Penulis:
Agus Subakir, dkk.
Penanggung Jawab:
Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah
Penyunting:
Ery Agus Kurnianto
Inni Inayati Istiana
Pracetak:
Ery Agus Kurnianto
Inni Inayati Istiana
Sri Ernawati
Desain Sampul:
Rohmad
Penerbit:
BALAI BAHASA JAWA TENGAH
BADAN PENGEMBANGAN BAHASA DAN PERBUKUAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Jalan Elang Raya 1, Mangunharjo, Tembalang, Semarang 50272
Telepon 024-76744357, 76744356, Faksimile 024-76744358
Pos-el: balaibahasajateng@kemdikbud.go.id
Laman: www.balaibahasajateng.kemdikbud.go.id
ii Menipu Arwah
Kata Pengantar
Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah
iv Menipu Arwah
baik. Terakhir, semoga buku ini memperoleh tempat yang layak
di hati dan pikiran pembaca.
Pulang
Alfiah Ariswati .......................................................................... 10
Tuyul Pilkades
Arif Khilwa ................................................................................ 31
Mimpi Klinthing
Aryani Purnama ....................................................................... 40
Perangkap
Effi Kurniasih ............................................................................ 69
Sandi Penimbul
Heri Suritno ............................................................................ 101
Tragis Sutini
Mardja alias Julis Nur Hussein .............................................. 117
Terkepung Benteng
Ratino ...................................................................................... 124
Menipu Arwah
Rinto Murdomo ...................................................................... 162
Boneka Cumplung
Riyadi ...................................................................................... 172
x Menipu Arwah
Babi Hutan Berkalung Merah
Ki Sudadi ................................................................................ 187
Pilihan Hati
Triana Kanthi Wati ................................................................ 196
Senja Temaram
Triman Laksana ...................................................................... 229
Agus Subakir
Guru SMA 1 Purwantoro, Wonogiri
2 Menipu Arwah
Ia pun mengangguk. Ya, hanya anggukan. Anggukan lemah.
Dari pertama kali aku melihatnya, belum pernah sebuah kata ke-
luar dari mulutnya. Namun, aku tak mempedulikannya. Segala
yang dilakukan orang gila tentu harus kupahami tak selayaknya
orang waras. Semua yang ia lakukan adalah pemakluman. Ber-
hadapan dengan siapa pun, terlebih orang gila haruslah memiliki
prinsip empan papan.
Luar biasa! Meskipun gila, naluri keibuannya masihlah sama.
Diraihlah bayinya perlahan. Ia berusaha menyusuinya setelah
sebelumnya kubersihkan dengan kain dan air hangat sekitar
puting susunya yang ranum. Namun, ternyata ASI yang diharap-
kan tak keluar. Ia berusaha berulang kali, terus mengulangi
usahanya, tapi sayang air susunya mampat. Bayi cantik itu justru
menangis di pangkuannya. Ia menimang-nimangnya, berusaha
membuat bayi itu tenang. Kedua matanya tak lepas memandang
lekat buah hatinya, mesra. Perempuan gila itu tersenyum. Sebuah
senyum yang manis. Kelihatan ia bahagia sekali, seperti seorang
perempuan kecil memainkan boneka kesayangannya. Aku pun
bahagia melihatnya. Tak terasa bibirku terangkat dan tersenyum.
Kuminta bayi yang menangis itu. Lalu kuambilkan kapas dan
kucelupkan dalam susu formula bayi. Kudekatkan ke mulutnya.
Bayi itu mencecapnya rakus dengan lidah berulang kali terjulur
dan mengeluarkan bunyi kecap yang keras.
“Alhamdulilah, akhirnya ia mau juga,” gumamku terkejut dan
bahagia. Aku pun berulang kali melakukannya sampai bayi mungil
yang cantik itu terlelap dalam pangkuanku. Namun pucat di
wajahnya masihlah sama. Kutidurkan ia di keranjang bayi di sam-
ping ranjang perempuan gila itu.
Setelah kupastikan bayi mungil itu pulas terlelap, kubujuk
perempuan gila itu mandi agar tubuhnya segar kembali. Pada mula-
nya ia menolak. Namun dengan bujukan penuh perasaan, akhirnya
ia mau juga. Tubuhnya lusuh penuh dengan daki. Bau tubuhnya
sedikit membuatku mual. Menurut teori yang pernah kubaca,
segala bau yang menyengat dan tidak enak biasanya berasal
4 Menipu Arwah
kan diriku sendiri. Ah, sudahlah, semua terasa pahit dikenang.
Namun memang inilah hidup, semua serba tak terduga.
Kubersihkan seluruh tubuhnya. Kuurai rambutnya yang meng-
gimbal. Kusisir penuh kelembutan. Sudah lama sekali aku tak
melakukan semua pekerjaan seperti ini semenjak anak bungsuku
menikah dan hidup di kota. Entahlah, mengapa sampai sekarang
kedua anak kandungku belum ada yang mau hidup menunggui-
ku yang mulai renta ini? Sejak aku pensiun menjadi bidan pus-
kesmas dua tahun lalu, kini aku hanya hidup dengan seorang
lelaki kecil seusia SMP. Ia tidak mau sekolah. Pekerjaanya setiap
hari uring-uringan. Ia habiskan waktunya bermain playstation di
warung game. Kelakuannya sedikit aneh, tak seperti anak pada
umumnya. Ia tidak normal. Banyak orang di sekitarku mengata-
kan bahwa ia bocah “yang kurang satu strip”. Bocah laki-laki itu
kupungut dari klinikku. Ia kuadopsi dari perempuan gila yang
melahirkan di tengah pasar empat belas tahun lalu.
Kuberikan ia gaun yang pantas, sebuah daster lama bermotif
bunga anggrek merah yang sudah mulai tampak lusuh karena
kelamaan kusimpan dalam almari. Ia tampak cantik sekali.
***
Di sebuah Subuh yang dingin aku terbangun dari lelap tidur-
ku karena sebuah tangisan miris seorang perempuan. Aku me-
nuju arah suara itu. Ternyata itu adalah tangisan perempuan gila
di kamarnya. Ia mendekap bayi mungil yang cantik itu dalam
dadanya. Erat, erat sekali.
“Ada apa?” dengan tergesa tanyaku padanya.
“Anakku mati, Bu,” jawabnya, dan ini membuatku dua kali
terkejut. Terkejut karena kematian anaknya dan terkejut karena
baru kali ini aku mendengar kata-kata terlontar dari mulutnya.
Akhirnya ia mau bicara.
“Sini, berikan anakmu padaku,” aku meminta bayinya. Namun
ia bergeming, tak memberikannya. Justru ia semakin mendekap
bayi itu sembari terus menangis sedih lagi miris. Sungguh,
tangisannya membuat hatiku tersayat-sayat seperti dicacah
6 Menipu Arwah
dengan hari ia dilahirkan dan sesuai tradisi orang jawa menamai
bayi mereka yang mati. Kebiasaan menamai bayi mati dengan nama
hari ini bertujuan untuk memudahkan mereka mengingatnya.
Ini sering kali tampak pada nisan atau kijing kecil di hampir
semua nisan bayi di desa.
Di bawah pohon kamboja kuning yang sedang mekar, se-
buah lubang lahat telah dibedah. Angin semilir mengantarkan
bau harum kamboja menyengah hidung kami. Sebuah penyam-
butan pemakaman yang damai. Lubang lahat itu tak dalam se-
perti halnya kuburan orang dewasa. Sekitar satu meteran dalam-
nya.
Kuserahkan bayi itu kepada kang Saronto yang telah masuk
ke dalam lahat. Ia menata mayat mungil itu menghadap kiblat.
Lalu kami silih berganti memegang pacul untuk mengebumi-
kannya. Dari mulutku tak henti mengidungkan tahlil dan shala-
wat. Ia kukuburkan dengan damai. Surga yang hijau telah me-
nantinya.
Setelah pak modin selesai membacakan doa kubur, kami
pun pulang bersama. Sesampainya di rumah aku telah ditunggu
seseorang lelaki setengah baya. Ia saudara jauh bapaknya anak-
anakku yang sudah lama tak pernah berkunjung ke rumah. Ia
duduk di atas sepeda motornya. Ia segera turun dan menyambut-
ku dengan sedikit tergesa. Kedua matanya seolah menyimpan
berita penting yang harus segera tersampaikan.
“Kutelepon tidak diangkat,” sergahnya.
“Maaf, hp kutinggal di rumah. Habis dari kuburan.”
“Siapa yang mati?”
“Bayi dari perempuan yang melahirkan di klinik ini.”
Lelaki setengah baya itu hanya mengangguk. Mungkin ia
tak tahu semua yang terjadi di rumah ini.
“Ayo, silakan masuk rumah dulu,” kataku mempersilakan-
nya.
Kami berdua duduk di teras rumah.
8 Menipu Arwah
mati dalam dekepannya, wajah itu berubah menjadi telaga api
berkobar-kobar. Dari sepasang matanya terjulur-julur lidah api.
Lalu ia berkata,
“Aku akan membunuh lelaki gila itu!” ***
Catatan:
(Udan) jilak : sebuah hujan yang lembut, lebih kecil dari gerimis.
Empan papan : menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
ada.
Janur gunung (peribahasa Jawa) : tumben.
Kisah ini terinspirasi dari judul buku “Membunuh Orang Gila”
karya Sapardi Djoko Damono.
Alfiah Ariswati
Guru SMP Negeri 2 Ngargoyoso, Karanganyar
10 Menipu Arwah
tahun. Suka dan duka kami lalui bersama. Bahkan kami telah
merancang masa depan yang begitu indah. Tinggal di pinggiran
kota Semarang yang masih berhawa sejuk, dengan dua anak
yang manis dan lucu. Benar-benar indah!
Bramantyo adalah tipe lelaki idaman. Selain tampan, ia juga
pandai, supel, dan taat beribadah. Wajar jika aku sangat men-
cintainya. Namun sayang, mimpi kami yang begitu indah
terpaksa harus kandas di tengah jalan. Aku dengan keegoisan
dan keangkuhanku memutuskan hubungan kami karena sebuah
alasan. Setelah kami begitu serius merancang pernikahan, aku
merasa Bramantyo mulai terlalu jauh mengatur masalah pribadi-
ku dengan-Nya. Awalnya aku suka setiap kali ia mengingatkan-
ku untuk salat. Aku bangga padanya karena ia bakal menjadi
imam panutanku yang mengajariku ke arah kebaikan. Hingga
suatu ketika, dia memintaku hijrah dengan mengenakan hijab.
Satu hal yang menurutku menunjukkan sifatnya yang sangat
arogan. Dia tahu persis aku tak suka diatur. Apalagi dalam hal
penampilan. Namun dia justru memaksaku mengubah total pe-
nampilanku, dari bercelana jins belel dan berkaos, dimintanya
bergamis dan berhijab. Tentu saja aku menolak keras karena itu
artinya dia memintaku untuk menjadi orang lain, bukan Anjani!
Sejak kejadian itu, hari-hari kami lewati dengan pertengkaran
demi pertengkaran. Hingga suatu ketika habislah kesabaranku.
Aku kemudian memutuskan untuk pergi meninggalkannya be-
gitu saja dan menerima tugasku sebagai PNS di lereng Gunung
Lawu, Karanganyar, tanpa ada secuil pun kata pamit.
Tanpa Bramantyo, kulewati hari-hari yang, sejujurnya,
sangat menyiksa. Rindu dan sekaligus benci tumbuh tanpa bisa
kucegah. Kadang terbersit keinginan untuk kembali dan meminta
maaf, tapi di saat lain aku merasa semua percuma. Toh Bramantyo
tak akan pernah mau mengubah keputusannya. Buktinya ia tak
pernah meminta maaf dan menyusulku ke Karanganyar. Ia bahkan
membiarkan begitu saja aku dengan kesepian dan kegalauanku.
Ia tak tahu, sejak berpisah dengannya hingga usiaku menginjak
12 Menipu Arwah
“Kan aku bisa ada di mana-mana,” kata Bramantyo lirih.
Dahiku berkernyit, tak paham dengan maksudnya.
“Aku bersama teman-teman kantorku, Anjani.” Bram ter-
senyum mencoba memberi penjelasan. Sontak kepalaku ce-
lingukan kesana kemari. Namun tak kelihatan dia bersama se-
buah rombongan. Mungkin sama sepertiku, ia memilih santai
minum teh ketimbang naik ke candi.
“Anjani, Kamu tahu, aku terus mencarimu selama ini. Aku
sangat rindu dan ingin meminta maaf padamu.” Suara Bramantyo
terdengar aneh. Berat dan parau. Kepalanya menunduk, tampak
jelas kalau ia berkali-kali menghindari beradu tatap denganku.
Entahlah. Aku sendiri tidak tahu dengan apa yang kurasakan.
Aku merasa sangat bahagia bisa bertemu dengannya kembali
setelah sepuluh tahun ini. Namun aku juga merasa Bramantyo
telah berubah. Ia bahkan tak sadar telah ada perubahan besar
dalam penampilanku. Ia tak sadar bahwa aku telah menuruti
apa permintaannya untuk berhijab!
“Bram,”
Kusentuh tangannya. Dingin! Ya ampun. Pasti Bramantyo
sangat kedinginan mengingat kabut yang masih saja turun di
Candi Sukuh ini. Ia kan orang Semarang yang tidak terbiasa
dengan hawa dingin seperti ini. Apalagi ia tidak memakai jaket.
Wajahnya sampai pucat dan bibirnya menggigil. Aku segera
melepas jaketku dan memberikannya pada Bramantyo.
“Terima kasih, Sayang.” Dipakainya jaket pemberianku.
Sejenak aku terperangah. Sayang, entah kapan terakhir Bram
memanggilku dengan sebutan sayang.
“Anjani, aku tak bisa lama di sini. Karena itu ada satu hal
yang ingin kusampaikan padamu sebelum aku pulang,” kata
Bram sembari memegang tanganku.
Kutatap lembut wajahnya. Aku tak tahu apakah aku harus-
nya marah, menamparnya, atau aku harus memeluknya dan
menumpahkan segala kerinduanku selama ini? Entahlah.
“Kau mau, kan, besok pulang ke Semarang?“
14 Menipu Arwah
hati mereka terluka. Ah, Baiklah, aku pun memantapkan hatiku
untuk terus melangkah. Aku harus siap jika ibu Bram akan me-
maki atau bahkan mengusirku. Aku akan berusaha menerima-
nya.
Rumah Bramantyo tampak sepi. Tak banyak perubahan di
sana sini. Masih bercat hijau muda, dengan halaman yang bersih
dan tanaman tertata rapi. Aku ingat, kami berdua suka duduk
di teras rumah, memandangi tanaman hijau yang rapi terawat.
Ayah Bram seorang pensiunan polisi. Beliau sangat suka dengan
tanaman. Beliaulah yang menata taman asri ini.
Perlahan, kuketuk pintu rumah Bram sembari mengucap
salam. Tak berapa lama pintu rumah terbuka dan sesosok tubuh
berdiri tepat di hadapanku dengan tatapan tak percaya. Ibu!
Kusambut tangan ibu dan menciumnya. Tangan permpuan
tua itu gemetar. Pasti beliau sangat terkejut dengan kedatangan-
ku yang tiba-tiba ini. Atau, Bram belum bercerita tentang per-
temuan kami kemarin, ya? Ah, sudahlah.
“Ini Anjani, Ibu,” kataku perlahan. Air mata kulihat menetes
di kedua pipi ibu yang mulai renta. Tak tampak kemarahan di
raut wajahnya. Kutuntun ibu duduk di kursi tamu. Beliau se-
senggukan menangis. Barangkali beliau terharu melihatku tiba-
tiba muncul di hadapannya. Aku jadi merasa bersalah tidak
mengabarinya lebih dulu. Dengan lembut kuelus lengan ibu
untuk memenangkannya.
“Siapa itu, Bu?” terdengar dari dalam kamar. Seorang lelaki
berjalan terhuyung menuju ruang tamu. Aku bergegas menyam-
butnya. Ayah begitu nampak tua sekarang. Rambutnya yang
tipis telah memutih semua.
“Kamu, Anjani?” suara bapak terdengar lirih. Tak nampak
pula sorot kemarahan dari matanya.
“Iya, Bapak, aku Anjani,” kucium tangan bapak.
“Aku ingin minta maaf pada bapak dan ibu atas apa yang
telah Anjani perbuat dulu.”
Tangan tua bapak mengelus kepalaku.
16 Menipu Arwah
Cerita dari “Cerita dari Blora”
Andreas Agil M.
Guru SMK IT Ihsanul Fikri Mungkid, Magelang
18 Menipu Arwah
“Bagaimana kabarmu?” lanjut Indra mencari bahan pem-
bicaraan.
“Seperti yang kamu lihat,” Inem tersenyum. “Aku baik-baik
saja dari dulu... sampai sekarang.” Ada nada menggantung di
kalimat akhirnya.
Mereka berdua berjalan beriringan. Membelah kota, me-
nikmati senja. Seperti sepuluh tahun lalu, walau kini tentu ber-
beda. Indra adalah seorang lelaki yang sudah mempunyai istri.
Inem? Tidak ada yang tahu kabarnya sampai Indra menemukan
sebuah cara untuk menemuinya kembali.
“Tidak semua yang kaulihat di Blora ini selaras dengan apa
yang kaupikirkan,” ucap Inem yang kini menjadi pemandu Indra
untuk berkunjung ke beberapa situs-situs sejarah di kota tersebut.
“Sebenarnya aku heran, tujuanmu kembali ke Blora apakah
untuk mencari bahan untuk tulisan atau...” Inem tidak melanjut-
kan.
“Atau? Atau apa? Mengapa berhenti?”
“Tidak apa-apa. Seharusnya hal itu sudah tidak aku tanyakan
lagi....”
Indra kembali merasa hatinya seperti tersayat sembilu.
<><>
...
“Kamu enggak akan bisa ke mana-mana!”
...
<><>
Blora, di luar kisah di dalam antologi yang masih Indra
genggam itu, memang merupakan kota kecil dengan panorama
alamnya yang indah, yang berada di sebuah terusan yang meng-
hubungkan pantai Rembang—Lasem.
“Nuansa perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun
masih terasa di beberapa titik penting kota. Sebut saja Lubang
Buaya Dukuh Pohrendeng yang merupakan tempat pembuangan
Mr. Iskandar dan koleganya oleh PKI pada tahun 1948,” tambah
Inem.
20 Menipu Arwah
lontarkan oleh Inem tadi, perihal pentingnya sebuah keluarga.
Indra tidaklah seperti ayah dari Sri pada Dia yang Menyerah––
dan Indra juga tidak pernah berpikir seperti itu. Namun, ke-
nyataan mengutarakan sebaliknya. Bahwa tanda-tanda yang di-
ingkarinya, perlahan menyatakan kejelasannya.
“Blora juga tidak ramah di malam hari,” tukas Inem tiba-
tiba.
“Premanisme?” tanya Indra yang kini masih berjalan ber-
iringan di sekitar alun-alun. Setelah kumandang azan maghrib
mengalun, setelah menunaikan kewajibannya, Indra kembali
mengajak jalan-jalan Inem yang terlihat makin mempesona.
“Betul. Akan tetapi, ada yang lebih dari itu. Menyangkut
metafisika. Sesuatu yang tak kasat mata.”
Mendadak bulu kuduk Indra berdiri.
“Ada beberapa hal penting yang harus Mas ketahui. Penting
di sini bukan berarti harus dilakukan, tetapi malah sebaliknya,
harus berhati-hati bahkan dihindari,” Inem mulai menjelaskan
panjang lebar.
“Pertama, perhatikan sekeliling. Apakah ada respons positif
atas kehadiranmu. Kalau tidak ada, segeralah menyapa, agar
tidak dikira hantu atau sedang berbicara dengan hantu.”
Indra sontak tertawa. “Dikira hantu? Aku manusia, Inem. Asli
manusia. Dan apa tadi? Berbicara dengan hantu? Mana mungkin!”
Indra memegangi perutnya yang tidak sakit. Inem merengut.
“Ya, bukan begitu, masa iya di tengah keramaian, ada orang
yang bisa bicara dengan hantu, dan dia tidak sadar? Oh, atau
yang Inem maksud adalah metafor? Ah, bagus itu. Maaf, maaf,
tidak kepikiran.”
Seolah tak peduli, Inem melanjutkan, “Kedua, jangan ber-
pergian sendiri dengan bus di malam hari, apalagi menaiki ‘Bus
Anda’.”
Indra berhenti tertawa, “Bus Anda?”
“B-U-S-A-N-D-A. Yang sebenarnya dapat diutak-atik men-
jadi B-A-N-D-U-S-A, yang berarti ‘keranda’.”
22 Menipu Arwah
melihat hal-hal yang bisa bermanfaat untuk orang tersebut.
Namun, kalau misanya saya, seorang perempuan nih. Bila ber-
temu dengan laki-laki, jika dia baik, maka dia akan sungkan,
bukan melihat ke tubuh apalagi bagian-bagian tertentu.”
“Oh... Ah, itu sih saya tahu...” tukas Indra menggampangkan,
kemudian kembali berjalan pelan mendahului Inem.
“Oh iya, kenapa kalau sama aku, Mas langsung percaya?
Kan kita sudah tidak lama bertemu?”
Indra tersedak mendengar pertanyaan Inem barusan. Deburan
ombak serasa menghujam dalam dada. Jaket yang dia kenakan
seperti tak mampu menahan. Indra dan Inem, mata mereka
bertemu dalam satu titik. Di malam itu.
<><>
...
“Kamu enggak akan bisa ke mana-mana!”
...
<><>
Nita tidak seperti Kirno dalam Yang Hitam, yang kehilangan
kaki dan matanya. Nita sehat. Malah sangat sehat untuk me-
langkah mencari Indra yang sudah dua hari ini tidak ada kabar
sejak kepergiannya ke Blora. Ditanyainya semua orang di tempat-
tempat yang mungkin Indra singgahi. Berbekal foto Indra, foto
suaminya yang masih dicintainya, Nita berpacu dengan waktu
menemukan suaminya yang misterius di kota yang memang
penuh misteri itu.
“Mau ke mana, Neng?” sapa seorang sopir bus pada Nita.
Di badan bus tersebut tercetak sebuah nama Bus Anda.
“Ah, kebetulan, apakah Bapak pernah melihat orang ini?”
Nita menunjukkan foto Indra pada sopir.
Sang sopir tampak berpikir, “Ah, ini kayaknya pernah naik
bus saya, Neng, bener ini!”
“Syukurlah.,” Nita melihat ada secercah harapan mampir,
“Kalau begitu Bapak masih ingat, di mana orang ini pergi atau
turun?”
24 Menipu Arwah
Elegi Cinta Aku, Kau, dan Dia
Andri Saptono
Guru MA dan Mts Al Ayyubi
Ponpes Tahfidzul Qur’an Al-Ikhlas, Sukoharjo
26 Menipu Arwah
ngurangi kecantikanmu. Hanya menambah kehadiranmu men-
jadi nyata di hadapanku. Cantik dan terluka.
“Kau tahu, ada yang salah pada hubungan kita. Kita ber-
dosa.”
Aku menghela napas.
“Aku tidak mau kita membicarakan soal itu lagi. Aku men-
cintaimu dan tidak akan meningggalkanmu.”
“Kau tak bisa egois. Aku ingin kau setia kepada istrimu.”
“Namun, aku ingin bahagia denganmu.”
Percakapan semacam inilah yang menghancurkan diskusi
seru kita tentang novel Amerika latin, tentang Borges, Shakspeare
dan tentang budaya lokalitas. Dan aku tak tahu mengapa kau
selalu yang memulainya. Apakah kau sudah bosan padaku?
“Lalu mengapa kau selalu menghubungiku?” tanyaku balik
terdengar selfish.
“Entahlah, aku terjebak dalam situasi yang sama denganmu.
Ketidakbahagiaan dengan pasangan, tetapi merasa bahagia
dengan orang lain.”
“Jadi, aku bagimu orang lain?”
“Bukan seperti itu. Maaf. Aku hanya mau mengatakan ….”
“Aku mencintaimu Marita. Hanya itu yang harus kau tahu.”
Lalu kau membenamkan bibirmu dalam leherku. Mendekap-
ku. Aku memeluk tubuhmu. Bau melati menguar seiring dekap-
anmu yang mulai menghangatkan tubuhku. Kau tahu, surga itu
dimulai dari bau tubuhmu yang menyerbu hasratku?
***
Pasar Beringharjo
Kasyfa menarik tubuhmu menuju barisan pedagang buah-
buahan Pasar Beringharjo. Dia menginginkan anggur itu. Dan
kau membelikannya. Kau menggendongnya sambil berjalan di
kerumunan para pembeli. Berjalan di lorong Pasar Beringharjo
itu. Orang-orang berteriak. Ramai. Bau keringat. Warna-warni
sandal murahan.
“Kasyfa ingin warna apa?”
28 Menipu Arwah
“Apa Mama pernah bertengkar seperti itu?”
“Tidak sayang. Tidak akan. Mama tidak pernah mau ber-
tengkar.”
Kau lantas memeluk anak itu. Dalam benakmu, kau tak tahu
apakah harus menyesal telah mengajaknya pergi ke tempat-
tempat eksotis seperti katamu itu.
***
Istrimu datang dari perjalanan luar kota. Perjalanan yang
membuatnya tiga hari berada di Medan untuk menjadi pembi-
cara dalam seminar pendidikan internasional. Wajahnya terlihat
capek, tetapi ia tetap meladeni keperluanmu pagi ini dengan
binar senyum bahagia. Segelas kopi di meja kerja dan oleh-oleh
gethuk durian dari Medan.
“Untunglah cuacanya bagus selama di sana. Di sini bagai-
mana?”
“Sama saja,” katamu sambil pura-pura mengedit tulisan yang
belum selesai. Dalam hati kau berharap istrimu segera beranjak
pergi. Entah mengapa, bayangan Marita masih terlintas lagi.
Nyaris meledak dalam waktu pagi ini. Dan kau tak tahan ingin
mendengar suaranya di telepon segera.
“Kau sudah sarapan?” tanya istrimu.
“Nanti siang saja.”
“Baiklah, kita nanti makan di luar saja. Aku ingin makan di
restoran favoritmu itu.”
Istrimu beranjak ke sampingmu dan mencium rambutmu.
Lalu beranjak pergi. Melangkah gontai ke tempat tidur dan
merebahkan diri.
Kau menghentikan jemarimu dari tuts keyboard. Mengambil
handphone. Dan memanggil nama itu.
“Ayo jawab,” katamu tak sabar ketika tak ada jawaban dari
seberang.
Panggilan terputus. Kau ulangi lagi makin tak sabar.
***
Sayangku Sam,
Aku menyadari satu hal dalam perjalanan kecilku dengan
Kasyfa ketika membelikan sandal barunya pagi ini di Pasar Bering-
harjo. suatu peristiwa kecil yang menamparku betul... ya, aku tak
ingin menjadi orang ketiga selamanya....
Yang akan melukai hati istrimu
Maaf, aku harus berlalu dari hidupmu selamanya....
Ya, kutahu aku memang mencintamu, tetapi dialah, istrimu,
yang akan selalu menjadi milikmu selamanya... walaupun saat
ini kau belum bahagia bersamanya.
salam,
Marita
30 Menipu Arwah
Tuyul Pilkades
Arif Khilwa
Guru MA Salafiyah, Kajen, Pati
“Ada apa kang?” tanya Warjo kepada salah satu orang yang
terlihat tergesa-gesa menuju salah satu rumah di ujung desa.
“Ada Tuyul tertangkap? Jawabnya singkat.
“Di mana?” bertanya kembali
“Di rumah itu” sambil menujuk salah satu rumah.
“Siapa yang menangkapnya?”
“Dukun kampung seberang” lalu bergegas meninggalkan
Warjo.
Warjo memandang orang-orang yang berpapasan denganya,
mereka terlihat penasaran menuju rumah yang katanya telah
ada tuyul tertangkap itu. Mereka begitu antusias, bahkan di
antaranya ada yang berlari ingin segera mengetahui kebenaran
berita itu. Melihat orang-orang itu, Warjo hanya tersenyum dan
melanjutkan perjalanannya.
Terlintas dalam pikirannya, betapa mudah orang-orang itu
digerakkan untuk memercayai sesuatu yang belum pasti ke-
benarannya. Tuyul yang katanya tertanggkap itu tidak terlihat.
Botol yang digunakan untuk tempat menangkap tuyul itu terlihat
kosong tanpa isi yang katanya hanya dukunlah yang mampu
melihatnya. Namun mereka percaya saja dengan semua omong-
an dukun itu, yang berdasarkan argumen bahwa tuyul itu ditang-
kap dengan jebakan menggunakan seekor yuyu dan sepiring
bubur yang di taruh di sampingnya.
32 Menipu Arwah
“Mengapa setiap hari uangnya berkurang?” Ia menggerutu
dalam hati.
Bingung dan marah terlihat jelas dalam ekspresi mukanya.
Alis kanan dan kirinya menyatu dengan kerutan di dahinya.
Dawil mengeluarkan kembali seluruh uang yang ada di dalam
kantong plastik dan menghitungnya. Saking seriusnya, Dawil
tidak menyadari kedatangan Warjo adiknya. Ia duduk di salah
satu kursi di sampingnya. Melihat uang yang begitu banyak di
depan kakaknya, Warjo terheran-heran, sambil cengar-cengir ia
berkata
“Wow, banyak banget uangnya, Kang?”
Mendengar suara itu, Dawil tampak kaget, panik, dan spon-
tan langsung memasukkan semua uang itu ke dalam kantong
plastik.
“Oalah, kamu Jo. Bikin kaget orang saja,” sahut Dawil.
“Uang siapa itu, Kang?” tanya Warjo.
“Ssssttt, jangan keras-keras kalau ngomong. Semua ini uang-
ku, Jo.” Jelas Dawil
“Uang Kang Dawil?” jawab Warjo seakan tak percaya.
Dawil mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dari
kantong plastik lalu memberikan kepada Warjo.
“Ini buat kamu, Jo.” Kata Dawil sambil mengulurkan be-
berapa lembar uang ke Warjo.
“Semua ini buat aku, Kang?” sambil menerima uang itu.
Warjo segera menghitung lembaran uang ratusan ribu itu
yang berjumlah dua puluh lembar dengan ekspresi terheran-
heran, seakan tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh
kakak angkatnya itu.
“Ini uang dari mana, Kang?” ia bertanya dengan tampak
penasaran.
Dawil menali kembali kantung plastik yang berisi uang itu.
Buntalan plastik itu ditaruhnya di sebelah kiri tepat ia duduk.
Seakan ia tampak ragu memulai ceritanya. Ia menarik nafas,
kemudian memulai cerita. Ia menjadi salah satu orang yang
34 Menipu Arwah
Setelah uang yang sudah dimasukkan dalam amplop,
masing-masing terisi ratusan ribu yang berjumlah delapan ribu
amplop diterimanya. Hanya setengah dari jumlah yang dibagi-
kan dan setengah lagi ia simpan untuk dirinya sendiri. Ia berpikir
bahwa massa pendukung Pak Brojo sudah militan, dari jaringan
keluarga dan jaringan para pekerja yang bekerja di keluarga
Pak Brojo jumlahnya sudah ribuan. Mereka tidak dikasih uang
suap pun pasti akan memilihnya. Ternyata perkiraannya meleset.
Orang-orang yang tidak kebagian uang dari Pak Brojo, walau
dari keluarga dan pekerja, tidak mau memilih Pak Brojo dalam
pemilihan. Hasil akhirnya Pak Brojo kalah dalam pemilihan.
Mendengar penjelasan kakaknya, Warjo terlihat kaget.
“Edan. Nekat benar kamu, Kang.” Kata Warjo dengan ter-
lihat sedikit gemetar.
“Itulah politik, Jo” jawab Dawil.
“Mengapa kamu tadi kok terlihat bingung, Kang?” Tanya
Warjo.
Dawil menjelaskan tentang uangnya yang terus berkurang
jumlahnya dalam beberapa hari ini, padahal tidak ada yang tahu
kalau ia menyimpan uang yang banyak di kamarnya. Bahkan
Warjo saja yang tinggal satu rumah pun mengaku tidak tahu
tentang uang itu.
Mendengar penjelasan kakaknya itu, Warjo ikut berpikir
kira-kira apa yang menyebabkan hilangnya uang itu. Suasana
di ruang tamu itu menjadi hening. Suara detak jarum jam ter-
dengar menjadi sangat nyaring.
“Apa jangan-jangan?” ucap Warjo memecah heningnya
suasana
“Jangan-jangan apa, Jo?” Tanya Dawil tampak penasaran.
Warjo menjelaskan bahwa di desa sebelah, kemarin lagi
ramai dengan adanya tuyul. Di desa itu, katanya banyak warga
yang kehilangan uangnya. Semua menjadi resah atas kejadian
itu. Salah satu warga menawarkan untuk minta bantuan dukun
untuk mengatasi masalah tuyul di desa itu. Warga sepakat dan
36 Menipu Arwah
dibuang jauh-jauh agar tidak kembali, ia bersedia membayar
mahal asal tuyul itu tak mengganggunya lagi.
Mbah dukun mengiyakan permintaan Dawil. Ia menjelaskan,
bahwa Dawil itu masih beruntung. Sebab yang beroperasi di
rumahnya itu hanya tuyul lokal. Biaya untuk memindahkan satu
tuyul lokal itu satu juta, jadi kalau sepuluh tuyul menjadi sepuluh
juta. Dawil sepakat dan segera masuk ke kamarnya untuk
mengambil uang.
Ditemani Warjo di ruang tamu, mbah dukun itu kembali
memejamkan mata dan komat-kamit. Tangan kanan dan kirinya
meliuk-liuk seperti menari. Dawil terlihat kaget ketika ia keluar
dari kamar dan melihat tingkah mbah dukun itu. Tak lama mbah
dukun berhenti dan membuka matanya.
“Ada apa lagi, Mbah?” Tanya Warjo.
“Iya Mbah, ada apa?” sahut Dawil.
Setelah Dawil kembali duduk di kursi, mbah dukun men-
jelaskan bahwa sebenarnya rumah Dawil ini juga diincar oleh
tuyul asing, sedangkan tuyul asing itu berbeda kalau beroperasi.
Mereka beda dengan tuyul lokal hanya mengambil uang sedikit-
sedikit, tetapi kalau tuyul asing akan mengambil uang sebanyak
mungkin bahkan bisa mengambilnya tanpa sisa. Mendengar
penjelasan itu, Dawil tampak panik.
“Terus bagaimana, Mbah?” tanya Dawil.
“Tenang saja, semua bisa diatasi. Namun ugo rampe yang
harus disiapkan banyak. Bahkan bisa mencapai 50 juta rupiah.”
Jelas mbah dukun.
“Apa tidak ada jalan lain, Mbah?” tanya Warjo
Sesaat mbah dukun terdiam. Tak lama ia mengambil sebuah
cincin yang dihiasi batu akik berwarna hitam dari saku kemeja-
nya. Cincin itu diberikan kepada Dawil.
“Untuk sementara kamu pakai ini dulu.” Jelas mbah dukun
singkat.
Dawil segera menerimanya dan memakai cincin tersebut di
jari manis sebelah kiri. Wajahnya terlihat lebih tenang. Dengan
38 Menipu Arwah
Dengan ragu dan tidak tega Warjo perlahan menceritakan
bahwa semua kebohongan Dawil telah diketahui oleh Pak Brojo
dan pendukung lainya. Orang-orang di desa juga ramai mem-
bicarakan tentang pengkhianatan Dawil kepada Pak Brojo di
saat pilkades kemarin.
Ekspresi Dawil mendadak berubah, setelah mendengar
cerita adiknya itu. Terlihat ketakutan pada dirinya. Dijambak-
jambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Ia berteriak.
“Siaaaal”
Warjo berusaha menenangkannya, ia memberi saran kepada
Dawil untuk segera meninggalkan Desa Kenanga, pergi sejauh
mungkin. Bahkan juga memberi sejumlah uang untuk sedikit
bekal dalam pelarian. Setalah berkemas dengan membawa se-
buah tas yang berisi pakaiannya, Dawil memeluk erat adik
angkatnya itu. Ia berpamit pergi entah ke mana.
***
Setelah sebulan kepergian Dawil meninggalkan Desa
Kenanga, Pak Brojo juga bangkrut dan pergi merantau bersama
keluarganya. Warjo terlihat santai di ruang tamu menikmati
beberapa tusuk sate kambing dan minuman bersoda yang begitu
nikmat. Ia berdiri mendekati foto Dawil yang tergantung di
dinding tembok di ruang itu. Sambil senyum-senyum seakan
sedang berbicara dengan foto itu, ia menceritakan bahwa tuyul
itu sebenarnya tidak ada, yang mengambil uang Dawil dari awal
sampai habis semua itu adalah dirinya. Cerita tentang tuyul itu
hanya berita bohong yang dijadikan alibi, biar kakaknya tidak
curiga. Dukun itu juga palsu, termasuk cerita bahwa Pak Brojo
mengetahui kebohongannya Dawil. Semua hanya akal-akalan
saja demi mendapatkan uang yang desembunyikan Dawil.
“Sekarang, akulah yang kaya raya. Ini politik, Kang. Ketika
ada peluang harus dimanfaatkan.” Ucap Warjo terus tertawa
lepas di depan foto kakak angkatnya itu.
Aryani Purnama
Guru SMAN 1 Ungaran
Tolong!
“Kau dengar itu?”
“Aku tak tega.”
“Apa yang bisa kita lakukan?”
Masih terngiang di telinga Klinthing, anak-anak kecil me-
rengek dan menangis seperti menyuarakan ketakutan dan rasa
dingin yang mencekam. Telah tiga hari hujan tak kunjung henti.
Cuaca ekstrem melalui saluran televisi dan radio, menjadi ke-
nyataan.
Sekian peristiwa musibah ada di depan mata Klinthing.
Gatotkaca melihat kesedihan Klinthing.
“Tolong!”
Sekali lagi terdengar teriakan dari arah gubuk yang terletak
di bantaran sungai. Gubuk itu telah sebagian terseret arus sungai.
Seseorang menggapai-gapai ke arah sungai sambil menangis. Ia
tampak berlari dan terseok di antara tanah lumpur dan bebatuan
yang tergerus banjir.
Beberapa orang melompat ke luar rumah, menyegera mem-
beri pertolongan. Terdengar raung tangis perempuan, sambil
menunjuk ke arah sungai.
“Bondan, Bondan.”
Berbondong laki-laki menyusur aliran sungai. Namun, gelap
malam dan derasnya arus sungai tak memberi mereka harapan
untuk menemukan Bondan.
***
40 Menipu Arwah
“Bagaimana, Klinthing? Tentang pembicaraan kita?” Sebuah
suara datang dari cahaya keemasan yang berintikan seorang
ksatria. Ya, seorang ksatria. Ksatria Pringgodani lengkap dengan
caping basunanda, kotang antakusuma, dan terompah padakacarma.
(Terdengar pembicaraan hangat di sela sayup tembang jawa
dan klonengan)
Cahaya itu akan surut dan intinya menyublim kala diam.
“Aku belum menemukan jawab, Gatotkaca. Bagaimana cara
mengubah mindset masyarakat, membunuh nafsu amarah dan
dendam, menyiapkan pidato persuasif serta mencari solusi,” kata
Baru Klinthing dengan serius, dengan kalimat-kalimat panjang-
nya.
Baru Klinthing, tokoh legendaris yang jelmaan dari seekor
ular besar ini, dapat berubah setiap saat. Kala berbicara si Ular
Besar ini berubah menjadi seorang anak kecil, kurus kering.
Bocah yang pernah teraniaya, terlunta-lunta dalam hidup, dan
terpisah dari sang ibu. Kehidupan tak pernah bersahabat dengan-
nya.
Namun, memori nasibnya terdahulu tak melahirkan den-
dam. Justru empatinya kini bertumbuh bersamaan dengan ber-
bagai bencana di tanah air. Para korban gempa Lombok dan
tsunami di Palu, banjir bandang Papua, serta amukan anak
Gunung Krakatau, Gunung Merapi dan Bromo di Pulau Jawa,
setiap saat mengancam. Peristiwa-peristiwa yang mengoyak-
oyak keprihatinan Baru Klinthing.
“Klinthing adikku. Bukan Klinthing kalau tak menemukan
solusi.” Baru kali ini terdengar Gathotkaca menghibur, di sela
tawa yang menggema. Raja Pringgodani yang keturunan raksasa
ini tak pernah bisa merayu, bahkan kepada istrinya sekali pun.
Senyumnya tak pernah tampak karena taringnya kelewat me-
nakutkan.
“Gatotkaca, tumben kau mau bercanda?”
“Ya, iya donk. Aku kan pingin kayak remaja-remaja masa kini.
Ceria, tanpa beban, santai, yah…,” kata Gatotkaca sambil ter-
42 Menipu Arwah
“Aku ada di sini, Klinthing,” kata Gatotkaca yang telah ber-
ada di belakang Klinthing.
“Hahaha. Bagaimana, Klinthing?”
“Aku ingin masyarakat bumi memiliki tempat hidup yang
layak.”
“Wauw. Ide bagus! Bagaimana? Mereka harus ke mana?”
sergah Gatotkaca.
“Ke bulan,” jawab Baru Klinthing pendek.
Gatotkaca tertawa terkekeh-kekeh. Tawa itu menjadi-jadi
hingga kekuatan kotang antakusuma yang nyantel di dadanya
bergoyang-goyang dan akhirnya terlepas dari badan. Kalang
kabut Gatotkaca mengenakannya kembali.
“Aku berpikir, bagaimana mengusahakan air untuk ke-
butuhan manusia di bulan?” lanjut Baru Klinthing tanpa sedikit
pun merasa tersinggung dengan tawa Gatotkaca yang berderai-
derai. Tak sedikit pun ia ingin melongok dan menyaksikan tawa
itu. Terbayang olehnya tawa Gatotkaca yang mengerikan.
“Klinthing! Kau tidak ingat, ya! Kau pernah membuat rawa
hanya dengan mencabut lidi dari dalam tanah, kan?” sambung
Gatotkaca dengan wajah serius, “Mengapa tak kau ulang peris-
tiwa terjadinya Rawa Pening, di bulan nanti?”
Baru Klinthing yang sedang bergumul dengan pikiran
seriusnya, menjadi memerah menahan marah. Kali ini kata-kata
Gatotkaca memojokkannya ke sudut-sudut ketersinggungan
yang dalam. Ketersinggungan yang berangkat dari penyesalan.
Penyesalan yang muncul dari sebuah proses refleksi spontan
atas perilaku menenggelamkan sebuah desa, menjadikan sebuah
genangan, mengubah sebuah ekosistem dan mengubur hak hidup
sekian makhluk. Penyesalan yang membuatnya sesak dan me-
mojokkannya pada emosi marah, pada diri sendiri, dan pada
pemicu kemarahan.
Tiba-tiba suara berdesir, disertai gerakan berkelebat si Ular
Baru Klinthing membuat getaran-getaran hebat. Getaran serupa
gempa di rumah itu. Dinding rumah meretak dan gerakan Baru
44 Menipu Arwah
tetap menjaga agar pertemuan medan magnet pada dirinya dan
medan listrik yang ada pada Gatotkaca tidak terjadi lagi. Baginya
terpisah dari Gatotkaca menjadi sebuah malapetaka. Ia tak akan
sanggup bertahan melayang-layang di luar angkasa, walaupun
kala diam ia berwujud ular naga yang konon dalam legenda,
dapat terbang melintas tak berbatas.
Saling cengkeram antar Gatotkaca dan Sang Ular Baru
Klinthing membentuk gerak siluet yang penuh pesona. Sebuah
harmonisasi upaya dan keteguhan yang padu melayang-layang
di angkasa. Gambar bergerak yang berwujud siluet.
Gatotkaca harus berkomunikasi, tak boleh diam agar ia tetap
eksis dalam wujudnya. Kalau tidak, ia akan menyublim dan tak
mampu lagi menopang Baru Klinthing. Sementara Baru Klinthing
harus diam agar eksis sebagai ular, yang diharapkan dapat ber-
daya karena lilitannya. Sebuah kondisi kontradiktif yang mem-
butuhkan tenggang rasa dan kekompakan untuk menyatu dalam
mencapai tujuan.
Rupa-rupanya peristiwa ini terekam oleh lensa teleskop Paul
Dee Spudis, seorang anggota NASA yang berencana mem-
bangun pemukiman basis bulan. Sinyal-sinyal medan magnet
dan medan listrik Baru Klinthing-Gatotkaca terdeteksi dengan
akurat oleh semua perangkat canggihnya. Karena kemampuan
brilian seorang pakar angkasawan, begitu mudah Paul Dee
Spudis menghadirkan Baru Klinthing dan Gatotkaca dalam meja
perundingan.
“Both of you are assets,” kata Paul ketika berhadapan dengan
Baru Klinthing dan Gatotkaca.
“Okey, next what’s your program for us and for your idea?” jawab
Baru Klinthing yang tiba-tiba mampu berbahasa Inggris.
Sementara itu Gatotkaca diam termenung, berpikir secara
serius dengan rencana-rencananya. Ia yakin dengan kesanggup-
annya mengerahkan rakyatnya, kaum raksasa di Pringgodani
untuk mendukung rencana besar ini.
46 Menipu Arwah
Catatan Penulis:
1. Baruklinthing adalah tokoh legendaris dalam cerita legenda
“Terjadinya Rawa Pening.” Cerita ini terkenal di Kabupaten
Semarang. Sang tokoh semula manusia dikutuk menjadi ular
karena ketidaktaatan kepada orang tua. Setelah bersamadi
ia kembali menjadi manusia dalam wujud seorang anak kecil
kurus dan terlantar. Dikisahkan ia menjadi anak kecil yang
tersia-sia dalam hidup, tersingkir, dan teraniaya. Karena
keajaiban, terjadilah peristiwa besar saat lidi yang ia tarik
dari dalam tanah menyemburkan air hingga terjadilah rawa.
Air rawa menenggelamkan semua penghuni yang menzalimi
sang anak dalam kenestapaan dan keterlantaran. Rawa itu
kemudian dikenal dengan sebutan “Rawa Pening.”
2. Gatotkaca seorang ksatria yang terkenal dalam cerita pe-
wayangan. Ia seorang ksatria Pringgodani putra Wrekudara.
Wrekudara adalah ksatria kedua dari keluarga Pandawa.
Ibu Gatotkaca seorang raksasa perempuan dari kerajaan
Pringgodani. Gatotkaca terkenal dengan sebutan ksatria otot
kawat balung wesi karena kekuatan dan kesaktiannya. Senjata-
nya berupa caping basunanda, kotang antakusuma, dan terompah
padakacarma. Kesaktiannya karena ajian yang dimilikinya
ajian Brajamusti.
Ary Yulistiana
Guru SMK Negeri 9 Surakarta
48 Menipu Arwah
yang terjadi –terkait buku-, Grant akan siap sedia mengurusinya
sampai masalah tersebut beres. Namun, semenjak peristiwa mis-
terius itu terjadi, Grant merasa tertekan dan sering sakit. Tepat-
nya, semenjak buku langka yang berjudul Toxicology, Book of
Poisons dikabarkan hilang secara tiba-tiba dari perpustakaan.
*
Sore ini setelah urusan pekerjaannya selesai, Ralph berkun-
jung ke rumah Grant. Ia mendapati teman lamanya ini semakin
layu. Rambut dan cambangnya tumbuh tak beraturan. Wajahnya
muram dan sulit tersenyum. Dengan perawakannya yang tinggi
besar tapi tak bertenaga, Grant terlihat seperti pohon tua yang
nyaris tumbang.
Grant mempersilakan Ralph masuk ke ruang tamunya yang
penuh dengan buku-buku yang berserakan di berbagai sudut.
Sebuah rak buku dari kayu oak merah seperti sudah tak sanggup
menampung banyaknya buku yang berjejalan di rongganya.
Sementara itu, aroma ruangan kurang lebih sama seperti perpus-
takaan tua. Apak dan sedikit berdebu.
Grant lalu berusaha membuka jendela berkusen putih de-
ngan mencongkel ujungnya kuat-kuat, menandakan bahwa jen-
dela itu nyaris tak pernah dibuka. Sembari duduk di sofa coklat
yang mulai usang, Grant menyiapkan wine istimewa sauvignon
blanc untuk menjamu teman baiknya itu.
Grant bercerita bahwa hingga kini ia masih memikirkan buku
yang hilang itu siang malam. Ia sungguh merindukannya. Buku
itu langka, sekaligus berbahaya. Buku itu berisi soal racun, dan
Grant tahu benar bahwa di situ tertulis resep pembuatan racun
dari segala racun yang bisa mencelakakan manusia dalam jumlah
besar sekaligus.
Grant menyesal bahwa buku itu hilang saat ia tengah me-
ngambil cuti dan menghabiskan pekan di tempat yang lain. Saat
kejadian itu, ia sedang berlibur di Pulau North Stardbroke dan
bermalam selama tiga hari di sana. Ia ingin rehat sejenak dengan
memandangi lautan lepas berwarna biru toska dan ombak yang
50 Menipu Arwah
bertujuan untuk menyudutkan dirinya agar keluar dari perpus-
takaan itu. Juga agar perpustakaan itu tak terurus bahkan tutup.
Ia tahu banyak orang yang mengincar buku-buku langka di per-
pustakaan. Entahlah, untuk dikoleksi atau untuk digadaikan di
balai lelang.
Grant juga sering mendengar adanya bibliophil atau para
pencinta buku yang akan melakukan segala cara untuk mendapat-
kan buku. Entah itu bualan atau bukan. Ralph tidak pernah me-
ngira bahwa menjaga buku yang hanya benda mati tidak bisa
semudah yang ia bayangkan.
“Buku memang benda mati, tapi banyak nyawa yang terse-
lamatkan karena buku. Orang bisa terinspirasi dari buku. Orang
bisa menemukan cara menyembuhkan dari buku.” kata Grant
sambil memandang Ralph dengan serius. Suara beratnya me-
menuhi ruangan.
“Orang juga bisa kehilangan nyawanya dari buku,” lanjut
Grant lagi.
Mereka berdua terpekur. Senja musim panas kali ini tidak
terlalu terlambat tiba, meski masih menyisakan semburat cahaya
di kejauhan. Grant bersikeras bahwa ia akan mengungkap per-
kara hilangnya buku ini sampai kapan pun. Grant yakin bahwa
ia pasti akan menemukan buku itu bahkan bila harus bertaruh
nyawa sekalipun. Ralph menatap iba pada Grant. Kelihatannya
gejala-gejala depresi mulai tampak pada sahabatnya ini.
Ralph tahu bahwa dirinya tinggal satu-satunya orang yang
dipercayai dan mempercayai Grant. Lebih dari itu rupanya berita
tentang hilangnya buku ini menjadi bola liar di semua pihak.
Perpustakaan bahkan mewacanakan akan memanggil tim inteli-
jen khusus dari Rusia yang konon spesialis kasus-kasus pencurian
buku langka.
“Jadi, biaya yang akan dikeluarkan berapa kali lipat dari
harga buku yang hilang itu?” tanya Ralph seperti pedagang yang
sedang berhitung untung rugi.
Grant meradang, hampir saja ia berteriak,
52 Menipu Arwah
Ralph tahu benar bahwa Grant bukan sekadar pustakawan, tapi
juga seorang kutu buku.
Ralph mengangkat sebelah alisnya dan mengedikkan bahu.
Ia menyesalkan bahwa seandainya buku itu memang penting
dan berbahaya mengapa tidak ditaruh di museum, atau di dalam
brankas bank sentral. Grant tampak jengkel mendengar usul
Ralph dan mengatakan bahwa bahwa setiap benda harus berada
di antara habitatnya supaya bisa memiliki nilai sesuai yang di-
harapkannya.
“Misalkan saja, apa kau mau dikirim ke planet Mars seorang
diri?” tanya Grant segera.
Ralph tak perlu menjawab pertanyaan Grant sebab pertanya-
an itu memang tidak untuk dijawab. Grant bersumpah bahwa
seandainya buku itu kembali entah dengan cara apa pun, maka
ia akan bermalam di perpustakaan sepanjang sisa musim panas
ini.
Setelah berdebat tiada akhir di ruangan yang terasa semakin
pengap, Ralph mengajak Grant untuk menyusuri Albert Street
yang melintang dari arah City Hall ke ke arah Botanic Garden.
Di petang hari masih banyak juga orang berlalu-lalang. Jalan ini
seperti tak pernah sepi. Ralph sudah mengenali jalanan ini sebab
ia pernah tinggal di sini saat kuliah dulu.
Sedangkan Grant menyukai berjalan di Albert Street sebab
jalanan itu ditopang oleh puisi-puisi. Itulah yang membuat jalan
ini selalu nyaman untuk dilintasi, pikir Grant. Setiap kali menyu-
suri tempat ini, pasti akan terasa suasana damai, romantis, dan
membahagiakan. Dulu ia mengira karena banyak kedai kopi
yang berdiri di sepanjang jalan itu. Semua orang tahu bahwa
aroma kopi dapat saja menenangkan orang yang menghirupnya.
Ternyata puisi-puisi itulah penyebabnya. Puisi yang jumlah-
nya 30 ditanam di trotoar sepanjang Albert Street memberikan
aura yang berbeda. Puisi-puisi itu beterbangan dan menghiasi
jalanan, terhirup oleh orang-orang yang melintasinya. Grant
ingin menziarahi puisi itu satu demi satu. Siapa tahu ada petunjuk
54 Menipu Arwah
mikirkan cara untuk mengajak bicara wanita itu tanpa terlihat
mengganggu atau mengejutkan atau bahkan menakutkan.
Namun, Grant yakin bahwa sebelum tiba di City Hall ia pasti
sudah berhasil mengajak wanita itu berbicara.
Wanita itu berhenti di sebuah toko buku, depan pusat
perbelanjaan. Ia melangkah masuk dan tentu saja Grant mengajak
Ralph untuk mengikutinya. Sesaat Grant terperangkap oleh
aroma khas toko buku, namun kegelisahan membuat Grant tak
bisa menikmati harumnya buku baru yang biasanya sangat di-
gemarinya. Bahkan Grant melupakan kebiasaannya mengendus
aroma kertas baru pada buku-buku yang dipajang di rak. Tak
lain karena Grant sedang fokus untuk membuntuti wanita yang
dianggapnya mencurigakan itu.
Wanita itu naik ke lantai dua melalui eskalator. Grant me-
naruh curiga kenapa anjing diperbolehkan masuk ke toko. Sampai
di lantai dua, Grant pura-pura sibuk di rak buku perjalanan yang
terletak di dekat kasir sambil mencari tahu apa yang terjadi.
Grant membisikkan pada Ralph apa yang tadi ia dengar dari
wanita itu.
Pegawai toko buku terlihat menyambut wanita itu dengan
sangat ramah, lalu terdengar melaporkan beberapa hal dan
wanita itu hanya manggut-manggut saja. Setelah wanita itu ber-
alih untuk menemui pegawai lainnya, Ralph segera mendekati
pegawai yang tadi berbicara dengan wanita itu. Grant hendak
melarangnya namun terlambat.
“Maaf mengganggu.” Ralph berbicara sepelan mungkin agar
tidak mengagetkan. Pegawai toko buku itu mengangguk ramah.
“Siapa wanita itu? Dia sepertinya teman lamaku. Tapi aku
tidak yakin.” Ujar Ralph berbohong.
“Dia Emilia, pemilik toko buku ini.” Ralph mengangguk-
angguk, pantas saja ia bisa membawa anjing masuk ke toko.
“Apa ia seorang bibliophil?” tanya Ralph lagi. Pegawai itu me-
nampakkan wajah ragu. Mungkin tidak paham dengan apa yang
ditanyakan Ralph.
56 Menipu Arwah
mengucapkan soal buku itu. Sudah lama saya mencari jawaban
atas hilangnya buku itu. Sampai-sampai saya enggan datang ke
perpustakaan tempat saya bekerja karena selalu sedih memikir-
kannya.”
Emilia menatap Grant tajam.
“Jadi, apakah kau pustakawan itu?”
Grant terkejut, apakah Emilia berpikir bahwa dirinyalah
yang menghilangkan buku itu?
“Sebetulnya itu hanya salah paham. Sangat merugikan saya.
Akan tetapi, yah apa boleh buat. Namun saya akan membuktikan-
nya.” Ujar Grant dengan gugup.
Emilia mengangguk dan tersenyum. Ia terlihat menahan
sesuatu yang hendak diucapkannya.
“Tunggu, dari mana Anda tahu bahwa buku itu hilang?
Bukankah itu terjadi sudah cukup lama?” Ralph menyilangkan
tangannya di depan dada.
Emilia tersenyum,
“Semua orang di kota ini tahu. Pasti kau tidak tinggal di sini
kan? Berita itu sudah menyebar dengan cepat di seluruh kota.”
“Aku tadi berbicara melalui telepon dengan kepala perpus-
takaan mengenai buku itu.” Lanjut Emilia.
Grant terkejut.
“Benarkah?”
Senyum Emilia melebar. Grant curiga, apakah wanita itu
pencurinya? Atau ia berkonspirasi dengan kepala perpustakaan
untuk menjual buku itu kepada kolektor? Ah, Grant menggeleng
cepat, ia tidak ingin berprasangka sekotor itu. Emilia mengajak
Grant dan Ralph untuk duduk di bangku putih dekat rak buku
anak-anak. Sebenarnya ia ingin menunda pembicaraan soal buku
ini. Namun sebab kasihan dengan Grant, Emilia menceritakan
apa yang sesungguhnya terjadi. Dengan sedikit menahan napas,
Grant menatap Emilia dalam-dalam, sambil jantungnya berdegup
lebih keras saat mendengarnya.
58 Menipu Arwah
Petugas kebersihan membereskan kotak kardus itu ke gudang.
Setelah beberapa bulan, saat jadwal pembersihan dan pengecek-
an gudang, akhirnya buku itu ditemukan kemarin. Petugas dari
gedung itulah yang mengantarkannya ke perpustakaan sore tadi
berdasarkan label yang dilihatnya pada buku. Aku minta maaf
atas segala kekacauan yang terjadi, dan memang aku agak men-
curigai kalian tadi karena aku tahu banyak yang memburu buku
beracun itu.” Emilia menatap Grant dan Ralph dengan sorot
menyesal.
Grant mengusap wajahnya dan menarik napasnya sedalam
yang ia mampu. Ia mengangguk-angguk tetapi tak bisa berkata-
kata. Ia tak percaya bisa berada di saat dan waktu yang tepat
untuk mendapatkan jawaban atas kegelisahannya selama ini.
Membuatnya mengerti bahwa tekadnya untuk menemukan buku
beracun itulah yang membawanya ke tempat ini. Keyakinan yang
kuat memang akan selalu membawa seseorang pada jalan keluar
terbaik.
Sementara itu Ralph tercekat, ucapannya tersangkut di teng-
gorokan. Ia tak mampu berkata-kata. Ralph merasa bahagia bisa
menemani kawan lamanya pada peristiwa yang berakhir dengan
menenteramkan ini. Ia merasa menjadi kawan yang seutuhnya
bagi Grant.
Mata Grant tampak berkaca-kaca. Ia merasa terharu, juga
sangat lega. Kadangkala, suatu peristiwa yang terlihat mengeri-
kan ternyata terjadi karena kenaifan belaka. Adakalanya pula,
sebuah permasalahan tampak rumit tetapi sesungguhnya ter-
selesaikan dengan hal sederhana saja. Pendapat dan pikiran
sajalah yang membuat segala sesuatu nampak menakutkan, sulit,
dan runyam seperti tak ada ujung pangkalnya.
***
Eko Wahyudi
60 Menipu Arwah
“Ayah, ikan-ikan itu boleh tidak dipancing? Lalu digoreng
dan dibumbu pedas dengan kuah santan kental, kemudian kita
bersantap bersama.” Hebohnya anakku mengagetkan lamunan.
Tentu saja anakku hanya bercanda. Ia tahu kalau ikan-ikan itu
tidak boleh dipancing. Ia tahu di sekolahnya telah dipahamkan
tentang hak hidup sesama. Bahkan ia paham hak dan kewajiban
sebagai warga negara ketika milik warga ini tidak boleh di-
ganggu dan dirusak. Justru kita harus saling menjaganya. Akhir-
nya hanya kubalas dengan senyum renyah, sambil mencubit
lengannya.
“Kalau buat lelucon jangan kebablasan!” sergahku
Minggu pagi awal Maret 2019. Warga dihebohkan berita
berubahnya warna air sungai yang menjadi merah. Merah darah.
Tetiba dalam waktu sekejap warga telah memadati bibir sungai.
Mereka ingin memastikan kabar darah yang mengaliri sungai-
nya. Mereka bergegas. Dalam benaknya dibebani pertanyaan apa
yang menyebakan sungai menjadi merah. Sebagian yang lain
menyoal bagaimana nasib ikan-ikan lucu yang sangat digemari
anak-anak mereka?
Tidak ada tandaa-tanda aneh, misalnya terjadi kebocoran
limbah dari pabrik cat di ujung kota. Pernah dulu lama sekali,
limbah pabrik itu dialirkan ke sungai, tetapi juga tidak berwarna
merah. Setelah warga beramai-ramai menolak keberlangsungan
pabrik cat itu, limbah sungai terhenti dari pencemaran. Warga
merasa menang atas peristiwa itu. Warga mengambil simpulan
bahwa sesuatu yang tidak sesuai itu memang harus ditundukkan
dengan penolakan, lebih tepatnya demonstrasi.
Namun belakangan warga juga resah, sebab beberapa di
antara warga itu adalah pekerja pabrik cat. Mereka yang berpeng-
hasilan utama dari pabrik itu akhirnya terhenti juga aliran per-
ekonomiannya. Rumah tangganya di ujung tanduk sebab tidak
bisa memenuhi kebutuhan pokok hariannya. Beruntung peme-
rintah kota bijak ketika didatangi pimpinan perusahaan untuk
mendapatkan kembali izin operasional pabrik. Pak Walikota
62 Menipu Arwah
memberikan pernyataan resmi? Setidaknya komentar melalui
cuitan twitter atau publikasi di linimasa media sosial. Sehingga
para warganet bisa menilai dan menganalisis permasalahan yang
terjadi.
Belakangan pascameluasnya jaringan internet, komunikasi
daring menjadi kebutuhan pokok urutan atas melebihi sembako.
Masyarakat menjadi tertunduk khusuk menikmati gawai. Mereka
abai dengan lingkungan sekitar, bahkan abai dengan sapaan atau
peristiwa-peristiwa yang melintas di sekelilingnya. Kecuali me-
lintas dalam linimasanya. Namun pada perkara memberi per-
nyataan, bisa jadi saling hujat atau perang data melebihi para
pekerja kulitinta. Termasuk memerahnya sungai ini juga telah
memerahkan gawai-gawai warga.
“Ayah, kenapa warna merah sungai itu tak kunjung hilang?”
Tanya anakku pada Sabtu sore. Jelang hari minggu esok pagi
tentu tidak asyik jika rekreasi hanya melihat air berwarna merah.
Bahkan jika anak-anak seusia anakku justru mencium aroma
kriminalitas. Hari ini bukan mustahil bagi anak-anak untuk me-
rekam peristiwa-peristiwa sadis dari jejak digital televisi yang
menebar pemberitaan khusus kriminalitas. Anak-anak yang se-
benarnya diberi ruang leluasa untuk menghabiskan masa ber-
senang-senangnya, kadang harus terganggu oleh hal-hal tragis,
sadis, dan tabu dengan berbagai diksi tak terjangkau di pikiran
mereka. Ya, meskipun pada pojok layar kaca sudah tertulis RBO
atau 18+ sekali pun.
“Apakah sudah diketahui penyebab warna merah sungai
itu Ayah?” tanyannya lagi menggetarkan sempitnya ruang per-
bendaharaan kata di otakku. Terus terang aku tak mampu men-
jelaskan pertanyaan itu.
“Kita besok pagi rekreasi di rumah saja, gimana?”
“Ayah ini juga suka bikin lelucon.”
“Kenapa?”
“Masa rekreasi di rumah, Ayah ada-ada saja.”
64 Menipu Arwah
Ibu jari makin kencang untuk menjelajah data-data yang di-
munculkan.
“Aneh, berita konyol, lelucon murahan!” akhirnya aku me-
ngumpat sendiri. Menyesali penjelajahan opini. Menyekat ruang
canda dengan anakku. Kututup gawai lalu kutoleh anakku. Se-
jurus pandangan, sudah tidak kutemukan anakku. Aku terjebak
dalam kebuntuan arah untuk mencarinya. Kuterobos gerbang
lalu menyeberang jalan depan rumah. Kakiku mengayun meng-
ikuti naluri para warga yang juga menuju suatu tempat. Ke arah
sungai yang masih berwarna merah.
“Jelas merah darah Pak, amisnya tercium sekarang.” Kata
tetanggaku yang juga sedang berjalan beriringan.
“Bapak sudah melihat atau mencium aromanya?”
“Belum, baru mau ini.”
“Mengapa bapak yakin sekali?”
“Iya, saya sudah membaca di media sosial.” Jawabnya tanpa
merasa bersalah. Aku menghela nafas. Lagi-lagi sosial media
menjadi referensi utama. Aku ingin sekali mengutuknya. Ah!
Siapa? Sosial medianya atau yang menulis statusnya?
“Namun bapak juga ingin ke sana kan?”
Aku tak menanggapinya. Memang arah kita sama. Bahkan
mungkin tujuan kita sama. Namun maksud hati kita berbeda.
Aku fokus untuk menemukan anak, bukan sedang mencari fakta
atas opini yang baru saja beredar. Dalam hati tak bisa mengelak
pula, jika nanti menemukan anakkku di pinggir suangai itu
bersama warga yang sedang melihat perubahan aroma, aku juga
akan ikut memastikan bahwa berita itu menjadi benar. Pikiranku
juga akan mengiyakan. Aku akan memetik keuntungan men-
dapatkan berita saat sedang berada di pusat pemberitaan. Namun
bisa bersembunyi di balik pencarian anak kesayangan.
“Munafik juga aku.” Pojok hatiku tak bisa berbohong.
Kerumunan warga sore itu memadati bibir sungai. Sepanjang
kampung kami yang berbatas sungai dengan kampung sebelah,
penuh dengan mengepung aliran sungai. Persis kejadian me-
66 Menipu Arwah
tiga atau mungkin empat. Gejala yang muncul adalah pen-
daharahan saat buang air besar atau bahkan dalam kondisi akti-
vitas normal, gatal-gatal pada anus, susah buang air besar, dan
panas pada lambung. Menurut artikel yang kubaca, hal itu di-
sebabkan oleh kurang konsumsi serat atau pola makan yang
tidak sehat. Namun ada penyebab lain yang lebih mendominasi
adalah stress tingkat tinggi.
“Lalu apa hubungannya lamunanku ini?” tanyaku dalam hati
makin ruwet.
“Mengapa pula aku malah memikirkan situasi ini? Tapi boleh
jadi sumber aliran itu ada hubungannya dengan penyakit itu.
Mengapa sebanyak itu jika hanya diduga hanya pada seorang
napi saja? Ah Tuhan Maha Berkehendak. Ah! Saya terlalu berani
untuk mengatakan akibat kuasa Tuhan. Ataukah ada kejadian
mengerikan di dalam rutan?” aku makin stress dengan tekanan
informasi ini. Aku menjadi takut mengalami stress tingkat tinggi
hingga berbuah menjadi penyakit pencernaan bagian bawah.
“Hahahaha! Suara tawa sendiri kiranya keras sekali di lubuk
dalam sana. Namun aku berhasil mencegahnya.
Keterangan yang diperoleh dari petugas keamanan rutan,
tidak ada peristiwa apa pun. Semua dalam kondisi aman terken-
dali. Kalaupun benar imbas dari penyakit si napi itu, apa sebab
gerangan? Apakah konsumsinya salah atau pola makannya tidak
sehat? Padahal si napi itu (mantan) pejabat, tentu bisa mengelola
konsumsi yang sehat, yang bernilai tinggi, tepatnya berharga
tinggi. Atau stress dengan stigma negatif akibat mengenakan
rompi oranye berlabel tahanan lembaga bertajuk tiga aksara
kapital tebal. Seberapa banyak konsumsinya hingga mampu
menembus lubang limbah kakus rutan.
Perutku mulai mulas, panas, stressku menegang. Naluriku
mengajak berlari bergegas menuju ruang berukuran dua kali
satu pojok bagian belakang rumah. Perenunganku sejenak me-
ngingatkan, bahwa sejam sebelum kejadian ini aku begitu lahab
menghabiskan rujak yang dipesan teman di kantor. Nafsu
68 Menipu Arwah
Perangkap
Effi Kurniasih
Guru SMP Negeri 1 Kedu Temanggung
Malam ini dusun yang biasanya sunyi bak makam tak ber-
tuan tampak meriah bermandikan cahaya lampu. Warga dusun
yang biasanya enggan ke luar rumah, dengan langkah ringan
berjalan menuju satu-satunya tanah lapang di tengah dusun.
Biasanya tanah lapang itu digunakan untuk bermain anak-anak,
atau untuk arena lomba setiap peringatan tujuh belas Agustus,
atau menjemur hasil panen. Namun, malam ini tanah lapang itu
bersolek istimewa. Di tengah-tengah tanah lapang berdiri megah
sebuah panggung. Seperangkat gamelan ditata rapi di atas pang-
gung. Umbul-umbul warna-warni dipasang di jalan masuk dan
di seputar panggung. Tak lupa lampu dengan cahaya laksana
matahari menerangi tempat itu.
Sejak sore warga sudah berlalu-lalang di tanah lapang. Bahkan,
warung dan tenda dadakan sudah didirikan sejak kemarin. Ber-
aneka makanan dan barang dijual dalam warung dan tenda itu.
Semakin malam, semakin riuh suasananya. Orang-orang berkum-
pul, ngobrol sambil ngopi atau sekadar duduk-duduk. Mereka
menggunakan jaket tebal, penutup kepala, dan syal untuk me-
redam dinginnya udara malam sekitar pegunungan.
Sudah sejak seminggu yang lalu warga menantikan peris-
tiwa ini. Tepatnya, setelah Ki Lasdi, pemimpin grup kesenian
dusun, mengumumkan akan ada pertunjukan lengger untuk me-
nyambut debut baru seorang lengger muda. Sudah lama warga
dusun memimpikan adanya lengger-lengger baru dari generasi
70 Menipu Arwah
“Baiklah warga dusun yang sudah dahaga, inilah lengger
baru kita Nyi Sri Kanthi.” Gamelan ditabuh dengan tempo
lambat. Sri Kanthi dengan luwes memasuki panggung dengan
lenggak-lenggok tubuhnya yang gemulai. Semua tatapan meng-
arah kepadanya. Matanya yang kenes menyapu seluruh manusia
yang memadati tanah lapang. Berdiri anggun di tengah pang-
gung, ia melirik kemayu mengerling ke kiri kanan. Senyum tipis-
nya tak pernah lepas dari bibir. Tak ada gentar, tak ada malu,
tak ada takut. Ia sudah siap menjadi penerus tradisi dusun ini.
Semua orang terhipnotis, tak ada satu pun yang melakukan akti-
vitas lain. Mulut-mulut bergumam tak jelas, tapi mata menatap
panggung tanpa berkedip.
Gamelan ditabuh lebih keras dengan tempo lebih cepat.
Pelan-pelan Sri Kanthi mulai menari. Gerak tubuhnya sungguh
luwes. Jarik motif hitam, kemben kuning gading dipadu selendang
merah hati sungguh pas menempel pada kulit kuning langsat
yang bersih. Tubuh remajanya menampilkan lekuk keanggunan
wanita yang nyaris sempurna. Tiga atau empat tahun lagi saat
dada, panggul, dan pantat berisi penuh niscaya tubuh itu akan
menjadi sempurna. Sri Kanthi terus menari, gerakannya serasi
dengan irama gamelan. Matanya kenes menggoda lelaki.
Banyak lelaki tak tahan lalu naik ke panggung untuk ngibing
mendekati Sri Kanthi. Mereka yang gemas ingin memegang
bagian tubuh Sri Kanthi berupaya memasukkan uang sawer ke
kemben. Namun, Sri Kanthi lebih lihai. Gerakannya gesit meng-
hindar dari tangan-tangan usil yang ingin menjamahnya. Dengan
isyarat matanya, ia meminta uang sawer dimasukkan ke kardus
yang sudah disediakan di panggung.
Ibu-ibu yang berdesak-desakan di depan panggung mulai
lelah. Mereka menepi dan mencari tempat yang nyaman untuk
duduk-duduk sambil ngerumpi. Mereka asyik membicarakan
identitas Sri Kanthi.
“Itu kan anaknya Mbok Sarti ya Yu.”
72 Menipu Arwah
Kanthi yang telanjang berkali-kali terkena duri atau menginjak
batu runcing. Dua tangannya sibuk memegangi jarik yang di-
gulung ke atas. Tak ada obrolan di antara mereka. Hanya sesekali
Aryo menolong Sri Kanthi yang nyaris jatuh. Sampailah mereka
di rumah Ki Lasdi. Nyi Lasdi membukakan pintu. Ia bengong
melihat keduanya di balik pintu.
“Ada apa Aryo?”
“Ada kerusuhan Nyi.”
“Kau tak apa-apa Kanthi?” Sri Kanthi hanya menggeleng.
“Nyi, saya harus kembali ke sana.”
“Ya, tapi hati-hati. Siapa tahu ada yang mengikutimu.” Nyi
Lasdi menutup pintu. Ia memandangi Sri Kanthi dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
“Bersihkan dirimu, lalu tidurlah. Kau butuh istirahat. Bajumu
di kamar yang tadi buat dandan.” Sri Kanthi mengangguk,
bergegas ke kamar mandi. Saat ia masuk kamar untuk istirahat,
terdengar suara Ki Lasdi. Rupanya baru pulang.
“Kanthi sudah tidur?”
“Baru saja masuk kamar.”
“Syukurlah ia selamat.”
“Apa yang terjadi?”
“Ki Lurah menyuruh Gogor menghentikan acara?”
“Ki Lurah Pake?”
“Rupanya Ki Lurah kesengsem sama Kanthi, ia menyuruh
Gogor membawa Kanthi ke rumahnya.”
Sri Kanthi yang mendengar percakapan itu dari kamar tidak
mengerti. Ia merasa aneh. Kemarin ketika ia ke rumah Ki Lurah
bersama Ki Lasdi dan Nyi Lasdi untuk minta izin pertunjukkan,
Ki Lurah tampak baik-baik saja. Mengapa sekarang malah me-
ngacaukan pertunjukan? Sri Kanthi sudah tak sempat berpikir.
Lelah dan kantuk menyergapnya untuk segera terlelap.
Esok paginya saat sarapan Nyi Lasdi meminta Sri Kanthi
berhenti menjadi lengger untuk sementara waktu sampai ke-
adaan aman.
74 Menipu Arwah
kostnya saat ia pulang kerja. Ia duduk di atas tempat tidur dengan
santai, seperti di rumahnya sendiri. Sri Kanthi bingung harus
bagaimana ia bersikap. Maunya ia balik kanan, kembali ke toko
atau ke mana pun. Namun, hal itu mustahil dilakukannya. Di
pundaknya terlalu banyak hutang budi pada suami istri Lasdi.
“Ki Lasdi, kok bisa masuk?” Ki Lasdi mengacungkan kunci
yang sama dengan kunci yang ada di tangan Sri Kanthi. Bulu
kuduk Sri Kanthi berdiri. Ada desir tak nyaman memenuhi
rongga dadanya.
“Mandilah Cah Ayu, setelah segar ada sesuatu yang akan
saya bicarakan.” Sri Kanthi berlalu ke kamar mandi. Rasanya ia
ingin berlama-lama di kamar mandi. Ia enggan keluar. Ia merasa
sedang ditunggu maut di luar kamar mandi. Ki Lasdi yang lama
menunggu menggedor pintu kamar mandi berkali-kali.
“Kanthi! Kanthi! kau mandi apa tidur.” Sri Kanthi keluar
kamar mandi dengan langkah berat. Disisirnya rambut pelan-
pelan lalu duduk di sisi tempat tidur berseberangan dengan Ki
Lasdi. Ki Lasdi bangkit dari duduk. Di angkatnya Sri Kanthi
dan didudukkan di pangkuannya. Seluruh tubuh Sri Kanthi kaku,
bibirnya kelu.
“Duduklah di sini, di pangkuanku.” Bisikan Ki Lasdi di te-
linga semakin membuat Sri Kanthi tersudut. Tulang belulangnya
luruh, lepas dari tubuhnya.
“Kanthi, tak ada yang gratis di dunia ini. Aku telah memberi
banyak, saatnya malam ini kau membayar.” Kata-kata itu dibisik-
kan di telinga, tetapi Sri Kanthi merasa suara itu berasal dari
tempat yang sangat jauh. Ia hanya mendengarnya sayup-sayup.
Dunianya menjadi gelap. Ia terperangkap. Ia mencari celah untuk
bebas. Sekejap, ia seperti menemukannya. Walau tak yakin, ia
mencobanya.
“Nyi Lasdi orang baik Ki, jangan dikhianati.” Bibir Ki Lasdi
menyeringai di belakang kepala Sri Kanthi.
“Kenapa kau ingat Ibue, he?”
76 Menipu Arwah
Tarian Lidah Api
Emy Budisayekti
Guru SMP N 12 Surakarta
78 Menipu Arwah
Aku tidak mau menyelanya. Jadi, kubuang pandanganku
ke halaman sekolah. Ya Tuhan, baru kali ini aku bertahan hingga
malam di sini. Selama belasan tahun mengabdi, sebelum lampu-
lampu neon itu menyala, aku selalu sudah berada di atas sofa
kesayangan di rumahku.
Memang, sebagai guru, aku juga kerap lembur, terutama di
penghujung semester. Namun seringnya, pekerjaan-pekerjaan
tersebut cukup kukerjakan di rumah. Maka wajarlah bila aku
sedikit terheran dengan suasana sekolahku pascatergelincirnya
matahari.
“Bu, kapan papa atau mama saya datang?” tanya Purnama.
Kujawab pertanyaan itu dengan senyuman dan belaian di
rambut yang tergerai di punggungnya. Kuharap itu cukup
mampu untuk menenangkannya. Akan tetapi tentu saja, harapan
semacam itu terlalu naif.
“Kapan orang tua saya datang menjemput, Bu?” ulangnya.
Bagaikan sebuah penyakit menular, aku segera bisa merasa-
kan kegalauan yang sama. Ah, apa yang harus kujawab untuk
gadis cilik ini?
Apa yang kau ingin dengar, Sayang?
Aku benar-benar tidak sampai hati menjelaskan permasalah-
annya. Kalau gemeretak kayu dan api saja tadi membuat nyali-
nya ciut, apalagi hal yang sensitif ini. Aku hanya takut Purnama
akan terbakar, karena fakta ini bisa jadi lebih panas dan ber-
bahaya dibanding tarian lidah api yang sedang disaksikannya.
Biasanya, di usia yang sudah mendekati senja ini, aku hanya
menghafal murid-murid yang paling pandai atau paling nakal.
Sedangkan mereka yang berada di tengah-tengahnya, seperti
Purnama ini, sulit mengait di benakku.
Namun, entah mengapa, dari dulu Purnama memiliki aura
yang istimewa di mataku. Di kelas, ia sebenarnya tidak seberapa
menonjol. Namun kepribadiannya terasa begitu karib. Mungkin
karena aku melihat diriku sendiri sewaktu kecil dalam sosok
Purnama. Fisiknya, sikapnya, dan barangkali nasibnya. Entahlah.
80 Menipu Arwah
“Kapan orang tua saya datang?”
Astaga. Kuambil napas panjang. Spontan, aku mengalihkan
pandanganku ke ranting yang sedikit keluar dari lingkaran api
unggun. Kudorong sedikit ranting kering itu agar ikut dilahap
si jago merah.
“Pak Huri hebat, ya,” kataku, “bisa bikin api unggun sebesar
ini tanpa minyak tanah atau bensin. Cuma pakai korek gas, lo,
tadi. Ibu belum bisa seperti itu, hahaha. Kalau kamu, bisa bikin
api unggun, Purnama?”
Purnama membuang pandangannya kembali ke api.
Mungkin pikirnya, terlalu remeh usahaku untuk mengalihkan
pembicaraan. Namun kutunggu sampai hampir satu menit, tidak
ada sepatah kata pun protes atau pertanyaan susulan yang
meluncur dari mulut kecilnya. Suasana kembali menjadi kaku
dan dingin. Padahal, api unggun di depan semakin liar menari-
nari.
“Saya juga tidak bisa, Bu.” Tiba-tiba, kudengar kalimat itu.
Ah, akhirnya! Bahkan, kulihat ada sedikit jejak senyuman
di bibirnya.
Tatapan Purnama juga tidak senanar tadi. Tidak sepucat tadi.
Mungkin, suasana di halaman sekolah ini berhasil mengubah
suasana hatinya. Aku sendiri tidak pernah menyangka bahwa
halaman sekolah ini ternyata cukup nyaman untuk menenangkan
diri. Suasana alamnya pun mendukung. Begitu tenang, begitu
syahdu. Di langit, bulan tampak terang menggantung.
Sayangnya, bulan itu hanya tinggal separuh.
Aku jadi ingat kembali permasalahan yang merundung
Purnama. Kupikir, itu pula yang membuatnya tidak mau pulang
sejak tadi siang. Aku tidak tega menanyakan hal ini langsung
kepadanya. Apalagi, setelah ia mulai bersedia membuka hatinya
kepadaku seperti sekarang.
Aku harus berhati-hati sekali. Bukan karena takut hatinya
tertutup kembali. Melainkan lebih karena Purnama baru saja
kehilangan orang tua. Bukan, bukan meninggal. Mereka berdua
82 Menipu Arwah
Terkadang, aku berpikir, apa gunanya kita menciptakan
sistem sekolah ramah anak bila di rumah anak-anak itu justru
merasa tidak nyaman?
Apa gunanya Undang-undang Perlindungan Anak yang
menitahkan kepastian hak anak untuk dapat tumbuh dan ber-
kembang tanpa kekerasan dan diskriminasi, jika sumber masalah
itu justru ada di rumah?
Orang tua Purnama bercerai sepekan silam. Mereka berpisah
setelah melalui hari-hari yang panas seperti api unggun ini. Kata
tetangga mereka, pemicunya adalah masakan mama yang me-
nurut papa tidak enak lagi, kopi yang tidak pas diseduh, pakaian
yang belum kering karena telat dicuci, juga karena papa yang
sering pulang malam, kerap lupa hari-hari istimewa keluarga,
juga gaji yang tidak lagi utuh disetorkan.
Tak ada hal besar yang menghantam keluarga itu. Hanya
remah-remah rumah tangga yang sepele, yang sejujurnya, rumah
tanggaku pun mengalaminya. Namun, remah-remah semacam
itu tidak pernah disapu bersih, sehingga akhirnya berserakan
semakin jorok sampai-sampai keduanya tidak tahan lagi.
Seperti kayu, daun-daun kering, atau kertas-kertas sampah,
semuanya menjadi bahan bakar yang baik bagi sebuah perapian.
Api unggun yang berwujud rumah itulah yang Purnama tinggali
setelah ia pulang sekolah.
Kedua orang tua Purnama rupanya telah kehilangan sesuatu
yang selama ini mempersatukan mereka. Aku curiga, Dewi Cinta
yang pernah menautkan hati mereka kurang terampil mengikat
simpul cintanya dan yang paling merasakan dampaknya tentu
sang anak.
Ya Tuhan, anak sekecil ini.
Kutengadahkan kepalaku ke langit yang kelam. Kupandangi
wajah bulan yang memantulkan setengah cahaya itu. Kupikir,
seperti itulah keadaan Purnama saat ini.
Jangan khawatir, Nak, Ibu janji, masih ada separuh bagian
lainnya yang tetap bersinar, meskipun takkan seterang bila bulan
84 Menipu Arwah
juga orang tua dari anak-anak kandungnya sendiri. Anak-anak
yang juga hanya akan melihat separuh cahaya bulan bila hal-hal
semacam ini dibiarkan berlarut-larut.
Malam bergelayut semakin larut. Pikiranku kosong. Aku
dan Purnama seolah-olah berlomba diam. Sampai kurasakan
tubuhnya lungsur ke arahku. Kuintip, matanya sudah terpejam.
Mulutnya sedikit ternganga. Syukurlah, ia akhirnya tertidur.
Kuamati wajahnya.
Cahaya keceriaan kanak-kanaknya sudah pudar, tinggal
separuh.
Satu hal yang kutahu pasti. Sesuatu yang tinggal separuh
tidak selamanya menjadi separuh. Persis seperti bulan di atas
kami. Kemungkinannya, ia akan menjadi penuh lagi suatu saat
nanti, menjadi bulan purnama. Atau sebaliknya, ia akan meng-
hilang dan tidak terlihat lagi, menjadi bulan mati.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan
Purnama. Ah, pemikiran itu terlalu muluk bagiku. Jangankan
masa depan, beberapa jam setelah ini saja aku tidak tahu apa
yang akan terjadi. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih di
sini menyangga tubuh muridku ketika tarian lidah api di depan
kian mengecil dan padam.
Henri Saputro
Guru SMP Negeri 2 Sumpiuh, Banyumas.
86 Menipu Arwah
Kalau Ibu beda lagi. Kata Ibu, biru yang ada di langit itu
adalah batasan kemampuan mata manusia. Langit sangat luas.
Sedangkan kemampuan pandang mata manusia terbatas. Itu
yang membuat langit di mata manusia berwarna biru.
“Kenapa biru? Kenapa tidak merah atau hitam?” Aku tidak
puas dan mengejar penjelasan Ibu. Kata ibuku, salah satu bakat
asliku ketika kecil adalah bertanya.
“Berwarna biru karena atmosfer cenderung menyebarkan
cahaya dengan panjang gelombang yang dominan biru jika
dibandingkan dengan gelombang warna yang lain. Selain itu,
cahaya biru asalnya dari pantulan sinar matahari yang berserakan
ke mana-mana dan jauh lebih banyak daripada warna-warna
lainnya.”
Penjelasan Ibu yang tidak cukup aku pahami membuat aku
tidak bisa meramu jawabannya menjadi pertanyaan susulan.
Mudah saja untuk Ibu untuk memberi penjelasan ilmiah macam
itu. Ibu adalah seorang guru Ilmu Alam di sebuah SMA di kotaku.
Meski berkutat dengan ilmu pasti, Ibu adalah pecinta sastra.
Koleksi bukunya cukup beragam. Dari sastra klasik macam
Burung-Burung Manyar, Bumi Manusia, The Old Man and The Sea
hingga sastra modern macam Lelaki Harimau, Cantik itu Luka,
hingga Saman, tertata rapi di rak miliknya. Ia punya perpustaka-
an kecil di rumah. Meski gajinya sangat kecil karena ia adalah
Guru PNS dengan golongan rendah, tetapi selalu mengalokasi-
kan uangnya tiap bulan untuk membeli buku.
Sementara Ibu adalah pecinta sastra, Bapak adalah pecinta
sunyi. Bapak sukar diajak bicara. Bapak adalah seorang yang
pendiam. Tidak banyak bicara. Aku dan Bapak jarang bercakap
cakap. Namun sekalinya bercakap, bisa begitu panjang. Seperti
anak laki laki pada umumnya, aku lebih dekat dengan ibu.
Dengan ibu, aku bisa membicarakan banyak hal. Dari soal mainan
yang rusak, hingga celotehan teman-teman sekolahku yang bikin
panas kuping yang kerap mengejek dengan menyebut Bapakku
adalah seorang pengangguran. Bapak saat muda dulu adalah
88 Menipu Arwah
bangun kehidupan rumah tangga jauh dari keluarga masing-
masing. Sama seperti Bapak pula, ibu adalah anak tertua dari
tiga bersaudara yang kesemuanya perempuan. Ia lahir menjelang
fajar pada bulan Jawa Sura, bulan pertama dalam tahun Jawa.
Pada mitologi Jawa, orang yang lahir pada waktu ini cenderung
berwatak keras kepala tetapi memiliki daya juang yang tinggi.
Seumur umur, aku tidak pernah mempercayai segala macam ilmu
pengetahuan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Namun, dari cara ibu mendidikku, aku terpaksa mem-
percayai narasi ini. Lagi pula, bagaimana aku bisa hadir di dunia
ini jika bukan hasil dari perjuangan dan kekerasan hati ibu? Tiga
stereotip bagi perempuan Jogja yang dipahami orang antara:
nurut, pasrah, nrimo. Tiga variabel itu mengacu pada satu konsep
diri: tidak banyak menuntut apa yang memang tidak diberikan
hidup. Stereotipe memang memudahkan membangun pengertian
tentang sebuah subjek persoalan. Namun, stereotipe seringkali
mengecoh. Ibuku mengecoh stereotip itu dengan sempurna.
Aku tidak pernah tahu banyak bagaimana Bapak dan Ibu
dulu bisa bertemu, berkenalan, kemudian menikah. Aku hanya
pernah mendengar, keduanya bertemu di kampus yang sama
saat menjadi aktivis. Terlibat dalam gerakan mahasiswa saat
pergantian rezim dan pada saat reformasi hamil tua, keduanya
menikah. Sebatas itu aku tahu. Bapak maupun Ibu tidak pernah
bercerita lebih panjang padaku. Aku juga tidak tertarik untuk
tahu. Yang jelas, keduanya memilih meninggalkan keluarga
masing-masing dan hidup berdua. Sebuah pilihan yang membawa
konsekuensi besar. Tidak saja bagi mereka berdua. Namun, juga
bagiku. Aku tidak pernah ingat bagaimana rupa kedua kakek
dan nenekku. Pun saudara-saudara Bapak dan Ibu, Paman dan
bibi. Terakhir aku berjumpa dengan saudara ibu saat aku belum
sekolah dulu. Saat kakek dan nenekku masih hidup. Sekali saja
aku berkunjung ke sana bersama Bapak dan Ibu. Selebihnya
dengan ibu saja. Bapak tidak ikut. Aku tidak ingat apa yang
membuat Bapak enggan berkunjung ke rumah Ibu. Aku hanya
90 Menipu Arwah
tung, taksi pertama yang ku cegat berhenti memberi tumpangan.
Aku melambaikan tangan ke Irene. Irene membalas lambaikanku.
Segera aku masuk ke dalam. Di dalam mobil, aku memesan tiket
pesawat melalui aplikasi. Beruntung lagi aku mendapat penerbang-
an jam pertama.
“Terima kasih, Tuhan.” Batinku berucap menikmati kemudah-
an yang aku dapatkan secara berturut-turut. Aku seketika ter-
kesiap. Seingatku, seumur-umur aku tidak pernah mengucap
syukur pada Tuhan. Baru kali ini aku melakukannya. Di tengah
kepanikanku pada kondisi Bapak, membuatku teringat kepada
Tuhan. Entah Tuhan yang mana. Tuhan yang menjadi sesembah-
an Bapak atau Ibu, aku tidak tahu. Sejak kecil dulu, Ibu selalu
mengajarkanku untuk beribadah seperti dirinya. Aku mengikuti
perkataan dan kebiasaan ibu itu hingga menjelang lulus bangku
sekolah tingkat pertama. Aku menghentikan kebiasaan itu ketika
baik Bapak maupun Ibu tidak mampu menjawab pertanyaanku;
Mengapa banyak orang yang rajin melakukan ibadah tapi masih
melakukan perbuatan jahat? Kenapa banyak orang menggunakan
gelar dan predikat religius lainnya demi alat legitimasi untuk
meraih kekuasaan?
Berbeda dengan Ibu, kehidupan religius Bapak hampir tak
pernah terekam dalam ingatanku. Ia tak pernah melakukan ritus
keagamaan apa pun di hadapanku. Satu satunya yang aku ingat
adalah setiap malam bulan purnama Bapak selalu keluar rumah.
Ia berdiri di halaman dan menengadahkan wajahnya ke langit.
Diam tak mengucap maupun membuat gerakan apa pun selama
beberapa menit. Aku dan ibuku tidak berani mengusiknya. Gestur
tubuhnya seperti memberi tanda bahwa ia tak ingin diganggu
siapa pun. Kadang aku bertanya dalam hati, apakah kesukaan
menatap langit menurun dari Bapak.
“Hey, you just arrived!”
Perkataan Sopir taksi membuyarkan lamunanku. Jarum jam
di tanganku menunjukkan pukul 10:05. Aku segera masuk Ter-
minal Bandara. Menuju tempat pemesanan tiket dan masuk ke
92 Menipu Arwah
tidak membuat repot orang lain. Kebiasaan untuk tidak membuat
beban pikiran orang. Bahkan kepada keluarga dan orang-orang
terdekat. Meski sakit, aku tidak akan memberitahukan pada
mereka. Pun kepada kawan-kawan di kampus. Dua hari lalu
Bapak lewat sambungan telepon masih menjawab pertanyaanku
dengan kalimat,
“Baik-baik saja”. Ia juga sempat menanyakan keadaanku.
Seperti biasa, berpesan padaku supaya makan jangan telat.
Jika Ibu sampai memberitahukan padaku soal Bapak, berarti
ada hal luar biasa terjadi. Pikiranku memburuk. Sampai hal ter-
buruk. Aku tidak mengira secepat ini Bapak akan meninggal-
kanku. Nafasku tiba-tiba sesak. Dadaku perih. Setitik air mataku
keluar. Bayangan Bapak datang ke hadapanku. Aku teringat
momen saat meminta persetujuannya untuk melanjutkan kuliah
ke Australia, dua tahun silam.
Saat itu Bapak tengah di perpustakaan kecil pribadinya.
Seperti biasa, ia tenggelam di buku-buku miliknya.
“Kalau kamu benar-benar ingin memperdalam keilmuan,
Bapak dukung. Namun, kamu harus total. Jangan setengah-
setengah.”
Buku yang sedang di tangan Bapak seperti tidak lebih bagai
hiasan. Bapak malah seperti membaca pikirkanku. Dan seperti
biasa, ia benar. Sebenarnya, motif terkuat aku melanjutkan studi
ke Australia adalah karena Irene. Perempuan yang berhasil
mematahkan hatiku. Aku mengenalnya saat kami sama-sama
menjalani vocatio, panggilan untuk Jurnalis. Tiga tahun silam,
kami bertemu saat sama-sama liputan di Jogja. Dia bekerja untuk
surat kabar terbesar nasional. Sementara aku bekerja untuk surat
kabar lokal. Dia cinta pertamaku sekaligus orang pertama yang
berhasil menghancurkan hatiku berkeping-keping. Saat ia sadar
bahwa tak ada masa depan untuk kami berdua, dia memilih
meninggalkanku dan semua yang telah ia bangun. Ya, sama
seperti kedua orang tuaku, kami berdua terpisah tembok tebal
yang tersusun dari agama dan suku. Irene, ia lahir dari keluarga
94 Menipu Arwah
annya yang begitu besar untuk membiayai studiku ini. Aku tidak
pernah tahu kalau Bapak punya uang sampai sebanyak ini hingga
bisa menutup kebutuhanku sehari hari selama di sini.
Kutarik dan kuhembuskan nafas secara tenang. Udara dingin
terasa begitu menusuk. Tidak saja kulitku. Tapi juga perasaanku.
Temperatur bulan September terlalu dingin untuk tubuh ringkih
yang kupunya. Memoriku dengan Bapak sepanjang hidupku
terlalu kuat. Aku benar-benar tidak siap menghadapi peristiwa
ini tiba-tiba. Sejurus kemudian aku baru ingat kalau aku belum
membalas pesan teks Ibu. Segera aku keluarkan ponselku.
“Bu, aku pulang.”
Bahkan dalam kondisi seperti ini, Ibu tidak memintaku untuk
pulang. Meski pesan teks Ibu tidak membubuhkan permintaan-
nya padaku untuk pulang, namun perasaanku mengatakan aku
harus segera pulang.
“Iya, Nak. Hati-hati.”
Sekian detik balasan teks ibu datang. Tapi tidak cukup me-
nenangkanku.
“Bagaimana Bapak?”
Tidak ada balasan. Membuat aku tidak sabar agar pener-
banganku segera datang. Sepeminuman kopi kemudian, apa yang
aku tunggu tiba. Pesawatku siap. Aku berjalan keluar ruang tunggu
lebih cepat dari gelombang suara pemberitahuan dari mega-
phone petugas. Calon penumpang yang tidak begitu banyak,
membuatku leluasa berjalan paling depan. Aba-aba petugas
Apron agar bersabar dan mengatur barisan tidak aku hiraukan.
Aku tidak sabar menuju tangga pesawat. Setapak demi setapak
anak tangga aku lalui. Setelah masuk, aku langsung menuju kursi
jatahku. Kursi untukku berada langsung di sebelah kiri nomor
tiga dari belakang. Aku buka pintu jendela setelah sebelumnya
aku letakkan jaket dan tas di bagasi atas. Dari jendela itu aku
bisa memandang kumpulan burung bergerombol di atas sayap
pesawat. Dari kejauhan, aku bisa melihat rel kereta yang dilalui
gerbong-gerbong komuter yang setiap harinya menantang
96 Menipu Arwah
membalas keramahan mereka. Sampai di jalan depan rumah,
aku melihat sosok Ibu. Ibu pun melihat kepulanganku. Seperti
biasa, Ibu terlihat tegar. Tidak sedikit pun ia menangis. Aku
duduk bersimpuh dan memeluk kakinya. Meski tak menangis,
aku paham ibu sedih teramat dalam. Dalam hati, aku sekuat
tenaga untuk tidak menatap mata Ibu. Aku merasa sangat ber-
salah. Selama ini Bapak menanggung sakit dan Ibu sendirian
mengurusinya. Aku mengutuki diri. Demi apa pun, aku sangat
menyesal meninggalkan Bapak dalam kondisi seperti ini.
“Di mana Bapak, Bu?”
Aku bertanya memulai pembicaraan. Aku berbicara sambil
menunduk agar tetap tidak menatap mata Ibu.
“Di dalam kamar. Kamu makan dulu.”
Perintah Ibu aku hiraukan. Aku menuju kamar tempat Bapak
bersemayam. Aku mendapati jenazah Bapak membujur searah
dengan dengan pintu kamar. Ku sentuh dahinya. Dingin. Sekejap,
hatiku hancur menerima kenyataan Bapak tidak lagi bernyawa.
Betul-betul tak lagi bernyawa. Aku menangis hebat. Kuatur se-
kuat mungkin agar tangisku bersuara. Mataku kabur oleh air
mata. Baru kali ini aku menangis seperti ini. Bapak dulu sering
mengingatkanku jika aku menangis.
“Anak laki-laki, pantang menangis.” Baru kali ini aku tidak
mengindahkan peringatannya. Betapa aku sangat merindukan
Bapak dan percakapan percakapan kecil kami. Penyesalanku ter-
amat dalam. Aku, anak satu satunya tidak menemani saat-saat
terakhirnya. Betapa pecundangnya aku. Sedetik kemudian, aku
baru sadar. Ada yang aneh pada jenazah Bapak. Aku menatap
keluar kamar. Tenyata Ibu dan beberapa orang ada berdiri meng-
amati aku dan Bapak.
“Bu, kenapa?”
Aku bertanya pendek. Ia tak menjawab, bibirnya terkatup.
Tatapannya tertuju tajam padaku. Meski tak menjawab, aku sangat
yakin Ibu paham arah pertanyaanku.
98 Menipu Arwah
Mereka mencoba mengejar hingga ke samping pintu mobil.
Aku tak menjawab. Aku segera memacu mobilku sesegera mung-
kin.
***
Subuh sudah lewat. Fajar hampir datang. Aku sampai di
kaki hutan pinus Limpakuwus. Sekitarku mulai terang oleh
matahari yang masih malu-malu. Semak-semak sengkarut tanam-
an liar berhamparan terkepung oleh rimbunan pohon yang tak
terhitung jumlahnya. Semua tinggi dan wingit. Sinar matahari
membentuk garis-garis tipis menimpa batang pinus yang berjajar
tidak terlalu rapat. Aku rebahkan jenazah Bapak di tanah yang
rata. Aku kumpulkan ranting, kayu, dan dedaunan yang sudah
kering hingga menggunung dan menutupi seluruh tubuhnya.
Aku menyulut api di timbunan daun paling luar. Api berkobar
dan membesar dengan cepat. Asapnya membumbung. Kemarau
yang mengganas membantu meleburkan jenazah Bapak. Mataku
basah dadaku sesak mengingat Bapak dan pesan terakhirnya
untukku.
“Han, anakku, awal tahun lalu aku mengantar ibumu ke
keluarga Kakekmu. Mereka semua berharap ibu menerima
bagian warisan paling besar dari kakekmu. Tapi dengan syarat
aku mengikuti keyakinan mereka. Tapi baik aku maupun ibumu
bersepakat, kamu yang akan menjatuhkan pilihan. Jika kau tidak
ingin hidup miskin sepertiku, aku rela kau kuburkan dengan
cara seperti keinginan mereka. Tapi jika kau tidak keberatan,
kuburkan aku seperti keinginanku. Kau tahu, semasa muda dulu
aku adalah pendaki gunung meski tidak setangguh ibumu. Bakar
tubuh tuaku di hutan lereng gunung Slamet. Biarkan abuku me-
nyatu dengan udara dan langit diatas sana. Jangan tangisi aku.
Jika pun kau memilih pilihan pertama, aku akan tetap bahagia
dan membanggakanmu.”
***
“Yah, mengapa Ayah selalu ingin pulang?”
Heri Suritno
Guru SD Negeri Prembun, Tambak, Banyumas
Catatan:
1. Barongan: tiruan binatang berkepala raksasa dalam pertunjukan
seni kuda lumping.
2. Dhugal: perilaku tanpa kendali.
3. Dilawung: ritual memanggil indhang barongan.
4. Indhang: ruh yang dipercaya masuk ke dalam benda atau seseorang
dalam kesenian tradisi seperti ronggeng atau kuda lumping.
5. Kenceng gatholan waton: erat berpegangan kerangka amben, selalu
berpegang pada prinsip kebenaran.
6. Madhang longan turu longan: hidup prihatin.
7. Malima: Lima perilaku jahat; berjudi, main perempuan, mencuri,
mabuk, dan membunuh.
8. Midhang: ngamen.
9. Nggegirisi: menakutkan.
10. Nyebut: mengucap sahadat.
11. Oncat: pergi.
12. Penthul: penari jenaka memakai topeng.
13. Penimbul: pawang kuda lumping.
14. Rialat: Menahan diri dari segala keinginan demi tercapai cita-cita.
15. Sasmita: isyarat.
16. Tedheng aling-aling:ditutupi
Catatan kaki :
1. loading = ‘pemuatan, proses menemukan suatu objek yang
dimaksud/dicari’
2. gudel nurut kerbau = ‘seorang anak harus nurut kemauan orang
tua’
3. labengan (dialek bahasa Tegal) = ‘nglalu, semaunya sendiri, masa
bodoh’
4. ora mikir temen = ‘tidak berpikir serius’
5. rika =’ kamu’, ‘njenengan’
Ratino
Guru SMP Negeri 1 Jeruk Legi, Cilacap
Jadi waktu itu aku sempat ingin memasang tanda huruf “I”
dicoret yang kuartikan sebagai “dilarang iri”. Siapa yang bilang
manusia itu dilarang iri? Kata mereka iri itu tidak baik, tidak
bagus, dosa, perbuatan tercela, dan seluruh kumpulan kata-kata
tidak terpuji lainnya yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Ah, entah itu benar atau memang tidak salah. Hari
ini aku bisa berdiri di sini memegang tropi karena iri, senyum
sana-sini hingga membuat kepercayaan diriku kembali. Setelah
sekian lama miskin ide dan melarat eksekusi, setelah penantian
yang nyaris membuatku berpikir untuk menjual laptop dan
menggadaikan diri dalam sebuah lembah kesukaan lain, bukan
ini, bukan penulis seperti layaknya mereka mengenalku dulu.
Dulu yang dahulu sekali.
***
Langit yang kupandang siang ini masih sama. Aku ber-
syukur masih bisa menangkap setiap pergerakan awan yang se-
perti melaju perlahan menari-nari bagaikan peri yang jatuh cinta.
Cinta, ah dia lagi. Sosok Cinta selalu jadi peran utama. Tidak
seperti Alana yang harus rela menjadi alas karena ditindas.
Semoga hanya perasaanku saja. Namun, entah mengapa semua
tampak nyata.
Sebuah kertas berisi print out sebuah sayembara menulis
menjadi penampakan pertama di meja kerja dalam kamarku. Se-
buah meja yang ingin segera kutendang karena tak lagi mem-
Rinto Murdomo
Guru SMK Lentera, Kendal
Riyadi
Guru SD Negeri Pangebatan, Karanglewas, Banyumas
Catatan :
cowongan : ‘upacara ritual meminta hujan di daerah Banyu-
mas zaman dulu’
cepet : ‘makhluk kecil sebangsa tuyul’
cumplung : ‘tempurung kelapa’
Dalang Jemblung : ‘kesenian khas Banyumas di mana seorang
dalang memainkan wayangnya sekali gus merangkap meng-
iringi gamelannya dengan suara mulut’
S. Prasetyo Utomo
Guru SMA 13 Semarang
Ki Sudadi
Guru SMP Negeri 1 Wadaslintang, Wonosobo
Glosarium :
bucu (Bhs Jawa) : Nasi yang dimasak dengan sayuran hijau
bercampur parutan kelapa berbumbu yang disumpalkan di
dalamnya.
celeng kalung abang (Bhs Jawa) : Babi hutan dengan tanda
belang merah memanjang di leher
enggane keluwarga utawa batire nyong sing dadi tumbal? (Bhs
Jawa) : Jangan-jangan keluarga dan teman saya yang jadi
korban?
hotmix (Bhs Inggris) : campuran aspal panas siap untuk
membangun jalan
kepriben kiye? (Bhs Jawa) : Bagaimana ini?
nggih (Bhs Jawa) : Ya
nyong kudu prige Ki? (Bhs Jawa) : Saya harus bagaimana,
Ki?
nyong ya bebeh (Bhs Jawa) : Saya tidak mau
nyong ya emoh lah! (Bhs Jawa) : Saya tidak mau
Triman Laksana
Guru SMP Negeri 1 Mungkid, Magelang
Uswatun Hasanah
SMA Negeri 1 Salatiga
Winarni