keyakinan mereka. Tapi baik aku maupun ibumu
bersepakat, kamu yang akan menjatuhkan pilihan. Jika kau tidak
ingin hidup miskin sepertiku, aku rela kau kuburkan dengan
cara seperti keinginan mereka. Tapi jika kau tidak keberatan,
kuburkan aku seperti keinginanku. Kau tahu, semasa muda dulu
aku adalah pendaki gunung meski tidak setangguh ibumu. Bakar
tubuh tuaku di hutan lereng gunung Slamet. Biarkan abuku me-
nyatu dengan udara dan langit diatas sana. Jangan tangisi aku.
Jika pun kau memilih pilihan pertama, aku akan tetap bahagia
dan membanggakanmu.”
***
“Yah, mengapa Ayah selalu ingin pulang?”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 99


“Kau lihat di atas sana langit yang warnanya biru? Itu yang
selalu memanggil Ayah untuk pulang. Di sana bersemayam
kakekmu dengan segala keberaniannya. Itulah mengapa kau
kunamai Langit. Sedang Cahaya, nama tengahmu, itu dari
Ibumu.”
***

100 Menipu Arwah


Sandi Penimbul

Heri Suritno
Guru SD Negeri Prembun, Tambak, Banyumas

Sayup! Mantramu terus mendayu. Meratap, merayuku! Aku


pun terpikat menuruti apa maumu. Aku yang sedang lalu-lalang
di alam lelembut, bergentayangan tidak menentu bersama kaum
pecundang yang bergelimang malang, dalam sebuah penantian
panjang untuk menunggu palu godam, terbuai oleh aneka sesaji
dan aroma asap kemenyan yang membubung, mengetuk-ngetuk,
merasuk ke badan halusku. Sungguh sangat menggiurkan!
Akhirnya, lewat sebuah mimpimu, aku pun hadir di alam
bawah sadarmu. Menggoda, “Perkenalkan namaku Wangsa
Luwuk!”
Kau menggeliat. Tersentak! Kau langsung kejang-kejang saat
terhubung dengan bisik halusku. Kau pun bersimpuh. Luluh.
“Terima kasih, Mbah telah sudi datang memenuhi panggil-
anku,” setengah berbisik kau mengigau. Gemetar. Suaramu agak
parau. Sangat grogi! Sepertinya takut kena kutuk jika sampai
salah ucap.
Namun aku tak kuasa membalas kata-katamu. Meski aku
bisa melihat badan kasarmu, mustahil di antara kita saling
bersitatap. Tak mungkin kau mampu melihat keberadaanku.
Hanya lewat mimpi-mimpi dan di alam bawah sadarmu, aku bisa
melontar sasmita. Itu pun tentunya sangat samar. Halus sekali.
“Yakin! Tentu kau sudah paham. Muasalku adalah perilaku
berangasan. Jalan hidup yang pernah kulalui sangat lekat dengan
laku malima; main, madon, maling, madat, dan mateni! Kuakui, tanpa

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 101


tedheng aling-aling, naluriku adalah bertaruh, menindih perem-
puan, maling, mabuk, dan membunuh. Makanya, aku pun akhir-
nya harus menanggung perilaku dhugal yang pernah menjadi
panglima jalan hidupku,” aku bertutur di alam bawah sadarmu.
“Nggih, nggih, Mbah,” kembali kau mengigau dengan tutur
bahasa yang sangat sopan. Kau sangat bahagia. Tak disangka,
ternyata indhang yang berwatak berangasan seperti dirikulah
yang sedang kaucari.
Aku salut dengan keberanianmu. Meski masih muda, tapi
Kau suka riadat tanpa mengenal waktu. Tanpa itu, mustahil kau
akan bisa mendengar wangsitku. Atau, boleh jadi Kau sudah
gemblung saat-saat menyongsong kehadiranku di alam bawah
sadarmu. Setelah itu, aku kemudian dengan mudahnya merasuk
ke dalam benda berujud pahatan kepala raksasa yang selama
tujuh malam kaubawa bersama dua sobatmu dalam sebuah cung-
kup di bawah pohon kamboja, di tengah sebuah makam, di se-
kitar nisan-nisan tua yang sudah berserakan tumpang tindih,
tempat aku lalu-lalang. Bergentayangan!
Benda pahatan kepala raksasa itu, kemudian Kau panggil
dengan nama Ki Wangsa Luwuk. Sesuai dengan namaku. Benda
itu pun dipuja, ditimang dalam pelukanmu. Lantas, dibawa pulang
sebagai benda keramat. Di rumahmu, setiap malam Selasa
Kliwon dan Jumat Kliwon, aku sangat disanjung dengan ber-
macam mantra, aroma asap kemenyan, dan tak ketinggalan aneka
persembahan sesaji tujuh rupa. Sungguh! Alangkah memanjakan
dirimu.
Oya, aku sangat paham. Orang-orang menyebut benda tem-
pat aku bersemayam itu, dengan nama barongan. Barongan
terbentuk dari pahatan pangkal batang kayu waru. Selama lebih
seminggu seseorang membentuk sedemikian rupa sehingga pe-
rangai kepala barongan punya kesan sangat garang. Di bagian
moncongnya terpahat sederet gigi menyeringai bengis. Dari
sana ada seulas senyum sinis yang selalu tersungging. Tentu
saja kepala barongan semakin betambah sangar karena wajahnya

102 Menipu Arwah


berwarna hitam dengan kombinasi warna merah darah. Matanya
selalu terbelalak berkilauan karena terbuat dari bulatan cermin.
Sementara di kepalanya, melingkar sebuah mahkota kecil yang
dihiasi ijuk berjuntai.
Kepala barongan kemudian dikaitkan dengan selembar kain
kandi yang membentuk tubuh binatang. Tentu saja dilengkapi
dengan ekor segala. Maka, ketika dua orang memainkan sebuah
barongan, betul-betul seperti binatang hidup dengan kepala
raksasa. Polah tingkahnya nggegirisi.
Setelah selesai dibuat, barongan harus dilawung di sebuah
cungkup. Selama tujuh malam kau merayu kehadiranku. Aku
akan selalu teringat, usai dilawung, barongan digunakan untuk
midhang, mengamen di tengah pasar bersama penari-penari kuda
lumping. Jerih payah uang hasil mengamen, ternyata digunakan
untuk pentas perdana permainan barongan dalam sebuah per-
tunjukan kuda lumping .
Sungguh, aku dibuat mabuk kepayang ketika mendengar
gending ricik-ricik, apalagi gending eling-eling. Begitu mendengar
gendhing-gendhing itu, aku sudah tidak sabar. Badan halusku
langsung merasuk ke dalam alam bawah sadar seseorang. Tentu
saja orang itu langsung kejang-kejang, terkapar. Namun tak lama
berselang, ia meradang, lari menyambar barongan. Dengan
garang ia memainkan barongan mengikuti irama gamelan.
Namun ketahuilah, semua gerak-gerik orang itu adalah
gerak-gerikku. Aku pun larut dalam kegempitaan bersama
penari-penari kuda lumping. Karena pengaruh wibawaku, setiap
gerak barongan menjadi sangar dan sangat garang. Tanpa aku
di sana, niscaya polah tingkah barongan menjadi hambar. Pantes-
an, kau bersemangat sekali mencari indhang barongan yang ber-
watak seperti diriku; berangasan! Itu semua agar polah tingkah
barongan bisa tampil nggegirisi.
Setiap ada gendhing berkumandang, inginnya aku memang
meradang, membrontak liar tanpa aturan. Namun, di sampingku
selalu ada penari penthul yang membimbingku. Dia selalu me-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 103


redam amuk dan kebrutalanku. Penari penthul yang mengenakan
topeng berwajah kocak dan selalu bertingkah konyol itu, mem-
buat aku geli melihatnya. Hal ini yang membuat perilaku be-
ringasku teredam.
***
Semenjak masih lajang, ketika ayahnya sudah sakit-sakitan,
Kang Sandi sering menggantikan kedudukannya yang berprofesi
sebagai seorang penimbul kuda lumping. Maka saat ayahnya tiada,
segala bentuk warisan ngelmu yang berkaitan dengan seorang
penimbul telah ia miliki. Termasuk warisan kemiskinan dan ke-
mlaratan. Kewajiban menghafal mantra, riadat, dan menebar
aneka sesaji, sudah sangat dipahami. Hal yang tak kalah penting,
dirinya harus mau madhang longan turu longan. Mau hidup
prihatin, bertarak, bisa menahan hawa nafsu untuk tidak ber-
lebih-lebihan.
Ada sesuatu yang paling diingat dan selalu terngiang dalam
benaknya. Tak mungkin lupa! Saat-saat ayahnya menjelang
sakratulmaut, saat Malaikat Pencabut Nyawa masih memberi
kesempatan untuk berwasiat, ayahnya berpesan dengan bisikan
lemah, “Ndi, sing kenceng gatholan waton!”
Secara harfiah, ungkapan itu hanyalah sebuah anjuran untuk
berpegang erat pada salah satu kerangka tubir tempat tidur agar
tidak terjatuh. Namun baginya, kata-kata itu sungguh memiliki
makna yang sangat dalam. Dalam pangejawantahannya, ia
kemudian menerjemahkan bahwa dirinya harus selalu meniti
dalam jalan kebenaran. Tak mudah tergoda oleh ajakan muluk.
Meski sehari diguncang gempa tujuh kali, tak boleh terlepas.
Eratlah. Harus! Tak boleh goyah oleh intimidasi atau pun bujuk
rayu apa pun.
Kelak, ternyata kata-kata itu terbukti menjadi mantra yang
sangat ampuh untuk menangkal berbagai macam godaan.
Godaan pertama yang menerpanya terjadi pada suatu malam
saat rembulan hanya muncul samar-samar. Dalam keremangan,
ada tiga orang bergerak mendekati rumahnya.

104 Menipu Arwah


“Ndi!”
Kang Sandi tersentak. Ia yang sedang kencing tak jauh dari
emperan rumah, buru-buru menjambret kelaras pisang. Dengan
serta merta, ia menyeka tetes terakhir air kencing yang masih
tersisa. Setelah merapikan celana kolornya, ia pun langsung me-
noleh.
“Astaga, Wak Kadim!” separuh memekik Kang Sandi menye-
but orang yang baru datang itu. Namun, dalam benaknya lang-
sung diliputi tanda tanya, karena Wak Kadim datang bersama
dua orang kawan.
“Perkenalkan ini priyayi-priyayi pengurus partai dari tingkat
kecamatan, handai tolan saya!”
“O,” Kang Sandi mengangguk sambil menatap penuh selidik.
“Mari, mari, masuk!” ajaknya kemudian sangat ramah.
“Terima kasih, terima kasih,” balas Wak Kadim dan dua
orang kawannya hampir serempak.
Bergegas Wak Kadim dan dua kawannya masuk. Usai basa-
basi saling menanyakan keselamatan, dua tamu itu mengutara-
kan maksud kedatangannya. Rupanya mereka ingin mengajak
agar rombongan kuda lumping Wangsa Luwuk pimpinan Kang
Sandi mau bergabung saat ada pawai-pawai partai. Namun
sebelum mengutarakan maksudnya, dua orang tamu itu terlebih
dulu menyisipkan semacam pidato kecil. Dari tutur bahasa yang
terlontar, sungguh membuat Kang Sandi terpukau. Sebagai lelaki
usia 25 tahun, ia merasa sangat kagum dengan apa yang di-
paparkan dua orang tamunya.
“Kita adalah rakyat yang sudah lama tertindas oleh kaum
imperialis, kapitalis, kolonialis, dan para antek-anteknya,” salah
seorang tamunya mengawali pidato.
Terlihat Kang Sandi mengangguk-angguk.
“Darah kita sudah lama habis dihisap oleh mereka. Hingga
yang tersisa tinggal kemiskinan dan kesengsaraan!” lanjut
tamunya menggebu.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 105


“Ya, ya, ya,” lagi-lagi Kang Sandi mengangguk-angguk. Kang
Sandi pun semakin antusias ketika tamunya yang satunya lagi
kemudian mengurai tentang akan datangnya Ratu Adil.
“Namun, kita tidak boleh larut dalam penderitaan karena
akan segera datang Ratu Adil,” tandas salah seorang tamu yang
satunya lagi.
Hampir tak berkedip Kang Sandi menatap tamunya yang
sedang berpidato. Sementara yang sedang berpidato pun se-
makin tambah berapi-api.
“Yakin! Jika partaiku menang, kelak akan ada pembagian
tanah yang sama rata dan sama rasa untuk rakyat miskin, seperti
sampean itu. Faktanya, selama ini banyak tanah yang dikuasai
oleh tuan-tuan tanah antek imperialis!” koar salah satu tamunya
itu.
Ada banyak harapan yang sepertinya akan diperoleh ketika
Kang Sandi mendengar uraian dari dua tamunya itu. Sebagai
seorang yang belum lama membangun mahligai rumah tangga
dan masih terbelit ekonomi, apa yang diutarakan mereka benar-
benar memberi pencerahan.
Namun, saat Kang Sandi sedang terbuai oleh janji-janji,
mendadak tersentak. Lantas, seolah ada bisikan melintas di
telinganya, “Ndi eling, sing kenceng gatholan waton!”
Pada akhirnya, kedua tamu itu hanya bisa menghela napas
panjang. Mereka hanya bisa mengumpat dalam hati. Sangat ke-
cewa! Ternyata Kang Sandi bersikukuh menolak ajakan mereka.
Bagi Kang Sandi, pentas dalam acara pawai menjadi kurang sreg.
Pasalnya, tamunya meminta agar dalam pawai itu, Kang Sandi
mau mengubah lirik lagu yang dinyanyikan sesuai dengan
slogan-slogan partai. Lantas, ia juga dilarang membawa sesaji
dan juga dilarang membakar kemenyan.
Kelak, apa yang menjadi keputusan Kang Sandi malam itu,
sungguh menjadi sebuah keputusan yang sangat tepat. Pasalnya,
ketika ada huru-hara geger politik pada awal 1966, rombongan
Kuda Lumping Wangsa Luwuk selamat. Tak bernasib malang

106 Menipu Arwah


seperti rombongan kesenian lainnya yang harus berurusan
dengan pihak berwajib. Bahkan ada pimpinan rombongan ke-
senian yang bernasib tragis karena jasadnya kemudian ditemu-
kan mengapung di sungai.
***
Dalam perasaan, sepertinya belum lama aku bermarkas di
sini. Tinggal bersamamu, bersemayam dalam kepala barongan.
Namun menurut perhitunganmu, ternyata sudah lama sekali aku
menjadi momonganmu. Sudah puluhan tahun. Memang, sudah
ratusan kali, atau boleh jadi sudah ribuan kali aku ikut pentas di
berbagai perhelatan; kaul, khitanan, atau pernikahan.
Kini, tubuhmu pun sudah terlihat sangat renta. Sering sakit-
sakitan. Nasib rombongan kuda lumping Wangsa Luwuk pun
menjadi tidak jelas. Sudah beberapa tahun tidak pernah pentas.
Hal itu dikarenakan para pemain seniornya sudah terlalu tua
dan juga sering sakit-sakitan. Bahkan belum lama ini, pemain
penthul yang menjadi primadona , meninggal. Sementara para
pemain mudanya tak begitu bergairah. (Mereka lebih suka men-
jadi kuli bangunan di Jakarta, atau menjadi tukang ojek daripada
menekuni kesenian kuda lumping).
Yang menggenaskan adalah nasib seperangkat alat-alatnya.
Seperangkat alat-alat yang proses pembuatan maupun cara men-
dapatkannya harus melalui berbagai macam laku ritual, seperti-
nya akan musnah sia-sia. Banyak perkakas yang dibiarkan rapuh
dimakan bribik dan anai-anai. Atau, bahkan ada yang dicabik-
cabik gigitan tikus. Termasuk kepala barongan tempat aku ber-
semayam. Kayunya sudah keropos. Bahkan, kaca bagian mata
sebelah sudah terlepas.
Entahlah. Kini, tak mungkin aku berlama-lama di sini. Aku
harus oncat! Aku harus kembali lalu lalang, bergentayangan di
sekitar nisan-nisan tua yang sudah berserakan tumpang tindih
untuk menunggu palu godam tiba. Kendati masih mampu me-
langkah, tapi kau sudah begitu ringkih. Mustahil kau akan bisa
menyanjungku lagi.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 107


Namun, sebelum aku oncat, bersamaan dengan hilangnya
waktu senja, terlihat tetanggamu berdatangan. Ternyata di
rumahmu akan ada perhelatan kecil. Kamu telah menyediakan
nasi tumpeng lengkap dengan ingkung, lauk pauk, dan juga jajan
pasar. Rupanya aku akan diruwat agar kembali ke tempat asalku.
Dengan terbata-bata bahkan sesekali tersedak, kau meng-
utarakan kepada para tetangga, “Aku sudah terlalu tua. Tak
kuasa lagi memimpin rombongan kuda lumping. Yah, selama
ini aku punya momongan bernama Ki Wangsa Luwuk yang ber-
semayam dalam kepala barongan. Hari ini aku minta keikhlasan
kalian semua untuk mendoakan agar Ki Wangsa Luwuk bisa
pulang ke tempat asalnya. Semoga dia bisa pulang dengan lancar,
dan tidak mengganggu anak cucu kita!”
“Nggih, Mbah!” saut para tetangga hampir bersamaan.
Sejurus kemudian, dengan khusuk Pak Kayim membacakan
doa. Usai doa dibaca, beberapa orang segera membagi tumpeng.
Namun, bersamaan dengan itu, terlihat Mbah Sandi memeluk
kepala barongan yang ditaruh di kursi. Air matanya berlinangan.
Sungguh! Aku aku tak tega memandang kesedihanmu yang
akan melepas kepergianku. Sebelum pergi aku ingin berpamitan.
Aku pun merasuk ke badan halusmu. Karuan saja tubuhmu
langsung kejang-kejang.
“Mbah, eling!”
“Nyebut, Mbah!”
“Istigfar!”
“Eling, Mbah. Nyebut!”
Demikian bisik orang-orang silih berganti sambil memegangi
tubuhmu yang kaku. Sejurus kemudian, buru-buru aku melesat
dari badan halusmu. Tubuhmu pun langsung lunglai. Napasmu
tersengal-sengal. Dan sepertinya beberapa saat lagi Malaikat
Maut akan menjemputmu.
Namun, mampukah kau nyebut, mengucap kalimat sahadat
bersamaan saat Malaikat Maut menjemputmu? Atau kau hanya
bisa meregang? Entahlah! Sungguh, aku tak tega menyaksikan

108 Menipu Arwah


kejadian yang akan menimpamu! Aku harus oncat, kembali ke
habitatku, lalu-lalang, bergentayangan bersama para pecundang
yang bergelimang malang. (Selesai)

Kuburan Unthuk Batur, awal kemarau 2019

Catatan:
1. Barongan: tiruan binatang berkepala raksasa dalam pertunjukan
seni kuda lumping.
2. Dhugal: perilaku tanpa kendali.
3. Dilawung: ritual memanggil indhang barongan.
4. Indhang: ruh yang dipercaya masuk ke dalam benda atau seseorang
dalam kesenian tradisi seperti ronggeng atau kuda lumping.
5. Kenceng gatholan waton: erat berpegangan kerangka amben, selalu
berpegang pada prinsip kebenaran.
6. Madhang longan turu longan: hidup prihatin.
7. Malima: Lima perilaku jahat; berjudi, main perempuan, mencuri,
mabuk, dan membunuh.
8. Midhang: ngamen.
9. Nggegirisi: menakutkan.
10. Nyebut: mengucap sahadat.
11. Oncat: pergi.
12. Penthul: penari jenaka memakai topeng.
13. Penimbul: pawang kuda lumping.
14. Rialat: Menahan diri dari segala keinginan demi tercapai cita-cita.
15. Sasmita: isyarat.
16. Tedheng aling-aling:ditutupi

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 109


Lelaki yang Meminjamkan Lubang
Terompet kepada Tuhannya

Hudha Abdul Rohman


Guru SD Muhammadiyah 24 Surakarta

Seumur hidup, kau tidak akan pernah bisa mendengar.


Tuhan sudah membuat dinding tebal di telingamu. Kau harus
menerimanya dengan lapang dada. Suara bising tak akan bisa
kau dengar, apalagi sebutir debu yang mengintip, berniat masuk
untuk membobol dinding tebal di telingamu itu. Tidak perlu
kau tangisi, itu takdir Tuhan yang harus kau terima. Entah se-
butan tuli, budeg, atau abnormal harus kau terima. Kau meracau
setiap hari, memohon kepada Tuhan untuk meruntuhkan din-
ding tebal itu. Tangis darah mungkin rela kau tumpahkan, tapi
tetap sama saja, Tuhan sudah berkehendak. Kau tetap saja tidak
bisa mendengar apa-apa. Kau itu tuli.
Sangat tidak mungkin kau bisa meminggirkan tubuh kering-
mu ke pinggir jalan saat truk-truk pengangkut sampah itu lewat,
menyebarkan bau-bau busuk yang terkadang kau juga menutup
hidung, atau bahkan kau berlari pergi menjauh. Tuhan maha
adil untuk orang seperti kau. Untung saja, lubang hidungmu juga
tidak ditutup dengan dinding tebal oleh Tuhan. Lubang hidung-
mu sangat tajam dalam menerima bau, tapi telingamu sengaja
ditutup dengan dinding tebal agar kau tidak semakin sakit hati
karena sopir-sopir truk itu selalu mengumpat saat lewat di depan-
mu, air ludah menjadi vitaminmu.
“Bangsat! Mau mati Kau?”

110 Menipu Arwah


Hampir setiap hari, bahkan umpatan seperti itu menjadi
sarapan setiap pagimu. Kau harus bersyukur. Tuhan menjaga
hatimu karena kau tidak bisa mendengar umpatan sopir-sopir
truknya.
Sepertinya kau sudah ditakdirkan untuk tuli seumur hidup.
Telingamu sudah mengeras bersama dinding-dinding tebal
pemberian Tuhan itu. Entah takdir ini sampai kapan, belum bisa
terjawab oleh siapa pun. Kau harus menerimanya. Ikhlas satu-
satunya pilihan hidupmu. Apakah tuli itu berdosa? Siapa lagi yang
akan mengutukmu dengan kata-kata yang lebih kasar lagi selain
sopir truk sampah? Tak lain dan tak bukan, pasti para pembeli
hasil rongsokan sampahmu, atau siapa saja yang tak sabar me-
manggilmu. Tuhan semakin adil kepadamu. Memohonlah ke-
pada Tuhan lagi, robohkan dinding tebal di telingamu itu. Kau
perlu mencobanya, entah berapa kali lagi.
Masihkah kau memohon kepada Tuhan untuk merobohkan
dinding tebal di telingamu itu? Pernah beberapa kali kau berdoa,
kau menangis, kau memukul-mukul tembok di musala, kau mem-
benturkan jidat sampai berdarah-darah. Hasilnya? Tuhan masih
setia dengan tidak merobohkan dinding tebal di telingamu. Kau
harus lapang. Kau harus ikhlas.
Dasar lelaki miskin. Lelaki pembawa sial. Lelaki tak punya
gairah hidup. Lelaki yang setiap hari setor nyawa kepada Tuhan-
nya. Lelaki yang hidup, tapi seperti patung yang tidak bisa ter-
senyum. Pantas saja kau diumpat sampai mampus. Baku hantam
turun di kepala dan wajahmu. Air ludah juga mengalir di wajah
keringmu. Kau tak bisa minggir. Kau tak bisa menjawab per-
tanyaan orang-orang di sekitarmu. Kau tuli.
“Dasar kampret kau! Mau mati di jalanan? Minggir!” umpat
salah seorang sopir truk yang setiap pagi mengeruk sampah di
kampung lelaki berkulit kering itu.
Kau tetap diam diri, tetap mengeruk sampah-sampah bau,
mengambil botol-botol plastik dan memasukkannya ke dalam
karung lusuhmu. Kau menoleh, seperti tak terjadi apa-apa, bah-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 111


kan kau sempat melempar senyum kepada sopir truk sampah
itu, seolah meminta izin untuk berbagi lahan rezeki, berbagi
sampah botol. Terkadang kau hampir saja mati ditabraknya, tapi
kau tetap saja selamat dan hidup sampai sekarang. Padahal
nyawamu juga satu sama seperti yang lainnya. Berarti, Tuhan
masih adil bukan? Kau tak bisa mendengar apa pun, tapi terus
diselamatkan dari maut. Kau hampir terluka memar setiap hari,
sampai wajahmu membekas biru, bahkan mengalir deras darah
merah yang hampir mengering. Kau cukup mengusapnya dengan
tanganmu, lalu melanjutkan aktivitasmu sampai senja memamer-
kan siluetnya, menyorot kulit keringmu yang semakin mengkilat
tajam, menyala bersama keluh keringatmu.
“Bapak kalau jalan hati-hati, bapak dengar kan kalau saya
sudah membunyikan klakson keras? Bapak dengar kan?” bentak
pengemudi mobil mewah berplat merah.
“Ya pak? Bapak ada perlu dengan saya?” tanyamu polos.
“Bapak mau mati ya?” Untung saja tadi tidak saya tabrak.”
umpatnya lagi.
“Saya tidak mencuri pak. Sungguh, saya tidak mencuri.”
jawabmu.
“Dasar tolol. Bodoh. Siapa juga yang menuduh Kau mencuri
Pak Tua?”
Pria bertubuh tegap kembali masuk mobil, melanjutkan per-
jalanan dengan melempar botol ke arah lelaki berkulit kering
itu dengan umpatan-umpatan yang sebenarnya mengiris hati.
Kau tetap tersenyum, mengucapkan ribuan terima kasih dalam
hati. Kau berucap pelan bersyukur mendapatkan tambahan dua
botol dari pria bermobil plat merah tersebut. Lelaki tersebut
tersenyum kembali, entah apa yang dipikirkan, mengambil botol-
nya, memasukkan ke dalam karung yang belum juga penuh. Ah,
andai dinding tebal itu pergi dari telingamu, pasti kau akan mem-
balas umpatan itu dengan acungan celurit yang kau gunakan
untuk mengambil botol-botol bekas yang kau temui di jalan dan

112 Menipu Arwah


tempat pembuangan sampah. Tuhan masih maha adil untuk diri-
mu, kau harus tahu itu.
*****
Kau memohon kepada Tuhanmu. Kau memohon sepenuh
hati untuk mendapatkan kehidupan yang layak seperti orang
kebanyakan di jalan-jalan yang sering kau lewati. Kau merapal
doa-doa pengharapan dengan khusyuk. Tak bosannya kau tetap
meminta dinding tebal itu kapan dirobohkannya dari telinganya.
Mungkin karena letih, sampai-sampai kau tertidur di pinggir
jalan. Tak sadar kalau karungmu menghalangi pejalan kaki. Apa-
lagi celuritmu yang setiap orang melihatnya merasa takut. Tubuh
keringmu menyebabkan banyak orang lewat menutup hidung.
Mereka mau muntah. Terkadang mereka lari terbirit-birit. Seolah-
olah kau akan mengejar orang tersebut, membacoknya dengan
celuritmu, lalu memutilasinya, dan kau masukkan potongan tubuh
itu ke dalam karung lusuhmu. Ah, ternyata itu tidak, kau tak
bisa mendengar, kau tuli, dinding itu masih bersemayam di
telingamu, kau harus ikhlas atas takdir Tuhan.
Lampu-lampu kota menyorot tajam. Bunyi klakson semakin
merebut tempat di jalanan, tapi tetap saja, kau hanya menoleh,
lalu kembali meneruskan perjalananmu menyusuri panjangnya
jalan kota, bukan sebagai pelancong, tapi pemulung berkulit
kering.
*****
Semua orang tersentak kaget. Hati mereka mungkin bert-
anya-tanya. Seorang lelaki berkulit kering tiba-tiba membawa
puluhan trompet. Ditaruhnya trompet di pundaknya sambil
menawarkan kepada orang-orang pengemudi mobil, sepeda
motor di tengah jalan kota saat lampu merah memberhentikan
laju kendaraan. Terkadang kepada para pejalan kaki. Sejak
kapan? Di mana kau meletakkan karung lusuhmu? Di mana celurit
tajammu? Kau masih lelaki tua berkulit kering, tapi apa yang
sekarang kamu bawa berbeda. Dulu botol-botol dan sampah,
kini warna-warni trompet kau jajakan.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 113


Aih, ternyata kalender sudah singgah di bulan Desember,
duduk manis di angka tiga puluh, besoknya sudah tiga puluh
satu. Kau sangat pandai untuk mengambil kesempatan. Kau sa-
ngat piawai memungut recehan rupiah. Banyak yang mulai ber-
sorak, ternyata tahun baru sudah di depan mata, dan kau meng-
ambil kesempatan emas itu untuk berjualan trompet. Apa mung-
kin kau sudah lupa dengan dinding tebal di telingamu? Atau
mungkin kau sudah ikhlas atas takdir Tuhan saat ini? Baru
sadar.
Salah satunya aku, masih saja penasaran, bagaimana caranya
kau menjajakan trompetmu di tengah riuhnya jalanan, apalagi
menjelang tahu baru seperti ini.
“Harga trompetnya berapa Pak? Yang warna merah satu.”
Sebuah mobil menghentikan lajunya, ternyata ingin membeli
trompet dari lelaki berkulit kering itu.
“Yang hijau sudah habis Mbak, tinggal yang merah sama
kuning saja.” jawabnya pelan.
“Loh, iya Pak, saya ingin beli yang merah itu, satu harganya
berapa?” balasnya.
“Kan saya sudah bilang Mbak, yang hijau sudah habis. Apa
jadi beli?”
“Tidak jadi Pak, beli di sana saja.” perempuan itu mengge-
rutu sambil mengumpat-umpat tidak jelas, berjalan menuju
mobilnya.
Bagaimana trompet kamu bisa laku? Telingamu saja sudah
ditakdirkan tak berfungsi, tertutup dinding tebal. Kau tak bisa
mendengar suara-suara di sekitarmu. Kau hanya bicara, bisa men-
jawab, tapi jawabanmu membuat orang jengkel, marah, heran,
bahkan terkadang pukulan segepok tangan melukai kepalamu.
Ah, andai dinding tebal di telingamu sudah dirobohkan Tuhan,
pasti kau sangat senang, bisa mendengarkan trompet hasil
karyamu, hasil kreasi dari botol-botol yang kau angkut dari
pinggir jalan itu. Kau berhasil menciptakan sebuah trompet warna-
warni, kau berhasil melubanginya, sehingga suara nyaring untuk

114 Menipu Arwah


menyambut tahun baru terdengar indah oleh semua orang, tapi
tidak dengan kau. Kau bisa membunyikannya, tapi tak bisa
mendengarkannya. Namun entah, mengapa kau begitu percaya
dirinya trompet hasil karyamu bisa mengeluarkan bunyi lalu
kau menjualnya, sedangkan telingamu masih bersemayam
dinding tebal dari Tuhan. Ingatkah kau?
Aku kembali melihatmu lelaki berkulit kering. Kau beberapa
kali duduk termenung sambil membunyikan trompet-trompet
yang kau jajakan di pinggir jalan itu, mungkin kau lelah, tidak
ada yang membeli di riuhnya lampu merah. Kau terus membunyi-
kan trompetmu, berkali-kali sampai kau terbatuk-batuk. Terka-
dang, aku ingin mendekatimu, ingin mengajakmu bercerita, tapi
bagaimana caranya berkomunikasi denganmu. Aku rasa, aku lebih
nyaman menjadi pengamat saja, mengamati segala apa yang lelaki
berkulit kering itu beraktivitas dari jauh, tanpa dia harus tahu.
*****
Malam tahun baru. Jalanan kota ramai. Suara trompet
bersahutan. Daganganmu masih banyak, trompetmu masih utuh.
Apa karena kau tak bisa mendengar? Atau memang orang-orang
tak menyukai hasil karya trompetmu? Mungkin alasan yang
pertama tadi, kau tuli. Kau tak bisa menjawab pertanyaan para
pembelimu. Mereka mungkin jengkel. Wajah lelaki tua itu lebih
sering murungnya, bahkan hampir tak terlihat senyum menghiasi
wajah tuanya.
Ini sudah tanggal satu Januari. Kata orang ini tahun baru.
Biasanya suka cita masih menyelimuti para penghuni kota.
Namun lagi-lagi tidak dengan kau pak tua berkulit kering, wajah
kesedihan sepertinya sudah permanen di wajah tuamu. Ya,
mungkin begitu. Sudah berapa kali kau terlihat berusaha keras
meniup keras trompet-trompet daganganmu. Dengan sekuat
tenaga, kau terus berusaha. Terdengar sangat keras bagi semua
orang yang ada di sekitarnya, tapi lelaki itu terus meniupnya
sampai leher-lehernya bercokol tulang sebesar spidol, seperti
ingin mencuat keluar dari balutan tulang keringnya itu.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 115


“Hentikan pak, suara trompetmu sangat menganggu, tahun
baru sudah selesai.” bentak seorang perempuan paruh baya,
menegurnya.
“Dasar tuli, sudah disuruh diam tetap saja tidak mau ber-
henti meniup trompetnya.” timpal yang lainnya.
“Kalau bapak masih nekat membunyikan trompet itu, Bapak
akan aku usir dan tendang jauh.” Lelaki tua itu masih saja ber-
usaha meniup trompet dengan sekuat tenaganya, entah apa tujuan-
nya.
“Aku bisa mendengar, aku mendengar bunyi trompet itu.
Ya, itu trompet dari botol yang sudah aku buat.” lelaki tua itu
berteriak, bersorak. Lelaki tua itu terlihat sangat kegirangan,
baru kali ini senyum dan tawanya lepas. Kau berteriak-teriak,
membunyikan trompetnya kembali, lalu tertawa lepas sambil
berjalan mengelilingi jalanan. Kau tak menghiraukan sekitar,
merasa menjadi orang yang paling bahagia di tahun baru ini.
“Aku bisa mendengar bunyi trompet ini, aku bisa mendengar
ya Tuhan.” teriakmu berkali-kali. Kau terus berteriak. Semakin
keras teriakanmu, sekitarmu mulai memandangmu gila, tak
waras, stres, dan entah cemoohan apa lagi yang akan disematkan
untuk dirimu.
Kini, tujuanmu mengambil botol-botol itu sudah terjawab.
Usaha kerasmu meniup trompet berkali-kali itu tersimpan jawab-
an Tuhan. Kau sekarang bisa mendengar, suara apa pun itu.
Sekarang, Tuhan sudah maha adil, sepertinya dinding tebal di
telingamu sudah dirobohkan.
“Aku sudah bisa mendengar lagi, aku tidak tuli, aku sangat
bahagia. Terima kasih Tuhan sudah kau buka lubang ini.”
teriaknya lagi, sangat keras dan semakin menjadi-jadi.
“Dasar orang gila, stres,” umpat seseorang yang lewat di
sampingnya.
“Ha? Aku gila? Kamu yang gila.” jawab lelaki tua itu kesal.

116 Menipu Arwah


Tragis Sutini

Mardja alias Julis Nur Hussein


Guru SMK Diponegoro Lebaksiu, Tegal

Sutini, boleh jadi perempuan termalang nasibnya di dunia.


Bagaimana tidak, hampir seperempat hidupnya dihiasi kesialan
dan kesedihan. Saat yang paling membahagiakan hanyalah saat
Tohir melamar dan menikahinya meski belakangan hari menim-
bulkan kekeewaan terpendam. Sebagaimana lazimnya jaman da-
hulu, pria atau wanita sebelum menikah tidak didahului pedekate
atau pacaran. Tradisi yang ada umumnya ujug-ujug lamaran dan
beberapa bulan kemudian dilangsungkan pernikahan. Begitu juga
Sutini dan Tohir, meski keduanya tinggal di desa yang sama,
mereka tidak sering bertemu sebelum akad nikah lantaran Tohir
gemar merantau ke Jakarta. Juga Tabu rasanya berpacaran, apa-
lagi pakai acara apel di malam Minggu, mereka takut menjadi
gunjingan orang-orang di sekitarnya.
Wajah Sutini tergolong oriental sehingga banyak pria yang
mendekati guna meraih hatinya. Ada yang datang bermodal nekat
cinta doang, ada yang mengedepankan sisi kekayaan orang tua,
ada juga yang datang mengandalkan “cas-cis-cus” manis lidah
layaknya para calon legislatif. Usia mereka pun bervariasi mulai
bujang lawean tahun, duda paruh baya yang sudah karatan belas-
an tahun, sampai laki-laki tua beristri tiga, semua antri untuk
mendapatkan perhatian Sutini. Namun sayang, angan Sutini
untuk meraih bulan, terpaksa kandas akibat campur tangan adat
melalui hegemoni orang tua. Sutini harus mendapatkan pria
yang sebenarnya tak masuk radar pantauan hatinya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 117


Yah, Tohir pemuda Jakartanan beruntung itu, katanya sih
dia bekerja di sebuah bank bonafide dan dia merupakan teman
masa kecil Sutini. Rumah orang tua keduanya pun hanya berjarak
puluhan meter dalam satu lingkungan rt yang sama. Soal
pekerjaan Tohir, dalam batin Sutini sungguh tak percaya sebab
sepengetahuannya Tohir hanyalah lulusan sd sama seperti diri-
nya. Karena di desanya masa-masa itu tak ada orang yang mampu
menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi, bisa lulus sekolah dasar
saja sudah sangat hebat! SD Inpres pada waktu itu berada di
desa tetangga yang jaraknya puluhan kilometer melewati sungai
besar yang belum berjembatan, jadi mereka yang sekolah harus
berjalan memutar yang menghabiskan ratusan menit untuk
sampai. Ditambah lagi mayoritas penduduk desanya berpen-
caharian buruh tani dengan upah yang hanya cukup buat makan
satu atau dua hari.
“Mungkinkah setelah di Jakarta, dia sempat melanjutkan
sekolah lagi?” batin Sutini ketika itu. Untuk bertanya Sutini tak
berani.
Hanya berselang enam bulan setelah keduanya dijodohkan,
hari bahagia pun tiba. Resepsi pernikahan diselenggarakan
sederhana dengan adat jawa setempat. Yang bikin Sutini yakin
akan bualan Tohir soal pekerjaannya itu adalah saat Tohir me-
nirukan ijab kabul sampai harus diulang berkali-kali karena
loading otak dia terlalu lemot, itu jelas menunjukkan kualitas
pendidikannya di samping mungkin rasa grogi.
“Apakah mas Tohir, sudah siap mengulangi menirukan kata-
kata ijab yang saya akan ucapkan?” tanya Penghulu.
“E... e... i.. insyaalloh siap, Pak...” jawab Tohir terbata-bata
“Gak usah kesusu mas Tohir, santai saja, Sutini pasti tidak
akan ke mana-mana kok” ucap Pak Lebe berseloroh.
Orang-orang yang di situ pun tertawa. Tohir tersenyum malu
sambil melirik Sutini yang terlihat masam.
Sutini tampak tak bergairah melakoni malam pertama ber-
keluarga dan malam-malam seterusnya. Namun dirinya tak punya

118 Menipu Arwah


keberdayaan untuk berbuat lebih jauh, ia harus tetap berada di
orbit takdirnya sebagai gudel nurut kerbau mematuhi kehendak
orang tuanya! Sutini pun berkepanjangan mengayuh bahtera
rumah tangga dengan seadanya.
Sekarang Sutini memiliki empat orang anak yang susah
payah ia besarkan nyaris seorang diri walaupun Tohir tetap
“mendampingi” sebagai suami. Kehidupan bahtera rumah tangga
Sutini sekilas normal-normal saja, buktinya ia melahirkan anak
sampai empat kali. Kesedihan Sutini bermula saat ia mengandung
Kenah, anak pertama, waktu itu usia kandungan memasuki bulan
kedua belas, tetapi belum juga ada tanda-tanda segera melahir-
kan. Hampir semua warga di desanya merasa prihatin sebab
usia kandungan sampai dua belas bulan adalah sesuatu yang
jarang sekali terjadi. Di tengah keprihatinan keluarga, tetangga
dan warga, Tohir sang suami malah labengan di perantauan
Jakarta, tidak ada kabar, tidak juga kirim uang. Sekali nitip kabar
justru bikin kepedihan hati Sutini bertambah. Dia bilang mau
kawin lagi lah, tidak mau mengakui janin yang di kandung Sutini
sebagai buah cintanya, dan ucapan-ucapan lain yang tidak
mengenakkan. Kecewa dan sakit hati Sutini tidak alang kepalang.
“Mulut kok gak dijaga ucapannya... Kau anggap aku apa?
Boneka! Kalau mau kawin lagi mbok ya mikir. Mau kamu kasih
makan apa, istri dan anak-anakmu?” sewot habis Sutini.
“Ya kasih makan nasi, emang ada orang makan batu?” jawab
Tohir seenaknya.
“Boleh saja kawin lagi, tapi mana ada perempuan ikhlas rido
dimadu! Kalau Sampeyan nekat mau kawin lagi ceraikan dulu
aku!” ancam Sutini.
“Iyaa, enggak! Orang-orang itu saja yang nambah-nambahi
cerita. Wong aku guyonan, kok” ucap Tohir sambil berlalu.
Sutini akhirnya melahirkan dengan biaya yang sangat mahal
karena melalui persalinan bedah—operasi di rumah sakit. Tohir,
saat persalinan Sutini hingga enam bulan setelahnya tidak juga
mudik, padahal belasan mulut ke Jakarta mengabarinya. Di bulan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 119


kesepuluh setelah kelahiran anak pertamanya, Tohir barulah
mudik. Sutini tentu seharusnya senang karena pria yang terpaksa
dicintainya pulang, tetapi justru berkebalikan hati. Jiwa Sutini
terlebih lagi tengah disiram kepedihan. Tohir pulang boro-boro
memberi uang malah menggondol penyakit kelamin dan se-
jumlah nota tagihan utang!
“Astaghfirullohhal a’dziiim! Ora mikir temen rika, Paaa!” jerit
histeris Sutini. Tohir cuma menunduk sambil sesekali menye-
ringai menahan denyut perih di kelaminnya.
“Narik Bajaj lagi sepi penumpang, makanya setiap hari main
kartu berharap aku beruntung,” jelas Tohir dengan suara ter-
tatih-tatih. Sutini hanya bisa mengguguk nangis sambil nggesor
di lantai tanah rumahnya. Angin sore meliung di wuwungan
bagai membeberkan catatan derita panjang, menggetarkan usuk
bambu yang sudah lapuk.
“Rumah ini sudah digadaikan, apalagi yang bisa kita jual,”
pedih sekali suara Sutini.
“Aku bilang apa? Jangan pinjam uang di bank! Begini nih,
akhirnya,” bentak Tohir sekenanya.
“Buat makan! Buat biaya sekolah anak-anak. Apa Sampeyan
disiplin kasih jatah?” berang Sutini suara tangisnya masih ber-
melodi tipis.
Hari telah gelap. Derit bambu di  samping rumah dirasakan
Tohir bagai derai tawa menyoraki nasibnya, nyala lampu sentir
yang bergoyang di terpa angin dilihatnya bagai lidah orang di-
julur-julurkan memuriki deritanya. Penyesalan melanda segenap
diri Tohir, terbayang tingkah lakunya mulai dari main kartu,
main perempuan, ngutil, dan hal-hal lain yang dirasa telah meng-
giringnya hingga sampai pada keadaan diri dan keluarga seperti
sekarang ini. Sembab wajah Tohir. Ditolehnya sang istri telah
pulas tertidur di sisi bayinya yang sama pulasnya. Dari lubuk
terdalam hati Tohir, mengharap ada keajaiban sekarang juga
yang dapat menyulap derita hidupnya. Namun, ya mana bisa?
Di dalam kisah kehidupan para nabi saja Allah tidak serta-merta

120 Menipu Arwah


mengangkat azab-Nya begitu cepat. Bagaimana Nabi Ayub “di-
biarkan” menanggung derita bau busuk tubuhnya begitu lama,
pun demikian kisah derita Nabi Yunus yang bersemayam di
dalam perut Hiu baru dikeluarkan setelah 40 tahun lamanya.
Tohir tertidur keletihan di balai-balai. Sutini terpaksa harus
mengisolasi suaminya itu tidur di luar kamar bersamanya. Sutini
bersyukur karena Tohir telah terbebas dari penyakit kelamin
yang memasungnya hampir dua tahun. Perempuan itu tak lagi
berhitung dengan banyaknya harta benda dan tenaga yang telah
dikeluarkan untuk mengobati sang suami, terpenting adalah
Tohir mau tobat. Mulai mencintai secara penuh dan mulai lagi
bekerja apa saja yang penting halal demi kelangsungan hidup
keluarga. Sutini mengandung anak kedua dan melahirkan
dengan normal, begitu juga dengan anak ketiga. Namun, Sutini
kembali di terjang derita setelah melahirkan anak keempat, Tohir
sang suami sifatnya kumat lagi dan kali ini jor-joran. Dia kawin
lagi dengan perempuan lamanya di Jakarta yang dulu meng-
godanya. Yang bikin Sutini amat terpukul adalah Tohir menikah
di saat dirinya tengah bertarung dengan koreng akut yang meng-
gerogoti separuh pinggangnya hingga ia harus memakai tongkat
untuk menopang tubuhnya. Bermula dari bisul yang dibiarkan
agar pecah secara alamiah, setelah pecah bisul itu bukannya ber-
angsur sembuh, tetapi malah menjelma lubang besar dan terus
melebar “memakan” pinggang Sutini. Tak berdaya untuk meng-
obati, Sutini pasrah pada kemurahan Illahi apa pun ending-nya.
“Gusti nyuwun pangapura, dosa besar apa gerangan pada
diri hamba?” lirih suara Sutini matanya berkedip lamban, tatap-
nya pun seperti kabur.
Si bungsu yang masih berumur belasan bulan seperti paham
nelangsa lara yang tengah dirasakan sang Bunda. Tangan kecil
dengan jemari lembutnya terlihat bergerak-gerak mengusap-
usap wajah pucat Sutini. Sang ibu yang sudah sangat lemah hanya
bisa mendekap pelan. Senyampang kemudian butir-butir bening
air mata meleleh halus menyusuri pipi keriputnya dan air mata-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 121


nya itu terjun hinggap di ubun-ubun si Bungsu menebar kasih
kehidupan. Si Bungsu merengek menggerayangi bagian dada
sang Bunda. Sutini maklum dengan susah payah perempuan itu
mengeluarkan dot abadinya untuk diteteki (disusui) si Bungsu.
Si Bungsu tampak meronta dan lengking tangisnya meninggi
karena mendapati air susu Sutini tak deras lagi.
Sutini berjuang berjibaku sendiri melawan kesepian dan sakit
miris korengnya, sementara Tohir sang suami sudah lagi tak
terdengar kabar beritanya, dia telah memilih untuk hidup ber-
sama dengan perempuan lama yang telah diperistrinya di
Jakarta. Sutini menderita berkepanjangan. Derita hati dan derita
tubuhnya, Sutini nikmati seorang diri selama delapan tahun,
wanita itu hanya ditemani si bungsu yang  belum mengenal
bangku sekolah. Bahkan, mungkin tak akan mengenal pendidik-
an selamanya. Tiga orang anaknya yang lain harus bekerja
serabutan di kota demi menyelamatkan rumah orang tua yang
digadaikan setelah empat kali perpanjangan waktu dan kini
sudah diintai pihak bank untuk segera disita. Di hari Kamis
Kliwon yang teduh Sutini perempuan yang malang itu akhirnya
menghembuskan napas terakhir di atas tempat tidur dengan
koreng besar penuh belatung “memotong” tubuhnya.  Tohir tak
pulang, anak-anak yang lain tak bisa pulang. Tak ada keluarga
lain yang menangisi kecuali si Bungsu yang masih bocah di sisi
jasadnya.

Catatan kaki :
1. loading = ‘pemuatan, proses menemukan suatu objek yang
dimaksud/dicari’
2. gudel nurut kerbau = ‘seorang anak harus nurut kemauan orang
tua’
3. labengan (dialek bahasa Tegal) = ‘nglalu, semaunya sendiri, masa
bodoh’
4. ora mikir temen = ‘tidak berpikir serius’
5. rika =’ kamu’, ‘njenengan’

122 Menipu Arwah


6. nggesor = ‘duduk di lantai atau tanah’
7. memuriki = ‘pandangan nyinyir terhadap hal menjijikan’
8. ending = ‘akhir’

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 123


Terkepung Benteng

Ratino
Guru SMP Negeri 1 Jeruk Legi, Cilacap

“Rasa pusingku masih bergelayut dan sesekali seperti m-


elihat bayangan tikus berlarian kian kemari” ucap Parta.
“Tidak usah dipikirkan Pak, rezeki sudah ada yang ngatur!”
Samikem menimpali.
“Tidak usah dipikir bagaimana? Kita mau makan apa? Kita
sudah tidak bisa menggarap sawah lagi loh, Bu!” Parta tampak
semakin kebingungan.
“Gusti lebih tahu apa yang kita butuhkan, bukan yang kita
inginkan!” Samikem mencoba menenangkan.
Percakapan suami istri di dipan sederhana sebelum tidur
itu tampak menyiratkan kegelisahan mendalam. Sudah seminggu
ini Parta tampak kurang semangat akibat masalah paling pelik
selama hidupnya. Apalagi jika bukan masalah sawah. Sawah bagi
Parta adalah segalanya. Parta yang sudah puluhan menggantung-
kan hidupnya dari sawah, seakan tersengat seribu lebah men-
dengar sawah sebelahnya sudah dijual pada pengembang pe-
rumahan. Bukan tanpa alasan yang membuat dirinya sehari ini
tidak makan. Akses jalan menuju sawah sudah benar-benar ter-
tutup. Jalan tertutup berarti tamat bagi Parta.
Usia Parta sudah hampir kepala tujuh, Samikem lebih muda
setahun darinya. Namun, bagi Parta bertambahnya usia seakan
bertambah masalah pula yang dihadapi. Kata orang kalau meng-
gunakan ‘ilmu padi’ maka makin tua semakin merunduk. Bagi

124 Menipu Arwah


Parta dan Samikem tidak hanya cuma merunduk, tapi bagi me-
reka sudah seperti koprol.
Sawah merupakan jalan hidup penuh makna dan filosofis
bagi Parta. Sawah bukan hanya tempat bercocok tanam, tapi
sebagai ladang berkaca diri mengenai kehidupannya. Pasang
surut hasil sawah sudah Parta alami. Akan tetapi, untuk kali ini
Parta sudah tidak pasang maupun surut, Parta sudah tenggelam
dalam lautan ketidakpastian. Parahnya lagi, Parta tidak bisa be-
renang dalam tenggelamnya itu karena kaki dan tangannya
sudah terkunci, butuh keajaiban untuk selamat.
Dalam diam, Parta berpikir mengenai solusi, tetapi tak satu
pun solusi didapati, yang ada hanyalah penambah lara hati. Pedih
tak terperi. Samikem hanya tertegun melihat Arjunanya seolah
terkulai lemah tanpa daya. Samikem menangis dalam hati me-
ngetahui masalah yang dihadapi sang Arjuna.
“Bu, aku tak tahu harus bagaimana lagi, menyerah aku tak
mau. Namun, maju pun aku tak bias,” ucap Parta tertunduk lesu.
“Sudahlah Pak, aku tahu itu, kita makan dulu saja!” timpal
Samikem sambil menyiapkan nasi dan lalapan.
Lamunan Parta melanglang jauh pada masa mudanya ketika
sawah menjadi tempat yang paling indah. Tempat pertama kali
ia bertemu dengan Srikandi pilihannya, yaitu Samikem. Saat itu
Samikem sedang mengantar nasi penggel, sejenis nasi pulen yang
dibentuk menyerupai gunungan kecil dengan lauk sayuran, untuk
ayahnya. Bulir-bulir cinta Parta pada Samikem langsung me-
nguning seperti hamparan padi yang hendak panen. Lamunan
itu tiba-tiba gelap, dan Parta tanpa disadari tertidur pulas.
“Aduh Bapak ini bagaimana, disuruh makan malah tidur.
Namun, tidak mengapa, dari tadi malam kayaknya Bapak sulit
tidur. Nanti kalau sudah bangun, baru aku suruh makan,” ucap
Samikem dalam hati.
***
“Siang Mbok, aku sudah pulang, ada makanan tidak, Mbok?
tanya Kanti sambil mengelus keringat di dahi.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 125


“Oh, kamu sudah pulang, itu ada daun singkong rebus sama
sambal terasi!” jawab Samikem.
“Lah, petainya mana, Mbok?” tanya Kanti sambil
mengernyitkan dahi.
“Ya sudah habis, itu saja petai diberi sama Juragan Dayat
pas kemarin mampir. Makanlah seadanya dan bersyukurlah kita
masih punya rezeki untuk makan hari ini,” ucap Samikem me-
nenangkan.
Sejurus kemudian Kanti tanpa basa-basi makan dengan
lahapnya. Dalam hati Samikem sebenarnya merasa kasihan
melihat cucunya makan seadanya. Setiap melihat Kanti, Samikem
merasa melihat sosok anaknya yang bernama Nur. Banyak yang
mengatakan kalau Kanti merupakan fotokopian Nur. Nur
seorang wanita malang yang menjadi TKW karena himpitan
ekonomi. Dan tragisnya, Nur sejak menjadi TKW di Hongkong
seolah hilang kontak dengan keluarganya di rumah. Hingga kini
Nur tak diketahui rimbanya apakah masih hidup atau kah sudah
mati.
Ayah Kanti adalah Parjo, seorang lelaki perlente, tetapi tidak
bertanggung jawab. Saat usia Kanti tiga bulan, Parjo minggat.
Menurut kabar Parjo kecantol dan menikah lagi dengan seorang
janda di Majalengka. Sejak itu pula, Parjo hilang jejak. Keluarga
besar Parjo juga tidak mengetahui keberadaannya hingga kini.
Sama seperti Nur, Parjo hilang kontak.
Samikem teringat kata-kata terakhir Nur sebelum pergi ke
Hongkong.
“Mbok, aku titip Kanti ya, aku pergi merantau agar bisa
membahagiakan keluarga kita. Dalam hati berat Mbok, tetapi
aku tak mau berdiam diri. Apalagi utang keluarga kita pada
Juragan Tarno semakin banyak, dan Mbok tahu sendiri, kan?
Juragan Tarno selalu mengincarku untuk dijadikan istri ketiga-
nya. Aku risih Mbok dikejar-kejar Juragan Tarno. Hanya Juragan
Dayat yang benar-benar baik dan mau membantu keluarga kita
dengan tulus.”

126 Menipu Arwah


Air mata Samikem menetes dengan derasnya teringat Nur.
Nur adalah cahaya, tetapi cahaya itu telah redup bagi Samikem.
Nur anak kesayangan Parta-Samikem dan anak semata wayang-
nya. Sambil menyeka air matanya, Samikem sesekali melihat
Kanti yang mulai tumbuh dewasa. Ya, sekarang Kanti sudah
kelas 9 SMP dan bulan depan mau ujian nasional. Samikem tak
tahu apa itu ujian nasional, tahunya hanya tes kelulusan. Melihat
Kanti yang makin cantik dan penuh semangat, Samikem pun
tersenyum karena Kantilah harapan satu-satunya penerus
generasi Parta-Samikem.
Setelah selesai makan Kanti bertanya, “Mbok, Kakung di
mana kok tumben belum pulang?”
“Kakungmu tadi pamit ke sawah dan pulangnya mampir ke
rumah Juragan Tarno. Mungkin hendak berutang untuk biaya
keperluanmu menjelang kelulusan dan juga untuk mendaftarkan
kamu ke SMK,” jawab Samikem dengan mata menerawang.
“Oh iya Mbok, tadi ada tagihan buku yang belum aku bayar.
Aku harap sebelum ujian nasional semuanya sudah beres agar
aku fokus ujiannya,” timpal Kanti.
“Fokus itu apa? Mbok tidak mudeng,” ucap Samikem sambil
mengernyitkan dahi.
“Hahaha, Mbok, Mbok, lugu banget. Fokus itu ya satu tujuan
dan hendak melakukan apa pun bisa tenang tanpa memikirkan
hal lain,” sahut Kanti sambil tertawa lebar.
Samikem hanya nyengir saja. Namun dalam batinnya
bergejolak ribuan kebimbangan dan pertanyaan akan masa
depan cucunya tersebut. Samikem semakin ragu ketika Parta
tak kunjung pulang. Apakah Parta membawa kabar baik atau
buruk setelah ke rumah Juragan Tarno.
“Mbok, kok melamun terus dari tadi, sedang mikirin apa
sih? Aku jadi ikut bingung melihat tingkah Mbok dari tadi,”
tanya Kanti menyelidik.
“Anak kecil mau tahu saja urusan orang tua. Sana cuci piring-
nya dan jangan lupa angkat jemuran. Mbok mau mencari kayu

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 127


bakar dulu di tepian sungai. Nanti kalau Kakungmu pulang, bilang
saja Mbok ke sungai,” jawab Samikem sambil membetulkan kain
jaritnya.
“Ati-ati ya Mbok. Nanti sehabis cuci piring dan angkat
jemuran, Kanti mau belajar, kan hanya bisa belajar jika matahari
terang, kalau malam mataku kadang sakit karena hanya meng-
andalkan lampu petromak,” ucap Kanti dengan nada lirih.
Samikem pun berlalu. Seolah sekelebatan saja, Samikem
sudah berada di ujung jalan kampung. Kemudian belok kiri
menuju sungai, terus tak terlihat lagi. Kanti pun langsung menuju
sumur kecil di belakang rumah dengan membawa piring untuk
dicuci. Setelah itu, Kanti mengangkat jemuran. Tiba-tiba bunyi
logam seakan bertindihan terdengar, prang. Oh ternyata bunyi
tumbukan pacul dan parang. Itu pertanda Kakungnya sudah
pulang.
Kanti langsung berlari menuju dapur untuk menyiapkan
minum untuk Kakungnya tercinta. Segelas kopi pahit. Kanti juga
menyiapkan makanan dengan menu sama dengan yang ia makan,
yaitu nasi, sambal terasi, dan daun singkong yang telah direbus.
“Mbok ke mana, Ti?” tanya Parta sambil menyeruput kopi.
“Tadi pamit ke sungai!” jawab Kanti.
Ada sesuatu yang hendak dikatakan Parta kepada Kanti.
Namun, tiba-tiba Parta urung mengatakannya seolah ada yang
mengganjal, tetapi tak sanggup mengungkapkannya. Dan angan-
angan Parta melayang jauh. Hal penting menyangkut masa depan
Kanti pun gagal dikatakannya. Parta hanya menyesali diri seakan
menjadi orang paling penakut di muka bumi.
***
“Bu, kemarin aku ke rumah Juragan Tarno. Ternyata utang
kita sudah menggunung. Sudah 19 juta utang pokok kita. Juragan
Tarno kemarin menagih. Utang ditambah bunga kurang lebih
sudah 25 juta. Aku tak ada penghasilan apa-apa. Sawah andalan
kita pun kulihat tak ada harapan. Baru saja muncul bulir padi,
tetapi sudah diserang tikus,” kesah Parta.

128 Menipu Arwah


“Oh begitu ya, Pak. Terus solusinya bagaimana? Sudah tak
ada yang bisa kita harapkan. Kanti katanya juga masih memiliki
tagihan di sekolahnya. Sebentar lagi Kanti katanya ujian. Jika
lulus tentu memerlukan biaya juga untuk kelanjutan sekolahnya.
Kemarin Juragan Dayat cerita kalau mau masuk SMK diperlukan
biaya banyak untuk uang masuk saja dan seragam sekitar lima
juta,” timpal Samikem.
“Ya kemarin Juragan Tarno memberikan solusi dalam tanda
kutip Bu. Ia menginginkan tanah dan rumah yang kita tempati
untuk melunasi utang. Dia mengatakan kalau utang yang 25 juta
nanti dianggap lunas dan kita akan diberi tambahan uang sekitar
10 juta. Kita diberi waktu seminggu untuk berpikir,” ucap Parta
pasrah.
“Mau bagaimana lagi, saya terserah Bapak saja. Rumah ini
adalah jerih payah kita selama ini berumah tangga. Jika itu dijual,
bagiku tidak masalah, yang penting sekolah Kanti bisa lanjut
Pak. Intinya keputusan di tangan Bapak!” Samikem sambil meng-
hela napas.
“Tadi malam aku sudah berpikir keras. Ya mau tidak mau
tanah dan rumah ini kita jual. Namun, aku bingung mau tinggal
di mana nanti. Nanti aku akan minta tenggat waktu pada Juragan
Tarno agar tidak pindah dulu sebelum dapat tempat tinggal baru.
Sekarang aku hendak ke rumah Juragan Tarno untuk berembug
perihal ini,” jawab Parta sambil berkaca-kaca.
“Ya Pak, aku mendukung keputusanmu. Semoga ini yang
terbaik buat kita dan Kanti juga bisa memahami nantinya,” ucap
Samikem dengan mata yang ikut berkaca-kaca pula.
Parta pun pamit dan berlalu menuju rumah Juragan Tarno.
Langkahnya gontai dan serasa berat. Parta yang biasanya begitu
perkasa, serasa tak berdaya melanjutkan langkahnya. Di ujung
jalan Parta bertemu dengan Kanti yang hendak pulang. Samikem
di rumah masih berkaca-kaca. Ketika Kanti pulang, tangis
Samikem pecah. Kanti pun kebingungan.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 129


“Ada apa Mbok? Ada apa ini?” tanya Kanti dengan muka
bingung.
Samikem tampak tidak bisa menyembunyikan kebingungan
dan kesedihannya. Bibirnya komat-kamit tak jelas seperti sedang
merapalkan mantra. Sejurus kemudian, bibir Samikem mulai
mengeluarkan kata-kata meskipun terasa berat.
“Sudahlah Kanti, ini urusan orang dewasa!” ucap Samikem
sambil menangis.
“Ada apa sih Mbok, kok tiba-tiba begini,” tanya Kanti ke-
bingungan sekaligus menyelidik.
Kanti hanya terdiam tanpa kata, tetapi pikirannya dipenuhi
tanda tanya.
***
“Eh, Pak Parta. Silakan duduk. Bagaimana usulan saya ke-
marin? Tertarik?” tanya Juragan Tarno dengan senyum sinisnya.
“Gini Juragan, setelah saya pikir, saya pasrah saja. Saya te-
rima usul Juragan. Namun, saya bingung mau pindah ke mana,”
jawab Parta.
Kemudian Juragan Parta masuk ke kamar. Beberapa menit
kemudian membawa segepok uang ratusan ribu berjumlah
sepuluh juta.
“Nih, uangmu, banyak kan? Utangmu juga sudah lunas.
Untuk masalah pindah, intinya itu urusanmu. Aku hanya mem-
beri waktu seminggu untuk mengosongkan rumah itu. Tahu sen-
diri kan kalau melebihi seminggu maka akan dikenakan biaya
sewa,” ucap Juragan Tarno dengan senyum menyeringai.
Setelah berbasa-basi sebentar, Parta kemudian pamit untuk
pulang dengan perasaan campur aduk antara sedih, bingung,
stres. Ia berjalan sambil melamun bagaimana ia berjuang untuk
membeli tanah dan membangun rumah ketika masih muda.
Tanah dan rumah yang akan ditinggalkannya itu adalah hasil
dia menabung. Setiap sawahnya panen, ia menabung. Sawah
Parta cukup subur dan produktif sehingga tidak mengherankan
bisa panen tiga kali setahun. Irigansi dan airnya cukup baik

130 Menipu Arwah


berlimpah. Parta bingung nanti setelah sampai di rumah harus
berkata apa, terutama kepada Kanti. Kalau Samikem tentu mau
mengerti keadaan yang menghimpitnya ini, tetapi Kanti? Apa
dia mau mengerti? Kanti masih terlalu lugu untuk urusan begini.
Langkah lelah Parta semakin melemah tak secepat biasanya.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi suara sepeda motor
menghampirinya.
“Wah, Kang Parta, dari mana? Sepertinya sedang melamun-
kan sesuatu,” tanya Juragan Dayat.
“Anu, dari rumah Juragan Tarno. Ah, siapa yang melamun
Juragan?” ucap Parta sekenanya.
“Sini naik, ikut saya. Kebetulan saya juga hendak ke rumah-
mu. Ini aku bawakan ubi untuk cucumu Kanti,” ucap Juragan
Dayat sambil menunjukkan ubi yang ada di tas kresek.
“Tak usah Juragan, saya jalan kaki saja,” jawab Parta agak
malu.
“Sudahlah, sini naik!” perintah Juragan Dayat.
Akhirnya Parta pun naik. Meski diboncengkan Juragan
Dayat, Parta masih saja melamun dengan raut muka bingung.
Sepuluh menit kemudian mereka pun sampai di rumah Parta.
Mereka langsung duduk di dekat pohon jambu depan rumah.
Kemudian Parta masuk menuju rumah untuk menyimpan uang
sepuluh jutanya itu. Juragan Dayat disuruh masuk tidak mau
karena ingin suasana yang sejuk jadi tetap di depan rumah di
dekat pohon jambu.
“Bu, buatkan teh manis dua ya?” teriak Parta.
“Oh Bapak sudah pulang. Ada Juragan Dayat?” tanya
Samikem.
“Iya Bu, cepatlah kau buatkan minuman, menyuguh tamu
itu berpahala Bu, meski hanya seteguk air,” ucap Parta dan
kemudian balik ke pohon jambu menemui Juragan Dayat.
Parta dan Juragan Dayat pun ngobrol ke sana kemari. Hingga
tiba-tiba Juragan Dayat bertanya pada Parta.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 131


“Kang, aku perhatikan dari tadi sejak aku boncengkan ke-
lihatannya Kang Parta sedang memikirkan sesuatu hal penting.
Tidak biasanya Kang Parta bersikap dan beraut muka seperti itu.
Ada apa Kang? Cerita saja padaku, siapa tahu aku dapat mem-
bantu,” celetuk Juragan Dayat menyelidik.
“Hmmm, bagaimana ya, Juragan. Saya sebenarnya malu
untuk menceritakan hal ini,” ucap Parta masih ragu-ragu.
“Tak usah sungkan, Kang? Daripada dipendam malah
semakin menekan perasaan dan ujung-ujungnya bisa sakit, kan
nanti Kang Parta juga yang rugi,” desak Juragan Dayat.
“Rumah dan tanah ini sudah aku jual,” Parta tertunduk lesu.
“Apaaaa? sudah dijual ke siapa?” tanya Juragan Dayat kaget.
“Juragan Tarno. Utangku sudah menumpuk dan aku tak
sanggup membayar pokok utang beserta bunganya. Mau tidak
mau ya saya jual. Saya juga butuh biaya untuk kelanjutan Kanti
bersekolah ke SMK. Kalau untuk Kanti, semua dan apa pun akan
saya lakukan. Dia satu-satunya harapan kami dan penerus kami,”
jawab Parta agak terbata.
“Lalu apa kau masih punya uang? Dan setelah ini hendak
tinggal di mana?” tanya Juragan Dayat dengan raut muka serius.
“Uang sisa pembayaran setelah dipotong utang sih masih
ada saya simpan untuk sekolah Kanti, dua bulan lagi kan SMK.
Nah, itu yang aku bingungkan Juragan, kami hendak tinggal di
mana. Kami diberi waktu seminggu untuk mengosongkan
rumah, jika lebih dari seminggu dianggap menyewa. Sawah kami
pun sedang tidak sedang bersahabat terkena hama tikus. Seolah
tak ada harapan buat kami,” ucap Parta berkaca-kaca.
Juragan Dayat terdiam seolah sedang memutar otak. Parta
pun sejenak melamun.
“Begini Kang, aku punya tanah yang bisa kau tinggali. Di
situ ada gubuk kecil juga. Namun, letaknya paling ujung, persis
dekat hutan. Jika Kang Parta mau maka silakan saja. Daripada
tanah dan rumah itu tak berpenghuni dan ditumbuhi ilalang.
Itu gubuk bekas tempat tinggal pekerjaku sewaktu menggarap

132 Menipu Arwah


lahan. Jaraknya cukup jauh dari sini,” ucap Juragan Dayat dengan
senyum khasnya.
Tiba-tiba Samikem membawakan dua gelas teh manis dan
singkong rebus.
“Alhamdulillah Bu, Juragan Dayat memberi kita kebaikan.
Besok kita berkemas pindah rumah,” ucap Parta kegirangan.
Samikem hanya mengangguk kebingungan tak mengerti apa
yang dimaksudkan Parta. Kemudian berlalu.
“Terima kasih Juragan Dayat, sekali lagi terima kasih,” ucap
Parta sambil menyalami Juragan Dayat.
Tiba-tiba Kanti datang dari arah depan dan langsung
menyalami Parta dan juga Juragan Dayat. Kanti habis meminjam
buku dari rumah temannya. Juragan Dayat pun memberikan
ubi untuk Kanti. Kemudian Juragan Dayat pamit pulang. Parta
mengantar sampai ujung rumah. Setelah bunyi motor Juragan
Dayat tak terdengar lagi, Parta pun masuk rumah bersama Kanti.
Tiba-tiba tangis Parta pecah. Lagi-lagi Kanti bingung. Dalam
beberapa hari ini sudah dua kali melihat orang menangis, yaitu
Samikem dan Parta.
***
“Ayo juallah sawahmu itu. Dari pada nanti kau bingung
sendiri. Sawah kanan kiri depan belakang sudah terjual. Apa
kau tidak ingin hidup bahagia?” bujuk Juragan Tarno.
“Tidak akan kujual sawah itu sampai kapan pun!” jawab
Parta.
Sekarang Juragan Tarno mengembangkan bisnis baru, yaitu
sebagai pengembang perumahan. Sawah-sawah di sekeliling
sawah milik Parta hampir semuanya telah dijual. Hanya sawah
Parta dan segelintir orang yang tidak mau dijual. Sudah berkali-
kali Juragan Tarno merayu. Namun, Parta seolah mengalami
trauma jika berurusan dengan Juragan Tarno. Ya karena Juragan
Tarno terkenal licik. Awal-awal meminjam uang pasti baik dan
cenderung memberikan dalam jumlah banyak dengan syarat
orang yang meminjam memiliki tanah maupun sawah luas.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 133


Pernah teman Parta yang bernama Ngadireja meminjam uang
pada Juragan Tarno, boro-boro dikasih pinjaman, dimaki-maki
iya. Itu karena Ngadireja hidupnya saja numpang, dia lebih tragis
kisah hidupnya dibanding Parta.
Parta pergi ke Sawah untuk melihat sawahnya yang babak-
belur dihajar tikus. Dalam hati ia menangis melihat sawah ke-
banggaannya. Itulah sawah warisan orang tuanya. Sejak Parta
kecil hingga dewasa hingga sekarang sudah memiliki cucu, ke-
hidupannya seolah berada di sawah. Sawah adalah hidupnya.
Kini Parta hanya menatap sawahnya yang sudah terkepung oleh
benteng-benteng perumahan. Ya, semua sawah di sekeliling sawah-
nya sudah ditimbun tanah dan siap menjadi perumahan baru.
Benar-benar di kelilingi benteng baru. Sawah Parta sudah seperti
sebuah kolam di antara pekarangan. Parta bingung jika sudah
benar-benar berdiri perumahan maka dia tidak memiliki jalan
menuju sawahnya. Kesempatan bertanam padi hanya untuk kali
ini saja sebab bulan depan sudah dimulai pembangunan pe-
rumahan.
“Ini kesempatan terakhirku bercocok tanam. Ke depannya
entah bagaimana. Aku sudah berjanji pada orang tuaku dulu
untuk tidak menjual sawah ini pada siapa pun. Janji adalah utang
yang harus ditepati bagaimana pun jua. Setidaknya meski aku
tidak menggarap sawah ini kemudian hari, sawah ini akan tetap
memiliki manfaat bagi orang-orang sekitar perumahan, dari ila-
lang dan tanaman liar yang tumbuh akan menghasilkan oksigen
dan udara bersih. Itu saja sudah cukup membuatku bahagia,”
Parta berkata dalam hati.
Lamunan Parta kembali hadir. Masa kecilnya yang suka
mencari ikan betok dan ikan gabus di sawah, juga belut-belut
kesukaannya. Parta juga mengingat orang tuanya yang selalu
membawakan nasi penggel setiap pergi ke sawah dengan lauk
khasnya ikan asin dan sayur pepaya. Kisah pertemuannya de-
ngan Samikem pun ikut tergambar. Terbayang lagi kebiasaan
orang tuanya sebelum mengolah sawah, yaitu syukuran di ping-

134 Menipu Arwah


gir sawah dengan membaca doa dan acara makan bersama te-
tangga penggarap sawah. Ingatan juga melayang pada teman-
teman kecilnya yang biasa berkejaran sambil mencari belalang.
Jika musim kemarau, merupakan masa menggembirakan karena
ia bisa bermain layang-layang di sawah. Layang-layang buatan
sederhana dengan kertas daur ulang. Masa kemarau juga me-
rupakan masa indah bagi Parta kecil sebab orang tuanya pasti
menanam kacang hijau. Setelah panen kacang hijau pasti orang
tua Parta akan masak bubur kacang hijau kesukaannya.
***
Tiga bulan kemudian, Parta mengalami kekecewaan yang
luar biasa. Pertama, sawah andalannya rusak lagi oleh tikus-
tikus yang merajalela. Tikus seolah tak terkendali. Ya, tikus yang
biasanya tak suka mengusik sampai keterlaluan, tiba-tiba beranak
banyak dan merusak. Itu terjadi karena hanya sawah Parta yang
menjadi sumber mencari makan, sedangkan sawah lainnya telah
menjadi perumahan. Tikus menjadi suka bersembunyi di got
dan perumahan. Kalau malam tikus itu beroperasi bak pasukan
berbaris di sawahnya.
Kekecewaan berikutnya adalah pohon singkong dan kacang
tanah yang ditanam di tanah milik Juragan Dayat, rusak oleh
kawanan babi hutan yang turun gunung. Kebun pisangnya yang
siap matang juga rusak oleh kawanan monyet kelaparan. Hal
itu menurut pemikiran Parta ditengarai karena pembalakkan liar
yang sangat meresahkan. Babi hutan dan monyet kehilangan
tempat tersingkir oleh pembalak kayu. Otomatis tanaman sum-
ber makanan hewan tersebut ikut rusak. Pembalak liarnya adalah
penduduk setempat teman Parta juga. Parta pun tak bisa berbuat
apa-apa, mereka juga sama kelaparannya seperti babi hutan dan
monyet liar.
Kanti sudah masuk SMK. Uang sepuluh juta yang disimpan-
nya mampu mencukupi biaya masuk Kanti dan untuk membayar
SPP beberapa bulan ke depan. Hanya hal itu yang membuat Parta
tersenyum. Walaupun Parta masih tanda tanya keberlangsungan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 135


pendidikan cucunya itu, mampu hingga lulus SMK atau tidak.
Namun, salah satu impian Parta, yaitu menyekolahkan Kanti
sudah terwujud meski di semester awal. Samikem juga sudah
mampu tersenyum kembali, tidak seperti beberapa bulan yang
lalu sering melamun dan menangis tidak jelas.
Berkali-kali pihak pengembang perumahan, yaitu Juragan
Tarno menawarkan segepok uang. Namun, Parta tetap pada
pendiriannya hingga Juragan Tarno jengkel. Karena kejengkelan-
nya itu, juragan Tarno menutup akses jalan menuju sawah. Parta
pun tak bisa berbuat apa-apa, ia hanya pasrah. Dalam kepasrah-
annya itu, Parta tetap bertahan dan tidak mau menjual sawahnya.
Parta membiarkan sawahnya ditumbuhi ilalang di musim ke-
marau dan membiarkan sawahnya bak danau ataupun mata air
di antara gundukan benteng perumahan. Parta cuek. Janji adalah
janji.
Sekarang musim penghujan. Seolah terkena teguran keras,
Juragan Tarno dikomplain banyak orang perumahan karena
ketika musim hujan perumahan benar-benar terendam banjir.
Genangan air seakan tak mau mengalir. Orang-orang perumahan
ramai-ramai mengungsi. Tidak ada resapan air, semua sudah
menjadi benteng beton. Sawah Parta semakin ramai bunyi katak
bersorak dan bernyanyi. Wabah pes dan leptospirosis juga men-
jadi ancaman lain yang dialami orang-orang perumahan. Tikus-
tikus got terbawa arus yang hanya berkutat di perumahan saja.
Orang-orang perumahan terus berdemo menuntut pengembalian
uang pada Juragan Tarno. Juragan Tarno terancam bangkrut.
Mendengar perumahan dan permasalahan yang dihadapi
orang-orang perumahan, serta Juragan Tarno yang terancam
bangkrut, Parta hanya memandang jauh tanpa komentar. Ia
hanya ingin melihat sawahnya seperti apa. Setelah melihat secara
langsung ke perumahan, Parta tampak kebingungan dan hanya
mengatakan
“Benteng telah roboh. Sudah jadi danau!”

136 Menipu Arwah


Ketika Plot Mencipta Alurnya

Rina Susi Cahyawati


Guru MTs Negeri 4 Boyolali

Jadi waktu itu aku sempat ingin memasang tanda huruf “I”
dicoret yang kuartikan sebagai “dilarang iri”. Siapa yang bilang
manusia itu dilarang iri? Kata mereka iri itu tidak baik, tidak
bagus, dosa, perbuatan tercela, dan seluruh kumpulan kata-kata
tidak terpuji lainnya yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Ah, entah itu benar atau memang tidak salah. Hari
ini aku bisa berdiri di sini memegang tropi karena iri, senyum
sana-sini hingga membuat kepercayaan diriku kembali. Setelah
sekian lama miskin ide dan melarat eksekusi, setelah penantian
yang nyaris membuatku berpikir untuk menjual laptop dan
menggadaikan diri dalam sebuah lembah kesukaan lain, bukan
ini, bukan penulis seperti layaknya mereka mengenalku dulu.
Dulu yang dahulu sekali.
***
Langit yang kupandang siang ini masih sama. Aku ber-
syukur masih bisa menangkap setiap pergerakan awan yang se-
perti melaju perlahan menari-nari bagaikan peri yang jatuh cinta.
Cinta, ah dia lagi. Sosok Cinta selalu jadi peran utama. Tidak
seperti Alana yang harus rela menjadi alas karena ditindas.
Semoga hanya perasaanku saja. Namun, entah mengapa semua
tampak nyata.
Sebuah kertas berisi print out sebuah sayembara menulis
menjadi penampakan pertama di meja kerja dalam kamarku. Se-
buah meja yang ingin segera kutendang karena tak lagi mem-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 137


berikan ide-ide segar bagiku. Namun, itu baru tahap niat karena
nyatanya aku tidak bernyali untuk itu. Untuk membuang semua
kenangan dan untuk menjadi jahat karena kekesalanku yang
telah meradang. Yah, setidaknya aku bersyukur karena mungkin
aku tidak sejahat itu, meski aku mulai ragu. Orang jahat mana
yang dengan suka rela menyebut dirinya jahat.
Ponselku bergetar. Sebuah pesan tampak masuk dari sebuah
aplikasi pengiriman pesan. Tak hanya tulisan dua buah foto pun
berhasil masuk dalam ruang pesanku. Kiriman itu berhasil meng-
intimidasiku. Seorang aku yang sedang patah dan mencari arah
malah mendapati sebuah celah yang berisi sampah. Sang Cinta
dengan gaya manis dan tingkah polosnya mengirimi kabar
bahwa dia memenangkan satu kompetisi lagi bulan ini. Sebuah
kabar yang disertai dengan foto pengumuman lomba dan foto
hadiah yang didapatkan. Luar biasa itu bahkan dilakukan oleh
seseorang yang selalu menyebut dirinya pemula. Aku lebih suka
menyebutnya amatir kelas kakap. Atau mungkin sebenarnya dia
hanya berpura-pura. Berlindung di balik kaca mata pemula
padahal dia adalah dewa segala dewa.
“Aku menang lomba lagi, Kak. Nggak nyangka aku. Tadinya
cuma kirim stok cerita lama yang sudah mendekam di folder
laptopku. Eh, malah menang,” kata Cinta yang tiba-tiba masuk
ke kamarku tanpa permisi dengan langkahnya yang lembut dan
suaranya yang tampak diseret-seret. Dress panjang selutut ber-
warna merah muda dengan aksen bola-bola putih tampak me-
lambai-lambai seperti ikut serta mengejekku seperti puannya.
Jujur saja rutinitas yang selalu ditampilkannya saat di depanku
akhir-akhir ini sangat membuatku muak. Namun, aku tidak atau
mungkin belum menampakkan rasa muakku padanya. Belum
ada cara yang elegan untuk membalas semua kenaifannya padaku.
“Selamat Cinta.” Hanya itu dua potong kata yang kuhadiah-
kan padanya. Lalu dengan sedikit menyamarkan wajah kesalku
kepadanya kupaksakan bibirku membentuk sudut-sudut se-
nyuman. Kemudian tanganku bergerak aktif mengumpulkan

138 Menipu Arwah


kertas-kertas yang kucoret-coret untuk bahan tulisanku kelak.
Namun, gerakan tanganku yang awalnya lincah terhenti dengan
ocehan seorang Cinta yang tampak sedang memujiku dengan
cara merendahkan.
Paradoks.
“Aku sebenarnya merasa tidak pantas merebut gelar juara-
nya itu, Kak. Harusnya Kau yang meraih juara pertama. Bukankah
Kau juga ikut sayembara menulis itu. Kualitas tulisanmu jauh
lebih keren dari tulisanku yang cuma abal-abal,” katanya sesaat
setelah duduk di tepi ranjangku. Aku yang tadinya membe-
lakanginya karena berusaha menyibukkan diri untuk merapikan
meja kerjaku mencoba berbalik untuk melihatnya dan mendengar-
kan ocehannya. Lagi.
“Kau berhak mendapatkannya, Cinta. Kau telah berusaha
dengan sangat keras hingga Kau mampu meraih itu semua,”
balasku mencoba berkata dengan nada datar. Kusandarku tubuh-
ku di depan meja kerjaku agar kami dapat mengobrol bebas.
Ah, sesungguhnya aku hanya mencoba untuk menyamankan diri
karena sekarang setiap jengkal pertemuan-pertemuan dengan-
nya selalu mengancam. Kalau bisa aku justru ingin menghindari-
nya. Semakin sering aku bertemu dengannya semakin aku ingin
melenyapkannya. Selamanya.
“Ah, Kau berlebihan memujiku, Kak. Aku tidak sekeras itu
berusaha. Aku cukup malas sebenarnya. Asal saja merangkai
kisah. Entah mengapa akhir-akhir ini semua tampak sempurna.”
Dia menelengkan kepalanya ke arahku. Tak lupa setiap senyuman
selalu menutup kata-kata terakhirnya. Kugigit bibir bawahku.
Sungguh dia adalah jelmaan kekesalan yang nyata.
Lantas apa dia bilang tadi? Kugosok-gosok perlahan kedua
daun telingaku dengan telapak tanganku yang lembab. Jika te-
lingaku tak salah menangkap makna, maksud dari perkataannya
adalah bahwa dia sebenarnya dapat menulis dengan mudah dan
hasilnya adalah tulisan-tulisan yang indah. Tanpa kerja keras
dia mampu meraih berbagai gelar juara dalam kompetisi menulis.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 139


Dia mengatakannya dengan santai di depanku yang saat ini
bergelung pada putaran roda poros bawah. Seolah menyemaikan
garam pada lukaku yang menganga meradang.
“Itu artinya Kau berbakat dari awal, Cinta,” sahutku asal
saja.
“Tidak Kak, kalau berbakat mana mungkin dulu aku me-
rengek padamu dan memohon agar Kau menjadi guru menulis-
ku,” sahutnya sambil menopang dagunya di atas kedua kakinya
yang disilangkan dan bergoyang-goyang.
“Sebenarnya Kau tidak harus melakukannya karena kau
sebenarnya bisa tanpa aku,” jelasku langsung saja tanpa me-
nunggu jeda waktu yang terlalu. Dia tampak terkejut. Kakinya
yang bergoyang-goyang pun ikut diam. Lalu dia menegakkan
duduknya. Kedua tangannya dilipat di depan dada.
“Kau hebat dalam merangkai kata, Kak. Hanya sepertinya
kau sedang krisis ide. Maaf jika aku sedikit mengritikmu. Ku-
harap kau suka dikritik karena itu baik untukmu. Aku tidak
ingin guru menulis yang kupuja justru berada di bawah kaki
anak didiknya yang seperti aku ini. Kau akan kembali menjadi
Alana sang jenius imaji tidak seperti Alana yang ada di depanku.
Tampak menyedihkan. Seperti terbuang atau kau memang
sedang menunggu dibuang. Dibuang oleh penikmat karyamu.
Aku salah satunya. Haduh bicara apa aku ini, Kak. Maaf kalau
kelepasan. Oiya kau mau pergi sepertinya. Nanti malam bisa
temui aku di kafe biasa. Aku ingin menraktirmu. Aku dapat
transferan hadiah lagi kan, Kak. Rekeningku sedang sedikit obe-
sitas. Aku ingin membuatnya sedikit diet.” Dikedipkannya se-
belah matanya.
Dia lalu beranjak dari tepi ranjangku dengan gaya yang
anggun tanpa menunggu persetujuanku untuk memenuhi
undangannya atau tidak. Kemudian diraihnya tas tangan dari
merek ternama limited edition. Setelah itu dia berbalik dan berjalan
menuju pintu kamarku sesaat setelah meninggalkan senyuman-
nya sebagai persembahan terakhirnya hari ini untukku. Lalu aku

140 Menipu Arwah


hanya menyaksikan semua itu seperti orang bodoh yang tidak
berdaya dan kehilangan harga dirinya. Bahkan untuk sekadar
membalas kata-katanya saja energiku sirna.
Kuhempaskan badanku kasar pada ranjangku yang tadi telah
dia duduki. Ingin rasanya aku bergelung di sana dan menyem-
bunyikan semuanya dalam selimutku yang tampak nyaman.
Gadis itu, Cinta, luar biasa menyeramkan. Dia tampak berbeda
dari Cinta yang kukenal beberapa bulan lalu. Cinta yang satu
ini begitu hitam hingga aku tidak bisa menebak arahnya. Apa
yang terjadi dengan Cinta yang dulu? Kuhela napasku perlahan.
Mataku terpejam dalam tenggelamnya air mataku yang
tampak telah menggenang. Panas dan perih sekali rasanya.
Rasanya aku baru saja terluka karena ulah seorang gadis.
Layaknya guru yang ditampar bertubi-tubi oleh anak didiknya
sendiri. Guru macam apa aku ini?
Ironis.
Jadi, ide cerita ya. Tampaknya gadis kecil itu telah berani
menghujaniku dengan kritik. Namun, ada benarnya juga. Apa
sekarang aku harus berterima kasih dengan muridku yang ku-
rang ajar itu? Dia benar karena nyatanya aku memang mem-
butuhkan bank ide yang segar. Kembalikan jiwa menulisku yang
biasa!
***
Dia adalah alur yang aku cari.
Pukul 19.08 aku telah sampai di pelataran parkir kafe yang
dijanjikan Cinta. Dia telah mengundangku untuk sedikit me-
ngempiskan rekening yang katanya mendadak obesitas berkat
hadiah-hadiah dari sayembara menulis yang dia menangkan
belakangan ini. Sebenarnya aku malas untuk memenuhi undang-
an itu. Bisa jadi aku akan menyaksikan drama-drama Cinta se-
cara live. Aku heran apa yang bisa membuat Cinta tak lagi seperti
Cinta yang kukenal.
Kakiku masih melangkah mencari-cari sosok Cinta di antara
pengunjung lainnya. Namun, hasilnya nihil. Sosoknya yang

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 141


memang tampak menonjol dengan kecantikan dan postur tubuh-
nya yang sempurna sepertinya belum hadir di kafe ini. Dia ter-
lambat atau aku yang memang terlalu antusias untuk mengharap
sebuah makan gratis.
Ah, miris.
Di tengah kesibukanku dengan pemikiran-pemikiran yang
menyebalkan badanku sedikit limbung berkat seseorang yang
sepertinya menabrakku dengan sengaja dari belakang. Aroma
parfumnya menyeruak dari arah belakang. Cuping hidungku
telah membelenggu aroma yang sudah sangat kukenal.
“Kau datang, Kak. Syukurlah. Kupikir kau akan menolak
ajakan makan malamku. Yuk ah, aku sudah memesan tempat di
suatu sudut.” Cinta menarikku sedikit memaksa. Aku hanya
pasrah saja. Kami berjalan menyelinap di antara kursi-kursi pe-
ngunjung. Aku agak sangsi ketika dia mengatakan telah me-
milih sudut untuk kita duduk. Dia telah terbiasa menjadi pusat
perhatian mana mungkin dia memilih sudut yang sulit dijangkau
oleh penglihatan pengunjung lainnya.
Dugaanku benar. Kami sampai pada tempat duduk yang
menjadi sentral kafe ini. Semua pandangan para pengunjung lain
dapat merekam seluruh kejadian. Bahkan kamera cctv tidak akan
melewatkan sedetik pun momen kami. Ah, rencana-rencana
akankah terlaksana. Aku gelisah.
“Duduklah, Kak,” perintahnya padaku. Aku menyambutnya
dengan anggukan dan senyuman. Kami duduk berseberangan
pada sebuah meja berbentuk lingkaran. Meja kayu yang dise-
limuti selembar kain lembut berbahan satin berwarna pastel.
Cantik sekali. Sangat serasi dengan Cinta. Tak butuh waktu lama
dia adalah magnet yang saat ini sering menarik bola mata pe-
ngunjung kafe ini untuk selalu berarah padanya. Tidak hanya
kaum adam, kaum hawa pun ikut terpikat dengan tatapan iri.
Iri dengan semua padanya yang tampak luar biasa.
“Hei Kak. Tadi siang aku meninggalkan selebaran sayem-
bara menulis di mejamu. Temanya tentang wanita. Apa Kau

142 Menipu Arwah


sudah membacanya?” tanyanya sambil membolak-balikkan buku
menu di depannya tanpa menatapku.
“Iya, sudah kubaca. Terima kasih infonya Cinta,” jawabku
datar.
“Ikutlah, Kak.” Sesaat dia menatapku. Tatapan yang tajam
menghujam. Seperti sebuah perintah yang menuntut.
“Kau ikut?” tanyaku padanya.
“Tergantung Kamu,” jawabnya datar.
“Maksudmu?”
“Kau ikut. Aku ikut. Kau mundur. Kupaksa kau hingga kau
bersedia untuk hancur.” Aku diam mencerna seluruh kata-
katanya. Sadis. Gadis manis layaknya pemeran utama di drama
Korea yang sering kutonton ini ternyata bisa bermain antagonis.
Aku terdiam.
“Jangan bungkam, Kak. Kau membosankan jika seperti ini.
Maaf aku benci manusia lemah.” Aku memilih untuk tetap diam.
Mengamati. Mencoba memahami. Dia cukup lama menunggu.
Terlihat begitu penasaran dengan reaksiku dengan semua per-
buatannya kepadaku.
“Eh, maaf, Kak. Bicara apa aku tadi,” katanya kemudian
sambil sedikit tersenyum dan menutup mulutnya dengan jemari
kanannya yang putih dan lembut. Dahinya yang tertutup poni
rambut ditepuknya berkali-kali.
“Tidak masalah, Cinta. Kita memang terkadang susah
mengontrol diri.”
“Seperti Kau yang tidak bisa mengedalikan diri untuk
menyerah pada keadaan. Ah sudahlah. Aku mau makan pesanan
sudah datang. Kau bawa hand sanitizer, kak. Tanganku kotor
tetapi aku malas cari wastafel.”
“Ini.” Kuserahkan botol kecil kepadanya. Dengan sigap dia
mengusap seluruh sela-sela jarinya. Sesaat dia terdiam lalu
mencoba membaui tangannya. Dahinya mengernyit. Aku hanya
mengamatinya dengan rasa tak peduli.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 143


“Ini cairan pembersih tangan baru, Kak. Mengapa tidak ber-
bau? Biasanya kan ada wangi yang menyegarkan.” Aku hanya
menaikkan bahu sembari melanjutkan aktivitas makanku. Melihat
reaksiku yang mungkin membuatnya kesal dia pun dengan
segera mulai menyobek pizza dan memakannya dengan lahap.
Lelehan keju yang tampak melinkar di jarinya tak dibiarkan
begitu saja. Dia membersihkan lelehan keju itu dengan menjilati
jari-jarinya. Agak menjijikkan sebenarnya tetapi karena pelakunya
adalah Cinta dia justru tampak seperti model iklan makanan.
Ish.
Kami makan dalam diam. Dia tidak tertarik untuk merun-
dungku. Sementara aku tidak ada niat untuk membuka sebuah
percakapan. Sejujurnya terkadang diam itu lebih baik daripada
mengoceh hal-hal remeh yang tidak penting. Aku menikmati
semuanya. Hingga akhirnya dia tampak gelisah.
“Kak, sepertinya aku tiba-tiba merasa tidak fit. Apakah aku
makan terlalu banyak karena terlalu gembira? Atau efek karena
lama begadang di depan laptopku? Tapi mengapa tiba-tiba aku
merasa mual juga. Lantas mengapa kepalaku pusing, Kak? Aku
merasa sesak sekali rasanya. Apakah udara di sekitarku mulai
berkurang intensitasnya?” Di hapusnya peluh dengan punggung
tangannya.
Aku tidak membalas sepatah kata pun. Semua pertanyaannya
hanya kudengarkan dengan mata. Kulihat saja reaksinya. Aku
tidak sedang ingin meladeninya. Lihat saja siapa yang sekarang
memohon?
Bruk. Cinta tampak terkulai perlahan-lahan. Aku hanya
membantunya mendapatkan posisi yang enak. Kusingkirkan
gelas dan piring di depannya. Kuletakkan kepalanya di atas
tangannya.
Setelah lemas kau akan merasakan sensasi dari racun yang
kau pikir hand sanitizer. Nyatanya itu adalah racun yang dengan
suka rela kau ratakan di kedua tanganmu. Ah, kebiasaanmu yang
sering makan dengan tangan, menjimpit, dan menjilat setiap yang

144 Menipu Arwah


tersisa dijarimu ternyata mengantarkan racun itu masuk ke dalam
pencernaanmu. Dengan perlahan lalu mendekam di sana.
Kemudian membuatmu pergi selamanya. Sungguh aku tidak
menginginkan itu sebenarnya. Bagaimanapun dulu kau ada
dalam bagian-bagian indah di hidupku? Sampai entah setan apa
menarikmu dalam lembah hitam lalu mencucimu dengan kotoran
yang amat menjijikkan hingga aku tak lagi merasa nyaman di
dekatmu. Kenyamanan yang perlahan berubah menjadi ancaman.
Setelah memastikan dia tidak sadarkan diri. Kukeluarkan
laptop kesayanganku dari dalam tas punggungku alih-alih
menelepon ambulans atau meminta bantuan lainnya. Aku tidak
berniat jahat padamu Cinta. Aku jusru sedang memenuhi ke-
inginanmu. Kau bilang aku sedang darurat ide atau semacamnya.
Sekarang aku sedang mengeksekusi alur itu. Berkat kau aku
memiliki cerita baru. Aku menemukan alurku. Kau meniupkan
kembali ruhnya. Namun, sayangnya harus ditebus dengan
nyawamu. Ini pilihan yang sulit sebenarnya. Mempertahankanmu
dengan segala mimpimu yang ingin melihatku lebur atau
menemukan alurku dengan menjadikanmu sebagai tumbalnya.
Jadi, aku memilih hidup dengan mimpiku.
Aku telah selesai dengan sebuah kisah yang siap kuikut-
sertakan untuk menyemarakkan sayembara menulis dengan tema
wanita. Tak butuh waktu lama bagiku menyelesaikan semuanya.
Kau bertanya padaku apakah aku akan ikut kompetisi itu. Tentu
inilah jawabannya. Kita bertarung.
Kuraih ponselku di dekat laptopku. Kutekan nomor-nomor
yang memang kusiapkan. Pertama, nomor ambulans agar segera
memberikan pertolongan padamu. Kedua, nomor polisi karena
aku akan menyerahkan diri. Kegilaan macam apa yang telah
membuatku menjadi seperti ini. Aku telah menyelesaikan kisah-
mu. Rasanya tak menarik jika tanpa ada perlawanan darimu.
Maka aku memutuskan untuk menyelamatkanmu dan mem-
buktikan padamu bahwa aku tetaplah penulis imaji yang telah
bangun dari tidur panjangnya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 145


Dua sirine mobil yang bersifat serupa tetapi tak sama tam-
paknya telah ikut dalam perayaan ini. Aku siap dengan semua
risikonya. Selamatkan Cinta dan cecarlah Alana dengan semua
tanya. Aku sudah siap dengan pembelaan.
Aku beranjak untuk berdiri. Kubangunkan Cinta yang terlalu
lelap hingga seperti tak sadarkan diri.
“Bangun Cinta. Kafe hampir tutup. Ayo pulang!” Cinta
menggeliat.
“Aku tertidur, Kak? Maafkan aku.” Ditegakkan badannya.
“Tak masalah. Ayo pulang,” ajakku.
“Aku seperti mendengar ada suara ambulans dan mobil
polisi. Ada apa di luar sana?” Aku mengernyit. Lalu tersenyum.
“Kau bermimpi? Aku tak dengar apa pun.” Kugelengkan
kepalaku.
“Benarkah?” tanyanya memastikan.
Kau yang mengajakku bermain peran. Aku sedang memain-
kan peranku. Apakah mimpimu terhubung dengan isi cerpenku?
Aku menyebut tentang ambulans dan mobil polisi ternyata kau
mendengarnya. Apakah kau memang jenius dapat membaca
cerpenku dalam lelapmu?
Dalam cerpenku aku memang menyerahkan diriku pada
polisi setelah melenyapkanmu. Dalam cerpenku aku memang
berhasil menghilangkan nyawamu. Dalam cerpenku aku telah
mengusirmu yang telah setia merundungku. Yah, itu semua
dalam imaji cerpenku. Aku tak mungkin bernyali melakukannya
dalam dunia nyata. Semarah apa pun aku padamu aku tetap tak
mau bergelar jahat. Ada hal lain yang bisa kulakukan untuk
menangkis semua keburukan itu. Tentunya dengan cara elegan
aku menghadapi ujianku. Melakukan cara bar-bar sungguh itu
bukan aku?
***
Malam ini adalah malam penganugerahan yang kutunggu.
Akhirnya sebuah pembuktian berhasil kuwujudkan dengan
meraih juara dalam sayembara menulis ini.

146 Menipu Arwah


“Wah, selamat, Kak. Akhirnya aku menemukan kembali
idolaku yang telah lama tenggelam,” kata Cinta dengan berge-
layut manja di lenganku.
“Maksudmu dengan idola yang tenggelam?” Dahiku ber-
kerut.
“Asal Kau tahu saja belakangan aku sedih sekali. Aku tak
lagi melihat aura positif darimu. Jiwa gladiator dalam menulis
yang kau miliki itu tak dapat kutemukan lagi. Melihatmu yang
lemah dan payah itu sungguh membosankan.”
“Lalu?” tanyaku penasaran.
“Aku bingung bagaimana menolongmu dari palung yang
menyeretmu hingga jauh sementara aku sendiri tak begitu pan-
dai menyelam. Aku sempat khawatir efeknya akan berpengaruh
padaku. Aku pun tidak mau jatuh ke palung yang sama dengan-
mu. Kau tahu keburukan kadang menular?” Dia menjulurkan
lidahnya.
“Dan upayamu untuk itu?”
“Tentu aku bermain peran. Orang sepertimu agak susah
dinasihati. Tidak suka digurui. Orang sepertimu lebih tepat jika
dirundung agar tak murung. Kau itu tipe orang yang ketika
ditindas akan memanas. Layaknya diesel. Harus menunggu
treatment baru panas.”
“Jadi?” tanyaku tertarik dengan argumennya.
“Ya, aku ini mungkin ibarat pancing untukmu. Sebelum me-
lakukan rencana itu aku sudah berkontemplasi cukup lama. Kau
tahu sebenarnya aku pun tidak begitu yakin dengan hasilnya
karena jika usahaku tidak berhasil mungkin Kau akan mem-
benciku seumur hidupmu. Membayangkan itu aku bergidik
ngeri. Dibenci oleh idola itu adalah big no no.”
“Dan selamat tampaknya Kau berhasil, Cinta. Kau pandai
memainkan peranmu. Jadilah aktris dan berhentilah menjadi
penulis.” Aku tersenyum padanya.
“Kau bercanda Kak. Menulis adalah napasku. Jika aku
berhenti menulis maka itu sama saja kau menyuruhku untuk

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 147


mengakhiri hidupku. Oiya, ngomong-ngomong boleh kubaca
cerpenmu yang juara satu itu. Aku penasaran dengan isinya.
Apa cerita yang Kau tulis setelah sekian lama kau bersepakat
ingin menggadaikan kemampuan menulismu?” Aku meng-
angguk. Dia menunggu.
Kubuka isi tas punggungku. Setelah mendapatkan lembaran-
lembaran cerpen yang kutulis langsung kuserahkan kepada yang
meminta. Cinta menerima dengan antusiasme tingkat tinggi. Dia
lalu berlari menyeruak keramaian menuju sebuah sudut ruang
penganugerahan ini. Kemudian dia duduk dengan anggun dan
mulai menekuni lembar demi lembar cerpen yang kutulis. Dari
jauh dapat kutangkap gerak-geriknya dan ekspresi wajahnya
yang bisa kutebak. Aku tersenyum saja menyaksikan semua itu.
Pada dasarnya aku menyayanginya seperti adikku. Namun, aku
sempat membencinya karena muak dengan siklus perubahan
sifatnya yang luar biasa menjengkelkan. Kemudian aku kembali
memberikan kasih kepadanya karena nyatanya perubahan
sikapnya yang sedemikian rupa adalah karena ingin menye-
lamatkanku. Aku pantas untuk berterima kasih untuk itu.
“Bagaimana Cinta?” tanyaku menggodanya.
“Kak ini?” Dia mendongak ke arahku yang saat ini berdiri
di sampingnya.
“Apa Kau mengalami semacam dejavu ketika membaca-
nya?”
“Cinta itu aku dan Alana itu Kamu? Pertemuan kita di kafe
itu? Dan racun? Apa Kau mencoba melenyapkanku?” Wajahnya
yang putih berubah pucat.
“Pertanyaanmu banyak sekali. Mana dulu yang harus ku-
jawab?”
“Kak ini kan?” tanyanya kembali.
“Iya, malam itu pertemuan yang Kau bilang sebagai sebuah
perayaan ketika kau menang sayembara lagi dan ingin membuat
rekeningmu sedikit diet, kau terus saja mengoceh dan merendah-
kanku. Seakan-akan jari-jariku ini sudah alergi dengan keyboard

148 Menipu Arwah


laptopku. Seakan-akan otakku sudah penuh hingga tidak mem-
berikan toleransi dengan datangnya ide baru. Di saat itulah aku
menemukan sebuah ide cerita. Bukankah Kau yang mengatakan
bahwa aku sedang mengalami fase krisis ide. Terima kasih,
kemenangan ini juga berkat kau.”
“Dan ide yang Kau temukan adalah?” tanyanya memastikan.
“Tepat seperti dugaanmu. Aku hanya sedang memosisikan
diri berada sebagai penulis yang nyaris pensiun karena merasa
semesta tak lagi memberikan dukungan untuk mencipta karya.”
“Apa itu titik terendah dari hidupmu, Kak?”
“Sebagai seorang penulis sepertinya memang itu adalah
lembah yang sangat dihindari.” Aku tersenyum kecil.
“Kak, aku memang memberimu sejengkal ide waktu itu.
Dengan lugas mengatakan padamu bahwa idemu tampaknya
tak lagi segar. Namun, aku heran mengapa jalan cerita semacam
ini yang Kau pilih? Aku penasaran dengan proses kreatifmu.”
“Ah, nona muda, apakah melenyapkan nyawa seseorang
itu ada proses kreatifnya?” Aku menyentil dahinya. Dia meng-
usapnya perlahan.
“Bukan itu maksudku. Aku hanya penasaran mengapa harus
seperti itu ceritanya, Kak. Ini sungguh jahat.”
“Bilang saja Kau ingin tahu mengapa kau yang jadi korban-
nya. Begitu kan?” Cinta mengangguk pelan sambil memamerkan
deretan giginya yang kecil berbaris rapi. Dia tampak malu-malu
mengakuinya.
“Menurutku seseorang yang ditindas punya dua jalan pilihan
untuk menyelesaikan masalahnya. Pertama, dia akan semakin
terpuruk dan akibatnya menarik diri dari hingar bingar. Semen-
tara kedua, dia akan berontak. Menjadi lebih beringas dan
keras,” jawabku tegas. Cinta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kau tipe kedua,” tebaknya kemudian.
“Seperti penilaianmu. Ya sudah ayo sekarang kita ke kafe
biasa. Gantian aku yang membelanjakan sebagian hadiahku
untukmu. Aku pun tidak ingin rekeningku mengalami obesitas.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 149


Cinta hanya diam terpaku di tempat duduknya. Dia tampak
menimbang-nimbang ajakanku. Biasanya dia tidak pernah
berpikir dua kali jika aku mengajaknya melakukan kegiatan
apapun. Namun, kali ini berbeda. Apakah mungkin ini semacam
kejadian luar biasa? Seperti bukan Cinta yang manis maupun
Cinta yang antagonis melainkan Cinta yang skeptis.
“Mengapa diam? Kau menolak ajakan kakakmu?” tanyaku.
“Aku hanya sedang berpikir. Kau tidak sedang membuat
cerita di cerpenmu menjadi nyata kan, Kak,” jawabnya dengan
suara rendah.
“Maksudmu Kau takut aku benar-benar berniat menghilang-
kan satu-satunya nyawa yang Kau punya? Ayolah berhenti ber-
pikir buruk tentangku. Kutegaskan, ini hanya cerita. Bagian dari
imajinasi.”
“Kalau begitu boleh aku periksa tas punggungmu. Kalau-
kalau ada sesuatu”
“Terserah Kau saja.” Kuserahkan backpack biru dongker ke-
sayanganku kepadanya. Dengan sigap dia menerimanya lalu
mengobrak-abrik isinya. Aku hanya diam saja melihat kelakuan-
nya yang tiba-tiba ajaib seperti ini. Cinta yang tadinya berse-
mangat langsung diam. Tangan kanannya masih berada di dalam
tasku. Apakah dia menemukan sesuatu yang dipandang bahaya?
“Ini apa, Kak?” tanyanya padaku sambil menunjukkan botol
kaca kecil yang berisi cairan bening. Aku tersenyum lebar hingga
gigi geraham gingsulku menyeruak dan terlihat menonjol tidak
proporsional.
“Menurutmu apakah itu racun?” godaku padanya.
“Jangan membuatku takut, Kak!” Dia menyandarkan
tubuhnya di kursi.
“Apakah Kau baru saja menunjukkan sikap defensif?”
“Sudahlah Kak jangan menggodaku lagi!”
“Itu aseton Sayang. Dua hari lalu aku membeli kuteks baru.
Warnanya silver tua. Namun, kurasa tak cocok dijariku. Terlalu

150 Menipu Arwah


dark. Jadi tadi sebelum ke sini aku melipir beli aseton. Niatnya
ingin kuhapus saja dari jariku.”
“Sungguh aku takut sekali, Kak. Jujur saja ada bagian lain
dari otak dan hatiku yang membenarkan kau memang ingin
melenyapkanku setelah perlakuanku padamu.” Aku menangkap
kekhawatiran di hatinya.
“Sampai detik ini aku belum berpikir ke arah sana. Namun,
jika memang kau berubah menjadi jutaan kali lebih menyebalkan
maka akan kupertimbangkan.”
“Ish, Kak Alana.” Ditinjunya lengan kananku berkali-kali.
Aku hanya meringis dan tertawa. Sesekali kuusap-usap lenganku
itu.
“Aku becanda Sayang. Yuk ah, aku lapar. Kalau kau masih
ngeri membayangkankan kejadian yang mungkin benar-benar
menimpamu di kafe biasa. Kita makan saja di kaki lima.” Tanpa
berpikir panjang Cinta mengiyakan.
“Ah, itu ide brilian. Ayo, Kak.” Cinta menarik lenganku.
Kami berjalan cepat meninggalkan ruang penobatan gelar juara
di sebuah hotel ternama. Cinta akhirnya menyetujui ajakanku
setelah merasa ragu. Nah, akhirnya dia kembali menjadi Cinta
ya Cinta. Kali ini aku ingin menghabiskan malamku dengan ber-
cerita banyak padanya. Seperti aku yang lelah meladeni kegila-
anmu aku pun percaya kau lelah bermain peran melukaiku. Mari
kita rayakan plot yang selesai menemukan alurnya.
***

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 151


Buku Harian Sang Batari

Rini Tri Puspohardini


Guru SMP Negeri 3 Salatiga

Terbungkus kotak kardus tipis dengan plastik merah berlogo


jasa ekspedisi, kiriman ini terlihat biasa seperti paket-paket lain
dari online shop yang sering kuterima. Kubuka perlahan plastik
dan kardus pembungkus. Sebuah benda yang sekian lama hanya
bisa kubayangkan, kini berada di hadapanku.
Mulut lebar bertaring, hidung dempak, mata lebar melotot.
Badan besar dengan tangan kiri kurang proporsional. Untuk
ukuran umum keindahan, gambaran itu jauh dari kata cukup.
Sepertinya lebih dekat pada: menakutkan, kalau tak ingin di-
sebut: mengerikan.
Aku menyentuhnya perlahan. Terasa dingin yang teramat
sangat. Lebih dingin dari saat pertama kuterima dari kurir tadi.
Teringat kembali peristiwa yang masih menyisakan tanya dalam
hatiku. Sesaat setelah menerima kiriman dari kurir, rasa dingin
menyergap tubuhku. Kurir pengantar menatapku. Tiba-tiba
matanya terbelalak. Bergegas dia menuju motor dan memacu-
nya. Sebentar kemudian dia berhenti, menoleh ke arahku lalu
memacunya lagi dengan tergesa. Kurir yang aneh.
Kembali kuamati wayang itu dengan saksama. Dadaku
berdebar. Sebagaimana kukatakan tadi, jauh dari cantik, cen-
derung mengerikan. Namun entah mengapa aku tak merasa takut
atau ngeri sedikit pun. Justru rasa kagumku semakin tak ter-
bendung. Di hadapanku wajah itu terlihat begitu agung.
*

152 Menipu Arwah


Berawal dari ‘pertemuan’ tak sengaja. Suatu siang menjelang
sore, di lapak seorang penjual buku bekas. Aku asyik membaca
buku. Pak Rusdi, pemilik lapak yang sudah sangat kukenal, selalu
berbaik hati membiarkan aku berlama-lama di warungnya.
Warung sederhana yang penuh dengan tumpukan buku dan
majalah bekas.
Seperti biasa, menjelang senja saat warung akan ditutup,
Pak Rusdi bertanya apakah ada yang akan kubeli. Aku tersenyum,
paham akan usiran halusnya. Aku memilih satu buku, acak. Ku-
pilih sebuah buku tebal yang kumal. Aku memilihnya karena
buku itulah yang terdekat.
“Pinten, Pak?” aku bertanya sambil tersenyum.
“Kalih ewu mawon, Mbak.”
Aku membayar buku itu, buku yang judulnya tak sempat
kubaca. Buku dengan harga dua ribu rupiah.
Malamnya, aku mengeluarkan buku yang kubeli. Buku
dengan sampul kecoklatan tak bergambar. Judulnya membuat
dahiku berkerut. Buku Harian Durga.
Durga? Bukankah Durga adalah nama tokoh dalam pewayang-
an? Menurut cerita yang pernah kudengar, dia adalah dewa pe-
rempuan berujud raksasa yang selalu menggoda manusia untuk
berbuat jahat. Suaminya bernama Batara Kala, juga berwatak jahat.
Aneh, sebuah buku harian dari tokoh fiktif dalam dunia
nyata. Sungguh tak masuk akal. Ya, judulnya memang itu. Sung-
guh membuat penasaran.
Aku tercekat. Mata terasa panas. Kutahan air mata agar tak keluar
dari sumbernya. Beribu perasaan bergejolak di dadaku.
Kalimat pertama di lembar pertama membuatku menahan
napas. Tulisan tangan tegak bersambung yang rapi, bernada
kesedihan, kemarahan, atau entah.
Sungguh aku tak menyangka, laki-laki yang kucintai, yang telah
memberi dan kuberi lima anak, tega melakukan hal ini padaku. Aku tak
tahu kata yang tepat untuknya. Kejam atau biadab. Mungkin kejam
dan biadab belum cukup mewakili.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 153


Aku semakin bertanya-tanya. Apa yang dilakukan laki-laki
yang diceritakan oleh perempuan dalam buku itu sehingga di-
sebutnya biadab? Aku semakin penasaran.
Semua baik-baik saja sebelum senja itu. Aku, Dewi Uma, men-
cintainya sepenuh hati, pun dia perlakukan aku dengan sepenuh cinta.
Aku telah melahirkan lima anak darinya. Sebagai raja atas para dewa,
dia sangat dihormati oleh semua makhluk di kahyangan. Dengan
kedudukan yang sangat terhormat, selayaknya pula kami, aku dan
suamiku bersikap pantas sebagai orang terhormat. Santun, sabar, dan
sikap-sikap lain yang pantas menjadi teladan. Namun entah mengapa,
senja itu suamiku seakan lupa akan kedudukannya hingga terjadilah
peristiwa itu.
Sore itu kami, aku dan suamiku berpesiar dengan Andini, lembu
tunggangan kami bila bepergian jauh. Suasana begitu indah. Bunga-
bunga, pepohonan, burung-burung, dan semua makhluk terlihat
bahagia. Ketika kami melewatinya, mereka menunduk hormat.
Dahan-dahan meliuk gemulai. Aku mengikuti tarian mereka, menari
bersama dahan, daun-daun, dan membiarkan angin mempermainkan
rambut dan wastraku. Aku hanyut dalam tarian senja.
Kulihat suamiku tersenyum. Matanya memandangku penuh cinta.
Dia mendekat dan memelukku. Mesra. Aku tetap menari dengan penuh
perasaan. Semakin lama kurasakan sentuhan suamiku terasa berbeda.
Ada ketegangan luar biasa dalam pelukannya. Aku merasakan saat itu
hasrat romantisnya menyala.
Dahan dan daun-daun mulai berbisik. Mereka menangkap gelora
romantis membakar suamiku. Angin terus saja menyingkap dan memilin
wastraku. Ini tak boleh terjadi.
Perlahan kulepaskan diri dari pelukannya. Kubisikkan tentang
kesantunan dan etika. Kutawarkan sedikit waktu untuk menunggu.
Namun, lembut penangguhanku menjadi api yang menyalakan
kemarahan. Ketampanannya menguap, wajahnya memberingas.
Disentakkannya tubuhku hingga telentang di punggung Andini.
Tangannya kalap, menarik dan menyingkap semua yang menempel di
tubuhku. Matanya nanar menelanjangiku.

154 Menipu Arwah


Dahan dan daun-daun tak lagi berbisik. Mereka semakin riuh. Ada
kemarahan di sana, kemarahan yang mewujud dalam cemooh dan cibiran.
Aku sungguh malu atas perlakuan suamiku. Segera aku berdiri dan
membenahi pakaianku. Kutepiskan tangannya dari tubuhku. Bersamaan
dengan itu, sebuah bola api terlempar dari bawah pusarnya.
Segala hormat yang selama ini berumah di hatiku menguap. Sakit,
marah, dan sangat terhina. Aku naik ke punggung Andini dan
memintanya membawaku pulang.
Belum juga Andini beranjak, aku terlempar dari punggungnya.
Terjerembab. Kasar dan keras cengkeraman di rambutku serasa
mengelupaskan kulit kepala. Antara sadar dan tak sadar, aku merasa
tubuhku seperti berputar, berayun, dan terbanting. Entah berapa lama
tubuhku menjadi sasaran kemarahan laki-laki yang aku sebut suami.
Tatapan sinis dan bengisnya menyempurnakan setiap perih dan ngilu
di hatiku. Tak terperi sakit di tubuhku, tetapi hatiku jauh lebih sakit.
Di mataku, Manikmaya, suamiku, tak lebih dari raksasa berpakaian dewa.
Aku melanjutkan membaca buku tersebut sampai beberapa
halaman berikutnya. Dewi Uma yang telah dianiaya, masih juga
dikutuk menjadi raksasa dan diberi nama Batari Durga. Setelah
ujudnya berubah, dia diusir dari kahyangan dan dijodohkan
dengan Batara Kala, raksasa jelmaan bola api raksasa dari tubuh
suaminya.
Aku tersengal. Napasku memburu, namun tenggorokan
menyempit. Dadaku terbakar kemarahan luar biasa. Penghinaan
luar biasa terhadap seorang istri. Tak terasa air mataku menetes.
“Jangan menangis, Putriku!”
Suara lembut mengejutkanku. Aku mendongak. Seorang
perempuan cantik berdiri di depanku. Senyum manis menghiasi
bibirnya. Pakaiannya sungguh indah, berkemban sebagaimana
para putri dalam wayang orang yang pernah kutonton. Entah
mengapa aku tidak takut akan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Siapakah Anda?” aku bertanya dengan sopan, meski tak
bisa menyembunyikan keterkejutan dan keheranan.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 155


“Seseorang yang sedang kautangisi.”
“Dewi Uma?”
“Inilah wujudku sebelum aku dianiaya oleh suamiku.”
”Iya, Bunda, saya telah membaca buku harian Bunda. Lalu
apa maksud Bunda menemuiku?” Tiba-tiba saja aku memanggil-
nya dengan sebutan Bunda. Mungkin karena dia memanggil aku
‘putriku’.
“Aku datang untuk mendampingimu karena hidupmu akan
berubah setelah bertemu denganku. Bersiaplah dan jangan kaget,
Putriku!”
Perempuan cantik itu menghilang.
*
Wayang Durga yang aku beli secara online dari pengrajin,
kupasang di ruang tamu. Bapak tidak melarang saat aku minta
izin untuk memasangnya. Tidak banyak bertanya, hanya ber-
pesan singkat,
“Itu tokoh yang banyak dibenci. Bersiaplah menjawab
banyak pertanyaan!”
Ya. Aku sudah siap menjawab pertanyaan yang akan muncul.
Akan aku katakan pada mereka bahwa Durga adalah perempuan
pemberani yang teraniaya. Durga adalah perempuan yang men-
junjung tinggi sopan santun dan etika,. Dia perempuan yang
berani menolak dan mengingatkan suami yang lupa diri. Dialah
pelopor emansipasi yang terlupakan. Dia mampu menghadapi
konsekuensi perbuatannya dengan tabah. Akan kukatakan juga
bahwa aku ingin meneladan sikap dan keberaniannya.
Entah mengapa sejak bertemu dengan Durga yang akhirnya
kupanggil Bunda, aku seperti mendapat kekuatan baru. Menjadi
semakin percaya diri karena merasa terdampingi.
Usai memasang Durga di kamar tamu, aku berdandan untuk
menyambut kekasihku. Ya, ini hari Sabtu. Aku perempuan muda
yang sudah punya kekasih. Wajar.
Lebih kurang pukul 7 malam, bel berbunyi. Seperti yang
sudah dijanjikan lewat pesan WhatsApp, akan datang pukul 7

156 Menipu Arwah


tepat. Dia memang selalu tepat waktu. Itu salah satu yang aku
suka darinya. Aku bergegas membuka pintu. Benar, lelaki muda
dan ganteng itu. Hendra, kekasihku.
“Masuk, Mas!”
Lelaki itu hanya diam. Matanya terpaku menatapku. Tatapan
yang ganjil.
“Mas?”
“Eh, Dik Putri, aku tiba-tiba ingat, pintu rumah belum aku
kunci. Bapak ibu tindak. Aku khawatir! “
“Lho?”
“Aku nanti ke sini lagi. Sebentar, Dik!”
Tanpa menunggu jawabanku, Hendra berbalik menuju
motornya dan bergegas meninggalkan rumahku. Selang bebe-
rapa saat, dia berhenti, menoleh ke arahku. Aku melambaikan
tangan. Dia tidak membalas, justru berpaling dan memacu
motornya. Tiba-tiba aku ingat kurir pengantar Bunda.
Sampai larut, Hendra tak pernah kembali. Pesan WhatsApp-
ku tak pernah dijawab. Beberapa pesan tak dibaca, bahkan 3
pesan terakhirku tak terkirim. Aku diblokir.
Aku tak bisa memejamkan mata. Mengapa Hendra bersikap
seperti itu? Aku tak tahu persis perasaan apa yang sebenarnya
aku rasakan. Sedih, patah hati, marah, atau terhina? Yang pasti,
aku bingung dan penasaran. Kalau tidak berhitung etika dan
kepantasan, mungkin aku sudah mendatangi rumahnya. Akan ku-
tanyakan tentang sikapnya yang seperti pengecut. Terasa ada yang
mendidih, meledak-ledak di dalam dadaku. Perasaan itu terbawa
dalam mimpi tidur sesaatku. Aku melihat Hendra meronta-ronta
dalam cengkeraman seorang raksasa perempuan. Aku ingin
menolong, tapi raseksi itu justru membawa Hendra pergi.
Aku terbangun dengan napas tersengal. Akh, mimpi itu. Terasa
begitu nyata. Ada yang mengatakan, mimpi hanyalah bunga tidur,
tapi mimpi yang baru saja kualami ini, bunga apa? Mungkin bunga
bangkai.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 157


Kulihat jam di dinding. Masih terlalu pagi untuk bertamu.
Tak apa-apa. Aku harus menemuinya. Selain penasaran atas sikap-
nya, ada sedikit rasa khawatir.
Sesampai di rumah Hendra, kutekan bel dengan perasaan
tak menentu. Kutunggu beberapa saat. Tidak ada tanda-tanda
orang datang. Kuulangi sekali lagi. Masih juga sepi. Aku meng-
amati teras rumah yang sudah sangat kukenal. Bunga-bunga
dalam pot, kursi teras, paku tanduk rusa yang menempel di pohon
mangga. Semua kukenal baik, sebaik aku mengenal semua anggota
keluarga dan semua penghuni rumah ini. Ayah, ibu, adik, dan
keponakannya, juga Lik Rus pembantunya yang buta huruf itu.
Aku hendak menekan bel ketiga kalinya ketika pintu ter-
buka. Aku sudah bersiap memberi salam ketika tiba-tiba ku-
dengar pekikan. Seorang perempuan muda cantik, matanya ter-
belalak ketakutan menatapku. Kedua tangan menutupi mulut-
nya. Kuurungkan niatku. Kuamati wajahnya dengan saksama.
Merasa kuamati, perempuan itu semakin ketakutan. Dia mundur
beberapa langkah, lalu berlari masuk sambil berteriak-teriak.
Aku tertegun. Ada apa dengan perempuan muda itu? Siapa
dia? Belum hilang rasa kagetku, kulihat Hendra keluar. Demi me-
lihatku di depan pintu, serta merta dia berhenti, lalu berbalik arah.
Aku semakin penasaran. Mengapa semua yang melihatku
seperti ketakutan? Ada apa dengan diriku? Tiba-tiba ibu Hendra
keluar dan menyambutku.
“Lho, Putri! Masuklah, Nak Putri!” kata ibu Hendra sambil
tersenyum.
“Terima kasih, Bu. Saya hanya mampir sebentar, kok,” jawab-
ku sekenanya tanpa beranjak dari tempatku berdiri. Kuamati
wajah ibu Hendra, tidak ada perubahan. Seperti biasa, ramah
dan penuh senyum.
“Ayo masuklah! Semalam Hendra tak lama di rumahmu.
Apakah kalian bertengkar?”
“Bukannya Ibu tindakan bersama Bapak?”

158 Menipu Arwah


“Siangnya memang kami menjemput Winda, keponakan
Bapak, di bandara. Hendra juga ikut. Apa Hendra tidak berce-
rita?”
Hendra berbohong. Ada nyeri di dalam dadaku.
“Jadi Ibu pirsa Mas Hendra pulang?”
“Ya, tahu. Berangkatnya juga pamit, kok.”
Aku tidak jadi bertamu. Segera aku berpamitan setelah
sedikit berbasa-basi menanyakan keadaan Bapak.
Aku pulang dengan bermacam perasaan. Penasaran, heran,
marah, dan berbagai macam rasa lainnya. Untuk menenangkan
perasaan, aku mampir ke warung Pak Rusdi. Pak Rusdi menyam-
butku dengan senyum lebar. Dia memberiku sebuah kursi plastik
untuk duduk.
Aku mengambil sebuah buku, lalu membacanya. Saat asyik
membaca, datang seorang pemuda dan memilih-milih buku di
tumpukan. Aku mendongak menatapnya. Kebetulan pemuda itu
juga menatapku. Pemuda itu terpekik. Dia meninggalkan warung
dengan tergesa. Sama dengan Hendra, dia sempat menoleh ke
arahku beberapa saat kemudian. Semakin lama, semakin banyak
orang pergi setelah bersitatap denganku. Aku merasa ada yang
aneh dengan diriku.
“Tidak ada yang aneh, Mbak Putri. Mbak Putri tetap seperti
biasa. Manis dan cantik.” Begitu jawab Pak Rusdi saat kutanya.
Hatiku dipenuhi bermacam pertanyaan. Mengingat kembali
keanehan-keanehan yang terjadi sejak aku menerima wayang
itu sampai sekarang ini.
*
“Sudah kukatakan kepadamu, Putriku. Akan banyak per-
ubahan terjadi dalam hidupmu.” Tiba-tiba Bunda berada di sam-
pingku saat aku berbaring di ranjangku. Aku semakin terbiasa
dengan kehadiran Bunda yang selalu tiba-tiba.
“Mengapa orang-orang seperti ketakutan kepadaku?” aku
bangun dan bersandar, menatapnya, tetap saja kagum meski
telah bertemu berkali-kali.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 159


“Mereka melihatmu dengan matanya semata. Namun orang
yang melihatmu dengan mata hati, dia akan melihatmu sebagai
Putri yang cantik.”
“Seperti kata Pak Rusdi?”
“Ya. Pak Rusdi melihatmu dengan hati yang bersih.”
“Lalu Hendra, Winda, dan orang-orang di warung itu??”
“Hati mereka tidak bersih. Mereka melihatmu dari segi fisik,
bisa juga materi, atau yang lainnya. Ada alasan khusus yang
bukan tersebab ketulusan hati.”
“Jadi?”
“Berbahagialah karena kau akan terhindar dari orang-orang
yang tidak baik. Keluargamu tidak berubah melihatmu, karena
mereka tulus mencintaimu. Juga ibu Hendra dan Pak Rusdi. Beda
dengan orang-orang di warung loak tadi, Hendra, Winda,”
“Kurir!” aku melanjutkan kata-katanya.
Kami tertawa. Entah mengapa semua rasa marah dan ke-
hilangan yang aku rasakan lenyap dengan tiba-tiba. Aku berhenti
tertawa. Kutatap Bunda dengan saksama.
“Adakah laki-laki yang akan melihatku dengan hati tulus?”
“Suatu saat kau akan menemukannya. Jangan mengelak bila
kau bertemu dengan laki-laki itu!”
Begitulah, sejak saat itu aku terbiasa dengan sikap orang-
orang yang segera menjauh saat berdekatan denganku. Ter-
masuk sahabat-sahabatku. Semua menjauh. Semua pergi. Namun
aku tak merasa ditinggalkan. Menjauh dan perginya mereka mem-
buatku tahu bahwa mereka tidak tulus bersahabat denganku.
Hanya beberapa orang saja yang tak berubah sikap. Kecuali
keluargaku, Pak Rusdi, ibu Hendra, Mbah Misni, tetangga se-
belah rumah juga tetap ramah. Mbah Marto, penjual ronde lang-
gananku juga tidak berubah. Orang-orang yang sudah tua
memang lebih memiliki hati yang bersih.
*
Bulan kelima sejak kedatangan Bunda. Aku semakin merasa
terbiasa hidup sendiri. Aku tidak takut lagi sendirian, tanpa

160 Menipu Arwah


kawan ataupun kekasih. Akhirnya aku sadari bahwa sulit sekali
menemukan orang yang benar-benar tulus.
Hari masih terlalu pagi ketika aku membuka pintu depan.
Tiba-tiba sebuah sepeda berhenti di jalan depan halaman.
“Susu, Mbak?” Terdengar suara menawariku. Seorang pe-
muda dengan bungkusan susu di boncengan sepedanya.
“Boleh. Berapa, Dik?” jawabku saat melihat wajahnya ter-
lihat masih sangat belia.
“Lima ribu, Mbak. Ngersakaken pinten?”
“Tiga saja, Dik.”
“Mangga.” Kata anak muda itu sambil memberikan 3 bungkus
susu.
Aku menerima tiga bungkus susu dari anak muda itu dan
membayarnya. Kutatap wajahnya yang masih sangat muda,
seusia keponakanku yang masih SMP.
“Tidak sekolah, Dik?”
“Setelah mengantarkan susu-susu ini, Mbak”
“Kelas berapa?”
“Baru masuk SMA. Apa besok Mbak mau dikirimi susu lagi?”
“Boleh, boleh.”
Aku menatapnya. Pemuda itu tersenyum dan berlalu dengan
sepedanya. Tiba-tiba Bunda sudah berdiri di sampingku.
“Ternyata ketulusan bukan hanya milik orang-orang tua saja,
Bunda.” Kataku sambil menoleh.
Bunda tersenyum. Melihat senyum Bunda, tiba-tiba aku
teringat kata-katanya beberapa waktu lalu,
“Suatu saat kau akan menemukannya. Jangan mengelak bila
kau bertemu dengan laki-laki itu!”
“Hahhh.? Bunda!”
***
Bandungan, Juli 2019.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 161


Menipu Arwah

Rinto Murdomo
Guru SMK Lentera, Kendal

Sudah dua hari ini Sukri berada di hutan dekat perkam-


pungan transmigrasi yang ditempati. Dia bingung ketika harus
pulang ke barak–barak yang disediakan oleh pemerintah untuk
para warga transmigrasi. Bulan ini, tanggal 20. Beras dan ikan
asin jatah dari pemerintah sudah ludes. Sukri bingung, harus
mencari uang dari mana untuk membelikan beras istrinya.
Sementara, lahan dari pemerintah yang ditanami merica dan
kelapa sawit masih jauh sekali dari kata panen. Kegalauan itu
yang membuat dia bertahan di hutan dekat lahan bercocok
tanam.
Hari ini hari ketiga. Sukri tetap tidak berani pulang. Dia
memilih tidur di pinggiran hutan sambil menyalakan api unggun
untuk mengusir nyamuk kalimantan yang sangat ganas. Sementara,
sebelum malam merangkak Sukri harus mencari bahan makanan
yang banyak tumbuh di pinggiran hutan, seperti ketela pohon,
pisang liar, dan buah–buahan hutan seperti jambu, sawo, dan
jamblang yang banyak bertebaran.
Sambil menyisir pinggiran hutan, kakinya menendang de-
daunan kering sekadar untuk mengusir rasa gelisah. Hawa aneh
menyelimuti perasaannya, antara merinding, aneh, dan mistis.
Namun, semua itu masih terkalahkan oleh rasa gelisahnya
karena tidak memiliki uang sepeser pun. Tidak berapa lama kaki-
nya terantuk sesuatu yang membuat seluruh perasaan takutnya
membuncah. Ternyata, secara tidak sengaja dia menendang

162 Menipu Arwah


tulang-belulang yang masih utuh. Karena ketakutannya, Sukri
sampai terduduk lemas tidak berdaya.
Setelah beberapa saat terperanjat, Sukri dapat menguasai
ketakutannya. Dia mulai berpikir jernih. Kalau melaporkan hal
ini kepada polisi, dia akan ikut terseret dalam masalah ini. Dia
akan menjadi saksi dan harus banyak meluangkan waktu unuk
bolak-balik ke kantor polisi. Sementara jarak polsek terdekat
saja sekitar 15 kilometer. Dia merasa ketakutan memikirkan hal
itu, merepotkan dan bisa jadi malah dia yang akan menjadi
tersangka. Oleh karena itu, Sukri memutar otak untuk menying-
kirkan tulang-belulang. Diambillah cangkul dari ladangnya
untuk menguburkannya.
Sambil membaca doa sebisanya, Sukri mengubur tulang-
belulang tersebut. Setelah itu dia kembali ke perapian untuk
istirahat. Karena tidak mendapatkan bahan makanan sedikit pun,
malam ini dia sangat kelaparan. Angin sepoi-sepoi seolah-olah
mengantarnya ke dunia mimpi. Dia terlelap. Di dalam tidurnya,
Sukri merasa didatangi seorang kakek tua yang tersenyum
sambil berkata
“Terima kasih, ya Nak, aku telah Kau kuburkan dengan layak.
Tidak seperti kemarin, tubuhku masih tidak terurus hingga hari
ini Kau makamkan.”
Suara sang kakek yang berat tersenyum sangat tulus. Kakek
itu memakai baju hitam dengan ikat kepala. Tubuhnya kurus
dan kulitnya keriput. Rambutnya pun memutih dengan kumis
dan jenggot berwarna perak. Sukri terbangun dari tidurnya.
Dia merasa sangat kaget. Ini mimpi atau nyata? Namun sosok
kakek itu terasa nyata, suaranya pun sangat jelas terdengar di
telinganya. Atau mungkin kakek itu adalah arwah dari tulang-
belulang yang dikuburkannya?
Sukri heran dengan kejadian-kejadian yang menimpanya
sepanjang hari ini. Mulai dari menemukan tulang-belulang hingga
ditemui arwah pemilik tulang-belulang yang dikuburnya. Otak
Sukri bereaksi dengan cepat. Dia menganalisis semua kejadian

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 163


janggal yang menimpanya. Apakah ini artinya arwah dapat di-
ajak berkomunikasi dengan cara tertentu? Kalau tulang-belulang-
nya dikuburkan, dia bisa berterima kasih. Ini berarti kalau tulang-
belulangnya dipisahkan, pasti dia akan mencarinya.
“Aaahhhh, aku mempunyai ide cemerlang. Mungkin saja
arwah itu juga bisa ditipu”, pikir Sukri.
“Baiklah, besok pagi aku akan melaksanakan rencanaku.
Malam ini, sebaiknya aku tidur,” batin Sukri.
Ketika kokok ayam hutan mulai bersahutan, Sukri bergegas
mencari pohon kelapa yang daunnya akan dia anyam menjadi
wadah buah-buahan. Setelah itu, Sukri menuju tempat dia me-
makamkan tulang-belulang. Dibongkar dan diambilnya kepala
tengkorak itu. Kepala dan seluruh tulang yang ditemukan di-
letakkannya ke dalam tempat dari daun kelapa yang dianyam-
nya. Hari masih teramat pagi ketika dia sampai di sungai per-
batasan desa dan ladang. Di sana Sukri membersihkan teng-
korak manusia itu dari kotoran tanah yang menempel. Setelah
bersih, bergegas dia pulang dan langsung masuk rumah me-
nyimpan tengkorak ke dalam lemari, menguncinya dengan rapat.
Selepas itu, dia tidur karena kelelahan.
Sore hari, lirih terdengar suara istrinya yang membangunkan
Sukri dari tidurnya.
“Kang, bangun sudah sore. Mandi dan makan, Kang”.
“Iya,” jawab Sukri perlahan. Tapi Sukri masih belum beranjak
dari tempat tidurnya. Dia masih sangat lelah. Kejadian beberapa
hari ini cukup menguras energinya. Hingga terdengar suara
kentongan tanda Maghrib mulai tiba. Dia pun beranjak dan
bergegas ke kamar mandi yang letaknya di belakang rumah dan
tanpa penerangan. Ketika keluar dari rumah yang terbuat dari
anyaman bambu, Sukri dikagetkan oleh kedatangan seorang ka-
kek tua yang persis seperti di dalam mimpinya kemarin. Namun,
kali ini tampak sangat nyata.
Sang kakek itu bertanya.

164 Menipu Arwah


“Mengapa kau bawa pulang tengkorak kepalaku? Kembali-
kan, tolong kembalikan”. Walau dalam ketakutan, otak Sukri
segera berputar dan berpikir saatnya dia menipu arwah itu. Sukri
pun menjawab,
“Baiklah, kalau Kau ingin aku mengembalikan tengkorakmu,
maka bantulah aku untuk menjadi kaya raya.”
“Bagaimana caranya?”
“Berilah aku nomor SDSB 4 angka dan besok pagi aku bisa
menjadi seorang yang kaya raya.
“Baiklah, kalau Kau sudah sampai di tempat yang jual nomor
itu, aku akan bisikkan Kau nomor yang akan keluar besok.”
Setelah mandi, Sukri menemui istrinya untuk menanyakan
apa saja yang dia butuhkan untuk ladang.
“Masih ada uang sepuluh ribu rupiah untuk membeli pupuk.”
Sukri segera menuju ke tempat penjual nomor SDSB yang
ada di desanya. Dalam perjalanan menuju tempat penjualan
SDSB, Sukri mendapatkan bisikan dari arwah sang kakek nomor
yang akan keluar.
“3950, 3950, “ begitu suara bisikan itu berulang-ulang.
Dengan mantap dibelinya nomor SDSB, dan perlu diketahui
SDSB adalah Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang
dikelola oleh negara dan pada zaman itu masih legal sehingga
orang yang membelinya tidak perlu khawatir oleh grebegan polisi.
Sumbangan SDSB biasanya dialokasikan kepada negara, para
atlet/olahragawan, gedung–gedung olah raga dan para pelatih
sehingga kehidupan mereka pada saat itu bisa dikatakan cukup
layak.
Malam itu, Sukri tidur nyenyak sekali. Tidak berpikir apa-
apa, bagaimana dan untuk apa tentang kehidupan selanjutnya?
Hal terpenting adalah rasa lelahnya hari ini harus terbayar lunas
dengan tidur. Menjelang Subuh, dia terbangun. Mendapati istri-
nya sedang merebus ketela pohon dan membuat kopi tubruk
seperti hari-hari biasanya. Diambilnya cangkul dan sabit. Dia
pun bergegas ke belakang untuk membersihkan alat-alatnya dan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 165


mandi. Setelah itu, dia duduk di balai bambu di dapur. Sukri mulai
bercerita kepada istrinya tentang pengalamannya di hutan hingga
membawa pulang tengkorak ke rumah.
Istrinya merasa ketakutan dan berkata kepada Sukri,
“Ya Allah Pakne. Itu dosa! Menganiaya orang yang masih
hidup saja dosanya sangat besar apalagi ini, menganiaya orang
yang telah mati!”
“Wis tho, Bu, sing penting aku berusaha untuk kehidupan
kita yang lebih layak, siapa tahu ini berhasil. Kalau berhasil kamu
juga ikut senang tho, Bu?” jawab Sukri sambil menyeruput kopi
tubruknya.
“Ya, tapi tidak seperti itu caranya, Pakne.”
“Sudah. Kamu nurut saja. Pesanku, Kalau aku berangkat ke
ladang atau aku tidak berada di rumah, tidak boleh ada yang
mendekati lemari tempat kusimpan tengkorak itu. Sudah, aku
mau berangkat ke lading.”
“Iya, Pakne, jangan lupa ketela rebusnya dibawa dan kopinya
dihabiskan dulu”.
Hari menjelang zuhur ketika Sukri berteduh di bawah pohon
sambil menikmati ketela rebus dan kopi yang mulai dingin. Sayup-
sayup dia mendengar suara orang memanggil. Dia menengok ke
arah suara itu. Carik. Ya, ternyata carik di desanya yang memang-
gil. Tapi, siapa yang berada di sebelahnya? Seperti seorang polisi.
Ya, benar. Ternyata itu polisi. Sukri ketakutan setengah mati.
Jangan-jangan ada yang melihatnya menemukan tulang belulang
dan membawa tengkorak itu. Apakah mereka akan menangkapku?
Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepala Sukri. Langkah polisi
dan Pak Carik semakin mendekat. Dada Sukri berdebar-debar,
kakinya lemas seperti tidak ada darah yang mengalir. Dia hanya
mematung dan menunggu kedua orang itu semakin mendekat.
Hingga akhirnya suara Pak Carik menyadarkannya.
“Pak Sukri, mengapa Kau bengong? Kami membawa kabar
gembira, nomor SDSB yang kau beli semalam tembus empat
nomor dan nominal uangnya lima puluh juta rupiah. Sekarang

166 Menipu Arwah


utusan dari agen SDSB kabupaten datang dengan pengawalan
Pak Polisi ini dan sedang ditemui oleh istrimu di rumah.” Kaki
Sukri yang lemas mendadak seperti mendapat suntikan tenaga.
Dia segera berdiri menjabat tangan Pak Carik dan polisi itu.
“Benarkah? Benar apa yang Pak Carik katakan tadi?” Tanya-
nya berulang-ulang tidak percaya.
“Benar Pak Sukri,” jawab Pak Carik. Lalu dengan sekuat
tenaga dia lari pulang ke rumah.
Seperti kesetanan Sukri berhenti di depan rumahnya. Dengan
nafas terengah-engah dan terbengong-bengong, dia berjalan ke
balai bambu di ruang tamunya sambil mengulurkan tangan
kepada tamu di depannya. Dengan suara bergetar dia berkata,
“Benar pak? Benarkah saya mendapatkan hadiah SDSB dan
tembus empat nomor?” Tamu itu pun menjawab,
“Benar Pak Sukri dan ini uangnya saya bawa sebesar lima
puluh juta rupiah.” Tulang belulang Sukri serasa hilang, terduduk
sambil mengucapkan sesuatu yang tidak jelas karena bibirnya
bergetar. Ketika istrinya mendekat sambil memeluknya suara
itu baru terdengar di telinganya.
“Aku kaya. Aku kaya. Aku kaya.”
Dalam waktu singkat, berita itu pun menyebar ke seluruh
kampung sebelah. Dalam waktu singkat di desa kecil itu nama
Sukri langsung menjadi pembicaraan. Mereka penasaran bagai-
mana caranya Sukri dapat menembus empat nomor dan men-
dapatkan lima puluh juta rupiah. Tidak semua orang dapat
seberuntung itu. Selama ini mereka hanya menghabiskan uang
tanpa mendapatkan uang sepeser pun. Hingga rumah Sukri tidak
pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung hanya untuk
menanyakan bagaimana cara Sukri seberuntung itu.
Malam itu Sukri membuka lemari dan mengeluarkan bun-
talan kain putih berisi tengkorak kakek. Dielus-elusnya teng-
korak itu sambil berkata,
“Terima kasih, Kek. Namun aku belum bisa mengembalikan
tengkorakmu. Aku masih mempunyai permintaan lagi. Aku ingin

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 167


menjadi orang ‘pintar’, orang sakti yang bisa menyembuhkan
semua penyakit dan disegani oleh semua orang. Baru akan aku
kembalikan tengkorakmu.” Perlahan–lahan dia memasukkan
kembali buntalan itu ke dalam lemari.
Keesokan harinya, ketika matahari masih tampak malu-malu
keluar dari peraduan. Sukri sudah keluar dari rumahnya menuju
perkebunan sawit tidak jauh dari rumahnya. Ya, sekarang Sukri
sudah menjadi juragan sawit. Bukan lagi buruh perkebunan sawit
yang menanami lahan pemerintah yang tidak terlalu menjanjikan
hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dia mengawasi
setiap jengkal kebun sawitnya tanpa terlewati sedikit pun. Tidak
lama lagi dia akan panen besar. Pundi-pundi uang itu pasti akan
segera mengalir dengan derasnya.
Di sebuah rumah papan khas transmigran, dia mendengar
suara histeris dari dalam rumah. Berteriak tak terkendali seperti
orang kesurupan. Terdengar suara laki-laki berusaha menenang-
kannya. Karena pintu terbuka lebar dan Sukri merasa sangat
penasaran, dia melongokkan kepalanya di depan pintu. Sardi,
teman sesama transmigran dari Jawa yang sedang berusaha
menenangkan istrinya menyadari kehadiran Sukri.
“Sukri. Sukri, tolong!” Teriaknya sambil tetap menahan
tubuh istrinya yang memberontak dan berteriak tidak terkendali.
“Ada apa, Sar? Ada apa dengan istrimu?” Tanya Sukri ke-
bingungan.
“Aku juga tidak tahu. Semalam baik-baik saja. Hingga azan
subuh tiba-tiba istriku berteriak seperti orang kepanasan, dan
berusaha lari dari rumah.” Sardi masih menahan tubuh istrinya,
suaranya terengah–engah, energinya mulai habis.
“Coba kamu tidurkan.” Perintah Sukri. Sardi membaringkan
tubuh istrinya di atas kasur. Sambil memeluknya supaya tidak
berontak. Sukri melihat kendi berisi air minum di meja samping
tempat tidur beserta dua buah gelas. Dia mengisikan air itu,
merapalkan sesuatu dan meniupkannya ke dalam gelas.

168 Menipu Arwah


“Ini. Coba minumkan,” katanya sambil menyerahkan gelas
air itu kepada Sardi. Sardi menerima dan meminumkannya ke
mulut istrinya dengan sedikit paksaan. Beberapa detik kemudian,
tubuh istri Sardi melemah, lemas, dan tertidur.
Dalam perjalanan menuju rumah, Sukri tidak habis pikir.
“Apa tadi yang telah aku lakukan? Bagaimana aku bisa
mengobati istri Sardi yang seperti kesurupan?” Gumamnya sam-
bil menggaruk kepala yang tidak gatal. Apa kakek itu yang telah
membuatnya bisa menyembuhkan istri Sardi? Sukri teringat
kembali permintaannya kepada arwah kakek tua itu. Ya. Ini pasti
karena kakek tua itu.
Sudah seminggu ini, Sukri hampir tidak pernah bisa tidur.
Banyak orang datang bergantian ke rumahnya. Banyak sekali
yang mereka inginkan. Ada seorang bapak yang kehilangan anak
perempuannya yang pamit kerja di kota. Namun berbulan-bulan
tidak pernah pulang tanpa kabar. Hanya dengan menanyakan
nama si anak, nama ibu, dan weton anak tersebut, serta ada
beberapa ritual yang harus dilakukan oleh Sang bapak, yaitu
memanggil anaknya dengan keras dan berulang-ulang di gen-
tong air milik Sukri yang ada didapur. Ajaib! Keesokan paginya
sang anak yang sudah berbulan-bulan tidak pulang itu akhirnya
pulang karena merasa dipanggil bapaknya dengan keras dan
berulang-ulang di telinganya.
Kabar kesaktian Sukri semakin tak terbendung. Hari ini Sukri
kedatangan seorang tamu laki-laki separuh baya. Laki-laki ter-
sebut menginginkan supaya tanah berpuluh hektar dan lima
rumah mewahnya bisa terjual dengan cepat. Dia berjanji apabila
terjual semua Sukri akan mendapatkan bagian sepuluh persen.
Karena sepeninggal istrinya, laki laki itu ingin kembali kampung
halamannya di Jawa. Sukri menyanggupi dengan berkata,
“Satu bulan, seluruhnya sudah terjual.” Benar saja, satu bulan
kemudian si Bapak datang ke rumah untuk memberikan sepuluh
persen hasil penjualan tanah dan lima rumah mewahnya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 169


Pernah seorang ibu muda yang meminta bantuan Sukri
mengembalikan suaminya yang sudah berhari-hari pergi dengan
wanita lain meninggalkannya dan tiga orang anak mereka. Tidak
lama kemudian sang suami pulang ke rumah dan meminta maaf
kepadanya dan ketiga anak mereka. Ketika musim pemilihan
kepala desa, ada seorang calon kepala desa yang datang untuk
meminta bantuan Sukri. Akhirnya dia pun mendapatkan jabatan
yang diidam-idamkannya.
Tidak hanya itu, seorang anak berusia empat tahun yang
belum juga bisa berjalan di atas kursi rodanya hanya dengan
sentuhan Sukri, anak itu dapat berjalan seperti anak seusianya.
Beberapa kali para remaja meminta bantuan Sukri supaya mereka
dapat lolos ujian masuk anggota dewan, PNS, polisi, dan tentara.
Semuanya terkabul. Semuanya, sesuai dengan keinginan. Sukri
seperti Tuhan. Kehadirannya sangat dinanti, rapalan mantranya
ditunggu-tunggu oleh orang-orang pengharap keajaiban itu.
Orang-orang yang penuh dengan ambisi, orang-orang yang
menginginkan harta, tahta atau bahkan wanita. Semuanya di-
kabulkan oleh Sukri. Semuanya, karena dia telah menipu arwah.
“Sukri, Kau sudah mendapatkan segalanya. Kapan Kau
kembalikan tengkorakku? Kapan Sukri?” Arwah si kakek datang
kembali. Namun, Sukri mengingkari semuanya. Dia tidak pernah
berniat mengembalikan tengkorak si kakek. Dia tidak pernah
mengabulkan keinginan kakek itu. Sukri telah lupa. Hal yang
dia inginkan adalah harta. Keserakahan telah memperbudak
dirinya. Dia telah menjadi Fir’aun. Dia telah menjadi penyembah
sapi emas.
Meskipun musim hujan belum saatnya, sudah beberapa hari
ini desa Sukri diguyur hujan. Memang kebanyakan desa di se-
kitar desa Sukri adalah desa yang secara geografis berada di
hulu. Luapan sungai menyebabkan rumah-rumah di desa itu
tergenang hingga ke atap. Banjir seperti ini baru pertama kali
terjadi. Ketika sebagian besar warga masih berjuang menolak
pembukaan sawit oleh swasta di hutan adat mereka. Namun

170 Menipu Arwah


Sukrilah yang membuat para warga tidak mempunyai nyali untuk
melawan. Mereka dibungkam, tidak dengan kekerasan, intimi-
dasi, atau tekanan-tekanan. Nyali mereka meleret seperti lampu
yang kehabisan minyak.
Ketika hujan berhenti, tidak ada lagi yang tersisa. Ratusan
warga dilaporkan hilang, kebun dan ladang rusak. Bahkan atap-
atap rumah hanyut seperti perahu kertas di sungai yang deras.
Dua desa telah tenggelam, termasuk istana megah Sukri. Peme-
rintah telah mengirim regu penyelamat untuk mencari korban-
korban selamat, mendata kerusakan, menghitung kerugian.
Namun hanya mayat-mayat yang tersangkut di pohon, terbenam
di lumpur atau tertimbun rumah mereka sendiri.
Satu bulan berlalu. Desa itu menjadi desa mati. Hanya tersisa
reruntuhan rumah, perabotan rumah tangga yang berserakan
dimana-mana. Ada seorang pemuda yang sedang mengamati
sisa-sisa bencana itu. Tidak tahu apa yang dia cari. Dia hanya
mengamati sesuatu. Pakaiannya lusuh, rambutnya tampak tidak
rapi, mukanya kusut. Lelah mengamati sisa-sisa reuntuhan itu.
Dia terduduk di tanah. Menunduk, tanpa harapan, pasrah, dan
pandangan matanya kosong. Tanpa sengaja kaki telanjangnya
menginjak sesuatu yang keras, sesuatu yang menyembul dari
tanah berwarna putih.
Penasaran. Dia menggali sembulan benda putih yang meng-
ganggu kakinya. Digunakannya potongan besi dari reruntuhan
rumah itu. Setelah beberapa lama menggali tanah yang masih
empuk itu, dia terperanjat. Matanya terbelalak melihat tengkorak
manusia yang tidak sengaja sudah berada di tangannya. Dia
membersihkan tengkorak itu dengan baju lusuhnya, tanpa rasa
takut dia memasukkan tengkorak itu di dalam buntalan sarung-
nya dan membawanya pulang. Tengkorak itu adalah tengkorak
kepala Sukri.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 171


Boneka Cumplung

Riyadi
Guru SD Negeri Pangebatan, Karanglewas, Banyumas

Cepet kecil berkepala gundul itu sangat susah dipahami siapa


dia sebenarnya. Seluruh wajah dan tubuhnya dilumuri larutan
jelaga yang dicampur minyak goreng sisa. Membuat ia benar-
benar berbeda dari bentuk wajah aslinya. Tubuh kurusnya telan-
jang bulat. Hanya celana kolor lusuh sekadar membalut bagian
auratnya. Sesekali terlihat giginya putih menyembul di antara
wajahnya yang hitam pekat.
Siapa sangka kalau dia adalah Jumali. Anak seusia sepuluh
tahunan itu terus bergerak-gerak seperti menari tak beraturan.
Dengan semangat dan khidmatnya ia terus menggerak-gerakan
tangan dan kakinya dengan kepala sedikit menengadah ke langit
yang biru di tengah sawah kering retak-retak. Seperti setengah
kesurupan ia terus bergerak tanpa mempedulikan sekelilingnya.
Orang-orang yang ikut serta berdoa dengan mantra-mantra pe-
nurun hujan pun khusuk dengan keyakinannya.
Anak laki-laki kecil itu sebenarnya tak begitu mengerti apa
yang ia lakukan, tetapi ia yakin bahwa apa yang dikerjakan adalah
sebuah perjuangan suci. Perjuangan untuk menolong orang-
orang di desanya yang sudah sepanjang hampir tujuh bulan ter-
paksa tidak bertanam dan harus bersusah payah mencari air di
sumber yang sangat jauh. Yang pasti ia ingin memberi kebaikan
seperti yang pernah diajarkan Kang Kowi.
Ia tak peduli panasnya terik matahari di tengah sawah.
Cerita-cerita seperti putri hujan dan lain-lain telah mengilhami

172 Menipu Arwah


pikirannya. Ia ingin seperti mereka yang rela mati untuk orang
lain. Ia tak mau hanya puas menikmati air segar tanpa tahu siapa
yang mendapatkannya.
“Sulasih sulanjana, kukus menyan ngundang dewa, ana dewa
dening sukma, widadari temuruna”, komat-kamit Kang Kowi me-
rapalkan mantera begitu jelas terdengar. Laki-laki seusia hampir
60 tahunan itu adalah seorang pawang dalam ritual cowong itu.
Ia menjadi sesepuh yang dipercaya oleh sebagian masyarakat
di desanya menjadi pemimpin cowong.
Sebuah boneka berkepala cumplung dan berbadan bilah bam-
bu menyalib dibalut baju dan jerami tampak lucu. Bukan lucu,
tapi barangkali lebih tepat disebut menyeramkan. Matanya
seakan menatap setiap orang yang menyaksikannya dalam ritual
tersebut. Semakin ditatap, ia pun seperti balik menatap lebih
menyeramkan. Bola matanya yang mirip mata kucing seperti
mengandung setan. Ia bergerak-gerak liar dalam genggaman
Kang Kowi. Dan gerakan itulah yang diikuti sebisanya oleh
Jumali dan beberapa teman lainnya sebagai cepet kecil.
“Nini cowong gayor-gayor ginotong, ginotong tali gandhik, ora
minyak ning dondom, Nini Kerti neng iringan, Kaki Kerti neng
gendhongan, reg-regan, rog-rogan....,” Kang Kowi melanjutkan
manteranya penuh semangat.
Suasana semakin menyeramkan manakala para pemain dan
pawang mulai tampak konsentrasi penuh. Berkeliling mengitari
kepulan asap bakaran kemenyan dan berbagai sesaji lainnya.
Konon roh-roh merasuki boneka cumplung hingga gerakan
mereka pun semakin tak karuan. Kang Kowi tampak mulai tak
kuasa mengendalikan boneka cumplung itu. Getarannya semakin
kuat, beratnya semakin bertambah. Konon itulah tanda-tanda
bahwa keinginan mereka akan terkabul. Dan semua peserta
ritual semakin yakin sehingga apa saja yang dilakukan dan di-
ucapkan Kang Kowi diikutinya dengan penuh khidmat.
Tak sampai selang beberapa jam setelah ritual berakhir se-
ketika hujan turun dengan derasnya. Seluruh warga dusun me-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 173


nyambut dengan sukacita. Debu tersapu habis, tanah minum
sepuasnya, panas redup seketika, tetumbuhan mengeliat menam-
pakkan kesegarannya. Retak sawah tergenang air, dan orang-
orang bersyukur kepada sang Penguasa Alam. Semua berkat
cowong.
Entah benar mujarab atau hanya kebetulan saja, ternyata
hujan benar-benar turun dengan lebatnya tak lama setelah ritual
selesai. Orang-orang bersukaria. Mereka mengelu-elukan para
pelaku ritual. Dan payahnya mereka semakin percaya bahwa
cowong benar-benar menjadi ritual yang begitu ampuhnya untuk
mendatangkan hujan.
Hanya saja hiruk-pikuk kegembiraan masyarakat di desanya
menyambut hujan tak berlangsung lama. Peristiwa hanyutnya
Suranti, adik Jumali segera menghapus hiruk-pikuk kegembiraan
dan menggantinya menjadi kepanikan orang sekampung.
Terutama bagi keluarga Jumali.
Sebagian orang menyalahkan ritual cowongan. Mereka
menganggap kejadian itu sebagai murka Tuhan. Kualat, begitu
ujar mereka. Ada juga yang menganggap setan minta tumbal
dengan menyambar nyawa anak kecil itu. Sebagian lagi mem-
bantahnya dan menyalahkan orang tua anak itu yang teledor
membiarkan anak kecil bermain di sungai. Saling tuduh pun terjadi
di antara mereka. Dan saling tuduh itu menjadi tonggak per-
lawanan dua kubu masyarakat di sana hingga sekarang.
Itulah kejadian beberapa tahun yang lalu yang dialami Jumali
saat dirinya masih menjadi cepet cowong. Ia pun kembali dapat
mengenang kejadian itu dengan jelasnya. Bahkan, mungkin tak
akan bisa terhapus dari pikirannya. Tanpa sepengetahuan Emak
dan Bapaknya, adik Jumali bermain-main di pinggir sungai Jengok.
Namun, tiba-tiba hujan lebat dan datang banjir yang menyeret-
nya hingga akhirnya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa.
Jumali sangat terpukul waktu itu. Ia merasa berdosa sekali
mengingat dirinya saat itu ikut menjadi pelaku dalam ritual
cowong meminta hujan di sawah pinggir kampungnya yang

174 Menipu Arwah


berakhir dengan datangnya banjir. Sejak itulah Jumali memutus-
kan berhenti menjadi cepet dalam setiap ritual. Apalagi ketika
orang tuanya jelas-jelas melarangnya.
Ritual tersebut dulu memang diyakini oleh sebagian masya-
rakat di desanya dapat mendatangkan hujan. Dengan berbagai
sesaji dan laku ritual beberapa orang tokoh melakukan ritual
dengan khidmatnya. Mereka melakukan hal itu jika hujan tak
kunjung datang di desa yang telah dilanda kekeringan itu. Atas
kesepakatan beberapa tokoh masyarakat dan warga, biasanya
ritual cowong itu pun dilakukan.
Tradisi turun-temurun warisan nenek moyang itu sudah
mendarah daging di kampung Jumali. Namun, sejak peristiwa
itu akhirnya Kang Kowi dianggap menjadi biang petaka untuk
adik Jumali. Cowong dianggap menjadi penyebab bencana bagi
manusia.
“Mulai besok terpaksa aku harus berhenti menjadi cepet,
Kang,” ujar Jumali mengeluh kepada Kang Kowi beberapa bulan
setelah peristiwa itu. Suaranya tampak serak dan tertahan seperti
sebuah penyesalan.
“Aku juga tidak bisa memaksamu, Jum,” jawab Kang Kowi
agak kecewa. “Aku tahu, orang tuamu dan orang-orang di kam-
pung ini semua telah menyalahkan kita.”
Anak kecil itu mengangguk pelan. Ia mengerti akan maksud
Kang Kowi tentunya. Meski dirinya mengiyakan, tetapi batinnya
bukan berarti setuju dengan anggapan mereka.
“Sekarang pulang saja kamu ke rumah!” bujuk laki-laki itu
menyarankan.
“Turuti semua nasihat orang tuamu!”
Anak laki-laki itu tetap membisu. Kepalanya menunduk se-
akan tak tega meninggalkan laki-laki yang telah mengajarinya
cowongan.
“Tinggalkan aku saja!” ujar laki-laki itu.
“Aku akan mencoba tetap menghidupkan boneka complung-
ku semampuku. Biarpun aku akan sendiri.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 175


Sejak itu Kang Kowi merasa semakin banyak ditinggalkan
oleh teman-temannya. Kang Koderi terpaksa juga berhenti dari
permainan cowong setelah si cepet Jumali dan Tarsim mengundur-
kan diri lebih dulu. Kang Koderi mendapat pertentangan dari
istri dan mertuanya yang jelas-jelas tidak merestuinya jauh-jauh
hari sebelumnya. Maka ketika terjadi peristiwa itu, menjadi waktu
yang tepatlah bagi istri dan mertuanya untuk memenangi perten-
tangan itu. Dan benar, Kang Koderi pun harus mengakui ke-
kalahannya. Begitu pula teman-teman yang lainnya. Sebagian
besar mulai lebih memilih kembali ke kiblatnya, meminta hujan
di lapangan dengan doa yang diajarkan oleh Kyai Khasim di
surau pinggir kali.
Sejak itu pula mantra Kang Kowi menjadi lapuk termakan
panas musim kemarau hingga sulit kembali dikenali. Hanya Kang
Kowi seorang yang masih tahu tentang rapalan-rapalan mantra
penurun hujan. Itu pun kini tinggal rapalan saja. Tak pernah lagi
ia ucapkan seperti dulu setiap kemarau datang berbulan-bulan.
Kalaupun ia mengucapkan, sekarang bukan lagi untuk menurun-
kan hujan tapi tidak lebih untuk mengundang penonton dan
wartawan. Itu pun sudah tak lagi dilakukan di pesawahan, me-
lainkan di halaman.
Meski mendapat kecaman keras, jiwa Kang Kowi tetap
berkeyakinan boneka cumplungnya suatu saat harus hidup. Maka
sekali waktu ia pun mencoba untuk membangunkan boneka
buatannya itu.
Seperti siang ini, Kang Kowi kembali bermaksud untuk
menghafal rapalan-rapalan lapuknya. Ia kabarkan kepada para
teman yang masih mau berteman, para tetangga yang masih
mau diajak bicara, dan kepada para wartawan kalau dirinya
akan menjalankan pertunjukan cowong. Ia kabarkan bahwa per-
tunjukan kali ini juga bukan untuk mengundang hujan. Melainkan
sekadar menghangatkan ingatan. Lama sudah ia terpaksa harus
menyimpan boneka cumplungnya. Sayangnya untuk pertunjukan
kali ini ia pun benar-benar harus mengurus seorang diri. Hanya

176 Menipu Arwah


istri dan anak semata wayangnya yang bersedia membantu
dengan ketulusannya.
Di sudut pekarangan Jumali merunduk-runduk. Ingin sekali
menyaksikan Kang Kowi memulai aksinya menggelar ritual
cowong sebagaimana yang sering diikutinya dulu. Dari balik
semak-semak pohon pisang di kebun Eyang Irsad dia menyaksi-
kan dengan sembunyi-sembunyi. Betapa berat perjuangan Kang
Kowi untuk mengangkat boneka cumplung itu.
Seperti seorang dalang jemblung yang harus memainkan
wayang sendiri, menabuh gamelan sendiri, dan menyinden
sendiri. Ia rasanya menjadi boneka cowong yang harus bergerak
sendiri. Untuk sekadar bermain-main dengan cepet kecil saja
sudah tak ada. Padahal pertunjukkan ini benar-banar bukan
untuk mengundang setan yang akan diutus untuk mendatang-
kan hujan. Pertunjukkan kali ini ia maksudkan untuk membangun
sisa-sisa budaya nenek moyangnya yang mungkin bisa dijual
untuk kesejahteraan dirinya dan masyarakat di sekitarnya.
Namun, sekali lancung ke ujian. Ia sudah terlanjur membunuh
Suranti adik Jumali. Boneka cumplung harus mendapat hukuman
yang setimpal.
Kini anak itu hanya bisa mendengarkan saja sayup-sayup
suara mantra ritul cowong yang dipertunjukkan Kang Kowi. Ia
hanya dapat membayangkan betapa asyiknya menjadi cepet kecil
yang ikut berjasa mendatangkan hujan. Ia bangga menjadi cepet
kecil meski seluruh wajah dan tubuhnya harus dilumuri cairan
jelaga hingga tak tampak wajah aslinya. Ia rela kepalanya di-
botaki seperti tuyul dan menari-nari tanpa aturan demi sebuah
keinginan. Ia bangga orang-orang di desanya merasa tertolong
dengan ritualnya yang menyebabkan datangnya hujan.
“Sulasih sulanjana, kukus menyan ngundang Dewa, Ana Dewa
dening sukma,widadari temuruna,” terdengar mantera Kang Kowi.
“Nini cowong goyor-goyor ginotong, ginotong tali gandhik, ora
minyak ning dondoman, Nini Kerta neng iringan, Kaki Kerta neng
gendhongan, reg-regan, rog-rogan,” lanjutnya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 177


“Sekolang- kaling mateng, ditutur udan-udan, reg-regan,
rog-rogan, kaya pinjel pinangan.”
Mantera Kang Kowi terdengar jelas di telinga Jumali. Meski
suaranya sudah tak selantang dulu, bagi Jumali mantra itu sudah
akrab di telinganya. Ia pun seakan telah hafal benar. Hanya saja
dirinya tak mampu mengerti apa maksudnya meski Kang Kowi
pernah menjelaskannya.
“Urusan hujan adalah urusan Tuhan, bukan urusan setan,
Jumali,” tiba-tiba sebuah tangan lembut menepuk punggungnya.
Meski lembut, cukup mengagetkan dirinya.
Jumali menoleh ke belakang. Suara yang tak asing bagi diri-
nya. Namun, ia harus memastikan bahwa itu suara Eyang Irsad
yang selama ini selalu memberi nasihat kepadanya untuk tidak
mengikuti ritual itu.
Meski ia telah menjelaskan bahwa pertunjukan cowong saat
itu bukanlah untuk meminta hujan, Eyang Irsad tetap saja tak
menyetujui dirinya menonton cowong.
“Apa bedanya dulu dan sekarang?” sanggah eyangnya.
“Selama kamu masih berdekatan dengan cowong, maka kamu
sedang bersahabat dengan setan.”
Jumali diam saja. Buat apa berdebat dengan orang tua.
Hanya menambah dosa saja, sedangkan dosa menenggelamkan
adiknya saja rasanya belum juga termaafkan.
“Ayo cepat pulang!” bujuk laki-laki tua itu seraya setengah
menarik tangan kecil itu.
“Atau Emakmu mau Kau hanyutkan di sungai itu juga?”
Mantan cepet kecil itu pun tak sanggup menolak perintah
Eyang Irsad. Ia selalu merasa sangat berdosa setiap kali men-
dengar tentang orang yang terseret banjir. Ia pun segera berdiri
dan melangkahkan kakinya pelan hendak pulang.
Beberapa langkah kemudian, begitu Jumali hendak pulang,
ia dikejutkan oleh datangnya sekelompok orang berlarian menuju
tempat Kang Kowi mempertunjukkan boneka cumplung dan cepet

178 Menipu Arwah


kecilnya. Mereka tampak terburu-buru dengan muka beringas.
Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang menenteng parang
dan pentungan kayu dan bambu.
Jumali merasa melihat ada yang aneh kali ini. Kekhawatiran
besar memenuhi pikirannya. Akan terjadi apakah ini, pikirnya.
Tak mau ia melanjutkan langkahnya pulang, ia pun menoleh kem-
bali ke halaman rumah Kang Kowi. Dan apa yang dikhawatirkan
pun benar-benar terjadi.
Beberapa pentungan bambu mengobrak-abrik segala yang
ada di tempat itu. Sepotong tongkat kayu menyambar tubuh
boneka cumplung yang ada di tangan Kang Kowi dengan iringan
irama beringas. Boneka cumplung terlempar jauh meninggalkan
tangan majikannya tanpa perlawanan. Cepet kecil lari terbirit-
birit menyelinap di balik bibir sumur tua seraya berdoa agar
Dewa menyelamatkan ayahnya dari petaka.
Kang Kowi tak mampu berkutik. Segala yang ada di situ
porak-poranda. Boneka cumplung terpisah kepalanya. Kini boneka
cumplung tidak lagi menari-nari di tangan Kang Kowi, tetapi sudah
terkapar sekarat. Boneka cumplung tidak lagi menyeramkan seperti
dulu. Sang Majikan tak lagi punya daya untuk menyelamatkannya.
Matanya sudah tak seberingas dulu, malah seperti menangis
meratapi nasibnya sambil menunggu kematiannya.

Catatan :
cowongan : ‘upacara ritual meminta hujan di daerah Banyu-
mas zaman dulu’
cepet : ‘makhluk kecil sebangsa tuyul’
cumplung : ‘tempurung kelapa’
Dalang Jemblung : ‘kesenian khas Banyumas di mana seorang
dalang memainkan wayangnya sekali gus merangkap meng-
iringi gamelannya dengan suara mulut’

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 179


Gadis Bermata Bidadari

S. Prasetyo Utomo
Guru SMA 13 Semarang

Sama sekali Broto tak pernah menduga bila ia akan kedatang-


an tamu dari ibu kota. Seorang gadis bermata sebening telaga,
tanpa berdandan, anggun, memasuki padepokan, naik taksi dari
bandara. Broto menatap sepasang mata yang bulat, indah, jeli,
dan berbinar. Inikah sepasang mata bidadari? Belum pernah dia
memandang sepasang mata gadis secemerlang ini.
Gadis bermata bidadari itu tiba-tiba muncul, seperti seorang
sahabat lama, akrab, dan penuh kenangan. Ia memperkenalkan
diri sebagai kakak perempuan idiot yang dirawat Broto. Semula
perempuan idiot itu tinggal seorang diri di rumah setelah adik
lelakinya, maling yang kepergok orang-orang desa, mati dike-
royok. Broto merasa iba dengan nasib perempuan idiot itu. Ia
membujuk dan mengajak perempuan idiot itu untuk tinggal di
padepokan miliknya. Menempati sebuah kamar kosong di antara
para penari.
Dalam hati Broto menduga bila gadis bermata bidadari itu
akan menjemput adik perempuannya. Dia datang dengan pe-
nampilan yang ramah, tanpa basa-basi. Akan tetapi, kelihatan
menyembunyikan maksud kehadirannya.
“Aku berniat menjual rumah warisan orang tua,” kata gadis
bermata bidadari itu.
Mengapa gadis bermata bidadari itu tak membicarakan
perempuan idiot, adik kandungnya? Masih diingat Broto ketika
perempuan idiot itu ditinggal mati adik lelaki yang merawatnya,

180 Menipu Arwah


seorang maling yang tubuhnya dirajam penganiayaan orang-
orang desa. Ia merasa iba terhadap perempuan idiot itu, yang
tinggal sendirian di rumah. Pada mulanya ia bimbang untuk
merawat perempuan idiot tanpa pelindung itu, kemudian di-
putuskan untuk menyelamatkannya. Ia menuntun perempuan
idiot meninggalkan rumahnya, dibawa pulang ke padepokan.
Anak-anak desa mengolok-olok. Perempuan idiot itu malah ter-
senyum-senyum, dungu. Dua minggu perempuan idiot itu ting-
gal di padepokan, kerasan, dan menemukan banyak teman ber-
main.
Kedatangan gadis bermata bidadari yang mengaku sebagai
kakak tertua perempuan idiot itu sungguh membangkitkan
tanda tanya di hati Broto: apakah sekadar menjual rumah warisan
orang tua?
“Mudah-mudahan kau berkenan membeli rumah kami,” kata
gadis bermata bidadari, penuh daya pikat yang sulit dihindari
Broto. Mengapa ia tak dikenali adik perempuannya? Broto me-
lihat perempuan idiot ketika bertemu gadis bermata bidadari
itu cuma memandangi saja, seperti tak mengenal. Pandangan
perempuan idiot itu kosong, hampa, tanpa sapaan, tanpa per-
mintaan perlindungan. Benarkah dia kakak perempuan idiot dan
maling yang dibunuh orang-orang desa? Barangkali istriku – yang
banyak bergaul dengan orang-orang desa – mengenal akan gadis bermata
bidadari yang mengaku sebagai kakak perempuan idiot itu.
“Apa kau tak ingin tinggal di desa ini?” tanya Broto.
“Sudah lama aku putuskan untuk meninggalkan desa ini.
Tak ada keinginan dalam diriku untuk tinggal di desa ini. Karena
itu, kujual rumah kami,” kata gadis bermata bidadari dengan pe-
nuh permohonan. Ia mencoba memengaruhi pemilik padepokan
ini.
“Terus terang, aku ragu, untuk apa rumah itu kubeli. Jauh
dari padepokan.”
“Kelak rumah itu bisa Kau jual lagi.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 181


Broto meminta pertimbangan istrinya, Laksmita, sebelum
memutuskan membeli rumah gadis bermata bidadari itu. Di luar
dugaan Broto, Laksmita sepakat untuk membeli rumah itu. Dia
membicarakan harga rumah. Melakukan tawar-menawar. Terjadi
kesepakatan. Tiga hari lagi Broto berjanji akan membayar tunai
rumah. Tampak gadis bermata bidadari itu bersinar wajahnya.
Ia berpamitan, akan menginap di rumah peninggalan orang
tuanya.
***
Sungguh aneh, gadis bermata bidadari itu seperti meng-
hadirkan sihir yang menumpulkan pikiran Broto. Ia seperti ke-
hilangan akal sehat, terpana pada kecantikan gadis bermata
bidadari yang menenteramkan. Yang menyebabkan Broto
menaruh curiga terhadap gadis bermata bidadari itu terutama
sikap adiknya. Perempuan idiot itu sama sekali tak memper-
lihatkan perasaan kangen, bahagia atau akrab, ketika gadis ber-
mata bidadari itu menemuinya. Perempuan idiot itu tak bereaksi
dengan kata-kata, perangai, atau pandangan mata. Gadis ber-
mata bidadari itu menangis, terisak-isak, hingga terguncang-
guncang bahunya, perempuan idiot itu tak peduli. Ia seperti
seseorang yang asing terhadap gadis bermata bidadari, seperti
tak sedikit pun meninggalkan kenangan.
Gadis bermata bidadari itu kembali datang pada hari be-
rikutnya untuk menemui perempuan idiot. Seperti kemarin,
tanpa berdandan ia kelihatan cantik, harum, dan memikat siapa
pun yang memandanginya. Gadis bermata bidadari itu masih
tampak asing bagi adik perempuannya. Ia mengajak ngobrol
adik perempuannya, dan seperti ingin menghapus jejak keter-
asingannya, atau mungkin, menghapus jejak ketakpeduliannya
pada nasib adik perempuannya.
“Aku meninggalkan adik perempuanku begitu lama,” kata
gadis bermata bidadari. “Lama tak bertemu, mungkin dia merasa
asing denganku.”

182 Menipu Arwah


Broto melacak jejak rasa bersalah pada gadis bermata bida-
dari. Tak ditemukan bayang-bayangnya. Ia tampak anggun de-
ngan dirinya sendiri.
“Kau tak ingin merawatnya?” tanya Broto, mendesak gadis
bermata bidadari.
Wajah gadis bermata bidadari itu tetap agung dan menam-
pakkan penolakannya. Ia menggeleng, meski tak sepenuh hati.
Tak meredup sepasang matanya. Tetap indah, jeli, dan bersinar.
Tetap sebening permukaan air telaga. Hanya kelopak matanya
yang menyipit, mengernyit. Akan tetapi, tidak mengaburkan
kecemerlangannya.
“Tidak mudah merawat dia di ibu kota, rumahku kecil, ke-
hidupan keras.”
“Kau tak ingin kembali ke kampung halaman?”
“Kehidupanku bukan lagi di desa ini,” kata gadis bermata
bidadari. “Aku meninggalkan desa ini sudah sejak remaja, ketika
ibu meninggal dan ayah tak pernah berhenti berjudi. Mungkin,
aku egois. Dengan cara inilah aku bisa hidup selamat.”
***
Gadis bermata bidadari itu datang lagi pada hari berikutnya
untuk menengok perempuan idiot, yang masih bersikap sama
seperti kemarin: tak mau mengenal kakak perempuannya. Kali
ini gadis bermata bidadari itu memohon maaf, tak bisa mengajak
serta adik perempuannya ke ibu kota.
Dandanan gadis bermata bidadari itu sekadarnya, menam-
pakkan kecantikan yang alami. Broto mulai menduga-duga,
berapa umur gadis bermata bidadari itu: duapuluh empat? Ia
tampak sempurna. Melihat dandanannya yang sederhana, ia tak
memerlukan sanjungan, tak ingin menarik perhatian kaum laki-
laki.
“Aku sangat mengenalmu, sejak kau muda,” kata gadis ber-
mata bidadari itu. “Kau selalu mengikuti ayahmu mendalang
wayang kulit. Kau memainkan kendang. Aku juga mengenal
istrimu, yang menempati rumah di sebuah pekarangan luas, yang

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 183


kini Kau jadikan padepokan. Istrimu dulu hidup terpencil. Ia
hanya tinggal berdua dengan ayahnya.”
Gadis bermata bidadari itu terus bercerita tentang masa
kecilnya yang tak bahagia, dengan rasa marah pada ayahnya. Ia
tak tahan lagi hidup bersama ayahnya yang senantiasa pulang
berjudi pada dini hari, dengan mata merah, rambut acak-acakan.
Tak peduli pada istri dan anak-anak yang lapar, tanpa makanan.
Ketika ibunya meninggal, ia merasa kehilangan pelindung. Ia
memilih meninggalkan rumah, pergi merantau ke ibu kota. Tak
pernah pulang.
“Ayahku meninggal di tempat judi,” kata gadis bermata
bidadari. “Adik lelakiku memberi kabar. Aku malu untuk pulang.
Lalu, aku dengar adik lelakiku menjalani hidup sebagai maling.
Aku semakin tak ingin pulang.”
“Kamu pulang setelah adik lelakimu meninggal?”
“Ya. Inilah kesempatanku untuk pulang. Aku mencemaskan
adik perempuanku yang idiot. Ketika mendapati ia kerasan ting-
gal di sini, aku merasa tenteram. Aku berhutang budi pada
keluargamu.”
Gadis bermata bidadari itu seperti tak merasa bersalah me-
ninggalkan adik perempuannya yang idiot di desa, dan ia me-
nikmati kehidupannya sendiri. Ia serupa bidadari yang mening-
galkan bumi untuk menetap di kahyangan. Kemudian Broto
berpikir: bekerja sebagai apakah dia di ibu kota?
“Akan Kau gunakan apa uang penjualan rumah ini?” tanya
Broto, menyelidik.
“Aku merintis bisnis kecil-kecilan. Aku perlu modal.”
***
Membawa sertifikat tanah, wajah gadis bermata bidadari
itu tampak bercahaya, sedikit gugup dan penuh harap. Ia ber-
dandan dengan cara yang menarik, tipis, dan menampakkan
kecantikannya. Broto melihat dari dekat, wajah gadis itu lebih
menarik dari wajah para penari. Ia tampak bukan keturunan
orang kebanyakan, dilihat dari pancaran mata, raut wajah, dan

184 Menipu Arwah


perilakunya. Meski bukan sebagai seorang gadis yang angkuh,
ia menampakkan sikap yang penuh dengan keyakinan, keper-
cayaan diri yang utuh. Gadis ini sungguh malang: ayahnya pen-
judi, adik perempuannya idiot, dan adik lelakinya seorang maling.
Ketika Broto sempat melacak leluhur gadis bermata bidadari,
menemukan silsilah eyangnya merupakan keluarga priyayi.
“Apa Kau ingin menyelamatkan adik perempuanmu suatu
saat?” tanya Broto. Ia bukan kerabat gadis bermata bidadari,
bukan teman baik. Namun ia merasa terpanggil untuk menye-
lamatkan perempuan idiot itu.
“Aku belum bisa memastikan untuk membawa serta dia
dalam hidupku.”
“Atau, Kau tak ingin kembali hidup di desa ini?” tanya Broto.
Dia sudah menduga, bila gadis bermata bidadari itu meng-
geleng.
“Aku tak ingin kembali menjalani hidup serupa pada masa
silam.”
Ketika uang pembayaran rumah sudah diterima gadis ber-
mata bidadari itu, tampak perubahan pada perangainya, lebih
bergairah. Ia seperti ingin buru-buru meninggalkan padepokan.
Ia memang berusaha berpamitan dengan adik perempuannya
yang idiot. Kali ini ia menangis.
“Kamu baik-baik hidup di sini. Aku belum bisa tinggal
bersamamu. Kelak kalau hidupku sudah berkecukupan, akan
kujemput Kau.”
Gadis bermata bidadari itu termangu-mangu, langkahnya
tersendat, memasuki pintu taksi, dan meninggalkan pelataran
padepokan, menuju bandara. Ia sudah memesan tiket penerbang-
an siang. Dalam benak Broto berkembang angan-angan: barang-
kali suatu saat ia akan kembali datang ke padepokan untuk
menengok adik perempuannya, bahkan menjemputnya.
***
Dada Broto terasa lega sepulang gadis bermata bidadari
itu. Tidak lagi berhadapan dengan sihir kecantikan. Ia menikmati

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 185


kopi hangat dan pisang goreng yang disediakan Laksmita di
meja pendapa. Lama Broto dan Laksmita berdiam diri. Berhadap-
hadapan. Sesekali meneguk kopi. Broto menahan diri untuk tak
mengatakan sesuatu yang buruk mengenai kepergian gadis
bermata bidadari dari pelataran padepokan.
“Apa Kau yakin, gadis itu akan kembali untuk menjemput
adik perempuannya?” tanya Laksmita, mengatasi keraguan
hatinya.
“Aku tak begitu yakin dia akan melakukannya. Ia seorang
bidadari, tempatnya di kahyangan.”
“Kalau dia tahu, betapa kita mendapat rezeki melimpah
setelah merawat perempuan idiot itu, tentu tak akan menelantar-
kannya serupa ini.”
Masih terbayang dalam benak Broto betapa gadis bermata
bidadari itu menangis. Mata itu masih memancarkan keteduhan
permukaan telaga, bulat, indah, jeli, berbinar, dan tergenang
airmata.
***
Pandana Merdeka, Mei 2019

186 Menipu Arwah


Babi Hutan Berkalung Merah

Ki Sudadi
Guru SMP Negeri 1 Wadaslintang, Wonosobo

Ki Utomo masih khusyuk, berasyik masuk dengan zikir yang


ia ucapkan ketika malam merambat menuju pagi. Di langgar kecil
di depan rumahnya itu, ia selalu bermunajat mengadukan segala
perkara hidupnya kepada Allah Swt. Jari jemarinya sibuk me-
mainkan butiran tasbih. Mulutnya tiada henti mengagungkan
asma Allah, penguasa segala alam. Sesudahnya ia kembali khu-
syuk berdoa. Selain keselamatan diri, keluarga, kaum muslimin
dan muslimat, ada satu permohonan yang selalau ia ucapkan;
“Ya Allah limpahkanlah anugerah ke Desa Kumejing ini. Beri-
kanlah warga desa ini kesempatan menikmati hasil pembangun-
an agar tidak lagi jadi warga di desa terpencil dan terisolasi
selamanya. Hanya Engkau yang kuasa mendengar doa-doaku.
Kabulkanlah permohonan hambamu yang lemah ini ya Allah.”
Doa itu menyiratkan keprihatinan Ki Utomo yang amat
dalam. Satu keprihatinan yang tidak mengada-ada. Sudah tujuh
puluh tiga tahun Indonesia merdeka tapi tak ada bau semen,
apalagi aspal hotmix yang menghiasi jalanan desa yang berada
di balik Waduk Wadaslintang ini. Untuk mencapai desa ini, orang
harus membelah luasnya Waduk Wadaslintang dengan perahu
sederhana dan mempertaruhkan nyawa. Beberapa warga bahkan
mati tenggelam di tengah waduk. Jalan darat harus berputar
jauh. Jalanan sempit berlapis bebatuan terjal itu hanya bisa di-
lewati truk dan motor trail. Pemerintahan telah berganti berkali-
kali, tapi desa terpencil ini tak pernah masuk agenda pembangun-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 187


an yang diutamakan. Selalu ada tempat lain yang harus dibangun
lebih dulu. Ada yang harus lebih diutamakan, hingga jatah
pembangunan untuk desa itu tertunda sampai kapan tak
diketahui.
Waktu telah melewati ujung sepertiga malam terakhir. Ki
Utomo hampir selesai memanjatkan doa. Tiba-tiba terdengar
keramaian teriakan orang-orang yang tampak bergerak men-
dekati Langgar Nurul Iman. Suara teriakan itu semakin jelas
terdengar.
“Gebug!
Tangkap!
Ayo! Kejar!
Jangan sampai lepas celeng itu!” teriak orang-orang ber-
sahutan.
Ki Utomo segera berlari, keluar dari langgar. Lampu neon
sepuluh watt yang menjulur ke gang di luar langgar membantu-
nya melihat kelebat seekor binatang liar berwarna hitam ber-
moncong panjang melintasi jalan kecil di samping langgar itu.
Ki Utomo mengamati, meskipun hanya sekilas, tampak seperti
ada belang merah yang memanjang di leher babi hutan itu.
“Masya Allah, babi hutan berkalung merah?”
Gumam Ki Utomo sendirian sambil mengusap-usap matanya.
Ia hampir takpercaya akan melihat binatang itu lagi.
“Ki, lihat celeng nggak?” teriak Kang Tumin tergesa-gesa
mengagetkan.
“Iya ke sana!” jawab Ki Utomo menunjuk arah larinya babi
liar itu.
Tanpa berkata-kata lagi, Kang Tumin diikuti segerombolan
anak muda memburu celeng berkalung merah itu. Beni, Karjo,
Ponirin, Hamdan, Farid, dan banyak pemuda lain mengikuti.
Mereka membawa pentungan, pangkal batang bambu, tongkat,
golok, dan alat gebug lainnya. Ki Utomo tak ikut mengejar
binatang liar itu. Tenaganya sudah tak mampu mengejar celeng.
Setelah para pemuda berlarian, tinggal beberapa lelaki tua yang

188 Menipu Arwah


tampak kelelahan ikut memburu celeng. Masih terengah-engah,
Kang Bamin dan Mbah Muniro berjalan menghampiri Ki Utomo
di halaman langgar. Mereka tak berminat lagi ikut mengejar
binatang buruan yang lari ke arah utara itu.
“Aduh Ki! Nggak mampu lagi aku ikut mengejar,” kata Kang
Bamin berjalan agak pincang.
“Nyong ya wis ra teyeng mlayu kiye,” kata Mbah Muniro
menimpali.
“Sudahlah. Kalian ke sini saja. Coba ceritakan bagaimana
kejadiannya Kang Bamin?” kata Ki Utomo sambil berdiri.
“Ehh, kejadiannya tadi lepas tengah malam Ki. Seekor celeng
besar masuk ke pekarangan Kang Tumin. Binatang itu meng-
endus-endus rumah Kang Tumin. Untung Kang Tumin segera
bangun. Ia segera ambil pentungan. Berteriak. Tetangga ikut
membantu mengejar binatang itu,” jawab Kang Bamin.
“Mungkin itu babi ngepet Ki,” sela Mbah Muniro.
“Hus! Jangan mudah menuduh. Nanti jadi fitnah.”
“Buktinya celeng itu mengendus-endus rumah. Pasti sedang
mencari tahu ada uang atau tidak di dalam rumah. Padahal
rumah Kang Tumin sedang banyak uang. Anaknya baru saja
pulang dari Hong Kong. Selesai kontrak dua tahun jadi TKW,”
tambah Mbah Muniro.
“Mungkin saja benar banyak uang di rumah Kang Tumin.
Namun tidak lantas bisa disimpulkan itu babi ngepet. Aku yakin
itu tadi bukan babi jadi-jadian. Tadi aku malah melihat sekilas
ada belang merah di leher babi hutan itu.”
“Yakin Ki?”
“Iya.”
“Lho? Memang kenapa Ki? Belang merah itu apa artinya?
Apa bedanya dengan babi hutan lainnya?”tanya Kang Bamin.
“Kalian lupa ya? Nenek moyang kita yakin kalau celeng
kalung abang itu bukan sembarang babi hutan. Menurut keyakin-
an kuno, celang seperti itu pertanda keberuntungan. Desa atau
warga Desa Kumejing akan mendapat keberuntungan besar.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 189


“Ah, yang bener Ki?”
“Nggak percaya?! Celeng kalung abang itu penanda keber-
untungan, tetapi butuh tumbal. Ini yang memprihatinkan.”
“Lha itu? Itu yang menakutkan. Kepriben kiye? Enggane ke-
luwarga utawa batire nyong sing dadi tumbal?”kata Kang Bamin
dengan nada ketakutan.
“Nyong ya emoh lah! Jadi tambal atau jadi tumbal? Nyong ya
bebeh!”sahut Mbah Muniro.
“Nyong kudu prige Ki?” tanya Kang Bamin penasaran.
“Nah, untuk itu, kita tidak perlu mengejar babi hutan itu.
Biarkan dia muncul di sini, karena itu sekadar memberi firasat
saja. Nanti pasti hilang sendiri. Aku yakin. Kita harus memper-
banyak zikir dan munajat. Kita mohon keselamatan diri dan
keluarga. Jangan lupa doakan agar Desa Kumejing segera men-
dapatkan jatah pembangunan. Jalan beraspal masuk desa agar
desa ini tidak terisolasi lagi.”
“Aamiin,” kata Kang Bamin dan Mbah Muniro hampir
bersamaan.
“Sudah. Ini waktunya sudah menjelang Subuh. Sekarang
kalian ambil sarung dan peci, ambil air wudu, terus bersiap ikut
salat jemaah Subuh di langgar.”
“Nggih Ki.”

Cerita tentang celeng berkalung merah itu segera menyebar


ke seluruh penjuru Desa Kumejing. Warga desa sekitar jadi ikut
was-was. Mereka cemas jangan-jangan binatang perusak tanam-
an itu akan datang juga ke desanya. Ketakutan warga tidak hanya
sekadar karena serangan hewan liar yang sering masuk kampung
bergerombol itu. Lebih dari itu, keyakinan warga kalau babi
hutan berkalung merah penanda akan ada tumbal jiwa menam-
bah suasana desa jadi mencekam. Masing-masing orang meng-
ingatkan untuk lebih berhati-hati dan waspada. Doa dan isti-
gosah digiatkan demi menangkal balak yang akan menimpa
warga desa. Mereka berharap tidak terjadi musibah apapun.

190 Menipu Arwah


Belum genap sebulan sejak kemunculan celeng kalung abang
di Desa Kumejing itu, Mas Bani, Ketua Pemuda Desa Kumejing,
mendapat undangan pengajian akbar sekaligus doa bersama di
Desa Kalidadap yang letaknya agak jauh. Undangan segera
dibaca Ki Utomo. Ia ingin mengajak warga Desa Kumejing meng-
ikuti kegiatan keagamaan yang memang teramat penting. Ki
Utomo berharap dengan mengikuti doa dan pengajian itu, warga
desa merasa lebih tenang, hati mereka lebih tenteram. Rasa was-
was serta ketakutan akan jadi tumbal bisa reda.
“Para jamaah Langgar Nurul Iman, saya menindaklanjuti
pengumuman sekaligus undangan ini dengan mengajak warga
jamaah bersama-sama ikut pengajian di Kalidadap,” kata Ki
Utomo kepada jamaah selepas Maghrib.
“Ya Ki. Semua setuju,” sahut Kang Bamin.
“Sekarang kita pikirkan dulu; Untuk pergi ke Kalidadap itu,
kita pergi bersama naik truk saja atau pakai kendaraan lain?”
“Pakai truk saja Ki. Seperti biasanya. Nanti biar saya yang
mencari truknya. Masih ada sedikit kas di Pemuda. Warga cukup
menambah uang untuk sewa truk,” kata Mas Bani.
“Perlu persiapan bucu juga lho Mas,” usul Mbah Muniro.
“Ya Mbah. Tentu saja harus bawa bekal bucu dan tempe kemul.
Minumnya cukup bawa air putih di botol. Biar irit, tetapi tidak
terlantar di jalan.”
“Lha begitu lho Mas. Belum tentu nanti di sana dapat takir.”
“Untuk persiapan keberangkatan ini, saya serahkan kepada
Mas Bani yang punya cukup banyak waktu dan tenaga. Biar
dibantu yang anak-anak perempuan mendaftar siapa saja warga
Kumejing yang mau ikut berangkat ke Pengajian di Kalidadap.
Waktu sepuluh hari masih cukup untuk persiapan.”
“Nggih Ki,” jawab Mas Bani.

Pengajian akbar yang akan diadakan di Desa Kalidadap


benar-benar menjadi daya tarik yang luar biasa bagi warga Desa
Kumejing dan sekitarnya. Di tengah-tengah keresahan warga,

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 191


pengajian itu diharapkan bisa jadi embun penyejuk dari teror
babi hutan berkalung merah. Meskipun harus melewati per-
jalanan yang berat, mereka bersemangat menghadiri pengajian
itu. Hanya truk dan motor trail dan sejenisnya yang bisa masuk
ke Desa Kumejing lewat jalur darat. Jalanan yang sempit, licin,
dan naik turun perbukitan menjadi tantangan tersendiri bagi
warga Desa Kumejing untuk bisa keluar dari tempat tinggal
mereka.
Truk Mas Drajad sudah diparkir di jalan masuk Desa Kumejing.
Orang-orang keluar rumah dan berjalan menuju tempat parkir
truk. Mereka membawa perbekalan bucu, tempe kemul, air putih,
dan tidak lupa ramuan rokok tingwe klembak menyan lengkap
untuk berangkat mengaji. Karena banyaknya jamaah yang mau
berangkat ke pengajian, banyak yang tidak terangkut truk.
Mereka terpaksa harus kecewa. Ki Utomo sendiri tidak terang-
kut truk. Ia berembug pada Mas Bani yang punya motor trail.
“Lha ini aku malah tidak terangkut truk Mas Bani. Nyong
kepriben kiye?”
“Tenang Ki. Ki Utomo saya boncengkan. Naik motor berani
ya Ki? Nggak apa-apa. Saya jamin aman.”
“Berani Mas. Nanti saya pegangan pundak Mas Bani ya?”
“Tenang Ki.”
Truk yang dikemudikan Mas Drajad penuh sesak dengan
penumpang jamaah dari Desa Kumejing segera meninggalkan
desa. Beberapa motor trail mengikuti di belakang. Ki Utomo
sendiri membonceng motor tua Mas Bani. Ki Utomo nampak
ketakutan maka ia minta jalannya dibikin pelan. Mas Bani meng-
ikuti saja permintaan tokoh Desa Kumejing itu. Tak lama mening-
galkan Desa Kumejing, truk itu berjalan menanjak menembus
bukit. Namun tampak ada yang tidak beres. Truk itu berjalan
terseok-seok. Ketika menuju puncak bukit, truk tua itu tak
mampu lagi bergerak. Kendali rem tangan juga gagal. Rem blong.
Tak bisa dihindari lagi, truk itu berjalan mundur hingga ter-
jungkal ke sebuah jurang. Seketika itu teriakan minta tolong

192 Menipu Arwah


terdengar. Rombongan pengiring yang naik motor, termasuk
Ki Utomo, berusaha sekuat tenaga menyelamatkan korban yang
terhimpit badan truk ataupun tertimpa tubuh-tubuh yang ter-
hempas.
Suasana jadi sangat mencekam karena banyak korban yang
tidak tertolong. Suara rintihan menyayat hati. Puskesmas ter-
dekat segera dihubungi, tetapi perlu waktu untuk sampai ke
lokasi. Akhirnya hari itu benar-benar jadi pagi kelam bagi warga
Desa Kumejing. Tercatat ada tujuh orang meninggal di tempat,
lima orang di puskesmas, dan 17 orang luka-luka berat dan
ringan. Kang Bamin ikut jadi korban meninggal. Mbah Muniro
hanya luka-luka ringan. Mas Drajad, sopir truk itu, luka parah
dan harus diselamatkan ke rumah sakit tulang di Purwokerto.

Berita kecelakaan truk yang memilukan itu segera menyebar


ke seluruh penjuru. Media sosial menyebarkan foto-foto peris-
tiwa itu secara gamblang. Bergelimpangan tubuh mereka yang
jadi korban kecelakanan. Bangkai truk ringsek nampak rusak
parah. Wartawan dari media cetak lokal maupun nasional ikut
meliput peristiwa pilu itu. Tak lupa dua TV swasta nasional ikut
melaporkan bahkan menyoroti keadaan jalan Desa Kumejing
yang parah. Berita mengenai kecelakaan truk pengangkut jamaah
pengajian segera memborbardir ruang publik. Liputan jalan desa
yang memprihatinkan dan keadaan Desa Kumejing yang
terisolasi di tengah alam kemerdekaan tampaknya membuat
penguasa negeri ini menyadari ketertinggalan Desa Kumejing.
Anehnya tak sampai dua minggu sejak peristiwa kelabu itu,
jalan menuju Desa Kumejing dan jalan-jalan di Desa Kumejing
mendapat prioritas pembangunan. Truk, beghu, dan escavator
dikerahkan ke Desa Kumejing. Lalu lalang kendaraan proyek
sibuk keluar masuk Desa Kumejing. Material pembangunan jalan
telah disiapkan di lokasi terdekat. Tenaga kerja didatangkan
dari jauh. Proyek pembangunan jalan desa segera dimulai.
Beberapa minggu berikutnya jalanan mulus beraspal hotmix

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 193


sebagian lagi dengan cor beton telah terhampar di sepanjang
jalan menuju Desa Kumejing dan jalan-jalan di Desa Kumejing.
Warga Desa Kumejing benar-benar bisa menikmati alam
pembangunan.
Tak lama setelah jalan beraspal itu diresmikan, suatu malam
Ki Utomo keluar rumah. Sebelum masuk langgar untuk salat
Tahajud, Ki Utomo sempatkan lihat keindahan malam Desa
Kumejing yang dipenuhi jalanan beraspal hotmix yang masih baru.
Tiba-tiba ia lihat kelebat seekor babi hutan melintas di beberapa
meter di depan Ki Utomo. Ki Utomo mengusap-usap matanya.
Dibukalah matanya lebar-lebar. Ia lihat babi hutan itu masuk
Desa Kumejing lagi. Anehnya tak terlihat kalung merah di leher
celeng itu. “Masya Allah,” kata Ki Utomo bergumam sendirian.

Wadaslintang, 21 Mei 2019

Glosarium :
bucu (Bhs Jawa) : Nasi yang dimasak dengan sayuran hijau
bercampur parutan kelapa berbumbu yang disumpalkan di
dalamnya.
celeng kalung abang (Bhs Jawa) : Babi hutan dengan tanda
belang merah memanjang di leher
enggane keluwarga utawa batire nyong sing dadi tumbal? (Bhs
Jawa) : Jangan-jangan keluarga dan teman saya yang jadi
korban?
hotmix (Bhs Inggris) : campuran aspal panas siap untuk
membangun jalan
kepriben kiye? (Bhs Jawa) : Bagaimana ini?
nggih (Bhs Jawa) : Ya
nyong kudu prige Ki? (Bhs Jawa) : Saya harus bagaimana,
Ki?
nyong ya bebeh (Bhs Jawa) : Saya tidak mau
nyong ya emoh lah! (Bhs Jawa) : Saya tidak mau

194 Menipu Arwah


nyong ya wis ra teyeng mlayu kiye (Bhs Jawa) : Saya juga sudah
tidak mampu berlari ini.
takir (Bhs Jawa) : Daun pisang dibuat wadah nasi diikat
dengan potongan lidi, wadah takir berisi nasi, lauk, dan
sayur lodeh sejenisnya (biasanya dibagikan saat acara peng-
ajian)
tempe kemul (Bhs Jawa) : Tempe yang digoreng berselimut
adonan tepung
tingwe klembak menyan (Bhs Jawa) : Rokok lintingan dengan
bahan tembakau, klembak, atau campuran kemenyan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 195


Pilihan Hati

Triana Kanthi Wati


Guru SMA Negeri 1 Sapuran, Wonosobo

Aku ikhlaskan ketika seseorang yang dipilihkan Ayah meng-


ucap dengan lantang janji pernikahan di hadapan para saksi.
Seseorang yang belum aku cintai dan tidak mencintaiku. Azzam
namanya, pria yang seminggu lalu Ayah sebutkan melalui tele-
pon akan segera meminangku, tanpa sebuah persetujuan atau
hanya sekadar mengeluarkan pendapat. Tidak dapat disangka,
hanya seminggu setelah telepon dari Ayah pernikahan itu di-
selenggarakan. Aku yang memang bekerja di Jakarta dipaksa
pulang, tidak ada binar kebahagiaan di wajahku atau wajahnya,
semua tampak dingin. Entah alasan apa Ayah memilihnya, tetapi
aku yakin dia yang menjadi suamiku ini juga tidak menghendaki
pernikahan ini. Di lihat dari caranya memandangku, dari bahasa
tubuh yang ia berikan. Tidak ada seorang pun yang mampu
menentang setiap apa yang Ayah putuskan, termasuk dengan
pernikahan ini.
Aku sendiri adalah anak pertama dari dua bersaudara,
adikku seorang perempuan yang masih duduk di bangku sekolah
menengah atas. Ayah adalah sosok yang baik dan bertanggung
jawab yang juga menyayangi kami. Hanya saja kami seperti tidak
memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat, tak kuasa,
dan takut dengan delikan tajam bak sang elang yang hendak me-
nerkam. Namanya Azzam, pria yang pertama kali aku temui
saat mapag panganten yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘men-
jemput pengantin’. Pagi ini, terlihat dari jarak beberapa meter

196 Menipu Arwah


ia berdiri didampingi orang tuanya, begitu pun aku diapit kedua
orang tuaku. Kami berjalan menjemputnya dan mengalungkan
bunga. Tidak ada senyum di antara kami ketika upacara adat
ini berlangsung, dia hanya sekilas memandangku. Aku mengerti,
yang dirasakannya kini mungkin sama denganku. Terdengar
akad dilantunkan dengan lantang dari mulutnya, tetapi sungguh
tidak ada sedikit pun getaran di hatiku, atau sekadar air mata
haru. Semua tampak datar dan dingin. Ya Allah, beri aku ke-
ikhlasan menjalani hari-hariku setelah ini. Hanya itu yang mampu
aku ucapkan membatin.
“Namaku Azzam, 29 tahun,” ucapnya ketika kami tiba di
sebuah hotel yang sengaja dipesan untuk malam pertama kami.
Dapat dibayangkan, tidak akan ada malam pertama yang indah
seperti yang dirasakan pengantin baru lainnya. Setelah memper-
kenalkan diri, dia tidak banyak mengeluarkan suara dan terlihat
berbaring di sebuah kursi sofa. Aku yang memang memiliki
karakter diam juga rasanya sulit mendekatkan diri terhadap
orang baru yang kini bersamaku dalam satu kamar dan statusnya
sebagai suami. Perlahan aku mencoba mencairkan suasana yang
sangat terasa beku dengan menawarkan air hangat untuk mandi.
Dia yang sedang memejamkan mata, membuka matanya dan
menatapku dengan risih, aku tahu dia pasti terganggu, dia hanya
membalikkan badannya dan mengalihkan pandangannya dariku.
Aku hanya menarik nafas dalam dan mengeluarkannya dengan
perlahan, hanya itu yang bisa kulakukan untuk sedikit me-
longgarkan kesesakan di dalam hati ini.
Hari ini tepat satu bulan pernikahanku, tiga hari setelah
resepsi aku sudah diboyong menuju Jakarta karena memang Mas
Azzam bekerja di sini. Aku sendiri dipaksa mengundurkan diri
dari kantor oleh Ayah dan harus sepenuhnya mengurus suami
di rumah, memberikan pelayanan terbaik. Selama satu bulan ini
juga dia atau pun aku belum memberikan hak dan kewajibannya
sebagai suami istri. Suatu hari Mas Azzam pulang larut malam
dia terlihat membawa bungkusan nasi. Aku yang melihatnya

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 197


sangat senang karena memang perut ini belum diisi sejak pagi.
Kebetulan sekali hari ini beras habis, stok makanan habis, Mas
Azzam belum memberi uang bulanan, dan aku sendiri tidak
memegang uang. Sambil duduk di meja makan dengan membuka
makanan itu, yang bila dilihat dari mereknya merupakan salah
satu makanan dari restoran cepat saji yang terkenal di Indonesia.
Aku masih berdiri, tetapi saat dilihat dia hanya membawa satu
bungkus nasi saja untuk dirinya dan tidak sedikit pun menawari-
ku. Dia terlihat makan dengan lahap, sementara aku hanya me-
lihatnya sambil terus melawan rasa lapar yang membuat perutku
semakin sakit. Merasa dianggap tidak ada aku beranjak pergi
dan mengambil segelas air, lalu ke kamar dan menangis. Sebelum-
nya aku tidak pernah kelaparan selama ini, mengapa dia begitu
tega, setidaknya tanyakan aku sudah makan belum, berikan rasa
simpati sedikit saja terhadap istrinya pun dia antipati. Aku me-
ngerti mungkin dia membenciku, tetapi aku pun tidak pernah
menginginkan pernikahan ini terjadi. Aku menahan sakit pada
lambungku, kebetulan memang memiliki riwayat penyakit mag.
Rasa sakit ini semakin membuatku terbawa perasaan hingga air
mata pun tumpah seiring rasa sakit yang semakin menjadi pada
lambungku. Akhirnya aku jatuh sakit, selama dua hari dan hanya
berbaring.
Sikap mas Azzam masih saja dingin, tetapi dia masih mau
membelikanku obat dan membawakan makanan.
“Mas, Hana mau bicara,” ucapku yang beranjak bangun dan
menyender ke ranjang. Dia hanya terlihat diam, tetapi tidak
beranjak.
“Mau seperti apa rumah tangga kita Mas? Tidak bisakah
kita saling membuka diri?” tanyaku lirih.
Azzam masih diam, seperti menyiapkan kata terbaik untuk
menjawab ucapanku. Mas Azzam menjawab dengan lirih,
“Hari-hariku terasa sangat tersiksa ketika mengingat aku
menjadi seorang suami dari seorang perempuan yang tidak

198 Menipu Arwah


pernah aku cintai. Aku tidak membencimu awalnya, tetapi per-
nikahan ini membuatku merasa rasa benci itu tumbuh”.
Hening, hanya itu yang terjadi setelah ia mengeluarkan isi
hatinya, ucapannya seperti petir menggelegar di siang hari yang
menghancurkan. Aku pun merasakan yang sama dan sulit me-
nerima pernikahan, tetapi aku tidak menanam kebencian seperti-
nya. Enam bulan sudah rumah tanggaku berjalan, semua terasa
dingin dan aku seperti terjebak di ruangan yang sempit dan
pengap. Selalu ada saja hal yang membuatnya marah, semakin
ke sini sikapnya semakin kasar. Dia sering mengeluarkan kata-
kata yang menyakitkan, dan aku sering diam. Tiada tempat me-
ngadu sehingga membuat batinku semakin tersiksa. Berat
badanku pun semakin menyusut, rasanya tidak sesegar dulu.
Pagi ini, ketika sedang asyik menyiram tanaman, perhatianku
beralih pada tetangga depan rumah yang sepertinya baru pin-
dahan.
“Selamat pagi, Mbak”, ucapnya ramah menghampiriku.
“Baru pindahan, Mas?” tanyaku.
“Iya, Mbak”, dia menjawab dan tersenyum menimpali
ucapanku.
“Kenalkan Mbak, saya Irwan.”
“Saya Rayhana”.
Kami pun berjabat tangan. Dia tampak tenang dan ramah.
Perjumpaanku pertama kali dengannya, dirasakan berbeda saat
pertama kali aku bertemu Azzam. Akan tetapi, aku menepis
semua pikiran itu, aku seorang wanita bersuami tidak pantas
membayangkan pria lain dalam pernikahan. Tak berapa lama,
Azzam datang dan aku segera melepaskan jabatan tangan itu,
lalu pamit masuk ke dalam rumah dan membiarkan Azzam
bertegur sapa dengan Irwan.
“Lain kali kalau sama laki-laki lebih jaga sikap,” ucapnya
ketika aku sedang mengaduk sayur sop yang baru saja mendidih.
“Memang apa yang Hanna lakukan, Mas?” jawabku.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 199


Semenjak menikah dengannya, aku tidak pernah berkata
kasar atau bernada tinggi, walau Azzam selalu bersikap kebalik-
annya. Didikan ayah sangat melekat kuat padaku, seorang istri
tidak boleh bernada tinggi dibandingkan suami. Mendengar
pertanyaanku, Bukan jawaban yang ia berikan, Mas Azzam pergi
meninggalkanku begitu saja menuju ruang TV kemudian duduk
di sofa, sambil melihat ponselnya yang baru berbunyi. Entah
apa isi pesan itu, tetapi aku lihat dia senyum-senyum saat sedang
membacanya. Ketika ia menyadari aku memperhatikannya, ia
menoleh padaku dan mendelik tajam. Aku hanya menunduk
dan pergi meninggalkannya yang terlihat tidak nyaman saat aku
ada di sana. Setelah membuka pesan itu, Azzam pergi menuju
kamar mandi setelah setengah jam, ia terlihat sudah rapi dan
wangi.
“Mau ke mana, Mas?”
“Ada urusan!” jawabnya mengambil kunci mobil kemudian
pergi dan mulai menyalakan mobilnya.
Azzam memasuki sebuah parkiran apartemen yang cukup
elite di kawasan Jakarta. Langkahnya ragu ketika baru saja turun
dari mobil, tetapi akhirnya dia melangkah menuju salah satu
unit yang telah diberitahukan nomornya melalui pesan singkat.
Seseorang membuka pintu ketika Azzam mengetuknya, seorang
wanita dengan kulit yang putih, rambut panjang dan pastinya
cantik.
“Aku sudah menunggumu”, ucapnya tersenyum.
Namanya Shopi, Azzam masuk, duduk, dan Shopi beranjak
ke dapur membuatkannya minuman.
“Aku mengganggu Kamu?” tanya Shopi yang duduk di
hadapannya dan memberikan segelas teh hangat.
“Enggak, ini kan hari libur,” jawab Azzam.
“Istrimu bagaimana? Aku kaget sekali mendengar kamu
nikah, aku pikir Kamu akan nungguin aku pulang.”
Shopi memang baru saja selesai menyelesaikan S-2nya di
luar negeri.

200 Menipu Arwah


“Maaf,” ucap Azzam.
“Hanya itu?”
“Lalu?” Shopi tersenyum menggoda, Ia kembali ke dapur
dan memasakan makanan kesukaan Azzam sayur sop dan per-
kedel kentang. Azzam terlihat makan dengan lahap dan banyak
tawa. Ia terlihat sangat nyaman karena mungkin tidak mengingat
istrinya di rumah yang juga telah memasak untuknya yang ia
abaikan.
Aku terkapar ketika merasakan lambung ini kumat, sakit
luar biasa. Aku meraih handphone yang ada di saku baju, lalu
menelpon Mas Azzam berkali-kali. Namun, tidak ada jawaban.
Rasanya, sakit ini semakin sulit untuk ditahan, bibirku pucat,
dan aku terus memegang perut. Keringat dingin pun mulai
bercucuran. Terlihat di ujung pintu Irwan datang dan mengham-
piriku dengan panik, sementara pandanganku mulai kabur dan
kesadaranku semakin menurun.
“Kenapa Mbak Hanna?” tanya Irwan panik.
“A... air hangat,” jawabku lemah.
Irwan segera membawakan segelas air hangat dan me-
minumkannya padaku. Hanya air hangat untuk pertolongan
pertama yang biasa aku lakukan ketika lambung ini kumat.
Perlahan sakitnya mereda dan keringat dingin keluar semakin
deras sehingga rambutku basah seperti habis keramas. Irwan
memapahku menuju kursi dan mendudukanku di sana.
“Makasih Mas Irwan,” ucapku masih lemah.
Irawan bertanya tentang keberadaan Mas Azzam dan aku
hanya menggelengkan kepala karena tidak tahu dia pergi ke
mana, dia tidak pernah memberitahu apa pun tentang kehidupan
pribadinya. Irwan menanyakan lagi apakah sudah makan dan
sekali lagi aku hanya menggeleng lemah. Irwan pun bergegas
pergi. Tak berapa lama Irwan datang dan membawakanku se-
piring nasi dan segelas air hangat sambil tersenyum dan mem-
berikan satu kantong kresek oleh-oleh khas dari daerahnya,
kemudian pamit pulang. Aku hanya menggumam kapan Azzam

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 201


bisa memperlakukanku dengan baik. Bahkan, posisi dia saat ini
pun aku gak tahu.
Azzam melihat ponselnya dan terdapat lima panggilan tak
terjawab dari Hanna, Azzam pulang sekitar pukul 22.00 WIB,
aku merebahkan diri ke sofa dan menunggunya. Mendengar
suara mobilnya aku segera bangkit dan membukakan pintu.
“Baru pulang Mas?”
“Hmmm,” jawabnya singkat dan selalu begitu.
“Udah makan?”
“Udah!”
Lalu dia segera menuju ke kamar, terlihat dia memijat
tengkuk dan pundaknya, wajahnya sedikit pucat.
“Kenapa mas?” tanyaku sambil menaruh teh hangat di meja.
“Gak tahu ini kepala keleyengan, badan serasa sakit”.
Azzam mengabarkan kalau besok ada acara Uwa Sari, tadi
ibunya menelepon dan meminta untuk datang. Aku hanya
mengangguk, tidak berkata apa pun, dan pergi membuatkan
susu jahe. Sekitar 15 menit kemudian aku kembali ke kamar,
terlihat Mas Azzam keluar dari kamar mandi dengan wajah
pucat, sepertinya ia baru saja muntah.
“Berbaring Mas, biar Hanna oleskan minyak angin.”
Sebelumnya aku memberikan susu jahe yang aku buat
untuknya, lalu Mas Azzam berbaring dan membuka baju untuk
pertama kali selama pernikahanku, aku melihat tubuh suamiku.
Dengan ragu, aku mengoleskan minyak angin di bagian perutnya
dan sesekali memijat pundaknya hingga ia merasa lebih nyaman
dan tertidur. Melihatnya mulai pulas, aku menutupi badan
suamiku dengan selimut berharap besok segera membaik.
Azzam terbangun karena merasa kedinginan dan mencari kaus.
Ketika membuka selimut, ia melihat istrinya sedang terlelap
dengan tenangnya sambil memegang sebotol berisi air hangat
yang di tempelkan di perut Azzam. Perlahan ia menyingkirkan
tangan Hanna dari perutnya lalu bangkit dan mencari kaus.
Sesaat sebelum kembali tidur, ia memandang wajah sang istri

202 Menipu Arwah


yang teduh. Ia menyadari selama ini tidak pernah ada kata-
kata kasar atau nada tinggi dari Hanna ataupun marah karena
sikapnya yang menyebalkan. Seketika rasa berdosa menyeruak
di dalam dadanya. Sebuah dosa yang telah menodai sebuah janji
suci pernikahan. Azzam menyelimuti Hanna, dan tidur di
sampingnya.
Seperti biasa setiap pagi aku menyiram tanaman di pe-
karangan rumah. Irwan datang dan memberikanku sekantong
kresek.
“Ini ada beberapa obat lambung dengan resep dokter, ke-
betulan adik saya seorang dokter.”
“Alhamdulillah, terima kasih ya, Mas.”
“Lambung atau magh, musuhnya dingin, lebih baik tidak
mengatur pendingin ruangan dengan suhu terlalu rendah dan
sering menggunakan pakaian hangat,” ucap Irwan.
“Ya sudah, maaf mengganggu ya, Han.”
“Makasih banyak Mas obatnya,” ucapku.
Hanya itu yang mampu di ucapkan, bibirku sempat beku
meresapi setiap kata yang terucap dari mulutnya. Aku menemu-
kan dan merasakan sesuatu yang tidak aku dapatkan dari
Azzam. Aku menepisnya dan berkali-kali istigfar. Aku hanya
takut perasaanku yang salah dapat menodai rumah tangga ini.
Azzam membuyarkan lamunanku menanyakan bungkusan yang
kupegang.
“Obat mag dari Mas Irwan,” ucapku ragu takut dia marah.
Mendengar penjelasanku, Azzam segera merebut obat itu
dan membuang ke tong sampah. Aku selalu dibuat tak habis
pikir dengan sikapnya. Dia tidak pernah peduli, tetapi marah
mengetahui hal itu. Apa sesungguhnya dia ingin melihatku mati?
Seperti yang telah di janjikan, hari ini kami pergi ke Bandung
menghadiri acara keluarga besar Azzam. Sesampainya di
Bandung aku disambut begitu hangat. Aku berkumpul dengan
keluarga Mas Azzam yang lain. Selalu ingat apa kata Ayah kalau
aku harus pintar membawa diri di mana pun. Bersyukur ke-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 203


luarga suami begitu hangat dan baik dan Azzam dengan apik
memainkan perannya. Ia menjadikanku seolah sebagai istri
paling bahagia di hadapan keluarganya. Sisi lain yang tidak
pernah ia berikan padaku, mengimbangi permainannya aku pun
memerankan peranku dengan baik.
“Aku bahagia menjadi istri Mas Azzam, Bu. Ia sangat baik
dan bertanggung jawab”, ucapku pada Ibu Mertua.
Terlihat ibunya tersenyum bahagia dan lega. Sementara aku
lihat Azzam menatapku dengan tatapan aneh, mungkin dia lega
aku bisa menjaga namanya dengan baik. Setelah dua hari di
Bandung, kami pulang ke Jakarta. Tepat pukul 19.00 kami tiba
di rumah.
“Kamu mandi dan siapkan aku makan malam,” ucap Azzam.
Aku hanya diam dan segera berangkat ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi aku mengeringkan rambut dan duduk di
depan kaca rias. Azzam mendekat dan mencium tengkuk
pundakku. Aku kaget dan segera berdiri, tujuh bulan pernikahan-
ku, ini adalah untuk pertama kalinya. Melihat aku yang sedikit
kaget, ia kembali mendekat. Namun, kali ini ia lebih aktif menyu-
suri setiap jengkal wajahku. Tidak dapat menolak dan aku hanya
pasrah. Dua bulan telah berlalu, Azzam masih saja sering pulang
telat dan pergi ketika libur. Aku juga tidak banyak bertanya,
karena dia sering terlihat marah ketika aku banyak bertanya.
“Mas, aku gak enak badan mau minta antar ke dokter.”
“Kamu sendiri aja ya, aku ada kerjaan,” jawabnya. Sekali
lagi aku mengalah, dengan kesibukannya yang aku tidak tahu.
Di apartemen Shopi, kedua tangan Azzam terlihat me-
megang kepalanya, ia terlihat sangat bingung dan pikirannya
tak menentu.
“Gimana ini, Zam? Aku gak mau ngelahirin anak ini sendiri-
an,” ucap Shopi mulai menangis.
“Kamu tenang ya, aku sedang memikirkan jalan keluarnya,”
ucap Azzam mencoba menenangkan meskipun terlihat sangat
bingung.

204 Menipu Arwah


“Kamu harus segera nikahin aku!”
“Tapi Hanna gimana?”
“Aku gak peduli,” Shopi menangis dan memeluk Azzam.
Kini Azzam sedang berada dalam masalahnya karena
melakukan sesuatu tidak menggunakan akal dan hanya nafsu.
Tidak mungkin ia menceraikan Hanna, bisa-bisa ia dibunuh orang
tuanya. Hanna adalah pilihan mereka dan menantu yang sangat
disayangi.
“Mau ke mana, Han? Kamu pucat”, tanya Irwan padaku
yang baru saja mengunci pintu dan sedang mencoba memesan
taksi online, hendak pergi ke rumah sakit.
“Beberapa hari ini aku sering pusing dan mual, kayaknya
asam lambung lagi kumat Mas. Biasanya memang suka begini,”
jawabku lirih.
“Mas Azzam ke mana?”
“Aku gak tahu Mas,” jawabku menggeleng.
Mengingat hari ini bukanlah hari kerja dan dia pergi.
Beberapa kali aku mencoba menghubunginya lewat telepon,
tetapi selalu tidak ada jawaban.
“Aku antar, ya,” ucap Irwan.
“Enggak usah Mas, aku gak papa kok,” jawabku.
Aku tidak enak sering merepotkan, tidak enak juga pada
tetangga. Walau sesungguhnya lingkungan perumahanku sangat
individual, mereka sibuk dengan pekerjaannya. Aku pun meng-
indahkan permintaan Irwan, aku yakin dia pria baik yang ikhlas
membantu.
“Asam lambungnya terlihat baik, kemungkinan istri bapak
sedang hamil. Biar saya langsung rujuk ke dokter kandungan”,
ucap dokter pada Irwan yang turut masuk ke dalam saat aku
melakukan pemeriksaan. Mendengar kata hamil, aku hanya
terdiam. Bukan tidak bahagia, siapa pun akan bahagia dengan
karunia besar yang Allah berikan ini. Akan tetapi, bisakah aku
kuat menjalani semuanya sendirian, mengingat Azzam tak
pernah sedikit pun perhatian.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 205


“Baik Dok, terima kasih,” jawab Irwan.
Kami keluar dari ruangan dokter, aku merasa sangat pusing
dan lemas. Hingga beberapa saat aku beristirahat dan duduk di
sebuah kursi diikuti oleh Irwan yang duduk di sebelahku.
“Minum dulu, Han,” ucapnya sambil memberikanku sebotol
air mineral.
“Selamat ya sebentar lagi akan menjadi Ibu,” lanjutnya.
Aku hanya diam karena tidak tahu ekspresi apa yang harus
ditunjukkan.
“Aku mau pulang, Mas”.
“Kita ke dokter kandungan dulu.”
“Biar nanti saja, rasanya lemas sekali dan ingin rebahan di
rumah”.
Akhirnya Irwan mengantarkan aku pulang, sebelum sampai
ke rumah, aku menyempatkan mampir ke apotek dan membeli
alat tes kehamilan. Sekitar pukul 20.00 WIB Azzam baru saja
sampai di rumah, seperti biasa aku menunggunya di kursi sofa.
“Mas udah makan?”
Dia hanya mengangguk, wajahnya lesu seperti banyak yang
sedang dipikirkan. Dia duduk dan memijit keningnya lalu aku
mendekat dan memijat pundaknya.
“Mau aku buatin teh hangat?”
Dia tidak menjawab dan hanya menggeleng. Aku kembali
memijatnya, terlihat Azzam sedikit rileks dengan pijatanku.
“Mas,” ucapku lirih.
“Hmmm” responnya tanpa membuka mata, sepertinya
memang lelah sekali.
“Aku hamil,” ucapku tanpa basa-basi. Azzam langsung
membuka matanya dan berbalik melihat ke arahku.
“Apa?” dia terlihat sedikit kaget.
“Iya Mas, tadi aku sudah tes.”
Aku tidak dapat menangkap apa ekspresi yang dirasakan
olehnya, terlihat ada bahagia di sana. Namun, seketika ia terlihat
juga diam dan resah. Setelah tersenyum sesaat padaku, ia bangkit

206 Menipu Arwah


dan pergi ke kamar meninggalkanku. Aku yang melihat dari
balik pintu kamar, kedua tangan memegang kepalanya. Mungkin
saja dia sangat menyesal dan berat mendengar kabar ini. Tak
terasa aku menitikkan air mata, rasanya pilu sekali menikah
dengan orang yang tidak mencintai kita.
Lirih Azzam berkata, “Han, aku harus ke luar kota selama
dua hari. Kamu gak apa-apa ditinggal sendiri?”
“Aku gak apa-apa Mas, Mas pergi saja,” ucap Hanna lirih.
Semenjak hamil, Azzam sedikit melunak, ia tidak terlalu
dingin dan sesekali bertanya tentang keadaannya. Memang
selama kehamilan ini Hanna terlihat lemah, tetapi tidak sekalipun
berkeluh kesah. Setelah berkemas, Azzam pergi, tetapi bukannya
ke luar kota ia justru berada di apartemen Shopi. Hanna di
rumah merasa semakin lemah, bagaimana tidak ia terus saja
muntah sementara tidak ada makanan yang mau masuk. Ia
melawan kelemahan ini sendirian, sedangkan di tempat yang
berbeda suaminya sedang berpangut mesra dengan wanita lain
yang bukan istrinya, tetapi mengandung anaknya.
“Usahakan ada makanan yang masuk, Han!” respon Irwan
saat Hana membuat status di Whattsap tentang keluhannya.
Sementara Azzam hanya melihat tanpa merespon apa pun.
“Aku gak bisa masuk nasi, Mas,” balas Hanna.
“Harus dipaksakan, kalau gak makan bubur. Suruh mas
Azzam bikin atau beli bubur,” jawab Irwan.
“Mas Azzam lagi ke luar kota ada pekerjaan, Mas,” balas
Hanna kembali.
Irwan terdiam mendapat balasan terakhir Hanna. Dia tidak
mengerti seringkali suaminya tidak ada ketika masa-masa sulit
istrinya. Padahal Irwan yang belum menikah cukup mengerti
bila masa-masa seperti ini seorang istri sangat membutuhkan
dukungan terutama dari suaminya. Bel berbunyi, Hanna yang
baru saja keluar dari kamar mandi segera membuka pintu.
Dilihatnya Irwan menenteng satu kantong plastik berisi bubur.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 207


“Makan dulu ini, Han!” ucap Irwan menyodorkan bubur itu.
Dengan ragu Hanna mengambilnya Hanna tersenyum dan
mengucap terima kasih.
“Makan yang banyak ya, jaga kesehatan ibu dan bayinya,”
balas Irwan.
Hanna mengangguk dan tersenyum, tak berapa lama Irwan
pamit pulang, baru saja selangkah ia pergi terdengar Hanna am-
bruk dan sudah terkapar di lantai tidak sadarkan diri. Sepertinya
kekurangan cairan. Hanna tergolek lemah, Irwan tampak panik
dan segera menghampiri.
“Han, bangun Han”.
Kemudian Irwan membopong Hanna dan membaringkannya
di sofa. Ia memberikan minyak kayu putih, tak berapa lama
Hanna terlihat sadarkan diri.
“Kamu gak apa-apa?” tanya Irwan masih terlihat panik dan
memberikan segelas air. Hanna berusaha bangkit, tetapi Irwan
menahannya.
“Udah tiduran aja, Kamu lemah,” ucap Irwan lembut.
Hanna kembali berbaring, deru napasnya terdengar lebih
cepat, matanya sesekali terpejam merasakan kelemahan dan ke-
payahan ini sendirian tanpa dukungan suami. Irwan yang me-
lihat ini, merasakan sesuatu yang mengganggu di hatinya. Dia
begitu lemah, tetapi suaminya tidak pernah ada mendampingi.
“Makan dulu, Han,” ucap Irwan mengambil sesendok bubur
dan berniat menyuapinya.
“Aku makan sendiri saja, Mas,” ucap Hanna lirih sambal
beranjak duduk.
Irwan tidak mendengarkan Hanna lalu mulai menyuapinya.
Beruntung bubur bisa diterima perutnya. Selama Irwan me-
nyuapinya tidak terasa air mata mulai jatuh, air mata yang selama
ini disembunyikan, yang selama ini ditahannya dan semua pahit
dirasakannya sendiri. Perlahan dengan refleks Irwan menghapus
deraian air mata itu, tatapannya lirih entah cinta atau hanya
simpati saja.

208 Menipu Arwah


“Jangan menangis,” ucap Irwan lembut seolah mengerti apa
yang dirasakan wanita di hadapannya itu.
“Maafkan aku merepotkanmu, Mas”, ucap Hanna lirih.
Irwan hanya menggeleng dan menatap Hanna dalam-dalam.
“Makan lagi, ya,” ucap Irwan lembut. Hanna kembali makan
mengambil suapan Irwan hingga habis satu porsi bubur.
Azzam pergi ke Bogor bersama Shopi, menuju kediaman
orang tua Shopi. Dengan melewati perdebatan yang cukup pan-
jang, akhirnya Azzam dan Shopi dinikahkan secara siri malam
ini juga. Sungguh ironis memang, ketika sang istri sah sedang
merasakan kepayahan dan kelemahan yang luar biasa, si suami
justru sedang mengikrarkan janji pernikahan dengan perempuan
lain yang terlebih dulu telah hamil. Azzam melihat ponselnya,
melihat status Hanna hatinya berdesir, begitu banyak doa ter-
ucap yang selalu ia ucapkan untuknya, tidak hanya dalam status,
tetapi dalam salat dan ucapannya pun sering ia dengar. Kenapa
baru terpikir, wanita yang di pilihkan ibunya adalah wanita yang
sangat tepat untuknya, wanita dengan ciri khas Indonesia yang
lekat dengan segala kesantunan dan bakti terhadap suami, kata-
kata Hanna membuyarkan lamunan Azzam.
“Mas sudah makan?”
“Belum,” jawabnya singkat.
Kali ini bukan nada keangkuhan yang aku dengar, lirih. Ya,
suaranya terdengar lirih. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada-
nya. Dia menatapku begitu dalam untuk pertama kali terlihat
kerinduan di matanya. Lalu dia memelukku. Pelukan ini, per-
tama kali aku rasakan pelukannya hangat dan tenang dan per-
tama kali juga, seperti rasanya dipeluk seorang suami. Malam
ini entah kenapa Azzam tampak hangat kepadaku, dia seperti
enggan melepaskan pelukannya saat akan tidur dan aku lihat
dia mulai memejamkan mata. Sore ini, Hanna tampak lebih segar,
bersiap untuk pergi ke sebuah supermarket membeli susu hamil
yang sudah habis stoknya.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 209


Hanna terlihat menunggu taksi online di depan rumah, Tidak
berapa lama taksi datang segera meluncur menuju tempat tujuan.
Sesampainya di super maket, Hanna mengambil beberapa
makanan dan keperluan rumah tangga lainnya. Saat berada di
rak khusus susu hamil, ia bertabrakan dengan seorang yang tak
lain adalah Shopi.
“Maaf ya, Mbak,” ucap Hanna.
“Iya, gak apa-apa Mbak,” jawab Shopi mengambil susu hamil
yang jatuh.
Saat berdiri ia sedikit kaget dengan siapa yang dilihatnya.
Meskipun ia tidak pernah melihat Hanna secara langsung, ia
sering melihatnya di ponsel milik Azzam.
“Lagi hamil juga ya, Mbak?” tanya Hanna ramah.
“I, iya,” jawab Shopi sedikit tergagap.
“Wah, dijaga kehamilannya ya, Mbak,” Hanna tersenyum,
lalu pamit pergi.
Sesaat langkah Hanna terhenti dan raut wajahnya terlihat
kaget ketika di belakang wanita yang ditabraknya adalah Azzam
suaminya.
“Kamu di sini juga, Han?” ucap Azzam mendekati Hanna
dengan menyembunyikan kecemasannya.
“Mas Azzam mengapa di sini?” pertanyaan yang sedikit
membidik.
“Aku mampir pulang kantor, tadi pagi aku lihat susu hamil
kamu habis. Jadi aku membelinya,” jawab Azzam dengan alasan
yang cukup jitu dan meyakinkan Hanna.
Sementara Shopi, dia hanya diam. Bohong, bila berkata ia baik-
baik saja. bagaimanapun, meski berhasil mendapatkan Azzam,
dia tetap saja jadi yang kedua.
“Ayo bayar, Han. Apa ada yang mau dibeli lagi?” ajak
Azzam meraih tangan Hanna.
Azzam berusaha tenang dengan sejuta perasaan cemas di
hatinya. Takut, bila saja Shopi mengatakan yang sesungguhnya.
“Mbak, saya duluan ya,” ucap Hanna pada Shopi.

210 Menipu Arwah


Azzam dan Hanna jalan berdampingan, setelah beberapa
langkah pergi, ia menoleh ke arah Shopi, raut wajah Shopi terlihat
memerah menahan rasa marah.
Pagi ini Hanna kaget mendapati bercak darah yang cukup
banyak ketika sedang buang air kecil. Memang sejak semalam
ia merasakan sedikit sakit di perutnya. Ia segera menelpon Azzam
dan seperti biasa sulit mendapatkan jawaban dari suaminya.
Hanna menangis, ia panik dan tidak tahu harus berbuat apa.
Kali ini, dia benar-benar marah pada Azzam yang mengabaikan-
nya. Dia bisa menahan diri ketika Azzam acuh padanya, tetapi
ini berhubungan dengan anak yang merupakan darah daging-
nya. Hanna meraih ponselnya dan kembali melakukan panggilan
suara.
“Mas,” ucap Hanna menangis sesegukan.
“Kamu kenapa, Han?” tanya Irwan menjawab telepon
Hanna. Hanna masih saja menangis dan sulit bicara.
“Kamu coba tenang ya, dan ceritakan padaku.”
“A, aku berdarah Mas dan perutku sakit,” jawab Hanna
dengan suara terbata.
“Kita ke rumah sakit ya, kamu jangan panik,” ucap Irwan
mencoba menenangkan. Irwan cukup tahu bila kondisi saat ini
Hanna sedang sendirian, ketika di telepon Hanna ia baru saja
keluar dari gerbang perumahan dan sebelum berangkat ia tidak
melihat mobil Azzam terparkir di sana. Irwan segera memutar
balik dan menuju rumah Hanna. Sesampainya di sana, Hanna
sudah duduk di lantai dan darah mengalir dengan cukup banyak.
“Han,”ucap Irwan panik dan segera menghampiri Hanna.
“Kita ke rumah sakit sekarang, ya”.
“Sebentar Mas, darahnya belum mau berhenti.”
Hanna tidak bisa menyembunyikan kepanikannya. Begitu
juga dengan Irwan, ia sangat panik melihat darah yang terus
keluar. Hanna bangkit dibantu oleh Irwan, lalu ia pergi menuju
kamar mandi. Irwan yang menunggu di luar masih tidak bisa
menyembunyikan kepanikannya. Rasa di hatinya campur aduk.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 211


Marah, kesal, benci semua dirasakan pada Azzam, ia beberapa
kali mengatur napas mencoba untuk tetap tenang dan menahan
amarah itu. Tak berapa lama Hanna keluar, dengan deraian air
mata dan terlihat lemah. Ia membawa bungkusan kecil yang
dibalut dengan handuk.
“Ini kayaknya janin aku Mas, bisa tolong kuburkan di luar,”
ucap Hanna lemah dengan wajah sangat sedih.
Rasanya di saat seperti ini Irwan ingin memeluknya dan
memberikan ketenangan. Irwan pergi ke pekarangan rumah,
janinnya masih berbentuk gumpalan daging. Ia menguburkannya
dengan layak dan memberikan doa. Setelah selesai, ia kembali
masuk dan mendapati Hanna sedang menangis.
“Sabar ya, Han.”
“Aku kehilangan anakku, Mas,” Hanna menutup wajah de-
ngan kedua tangannya, menutupi tangis yang semakin kencang.
Irwan hanya mampu menatap lirih merasakan luka yang
dirasakan Hanna.
“Allah Mahatahu yang terbaik, setiap peristiwa di hidup
kita sudah tertulis di lauhul mahfudz. Semua sudah menjadi
ketentuan-Nya,” ucap Irwan mencoba menenangkan.”Kita doa-
kan saja, semoga anak yang telah pergi menjadi syafaat untuk
kedua orang tuanya,” lanjut Irwan.
Beberapa kali ia melihat ponselnya berharap ada pesan atau
panggilan dari Azzam, tetapi tidak ada satu pun. Hingga matanya
tertuju pada pasangan yang baru saja keluar dari ruangan dokter.
Ia melihat suaminya sedang digandeng perempuan lain sambil
membawa foto hasil USG. Rasanya seperti disambar petir men-
dapati Azzam dengan wanita lain keluar dari dokter kandungan.
Melihat perempuan di sebelahnya pun ia mencoba mengingat
karena seperti mengenalinya. Ia mengingat bila melihat Shopi
di supermarket, dan ia sadar bila saat itu suaminya sedang ber-
sama wanita itu. Azzam yang melihat Hanna sangat kaget dan
segera mendekat mencoba memegang tubuh istrinya yang ham-
pir tumbang, tetapi dengan sigap Hanna menghindar dan me-

212 Menipu Arwah


natap Azzam penuh rasa marah. Bahkan, benci. Sekali lagi
Azzam mencoba memegang tangan istrinya, tetapi tepisan Hanna
kali ini lebih kuat, menunjukan bila ia tengah berada di puncak
amarahnya dan sama sekali tidak ingin disentuh Azzam.
Tatapannya pun tajam mengarah sang suami, ini bukan hanya
tatapan kemarahan, tetapi juga tatapan kebencian. Shopi yang
ada di belakang suaminya pun hanya terpaku. Wajahnya me-
nunduk ketika Hanna mengarahkan tatapan yang tak kalah tajam
padanya. Tidak ada nyali Shopi di hadapan Hanna, tangannya
bergetar memegang hasil USG. Diam yang di lakukan Hanna
bukan karena ia lemah dan tak bisa bicara apa pun, tetapi ia
menjaga kehormatan dirinya di depan banyaknya orang di
rumah sakit. Tanpa sepatah kata pun, Hanna berbalik dan pergi
meninggalkan Azzam.
“Han, tunggu Han,” ucap Azzam frustasi.
Tanpa terasa kelopak matanya sudah penuh oleh air mata
yang akan jatuh, Hanna menyeka air matanya, dan terus berjalan
tidak mempedulikan panggilan Azzam. Hanna berjalan disusul
Irwan, sementara Azzam masih terus memanggilnya.
“Jalan aja, Mas,” ucap Hanna lirih.
“Sakit banget rasanya, Mas,” ucap Hanna masih saja seseng-
gukan dengan berurai air mata. Hanna tersentak kaget ketika
melihat darah mulai mengalir, dan kali ini volumenya sedikit
lebih banyak, ia kembali mengalami pendarahan.
“Kita cari rumah sakit terdekat, kamu harus segera di-
tangani,” ucap Irwan panik melihat darah yang terus mengalir.
Ia segera melajukan mobilnya lebih cepat. Tiba di rumah
sakit, ia segera membawa Hanna ke UGD. Beruntung Hanna
langsung ditangani ahli medis.
“Istri Anda ada pembukaan, tetapi untuk memastikan kita
harus melakukan USG”.
“Lakukan yang terbaik, Dok,” ucap Irwan.
“Irwan segera menghampiri Hanna.
“Mas, aku takut,” Hanna memegang tangan Irwan.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 213


“Jangan takut, dokter pasti melakukan yang terbaik. Ada
aku di sini,” ucap Irwan menenangkan.
Hanna yang sulit melawan rasa takutnya tidak sedikit pun
melepaskan pegangan tangannya pada Irwan, setidaknya itu
dapat membantu sedikit melawan ketakutan itu juga merasakan
rasa aman dan nyaman. Setelah menunggu beberapa saat Hanna
pun melakukan USG dan memang janinnya telah gugur. Akhirnya
dokter memutuskan untuk melakukan tindakan kuret pada
Hanna. Pasca dikuret kondisi Hanna dan kesehatannya sudah
membaik, sudah mendapatkan izin keluar rumah sakit.
“Kamu siap pulang ke rumah?” ucap Irwan ketika mulai
menyalakan mobilnya.
“Enggak, Mas,” jawab Rayhanna menggeleng.
“Lalu, Kamu mau ke mana?”
“Antar aku ke terminal Mas, aku mau pulang ke rumah
orang tuaku.”
Mendengar jawaban Hanna, Irwan tidak menimpali dan
melajukan mobil sesuai tujuan Hanna, ia yakin pulang kepada
orang tua adalah langkah yang baik yang bisa diambilnya saat
ini. Sekitar bakda Magrib aku tiba di kampung halaman.
Langkahku getir, mengingat kepulangan ini membawa
permasalahan dalam rumah tanggaku bersama Mas Azzam. Aku
ikhlas dan pasrah bila saja Ayah akan memaki atau memarahiku
karena meninggalkan rumah saat terjadi masalah. Perlahan aku
mulai mengetuk pintu.
“Sebentar,” jawab seseorang dari dalam yang aku kenal
betul suaranya, dia adalah Ibu.
“Hanna,” ucap Ibu kaget ketika melihat aku yang ada di
hadapannya.
Itu wajar, aku datang tanpa memberitahu sebelumnya. Lang-
sung aku peluk beliau, rasanya bertemu dengan Ibu seperti men-
dapatkan tempat untuk menumpahkan rasa sakit yang selama
ini aku rasakan sendiri.

214 Menipu Arwah


“Mengapapa, Nak?” tanya ibu mengelus kepalaku yang
terbungkus hijab pemberian Mas Irwan dengan lembut. Aku
masih sesegukan dan belum berkata apa pun, hatiku masih terasa
sangat sesak hingga sulit berkata-kata.
“Mana suamimu?” tanya ayah tiba-tiba menghampiri ketika
megetahui aku yang datang.
“Ha, Hanna sendirian, Yah,” jawabku terbata dengan air
mata yang masih mengalir.
“Kamu tenangin dulu, lalu ceritakan pada kami apa yang
terjadi,” ucap Ibu lembut.
Kemudian Ibu membawaku duduk di sebuah kursi dan
sesekali menyeka air mataku yang terus menerus mengalir.
“Ismi, ambilkan Teteh minum,” ucap Ibu pada adikku yang
dari tadi diam melihatku menangis.
Ayah sudah duduk di hadapanku, dan Ibu berada di sam-
pingku.
“Hanna baru saja keluar dari rumah sakit karena kegugur-
an,” ucapku lirih dengan wajah menunduk karena aku merasa
Ayah sangat tajam menatap.
Mendengar itu, aku lihat semua yang ada di rumah ini
tampak kaget.
“Hanna keguguran di rumah dan sendirian. Ketika hendak
memeriksakan diri ke dokter, Hanna mendapati Mas Azzam
keluar dari ruangan dokter memeriksakan kehamilan perempuan
lain. Hanna baru mengetahui jika perempuan itu mengandung
anak Mas Azzam juga,” ucapku berurai air mata.
Kini bukan hanya tangisku yang terdengar, Ibu yang berada
di sampingku mulai terlihat menyeka air matanya. Hati ibu mana
yang tidak terluka melihat anaknya tersakiti dan menanggung
beban batin. Aku tahu perasaan Ibu ketika anaknya sakit, Beliau
pasti akan lebih sakit. Sementara Ayah, tidak ada kata yang
terucap. Bibirnya kelu, sekilas aku dapat melihat bila ia menyim-
pan amarah dan rasa bersalah mendengar biduk rumah tanggaku
yang tidak sesuai dengan bayangan dan harapan Ayah.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 215


“Maafkan Hanna keluar dari rumah, Yah,” kali ini aku
beranikan menatap wajah Ayah.
Terlihat jelas ada buliran air mata menggenang dan tertahan
di pelupuk matanya yang berkerut, tentunya tidak ada satu
orang tua pun yang tidak marah mendengar anaknya disakiti.
Tidak ada kata yang terucap, Ayah bangkit dengan langkah yang
gontai dan Ayah pergi berlalu menuju kamar. Terdengar Ayah
Hanna menelepon orang tua Azzam dengan kemarahan yang
membuncah saat Ibu Hanna masuk ke dalam kamar.
“Tenang Yah,” ucap Ibu Hanna seolah mengerti tentang
kemarahan dan kegelisahan suaminya.
Ayah pun duduk di samping ranjang dan mengepalkan
tangannya kuat, matanya memerah dan akhirnya tak kuasa me-
nahan tangis.
“Ayah yang salah, Bu,” ucapnya lirih pada istrinya.
“Sudah Yah, kita tidak tahu bila kenyataannya akan begini,”
jawab Ibu berusaha menenangkan.
“Pulang ke Bandung sekarang juga!” pekik Ayah Azzam
melalui sambungan telepon pada anaknya.
Sambungan telepon terputus, Azzam memejamkan mata dan
mengepalkan tangannya. Ia sadar bila masalah besar akan segera
terjadi dengan keluarganya. Yang sangat ia khawatirkan adalah
kondisi kesehatan Ibunya. Sang Ibu mengidap penyakit jantung.
Ia khawatir adanya kabar ini akan memperburuk kondisi kesehat-
annya. Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya ia meraih kunci
mobil dan dengan pikiran yang sangat kacau, ia bergegas pergi
menuju Kota Bandung. Tanpa Azzam sadari, Shopi datang dan
ingin menemuinya. Ketika melihat suaminya itu pergi dengan
langkah cepat, Shopi mengikuti.
Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan
Azzam sampai di kediaman Hanna, sudah ada orang tuanya di
sana. Situasi rumah tampak tegang, terlihat Hanna tidak jauh
dalam pelukan Ibunya.

216 Menipu Arwah


“Assalamualaikum,” ucap Azzam getir. Semua mata langsung
tertuju ke sumber suara. Azzam mendekat dan hendak mem-
beri salam pada Ayahnya. Namun, sepertinya orang tua Azzam
sudah berada pada titik kemarahan yang memuncak. Bukan
menyambut tangan anaknya, Ayah Azzam beberapa kali men-
daratkan tamparan. Azzam diam dan pasrah, memang semua
ini pantas di terimanya.
“Kurang ajar, Kamu!” delik ayahnya membulatkan mata.
“Bodoh Kamu! Menyia-nyiakan istri seperti Hanna,” Ayah-
nya kembali mengumpat.
“Sudah Pak, biar kita bicara dengan kepala yang dingin,”
ujar Ibu Hanna mencoba menenangkan Ayah Azzam. Sementara
Ibu Azzam sendiri hanya terlihat terus menangis dan tidak
berkata apa pun. Setelah Ayahnya sedikit tenang, Azzam men-
dekat ke arah istrinya, ia bersimpuh dan memohon maaf dengan
air mata yang bercucuran. Sementara Hanna tampak dingin me-
respon apa yang dilakukan suaminya.
“Kenapa Kamu setega itu?” ucap Hanna membuka suara,
tidak ada jawaban ataupun satu kata terucap, hanya air mata
penyesalan yang semakin deras membasahi telapak tangan
Hanna. Ia terus memeluk lutut Hanna mengeluarkan ribuan ucap-
an maaf.
“Bangkit Mas, kita bicara dengan tenang,” ucap Hanna datar.
Perlahan Azzam bangkit dan duduk di hadapan istrinya sambil
menyeka air mata yang membasahi pipi.
“Aku mohon maafkan aku, Han. Aku janji akan memperbaiki
semuanya,” ucap Azzam merajuk dan memohon pada Hanna.
“Apa yang bisa diperbaiki, Mas?” tanya Hanna dan tatapan-
nya masih dingin.
“Kita kembali, dan kita besarkan anak kita bersama,” jawab
Azzam menatap nanar istrinya.
Tidak sedikit pun rasa penyesalan itu menggugah hati Hanna
yang sudah terlanjur sangat terluka.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 217


“Anak kita sudah kembali kepada Allah, tepat di hari aku
mengetahui semua kebohongan Kamu!
“Azzam terdiam, langit bagai runtuh menimpanya.
“Ibu mohon Nak, kembalilah,” ucap Ibu Azzam membuka
suaranya.
Sementara ayah Hanna menyerahkan semua keputusan pada
anaknya. Sebelum menjawab ucapan Ibu Azzam, Hanna menoleh
kepada Ayahnya. Sang Ayah mengangguk pelan, seperti mem-
beri isyarat bila putrinya boleh mengambil keputusan atau mem-
beri pendapat apa pun.
“Ibu, tanpa mengurangi rasa hormat Hanna. Hanna memo-
hon maaf pada Ibu dan Bapak,” Hanna mengambil napas dalam
untuk melonggarkan dadanya yang terasa sesak.
“Selama pernikahan ini, Hanna tidak merasakan kebahagia-
an. Bahkan, sebagai seorang suami Mas Azzam baru menunaikan
kewajibannya saat pernikahan kami berusia enam bulan,” Ibu
mertuanya tampak sangat terpukul mendengar penjelasan sang
menantu.
“Hanna hanya bisa menahan lapar ketika Mas Azzam me-
lahap makanan begitu nikmat. Hanna menahan sakit sementara
Mas Azzam pergi tidak dapat dihubungi. Hanna sangat
kepayahan hingga pingsan saat kehamilan. Mas Azzam tidak
ada hingga janin ini keluar, Mas Azzam tidak ada dan dengan
perempuan lain” ucap Hanna kembali menitikkan air mata.
Ayah yang dari tadi diam pun kini tidak mampu lagi me-
nyembunyikan air matanya, hatinya hancur mendengar anaknya
begitu terluka.
Azzam meminta “Jangan tinggalin Aku, Aku janji akan me-
ninggalkan dia dan kembali padamu”.
Seketika terdengar suara Shopi, “Aku tidak mau ditinggal-
kan, Ini anak kamu, Zam. Bagaimana bisa kamu berkata begitu.”
Shopi terlihat ada di ambang pintu, ia memang mengikuti
Azzam ke Bandung dan dari tadi di luar memperhatikan dan
mendengar percakapan itu. Merasa tidak tahan lagi untuk diam

218 Menipu Arwah


akhirnya Shopi masuk dan membuka suara. Semua mata di rumah
ini tertuju pada Shopi. Tak berapa lama Ibu Azzam merasakan
sesak di dadanya, menahan sakit dan akhirnya terkulai lemas,
situasi ini membuat kambuh penyakit jantung yang di deritanya.
Seisi ruangan panik melihat kondisi Ibu Azzam yang terkulai
lemas dengan napas yang tersengal-sengal. Suaminya pun segera
mencari obat yang selalu dibawa di dalam tasnya. Hanna mem-
berikan segelas air, lalu obat diminumkan, dan setelah beberapa
saat Ibu Azzam mulai tenang dengan napas yang sudah teratur.
“Ibu ikhlas Nak dengan keputusan Kamu,” ucap Ibunda
Azzam pada menantunya,
“Semua memang salah Azzam,” lanjutnya lirih.
“Pokoknya, aku tidak mau kita bercerai, Han!” pekik Azzam
yang tidak setuju mendengar pernyataan Ibunya.
“Tolong hargai keputusan anak saya, saya juga tidak rela
bila Rayhanna harus kembali padamu!” ucap Ayah Hanna.
Hanna menoleh ke arah Ayahnya, dia merasa lega karena
sang Ayah mendukung keputusannya.
“Lagi pula ada wanita yang sedang hamil, bagaimana saya
ikhlas anak saya dimadu,” lanjutnya sambil melihat ke arah Shopi
yang sedari tadi menunduk menahan air matanya.
“Berapa bulan usia kandungan Kamu?” tanya Ayah Hanna
pada Shopi yang sedari tadi mematung.
“Jalan tiga bulan Pak, dan kami sudah menikah secara siri,”
jawab Shopi dengan suara yang berat.
Semua keluarga seperti kembali dikejutkan dan tidak
berhenti mengelus dada, Keluarga Azzam pulang dengan mem-
bawa Shopi bersama meraka. Bagaimanapun mereka ada tang-
gung jawab terhadap Shopi. Selain ia tengah mengandung anak
Azzam, Shopi juga merupakan istrinya yang sah di mata agama.
Selesai pertemuan siang tadi dengan keluarga Azzam, Ayah
sedikit lega atas masalah putrinya walaupun merasa sangat
bersalah.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 219


“Maafkan Ayah, Nak,” ucap Ayah menghampiriku yang
malam ini baru saja menyelesaikan salat tahajud.
Sepertinya Ayah tidak bisa tidur, aku tahu saat ini Ayah
sedang terpukul. Aku sama sekali tidak menyalahkan Beliau
karena kejadian ini.
“Ayah tidak perlu minta maaf, Aku tahu Ayah hanya ingin
melakukan tugas Ayah dengan memberiku yang terbaik,”
jawabku mencoba menenangkan hati Ayah.
Bukankah setiap catatan manusia sudah tertulis di lauhul
mahfudz, setelah lembar catatan ini selesai pasti Hanna akan
masuk ke lembar berikutnya dengan cerita yang manis. Berbicara
tentang lauhul mahfudz mengingatkan aku pada Mas Irwan, dia
pernah mengucapkannya padaku saat itu. Tekadku untuk ber-
cerai sudah sangat bulat, tiga bulan setelah pertemuan itu, peng-
adilan agama sudah memutuskan perceraianku dengan Azzam.
Kini aku kembali menjadi anak Ayah dan Ibu dan kembali men-
jadi tanggung jawab mereka.
Hari-hari di kampung halaman aku membantu ibu mengurus
toko sembako dan pekerjaan rumah lainnya. Belum terpikir
untuk bekerja lagi, aku ingin menikmati waktu yang sedikit lama
dengan orang tua dan adiku, Ismi. Sementara Ayah, beliau masih
aktif mengajar karena beliau merupakan seorang guru.
“Teh, jilbab Teteh bagus banget warnanya,” ucap Ismi yang
masuk ke dalam kamarku.
“Masa sih?”
Kebetulan hari ini aku memakai jilbab pemberian dari Mas
Irwan dan keinginan untuk menyapa Mas Irwan muncul. Di sela
kesibukannya Irwan membuka handphone, ada satu pesan dengan
nomor tidak dikenal, dikirim sekitar pukul 08.00, sudah lima
jam yang lalu.
“Assalamualaikum, Mas, ini Hanna. -0858xxxx”
Irwan berdebar membaca pesan teksnya, tanganku sedikit
bergetar untuk membalasnya. Irwan menatap lama isi pesan itu
dan berulang kali membacanya, meyakinkan diri bila itu benar-

220 Menipu Arwah


benar pesan yang dikirim Hanna. Setelah cukup yakin, dengan
perasaan tak menentu aku mulai mengetik pesan balasan.
“Waalaikumsalam, Han. Apa kabar?”
“Hanna baik Mas, Mas Irwan bagaimana kabarnya? -
0858xxxx”
“Aku baik Han, bagaimana sekarang hubunganmu dengan
Azzam?”
“Hanna sudah bercerai enam bulan yang lalu, Mas”. Irwan
tampak lega membaca pesan Hanna.
Selama pernikahan resmi diselenggarakan mereka. Azzam
sering mendapati Shopi tidak ada di rumah ketika ia pulang
kerja. Ia kerap pergi hingga tak jarang pulang larut malam. Sering
tidak tersedia sarapan saat ia akan berangkat karena ternyata
Shopi tidak akan bangun sebelum pukul 10.00 karena semalaman
bisa bergadang atau pulang larut malam bersama teman-teman-
nya. Bahkan, Azzam harus benar-benar memutar otak untuk
memenuhi gaya hidup Shopi yang hedonis. Orang tuanya di
kampung sudah menjual beberapa sawah yang diminta Azzam
untuk memulai usaha walaupun belum terlihat hasilnya. Keuang-
an mulai seret karena harus membayar cicilan kartu kredit se-
lama Shopi berada di Singapura yang mulai membengkak, se-
mentara Shopi yang saat ini hendak melahirkan meminta agar
masuk rumah sakit yang bagus dan mendapatkan ruangan
terbaik. Keadaan itu menyebabkan Azzam harus memenuhi ke-
inginan Shopi. Jika tidak dituruti, ia tak segan mengancam untuk
bunuh diri. Azzam merasa rumah tangganya sangat berbeda
jauh ketika ia menjalaninya dengan Hanna.
Di tempat yang lain Hanna tersenyum membaca pesan
balasan dari Irwan. Dia pikir Irwan sudah tidak ingin berkomuni-
kasi dengannya karena cukup lama ia membalas pesan dirinya.
Ibu yang baru saja pulang dari warung ikut nimbrung dengan
anak-anak gadisnya.
“Ada apa, nih?”tanya Ibu.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 221


“Teteh nih, senyum-senyum sendiri sambil baca chat,” timpal
Ismi.
“Kamu dari tadi ngegoda Teteh mulu, sudah salat belum?”
tanya Ibu.
Ismi tertawa nyengir, lalu beranjak ke kamar mandi dan
mengambil wudu.
“Kalau ada yang mau main ke sini seorang laki-laki boleh
tidak, Bu?” tanya Hanna ragu.
“Siapa memang?”
“Teman Hanna, Bu,” jawab Hanna tersenyum.
“Tanya Ayah deh, Ibu gak bisa bilang apa-apa kalau soal
begini.”
Isi pesan terakhir dari Irwan memang meminta alamat leng-
kap Hanna di Bandung, dan ia mengutarakan keinginannya
untuk berkunjung.
“Laki-laki yang kamu cintai?” ucap Ibu bertanya pelan nyaris
berbisik pada Hanna. Tidak menjawab Hanna hanya memberi
seutas senyum, mengisyaratkan bila jawabannya adalah benar.
Ibu Hanna ikut tersenyum dan membelai kepala anaknya lembut.
Selepas salat isya mereka berkumpul untuk menikmati makan
malam. Hanna ingin mengatakan hal yang tadi ia tanyakan pada
Ibunya kepada sang Ayah. Namun, ia ragu karena merasa takut.
Takut bila ayahnya marah, mengingat ia baru saja bercerai enam
bulan yang lalu.
“Ayah,” ucap Hanna membuka suara.
“Hmm,” respon Ayahnya sambil menyuap sesendok nasi.
“Kalau ada teman laki-laki mau main ke sini boleh tidak?”
ucap Hanna hati-hati. Ayah menghentikan aktivitas makannya
lalu menatap Hanna, Hanna yang takut hanya menunduk dan
tidak berani menatap Ayahnya.
“Kenapa tidak boleh kalau mau main, main saja ke sini,”
jawaban yang membuat Hanna lega dan senang.
Ayahnya mengerti bila laki-laki yang di maksud Hanna pasti
memiliki tempat di hatinya karena sebelumnya Hanna tidak

222 Menipu Arwah


pernah sampai meminta seperti ini. Seminggu setelah komunikasi
itu terjalin, semakin hari pembicaraan lewat pesan semakin intens
mereka lakukan. Siang ini sekitar bakda Zuhur terdengar suara
pintu diketuk.
“Sebentar,” Ismi menyahuti dari dalam.
“Maaf, Kakak mau cari siapa ya?” ucap Ismi merasa asing
dengan pria di hadapannya yang tak lain adalah Irwan.
“Siapa Dek?” Sahut Hanna keluar dari kamar dan masih
menggunakan mukena. Tiba-tiba senyumnya merekah ketika
melihat yang datang adalah pria yang sangat di rindukannya.
“Assalamualaikum, Han,” sapa Irwan.
“Wa..waalaikum salam, Mas,” bibir Hanna terasa bergetar
karena merasa sangat bahagia bertemu kembali dengan sosok
yang selalu memiliki tempat sendiri di hatinya.
Hanna berjalan dan mendekat ke arah Irwan. Ismi yang
mengerti hanya tersenyum, lalu meninggalkan mereka berdua.
“Apa kabar?” sapa Irwan.
“Baik Mas, ayo masuk,” Hanna mempersilahkan Irwan
masuk dan ia pergi ke kamar untuk membuka mukena dan meng-
gantinya dengan hijab.
Hanna segera pergi ke dapur membawa segelas air dingin
dan diberikannya pada Irwan.
“Minum dulu, Mas” Irwan mengambil minuman itu dan me-
neguknya perlahan. Tidak ada kata terucap di antara mereka,
Irwan tiada henti menatap wanita yang sudah cukup lama tidak
ia temui itu. Wanita yang memberikan rasa ridu di hatinya. Tak
berapa lama Ayah Hanna datang dari berjamaah di masjid.
Melihat Irwan, ia yakin bila pria ini yang dimaksud Hanna waktu
itu.
“Ayah perkenalkan ini Mas Irwan,” ucap Hanna.
Irwan bangkit lalu menyalaminya, sementara Hanna pergi
ke dapur untuk mengambil segelas air untuk Ayahnya. Di tinggal
Hanna mengambil air mereka terlihat ngobrol tanpa terasa cang-
gung, Ayahnya sendiri menyambut Irwan dengan sangat baik.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 223


“Ganteng banget sih Teh,” ucap Ismi yang sedang di dapur
dan menggoda kakaknya.
“Tetehnya saja cantik,” jawab Hanna. Ismi hanya menge-
rucutkan bibirnya menimpali ucapan kakaknya.
Setelah mengambil minum Hanna kembali ke ruang tamu
dan di sana sudah ada Ibunya juga.
“Oh, silakan kalau mau ke sini dengan orang tua Nak Irwan,
tetapi alangkah baiknya kita tanya dulu pada Hanna,” ucap Ayah
dan Ibu tertawa.
“Nah, ini anaknya datang,” lanjut Ayah.
“Kenapa Yah?” tanya Hanna.
“Ini Nak Irwan tadi bilang bila diizinkan ia ingin membawa
orang tuanya untuk melamar,” jawab Ayah.Hanna diam, dan
menatap ke arah Irwan.
“Saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengkhitbah
Kamu, Han, maaf bila ini terlalu buru-buru,” ucap Irwan mem-
balas tatapan Hanna lembut.
Akhirnya aku mengucapkan kata-kata yang ingin aku
utarakan sejak dulu saat mulai menyadari rasa sejuk ini hadir.
Aku berpikir cinta ini tidak sampai karena wanita manis ini milik
orang lain, rupanya Allah seperti memberi satu kesempatan yang
tak ingin aku sia-sia kan begitu saja. Hanna tersipu malu, pipinya
merona. Membuatnya semakin manis, belum ada jawaban
terlontar dari bibirnya, tetapi jawaban apa pun aku siap me-
nerimanya. Mungkin dia juga sedikit tidak menyangka bila per-
temuan pertama bersama orang tuanya telah menjadi hari ketika
aku memintanya untuk menjadi seorang istri.
“Bagaimana Han?” tanya Ayah Hanna melihat putrinya
belum memberikan jawaban.
“Hanna juga tidak ingin kehilangan kesempatan dengan
menunda menerima khitbah Mas Irwan, yah, hanya ada satu
syarat,” ucap Hanna.
“Apa itu, Han?” tanyaku dengan hati berdebar, takut bila
syarat yang diajukan terlalu berat.

224 Menipu Arwah


“Dalam Islam memang diperbolehkan untuk berpoligami,
tetapi Hanna menolak tegas dan tidak pernah mau untuk
diduakan.”
“Insyaallah, saya tidak pernah akan menduakan,” jawabku
tersenyum lega.
“Kalau begitu jawaban Hanna, iya.”
Alhamdulillah, hatiku berucap karena bibir dan bahasa
tubuhku hanya mampu memberikan seutas senyum bahagia dan
syukur.
“Insyaallah saya akan kembali minggu depan dengan orang
tua saya karena mereka saat ini tinggal di Jogja, jaraknya cukup
jauh,” aku berujar pada Ayah Hanna.
Aku dapat melihat senyum lega di kedua orang tua Hanna,
tetapi aku melihat senyum lain di wajah calon istriku. Senyum
penuh kasih dan berbunga.
“Ya sudah, Ibu dan Bapak tinggalkan dulu, ya. Kalian silakan
mengobrol saja.”
Aku hanya mengangguk menimpali ucapan Ayah Hanna.
Aku lihat Hanna menunduk dan tersenyum simpul yang duduk
di sebelahku dengan jarak yang cukup jauh.
“Aku tidak menyangka bisa sampai di hari ini, aku pikir ini
tidak akan pernah terjadi,” ucapku membuka suara.
Aku lihat Hanna menatapku dan kembali memberikan
senyumnya.
“Terima kasih sudah hadir dan memberikanku kesempatan
untuk kita menjadi partner di dunia dan akhirat,” satu kalimat
yang terucap tulus dari mulutku, yang juga semoga menjadi doa
yang baik untuk kehidupan kami selanjutnya.
Di tempat lain Shopi dan Azzam sedag bertengkar,
“Aku gak mau pindah ke rumah itu!” pekik Shopi dan
berbicara sangat keras pada suaminya.
“Akan tetapi, kita sudah tidak sanggup membayar cicilan
rumah ini,” ujar Azzam.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 225


Setelah menikah dengan Shopi, istrinya itu tidak mau diajak
tinggal di rumah yang dulu ia tempati dengan Hanna. Shopi
bersikukuh ingin mengambil rumah di kawasan elite di daerah
Jakarta biar sama dengan teman-temannya. Padahal, rumah yang
ia tempati dengan Hanna pun merupakan hunian yang cukup
bagus dan memiliki nilai jual. Namun, dengan seribu alasan Shopi
menolak untuk tidak tinggal di sana. Saat ini, karena gaya hidup
Shopi yang hedonis, keuangannya semakin kacau. Bisnis yang
dijalankan tidak berjalan dengan baik. Entah berapa banyak
tanah dan sawah di kampung yang telah di jual Azzam untuk
memenuhi kehidupan rumah tangganya. Shopi sulit di beri
kepercayaan masalah keuangan, ia terlalu konsumtif. Dia yang
baru melahirkan beberapa bulan lalu memilih rumah sakit dengan
fasilitas yang mewah sehingga cukup membuat Azzam pusing
dengan tagihan yang membengkak. Pada akhirnya orang tua
Azzam lah yang selalu turun tangan. Dan kini Azzam seperti
menuai buah yang ia tanam.
Di tempat yang lain Hanna dan Irwan sedang melangsung-
kan pernikahan.
“Saya terima nikahnya Rayhanna Rahma Putri binti Adi
Prawiraharja dengan maskawin tersebut di bayar tunai,” ucap
Irwan dengan suara lantang mengucapkan akad nikah di hadap-
an wali dan para saksi.
Semua bersorak mengucapkan rasa syukur. Tangan Hanna
bergetar karena gugup, air matanya berderai karena terharu.
Hari ini ia resmi menjadi istri dari seorang laki-laki yang dicintai-
nya. Hanna mencium tangan Irwan, dibalas dengan Irwan men-
cium keningnya, lalu memakaikan cincin di jari manis masing-
masing. Sebelum akad di mulai ayah Hanna datang dengan
khusus kepada Irwan.
“Ayah mohon jangan sakiti Hanna, dia perempuan yang
baik. Hatinya lembut sekali. Kalau dia bersalah janganlah me-
negur dengan keras, cukup nasihati saja. Ayah pernah bersalah
padanya karena menikahkan dengan Azzam, tetapi sekarang

226 Menipu Arwah


Ayah percaya kamu pria yang tepat untuk Hanna,” Ayah Hanna
mengucapkannya sambil terisak pada Irwan.
“Ayah jangan takut, saya akan selalu melindungi Hanna,
insyaallah,” jawab Irwan.
Sementara itu, Azzam, hatinya mendidih dan terluka men-
dengar Hanna menikah menjadi milik orang lain, di sisi lain
Shopi tampak puas mendengarnya. Setelah sekitar satu minggu
mereka menghabiskan waktu bulan madu di Bandung. Hari ini
saatnya pulang ke Jakarta. Ini adalah pertama kali Hanna kem-
bali menginjakkan kaki di ibukota. Setelah terakhir kali ia di
sana dengan luka dan rasa pilu. Namun, saat ini kebahagiaan
selalu mengiringi harinya bersama suami yang mencintai dan
dicintainya. Adapun, Azzam berada pada kondisi terpuruk
hanya ingin mencoba untuk bangkit untuk Adam, anak semata
wayangnya dg Shopi. Azzam berjanji akan membuktikan mampu
mengurus Adam sendiri. Azzam berjanji tidak peduli lagi pada
Shopi. Cukuplah meninggalnya Ibu sebagai cambuk yang paling
sakit. Setelah ini akan mencari kebahagiaan dan menyembuhkan
luka. Berdamai dengan diri sendiri adalah cara terbaik yang
dapat membantuku bertahan dan kembali melanjutkan hidup.
Tentang Hanna, biar saja aku ikhlaskan dia. Tidak mungkin juga
ia akan kembali padaku. Irwan sangat mencintainya dan mem-
perlakukannya bak ratu, jauh seperti yang kulakukan padanya
dahulu. Namun, Hanna dan Irwan selalu membuatku belajar.
Enam bulan berlalu, akhirnya Azzam mengurus surat cerai
bersama Shopi dan ia pun mendapatkan hak asuh anak, hubung-
annya dengan Hanna dan Irwan pun jauh lebih baik. Yang
terakhir, ia sudah mulai menautkan hati pada seorang wanita
karyawan baru di kantornya yang berpenampilan santun meng-
gunakan hijab. Hari-hari dan bulan sudah banyak berlalu, Hanna
merasa beruntung dipilih Irwan menjadi istrinya. Selain lembut,
suaminya juga penuh cinta. Selain itu, mertua dan ipar-iparnya
sangat sayang pada Hanna. Bagaimana bisa tidak sayang, sang
menantu memiliki kepribadian yang sangat baik. Hanna dan

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 227


Irwan berbahagia dengan tulus mendengar kabar Azzam akan
menikah dan memanjatkan doa-doa terbaik untuk kelangsungan
rumah tangga Azzam. Mengenal Hanna dalam hidupnya tidak
membuat Azzam menyesal, dia banyak belajar selama bersama-
nya. Terutama bagaimana caranya menghargai apa yang kita
miliki. Saat ini Hanna sedang mengandung tiga bulan. Dia masih
tetap merasa kepayahan di tiga semester pertama. Namun, kali
ini ia banyak mendapat dukungan dan perhatian bukan hanya
dari suami, keluarga besarnya juga sehingga merasa lebih kuat.
Masalah akan selalu ada, tetapi seberat apa pun akan terasa lebih
mudah ketika kita mengikatnya hingga kokoh. Dan salah satu
pengikat yang rekat sangat kuat adalah doa dan cinta.

228 Menipu Arwah


Senja Temaram

Triman Laksana
Guru SMP Negeri 1 Mungkid, Magelang

Matahari sudah condong ke barat. Namun panasnya masih


terasa di halaman Ndalem Ngabehinan itu. Angin sore bertiup
perlahan. Daun-daun Sawo Kecik, Keben, dan Ringin Putih ber-
goyang. Ada beberapa helai daunnya berguguran. Jatuh ke tanah.
Di dalam pendapa Ndalem Ngebehinan, tampak Giras se-
dang duduk di dekat Kendang, sesekali memainkannya. Suara-
nya begitu menggema. Jumiran memasuki halaman. Setelah me-
makirkan sepeda motornya di bawah pohon Sawo Kecik, berjalan
perlahan, tersenyum. Lalu duduk di salah satu kursi kayu jati,
di dalam pendapa. Mengeluarkan sebatang rokok dari saku baju.
Disulut. Asap abu-abu mengepul dari bibirnya kemudian.
“Kelihatannya serius main Kendang. Eh, tak tahunya pikiran-
nya melayang jauh ke awang-awang. Begitu indahnya kalau bisa
duduk berdampingan dalam pelaminan, dengan Nimas Rara,”
ucap Jumiran, sengaja suaranya dikeraskan sambil menatap Giras.
Giras menghentikan memainkan Kendang.
“Di taman, Gatotkaca menemui Dewi Pergiwa, kemudian
merayu dengan tembang..Alok-alok balung Pakel...oooo...Diajeng
Pergiwa, aku begitu kasmaran denganmu, hehe,” sekali lagi
Jumiran berkata sambil nembang.
Giras bangkit dari duduknya. Melangkah mendekati Jumiran.
“Kemasukan jin Ringin Putih depan pendapa apa, Kang
Jum?” tanya Giras sambil duduk di dekat Jumiran.
“Wooo, wong edan! Disindir kok.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 229


“O, ceritanya Kang Jumiran nyindir aku to? Aduh, aku kesindir,
hehe,” ujar Giras sambil cengengesan.
“Wedus!” jawab Jumiran sambil tertawa kecil.
“Makanya, kalau nyindir itu bilang, jadinya aku tahu, hehe,”
sekali lagi Giras cengengesan.
“Lambemu itu, Ras!” Jumiran jengkel, tangannya menoyor
kepala Giras.
Giras tidak marah. Malah tertawa terbahak.
“Sudah jam segini, mengapa teman-teman belum datang
latihan, Kang?” tanya Giras kemudian.
“Kamu terlalu lugu kok, Ras. Makanya, kalau punya mata
dan telinga itu dipasang. Sarjana seni kok tidak bisa membawa
hati, rasa, dan perasaan, hehe,” kini ganti Jumiran yang
cengengesan.
“Rasa dan perasaan? Apa hubungannya dengan kesarjana-
anku?” tanya Giras tidak tahu ke mana arah pembicaraan
Jumiran.
“Tidak tahu betul?” Jumiran malah balik bertanya.
“Halah, seperti wayang saja, tanya dibales tanya. Hampir
sebulan aku tidak latihan, karena sedang peye. Lha, ada apa to,
Kang?” tanya Giras jengkel.
“Grup Karawitan Ngudi Laras ini sudah dibubarkan oleh
Den Bei,” jawab Jumiran datar.
“Apa, dibubarkan? Mengapa?” Giras kaget.
“Gamelan itu sudah dijual. Tinggal diangkut oleh
pembelinya,” Jumiran menjawab pertanyaan Giras dengan tanpa
ekspresi.” Nimas Rara tidak tahu.”
“Kok bisa?”
“Aku tidak tahu. Itu urusan Den Bei.”
“Kok, Kang Jumiran tidak menampakkan wajah kecewa?”
“Kita ini hanya pemain, Ras. Tidak punya wewenang apa-
apa. Semua kan milik Den Bei. Terus kita mau demo, protes.
Begitu? Hehe.” Jumiran cengengesan.
Giras bingung, sekaligus curiga.

230 Menipu Arwah


“Katanya Den Bei mencintai budaya Jawa, gamelan ini akan
dipertahankan.”
“Itu dulu! Sekarang nyatanya?”
“Sekarang apa, Kang?” potong Giras, semakin penasaran.
“Itu urusan Den Bei. Aku tidak tahu. Mungkin, ada orang
yang senang dengan Gamelan bersejarah ini, kemudian cocok
dengan harganya. Ya, dilepas, hehe,” ucap Jumiran sambil ce-
ngengesan. Rokoknya yang mati, kemudian disulut lagi. Asap
abu-abu kembali muncul dari bibirnya yang hitam itu.
“Aku harus lapor Nimas Rara ini!” kata Giras dengan wajah
serius.
“Mangga, silakan!” ujar Jumiran, sambil melangkah, menuju
ruang dalam Ndalem Ngabehinan.
“Mau ke mana, Kang?” tanya Giras heran.
“Menghadap Den Bei. Mau pamitan!” jawab Jumiran, sambil
terus melangkah, hingga sudah tidak terlihat lagi oleh Giras.
Giras terus berpikir keras, dan penuh tanda tanya. Gamelan
Ngudi Laras, sudah dijual oleh Den Bei. Dia teringat perkataan
Jito Kenthir beberapa waktu yang lalu.
“Apakah Den Bei masih bisa bertahan dengan Karawitan
Ngudi Laras ini, yang sudah jarang peye, hehe. Aku yakin, lama
kelamaan gamelan Ngudi Laras ini pasti akan dijual. Warisan
nenek moyang, tinggal warisan. Budaya adiluhung, tinggal
budaya yang kesepian. Akhirnya akan digilas zaman,” ucapnya
sambil cengengesan, karena memang kenthir.
Jito memang sering bermain di pendhapa Ndalem Ngabehin-
an, ketika sedang latihan karawitan. Meski kenthir, tetapi suara-
nya bagus, kadang ikut nggerong , menimpali suara Minah. Sinden
di grup karawitan Ngudi Laras.
Giras semakin terkungkung dengan pertanyaan-pertanyaan
yang ada di dalam kepalanya. Kemudian bangkit dari kursi kayu
jati. Melangkah. Menghampiri sepeda motornya. Menstater. Men-
jalankan, meninggalkan Ndalem Ngabehinan.
***

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 231


“Ini ada apa to, Mas Giras?” tanya Minah dengan wajah
polosnya.
“Hari ini, kita harus mendapat kepastian dari Nimas Rara,
dan Den Bei,” jawab Giras dengan penuh emosi.
“Walah, kita ini hanya ikut Den Bei. Mas Giras masih muda,
sarjana, pinter kan bisa cari grup lain ta!”
“Jadi?”
“Grup karawitan Ngudi Laras sudah dibubarkan oleh Den
Bei..”
“Kamu tahu dan dengar sendiri, Nah?” potong Giras.
“Iya! Aku dengar sendiri dari Den Bei,” ucap Minah, tetap
dengan wajah polosnya.
“Nimas Rara sudah tahu?” tanya Giras.
“Ada apa ini, kok serius banget. Katanya kamu akan bicara
denganku, Mas Giras?” Nimas Rara tiba-tiba sudah muncul di
Pendapa itu.
Giras dan Minah kaget. Menatap tajam Nimas Rara.
“Mbak Nimas, apa betul gamelan Ngudi Laras sudah di-
jual?” tanya Giras sudah tidak sabar lagi. Ingin tahu apakah Nimas
Rara sudah mengetahuinya.
“Apa? Gamelan Ngudi Laras dijual? Siapa yang bilang?”
Nimas Rara kaget, dan malah balik bertanya.
“Kang Jumiran dan Minah,” jawab Giras.” Grup karawitan
Ngudi Laras juga sudah dibubarkan,” sambungnya lagi.
“Benar, Nah?” tanya Nimas Rara tidak percaya, menatap
tajam Minah.
“Betul Den Ayu Nimas. Den Bei yang mengatakan padaku
dua minggu yang lalu,” jawab Minah dengan ketakutan. Tidak
berani memandang Nimas Rara.
“Ini tidak betul! Kalian tunggu di sini. Aku akan bertanya
pada Rama,” ucap Nimas Rara dengan wajah memerah. Melang-
kah. Meninggalkan Giras dan Minah yang masih duduk di kursi
kayu jati di pendapa itu.

232 Menipu Arwah


Langkah kaki Nimas Rara begitu berat membawa hatinya
yang penuh dengan kemarahan. Langsung menuju ruangan kerja
Den Bei. Karena sebelum menemui Giras dan Minah, Nimas Rara
baru saja meladeni Den Bei dengan poci teh nasgithel, dengan
gula batu. Tanpa mengetuk pintu, Nimas Rara langsung mem-
buka pintu, masuk ke dalam ruangan. Den Bei kaget. Buku yang
ada di tangannya, hampir saja terlepas. Kemudian menatap tajam
Nimas Rara.
“Nimas, sejak kapan aku ngajari kamu masuk ruangan tanpa
ketok pintu, dan meninggalkan tatakrama?” dengan kemarahan
Den Bei bertanya pada Nimas Rara.
“Sejak Rama tidak jujur, menjual gamelan Ngudi Laras tanpa
sepengetahuan Nimas,” jawab Nimas Rara dengan nada jengkel.
“Darimana kamu tahu?”
“Itu tidak penting, Rama! Nimas hanya ingin kepastian, apa
benar gamelan Ngudi Laras sudah dijual?” sekali lagi Nimas
Rara dengan nada jengkel. Meski ada rasa jengkel, dia masih
menghormati Den Bei sebagai bapaknya. Nimas Rara duduk
berhadapan dengan Den Bei.
“Kalau iya, mengapa?” tantang Den Bei.
“Rama tidak konsisten!” ada air mata mengalir di pelupuk
Nimas Rara. “Di mana idealisme, Rama?”
“Ini realistis, Nimas. Buat apa idealis kalau tiap bulan aku
harus nombok untuk merawat dan ngurusi grup karawitan Ngudi
Laras. Kita harus menginjak bumi, Ndhuk!” ujar Den Bei sambil
menyeruput teh nasgithelnya dari cangkir.
“Nimas kecewa! Dulu, ketika akan kuliah di Sospol, Rama
menyuruh untuk ambil jurusan Seni Karawitan, agar budaya Jawa
tetap dipelajari oleh kalangan muda. Rama juga bicara, gamelan
warisan leluhur Trah Suryoningrat tetap lestari. Namun seka-
rang, Nimas tinggal Tugas Akhir.” tangis Nimas Rara kian
menjadi.
“Kalau untuk hal itu, Rama minta maaf. Sekarang zaman
sudah berubah..”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 233


“Maaf untuk apa, Rama? Nimas tidak jadi kuliah di Sospol,
atau karena telah menjual gamelan Ngudi Laras?” Nimas Rara
menatap Den Bei. “Dulu, Rama mengatakan kalau kuliah di
Sospol, kemudian menjadi politikus. Politikus selalu berkonotasi
kotor. Sekarang, dengan nguri-uri budaya Jawa itu juga kotor,
sehingga gamelan itu harus dijual?” Nimas Rara sudah bisa lagi
menahan gejolak hatinya.
“Terserah kamu mau bilang apa, Anakku! Yang jelas, Rama-
mu ini lebih berpijak dan berpihak dengan realitas yang ada. Orang-
orang sekarang lebih suka nanggap campur sari atau dangdut,
daripada karawitan. Ini kasunyatan, Ndhuk!” Den Bei sudah begitu
kuat dengan pendiriannya.
“Mbak Ayu dan Mas Rangga, sudah tahu?”
“Sudah! Mereka berdua sangat setuju, karena memikirkan
pensiuanan Ramamu ini digerogoti dengan membiayai gamelan
dan grup karawitan Ngudi Laras,” begitu tenang Den Bei men-
jawab Nimas Rara yang terus menangis, karena rasa kecewanya
yang begitu dalam.
“Ini ada yang tidak beres!” Nimas Rara setengah berteriak.
“Semua sudah beres, gamelan Ngudi Laras tinggal diangkut
oleh pembelinya orang Belanda itu.”
“Apa? Orang Belanda? Jadi gamelan Ngudi Laras akan
dibawa ke luar negeri?” Nimas Rara semakin geram.
“Ngudi Laras dihargai dengan dua milyar. Katanya, di sana
akan dipakai untuk para mahasiswa yang belajar gamelan,” ujar
Den Bei dengan begitu santainya, sambil menyerutput kembali
teh nasgithelnya.
“Rama telah menjual budaya Jawa, warisan Trah Suryo-
ningrat ke orang asing. Rama sudah tidak mencintai budayanya
sendiri. Maaf, Nimas bicara seperti ini, bukan berarti tidak punya
tatakrama dengan Rama. Namun ini sudah menyangkut harga
diri budaya bangsa,” Nimas Rara begitu beraninya dengan Den
Bei, karena gejolak hatinya memang sudah tidak bisa dibendung.

234 Menipu Arwah


“Preeeet! Coba kamu lihat dan rasakan, apa peran pemerintah
kita dengan gamelan Ngudi Laras ini. Mereka peduli? Tidak
bukan? Kalaupun mereka membeli gamelan, hanya sebagai
pajangan di pojok kantor yang megah. Ditelantarkan berdebu.
Tidak digunakan sebagaimana mestinya. Bukan untuk diagung-
kan keberadaannya sebagai budaya Jawa yang adiluhung. Jangan
terlalu naif, Anakku!” Den Bei berkilah untuk tetap dengan jalan
yang sudah ditempuhnya.
“Hebat, hebat! Rama memang seorang penceramah yang
hebat, melebihi para politikus yang sering mengatakan esuk dhele
sore tempe. Begitu mudahnya memutar waktu. Sekali lagi, Nimas
kecewa!” tangisnya Nimas Rara terus meninggi, tak kuasa me-
nahan hatinya yang sakit. Merasa telah dibohongi oleh Den Bei.
“Terus, kamu mau apa? Jangan khawatir, pasti dapat bagian
kok, hehe,” Den Bei begitu santainya menanggapi protesnya
Nimas Rara.
“Nimas tidak sudi menerima uang hasil menjual warisan
budaya nenek moyang!” Nimas semakin terisak. “Nasib para
pengrawit?” tanya Nimas Rara di sela-sela tangisnya.
“Terserah! Itu hakmu. Rama tidak memaksa mau atau tidak
mau,” ujar Den Bei dengan santainya. “Mereka sudah profe-
sional. Pasti akan cari grup baru. Sekadar untuk menghormati
jasa mereka, Ramamu ini akan memberikan uang pesangon,”
sekali lagi Den Bei begitu entengnya mengatakannya.
Nimas Rara menatap tajam Den Bei.
Den Bei hanya tersenyum.
Nimas Rara sudah tidak kuasa lagi. Bangkit dari kursi, terus
berlari. Keluar dari ruang kerja Den Bei. Menuju pendapa. Giras
dan Minah kaget, karena melihat Nimas Rara tampak menangis.
Ternyata, Jumiran juga sudah ada di tempat itu. Nimas Rara
duduk di kursi kayu jati. Tangisnya masih tersisa.
Giras dan Minah sudah menduga, kalau Den Bei sudah bulat
dengan tekatnya menjual gamelan Ngudi Laras. Seperti yang
didengar dari mulut Jumiran.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 235


Den Bei keluar dari ruang kerjanya. Sambil membawa
sampul berwana coklat. Melangkah menuju pendapa. Nimas Rara
masih menangis. Giras berdiri. Melangkah mendekati Den Bei.
“Kamu mau apa? Protes seperti Nimas?” tanya Den Bei
begitu ketus.
“Tidak mau apa-apa, Den Bei. Saya hanya anak desa, yang
kebetulan ikut grup karawitan Ngudi Laras. Saya selalu mene-
rima ilmu yang diberikan oleh Den Bei. Saya ini, hanya seorang
penari dan penabuh gamelan.”
“Apa maksudmu?” ucap Den Bei memotong kalimat Giras
yang bernada sinis itu.
“Saya tidak punya maksud apa-apa. Hanya ingin mengucap-
kan terima kasih pada Den Bei, yang telah memberikan segala
ilmu tentang filsafat ilmu Jawa, hingga hidup kesejatian. Mungkin,
hari ini ilmu yang paling kasunyatan. Hidup harus nyata, materi
adalah nomer satu, nguri-uri budaya Jawa itu nomer sekian. Matur-
nuwun, Den Bei. Terasa sempurnalah ilmu yang saya dapatkan
hari ini,” ujar Giras dengan bergetar.
“Bocah Ndeso, lancang sekali ucapanmu! Kamu tahu sedang
berhadapan dengan siapa?” Den Bei marah, meski ucapan Giras
yang pelan, menghormati, tetapi begitu tajam.
“Dengan Bapak Doktorandus Raden Mas Ngabehi Adipuro
Magister Manajemen. Pensiunan pejabat. Seorang bangsawan.”
“Bangsat!!! Berani sekali kamu, Giras!” marah sekali Den
Bei mendengar ucapan Giras. Tangan kanannya diayunkan, tetapi
tidak jadi. “Ucapanmu begitu halus, dengan tata bahasa sopan
tetapi menyakitkan. Aku tahu, kamu sarjana seni, cerdas dan
pandai mengolah tembang dan gendhing-gendhing Jawa. Apakah
bisa bertahan dengan idealisme di zaman milenial ini? Nimas
pasti sudah kamu racuni, hingga berani dengan Ramanya ini.”
“Tidak!” potong Nimas Rara, masih dengan tangisnya.
“Nimas tidak berani dengan Rama. Nanti bisa kuwalat. Nimas
hanya kecewa dengan kemunafikan Rama, jangan terus menya-
lahkan Mas Giras, Rama! Nimas bukan anak kecil lagi, sudah

236 Menipu Arwah


tahu mana yang baik untuk dipertahankan, dan mana yang harus
dijual. Nimas takut.”
“Takut! Takut apa?” potong Den Bei, sambali menatap tajam
Nimas Rara.
“Warisan leluhur itu pusaka dan bertuah, bisa kuwalat bagi
yang tidak bisa merawatnya dengan baik-baik. Kanjeng Ibu pasti
kecewa di alam kelanggengan sana,” sambung Nimas Rara dalam
isaknya.
“Hahaha! Zaman sudah berubah, aku tidak takut! Kalau tidak
setuju, silakan! Aku telah menjual gamelan Ngudi Laras, titik!
Kalau mau pergi, silakan! Berani-beraninya menakut-nakuti
orang tuamu ini. Satu hal lagi yang perlu kamu ingat, jangan
membawa-bawa orang sudah tiada, Nimas!” Den Bei menantang
Nimas Rara, dengan tatapan mata tajam.
“Rasa-rasanya sudah tidak ada tempat di sini, yang hanya
menempatkan idealisme semu. Lebih mementingkan lembaran
uang. Maaf, Rama!” Nimas Rara berhenti menangis. Bangkit dari
kursi kayu jati. Melangkah. Masuk ke dalam rumah.
Minah dan Jumiran hanya duduk terdiam. Giras sudah tidak
berkata-kata lagi, merasa sudah puas menyampaikan isi hatinya.
“Minggaaaaat!!!” teriak Den Bei begitu marahnya. “Giras,
Minah, Jumiran! Ke sini!,” sambil tangannya membuka sampul
warna coklat. Mengambil beberapa gepok uang lembaran seratus
ribuan.
Giras, Minah tetap duduk terdiam. Jumiran mendekati Den
Bei.
“Ini untukmu, Jum. Yang telah membawa perantara pembeli
itu kemari,” ujar Den Bei sambil memberikan tiga gepok uang.
“Terima kasih, Den Bei,” ucap Jumiran sambil menerima
tiga gepok uang. Tersenyum. Kemudian meninggalkan tempat
itu. Pulang, dengan membawa kebahagiaan.
“Ini untukmu, Cah Ndeso!” kata Den Bei, sambil memberikan
segepok.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 237


Giras bangkit. Melangkah. Meninggalkan tempat itu, sambil
nembang Jawa yang isinya sebuah sindiran tentang melestarikan
budaya Jawa. Tak lama kemudian Giras sudah tidak terlihat
lagi di halaman Ndalem Ngabehinan, bersama sepeda motornya.
“Dasar Bedhes elek, sok idealis. Dikasih uang tidak mau. Edan!
Mau minggat saja pakai menyindir,” ujar Den Bei jengkel. “Minah,
ini uang untukmu. Tidak akan kuwalat, kok!”
Minah bingung. Badannya gemetar. Ragu-ragu.
“Jadi kukawini kamu, Nah!” ucap Den Bei lagi, sambil
memberikan dua gepok kepada Minah.
Minah gemetar menerima uang itu. Bingung. Ketakutan.
“Sekarang, sudah tidak ada lagi yang menghalangiku. Aku
bebaaaas! Haha,” Den Bei tertawa lepas, sambil melangkah men-
dekati gamelan Ngudi Laras, yang ada di pendapa itu.
Den Bei terus tertawa di antara alat-alat gamelan Ngudi
Laras. Terus tertawa lepas.
“Aduh. Aduuuuh!” tangan kanan Den Bei mendekap dada-
nya. Perlahan ambruk, tangan kirinya berpegangan pada Kendang.
Kendang jatuh, menimpa tubuh Den Bei. Den Bei terkapar.
“Deeeen!” Minah berteriak, sambil setengah berlari men-
dekati Den Bei.
***
Matahari telah condong ke Barat. Namun panasnya masih
terasa di halaman Ndalem Ngabehinan. Angin sore bertiup
perlahan. Daun-daun Sawo Kecik, Keben, dan Ringin Putih
bergoyang. Beberapa helai daunnya berguguran. Jatuh ke tanah.
Di pendapa Ndalem Ngabehinan, Minah yang telah resmi
menjadi istri Den Bei, dengan setia setiap hari, menikmati sore
hingga hari berganti gelap. Menemani Den Bei yang duduk di
atas kursi roda, sambil mendengarkan gendhing-gendhing Jawa
dari smartphone-nya.

Padhepokan Djagat Djawa, Magelang 17 Juli 2019.

238 Menipu Arwah


Penunggu Bende Kali Setra

Uswatun Hasanah
SMA Negeri 1 Salatiga

Desa Setra, sebuah kampung kecil yang agak terpencil di


lereng gunung. Warga masyarakatnya masih hidup dengan pola
tradisional dan masih menjunjung tinggi adat-istiadat yang di-
wariskan nenek moyang. Mereka mengandalkan sebuah sungai
untuk segala kegiatan sehari-hari. Dari mengambil air untuk me-
masak, mencuci, mandi, bahkan buang hajat. Prinsip mereka,
Tuhan sudah memberikan air berlimpah, buat apa mengambil
air dari sumber lain. Gaya hidup masyarakat yang sangat seder-
hana itulah yang membuat desa ini berada jauh tertinggal dengan
desa yang lain. Namun, warganya tak menghiraukan semua itu.
Bagi mereka hal terpenting dapat bertahan hidup dan bisa
menikmati hidup dengan cara mereka sendiri.
Warga sangat peka dengan gejala-gejala alam yang ditandai
dengan didengarnya suara dentang bende yang mirip suara
lonceng gereja. Mereka tinggal menghitung berapa jumlah den-
tangan bende itu. Dentang satu kali menandakan ada warga
yang terlambat mengirim sesaji di sungai. Sudah menjadi tradisi
warga untuk memberikan sesajen berupa kembang tujuh rupa,
cengkir gading, kembang sepatu, dan rajangan pandan. Itulah
yang harus mereka siapkan setiap hari secara bergiliran. Warga
pun sudah paham atas semua itu, dan dengan penuh kesadaran
mereka mengirimkan sesajen itu tiap pagi. Jika ada warga yang
lalai, bende akan berbunyi dan warga lain akan memberikannya.
Mereka tak ingin bende berdentang lebih dari satu kali.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 239


Jika dentang bende lebih dari sekali, pertanda akan ada
marabahaya yang datang di desa tersebut. Hal tersebut pernah
terjadi ketika ada sebuah proyek yang akan membangun jem-
batan sebagai penghubung Desa Setra dengan desa sebelah.
Rupanya sang pembahu rekso tidak menginginkan hal itu. Malam
itu bende berdentang dua kali. Warga geger. Mereka langsung
berkumpul di depan rumah Pak RT untuk saling bertanya, apa
yang bakal terjadi dengan kampung mereka.
Tiba-tiba dari ujung jalan, salah seorang warga berlari-lari
mengabarkan bahwa ada tiga pekerja proyek yang jatuh tertimpa
bangunan jembatan yang ambrol. Hal itu terjadi berulang-ulang
hingga pembangunan proyek akhirnya dihentikan karena pimpro
tidak ingin berjatuhan korban lagi.
Kali Setra, sebuah sungai yang tak begitu luas dengan aliran
airnya yang tak begitu deras, menjadi tempat yang paling di-
keramatkan warga. Mereka percaya penunggu sungai itu tahu
segala yang dilakukan warganya. Bila sedang berada di sungai,
pikiran tidak boleh kosong, harus konsentrasi, dan berhati-hati
ketika bicara dan bertindak kalau tak ingin sang penguasa sungai
marah. Di sungai itu pulalah, sering terjadi peristiwa yang tak
disangka-sangka. Seperti yang dialami seorang remaja yang
memancing pada waktu senja. Tiba-tiba dia hilang tak diketahui
rimbanya. Mungkin karena gelap dia terpeleset lalu hanyut ter-
bawa arus sungai. Namun warga percaya dia menjadi tumbal.
Cerita-cerita warga itulah yang membuat aku sebagai warga
baru di tempat itu menjadi sangat penasaran. Penasaranku yang
pertama adalah tentang keberadaan sungai yang dianggap
keramat. Sungai kecil itu menurutku tak lebih dari sungai biasa
yang tak berarti apa-apa karena aku minum dan memenuhi se-
mua kebutuhan hidupku dari air PAM. Penasaranku yang kedua
ketika aku melaporkan kepindahanku di desa ini kepada Pak
RT, beliau menyarankan halaman rumahku ditanami pohon
kelapa gading, bunga mawar, melati, dan pandan. Disarankan
pula agar aku tak membuat pagar besi. Pagarnya harus pagar

240 Menipu Arwah


hidup dari kembang sepatu. Ketika mulutku baru saja akan ber-
tanya mengapa harus begitu, Pak RT sudah memotong dengan
kalimat
“Ikuti saja aturan itu, Pak, jika ingin selamat.” Hmm, aku
semakin penasaran dengan semua itu.
Bunyi berdentangan itu terus mengusik malam-malamku
akhir-akhir ini. Ketika mata yang tak jua dihampiri kantuk, aku
selalu menghabiskannya dengan berkontemplasi diri. Ya, di
usiaku yang bisa dikatakan tak terlalu muda ini, seringkali perasa-
an ini dihinggapi rasa berdosa jika mengingat masa lalu.
“Sebenarnya itu suara apa ya? Dari mana sumber suara itu?”
Pertanyaan itu semakin berkecamuk di dalam benakku. Be-
berapa hari suara itu jelas terdengar di tengah kesunyian malam.
Saat para manusia yang siang harinya disibukkan dengan urusan-
urusan pekerjaan sedang menikmati saat-saat raganya bisa ber-
istirahat, justru aku sulit memejamkan mataku. Jangankan meme-
jamkan mata, kantuk saja tak kurasa.
Aku semakin penasaran dengan suara itu, kuhitung dentang-
nya. Itu bukan suara lonceng gereja karena gereja yang berada
di dekat rumahku tak pernah membunyikan lonceng. Namun,
akhir-akhir ini suara berdentang itu semakin sering terdengar.
Di telingaku, suara itu laksana suara lonceng kematian. Begitu
mencekam.
Entah keberanian dari mana yang membuatku bangkit dan
membuka pintu. Rintik hujan tak kuhiraukan, merembes di
antara helai-helai benang yang membungkus tubuhku, meng-
iringi langkahku. Aku begitu kedinginan dan menggigil. Hujan
malam ini turun lebat sekali hanya dalam hitungan detik, lalu
kembali reda setengah jam kemudian. Bau tanah setelah hujan
sungguh  tak mengenakkan, tapi lebih tak mengenakkan jika
harus berjalan sendirian seperti ini.
Kuketuk pintu Mbah Kromo beberapa kali. Tak ada sahutan.
Dialah yang dipercaya warga masyarakat Setra mengetahui
segala hal tentang seluk beluk mistis. Oleh karena itulah, kuputus-

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 241


kan untuk mendatangi kediamannya untuk menjawab rasa
penasaranku ini. Namun, beberapa kali kuketuk pintunya, tak
jua ada jawaban. Mungkin dia sedang terlena dan dibuai mimpi.
Kupanggil namanya beberapa kali, tetap tak ada sahutan pula.
Hampir saja aku membalikkan tubuhku untuk meninggalkan
rumah itu ketika kudengar derit pintu dan sesosok tubuh
menyembul ke luar.
“Siapa malam-malam begini mengetuk-ngetuk rumah-
ku?”gerutunya
“Saya, Mbah, Darto,” kataku dengan tubuh yang masih
menggigil kedinginan.
“Hmmm, ada apa anak muda? Ayo bicara di dalam saja. Di
sini dingin dan gelap. Lelaki tua yang nyaris berusia tujuh puluh
tahun itu, dengan rambutnya yang penuh uban, berjalan menuju
tempatku berdiri. Dengan isyarat tangannya, dia mengajakku
masuk ke dalam rumah.
Aku masuk mengiringi langkah Mbah Kromo yang berjalan
tertatih-tatih. Ruangan itu begitu gelap dan pengap seperti tak
pernah terjamah oleh manusia. Dindingnya lembap dan berdebu.
Mungkin sinar matahari tak pernah hadir barang sekejap di
ruangan itu. Ruangan ini lebih tepat disebut gua daripada sebuah
ruangan. Mbah Kromo terus berjalan dan aku mengikutiya di
belakang. Kutengok samping kiri dan kanan, semua gelap. Hanya
ada sedikit pencahayaan lampu teplok di dinding. Aku terus
berjalan dan menunggu kapan aku akan dipersilakan duduk.
Harapanku ternyata tak kesampaian karena Mbah Kromo
terus mengajakku berjalan dari ruangan satu ke ruangan yang
lain. Semua serba gelap dan pengap hingga dadaku terasa sesak.
Jauh sudah aku berjalan dan nyaris aku tak percaya karena rumah
Mbah Kromo ternyata menghubungkan dengan sebuah sungai.
“Nah, Nak Darto, sekarang kamu akan aku perlihatkan pada
sesuatu yang mungkin belum pernah kau lihat sebelumnya.”
“Ini sungai yang ada di seberang kampung kita kan, Mbah?”

242 Menipu Arwah


“Ya, betul, ini Kali Setra yang biasa digunakan warga desa
untuk berbagai keperluan.”
“Lalu, apa hubungannya dengan suara-suara yang saya
dengar, Mbah?”
“Sabar, nanti kamu juga akan tahu. Akan kuajak kamu melihat
asal bunyi itu, tapi kamu harus berdiam dulu di sini. Pejamkan
matamu, kosongkan pikiranmu, nanti kamu akan tahu apa yang
sebenarnya aku maksudkan.
Aku pejamkan mataku sambil berusaha mengikuti semua
arahan Mbah Kromo. Benar-benar harus terpejam. Bola mata
tidak boleh bergerak-gerak. Dalam posisi terbaring, tangan ber-
sedekap dengan posisi lengan atas tetap menempel di lantai,
sementara lengan bawah diletakkan di atas dada. Jari-jari tangan
saling mengunci.
Samar-samar masih kudengar suara Mbah Kromo mem-
berikan arahan padaku.
“Kaki luruskan, rileks. Tumpangkan telapak kaki kananmu
di atas telapak kaki kirimu. Tarik napas pelan-pelan melalui
hidung sampai di perut. Ayo lakukan dengan sungguh-sungguh.
Mata tetap terpejam. Kosongkan pikiran. Ucapkan mantra ini
cukup dalam hatimu saja. Om bhur bhuvah svah tat savitur varenyam,
bhargo devasya dhimahi dhiyo yo nah pracodayaat. Ayo ucapkan itu
dalam satu napas. Ucapkan sepuluh kali.”
Kuikuti arahan Mbah Kromo dengan mengikuti mantra-
mantra yang tak kuketahui maknanya itu. Namun, keinginanku
yang besar untuk mengetahui semua rahasia yang akan ditun-
jukkan Mbah Kromo kepadaku, tak kuhiraukan apa makna kata-
kata itu. Ketika mengucapkan mantra itu dalam hati tiba-tiba
seperti ada yang mengendalikan pikiranku untuk menangkap
makna mantra itu. Kurang lebihnya seperti ini Ya Tuhan anugerah-
kan kekuatan kepadaku, kuatkan akal budiku dan mampukan mengambil
pertimbangan yang bijak dalam hidupku. Rupanya itulah yang
disebut mantra Gayatri.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 243


Tiba-tiba kulihat sinar putih keperakan yang begitu me-
nyilaukan mataku. Mataku terbuka dan kulihat Mbah Kromo
sudah berdiri di depanku sambil membawa lentera kecil. Dia
membangunkan aku dari tempatku berbaring dan segera meraih
tanganku untuk mengikutinya berjalan menuju tempat yang
sungguh asing bagiku. Sebuah gua. Tempat itu tak ubahnya
seperti tempat pertapaan. Mbah Kromo mengajakku memasuki
gua itu, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat apa yang
ada dalam gua tersebut.
Di jalan masuk gua sampai ke dalam gua berserakan bunga-
bunga yang rupanya itu yang disebut kembang tujuh rupa,
mawar merah, mawar putih, cempaka, kenanga, melati, sedap
malam, dan melati gambir.
“Mbah, mengapa di sini penuh bunga?”
“Itu bunga penyambutan, Nak. Di dalam nanti masih ada
jenis bunga yang lain.”
“Apa maknanya, Mbah?”
“Itu kembang tujuh rupa namanya, Nak. Ada maknanya
masing-masing. Mawar merah itu melambangkan makna ke-
lahiran diri dari manusia ke dunia ini. Mawar putih melambang-
kan ketenteraman, kesejahteraan dan kedamaian. Nah, bunga
cempaka melambangkan jiwa spiritual yang kuat untuk meraih
kesuksesan, baik lahir maupun batin.”
“Lalu, yang lain, Mbah?”
“Sabar, aku belum berhenti bicara, jangan biasa memotong
pembicaraan. Itu tidak baik.”
“Iya. Iya, Mbah. Maafkan saya.”
“ Nah kau lihat bunga melati juga, kan. Ada dua jenis melati
di sini. Melati biasa dan melati gambir. Melati mengisyaratkan
pesan dalam melakukan suatu tindakan harus selalu melibatkan
hati/kalbu, tidak asal melakukan sesuatu sekehendaknya sen-
diri. Melati gambir melambangkan kesederhanaan. Masih ada
dua lagi. Kenanga dan sedap malam. Kenanga melambangkan
generasi penerus leluhur, sedangkan sedap malam melambang-

244 Menipu Arwah


kan keharmonisan dan ketenteraman. Itulah yang diharapkan
dalam menghadapi kehidupan ini.”
Aku hanya bisa manggut-manggut mendengarkan penjelasan
dari Mbah Kromo. Ternyata filosofi hidup bisa dilihat dari
berbagai hal. Bunga yang kutahu hanya digunakan untuk hiasan
ternyata memiliki nilai filosofi yang begitu luar biasa.
Kami terus berjalan memasuki gua. Kulihat suasana yang
agak berbeda dari tempat yang pertama tadi. Di tempat yang
baru kupijak ini kudapati banyak cengkir gading, bunga sepatu,
dan rajangan pandan yang diletakkan dalam wadah semacam
bejana. Kembali keingintahuanku muncul.
“Mbah, cengkir gading, bunga sepatu, pandan ada filosofi-
nya juga?”
“Iya, semua yang ada di sini punya nilai filosofis.”
“Bisa dijelaskan, Mbah?”
“Tentu. Cengkir itu kelapa yang masih muda. Mengapa
kelapa gading yang digunakan? Karena kelapa gading berwarna
kuning, bentuknya bulat dan tak terlalu besar, pohonnya tidak
terlalu tinggi. Hal itu diibaratkan sebagai anak muda yang
diharapkan menjadi seseorang yang jujur, polos, tidak terimbas
oleh pamrih yang membuat semangat tak lagi bulat. Mereka
akan menjadi pewaris dari kehidupan ini. Walau tidak menjulang
tinggi seperti pohon kelapa pada umumnya, diharapkan pemuda
seperti kamu ini mempunyai cita-cita, menjaga kebulatan dan
energi untuk tetap membumi dan berguna bagi sesama.”
“Hmmm, luar biasa.” Gumamku nyaris tak terdengar karena
kekagumanku pada Mbah Kromo.
“Kalau kembang sepatu itu melambangkan kesabaran.
Mengapa bisa begitu? Kau tahu kan bunga itu tak begitu indah,
tidak wangi. Namun lihatlah bagaimana dia bersabar untuk tetap
berbunga meskipun banyak orang yang tidak menyukainya. Itu
menandakan juga bahwa manusia dilahirkan dengan keunikan
masing-masing.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 245


Aku tak berani memotong pembicaraan Mbah Kromo. Jadi
kubiarkan dia meneruskan penjelasannya. Sudah jauh aku
berjalan, tetapi tempat yang kulalui masih sama keadaannya. Di
kanan kiri banyak cengkir gading, kembang sepatu, dan pandan.
“Kalau pandan, kau tahu kan pandan itu tanaman yang ber-
bau harum?. Namun, apakah kau tahu jika untuk mendatangkan
bau harum itu, ia harus melalui proses. Dia harus rela disakiti,
disobek daunnya, dicabut daun-daunnya agar daun yang beri-
kutnya bisa tumbuh lebih wangi dan harum. Itu sama seperti
dalam kehidupan kita. Terkadang kita harus rela melewati pro-
ses yang menyakitkan untuk mengetahui makna kebahagiaan
dalam diri kita. Kita harus rela berkorban untuk kebahagiaan
orang lain juga, selain untuk kebahagiaan kita sendiri.”
Setelah Mbah Kromo mengakhiri penjelasannya, dia meng-
ajakku berhenti sejenak dan memerintahkan aku untuk menyi-
langkan kedua tangan di dada. Lalu, ia melambaikan tangannya
dan betapa terkejutnya aku setelah melihat pemandangan yang
ada di depanku. Kulihat seorang raja dan ratu duduk di singga-
sana yang terbuat dari emas. Kuning berkilauan terkena sinar
di sekelilingnya. Aku masih ternganga ketika kudengar suara
lembut sang ratu.
“ Siapa yang kau ajak ke sini, Mbah?”
“Ini Darto, Kanjeng Ratu. Dia yang telah mendengar bunyi
bende yang ditabuh oleh Putra Bharata.”
“Oh, kapan kau dengar anak muda?”
“Sudah beberapa kali, Ratu.”
“ Apakah kamu tahu makna suara itu, Anak Muda?”
“Tidak, Ratu, makanya saya mencari tahu.”
“Coba kau jelaskan Mbah Kromo. O iya, sebelumnya ku-
beritahu dulu bahwa Mbah Kromo ini adalah ajudanku yang
aku kirim ke alammu untuk menjaga Desa Setra. Ketahuilah aku
yang menguasai Kali Setra beserta suamiku ini. Ayo Mbah, coba
kau ceritakan mengenai suara bende itu.”
“Sendiko dhawuh, Ratu.”

246 Menipu Arwah


Aku sudah tak sabar mendengar cerita Mbah Kromo. Kulihat
Mbah Kromo sudah mengatur posisi duduknya.
“Karena Ratu sudah mengizinkan aku untuk bercerita maka
ini akan aku ceritakan kepadamu. Namun, kau harus siap dengan
segala kemungkinan karena seseorang yang sudah pernah masuk
ke sini harus mau mengabdi kepada Ratu. Itulah alasannya
mengapa kamu aku ajak ke sini. Aku tak mungkin menceritakan
semua ini tanpa seizin Ratu. Apakah kau siap dengan segala
konsekuensinya?”
“Apa konsekuensinya, Mbah?”
“Kau harus mau menggantikan tugas Mbah Kromo suatu
waktu,” Ratu memotong pembicaraan kami dengan tegas.
“Maksudnya?”
“Ayo lanjutkan, Mbah!” perintah Ratu dengan cepat.
“Jadi aku ini dipercaya membantu Raja dan Ratu menjaga
Desa Setra dari marabahaya. Kamu tahu kan, warga Desa Setro
menggantungkan hidupnya dari sungai itu? Namun, mereka tak
bisa seenaknya saja menggunakan sungai itu dengan cuma-cuma
karena sungai itu milik Kanjeng Ratu. Jika mereka ingin aman,
mereka harus memberikan sesaji kepada algojo penunggu bende.
Jika warga abai, mereka akan merasakan akibatnya.”
“Di mana bende itu sekarang,Mbah?”
Mbah Kromo segera beringsut dan dengan posisi menyem-
bah dia bertanya kepada Ratu, apakah dia diperbolehkan me-
nunjukkan tempat bende itu kepadaku. Kulihat Kanjeng Ratu
mengangguk dan dengan tangannya dia mengisyaratkan untuk
menuju tempat yang dimaksud.
Kami berjalan melewati lorong-lorong yang cukup panjang.
Ternyata lorong itu menuju ujung sungai. Aku bingung di mana
keberadaanku saat ini.
“Nak Darto, kita sekarang ini berada di dalam sungai Kali
Setra. Tak usah terkejut. Kau akan aman jika kau menuruti semua
kata-kataku.”
“Iya, Mbah.” Aku menjawab pasrah.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 247


“Setelah kau ajak ke sini, berarti kamu sudah menjadi bagian
kerajaan sungai ini.”
“Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mbah?”
“ Nanti, kau akan tahu, Nak.”
“Aku jadi semakin tidak tahu, Mbah.”
“Aku ini sudah tua. Aku yang selalu mengurus sungai itu
dengan menerima sesajen dan menunggu bende yang dikeramat-
kan itu. Jangan sampai Putra Bharata memukul bende itu karena
kelalaian warga. Akulah yang selalu mengingatkan warga untuk
selalu menaati segala yang sudah menjadi tradisi kampung kita.
Karena keadaanku itulah, tentunya aku harus punya penerus
yang akan menjaga kampung kita. Rupanya kamulah yang telah
dikirim Sang Ratu kepadaku dengan mendatangi rumahku.”
Aku teperanjat mendengar penjelasan Mbah Kromo. Jan-
tungku berdegup kencang. Aku harus menjadi pengganti Mbah
Kromo sebagai penunggu bende? Pikiranku bekecamuk. Aku
tak mungkin lepas dari Mbah Kromo dan Ratu karena sudah
masuk ke sini. Aku semakin bingung.
Hingga suatu hari Mbah Kromo memerintahkanku untuk
memukul bende karena sampai menjelang senja tak ada warga
yang mengirim sesaji ke sungai. Aku menolak. Namun, secepat
kilat Mbah Kromo menangkap tanganku dan tanpa terasa
tanganku sudah memukul bende itu dan dentangnya segera
bergema sampai seantero desa.
Sampai keesokan harinya sesaji itu tak pernah datang. Rupa-
nya ada warga baru dari kota, seorang dosen perguruan tinggi
ternama di kota, melarang warga desa percaya pada takhayul.
Apalagi dengan mengirim sesaji ke sungai. Ia mengatakan itu
sebuah pemborosan. Sesuatu yang tak masuk akal. Sempat tejadi
perdebatan dengan warga desa, tetapi entah bagaimana dosen
tersebut berhasil meyakinkan warga hingga warga begitu percaya.
Mereka tak kan lagi mengirim sesaji ke sungai.
Ratu memanggilku lewat Mbah Kromo. Aku pun segera me-
nmuinya dengan seribu pertanyaan. Pasti ada sesuatu yang
krusial sehingga Ratu memanggilku.

248 Menipu Arwah


“Sendiko, Ratu. Ada masalah apa hingga Ratu memanggil
saya.”
“Darto, rupanya warga desa Setra sudah ingkar janji, tak
mematuhi lagi kesepakatan yang sudah mereka buat bersama
kami. Berarti mereka sudah menatang kami. Sudah saatnya
mereka tahu bahwa mereka sudah menjadi orang yang sombong.
Aku ingin kamu segera memukul bende dua kali sebagai per-
ingatan kepada warga yang sudah melanggar janjinya. Bharata
sudah lapar. Dia butuh makan.” Ratu berkata berapi-api me-
nandakan kemarahannya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak mungkin aku menolak
permintaannya. Namun, di sisi lain, aku harus rela ada wargaku
yang akan dijadikan korban karena kelalaiannya. Aku berjalan
menuju tempat bende yang masih ditunggu Mbah Kromo.
“Nak Darto, kini giliranmu memukul bende itu. Tanganku
sudah tak kuasa lagi memegang jidor itu yang kini seakan-akan
meruntuhkan tulang-tulangku. Aku sudah cukup renta, dan
sudah saatnya kamu menggantikanku.”
“Aku tak kuasa mengorbankan wargaku, Mbah.”
“Itu sudah perjanjian, mereka sudah abai, saatnya mereka
mendapat ganjarannya, apalagi mereka sudah menunjukkan
kesombongannya. Bagaimanapun Kali Setra ini sudah mem-
berikan penghidupan buat mereka. Kalau mereka mengingkari-
nya, apa boleh buat. Kita lakukan sesuai perintah Ratu.”
Aku gamang. Resah, tak bisa bebuat apa-apa. Maka, ketika
Mbah Kromo memerintahkan untuk segera memukul bende itu,
aku tak bisa menolaknya. Sambil kupejamkan mata, aku ayunkan
jidor itu. Namun, sebelum jidor itu menyentuh bende, bayangan
ayahku berkelebat. Ia melambaikan tangannya, memberi isyarat
untuk untuk tak melanjutkan eksekusiku..
Aku tergeragap, tersadar atas semua itu. Aku masih melihat
ayahku di kejauhan.
“Apa yang harus aku perbuat, Ayah? Aku harus menjalankan
tugasku.”

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 249


“Ingat, Darto. Kamu tinggal di dunia lain. Kamu punya ke-
hidupan sendiri. Bukan di sini tempatmu. Dengan memukul bende
itu berarti kamu mengorbankan warga Setra, saudaramu sendiri.
Segeralah pergi dari sini!’
“Tapi, bagaimana caranya, Yah. Orang yang sudah masuk
ke sini tak akan bisa keluar lagi.”
“Buatlah Mbah Kromo tertidur hingga kamu bisa keluar dari
tempat ini.”
‘Bagaimana caranya, Yah?”
“Ambil segenggam rajangan pandan dan air cengkir gading.
Masukkan dalam bejana yang ada di sebelah tempat duduknya
itu. Ketika menghirup aroma pandan dan air cengkir, dia akan
merasa mengantuk. Saat itulah saatnya kau melarikan diri. Lewat
lorong kanan, jangan lorong kiri karena kalau kau lewat lorong
kiri, kau akan sampai pada kediaman Ratu.
Dengan berbekal keyakinan, aku pun mengikuti saran ayahku.
Benar saja, Mbah Kromo mulai mengantuk. Tak kusia-siakan
kesempatan itu. Aku segera berlari dan menjauh lewat lorong
kanan yang telah disebut ayahku. Aku terus berlari, berlari. segala
rintangan aku lawan walau tubuhku harus babak belur dan luka
di sana-sini. Aku merasa lorong itu begitu panjang, tak berujung.
Aku lelah, kurasakan tubuhku limbung dan kakiku lemas. Pan-
danganku mulai gelap dan aku tak ingat apa-apa lagi.
Warga gempar. Darto ditemukan di pinggir Kali Setra. Tubuh-
nya penuh dengan luka. Sudah beberapa lama, memang ia meng-
hilang tak ada kabar beritanya. Bagai hilang ditelan bumi. Tak ada
yang tahu keberadaannya. Warga saling berspekulasi. Ada yang
mengatakan Darto bunuh diri dengan menghanyutkan diri di
sungai, ada yang berpendapat Darto menjadi tumbal salah seorang
warga kampung yang kekayaannya nauzubillah. Dia dipercaya
memelihara makhluk halus untuk kekayaannya tersebut. Ada juga
yang mengatakan Darto telah dibawa makhluk halus ke alam lain.
Namun, setelah ia ditemukan, warga menduga Darto hanyut dan
terdampar di situ.

250 Menipu Arwah


Darto membuka matanya, dan dia merasa asing dengan
rumahnya sendiri. Ia melihat beberapa tetangga yang menunggui
di sekelilingnya. Baru saja ia hendak menanyakan sesuatu, ter-
dengar bende yang berdentang dua kali. Jantungnya berdegup
dan melihat nanar ke sekelilingnya.
Tiba-tiba terdengar jeritan dari rumah sebelah, tetangga baru
yang belum pernah dikenalnya. Suara seorang perempuan yang
berteriak ketika menemukan suaminya, pak dosen, yang tekapar
di lantai, sudah tak bernyawa.
Darto hanya bisa menangis. Tak bisa berkata, tak bisa berbuat
apa-apa.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 251


Pantofel Pak Slamet

Winarni

Bulir Kaliandra jatuh mengempas tanah halus. Menyapu


keringnya dataran kering Bukit Kunir yang entah berapa pur-
nama, kerontang dikutuk kemarau. Ribuan meter rerumputan
melayu, menari sedu meronta mengharap tetesan langit. Retakan
bumi mengiring jalan setapak yang tak lagi berbalut debu. Debu
telah hanyut terbawa angin memoles wajah kemarau.
Kering. Sekering bebatuan yang hinggap di hati Dwi. Setali
tiga uang pula dengan sepasang korneanya. Tajam, tak hentinya
ia meratap ke depan bangunan usang yang tak lagi kuat di tengah
zaman yang konon katanya sudah memasuki 5.0 ini. Ratusan
detik, ia merindu sepasang benda hitam tergeletak di depan
gedung using. Namun, cakarannya melebihi cakaran elang lapar
itu.
Dwi semakin panik. Sengatan surya semakin menggosong-
kan pipinya yang penuh dengan bercak jamur buras, tetapi mem-
buat manis. Bayangannya melambung, berlarian menuju hari-
hari sebelumnya.
“Dwi!”
Cukup satu kata itu, dengan nada naik satu oktaf. Cukup
membuat Dwi terhenyak. Ia tak lagi mampu melangkahkan kaki
ke koridor usang. Seandainya gajah berlari di sana pun tentu
akan terhenyak karena atapnya roboh. Berlawanan dengan
hotel-hotel mewah di kiri-kanannya yang menjulang megah. Satu
nada naik satu oktaf itu cukup menundukkan pandangan Dwi,

252 Menipu Arwah


menatap sepasang pantofel dan mendengar detak demi detak
langkah gemuruh itu. Dan yang pasti berdiri sepanjang hari di
sebelah pintu kayu yang tak lagi rapat, apalagi di musim seperti
ini.
Lamunan Dwi mengayun kembali ke kejadian semalam. Ia
mencoba kembali merangkai kejadian saat itu. Remang atas
akibat dari perbuatannya sendiri yang berlindung di Dwi ber-
maksud menjadi super hero menggantikan ibunya yang tengah
sakit. Langganannya adalah para bos dari tetangga sebelah,
daerah industri.
Kejadian semalam benar-benar menghujam pikiran Dwi. Kali
pertama Dwi berjualan. Ibunya sudah menekankan bahwa cukup
ibunya saja yang berjualan lendir. Ia tak ingin Dwi menjadi
perempuan nista seperti ibunya. Akan tetapi, Dwi kian penasaran
di usianya yang kian menganjak remaja. Nafsunya kian meng-
gebu untuk mengetahui segala sesuatu yang terbatas. Dengan
dalih anak lendir pula, Dwi semalam memaksa berjualan
walaupun bukan awal pekan. Pun ibu juga sudah melarang Dwi
semalam, Dwi kabur usai ibunya pergi.
Awalnya baik-baik saja. Di tempat mangkal, Dwi bertemu
dengan penjual lain. Dwi yang dianggap anak ingusan dihabis-
habisi oleh seniornya. Ia diam saja. Dengan berbekal semangat
super hero, Dwi menghempas seluruh rasa malunya. Anak lendir
bagaimanapun juga tetaplah anak lendir. Ia tak mungkin me-
nafikan diri.
Tak sampai satu jam, pelanggan Dwi datang. Tidak begitu
buruk, batin Dwi. Setelah itu mengalir bagai air yang berlinang
lahar dingin. Dwi mengikuti alur sambil belajar meratapi nasib-
nya sebagai anak lendir. Kutukan sebagai anak lendir mengikat
kuat dalam dirinya.
Nyaris saat ia hampir tenggelam dalam aliran itu, sosok
hantu yang setiap pagi menggentayanginya datang malam itu.
Dengan pantofel hitam yang mendecitkan kericuhan malam itu.
Tangan Dwi yang setengah sadar terasa tercekam. Sangat kuat.

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 253


“Lepaskan,” ujar Dwi lirih setengah tak sadarkan diri.
Seperti pagi-pagi biasanya. Tanpa ucap sepatu itu sudah
berbicara dengan langkahnya. Menjadi momok bagi anak lendir
seperti Dwi.
“Lepaskan,” teriakan Dwi kian kuat.
“Jangan campuri urusan saya, Pak. Pak Slamet tidak tahu
apa-apa tentang saya. Tidak berhak apa-apa pada saya,” walau
setengah gila, Dwi tetap sadar untuk berucap dengan kata-kata
waras.
Masih tanpa kata, lelaki pantofel hitam itu tetap saja
menyeret tangan Dwi. Entah dengan kekuatan apa, Dwi seolah
mendapat aliran kekuatan antah-berantah. Ia meronta. Ia
melayangkan kaki dan tangannya ke punggung lelaki pantofel
hitam itu. Perlawanan yang tidak sebanding dengan kekuatan
yang ia hadapi, pikirnya. Namun, di luar ekspektasinya, lelaki
itu tersungkur.
Di luar nalar anak ingusan lagi, si lelaki langganan ikut
melawan. Lelaki pantofel hitam itu kian terperosok. Tak lama
kemudian, pihak keamanan datang menertibkan. Menertibkan
lelaki itu, menertibkan lelaki pantofel hitam, dan menertibkan
Dwi. Mengantarkannya pulang dengan akhir kurang mengenak-
kan, dihujani makian oleh ibu.
***
Dwi mengusap kembali peluhnya yang kian berderai ber-
selimut surya. Sudah seterik ini sepatu pantofel itu belum terpar-
kir di rak kantor guru. Dwi semakin gundah. Tak berselang lama,
tetiba Dwi terbahak sesaat walau surya kian terik. Dwi ter-
senyum getir. Lamunannya kembali melayang.
Tok, tok, tok, tok.
Suara khas pantofel hitam mulai mengelabuhi seisi kelas.
Anak yang berkamuflase menjadi pencari ilmu itu berhamburan
ke bangku masing-masing. Mereka anak-anak, tapi tak cukup
kekanak-kanakan untuk mengenali suara monster itu. Begitu
pula Dwi.

254 Menipu Arwah


“Beri salam!” ketua kelas memberikan aba-aba.
“Selamat Pagi, Pak!” kompak bagai paduan suara.
“Selamat Pagi. Siapa yang seragamnya tidak rapi? Silakan
maju!” ujar Pak Slamet sambil memegang penggaris kayu besar
pertanda siap memukul bola kasti.
Sial, pagi itu Dwi kesiangan bangun karena ia sendirian di
rumah. Sejak kemarin ibunya tidak pulang. Ayahnya entah
pulang entah tidak. Yang pasti, uang jatah harian Dwi masih
ada di tempat yang disediakan. Dwi sadar diri melangkahkan
kaki ke depan kelas. Harusnya hari itu dia memakai rok hijau.
Karena belum dicuci, ia mengenakan rok jeans selutut.
Dwi siap mendapat hujan pukulan saat itu. Ia siap dengan
konsekuensi apa pun. Salah ia sendiri pula, terbiasa di rumah
sendiri mengurus segala sesuatu, tetapi ia masih saja berkubang
dengan kemalasannya. Sesampainya di depan kelas, Dwi tegap
berdiri pertanda siap menerima hukuman. Di luar dugaan, Pak
Slamet memberikan sepotong sarung kepadanya.
“Pakailah!”
Sontak seisi kelas tertawa melihat Dwi mengenakan sarung.
Dwi hujan cibiran, tetapi Dwi kuat. Baginya cibiran dari teman-
teman sekelasnya bukanlah sesuatu yang penting untuk diper-
hatikan. Toh, sesama anak lendir. Kebetulan saja hari itu Dwi
yang terkena hukuman. Lain waktu, di posisi yang sama dengan
temannya, toh Dwi akan melakukan hal yang sama, walaupun
seringnya Dwi memilih untuk diam. Ia pun tidak sakit hati dengan
perilaku Tri. Meskipun ia bukan anak lendir, orang tuanya pemilik
tiga klub karaoke besar. Setali tiga uang bagi Dwi.
Hanya saja, hari itu Pak Slamet mengundang seisi kelas untuk
duduk berjajar rapi di bawah tiang bendera. Dwi disuruh untuk
berjalan di antara teman-temannya layaknya foto model. Dwi
senantiasa tertawa geli atas dirinya sendiri akan kejadian tersebut
Ia tidak habis pikir, bisa-bisanya Pak Slamet mendapat ide seperti
itu.
***

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 255


“Dwi, kamu sudah lama di sini?” tanya Eka.
Dwi hanya tersenyum getir.
“Pak Slamet tumben belum datang, ya? Guru yang lain juga
belum ada yang datang?” ujar Sapta.
Dwi semakin getir mendengar ocehan-ocehan temannya.
Dalam hatinya yang terdalam semakin bergumul rasa bersalah.
“Jangan, jangan, ah, bukan salah Dwi, itu salah Pak Slamet sen-
diri.”
Dwi semakin lesu. Ia harus jujur, ia capek menunggu parkiran
pantofel hitam itu. Dwi lantar tersandar di tembok yang cantik
itu. Cantik penuh dengan olesan bedak cat yang sudah lapuk
dimakan sang waktu. Setelah ini pasti punggungnya kotor
dipenuhi warna putih. Bayangnya kembali terbang. Belum juga
menjulang tinggi, ia sudah nyaris terisak.
Kala itu, hampir dua pekan ayah dan ibu Dwi tidak pulang.
Jatah harian untuk Dwi juga sudah habis. Gas habis, bahan sayur-
an habis. Beberapa hari Dwi harus puasa makan. Di mana pun
ia berada, Dwi tampak pucat. Pak Slamet, dia adalah guru mimikri
yang selalu memenuhi hati Dwi. Sepulang sekolah, tanpa sepatah
kata pun, Pak Slamet datang ke rumah Dwi. Tanpa banyak ucap,
Pak Slamet membawa beras, telur, mi, dan seikat kayu.
Dwi juga bingung harus berkata apa dan bertingkah bagai-
mana. Dwi hanya menunduk, hanya mampu menatap sepatu
pantofel hitam itu. Seraya mencium punggung tangan Pak Slamet
seraya berkaca-kaca nanar, Dwi hanya mampu berucap kata,
“Terima kasih, Pak.”
Itulah mengapa, sekeras apa pun pola didik Pak Slamet, Dwi
dan teman-temannya tidak akan mampu mengucapkan kata tak
sopan dengan beliau.
Jika mereka terkena hukuman, mereka hanya berani menatap
sepatu pantofel hitam itu.
“Kalian pulang saja,” ujar seseorang berbaju khaki sambil
berlarian menembus jalan setapak yang membelah Hutan Kunir.
Pergelangan kakinya basah, pertanda sungai meluap dan saat ia

256 Menipu Arwah


menuju lokasi kami berada ia harus menembus luapan air deras
itu.
Saat semakin dekat, kami tahu bahwa itu Pak Umar, guru
kelas empat.
“Kenapa Pak?” tanya Panca penasaran.
“Kami mengantar Pak Slamet berobat ke kota,” jawab Pak
Umar sambil ngos-ngosan.
Deg. Hati Dwi berdegup tidak karuan. Tapi ia menahan
diri, ia belum ingin menceritakan kejadian itu.
“Pak Slamet kenapa, Pak?” tanya Eka mendesak Pak Umar.
“Sudah tidak usah banyak tanya, kalian pulang saja. Jaga
rumah baik-baik,” pesan Pak Umar seraya bersiap pergi lagi.
“Aku ikut” kata Eka.
“Aku juga, “ kata Panca.
Seraya diikuti rengekan anak-anak lain.
“Kalian ini apa-apaan. Bapak tidak mungkin mengajak
kalian. Kalian doakan saja agar Pak Slamet segera sadar. Bapak
pergi dulu. Kalian pulang ke rumah ya, jangan menyusul ibu
kalian,” ucap Pak Umar seraya meninggalkan kami.
Deg. Ingin rasanya Dwi berlari, mengecil lalu menempel di
punggung Pak Umar agar bisa tahu kondisi Pak Slamet. Dwi
mendadak pucat pasi. Dwi takut. Kalau sampai Pak Slamet kenapa-
kenapa, kalau sampai Pak Slamet, ah tidak. Pikiran Dwi kacau.
Lantas ia memegang bekas biru di lengan tangannya. Ia pegang
erat seraya membayang Pak Slamet.
“Ayo, Dwi. Kamu mau pulang apa mau jadi penunggu
sekolah?” tanya Tri.
Dwi tersadar dari kecamuknya. Ia berjalan gontai. Sesekali
ia melihat rak sepatu. Sungguh ia merindukan pantofel hitam
itu.
***
Seminggu berlalu. Menurut informasi Pak Umar, Pak Slamet
diserang orang tak dikenal hingga tangannya patah. Tak sedikit
pun Pak Umar curiga atau menyebut Dwi. Dwi semakin merasa

Antologi Cerpen Guru Jawa Tengah 257


bersalah. Bermalam-malam Dwi tak dapat tidur. Rasa bersalah
tentu saja menghinggapi benak anak ingusan yang masih polos
itu.
Di malam keempat, Dwi tidak bisa tidur. Apa pun yang
dilakukan Dwi toh tidak akan mampu mengubah keadaan. Dwi
hanya mampu berjanji, ia ingin menjadi anak manusia seutuhnya.
Manusia normal, bukan anak lendir seperti yang hampir saja ia
kutukan atas dirinya selama ini. Dwi harus mampu mengubah
keadaan. Dwi harus bisa membelokkan takdir bahwa anak lendir
itu bukan kutukan. Ia akan berjuang sekuat tenaga untuk tidak
memakan uang lendir maupun memaktabkan dirinya sebagai
anak lendir. Dwi ingin bebas dari kegiatan perlendiran.
Pagi harinya, Dwi bangun lebih awal mempersiapkan diri.
Beribadah membersihkan diri dari lendir-lendir yang menye-
limuti diri. Pulang sekolah ia mencari kayu dan menjualnya di
pasar. Uang itulah yang ia makan. Di dalam hatinya, ia senantiasa
bermunajat agar ibu dan ayahnya juga bebas dari perlendiran
walaupun butuh waktu. Tidak perlu Dwi berprosa pada Pak
Slamet. Baginya sepatu pantofel dapat kembali menghiasi rak
sepatu guru dan suaranya kembali bergemuruh itu sudah luar
biasa.

258 Menipu Arwah

Anda mungkin juga menyukai